Tampilkan postingan dengan label translasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label translasi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 12 September 2023

Beside Schopenhauer's Corpse - Maupassant (Cerpen Translasi)

*Ditulis Guy de Maupassant dalam bahasa Prancis—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Albert M. C dkk (cerita ini diambil dari buku The Entire Original Maupassant Short Stories, diterbitkan oleh The Project Gutenberg pada tahun 2021)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA

Ia perlahan-lahan sekarat, seperti halnya pengidap tuberkulosis mati. Aku melihatnya setiap hari, sekitar pukul dua, duduk di bawah jendela hotel pada sebuah bangku di kawasan pejalan kaki, memandang ke laut yang tenang. Ia mematung selama beberapa waktu tanpa bergerak barang sesenti, di bawah terik matahari, menatap Laut Mediterania dengan sedih. Sesekali, ia melirik pegunungan tinggi dengan puncak tertutup awan di Mentone; kemudian, dengan gerakan yang sangat lambat, ia akan menyilangkan kakinya yang panjang, yang begitu kurus, sehingga tampak seperti dua buah tulang, dibungkus celana panjangnya yang kebesaran, dan ia akan membuka sebuah buku, selalu buku yang sama. Dan kemudian ia mematung lagi, tapi terus membaca, membaca dengan mata dan pikirannya; segenap tubuhnya yang ringkih seakan membaca, seluruh jiwanya tenggelam, hilang, lenyap, dalam bukunya, hingga saat udara semakin dingin membikinnya sedikit terbatuk-batuk. Kemudian, ia bangkit dan masuk kembali ke hotel.

Ia seorang Jerman yang jangkung, berjanggut pirang, yang sarapan dan makan malam di kamarnya sendiri, dan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun.

Rasa ingin tahu yang samar-samar membuatku tertarik padanya. Suatu hari, aku duduk di sebelahnya, untuk menjaga penampilan, aku pun mengambil sebuah buku, sejumlah puisi Musset. Dan aku mulai melahap buku berjudul Rolla ini. Tiba-tiba, ia bertanya, dalam bahasa Prancis yang baik:

“Apakah Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?”

“Tidak sama sekali, Tuan.”

“Sayang sekali. Karena kesempatan telah mempertemukan kita, saya bisa saja meminjamkannya kepada Anda, saya bisa menunjukkan harta karun kepada Anda, suatu hal yang tak ternilai harganya—buku yang saya pegang ini.”

“Apa itu, kumpulan doa?”

“Ini adalah salinan karya guruku, Schopenhauer, dengan catatan yang ditulis tangannya sendiri. Semua pinggiran halaman buku ini, seperti yang Anda lihat, diisi dengan catatannya.”

Dengan penuh kesopanan aku mengambil buku itu darinya, dan setelahnya aku hanya melihat kalimat-kalimat yang tidak dapat kupahami. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata itu menunjukkan pikiran-pikiran abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.

Dan bait puisi Musset, yang tadi kubaca, muncul dalam ingatanku:

Apakah tidurmu nyenyak, Voltaire,

mati adalah anugerah, dan apakah

senyummu yang mengerikan itu

masih melayang-layang

di atas tulang belulangmu?

Dan tanpa sadar aku membandingkan sarkasme kekanak-kananakan Voltaire dengan ironi Schopenhauer, filsuf Jerman yang telah mampus tapi pengaruhnya tak pernah pupus. Ia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan, dan angan-angan yang puitis. Ia telah menghancurkan keinginan, menghancurleburkan rasa percaya diri, menghanguskan cinta, membumihanguskan pemujaan halus terhadap wanita, membantai ilusi-ilusi kemanusiaan, dan menyelesaikan tugas terbesar skeptisisme—meragukan segalanya—dan hanya percaya pada kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah bisa diketahui. Olok-oloknya telah mengisi ruang-ruang di dunia dan membuatnya menjadi ruang kedap makna. Bahkan orang-orang yang mengolok Schopenhauer sampai sekarang masih membawa partikel pesimisme ke dalam jiwa mereka.

“Jadi, Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?” kataku pada orang Jerman itu.

Ia tersenyum kecut. 

“Sampai saat ia wafat, Tuan.”

Dan ia mulai menceritakan sang filsuf dan kesan supranatural yang ditimbulkan makhluk aneh ini terhadap semua orang yang pernah mendekatinya.

Ia bercerita tentang tanya jawab tokoh ikonoklas tua ini dengan seorang politisi Prancis, penganut Republik, yang ingin sekali menjumpainya. Pertemuan dilakukan di sebuah bar yang bising, Schopenhauer yang kusut masai duduk di tengah-tengah murid-muridnya, tersenyum dengan gayanya yang khas, menyerang dan mencabik-cabik gagasan dan keyakinan sang politisi dengan satu kata, seperti seekor anjing merobek mainannya dengan satu gigitan giginya.

Beberapa saat kemudian sang politisi itu pergi dengan keheranan bercampur ketakutan, “Saya pikir saya telah menghabiskan satu jam waktu saya bersama iblis.”

Orang Jerman itu menambahkan, “Anda tahu, Tuan? Ia sungguh memiliki seulas senyum mengerikan yang membuat kami bergidik ngeri, bahkan setelah ia meninggal senyumnya masih menghantui kami. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yang pernah didengar oleh beberapa orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda.”

Dan dengan suara letih ia mulai bercerita, diselingi oleh suara batuknya berkali-kali.

***

Schopenhauer baru saja meninggal dan kami ditugaskan untuk menjaga mayatnya. Secara bergiliran, berdua-dua, hingga esok pagi. Di sebuah apartemen yang besar dan mencekam, ia terbaring di atas ranjang. Di sampingnya, dua batang lilin dinyalakan di atas meja. Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba untuk menjaga mayat itu. Kedua orang teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di kaki ranjang.

Ekspresi wajah mayat itu masih tidak berubah, ia masih tetap tersenyum. Seakan-akan ia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami hampir mengira ia akan membuka matanya, bergerak dan berbicara. Pikiran-pikirannya terasa melingkari kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini, setelah ia mati, daya magisnya lebih mencengkram kami ketimbang sebelumnya. Rasanya seperti kekuatan pikirannya yang dahsyat berpadu dengan kemisteriusan tak terjelaskan.

Tubuh manusia ini akan binasa, tetapi jiwanya tidak. Dan saya yakin, Tuan, pada malam setelah jantungnya berhenti berdetak ia menjadi sangat menakutkan. 

Dan dengan nada pelan kami membicarakannya, mengingat perkataannya, rumusan tertentu darinya, pepatah mengejutkannya; bagaikan pancaran api yang dilontarkan, dalam beberapa kata, ke dalam kegelapan Kehidupan Tak Diketahui—seperti yang ia percayai.

“Saya merasa bahwa ia akan berbicara,” kata teman saya. Kami memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan senyum aneh. Perasaan kami tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami merasa akan pingsan.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya,” kata saya, “yang jelas, saya merasa tidak enak.” 

Kami mencium bau tidak sedap yang keluar dari mayat itu. Teman saya berkata bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah. Dan, saya mengamininya. 

Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi meninggalkan lilin yang satunya. Saya duduk cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat yang terbujur kaku di atasnya dengan jelas diterangi sebatang cahaya lilin.

Tapi roh Schopenhauer masih menghantui kami. Seseorang bisa mengatakan bahwa kini ia telah terbebas dari tubuhnya dan kekuatan jiwanya membayang-bayangi kami. Dan sesekali, bau mengerikan dari tubuhnya yang membusuk masih memenuhi hidung kami. Ini sangat memuakkan dan tidak dapat dijelaskan.

Tiba-tiba, kami mengalami kengerian. Bulu kuduk kami naik. Tubuh kami bergetar. Kami gentar. Suara misterius terdengar dari ruangan di mana mayat itu terbaring. Kami memandang ke arah suara itu berasal dan kami melihatnya, Tuan. Kami berdua melihat dengan jelas sesuatu berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur, lalu jatuh di atas karpet, dan menghilang di bawah sebuah kursi.

Kami sudah berdiri sebelum sempat berpikir. Seluruh perhatian kami terfokus pada teror yang membius, dan kami siap untuk lari terbirit-birit. Kemudian kami saling memandang wajah masing-masing. Kami sangat pucat. Jantung kami berdebar cepat seakan-akan kami dapat melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya adalah yang pertama membuka suara:

“Apakah kamu melihatnya?”

“Ya, saya melihatnya.”

“Apakah menurutmu ia masih hidup?”

“Masih hidup bagaimana? Tubuhnya sudah membusuk.”

“Apa yang mesti kita lakukan?”

Teman saya menjawab dengan agak ragu-ragu, “Kita harus memeriksanya.”

Saya membawa lilin dan berjalan mendahuluinya, memeriksa seluruh sudut gelap ruangan mayat yang besar itu. Tidak ada sesuatu pun yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang kemudian berhenti, dicekam keheranan dan kengerian. Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menyeringai dengan bibir tertutup rapat dan pipinya tampak cekung.

Saya berkata gugup, “Ia tidak mati!” Namun bau busuk itu kembali memenuhi hidung saya dan membuat sesak napas. Dan saya berdiri di sana. Menatap tajam ke arahnya dengan begitu takut seolah-olah akan ada penampakan.

Teman saya mengambil lilin yang berada di samping ranjang dan tanpa berkata apapun ia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi dekat ranjang, sesuatu berwarna putih tergeletak di atas karpet berwarna gelap.

Ternyata benda misterius itu adalah gigi palsu Schopenhauer. Dengan posisi menganga seakan-akan siap menerkam. Nampaknya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya. Menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya.

Saya benar-benar ketakutan. Malam itu sungguh menakutkan, Tuan…

***

Dan ketika matahari mulai terbenam menuju lautan yang berkilauan, orang Jerman yang mengidap tuberkulosis itu bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badannya padaku, dan masuk ke dalam hotel.

Minggu, 10 September 2023

The Kingdom That Failed - Murakami (Cerpen Translasi)

Illustration by Jordan Moss
*Ditulis Haruki Murakami dalam bahasa Jepang—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jay Rubin (cerita ini terbit di The New Yorker pada 13 Agustus 2020)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Tepat di belakang kerajaan yang gagal mengalir sungai kecil yang menawan. Airnya jernih, arusnya tampak indah, dan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Seekor ikan memakan gulma yang tumbuh di sana. Sang ikan, tentu saja, tak peduli apakah kerajaan itu gagal atau tidak. Apakah itu berupa kerajaan atau sebuah republik tak ada bedanya bagi mereka. Mereka tak melakukan pemungutan suara ataupun membayar pajak. Tak ada bedanya bagi kami, pikir mereka.

Aku mencuci kakiku di sungai itu. Meskipun hanya terendam sebentar, airnya yang sedingin es membikin kakiku merah. Dari sungai ini, kau dapat melihat tembok-tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, tampak bendera dengan dua warna berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, “Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal.”

***

Q dan aku adalah teman—atau lebih tepatnya, ‘pernah’ berteman semasa kuliah. Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Itulah mengapa aku pakai kata ‘pernah’. Yang jelas, kami berteman.

Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q—menjelaskannya sebagai pribadi—aku selalu merasa kesulitan. Aku memang payah menjelaskan apa pun, tetapi tanpa hal itu pun, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti merasa berada di jurang keputusasaan.

Mari membuatnya lebih sederhana, sejauh yang kubisa.

Q dan aku seumuran, tetapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tak pernah memaksa atau membual, dan ia tak pernah marah jika seseorang secara tak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, “Oh, tidak apa-apa, aku juga sering begitu.” Tapi faktanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.

Ia juga tumbuh dengan pola asuh yang baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang. Bukan berarti kelebihan pula. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlet hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk menghadapi ujian, tapi tidak pernah mengulang satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen menjelaskan.

Ia secara mengejutkan sangat berbakat dengan piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis—Balzac dan Maupassant. Sesekali ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.

Secara alami ia populer di kalangan perempuan. Tapi ia bukan tipe lelaki yang “perempuan manapun bisa digaet”. Ia punya pacar tetap, seorang mahasiswi tingkat dua yang cantik dari sebuah kampus elit khusus perempuan. Mereka kencan setiap hari Minggu.

Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.

Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam-meminjam garam atau saus salad, kami jadi teman, dan bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.

Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q sedang duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang perempuan cantik berbikini dengan kaki semampai.

Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, di umurnya yang tiga puluh tahun lebih, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.

Ia tak menyadari aku yang duduk di sebelahnya. Aku lelaki yang terlihat
biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, tetapi pada akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan perempuan itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tak enak hati untuk menyelanya. Lagipula tak banyak yang bisa kami bicarakan. “Aku pernah meminjamakanmu garam, ingat?” “Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad.” Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.

Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.

“Tidak mungkin,” kata perempuan itu. “Kau pasti bercanda.”

“Aku tahu, aku mengerti,” kata Q. “Aku paham betul apa yang kau katakan. Tapi kau juga harus memahami posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku hanya memberi tahumu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan memandangku dengan tatapan seperti itu.”

“Yah, baiklah,” jawabnya.

Q menghela nafas.

Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka—dengan tambahan imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacamnya, dan perempuan itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Ia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang menurun. Tugas untuk memberi tahu itu diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasional sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, maka aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tetapi kurasa tak jauh dari semua itu.

Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.

“Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor,” katanya. “Aku tidak perlu memberi tahumu—kau tahu cara kerjanya.”

“Jadi maksudmu kau tak bertanggung jawab atau tak bisa mengatasi masalah ini?”

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi yang bisa kulakukan sangat terbatas.”

Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Perempuan itu ingin tahu seberapa banyak Q telah berjuang untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan perempuan itu tidak percaya. Aku juga tak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Oleh karenanya, tak ada jalan keluar dari percakapan ini.

Tampaknya perempuan itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka akur hingga masalah ini muncul. Itulah yang membuatnya semakin marah. Karena ia menaruh rasa pada Q. Namun pada akhirnya, ialah yang menyerah.

“Oke,” kata perempuan itu. “Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku Cola, oke?”

Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stan minuman. Perempuan itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.

Tak berselang lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan segelas kepada perempuan itu, ia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. “Jangan terlalu bersedih tentang ini,” katanya. “Sekarang, setiap hari kau akan—”

Tapi, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat tersebut, perempuan itu melemparkan gelasnya yang masih penuh ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar satu per tiga dari Coca-Cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget. 

Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. “Maaf,” katanya dan mengulurkan handuk padaku.

“Tidak apa-apa,” jawabku. “Nanti aku mandi saja.”

Tampak sedikit kesal, ia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.

“Setidaknya biarkan aku mengganti rugi bukunya,” katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan Cola pada buku itu dan mencegahku membacanya berarti telah menyelamatkanku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum manis, seperti biasanya.

Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf kepadaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Ia tidak pernah menyadari siapa aku.

***

Aku memutuskan memberi judul “Kerajaan yang Gagal” pada cerita ini karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. “Melihat kerajaan yang indah memudar,” katanya, “jauh lebih menyedihkan ketimbang melihat keruntuhan republik kelas dua.”

Senin, 03 Juli 2023

Translasi Puisi-Puisi Qabbānī


Aku Menaklukkan Dunia dengan Kata-kata

Aku menaklukkan dunia
dengan kata-kata, taklukkan
bahasa ibu, sintaksis,
kata kerja, kata benda.

Aku menghapus muasal
dari segala perihal
dan dengan bahasa baru
yang mempunyai bebunyi air
pesan-pesan api
aku menyalakan masa depan
dan menghentikan
waktu di matamu
dan meruntuhkan sekat
yang menjauh-pisahkan
waktu dari apa yang-kini.

-

Bahasa

Ketika seorang lelaki jatuh cinta
Mungkinkah terucap kata-kata purba?
Mestikah seorang perempuan
Menghendaki kekasihnya
Berbaring dengan
Linguis dan ahli bahasa?

Tak ada yang kubahasakan
Pada perempuan tercinta
Kecuali memasukkan
Kata sifat cinta ke dalam koper
dan melarikan diri dari semua bahasa.

-

Ketika Aku Mencintaimu

Ketika aku mencintaimu, bahasa
baru merekah, kota-kota baru,
dan negeri-negeri baru terjelajahi.
Waktu bernafas bagai anak anjing,
Biji gandum tumbuh di setiap halaman buku,
Burung-burung terbang dengan sepasang lebah madu dari kerling matamu
Rombongan kafilah membawa ramuan-ramuan India, datang dari sepasang payudaramu
Buah mangga berjatuhan, hutan-hutan menyimpan unggunan api
Dan berbunyilah drum orang-orang Nubi.

Ketika aku mencintaimu, payudaramu berguncang menahan malu,
Berubah menjadi guruh dan petir,
jadi pedang, jadi badai pasir.
Ketika aku mencintaimu, kota-kota Arab bangkit dan berdemonstrasi
terhadap zaman represi,
penguasa-penguasa jahat,
dan hukum-hukum adat
yang pilih kasih.
Dan aku, ketika aku mencintaimu
Berlari melawan kebobrokan
Melawan raja lautan,
Melawan institusionalisasi gurun pasir.
Dan aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia
Aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia.

-

Cahaya Lebih Penting dari Lentera

Cahaya lebih penting dari lentera,
Puisi lebih penting dari buku catatan,
Dan ciuman lebih penting dari bibir.
Surat-suratku untukmu
Lebih agung dan lebih penting dari kita berdua.
Di sanalah satu-satunya guratan
Di mana orang-orang akan menemukan Kecantikanmu
Dan kegilaanku.
-

Perbandingan Cinta

Aku tak serupa dengan kekasih-kekasihmu yang lain, perempuanku
Bila yang lain memberimu awan
Kuberikan kau hujan
Bila yang lain memberimu lentera,
Akan kuberi kau rembulan
Bila yang lain memberimu ranting
Akan kuberi kau pohonan
Dan bila yang lain memberimu sebuah kapal
Akan kupersembahkan kau sebuah perjalanan.

*****

Nizār Qabbānī adalah salah satu penyair Arab modern terbesar, bahkan dijuluki Raja Penyair Arab.

Sumber literatur:
Modern Arabic Poetry: An Anthology with English Verse Translations, 1950, Arthur J. Arberry

Sabtu, 27 Mei 2023

Translasi Puisi-Puisi Hemingway


Tahanan

Beberapa datang dengan rantai
ketaksesalan tapi kelelahan.
Terlalu lelah tapi tersandung keadaan.

Berpikir dan membenci telah selesai
Berpikir dan berkelahi telah selesai
Mundur dan berharap telah selesai.

Penyembuhan hasilkan perang
yang panjang, yang lancarkan
kematian.

-

Untuk Orang Baik yang Mati

Mereka mengisap kita;
Raja dan negara,
Tuhan yang Mahakuasa
Dan sisanya.
Patriotisme,
Demokrasi,
Kehormatan—
Kata dan frasa,
mengolok-olok
atau membunuh kita.

-

Pada Akhirnya

Dia coba muntahkan kebenaran;
Dengan mulut yang kering,
pada mulanya, Dia menitikkan
air liur dan meneteskan air liur
pada akhirnya; Kebenaran
mengucurkan rahangnya.

-

Yang Dipinta Usia

Usia meminta agar kita bernyanyi
dan memotong lidah kita.
Usia menuntut kita mengalir
dan memalu penutup tangki.
Usia memaksa kita menari
dan jejalkan kita ke dalam celana besi.

Dan pada akhirnya usia menyerahkan
jenis omong kosong yang pernah dipintanya.

-
Montparnasse

Tak pernah ada kasus bunuh diri pada usia muda
di antara orang-orang yang-tak-dikenal—
tak ada percobaan bunuh diri yang menggores sukses.
Seorang pemuda Tionghoa yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(mereka terus meletakkan surat-surat
di kotak surat pemuda malang itu)
Seorang pemuda Norwegia yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(tak ada yang tahu ke mana pemuda Norwegia
yang-tak-dikenal lainnya pergi)
Mereka menemukan sebuah tubuh terbujur pasi
di tempat tidur dan telah menjemput kematian.
(bagi seorang concierge hotel mewah itu adalah
masalah yang hampir tak tertahankan).

Minyak manis, putih telur, mustard dan air,
busa sabun, dan pompa perut menyelamatkan
orang-orang yang-dikenal. Setiap sore, orang-orang
yang-dikenal dapat ditemukan di kafe-kafe.

*****

Ernest Hemingway adalah seorang novelis dan cerpenis Amerika yang dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1954. Gaya prosanya yang ringkas dan terang memberikan pengaruh kuat pada sastra Amerika dan Inggris pada abad ke-20. Sebelum fokus sebagai prosais, di masa muda, Hemingway tekun menulis puisi.

Sumber literatur:
Ernest Hemingway, My Poetic Side:
https://mypoeticside.com/poets/ernest-hemingway-poems

Senin, 22 Mei 2023

Translasi Puisi-Puisi Almadhoun



Perempuan

Kau;
yang menjejaki
anggur sampai jadi wine
dengan telanjang kaki
semenjak sejarah bermula
yang terkunci di Sabuk Suci
di Eropa
yang dibakar sampai mati
di Abad Pertengahan
yang menulis novel
di bawah nama samaran lelaki
hanya agar bisa dipublikasikan
yang memanen teh
di Sri Langka
yang membangun ulang
Berlin pascaperang
yang menumbuhkan kapas
di Mesir
yang melumuri tubuhnya
dengan kotoran
demi hindari pemerkosaan
tentara Prancis yang bengis
di Algeria
perempuan perawan
di Kuba
yang melinting cerutu
di atas paha mereka
bagian gerilyawan Black Diamond
di Liberia
penari samba
di Brasil
perempuan yang wajahnya
dihancurkan
racun asam
di Afghanistan...

Ibuku…
Maafkan aku.

-

Kami

Kami, yang berserakan dalam potongan-potongan, yang dagingnya terbang di udara seperti tetesan hujan, menawarkan permintaan maaf kami yang mendalam kepada semua orang di dunia yang beradab ini, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, karena kami secara tak sengaja muncul di rumah-damai mereka tanpa meminta izin.

Kami mohon maaf karena telah memasukkan bagian tubuh kami yang tercerai-berai ke dalam ingatan mereka yang seputih salju, karena kami telah menodai citra manusia yang normal dan utuh di mata mereka, karena kami memiliki ketidaksopanan untuk melompat tiba-tiba ke buletin berita dan halaman-halaman majalah, internet dan pers, bertelanjang, dengan darah dan sisa-sisa hangusnya tubuh kami.

Kami meminta maaf kepada semua orang yang tak memiliki keberanian untuk melihat langsung luka-luka kami, karena takut mereka akan terlalu merasa ngeri, dan kepada mereka yang tak dapat menyelesaikan makan malam mereka setelah mereka secara tak terduga melihat gambar-gambar segar kami di televisi.

Kami mohon maaf atas penderitaan yang kami sebabkan kepada semua orang yang melihat kami seperti itu, apa adanya tanpa hiasan, tanpa ada upaya yang dilakukan untuk menyatukan kami kembali atau menyatukan kembali jenazah kami sebelum kami muncul di layar mereka.

Kami juga meminta maaf kepada tentara Israel yang harus bersusah payah untuk menekan tombol tembak di pesawat dan tank mereka untuk meledakkan kami, dan kami meminta maaf atas betapa mengerikannya penampilan kami setelah mereka mengarahkan peluru dan bom mereka langsung ke kepala kami yang lunak, dan untuk waktu-waktu yang kini akan mereka habiskan di klinik psikiatri, mencoba menjadi manusia lagi, seperti sebelum kami berubah menjadi bagian-bagian tubuh menjijikkan yang mengejar mereka setiap kali mereka mencoba untuk tertidur lelap.

Kami adalah apa yang telah kalian lihat di layar dan di media, dan jika kalian berusaha menyatukan potongan-potongan itu, seperti puzzle, kalian akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang kami, sangat jelas sampai kalian merasa tak akan bisa melakukan apa-apa lagi.

-

Pembantaian

Pembantaian adalah metafora mati yang memakan teman-temanku, memakan mereka tanpa garam. Mereka adalah penyair dan telah menjadi Reporters With Borders; mereka sudah lelah dan sekarang mereka bahkan jauh lebih lelah. 'Mereka menyeberangi jembatan saat fajar menyingsing hari' dan mati tanpa jangkauan telepon sama sekali. Aku melihat mereka melalui kacamata malam dan mengikuti panas tubuh mereka dalam kegelapan; di sanalah mereka, melarikan diri darinya bahkan ketika mereka berlari ke arahnya, menyerah pada pijatan besar ini. Pembantaian adalah ibu mereka yang sebenarnya, sedang genosida tak lebih dari sebuah puisi klasik yang ditulis oleh para intelektual pensiunan jenderal. Genosida tak pantas untuk teman-temanku, karena ini adalah tindakan kolektif yang terorganisir dan tindakan kolektif yang terorganisir mengingatkan mereka pada Sayap Kiri yang mengecewakan mereka.

Pembantaian bangun pagi, memandikan teman-temanku dengan air dingin dan darah, mencuci pakaian dalam mereka dan membuatkan roti dan teh, lalu mengajari mereka sedikit tentang berburu. Pembantaian lebih berbelas kasih kepada teman-temanku ketimbang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pembantaian membuka pintu bagi mereka ketika pintu lain ditutup, dan memanggil mereka dengan nama-nama mereka ketika laporan berita hanya mencari angka-angka. Pembantaian adalah satu-satunya yang memberi mereka suaka terlepas dari latar belakang mereka; keadaan ekonomi mereka tak mengganggu Pembantaian, Pembantaian juga tak peduli apakah mereka intelektual atau penyair, Pembantaian melihat hal-hal dari sudut pandang yang netral; Pembantaian memiliki ciri-ciri kematian yang sama dengan mereka, nama yang sama dengan istri janda mereka, seperti mereka melalui pedesaan dan pinggiran kota dan muncul tiba-tiba seperti mereka dalam berita utama. Pembantaian menyerupai teman-temanku, tetapi selalu datang sebelum teman-temanku di desa-desa yang jauh dan sekolah-sekolah anak.

Pembantaian adalah metafora mati yang keluar dari televisi dan memakan teman-temanku tanpa sedikit pun garam.

-

Untuk Damaskus

Ini membunuhku, musim panas ini
yang merembes
melalui retakan Damaskus, aku merangkak seperti karat
di pintu penjara yang berubah
menjadi sebuah museum ini. Ini aku, yang duduk
takut dan malu di kafe pada hari-hari ketika uang
begitu langka, dan tertawa sekeras-kerasnya
pada hari-hari ketika kantongku terisi paripurna. Damaskus
adalah rumahku yang retak, dan
Kasyon adalah apa yang kuratapi. Aku sebarkan
di malam hari seperti klakson mobil
dan gerobak kacang yang besar, aku dikenal
orang asing dan turis. Aku tak memiliki pagar, setiap
kebahagiaan yang telah mengkhianati wajahku
kembali meminta maaf dari tawaku. Aku
adalah campuran aneh yang berkuasa
di langit orang miskin dan pakaian
di jendela di depan toko. Tubuhku adalah
ladang gandum yang terbakar, lidahku mencaci
seperti sepatu. Petugas polisi, guru,
dan pria misterius itu menatapku, maka aku
dengan sedih tertawa, dan mereka
dengan riangnya menangis. Damaskus
adalah milikku, dan aku tak akan
mengizinkan siapa pun
untuk membagi tempat tidurku, selain
kepada mereka yang jahat
dan para pelacur. Aku adalah tangga
yang menurun
ke lubang yang didirikan tinggi, dan
jejak pencuri di atas pasir. Tubuhku
adalah hotel bagi mereka yang pergi.
Kata-kataku adalah Injil kecil
yang hilang oleh para nabi, maka mereka
yang sesat mengadopsi.
Karena itu aku akan
membuang remah-remahnya
pada burung kawat berduri, dan aku akan
mengebiri kejayaan pada aspal. Inilah yang
mereka ajarkan kepada kami
di sekolah umum, maka
mereka melepaskan kami seperti kelinci
untuk mengunyah rumput dari penyerahan.
Aku berkata kepadamu bahwa aku tak akan
izinkan siapa pun menyelinap masuk
dan melihat Damaskus sebagai
seorang perempuan
yang mandi sendiri, payudara
kecilnya terbuka dengan malu, aku tak akan membiarkanmu ...
masuk.

-

Ode untuk Kedukaan

Kami mencintaimu, Eropa, kau benua tua. Aku tak tahu mengapa mereka menyebutmu tua pedahal kau masihlah muda dibandingkan dengan Mesir dan Mesopotamia.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membayar pajak-pajakmu seperti yang dilakukan orang kulit putih, dan tahan dengan suasana hatimu yang berubah-ubah, yang menyerupai cuacamu, dan kekurangan vitamin D yang serius, yang disebabkan gelapnya musim dinginmu. Kami mencintaimu dan sedih dengan kenyataan bahwa kami tak akan pernah terbiasa dengan kegelapan suram di musim dinginmu yang begitu panjang, karena inilah teman-teman Eropa kami, maksudku penduduk aslimu yang lahir di Utaramu yang dingin dari seorang ibu dan ayah Arya, menderita depresi seperti kami dan kekurangan vitamin D, karena, menurut teori evolusi, mereka juga adalah Homo Sapiens, yang berasal dari Afrika. Penghuni aslimu yang sebenarnya, maksudku Neanderthal yang berevolusi selama zaman es hingga mereka dapat menahan rasa dinginmu itu, sekarang telah punah.

Kami mencintaimu, Eropa, dan kami tak menyangkal bahwa kami datang kepadamu dari negara-negara dunia ketiga yang terbelakang, begitu, kau menyebutnya. Aku sendiri berasal dari Damaskus dan mengalami banyak klise, stereotip, dan prasangka dari penulis-penulis dan penyair-penyairmu. Terlepas dari kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai seorang feminis, aku menjadi bosan dan muak dengan pertanyaan dangkal yang terus-menerus dilontarkan tentang situasi perempuan di Timur Tengah. Aku mengakui sepenuhnya bahwa perempuan di Suriah mendapat hak untuk memilih pada tahun 1949, tetapi di Swiss, pusat uang-uangmu dan uang dari kediktatoran kami dan rekening bank rahasia mereka, perempuan mendapat hak untuk memilih pada tahun 1971, dan tentu saja itu tak ada di semua kanton di Swiss: kanton Appenzell Innerrhoden hanya memberikan hak suara penuh kepada perempuan pada tahun 1991, ya Tuhan!

Kami mencintaimu, Eropa. Kami menyukai kebebasan yang kau berikan kepada kami ketika kami jatuh ke pelukanmu, dan kami berpura-pura tak memerhatikan rasisme yang coba kau sembunyikan di bawah karpet saat kau membersihkan ruang tamu.

Kami mencintaimu, Eropa, nyonya kolonialisme masa lalu, pembantai penduduk asli, pengisap darah orang-orang dari India sampai Kongo, dari Brazil hingga Selandia Baru.

Nyonya Penyelidik, pembakar perempuan dengan alasan bahwa mereka adalah penyihir, nyonya pedagang budak yang mengangkut orang kulit hitam ke dunia baru, pencipta politik apartheid di Afrika Selatan, pendiri fasisme dan Nazisme, penemu solusi terakhir untuk membinasakan orang Yahudi, solusi terakhir yang menyebabkanku terlahir sebagai pengungsi kamp Yarmouk di Damaskus karena kau memiliki keberanian untuk menyerahkan negaraku Palestina sebagai pembayaran, kompensasi, dan solusi untuk Holocaust yang dilakukan oleh penduduk kulit putihmu, yang percaya pada kemurnian ras Arya.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membawa paspor-mu yang membukakan seribu pintu bagi kami, semudah peluru-mu merobek daging jutaan orang Algeria yang ingin menikmati kebebasan yang dielu-elukan Revolusi Prancis-mu.

Kami mencintaimu, Eropa. Kami mencintai seni-mu dan membenci sejarah kolonialisme-mu, mencintai teater-mu dan membenci kamp konsentrasi-mu, mencintai musik-mu dan membenci suara bom-mu, mencintai filsafat-mu dan membenci Martin Heidegger-mu, mencintai sastra-mu dan membenci orientalisme-mu, mencintai puisi-mu dan membenci Ezra Pound-mu, mencintai kebebasan berekspresi dalam batas-batas-mu sendiri dan membenci Islamofobia-mu, mencintai peradaban maju-mu, sekulerisme-mu, hukum-mu yang adil dan hak asasi manusia di wilayah-mu sendiri, dan membenci rasisme-mu, standar ganda-mu, pandangan arogan-mu, dan sejarah berdarah-mu.

Ambil Nazisme dan beri kami Immanuel Kant
Ambil Blackshirts dan beri kami anggur Italia
Ambil genosida di Algeria dan beri kami Baudelaire
Ambil Leopold the Second dan beri kami René Magritte
Ambil Adolf Hitler dan beri kami Hannah Arendt
Ambil Franco dan beri kami Cervantes
Ambil barang-barangmu dan biarkan kami mengambil apa-apa yang milik kami itu.

*****

Ghayath Almadhoun adalah seorang penyair Palestina yang lahir di Damaskus pada tahun 1979 dan berimigrasi ke Swedia pada tahun 2008. Saat ini, ia tinggal di antara Berlin dan Stockholm.

Sumber literatur:
Ghayath Almadhoun, Poetry in English:
https://www.ghayathalmadhoun.com/

Rabu, 10 Mei 2023

Translasi Puisi-Puisi Pessoa



Aku Tahu, Aku Sendiri

Aku tahu, aku sendiri
Betapa lukai, hati ini
Tanpa iman atau aturan
Atau melodi atau gagasan.

Hanya aku, hanya aku
Tak ada yang bisa kubahasakan
Karena perasaan bagai langit—
Terindra mata, kehampaan.

-

Autopsychography

Penyair dipenuhi kepura-puraan.
Dengan sangat teliti, hingga
Dia berhasil memalsukan kesakitan.

Sakit yang benar-benar dia rasakan;

Dan para pembaca karangannya
Jelas merasa, dalam sakit yang terbaca,
Tak satu pun rasa sakit itu miliknya,
Hanya sakit yang tak mereka pahami.

Maka, di sekitar jejaknya yang guncang
Kencang berlari, 'tuk sibukkan akal budi,
Sebuah kereta mengitari jarum jam
Yang manusia sepakati sebagai hati.

-

Matamu Menyedih

Matamu menyedih. Kau tak
dengarkan apa yang kukatakan.
Matamu mengagut, bermimpi,
dan mengabut. Tak acuh;
aku mengawang jauh.

Kunarasikan apa yang telah berlalu,
dari kesedihan yang lesu,
begitu melulu ...
Kupikir kaupernah mendengarkan,
tapi tidak, tak ada telingamu.

Tiba-tiba,
Tatapan yang hilang, kau menatapku,
masih jauh tak terkira,
kau menyimpul senyum.

Aku terus berbicara. Sedang kau
terus dengarkanpikiranmu sendiri,
senyuman yang hilang;

Hingga, lewati kemalasan
Sore yang terbuang sia-sia,
Keheningan membuka diri
Dari senyummu yang tak berguna.

-
Sesekali Aku Punya

Sesekali aku punya ide-ide bahagia,
Ide-ide tiba-tiba bahagia, di antara ide-ide
Dan kata-kata di mana mereka biasa bebas

Setelah menulis, aku membaca…
Apa yang membuatku menulisnya?
Di mana aku pernah menemukannya?
Dari mana hal itu datang kepadaku?
Itu lebih baik dariku…

Haruskah kita mengada, di dunia ini,
paling tidak, jadi pena dan tinta
yang digunakan seseorang
untuk mengarang dengan rapi
dan tepat apa yang kita guratkan
di sini?

-

Yang Tak Terhitung Jumlahnya

Yang tak terhitung jumlahnya
tinggal di dalam kita; ketika aku
memikirkan atau merasakan,
aku tak tahu siapa yang memikirkan
atau siapa yang merasakan.
Aku hanyalah sebuah tempat
dari perasaan atau pikiran.

Aku memiliki lebih dari satu jiwa.
Ada lebih banyak aku dari diriku sendiri.
Aku ada tapi tak peduli
kepada mereka semua.
Aku bungkam mereka:
aku berbicara.

Impuls yang bertentangan dari apa
yang-kurasakan atau
yang-tak-kurasakan;
sengketa di dalam,
siapa diriku sebenarnya?
Aku mengabaikan mereka.
Mereka tak mendikte kepada
seseorang yang kutahu.
Aku menulis.

*****
Fernando António Nogueira Pessoa adalah seorang penyair kritikus sastra, penerjemah, dan intelektual Portugis—digambarkan sebagai salah satu tokoh sastra terpenting abad ke-20 serta salah satu penyair terbesar dalam bahasa Portugis.

Sumber literatur:

Twenty Poems Fernando Pessoa, Translated by A. S. Kline: https://www.poetryintranslation.com/PITBR/Portuguese/FernandoPessoa.php#anchor_Toc503461473

Minggu, 29 Januari 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html