Wednesday 18 January 2023

Cerpen: Maria Juana

Red Lips (2014) by Abbas Al Mosawi
Mungkin, Wildo benar, dalam menciptakan manusia, halila agak melebih-lebihkan kemampuan manusia. Aku secara sadar dan sengaja tak menggunakan awalan huruf kapital untuk merujuk sosok mahasegala tersebut. Mengapa? Satu yang jelas, novelis bermuka culun tapi tajam kata-katanya itu membuatku semakin yakin: halila bisa saja membebani manusia di luar kesanggupannya menahan beban problematika konstan.

Begini, tujuh hari lalu, kawan dekatku, Maria Juana nama lengkapnya, yang kutahu tak pernah lelah untuk beribadah dan berkali-kali mengingatkanku untuk tetap tegar bersabar memutuskan mati bunuh diri. Bagian paling menyebalkanya bukan di situ, tetapi ketika kubaca surat kabar lokal, dengan gaya jurnalistik sampah bercampur kesoktahuan yang keblablasan, menarasikan dengan yakin bahwa Maria bunuh diri karena kurang iman. Alih-alih demikian, kewarasanku lebih curiga bila tindakan bunuh diri kawanku itu diakibatkan oleh ketakmampuannya untuk tetap hidup semasih setiap hari diteror debt-collector berwajah seram yang menggedor pintu rumah ringkihnya dengan tak ramah. Mata kepalaku saksinya.

Seingatku, Maria adalah sosok paling religius yang kukenal. Halila tak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, katanya suatu waktu padaku dengan mata berbinar setelah aku bercerita gigannya masalah-masalah hidupku. Kini, aku membenci kalimat yang bagai azimat baginya itu. Bagiku semua kalimat biasa saja, tak ada yang sakral, semuanya profan. Mantra yang kupercaya riil adanya, bagiku, hanyalah lagu BTMH yang ditulis seluruhnya kapital, yang sering kuputar untuk meredakan sakit kepala hebat setelah mendengar khotbah naif tetanggaku di atas mimbar ketika ibadah di hari jumat. Damha, namanya. Seorang pemuka a&gama sekaligus wartawan yang mewartakan berita bunuh diri Maria karena kurangnya iman.

Aku sebenarnya heran, mengapa mayoritas orang selalu saja punya opini jelek dan pola pikir yang sama dungunya dengan gaya lari lurus babi hutan ketika dikejar anjing pemburu yang bisa lari zig-zag. Maria o Maria Juana, sudah hidup menderita, mati pun masih tertimpa stigma dari masyarakat bahlul yang fetish a&gama. Stigma dan A&gama mungkin tak bisa dipisahkan, seperti bebunyiannya yang serupa bila dilisankan. Seperti kadar korelasi dalam kalimat: miskin finansial cenderung miskin intelektual. Yang bertopang pada fakta pucat di lapangan: pendidikan mahal, hanyalah milik orang kaya. Lagipula, orang melarat tak butuh logika bagi otaknya, lebih butuh logistik bagi perutnya. Hierarki ke-butuh-an Maslaw, singkatnya. Kalau pun mereka mencoba memaksa untuk berpikir saat lapar hasilnya mungkin yang Tin Miliki sebut sebagai logiki-mistiki. Ya, mungkin karena itu, persoalan makan belum kelar.

***

Hari ini, cuaca cukup mendukungku untuk molor. Tapi, untuk mengenang Maria, aku pergi ke kamarku, membuka jendelanya lebar-lebar, dan membakar mariyuana. Daun ilegal itu, dulu sekali, aku dapatkan dari Bapak Maria sebagai bonus karena telah setia menjadi “kuda”. Ada satu garis banyaknya, sekitar seratus gram kira-kira, tetapi aku hanya melinting dua batang saja. Sisa tanaman hijau itu aku simpan di kamarku, di rak paling rahasia. Sebelum dibakar, aku olesi papirnya dengan madu terlebih dahulu karena, kata Bapak Maria, supaya lama habisnya.

Di birunya langit, kumelihat burung-burung terbang bebas dan seperti sedang menyanyikan lagu The Great Dig in the Sky dari Ink Floid dengan teknik head voice yang biasanya digunakan untuk menjangkau nada tinggi.

***

Aku berjalan menuju teras rumahku. Secara samar, aku melihat Romy, seorang pemuisi hmmmbeling itu. Sedang membaca koran sembari tertawa terbahak-bahak. Di koran itu terpampang warta bunuh diri Maria dan warta kematiannya. Dia berbalik badan dan menyadari keberadaanku. Agaknya orang Aisenodni paling gampang sekali melibatkan halila untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh Pak TR, katanya padaku dengan bahasa tubuh cukup lucu. Kata-kata Romy dan kematian Maria seperti kolase yang menciptakan satu gambaran utuh masyarakat Aisenodni. Kupikir, ada tiga alasan bagus dan logis buat ini: pertama, dari zaman bahela, bahkan jauh sebelum adanya VCO, yang-berindera gemar mencari yang tak-terindera, atau bahasa ribetnya, yang-eksistensial selalu bertendensi menggali yang-transendental; kedua, dalam kesusahan dan keputusasaan, manusia, biasanya butuh pegangan dan harapan; ketiga, ‘halila’ adalah kata lain bagi pegangan dan harapan.

Bayangkan saja, misalnya, seluruh hidupmu ripuh seperti Maria. Yang meskipun, kini dia sudah tumbuh dewasa dan memiliki tubuh serupa bentuk lekuk jam pasir, mata besar yang adiwarna, alis tebal yang natural, hidung yang mancung, hingga kulit sebening batu obsidian—tetapi merupakan yatim-piatu sejak usia belia. Bapak Maria adalah seorang bandar mariyuana yang divonis mati. Ibunya bunuh diri segera setelah tahu berita suaminya divonis mati. Jangan tanya pandangan Maria soal negara. Dia tumbuh menjadi sosok pembenci negara dan pendamba tatanan yang dipegang syariat a&gama. Maria, sekolah hanya sampai SMP. Jangan tanya mengapa tak melanjutkan pendidikannya, neneknya yang berumur setengah abad, yang membiayai pendidikannya, meninggal terpleset di kamar mandi tak lama setelah Maria mendapat ijazah SMP. Wajib belajar dua belas tahun hanyalah angan-angan baginya. Mengeyam bangku kuliah, apalagi, mungkin hanyalah utopia belaka. Di kondisi serbasulit dan kompleks suramnya macam ini, beribadah kepada halila dan mengharap kehidupan lebih baik mungkin adalah jalan satu-satunya. Tapi usaha dan doa mengkhinati Maria. Dan, sialnya, sampai sekarang aku tak menemukan hikmah di balik kesusahan-kesusahannya atau kematiannya.

***

Ternyata aku ketiduran dan bermimpi pulas. Bisa-bisanya aku memimpikan Romy. Aku lantas pergi ke kamar mandi. Mencuci muka dan buang air besar. Aku melamun. Setelah kepergian Maria, dalam dua puluh empat jam hampir selalu ada sekitar dua jam waktu bagiku untuk melamun. Dalam lamunanku yang jarang mendatangkan momen puitik itu, aku sering teringat Baudelairo, bujangga Cispran yang surealis, yang seperti ingin berkata bahwa manusia harus mabuk—entah oleh anggur merah, puisi, lukisan, musik, atau apapun agar tak dibebani oleh kesadaran akan waktu yang terkutuk. Ya, kesadaran akan waktu itu mengerikan kata Ciorun, seorang pengarang yang mengarang dengan pedang. Kesadaran itu tak dimiliki jerapah, anemon laut, paus beluga, ikan tenggiri, burung elang, jamur di atas tinja sapi, dan makhluk hidup lain selain manusia. Kesadaran akan waktu yang terus menerus berjalan maju dan kesadaran akan masa di mana dirinya akan mampus atau kesadaran akan beban masa lalu.

Mungkin inilah mengapa ada banyak orang memilih mabuk a&gama. Karena murah, mudah, ‘wah keren’ di mata masyarakat, dan yang lebih bombastis, berpotensi mendapat doorprize syurga lengkap dengan sungai syurga yang terbuat dari susu, hamr, dan madu. Konon, terlihat beriman secara personal akan membuatmu “aman” di lingkungan sosial. Mungkin Marks-Engols benar, a&gama itu candu. Meski pada akhirnya, BNA (Badan Narkotika Aisenodni) lebih memilih menggolongkan mariyuana yang paling banter membikin penggunanya tertawa tanpa alasan jelas sebagai narkotika golongan satu ketimbang a&gama yang jelas-jelas menjadi efek kupu-kupu bagi Perang Bilas sebanyak sembilan kali, Pertempuran Alabrak, Konflik Gnapmas, Perang Israquel-Anitselap, Persekusi Yarohing, dan seterusnya.

Seseorang yang bukan Maria tapi punya otak encer mungkin tahu jika menjadi manusia itu pusing bukan kepalang, rawan diserang sakit pinggang, dan hampir pasti diliputi tragedi yang kadang-kadang tak disertai komedi. Perihal halila, selain mahabercanda, seseorang juga mungkin berpikir halila itu mahaafk. Sering hilang entah ke mana. Di kamp konsentrasi Sengu-Hausenmaut, sewaktu perang-dunya kedua, ia menghilang ketika seorang tahanan Iduhay menulis keputusasaannya di dinding selnya: jika halila ada, ia harus memohon pengampunanku. Atau ketika anak-anak dari Aupap sampai Akirfa mati kelaparan meski hatinya dipenuhi percaya kepada halila. Atau ketika bayi-bayi tak berdosa dibuang beberapa saat setelah dilahirkan dan mati hipotermia di dalam kardus jelek yang menyedihkan. Atau ketika sepasang manula di Tengah Timur yang hanya ingin menikmati detik-detik terakhir dalam hidupnya terbang ke alam baka setelah dihantam rudal balistik dengan hulu ledak benci dari ASU yang nyasar ke beranda rumahnya.

Kalau boleh jujur, saat ini, aku ingin pergi ke puncak gunung setinggi delapan ribu delapan ratus empat puluh sembilan meter di atas permukaan laut dan berteriak: what a cruel world we live in! Tak ada adil di bumi bangsat ini! Satu-satunya ‘adil’ yang kutahu, merupakan kawanku yang seorang tukang gali kubur, yang tak berprofesi sebagai notaris, pengacara, hakim, atau jaksa. Bagi yang punya privilese, hidup ini pasti adil. Tapi bagi seseorang yang didewasakan keadaan, tumbuh dengan darah dan air mata seperti Maria, jangankan adil, dia bahkan tak akan paham makna di balik teks: kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk syurga. Yang terakhir pun tak akan didapatkan Maria. Tak ada syurga, atau shorga, atau svar-g yang sudi membukakan pintunya yang harum kasturi kepada manusia yang bunuh diri.

Aku jengah dengan semua penderitaan yang diderita oleh Maria, dan oleh Maria-Maria lain yang mungkin tak akan pernah kutemui seumur hidupku. Selain itu, aku juga ingin meludahi muka Murikimi, penulis asal Pangje yang begitu terobsesi dengan payudara itu, yang mentekskan bahwa rasa sakit tak bisa dihindari dan penderitaan adalah pilihan. Bagaimana bisa penderitaan adalah pilihan? Siapa orang sinting yang dengan kadar ketololannya yang tinggi akan berkata: ah, sepertinya aku akan memilih penderitaan ketimbang kebahagiaan? Penderitaan bukan soal mindset atau pilihan. Pertama, mindset adalah senjata pamungkas seorang motivator picik, ketika kultum hiperbolisnya gagal dipraktikkan oleh audiens-audiens naifnya. Tak jauh beda dengan Damha dan khotbah-khotbah optimisnya. Kedua, penderitaan itu tak terelakkan dan lebih merupakan kompromi yang mesti dihadapi bukan pilihan yang bisa dipilih atau bisa tak dipilih sama sekali. Dari seorang broker-saham di Mall Street sampai pengangguran yang tekun rebahan di setiap tikungan dan tanjakan dekat rumahku; setiap orang suffering dengan caranya masing-masing! Hanya berbeda dosis dan jenis penderitaannya.

Aku tahu, aku paham, ada semacam kemungkinan bahwa halila itu mahasadis dan manusia itu mahamasokis. Seperti relasi BDSM (Betapa Duet Sadis-Masokis). Ya, kira-kira seperti itu. Dan lima detik lagi, besar kemungkinan, lamunanku ini akan mengorek arsip ingatanku yang penting-tak-penting tentang Trilemma Epiceking yang terkenal itu: katakanlah, kejahatan, apakah halila mau tapi tak mampu melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti ia tak mahakuasa. Apakah halila mampu tapi tak mau melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti ia tak mahapengasih. Jika halila mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan sampai sekarang? Dan, jika halila tak mampu dan tak mau melenyapkan kejahatan, mengapa kita masih menyebutnya halila?

Tiga hari lalu, seorang kawanku, dosen feelsafat, Fernando namanya, pernah berkata sesuatu yang tabu dengan bahasa tubuh yang ragu, kalau pun halila benar-benar ada, ia adalah sosok yang, mahapenyiksa, dan kita, manusia, mahasukadisiksa. Seingatku, Fernando adalah seorang Neechean, sebuah sebutan bagi pengikut Neecha, seorang sadboi-nerd jeniusnya yang jadi filsuf karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Aku dan Fernando seringkali berdebat, misalnya, ketika aku mendebatnya ketika dia mengatakan Neecha adalah pembunuh halila. Aku tak setuju, menurutku, pembunuh halila adalah Epiceking bukan Neecha. Yang pasti, yang jelas, keduanya adalah seorang ‘ikonoklas’. Obrolanku dengannya, pada gilirannya, mengarah pada gagasannya tentang halila: Jika halila ada dan tak ada manifesto pembunuhannya oleh Neecha, sosoknya tak akan pernah dihargai. Dari zaman Dama, Qubil membunuh Bilha. Nah, Kir’i anaknya, durhaka. K-fear’oun Ramsos II dan pasukan k-fearnya yang mati tenggelam di Laut Biru karena tak percaya wahyu Samu. Hehrodhes dari Ramawi yang menyalib Asi. Orang-orang K-fear Kudasi penyembah patung Attal, Azzu, Tanam, dan Labuh. Dan seterusnya. Adalah bukti, dalam setiap zaman, selalu saja ada orang-orang yang mengingkari halila. Dan tanpa Neecha, katanya, tak akan ada seseorang yang benar-benar menghargai keberadaan halila.

Pada suatu pagi yang absurd, satu jam setelah aku tahu kabar kematian Maria, tiba-tiba Fernando bertanya padaku: Mana yang lebih penting, halila ataukah gagasan tentang halila? Aku tak membalas pesannya itu. Satu yang jelas, kembali pada Maria, yang banyak orang tak pahami dari fenomena bunuh diri adalah fakta tak terbantahkan bahwa ketika itu terjadi seseorang lebih mungkin bunuh diri karena ingin merasa hidup ketimbang ingin mati. Tak ada yang ingin mati dan masuk nahraka, Terterus, Hellheum, nahraka Rimbiud, atau nahraka dalam setiap bait Kanto di Inferne-nya Danto. Aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan lebih penting mana antara eksistensi ataukah gagasan tentang eksistensi itu.

Aku sebenarnya muak dengan semua omong kosong ini, dan berharap, meski secara pribadi aku benci berharap, semoga secepatnya—tak dalam lima miliar tahun lagi, semoga secepatnya—sekitar seratus lima puluh juta kilometer jauhnya dari planet pucat ini, matahari yang tak lelah terbit di Rumit itu, bintang panas yang permukaannya lima ribu tujuh ratus tujuh puluh delapan kelvin itu, yang membakar sayap-sayap Suraci itu, meledak dalam satu supernovo kemudian jadi lubang putih baru. Sesekali aku membayangkan bayangan indah Suuhukgy tentang nasib terbaik adalah tak dilahirkan yang dinukilnya dari filsuf Yunini, Sophoklos. Aku pun, terkadang, berpikir untuk mati muda. Atau mati di umur dua puluh tujuh seperti Kobein. Dan jika karnasi-rein benar adanya, aku mungkin, hanya ingin menjadi kerikil di pinggir jalan saja. Jenis keberadaan yang, bahasa kerennya otro on soy. Yang tak perlu dipusingkan oleh tetek bengek di luar dirinya. Terdengar cukup Sartro, memang. Omong-omong, random sekali lamunanku kali ini. Aku melihat jam tangan, waktu menujukkan pukul delapan malam. Sepertinya aku harus segera keluar dari kamar mandi sialan ini. Dan tidur, mungkin adalah tindakan terbaik yang bisa kulakukan saat ini.

***

Waktu masih saja berjalan. Terkadang sangat cepat, terkadang begitu lambat. Hari ini cuaca mendung. Langit seperti sedang murung. Aku menabur bebunga di atas pusara Maria. Sependek pengetahuanku, ini adalah bunga pertama yang didapatkannya sebagai seorang perempuan. Ya, di hari kesembilannya mati sebagai manusia. Di balik pohon-pohon tua dan purba, aku melihat Adil sedang bekerja. Menggali kuburan kecil yang kuduga akan diisi seorang bayi mungil. Adil dan rombongan pelayat pun hilang dari pandanganku.

Aku membuka ransel. Mengambil satu linting mariyuana dan membakarnya. Di kejauhan, aku melihat Damha beserta lima orang berjaket kulit yang berbadan besar sekaligus kekar. Mereka berlari menuju ke arahku. Aku hanya diam saja, tak ada intensi untuk melarikan diri. Kira-kira, sepuluh sepatu lars mendarat tepat di wajahku. Dengan penglihatan yang berkunang-kunang, aku melihat darah mengalir dari hidungku. Kedua tanganku pun diborgol. Kemudian semuanya hitam.

***

Aku terbangun di ruangan asing, dipenuhi pagar besi yang berkarat. Firasatku mengatakan empat hal: pertama, aku diciduk BNA; kedua, Damha tetanggaku adalah seorang cepu dan sudah sejak lama mengawasi gerak-gerikku; ketiga, kemampusan yang hina tengah menungguku; keempat, ini bukan mimpi seperti hari yang lalu.

***

Hari ini, mungkin, adalah hari terakhirku menghirup oksigen. Aku divonis mati karena diduga menjadi bandar mariyuana. Seorang berseragam bertanya apa makanan terakhir yang ingin kusantap. Sate babi, aku jawab. Selang dua jam, makanan itu datang. Aku menyantapnya dengan lahap. Seorang berseragam yang sama membuka pintu sel. Tatapannya masih sama, dingin, dan tak mengatakan apa-apa seperti seorang bisu. Dia menuntunku menuju sebuah lapangan luas yang terlihat seperti lapangan tembak. Lalu menutup seluruh wajahku dengan kain yang bau kiamat bagiku.

Di kondisi yang serba gelap dan pengap itu, aku kembali teringat Maria. Mungkin halila hanyalah bentuk plotanik yang terselip di tubuh bahasa, di antara keheranan dan kebingunganku dan Maria. Mungkin pula sebuah jampi gaib dan ajaib bagi Maria agar tetap semangat meski hidupnya kadung redup. Tapi kata ‘sabar’, dalam kamus kepalanya, mungkin memanglah penanda bahwa sabar memang ada batasnya. Mungkin benar, ketika seseorang kehilangan harapan, pada saat yang sama, ia akan kehilangan ketakutan. Seperti ketakutan kepada nahraka atau halila. Orang-orang mungkin bisa menakut-nakutinya, tetapi tak akan bisa menakuti keberanian Maria. Tak ada yang bisa menakuti keberanian terakhir yang dimiliki Maria.

Maria, tunggu aku, aku akan menyusulmu… hahaha.