Showing posts with label ceracau. Show all posts
Showing posts with label ceracau. Show all posts

Monday 15 April 2024

Kapitalis Mana yang Butuh Sastra?

di galaksi ekonomi, terdapat sebuah planet bernama Kapitalis. di planet hijau pucat ini, angka-angka & grafik tumbuh subur layaknya pohon-pohon di hutan Amazon. para penduduknya, yang menyebut diri mereka sebagai Kapitalian, berkomunikasi pakai sistem bahasa yang terdiri dari simbol dolar & persentase. 


perihal bagaimana mereka saling menyapa, mereka menggunakan kalimat, “Bugattimu warna apa?”. untuk bertanya kabar lebih personal, biasanya, mereka menggunakan huruf v atau V (volatilitas rendah atau volatilitas tinggi). semacam kata ‘aman’ dalam bahasa Kapitalian. misalnya begini.


v/V?

v

waduh. butuhkah?

bolehlah.


kurang lebih begitu. 


secara statistik, sembilan puluh sembilan persen dari mereka menyembah Tuhan Stonks yang Mahaprofit. serta menerapkan lima rukun Kapitalian: satu, mengucapkan dua kalimah konglomerat; dua, mendirikan start-up; tiga, membayar pajak penghasilan; empat, menjalankan puasa konsumeristik; lima, naik ferrari bagi yang mampu. 


yang satu persen, adalah mereka yang tak mengimani. mereka menarik diri dari peradaban. retreat ke hutan & kekeh percaya manusia bisa hidup tanpa uang. logis, memang. sebab di hutan, tak ada tukang dagang—yang ada cuma teriakan primata u-u-a-a. maka, kalaulah mereka merasa lapar mulai mencakar-cakar, seperti biasa, mereka akan merajut gelang etnik agar bisa ditukar dengan hasil alam yang bisa dikunyah. paling banter, nasi. singkatnya, barter.


selain itu, di beberapa sudut jalan yang tersentuh peradaban, terdapat plang dilarang P. bukan. bukan dilarang Parkir tapi dilarang Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. di dunia maya, ‘P’ juga berarti Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. bukan Ping. mereka yang trauma terhadap huruf ‘P’ disebut Pfobia. umumnya, para psikolog butuh setidaknya tiga kuartal untuk menyembuhkan pengidap Pfobia. hanya demi menyakinkan bahwa ‘P’ merujuk pada Punten, bukan Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus.


sebenarnya, ada aturan tak tertulis bahwa untuk meminjam uang dibutuhkan basabasi bernada afektif bukan basabasi berwarna geografis. dengan kata lain, tidak etis ujug-ujug wah cuacanya cerah ya... kemudian langsung mengeluarkan jurus bos-adakah-seratus. namun, akan lebih baik jika bertanya tentang bagaimana kabar, sedang di mana, apakah usaha lancar, barulah menuju tujuan konkretnya. begitulah pengutang-bermoral bekerja.


setiap dari mereka juga diwakili oleh skor kredit. semakin tinggi, semakin bergengsi. sedang mereka yang bermasalah, wanprestasi, atau galbayers niscaya dipenjara dalam ruangan dua kali dua meter berpintu kayu jati. & menerima hukuman berupa digedor debt collector dengan tempo larghissimo sampai prestissimo setiap tiga jam sekali. itulah mengapa SLIK OJK (Otoritas Jasa Kapitalian) adalah harga mati. setengah Rakib, setengah Atid. boleh jadi sebab mereka mengimani Kitab Laba, ayat dua, yang berbunyi: “barangsiapa kredit mulus, niscaya Tuhan Stonks ciptakan jalan menuju surga beraspal fulus.”


bagaimana dengan yang memuncaki kasta?

bagi mereka yang memegang Black Card, penyebab melarat bukanlah kemiskinan struktural tapi malas bekerja keras. para pemegang Black Card ini, semakin kokoh berada di puncak teratas, sebab mereka berjualan kelas-kelas yang berisikan petuah bahwa rajin pangkal kaya—bukan privilese pangkal kaya, atau akses pangkal kaya.


*** 


pada suatu senin siang, di sudut kafe butut yang bergaya arsitektur industrial sebab tak ada dana lebih buat membeli cat, terdapat sekelompok Kapitalian muda yang berbeda & sok edgy. mulut mereka tak pernah melafalkan mantra ROI (Return on Investment) sebanyak tujuh kali dalam hati. kepala mereka juga tak pernah dipakai untuk memikirkan lembar saham & obligasi. sebuah anomali. mereka ini adalah para pencinta sastra, yang dengan tekun membaca-mengarang puisi & prosa, bukan laporan keuangan & proyeksi pasar yang cuan dalam lima sampai dua puluh tahun ke depan. mereka pada dasarnya saling sepakat, tetapi sering kali mendebat-debatkan pendapat.


“kapitalis mana yang butuh sastra?” tanya salah satu dari mereka dengan gaya sok teatrikal.


“hmmm... mungkin tidak ada.”


“ah,” jawab seseorang yang lain, “itu dia, tidak ada kapitalis yang butuh sastra. itulah mengapa kita mempelajari sastra. kita jadi pemberontak yang berani melawan tirani logika & angka.”


“apa kerennya?”


“bukan masalah keren-kerenan, ini soal prinsip. berbeda dari kawanan. melawan arus. hanya ikan mati yang terbawa arus.”


“tapi, hanya ikan tolol yang berenang melawan arus. kau tahu, apa makanan utama beruang? ikan yang melawan arus. di kehidupan nyata, melawan arus artinya tak-beruang. tak punya uang, artinya tak punya ruang. tak punya uang, itu susah bergerak. bahkan, berak pun bayar.”


“begini, borjuis kecil, sastra adalah investasi abadi yang memberikan kekayaan emosional & intelektual. investasi untuk jiwa, yang dividennya adalah kebahagiaan & pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.”


“tapi Kapitalian mana yang butuh jiwa? Pragmatis mana yang butuh kedalaman?”


“kau tidak mengerti!”


“memang!”


“di mana setiap detik adalah aset & setiap hal adalah komoditas, sastra menjadi pekik perlawanan terhadap monotonitas. menjadi bukti bahwa di balik setiap transaksi & perhitungan, masih ada ruang untuk hal-hal esensial seperti imajinasi & keindahan.


“masalahnya... wahai Proust muda... sastra hanya membantu menyelesaikan soal ‘mengapa’ bukan ‘bagaimana’.”


“bagaimana?”


“sudah kubilang bukan soal bagaimana tapi mengapa.”


“maksudku, bagaimana sastra membantumu menemukan mengapa?”


“mengapa aku mesti meromantisasi kehidupan agar umurku panjang, misalnya. perlu kuakui juga, bahwa sastra membantuku menentukan lebih baik mana antara menjadi sastrawan yang saban minggu karyanya dimuat di koran atau seseorang yang persetan dengan sastra-sastraan tapi mempunyai kontrakan dua belas pintu?”


“lebih baik mana?”


“dengan sastra, aku tahu bahwa pilihan yang kedua selalu lebih baik.”


mereka sama-sama tertawa, kencang sekali, seolah-seolah mereka adalah sastrawan yang mempunyai kontrakan dua belas pintu. pedahal karya-karya mereka, berkali-kali, ditolak media & mereka tentu tak punya kontrakan dua belas pintu. kengakakan mereka bergema di antara lampu neon & dinding beton. 


& begitulah, awal mula sastra menjadi lelucon pemecah kerutinan duniawi. bagi beberapa orang seperti mereka ini, sastra adalah kepercumaan yang menyenangkan. liburan singkat dari kejaran pertanyaan bisakah sukses di usia muda atau kalau nanti mati dikuburkan di San Diego Hills tipe apa? single burial ataukah peak estate?


kapitalis mana yang butuh sastra? coba kita bertanya pada Alphard yang bergoyang.

Thursday 11 April 2024

Lebaran & Dua Puluh Empat

kemarin... dalam suasana takbiran di sebuah coffee shop yang overrated & overprice—seorang kawan lamaku yang kuliah Sastra Inggris, bertanya begini, “day, apa resolusimu pada lebaran kali ini?”


dengan mantap kujawab pakai idiom, “melebarkan sayap!”


pedahal aslinya... resolusiku, pada momen apapun, entah lebaran ataupun tahun baruan—hanyalah survive. seminimal-minimalnya sampai umur dua puluh tujuh. sisanya, lihat nanti. sebab aku tahu, bagi seorang normal, tahun-tahun ini & tahun-tahun di depan bakal makin terjal kutapaki. bagaimana tidak? setelah dihantam badai yang berlalu lalang, tahun ini, adalah lebaran pertamaku tanpa ayah & ibu. ayahku terlalu sibuk bekerja & ibuku terlalu sibuk dengan keluarga barunya. 


kalau boleh jujur, sebenarnya, aku tak masalah dengan kondisi membagongkan semacam itu. sebagai lelaki anak pertama, aku telah menaruh curiga bahwa aku didesain untuk tahan banting, mampu bekerja di bawah pengaruh nihilisme, & telaten comfortably numb - pink floyd. 

...

when i was a child i had a fever

my hands felt just like two balloons

now I've got that feeling once again

i can't explain you would not understand

this is not how i am

i have become comfortably numb

...

aku hanya kesian terhadap adikku yang bocah SD kelas dua. anak sekecil itu, berkelahi dengan realitas yang asu. tumbuh tanpa father-mother figure. itu saja. sayangnya, rasa kesian itu meraksasa alias bertambah parah ketika kubuka instastory & mendapati fakta bahwa orang-orang pada umumnya merayakan hari kemenangan bersama keluarga mereka. ‘hadeuh’ adalah kata pertama yang kuucap dalam hati. & ‘hadeuhhhhhhhh!!!!!’ adalah yang lahir setelahnya.


seseorang barangkali bertanya-tanya mengapa aku tak jujur menjawab pertanyaan kawan lamaku itu. tapi, aku memang tak bisa jujur kepadanya. bertahun-tahun aku berkawan dengannya, di hadapannya aku selalu memasang wajah optimis. aku tak bisa realistis, apalagi... pesimis. lagipula, aku tak mau menyebarkan pesimisme kepada orang di sekitarku. apalagi kawan lamaku itu. aku juga tak mau membikin orang di sekitarku kepikiran. termasuk si U, yang setiap hari lebaran selalu membuatkan soto babat kesukaanku. di hari lebaran, yang paling bijak untuk kulakukan tentulah menyantap soto babat atau mengemil nastar sembari memasang wajah senang.


aku juga sama sekali tak masalah dengan hari ulang tahunku yang tak dirayakan oleh orang selain diriku. bahwa enam belas hari lalu, hari ulang tahunku yang ke dua puluh empat kurayakan seorang diri. aku menghadiahi diriku sendiri: sebotol bir & setangkai mawar. yang pertama, sebab sesederhana karena aku suka meminumnya. sedang yang kedua, sebab aku penasaran bagaimana rasanya diberi bunga. aku tak mengerti mengapa lelaki hanya diberi bunga ketika ia telah berkalang tanah. atau mengapa rumah sakit & pekuburan adalah dua tempat yang paling sering diwarnai tangisan. apakah penyesalan memang lebih besar dari penghargaan?


pada gilirannya, hanya keheningan kosmik yang tersisa & c’est la vie di pangkal dada. tapi di terowongan gelap ini, aku sadar,  ‘mengapa’ mewujud persoalan yang hanya bisa dijawab-diselesaikan diri sendiri. sesuatu yang subjektif & personal. & kedewasaan adalah kata yang tak ada dalam kamus para nabi—bahwa topik kedewasaan, luput difirmankan tuhan. 


mengutip pakguf, yang bisa kulakukan selain tetap berjalan hanyalah tetap percaya. maksudnya, percaya pada teori konspirasi bahwa semua akan baik-baik saja. sayangnya, ‘percaya’ adalah salah satu hal yang paling sulit untuk kulakukan. tapi meskipun susah, aku akan mencobanya dengan payah. artinya, aku mesti menumpulkan nalarku yang kritis agar lebih mudah percaya. berat, tapi tak apa. 


di ujung malam, diiringi pekik allahuakbar, selintas pemikiran menghampiri lamunanku—bahwa hanya ada dua cara untuk dihargai-dirayakan-dicintai: mencapai kesuksesan atau bertemu kematian. tentu, aku akan sekuat tenaga mencoba mendorong batuku sampai puncak kesuksesan. kalaupun gagal, ya tak apa. orientasiku tak pernah berubah. selalu proses, bukan hasil. selain itu, bagiku, ‘mencoba’ merupakan privilese & ibarat rukun islam kelima (hanya bagi yang mampu).


tapi cara yang kedua? itulah cara yang secara sadar biasanya tak dipilih orang-orang waras. tapi kematian, baik ditempuh secara alamiah atau tidak, aku merasai keindahannya. ketika kehidupan merebut-mencabut seluruh makna dari keberadaanku, kematian membantuku mencurinya kembali. tanpanya, kehidupan cuma kebisingan yang tak berguna & manusia hanya spesies naif yang percuma. apalah arti hari ulang tahunku...


demi arwah eksistensialis, meski telah jatuh berkali... berilah sayap-sayapku kekuatan untuk kembali menggapai tengik matahari. seminimal-minimalnya sampai tiga tahun lagi. semoga bisa, semoga bisa! begitulah doaku kepada bedil & sebutir peluru kaliber sembilan mm di bawah bantalku—setelah merawat percaya dengan menjadi majusi (maksudnya, membikin api).

Wednesday 31 January 2024

Tanpa Alarm, Tanpa Kejutan

a heart that's full up like a landfill
a job that slowly kills you
bruises that won't heal
you look so tired, unhappy
bring down the government
they don't, they don't speak for us
i'll take a quiet life
a handshake of carbon monoxide
...

barangkali politik memang memengaruhi segalanya. setiap sendi kehidupan kita. seribu blangsak tercipta karena seorang idiot diberikan kuasa oleh sepuluh ribu orang yang jauh lebih idiot. & buta politik melanggengkan sejuta keidiotannya. Brecht, dramawan Jerman, telah mengatakan hal yang kurang lebih serupa berpuluh-puluh tahun lalu. aku yakin, berangkat dari kemuakan yang sama, banyak dari kita ingin menciptakan pemerintahan yang lebih baik, tetapi gagasan revolusioner semacam itu—sangatlah sulit diwujudkan. terlalu utopis, kalau kata seseorang yang mengklaim dirinya realistis.


tentu, lebih mudah untuk menyerah pada Leviathan & menjalani hidup yang aman jauh dari anxiety, tanpa upaya menyelesaikan masalah struktural. lebih mudah diam, tanpa mematahkan dahan, tidak pula mencabut akar (apalagi jika jenis akarnya, tunggang). tentu, jauh lebih mudah untuk mengurung diri di dalam garasi yang tertutup kemudian menyalakan mobil & menghirup sebanyak-banyaknya karbon monoksida yang keluar dari knalpot—sebuah cara yang pelan & tidak menyakitkan untuk memungkinkan bendera kuning berkibar di depan rumah dalam satu kali dua puluh empat jam. sebagaimana dianjurkan Thom Yorke dengan suara yang telampau madesu.


aku percaya kau cukup pandai untuk mengerti apa yang kubicarakan. begini, ada beberapa keganjilan, misalnya, mengapa di tengah kekeosan ini peristiwa besar belum terjadi? lautan manusia tumpah ke jalan, menyuarakan hal yang sama. ombak besar itu belum juga kulihat sejauh mata memandang. meskipun sejarah telah mencatat, ketika kekuasaan dijalankan seenak jidat & ugal-ugalan, maka guillotine bisa menjadi jawaban. kepala terpisah dari badan memang terdengar sadis & brutal, tapi begitulah kenyataan bila dibahasakan & kemungkinan yang terjadi bila kita sedikit lebih bisa meluapkan emosi.


aku curiga, jangan-jangan sebagian besar dari kita sudah terlalu sering dipatahkan hatinya, sehingga perlawanan cuma jadi ya sudahlah ingatan usang di kepala. & alih-alih menjadi anarkis—sebagaimana simtom umum seseorang membenci negara karena dikecewakan—banyak dari kita malah menjadi apolitis. mungkin karena terlalu lelah. boleh jadi takut. aku tak tahu.


oleh karenanya, sebagai klaritas & suntikan adrenalin, janganlah kita takut kepada mereka. justru merekalah yang harus takut & bergidik ngeri dengan kita. kita berhak memprotes & menuntut kewarasan sebab nasi yang mereka makan berasal dari keringat kita yang dipotong setiap bulan. pajak ini, pajak itu. suara kita, bahkan, suara tuhan. vox populi vox dei. meskipun entah tuhan yang mana, dari lebih tiga ribu tuhan yang sepanjang peradaban kita namai. tapi yang jelas, percayalah, kita mempunyai keberanian & kekuatan yang cukup untuk mengingatkan agar mereka jangan gegabah. seperti kerja-kerja supergo yang merepresi dorongan irasional dari id—agar lebih ngotak dalam bertindak membikin kebijakan—kalau meminjam istilahnya Freud. 


motivasiku akan terdengar cukup nasionalistik & klise. aku hanya ingin negara yang kucintai, tanah tumpah darahku ini, berada di trek yang benar—trek menuju kemajuan—yang selama ini kita idam-idamkan. sayangnya... jika aku misalkan kondisi saat ini sebagai trolley problem—eksperimen pikiran dalam filsafat etika—bahwa kereta telah keluar dari relnya. menggilas satu & menggilas lima. tak ada deontolog, tak ada utilitarian. yang selamat cuma yang berada dalam gerbongnya saja. Machiavelli berwajah inosens & memiliki senyum hangat seperti tokoh dalam novel-novel tentang petualangan. yang terjadi hari ini, seakan menjadi bukti konkret, kita selalu menilai buku dari sampulnya.


sebenarnya, aku malas & tak punya energi untuk menulis tentang sejenis omong kosong macam ini. sesuatu, yang jelas-jelas terlalu komikal untuk diseriusi. politik, bagiku cuma masturbasi kekuasaan yang menyengsarakan orang-orang nirprivilese. tapi ada semacam kegatalan pada dada kiriku, yang rasanya kira-kira seperti terkena daun pulus—atau barangkali ibarat dihinggapi ulat bajra api. & hanya berceracaulah, tindakan yang bisa kulakukan untuk meredakannya. selain menggabungkan botol, kain, & bensin—kemudian melemparkannya.


aku tahu & sadar, pada akhirnya, pemilu cuma memilih oligark yang paling bearable. lesser evil. iblis yang tidak jahanam-jahanam amat.


kalau boleh jujur lagi, aku sebenarnya lebih ingin retreat ke hutan belantara & menjalani hidup yang tenang tanpa alarm tanpa kejutan dengan orang tercinta, tapi masalahnya, bagaimana aku bisa tenang jika menyadari bahwa hutan belantara bahkan telah dikuasai & dirusak oleh Leviathan—makhluk yang merebut hampir segalanya dari hidupku? bagaimana ini?


semoga kiamat tidak terjadi esok hari.

Saturday 9 December 2023

Apokalips

ini bukan tulisan tentang lagu Cigarettes After Sex:
bibirmu,
bibirku,
kiamat...

begini, aku punya kawan, sebut saja B, yang sebenarnya malas kusebut sebagai kawan. lantaran setiap kali kami bertemu, manusia yang besar kemungkinan lebih pintar dari biawak ini, seakan tak pernah bosan untuk menguliahiku matkul kiamat. dimulai dari tanda-tandanya hingga susunan acaranya, secara komplit bin komprehensif.


masalahnya, ia menarasikanya dengan sorot matanya yang penuh percaya diri. ia yakin bahwa kiamat akan terjadi seratus persen serupa dengan apa yang ada dalam batok kepalanya. di mataku, ia malah seperti versi lain dari Nostradamus yang percaya ada korelasi langsung antara rasi bintang, tanggal lahir, & bagaimana kepribadian bekerja.


sialnya, aku adalah seseorang yang mencintai perdamaian. artinya, aku cenderung mengiyakan setiap klaim-keniscayaan yang keluar dari corong bacotnya ketimbang harus melempar wajah naifnya dengan sepatu Docmart. aku masih berprasangka baik, setidaknya sampai hari ini. katakanlah, menganggap bahwa pada kehidupan sebelumnya, kawanku ini mungkin adalah seorang dukun kenamaan di sebuah masyarakat primitif yang masih menganut animisme/dinamisme. & tentu saja ia bukanlah contoh konkret evolusi otak yang belum sempurna atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.


sejujurnya, aku tak pernah punya masalah dengan seseorang yang mendakwahkan hari kiamat. aku hanya muak dengan rasa percaya diri mereka yang surplus bahwa kiamat akan dimulai dengan A, lalu B, kemudian C, & seterusnya. yang seolah-olah, secara kronologis, sangat mudah ditebak serta membosankan—persis seperti acara-acara seremonial penuh omong kosong yang dilaksanakan oleh para birokrat.


tapi bicara soal apokalips alias kiamat—nampaknya dari zaman Noah merusak alam demi membikin bahtera untuk menyelamatkan diri dari banjir (yang sebenarnya kalau dia tidak menebang pohon tidak akan banjir), manusia memang, pada dasarnya, hobi membuat nubuat soal kiamat. 


secara statistik, mungkin sudah ada puluhan bahkan ratusan ramalan yang kesemuanya meleset total. yang paling terkenal, ada ramalan kiamat menurut Suku Maya yang jatuh pada tahun dua ribu dua belas. aku masih ingat, beberapa tahun sebelum tahun tersebut, aku masihlah bocah polos yang duduk di bangku sekolah dasar. berita-berita di televisi menyiarkan kengerian yang sama. hari-hariku dihantui ketakutan yang terasa dekat & nyata. kubayangkan tsunami yang jauh lebih tinggi dari pohon kelapa akan datang, gempa entah sekian richter akan menghancurkan tempatku bermain bola, seluruh orang-orang yang kukenal akan mati dihantam meteor sebesar gajah Afrika, & gunung-gunung akan beterbangan bagai kapas seperti dalam surah al-Qari'ah ayat ke lima.


tapi kita semua tahu, kiamat menurut Suku Maya itu tidak terjadi & roda kehidupan berjalan seperti biasa. lambat laun, aku tumbuh menjadi bocah SMP yang paranoid (bukan Paranoid Android, kalau itu lagu Radiohead) & punya semacam rasa trauma tentang hal-hal yang berbau kiamat. barangkali aku mengidap PASD, post apocalyptic stress disorder. tapi semuanya berubah hampir seratus delapan puluh derajat, ketika aku menginjak SMA & secara otodidak mengonsumsi yang paleo-paleo. saat itu, aku mulai menganggap hal paling natural-alamiah dari suatu spesies adalah mati atau “punah”. para ilmuwan, bahkan, memperkirakan sekitar sembilan puluh delapan persen dari semua organisme yang pernah ada di planet bumi telah punah saat ini. seorang Neanderthal yang bisa calistung mungkin akan mengamini dua kalimat tadi.


sejak kecil, bisa dibilang, aku dibesarkan oleh pertanyaan-pertanyaan. sewaktu masih sekolah, akulah si murid autis yang tidak bisa diam & selalu bertanya hal-hal random pada guru. hingga kini, tentu ada banyak pertanyaan soal kiamat yang masih menggantung di pemikiranku. misalnya soal, di kunci apa Israfil meniup sangkakala? a minor, kah? atau, kira-kira sudah berapa “kiamat” yang terjadi tapi tidak tercatat/dicatat sejarah karena perbedaan definisi mengenai kiamat itu sendiri?


lalu aku terus mencari tahu. tanpa henti. aku sedikit mendapat pencerahan. salah satunya, dari manuskrip mitos Aztec dari abad ke enam belas, katanya, dunia telah berakhir sebanyak empat kali. salah duanya, aku menemukan bahwa secara antropologis, bumi yang umurnya empat koma lima empat miliar tahun ini, telah menjadi saksi bisu bagi lima kali Kepunahan Massal (peristiwa yang memunahkan lebih dari tujuh puluh lima persen spesies dalam rentang dua koma delapan juta tahun atau kurang). yang terakhir & paling ikonik, Kepunahan Kapur-Paleogen, terjadi kira-kira enam puluh juta tahun yang lalu. & para dinosaurus-lah korban utamanya. kini, kita tengah berada di dalam sabuk Kepunahan Massal Keenam, yang juga dikenal sebagai Kepunahan Holosen & Kepunahan Antroposen—sebuah peristiwa kepunahan spesies yang dimungkinkan karena destruktifnya aktivitas manusia.


sesekali, bila teringat B, aku menduga... jangan-jangan 'kiamat' cuma bahasa agama bagi 'kepunahan' dengan tambahan majas hiperbola. karena biasanya teks-teks liturgis memang begitu, suka melebih-lebihkan hal yang boleh jadi biasa saja kalau dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. maksudku, kiamat itu alamiah—tidak ada yang “ilahiah” dari kiamat, selain sebagai pengingat bahwa akan ada hari di mana segalanya rungkad. & hal yang membikin narasi kiamat terasa grandeur, tentu saja adalah adanya akhirat. singkatnya... dunia adalah appetizer, kiamat adalah main course, & akhirat adalah dessert. dengan kata lain, para agamawan relatif percaya dunia itu fana, niscaya kiamat, & yang tersisa setelahnya adalah akhirat; hari penghakiman. ketiganya adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan & mesti diceritakan dengan hiperbolis.


menariknya, secara garis besar, susunan acara kiamat beberapa agama terlihat mirip-mirip. ini hanyalah sedikit contoh kecil saja. misalnya eskatologi (istilah ribet dari ajaran agama tentang kiamat) Zoroaster & Islam. bahwa setelah hari akhir nanti ada hari kebangkitan; setelah Frasōkereti nanti ada Saoshayat, setelah al-Qiyamah nanti ada Yaumul Ba'ats. dalam Yudaisme, hari kebangkitan disebut T'chiyat Hameitim. Islam, juga punya kemiripan dengan Buddha. antara Imam Mahdi-Nabi Isa & Maitreya; sebagai penyelamat kosmis-eskatologis yang akan mewujudkan keadilan serta perdamaian bagi alam semesta.


fafifuwasweswos soal sosok penyelamat alias Messiah, aku jadi teringat karyanya Zapffe yang judulnya The Last Messiah. di esainya itu, salah satu pemikir suram dalam filsafat tersebut menilai bahwa “Messiah Terakhir” adalah umat manusia yang telah berevolusi sedemikian rupa & cara, sehingga sampai di titik di mana ia menjadi paradoks biologis—menjadi makhluk yang diliputi penderitaan karena surplus-kesadaran. sederhananya, Messiah Terakhir adalah manusia yang semakin berbeda dengan hewan-hewan lainnya—karena hanya ialah yang punya kesadaran berlebih soal waktu (masa lalu-masa depan), kematian, & penderitaan makhluk lain. 


kalau dipikir-pikir, melalui kesadaran akan “epilog” inilah kita bisa menemukan makna bagi kehidupan. bahkan, kita bisa lebih mengapresiasi banyak hal yang terlihat biasa saja tapi ternyata luar biasa nikmatnya jika benar-benar kita rasakan. berak, merokok, & meminum kopi adalah beberapa contohnya. ini senada dengan yang diucapkan oleh Dr. Hannibal Lecter, “aku selalu menemukan gagasan tentang kematian yang menghibur. pemikiran bahwa hidupku bisa berakhir kapan saja membebaskanku—untuk sepenuhnya menghargai keindahan, seni, & kengerian dari segala sesuatu yang ditawarkan dunia ini”—& kutipan Schopenhauer dalam Parerga and Paralipomena, “adalah kehilangan, yang sebagian besar mengajarkan kita nilai dari segala sesuatu”.


bagiku, kiamat yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak lagi punya kemampuan untuk mencipta cahaya-personal untuk mengarungi kehidupunk yang gelap, suram, liar, bakekok, buas, & penuh marabahaya.


tapi semisal kiamat, sebagaimana yang dibacotkan agama-agama, terjadi esok hari—maka hal yang akan kulakukan pertama & terakhir kali di dunia bangsat ini adalah mengajak pacarku yang cantik untuk french kiss; sebab aku punya hasrat untuk punah secara puitis wakakaka


kembali menyoal kawanku yang malas kusebut kawan, pada akhirnya, pada suatu sore yang dipayungi lembayung—aku melontarkan lelucon kepadanya.


“kenapa dinosaurus punah?”

“karena meteor?”

“karena mereka nggak bisa bikin rumah ibadah.”

“hahaha bener juga!”

“coba bayangin, t-rex mau rukuk aja udah susah.”

Thursday 16 November 2023

Dua Puluh Tujuh

L' âme du Musicien by Raymond Douillete

aku punya kawan. ia sekaligus guru musikku. sebut saja, Irama. meskipun satu tahun lebih muda dariku, ia mengajariku banyak soal permusikan duniawi; termasuk melatihku bermain piano (ya, sampai sekarang aku mainnya masih kayak orang dongo). ia canggih, telinganya tajam, bahkan ia bisa tahu ketika aku berbicara “itu berada di kunci apa”. bisa dibilang, Irama, adalah kawanku yang punya bakat musikal paling tinggi. sesekali aku melontarkan lelucon: ini orang badannya gitar gibson, & waktu lahir, tali pusarnya jangan-jangan senar nilon. 


ia hampir bisa memainkan semua alat musik populer, kecuali marawis (mungkin karena ia ateis, entahlah). soal skil bermain gitar, percayalah, ia tak berbeda jauh dengan Depapepe. atau Sungha Jung. atau Herman Li. atau Jack Thammarat. atau Joe Satriani. atau David Gilmour. atau John Petrucci. atau Isaac Albéniz. atau Polyphia. atau Brian May. atau... (silakan isi sendiri).


tapi bukan soal itu, yang ingin aku ceritakan tentangnya. bukan. tapi kejujurannya—keberaniannya untuk selalu jujur—atau mungkin keblak-blakannya. aku lupa berapa kali bertanya di umur berapa ia akan menikah, tapi aku ingat ia selalu menjawab tidak akan menikah. & ketika kutanya tentang masa tua, ia selalu mengatakan ingin mati muda, di umur dua puluh tujuh tepatnya. ini menarik, bukan menarik, sih—maksudku, mengapa mesti dua puluh tujuh? mengapa tidak empat puluh lima, setidaknya sama seperti idolanya, Freddie Mercury?


apakah ia ingin tergabung ke dalam Klub 27? mampus di umur yang sama seperti Jimi Hendrix, Jim Morrison, atau JM Basquiat? entahlah, ia tak pernah menjawab pertanyaanku yang satu itu. pada akhirnya, tidak ada yang tahu. tuhan pun mungkin sebenarnya tak tahu apa-apa—kita yang sok tahu, dengan mengatakan tuhan tahu segalanya. kalimat ini adalah lelucon yang tak pernah gagal membuat Irama ngakak ketika kulontarkan kepadanya.


yang jelas, impian kawanku untuk mati di umur dua puluh tujuh terasa selangkah lebih nyata, kukira. sebab tiga minggu lalu, ia jujur bercerita, masih dengan kepolosan yang sama, bahwa ia divonis HIV. persis seperti idolanya, vokalis Queen yang flamboyan & eksentrik itu. pada gilirannya, aku jadi teringat Law of Attraction (hukum tarik-menarik), sebuah hukum fisika yang konon juga berlaku dalam garis nasib manusia. sederhananya, sesuatu yang kita pikirkan akan menarik sesuatu tersebut ke dalam kehidupan kita. 


sependek pemahamanku yang cetek terhadap fisika kuantum, atom memiliki energi & tertarik ke arah atom dengan komposisi energi yang sama. artinya, sebagaimana atom, pikiran akan secara mekanis menarik “energi yang serupa ke dalam kenyataan”. 'P' akan menarik 'P', 'Q' akan menarik 'Q'. maka, mimpi Irama (sebagai produk pikiran) untuk mampus di umur dua puluh tujuh besar kemungkinan akan jadi kenyataan—karena setiap aksi-tindakan yang dilakukannya niscaya berangkat dari daya upaya untuk merealisasikannya. katakanlah aksi-tindakan yang berpotensi mengurangi angka harapan hidupnya seperti bergadang, mabuk-mabukan, & menyewa pelacur (demi meraih potensi terkena HIV yang secara medis memang memperpendek umur).


aku tidak tahu bagaimana persisnya ia terkena penyakit yang belum ada obatnya ini, tetapi sejauh yang kutahu kawanku ini memang terlampau sering “jajan di aplikasi hijau” & beberapa kali “main tanpa pengaman”. pada mulanya, tak diragukan lagi aku menilai tindakannya ST, Sangat Tolol. namun kemudian aku mencoba melihat segala sesuatunya melalui sudut pandangnya, sorot matanya, lalu menemukan bahwa tindakannya tidak tolol-tolol amat & boleh jadi ia memang dengan sadar melakukannya. itulah yang diinginkannya. memang HIV, salah satu solusi untuk menggapai mimpinya mati di umur dua puluh tujuh.


& aku tidak mau berkomentar lebih jauh soal baik-buruk atau benar-salah. persetan apakah Irama seorang fatalis atau bukan. lagi pula, aku bukan moralis. kurasa kita pun sesekali mesti melupakan moralitas objektif. entahlah.


yang pasti, sore itu, setelah Irama bercerita kepadaku bahwa ia divonis HIV, aku bertanya kepadanya, “bagaimana perasaanmu? apa yang kau rasakan setelah mendengar vonis dari dokter itu?”—& ia hanya menyimpul senyum, ngakak selepas-lepasnya, lalu mengatakan bahwa ia merasa bangga. pada posisi itu, seseorang yang tak begitu mengenalnya, besar kemungkinan, akan curiga saraf-saraf di dalam otak Irama telah konslet atau bahkan putus. tapi entah mengapa aku seakan memahami mengapa responsnya bisa sedemikian di luar nalarnya. mungkin karena yang muncul di kepalaku saat itu adalah kutipan Albert Camus dalam novelnya, The Fall (1956), yang berisi monolog dramatis seorang tokoh bernama Jean-Baptiste Clamence: “ketika sebuah jiwa terlalu sering & banyak menderita, ia mengembangkan selera bagi kesialan-kesialan.”


& barangkali, secara interpretatif, 'selera' yang dimaksud Camus di atas maksudnya adalah selera humor untuk menertawai kesialan-kesialan telak yang datang bertubi-tubi. sepengamatanku, rasa-rasanya memang begitu—kawan-kawanku yang paling humoris & suka bercanda adalah mereka yang paling sial, menderita, & banyak masalah hidupnya. Irama, adalah salah satu contohnya. puncak dari Five Stages of Grief, teori psikologi yang dicetuskan Elisabeth Kúbler Ross, dalam bukunya On Death and Dying (1969)—semestinya adalah Sense of Humour (especially, to laugh at our endless & gigantic misfortune).


pada akhirnya, aku masih tak tahu mengapa ia ingin mati di umur dua puluh tujuh. tapi aku, lagi-lagi ingin mencoba memahaminya. & kali ini aku tiba-tiba teringat dengan kuots Kurt Cobain, ikon Klub 27 yang mengidap Bipolar (sama sepertiku) itu: “tak ada yang mati perjaka-perawan, semuanya telah diperkosa kehidupan.”


& barangkali itulah mengapa ia ingin mati muda. ia telah terlampau lelah diperkosa sesuatu yang tak pernah bisa dilawan. ia telah muak menerima kekalahan yang karib & tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.


c, a minor, d minor ke g, ke c lagi. keminoran yang mayor lagi-lagi menghantam tanpa sangsi.


kawan... aku tidak tahu sampai kapankah kau akan tetap mengonsumsi ARV, pil untuk menunda kematianmu itu. aku bahkan tidak tahu sampai kapankah kau akan bertahan. tapi yang jelas & pasti, senang bisa mengenalmu. & misalkan kau mampus lebih dulu dariku, tenang saja, aku masih ingat dengan janjiku: memutar musik-musik klasik di atas pusaramu. aku harap suatu saat nanti kita kembali bertemu entah di mana itu, sebagai kawan, yang pernah sama-sama mati berkali & lahir kembali. semoga kau masih ingat dengan ucapanku kepadamu sore itu, bahwa ada satu hal yang tak akan pernah bisa direbut oleh kematian: keberanian kita untuk kapan saja menatap tajam matanya, tanpa secuil pun rasa takut.

Danau Lido, 16 November 2023. 

Friday 6 October 2023

Merayakan yang Insignifikan

*alangkah baiknya, putar salah satu lagu di bawah ini ketika membacanya:


Hans Zimmer - Day One

Muse - New Born

Muse - Space Dementia

Beach House - Space Song

Angels & Airwaves - The Adventure

Dream Theater - Pale Blue Dot

Dream Theater - The Spirit Carries On


***


“di sisi lain, ketika segalanya tampak insignifikan, melanjutkan kehidupan & merayakan kesia-sian... adalah hal waras yang paling mungkin dilakukan.”


rasa-rasanya... sejak masih bocah ingusan... aku punya semacam obsesi aneh terhadap langit & benda-benda luar angkasa. aku seperti tertarik dengan bagaimana astronot & badan antariksa bekerja. lebih tepatnya, terhadap hal-hal eksistensial & ekstraterestrial: katakanlah... apa semesta, apa galaksi; kalau memang ada, di mana aku bisa menjumpai alien-alien itu; kapan kiamat secara ilmiah mungkin terjadi; siapa pencipta, siapa ciptaan; mengapa manusia berada di bumi; bagaimana makhluk bersel satu itu mengada, berevolusi sedemikian rupa & cara, selamat dari lima kali kepunahan massal, membikin mesin-mesin & mengembangkan kecerdasan buatan, hingga dalam sepuluh tahun lagi besar kemungkinan bisa mengolonisasi planet Mars. & seterusnya, & seterusnya.


entahlah, yang jelas, rasa penasaranku akan hal-hal berbau semacam itu tak pernah terpuaskan. rasanya seperti meminum air laut; semakin kureguk, semakin haus kurasa. ketika kutemukan satu jawaban bagi satu pertanyaan, maka akan lahir pertanyaan lanjutan. seakan-seakan memang tidak akan pernah kutemukan garis finis, hanya hilir-hilir checkpoint yang tak punya hulu. bagai kalimat panjang tanpa titik, & cuma berisi koma. pada gilirannya, aku mesti berdamai dengan “kondisi kemanusiaanku” yang hampir setiap waktu menghantuiku ini: aku bergerak menuju kematian yang tak terbantahkan & tak terhindarkan—& pada akhirnya mati-dikuburkan bersama tanya-tanya nirjawaban. tentu saja, adalah ngeri bagiku membayangkan mati dengan segudang pertanyaan. tapi ya seribu tapi.


sisi baiknya, “pencarian tiada henti” itulah bahan bakar utamaku untuk terus belajar (selain merawat rasa tolol dalam diri) sampai mampus; demi memuaskan dahaga bocah kecil yang bawel dalam diriku. & mungkin memang begitulah prosesnya, berisi serangkaian falsifikasi. & percobaan & kegagalan. & jatuh & bangun lagi. sadar & tersadarkan lagi. tidak pernah final. selalu bergerak menuju satu poin, & setelah sampai, lantas bergerak menuju poin lain lagi.


masalahnya, begini... semakin aku mendalami astronomi (& kosmologi), atau ilmu alam secara umum—katakanlah demikian—aku kian merasa insignifikan. aku seperti diisap lubang hitam, & seluruh “cahaya” yang kupunya habis tak tersisa. 'cahaya' yang kumaksud di sini, merupakan kombinasi dari kesadaran terestrial, harapan, & kenaifan. dengan kata lain, aku seolah-olah memasuki ruang ekstraterestrial di mana kegelapan adalah yang berkuasa—& inti dari segalanya. sependek pemahamanku pun demikian, ketika suatu benda langit kehilangan momentum sudut, maka ia akan tersedot lubang hitam—& barangkali begitulah hukum gravitasi bekerja.


tapi, biar kubuat lebih sederhana... aku jadi mikir begini: di hadapan lebih dari lima ratus semesta, dengan lebih dari tujuh ratus kuintriliun planet & triliunan tahun cahaya yang memisahkan mereka—apalah arti titik biru pucat, dengan lebih dari tujuh koma delapan miliar manusia yang hidup di dalamnya, tiga ribu tuhan yang mereka sembah & lima ribu agama yang mereka anut, dengan lebih dari tujuh ribu bahasa yang tersebar di seratus sembilan puluh tiga negara itu? di hadapan semesta yang mahaluas & terus mengembang (seperti roti yang diberi baking powder atau donat plus ragi)—apalah arti pemenang & pecundang, pendoa & pendosa, perintis & pewaris, invensi & konvensi?


kesadaran ngeri-ngeri sedap ini kudapatkan dari Sagan, astronom yang puitis, dalam buku monumentalnya: Pale Blue Dot. kalau boleh jujur, terkadang ada penyesalan tak tertahankan dari mendapat perspektif membagongkan semacam ini. tapi waktu tidak bisa kuputar—& mesin waktu, kalau pun ada, tidak bisa kugunakan bila aku masih punya massa alias tak bisa bergerak di kecepatan cahaya—atau jika konsep waktu linier adalah yang benar.


sependek pengalamanku, dalam kesadaran akan nihilitas-kosmik semacam ini, segala sesuatu terasa-tampak nihil & insignifikan—seperti ketika kita mencoba mengobservasi kehidupan kuantum tanpa lensa mikroskopik. apa yang kita lihat? ketiadaan-kekosongan. kalau pun kita mencoba mengamati kehidupan kuantum tersebut dengan bantuan mikroskop, tetap saja akan terasa-tampak insignifikan. aku berani bertaruh, jika seekor tungau punya kesadaran semacam ini, maka dalam beberapa menit ia akan dirawat di poli jiwa & rutin mengonsumsi obat-obat psikosomatik. bayangkan saja, setiap arti & makna dalam kamus kepalamu, yang telah tersusun rapi & kokoh, tiba-tiba menjadi tak berarti & tak bermakna. setiap usaha yang kau lakukan, orang-orang yang kau kenal & sayangi, perang yang kau menangkan, peluru yang kau hindari—semuanya jadi nirmakna & sia-sia. hahahahaha...


meskipun begitu, menurutku, kesadaran akan nihilitas-kosmik ini manusiawi—sebab manusia mungkin secara alamiah punya kecenderungan untuk terus mencari & mencari. biasanya, ketika “kegelapan” adalah satu-satunya yang ia temukan, maka mulailah ia mencipta fiksi-fiksi demi meredam ketakutannya. diakui atau tidak, manusia besar kemungkinan tak bisa hidup tanpa arti & makna buatannya sendiri. & oleh karenanya, di titik ini, aku curiga: jangan-jangan, manusia adalah hewan fotonvora; ”pemakan cahaya”. seekor hewan pemakan cahaya/harapan/fiksi, yang terpendam di tubuh kata & frasa, yang disepakati punya arti & makna begini atau begitu demi menjaga “rasa percaya” akan esok hari.


tapi tak apa, apa-apa. kupikir, kenihilan & keinsignifikanan itu justru mesti kita sadari, bahkan patut dirayakan. oleh karenanya, tetaplah hidup, meskipun belum pernah (& mungkin tidak akan pernah) diapresiasi, diingat, dikenang, dihargai, atau “dianggap ada”—rayakanlah kenihilanmu & keinsignifikanmu sendiri, dengan caramu sendiri. semoga kita tidak berakhir seperti bintang-bintang yang sering kita lihat di malam hari: menjadi past tense; jauh, lampau, & telah mati.


***


maaf kalau tulisan ini tidak jelas atau malah memberi dampak buruk buatmu—aku mengarangnya dalam keadaan tipsy setelah menenggak alkohol ct manado campur sprite. oh ya, & bacardi spice rum.


“jangan lupa mabuk, demi meredam setan-setan dalam kepala yang terkutuk.”