Wednesday 23 June 2021

Puisi: Jika Hidup adalah Tanda Baca; maka Kehidupan adalah Tanda Tanya Tanpa Titik—yang Lumayan Seru, tetapi Penuh Koma

terkadang aku membayangkan jika dilahirkan sebagai kuda liar di padang sabana; hanya berlari-lari, bebas, ke sana-ke mari & meringkik hihi-hihi. tak perlu sekolah, tak perlu bekerja, tak perlu menikah, tak perlu bertanya-tanya apakah ada kehidupan setelah kematian, tak perlu memikirkan: apakah kompleks Piramida Giza adalah ulah alien yang iseng ataukah sebuah bukti dari betapa jeniusnya nenek moyang umat manusia?

aku tak perlu meresapi betapa gabutnya Adam & Hawa ketika masih di taman surga. tak perlu merenungi betapa tersiksanya setan yang selalu dikambinghitamkan atas semua kejahatan. tak perlu berempati pada hewan yang kalah binatang ketimbang manusia. tak perlu memerhatikan manusia-manusia lain yang dewasa ini ditelan kanal-kanal media sosial. tak perlu menertawai betapa bloonnya orang-orang di Eropa sana sebelum Renaissance.
 
atau betapa susahnya Neanderthal membuat percikan api dari batu sekitar 50.000 tahun lalu. atau serumit apa metode komunikasi dari satuan bahasa sebelum adanya Lingua Franca. atau sesederhana apa bahasa yang digunakan di Menara Babel yang melegenda. atau kodifikasi macam apa yang mengikat penyair dalam semacam kredo Lisensi Puitika. atau betapa pentingnya lukisan bunga matahari yang dilukis van Gogh pada tahun 1887 bagi tradisi ilmu seni rupa.
 
atau betapa kesepiannya Darwin ketika 35 hari meneliti teori seleksi alam di Kepulauan Galapagos. atau betapa bingungnya Einstein menjelaskan Relativitas Waktu pada manusia yang tak pernah tepat datang tepat waktu. atau memantik mata kuliah semantik di kepala anak TK. atau betapa bersalahnya senyawa kimia arsenik ketika dipakai untuk membunuh seorang aktivis hak asasi manusia di atas udara. atau bagaimana rasanya meminum kopi campur sianida saat asam lambung sudah di depan mata.

betapa aku tak perlu memikirkan mengapa Hemingway bunuh diri sekitar 3 minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-62. atau mengapa orang-orang keren bunuh diri di umur 27 tahun. atau mengapa orang-orang naif selalu berumur panjang, sepanjang pertanyaanku, tentang mengapa kurikulum sejarah kita memfitnah bahwa Daendels tak membayar upah para pekerjanya dalam proyek jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer jauhnya.

o betapa aku tak perlu mengingat betapa gobloknya Mao yang menyuruh warganya untuk membunuh sekitar 600 juta ekor burung gereja. atau betapa kacaunya Wabah Pes di Pulau Jawa. atau betapa mengerikannya bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina. atau betapa rusuhnya peristiwa Tanjung Priok. atau pecahnya perang saudara di Amerika Serikat. atau mengingat-ngingat betapa berdarahnya Perang Salib atas nama agama. atau mengenang betapa jayanya Filsafat di kota Athena yang selalu tampak dungu di kepala orang-orang Sparta.

atau menafsir gelapnya kosmologi dari buku-buku yang berat itu. atau mengungkap siapa orang tolol di balik patung-patung Moai. atau ada apa di Area 51. atau mengapa Silicon Valley mengawali kedigdayaan AI. atau mengapa industri fesyen melaju dengan sangat cepat. atau mengapa skena musik indie bersinonim dengan senja, kopi, & puisi. atau mengapa pesatnya teknologi membuka lubang-lubang kelinci baru bernama depresi. atau mengapa pada akhirnya utopia berganti baju menjadi distopia.

atau mengapa orang-orang berjudi di Miraza. mengapa di Bogor hujan terjadi hampir setiap hari. mengapa di Afrika, panas & kelaparan adalah makanan sehari-hari. mengapa di Jalur Gaza, misil, rudal, & batu adalah kunci. mengapa di India, Kasta Dalit lebih rendah dari sampah. mengapa di Catalunya, kemerdekaan sama dengan halusinasi. mengapa di Selandia Baru, suku Māori menandai kepunahan Burung Moa. mengapa di Australia, umat manusia kalah perang dengan Burung Emu. mengapa di Kalimantan, Orang Utan kalah telak dari Orang Tambang.

atau menimbang-nimbang kemungkinan jika aku tak dilahirkan di tahun 2000. atau tak pernah dilahirkan sama sekali. atau mencari diriku sendiri yang sudah hilang bersama pandemi jahanam ini. atau mencari cara agar aku bisa secepatnya moksa, memutus rantai-karma, & meludahi semua omong kosong di atas simulasi samsara ini. atau pasrah dengan mengucap Lahaula Walakuata. atau Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā. atau merapal mantra andalan seperti Amorfati; ya sudahlah mau bagaimana lagi.

o betapa aku ingin sekali berkata bahwa hidup berjalan seperti menaiki bianglala di pasar malam yang sudah tutup. & betapa aku ingin menggugat Tuhan: ya Tuhanku, jika hidup adalah adalah tanda baca; maka aku adalah tanda tanya yang tak akan pernah bosan menodong-Mu dengan miliaran pertanyaan—yang selalu berkembang biak dalam bekunya setiap jawaban dari-Mu

***

(ceritanya ganti adegan & tata bahasa)

mula-mula Thales berkata: semua berasal dari air & akan kembali ke air. diikuti dengan Anaximander yang berkata: semua berasal dari Apeiron, semacam sesuatu yang tak diketahui itu adalah apa. Hmmm seperti itu, begitu ujarku. lalu, Anaximenes berkata: semua berasal dari udara. tapi masa iya? begitu ucapmu. entahlah sayang, hanya Aang, Appa, Avatar Roku, & tukang kipas angin yang tahu.

tak mau kalah, Heraclitus berkata: semua berasal dari api. terdengar seperti doktrin-dogma Agama Majusi, begitu katamu sembari menatap tajam mata Freddie yang sedang menyanyikan lagu—tentang Galilei berjudul Bohemian Rhapsody. maka berbicaralah Zarathustra: aku hanya percaya pada Tuhan yang tahu caranya menari. Si Dinamit tersenyum, kemudian melakukan tarian sufi bersama Rumi sampai mati.

sedang Parmenides hanya berkata: realitas adalah lingkaran sempurna yang tak bergerak, terbagi, & berubah, singkatnya monoton. ya begitulah, sama, stagnan, & tanpa kemungkinan untuk mengembang. tapi sayangku, adakah seseorang yang menaruh rasa peduli pada perasaan Isaac Newton yang mengganti namanya menjadi Isaac Tangis—setelah kerangka statis alam semesta buatannya, dihantam Planck bersama kenyataan bahwa alam semesta memang terus mengembang.

tapi alam semesta memang mengembang, sayang. seperti roti yang diberi baking powder. & Einstein memenangkan tender ilmu pengetahuan. & Fisika Klasik berganti baju menjadi Mekanika Kuantum. persis seperti dosis obat lithium karbonat yang sengaja kuganti dengan mencium keningmu setelah melalui hari-hari yang bangsat, rindu-rindu keparat, makna-makna hidup tanpa alamat, & mood-swing yang laknat. lupakan, mari kita berpindah ruang-waktu.

pagi itu, kita melihat abad-abad Pencerahan di Eropa ditandai dengan Descartes yang berujar: Cogito Ergo Sum; aku berpikir, maka aku ada. di sore hari kita melihat Camus dengan gebrakannya: Je Me Rebelle Donc J’existe; aku berontak, maka kita ada. ketika malam tiba, kita menyaksikan masyarakat konsumer di zaman kontem-pler berseru: aku belanja, maka aku ada. esoknya kita terbangun oleh suara-suara bising digitalisasi: Selfito Ergo Sum; aku selfie, maka aku ada. & langsung panik mendengar sangkakala alterasi-budaya: Covido Ergo Zoom; aku covid, maka aku zoom.

apa itu ada? sedang Siti Jenar berkata: ada adalah tiada & kekosongan ini bernyawa. apa itu ada? kata Hegel di The Phenomenology of Spirit yang tak pernah selesai kubaca. apakah ada itu tak ada maknanya? serupa mencari rasio emas di zaman perunggu. pencarian ini takkan merubah kenyataan bahwa kita “Too Poor for Pop Culture” seperti yang pernah dituliskan D. Watkins & digaungkan kembali oleh F. Stevy.

tanyakan saja pada seekor kucing yang diletakkan di sebuah kotak tertutup bersama sebuah botol berisi racun sianida. pertanyaannya, apakah kucing itu masih hidup? nyatanya Schrödinger muak dengan semua omong kosong ini, lalu menelurkan bahasa:

                    G                               G
                      G                           G
                         G                     G
                            G               G
                               G         G
                                  G   G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G

(2021)

Tuesday 15 June 2021

Puisi: Bumi Manusia Tanpa Nama

Malam itu, di kos-kosan, kau melihatku mengunyah kosakata merdeka yang belum matang secara paripurna. Lagi & lagi, tentu dengan gigi curian yang kudapat dari bahasa Sanskerta. “Merdeka itu apa?” begitu katamu dengan nada manja. Terdengar arkais sekaligus manis. “Hmmm apa ya? Mungkin semacam hasrat terpendam dari makhluk berkaki dua tak berbulu yang sering disebut manusia, gairah terdalam setiap hamba, warga negara, budak korporat, sampai masyarakat adat di desa. Maknanya serupa rasa surga di dunia—mungkin juga hanya sekadar utopia: ketidakmungkinan yang diberi alamat kemungkinan oleh kita, manusia, dalam kalimat-kalimat mungkin saja.”

Kau menerawang tanda tanya seraya dikoyak-koyak tata bahasaku. Tapi dengar, dengarlah sayang, dunia biadab ini sepertinya mengidap disabilitas diksi dengan tanda-tanda tuna-rima. Tak semua rasa memiliki bahasa. Tak semua resah memiliki istilah. Hipotesis yang ironis, cenderung fatalis, memang. & terkadang, omong kosong ini berlanjut dengan realitas—yang tiba-tiba menendang esensi merdeka keluar dari jendela pembatas. Lalu kita, harus memberi nafas buatan kepada eksistensi merdeka. Kemudian, berjalan di atas pecahan kaca yang terbuat dari mayat kegagalan dengan sentuhan pesimis yang sudah optimis. Aku ingat, rasanya begitu nendang seperti dihantam Ciu Bekonang, & keras sekali seperti Arak Bali.

Setelah berkontemplasi tiada henti, kau mengajakku untuk menyelami makna agrikultura. Malam kian tenggelam, & sisanya kau habiskan untuk menjambak rambutku. Sontak, Tuhan kabur malam itu. Semasih kau menyebut-nyebut nama-Nya. Bergantian dengan erangan ‘oh ya, oh tidak’. Tidak, gendang telingaku tak kuat menahan lelucon ketika kau melabeli lidahku sebagai Daendels gaya baru. Sungguh, aku tak berminat menjajah tubuhmu dengan roman-roman Cultuurstelsel. Kau meraih ransel di tepi bantal dengan tanganmu. Lihat, tak ada Patriarki dalam sorot mataku. Lantas kau membuka obat tetes mata lalu meneteskannya. Tak ada Misogini pada kedua tanganku. Aku bukan orang yang sadis & kau bahkan bukan masokis.

Namun dari arah bangsal, di samping kos-kosan. Tepatnya dari ketiak jendela, kita melihat para pejabat yang sibuk menyembunyikan bangkai seorang pahlawan. Ah sial, ingin rasanya kubakar dunia ini dengan hipokrisi pemerintah yang tiada habisnya. Persetan dengan itu. Nyatanya, dari pangkal paha sampai pangkal bahumu, tak kutemukan jalan dari Anyer sampai Panarukan. Hanya ketemukan bekas penjajahan di bibirmu. Tapi sejarah selalu ditulis oleh seorang pendusta, sayang. Tak ada bukti kerja paksa di Nusantara, yang ada hanya budaya korupsi. Kompeni tak seburuk yang kita duga. Sejarah negara ini tak sebaik yang kita kira. & bercocok tanam bukan melulu perihal melepaskan seluruh lelah yang masih tersisa.

Papua tak sekadar Isla de Oro alias pulau emas. Seperti yang diungkapkan seorang pimpinan armada laut Spanyol: Alvaro de Saavedra. Tak semudah fitnah yang ditujukan kepada Tan Malaka. Tak sesederhana membaca buku Madilog tanpa dialektika. Komunis tak se-autis yang mereka pikir, percayalah, orang-orang pandir itu bahkan tak bisa membedakan antara Ateisme & Animisme. Antara bacot patriot & miskin logika. Otak mereka terlalu daif, naif, & sakit untuk berpikir secara sehat. Semaun tertawa mendengar ini. Soeharto-lol hengkang dari prosa ini. Bersama ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat yang diduga anggota, dicurigai mengikuti partai terlarang, hingga yang tak berdosa pun mati & hilang entah ke mana.

Sejarah tak pernah selesai hanya dengan disimpan, diterka, & ditelusuri. Ia abadi dalam ingatan manusia, dalam benak kita yang bahkan sudah selesai lalu-lalang di lorong waktu. Memaknai sejarah, tak segampang menelan obat antidepresan ketika depresi mengacak-acak ruang pikiran. Mencari merdeka di dalam negara—juga tak semudah mencari De Facto & De Jure, lalu berteriak: “Hore!”. Ada harapan yang menunggu dikonversi menjadi kenyataan. Ada darah yang masih kental di tengah-tengah pertanyaan. Ada air mata yang larut di atas jenazah ruang & waktu. Ada garuda, & kabar buruknya, ia terpenjara dalam sangkar yang sedang terbakar. Aku memintamu, melupakan sejarah beserta bualan yang mengikutinya. 

Aku jengah. Dalam suasana yang masih gundah, dengan terbata-bata kau bertanya di mana merdeka? Entahlah, aku tak tahu di mana ia berada. Namun bagaimana jika kemerdekaan memang tak pernah ada atau sudah mati? & jika bibirmu masih saja memaksakan untuk mengeja merdeka, bolehkah aku melenyapkan bekas-bekas penjajahan bibirnya di bibirmu—lalu menyusun berkas-berkas kemerdekaan yang baru dengan bibirku sebagai proklamatornya?

(2021)