Showing posts with label esai translasi. Show all posts
Showing posts with label esai translasi. Show all posts

Monday 8 May 2023

Modal Kultural à la Bourdieu (Esai Translasi)

A Panel of Experts (1982) by Basquiat

Artikel ditulis oleh Nicki Lisa Cole, Ph.D. dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Modal kultural, singkatnya, merupakan akumulasi pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosialnya. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menciptakan istilah ini dalam makalahnya⁠ yang berjudul “Cultural Reproduction and Social Reproduction”—ditulis bersama Jean-Claude Passeron—pada tahun 1973. Bourdieu kemudian mengembangkan karya itu menjadi konsep teoretis dan pisau analitis dalam bukunya yang mengudara di tahun 1979: Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste.

Bourdieu dan Passeron menegaskan bahwa akumulasi pengetahuan digunakan untuk memperlebar jurang perbedaan kelas. Itu karena variabel-varibel seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama cenderung menentukan siapa yang memiliki akses lebih ke berbagai bentuk pengetahuan. Status sosial juga membingkai beberapa bentuk pengetahuan yang berujung pada superioritas-inferioritas; yang satu lebih “oke banget” ketimbang yang lain.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Diwujudkan

Dalam esainya yang terbit pada tahun 1986, “The Forms of Capital”, Bourdieu memecah konsep modal kultural menjadi tiga bagian. Pertama, ia menyatakan bahwa modal kultural ada dalam keadaan yang diwujudkan—artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu, melalui sosialisasi dan pendidikan, ada di dalam diri mereka. Semakin mereka memperoleh bentuk tertentu dari modal kultural yang terkandung, katakanlah pengetahuan tentang musik klasik atau film artistik, semakin mereka “siap” untuk menemukannya. Norma, adat istiadat, dan keterampilan seperti table manners, bahasa, dan perilaku gender, yang terkandung dalam modal kultural dari setiap individu seringkali tercerminkan ketika dirinya berinteraksi dengan individu lainnya.

Modal Kultural dalam Keadaan Terobjektifikasi

Modal kultural juga ada dalam keadaan yang diobyektifikasikan. Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan pendidikan mereka (buku dan laptop), pekerjaan (alat dan perlengkapan), pakaian dan aksesoris, barang tahan lama di rumah mereka (furnitur dan barang dekoratif seperti lukisan), dan bahkan makanan yang mereka beli dan siapkan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk modal kultural yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Terlembagakan

Puncaknya, modal kultural ada dalam keadaan terlembagakan. Ini mengacu pada cara-cara di mana modal kultural diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Kualifikasi dan gelar akademik adalah contoh utama dari hal ini, begitu pula jabatan di kantor, jabatan politik, dan peran sosial seperti suami, istri, ibu, dan ayah.

Yang terpenting, yang mesti digarisbawahi, Bourdieu menekankan bahwa modal kultural ada dalam sistem pertukaran dengan modal finansial dan modal sosial. Modal finansial, tentu saja, mengacu pada uang dan kekayaan materialistik. Modal sosial mengacu pada hubungan sosial yang dimiliki seorang individu dengan teman sebayanya, keluarganya, koleganya, tetangganya, dan lain sebagainya. Modal finansial dan modal sosial, dalam titik tertentu, dapat dipertukarkan satu sama lainnya.

Dengan modal finansial, seseorang dapat membeli kunci untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi yang kemudian akan “menghadiahinya” dengan modal sosial berharga. Pada gilirannya, modal sosial dan modal kultural yang terakumulasi di sekolah atau perguruan tinggi elit dapat dikonversi menjadi modal finansial melalui jaringan sosial (koneksi “orang dalam” berprivilese, misalnya), keterampilan, nilai, dan perilaku yang mengarahkan seseorang pada pekerjaan bergaji tinggi. Untuk alasan ini, Bourdieu mengamati bahwa modal kultural berpotensi tinggi digunakan untuk memfasilitasi dan menegakkan stratifikasi sosial, hierarki, dan ketidaksetaraan secara struktural.

Inilah mengapa penting untuk mengakui dan menghargai modal kultural yang tidak tergolong elit (low culture). Penting juga untuk menyadari bahwa cara memperoleh dan menampilkan pengetahuan sangatlah bervariasi di antara kelompok sosial. Renungkanlah tentang betapa pentingnya sejarah lisan dan kata yang diucapkan dalam banyak kebudayaan tertentu. Di lingkungan perkotaan, misalnya, seorang individu harus belajar dan mematuhi “bahasa” yang ada di sana untuk sekadar “bertahan hidup”.

Setiap individu memiliki modal kultural dan menyebarkannya setiap hari untuk menavigasi masyarakat. Semua bentuknya valid, tetapi kebenaran yang sulit adalah bahwa mereka tak dihargai secara setara oleh institusi masyarakat. Ini menimbulkan konsekuensi ekonomi dan politik yang nyata; yang memperdalam perpecahan sosial dan memperparah perundungan sosial.

Sumber Literatur:

What Is Cultural Capital? Do I Have It?, Nicki Lisa Cole, Ph.D.:

https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374

Friday 21 April 2023

Filsafat Makanan (Esai Translasi)

The Potato Eaters (1885) by van Gogh

Artikel ditulis oleh Prof. Andrea Borghini dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Pertanyaan filosofis yang bagus bisa muncul dari mana saja. Pernahkah seseorang berpikir, misalnya, bahwa ketika kita duduk untuk menyantap semangkuk soto babat atau berjalan-jalan di sepanjang street food bisa menjadi pengantar yang baik untuk merangsang pemikiran filosofis? Barangkali, dengan membayangkan seperti itu kita dapat menakar kemungkinankredo filsafat makananselain "aku makan, maka aku ada".

Apa yang Filosofis tentang Makanan?
Filsafat makanan didasarkan pada gagasan bahwa makanan adalah cermin. Kita mungkin pernah mendengar pepatah, "kita adalah apa yang kita makan". Nah, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang hubungan antara filsafat dengan makanan (yang bersintesis jadi filsafat makanan). Makan mencerminkan proses pembentukan diri: serangkaian keputusan dan keadaan yang membuat kita makan dengan cara-cara tertentu. Di dalamnya, kita bisa melihat cerminan diri kita yang detil dan menyeluruh. Filsafat makanan mencerminkan aspek etis, politis, sosial, artistik, hingga identifikasi pribadi dalam makanan. Pada gilirannya, memacu kita  untuk lebih aktif merenungkan pola makan dan kebiasaan makan demi memahami siapa kita dengan cara yang lebih personal, lebih dalam, lebih subjektif, dan lebih autentik.

Makanan sebagai Relasi
Makanan adalah relasi. Makanan-makanan hanya sehubungan dengan beberapa organisme tertentu, dalam serangkaian keadaan yang "khusus". Misalnya, di beberapa negara di Eropa sarapan dengan menyeruput kopi dan mengisap rokok adalah kebiasaan yang lumrah; namun di Indonesia, sarapan dengan menu yang "sangat eksistensialis" tersebut nampak seperti remaja puber yang baru saja merasakan Quarter-Life Crisis. Kedua, makanan kesukaan terikat dengan prinsip-prinsip kolektif yang cenderung bertentangan. Katakanlah, seseorang menahan diri untuk tidak memakan sate biawak di rumah, tetapi di depan danau di mana tak ada manusia selain dirinya, ia menyantapnya dengan lahap. Dengan demikian, relasi makanan apa pun yang pertama dan terutama adalah cermin dari pemakannya: dipengaruhi keadaan, itu mewakili kebutuhan, kebiasaan, keyakinan, pertimbangan, dan kompromi.

Etika Makanan
Mungkin aspek filosofis yang paling jelas dari pola makan kita adalah keyakinan etis yang membentuknya. Apakah seseorang akan memakan kucing? Seekor kelinci? Mengapa iya atau mengapa tidak? Kemungkinan alasan yang seseorang berikan untuk sikapnya berakar pada prinsip etika, seperti: "Apa enaknya memakan kucing?" atau bahkan "Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu!" Atau, pertimbangkan vegetarisme: sebagian besar dari mereka yang mengikuti pola makan ini melakukannya untuk mencegah kekerasan yang tidak dapat dibenarkan terhadap hewan. Dalam Animal Liberation, Peter Singer melabeli "spesiesisme" sikap orang-orang yang menarik pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara Homo sapiens dan spesies hewan lainnya (seperti rasisme membuat pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara satu ras dan ras lainnya). Jelas, beberapa dari aturan itu bercampur baur dengan prinsip-prinsip agama: keadilan dan surga dapat dipertemukan di atas meja, seperti yang terjadi pada kesempatan lainnya.

Makanan sebagai Produk Seni?
Bisakah makanan dikatakan sebagai produk seni? Bisakah makanan menjadi produk seni? Bisakah seorang juru masak bercita-cita menjadi seniman gigan yang setara dengan Michelangelo, Kandinsky, Picasso, da Vinci, Cézanne, dan van Gogh? Pertanyaan-pertanyaan ini telah memicu perdebatan sengit selama beberapa tahun terakhir. Beberapa berpendapat bahwa makanan (paling banter) hanyalah kerja-kerja kesenian kecil nan fana. Karena tiga alasan utama. Pertama, karena makanan berumur pendek dibandingkan dengan, misalnya bongkahan marmer. Kedua, makanan secara intrinsik terkait dengan tujuan praktis—memenuhi kebutuhan fisiologis untuk makan. Ketiga, makanan bergantung pada konstitusi materialnya dengan cara yang tidak dimiliki oleh musik, lukisan, atau bahkan patung. Lagu seperti "The Great Gig in the Sky"-nya Pink Floyd telah dirilis dalam bentuk vinil, kaset, CD, dan sebagai mp3 di Spotify; tapi tidak dengan makanan. Koki terbaik karenanya akan menjadi pengrajin yang sangat baik; mereka dapat dipasangkan dengan penata rambut mewah atau tukang kebun yang terampil. Di sisi lain, ada yang menganggap perspektif ini tidak adil. Koki baru-baru ini mulai tampil dalam pertunjukan seni dan ini tampaknya secara konkret membantah pernyataan sebelumnya. Mungkin yang paling terkenal adalah kasus Ferran Adrià, koki Catalan yang merevolusi permasakan duniawi selama tiga dekade terakhir.

Pakar Makanan
Orang Amerika sangat menghargai peran ahli makanan; Prancis dan Italia terkenal tidak. Mungkin karena cara yang berbeda dalam memandang praktik penilaian suatu makanan. Apakah sup Bawang Perancis itu asli? Ulasan mengatakan anggur itu elegan: apakah itu masalahnya? Mencicipi makanan atau wine bisa dibilang merupakan aktivitas yang menghibur, dan menjadi pintu pembuka menuju percakapan. Namun, apakah ada kebenaran dalam hal penilaian tentang makanan? Ini adalah salah satu pertanyaan filosofis yang paling sulit. Dalam esainya yang terkenal Of the Standard of Taste, David Hume menunjukkan bagaimana seseorang cenderung menjawab "Ya" dan "Tidak" untuk pertanyaan itu. Di satu sisi, pengalaman mencicipiku bukan milikmu, jadi ini sepenuhnya subjektif; di sisi lain, dengan tingkat keahlian yang memadai, tidak ada yang aneh dengan membayangkan untuk menantang pendapat pengulas tentang suatu anggur atau sebuah restoran.

Ilmu Makanan
Sebagian besar makanan yang kita beli di supermarket mencantumkan label "fakta nutrisi". Kita menggunakannya untuk memandu diri kita sendiri dalam menjalankan diet, agar tetap sehat. Tapi, apa hubungannya angka-angka itu dengan barang-barang yang kita miliki di depan kita dan dengan perut kita? "Fakta" apa yang sebenarnya mereka ingin bangun? Dapatkah ilmu gizi dianggap sebagai ilmu alam yang setara dengankatakanlahbiologi sel? Bagi sejarawan dan filsuf-cum-saintis, makanan adalah medan penelitian yang subur karena menimbulkan pertanyaan mendasar tentang validitas hukum alam (apakah kita benar-benar mengetahui hukum tentang metabolisme?) Dan struktur penelitian ilmiah (siapa yang membiayai studi tentang fakta gizi yang kita temukan pada label-labe itu?).

Politik Makanan
Makanan juga menjadi inti dari sejumlah pertanyaan-pertanyaan bagi filsafat politik. Ini hanya beberapa. Satu, tantangan yang ditimbulkan oleh konsumsi makanan terhadap lingkungan. Misalnya, tahukah kau bahwa peternakan bertanggung jawab atas tingkat polusi yang lebih tinggi daripada perjalanan dengan tiket pesawat? Dua, perdagangan makanan mengangkat masalah keadilan dan ekuitas di pasar global. Barang eksotis seperti kopi, teh, dan cokelat adalah contoh utama: melalui sejarah perdagangannya, kita dapat merekonstruksi hubungan kompleks antara benua, negara bagian, dan manusia selama tiga-empat abad terakhir. Tiga, rantai produksi, distribusi, dan ritel makanan memungkinkan banyak kesempatan untuk berbicara tentang kondisi para pekerja di seluruh dunia.

Makanan dan Pemahaman Diri
Pada akhirnya, karena rata-rata orang merasakan relasinya dengan makanan setiap hari, penolakan untuk merenungkan kebiasaan makan dengan cara yang bermakna dapat disamakan dengan kurangnya pemahaman diri atau kurangnya keautentikan. Pemahaman diri dan keautetikan adalah salah satu tujuan utama dari filsafat, maka makanan menjadi kunci sejati untuk membukanya. Inti dari filsafat makanan karenanya adalah pencarian pola makan yang autentik, sebuah pencarian yang dapat dengan mudah dilanjutkan dengan menganalisis aspek lain dari relasi manusia dengan makanan.

Tuesday 7 March 2023

Eksistensialisme dan Sastra (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Prof. Peter Rickman dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Lebih dari sekadar gerakan filosofis, para eksistensialis mengomunikasikan ide-ide mereka melalui drama, novel, dan cerita pendek. Peter Rickman bertanya: mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra?

Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme yang melestarikan subjek tersebut dan menulis karya-karya substansial tentangnya. Namun ia juga menulis, dan dikenal luas untuk, novel, cerita pendek, dan drama. Ini bukanlah hubungan yang kebetulan, karena seorang manusia bisa saja seorang dokter dan pegolf. Karya sastra Sartre mewakili gagasan-gagasan filosofisnya, dan dengan demikian menjadi dikenal luas serta digemari. Dalam hal ini dia mengintensifkan kecenderungan gerakan yang dikenal sebagai eksistensialisme. Søren Kierkegaard, yang biasanya dianggap sebagai bapak gerakan ini, banyak menggunakan perangkat fiksi. Misalnya, karya filosofis signifikannya yang pertama, Either/Or, menyajikan pandangan yang sangat berbeda dari tiga karakter ciptaannya; yang satu estetikus, yang kedua moralis, dan yang ketiga sensualis. Pandangan-pandangan mereka diungkapkan masing-masing dalam bentuk esai, aforisme, surat, dan catatan harian. Friedrich Nietzsche, jika bukan paman seorang bapak baptis eksistensialisme itu, memproduksi Thus Spoke Zarathustra di mana dia menjalin fiksi puitis di sekitar sosok manusia bijak Persia. Martin Heidegger percaya pada signifikansi filosofis puisi dan mencoba mengarang, meskipun tak terlalu berhasil, beberapa karya puisinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan filsafat dalam bentuk sastra bukanlah yang hal baru. Buku Dialogues-nya Plato adalah mahakarya sastra. Diderot dan Voltaire memberikan dua contoh bagaimana pemikir mengekspresikan diri mereka dalam fiksi. Akan tetapi, sebagian besar teks-teks filosofis, selama berabad-abad, berbentuk esai akademis, risalah rigid, dan ceramah-ceramah kuliah yang dibukukan. Jadi, apa dorongan di balik perubahan segar menuju ekspresi sastra ini dan apa pentingnya?

Jawabannya, penulis ingin berargumen, terkait erat dengan dua kontribusi signifikan yang telah dibuat oleh eksistensialisme terhadap perdebatan-perdebatan filosofis. Gelombang popularitas eksistensialisme telah berakhir. Pada tahun 50-an dan 60-an ada seminar-seminar tentang Heidegger di sebagian besar universitas Jerman dan bahkan di beberapa institusi di Anglo-Saxon. Di Paris, eksistensialisme menjadi semacam mode. Banjir itu telah surut dan gerakan filosofis lainnya seperti Dekonstruksi à la Derrida telah mengemuka. Selain itu, kesuraman visi eksistensialis telah dikritik. Heidegger, menulis setelah kekalahan Jerman—dan Sartre, menulis setelah melihat kekalahan Prancis—keduanya memandang hidup sebagai perjuangan melawan kesulitan dan kesengsaraan akibat dari negara mereka yang kalah perang. Nausea-nya Sartre mungkin saja disebabkan oleh 'perjalanan buruk' dan hidup (meskipun berisi kekhawatiran dan ketakutan tapi) boleh jadi mengandung kegembiraan. 

Akan tetapi, masih ada dua pencapaian filosofis yang bertahan lama. Yang pertama adalah sebagai pengingat, didramatisasi dengan jelas dalam naskah-naskah fiksi, bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan berbagai problemanya—tak sekadar kerewelan akademis tentang hal-hal abstrak yang rumit dan sulit. Penulis katakan pengingat karena ini selalu menjadi perhatian filsafat yang sebenarnya; Marx jelas keliru, mungkin bukan karena ketaktahuan, tetapi melalui keinginannya untuk mengembangkan retorika, ketika dia mengklaim bahwa filsafat sampai saat ini lebih peduli pada bagaimana memahami dunia ketimbang mengubahnya. Seseorang hanya perlu membaca Plato, Aristoteles, Hobbes, Spinoza atau Kant untuk mengamati upaya memahami “keinginan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik”. Memang benar, terdapat beberapa filsuf dan seluruh gerakan filosofisnya, paling tidak di zaman kita, yang memprotes bahwa mereka adalah spesialis yang tak berbahaya, yang mengklarifikasi istilah dan mengurai kesalahan tata bahasa, sehingga mereka dapat dibiarkan dengan damai di menara gading intelektualitas mereka. Melawan ini, para eksistensialis telah memberikan pengingat tepat waktu bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan fitur-fiturnya yang khas.

Kedua, eksistensialisme menekankan pada otentisitas individu. Penulis bukanlah sekadar contoh manusia. Tidaklah cukup untuk mengidentifikasi diri ini sebagai seorang Yahudi atau seorang London. Seperti yang ditekankan Heidegger, kesadaran bahwa manusia pasti mati dan bukan hanya kesadaran bahwa seseorang pasti mati, pada akhirnya, akan membawa pulang berbagai identitas unik yang tak tergantikan. Dari sini satu prinsip formal dimiliki oleh semua eksistensialis: seruan pada keotentikan.

Di sinilah alasan kuat untuk beralih dari generalisasi filosofis ke instansiasi sastra. Dalam fiksi dan drama kita dikenalkan dengan sosok-sosok individu yang mengilustrasikan secara detail dan konkret bagaimana rasanya menjadi manusia. Tragedi Yunani seperti Antigone yang dikarang Sophocles, atau lakon-lakon Sartre, tak hanya mengilustrasikan sebuah tema, tegangan konflik antara hati nurani dan ketaatan pada hukum, misalnya, tetapi menghadirkan kepada kita tokoh-tokoh fiksi yang menunjukkan bagaimana orang-orang tertentu—dalam situasi tertentu— merespons sesuatu.

Begitu kita menekankan relevansi filsafat dengan kehidupan manusia, pertanyaan tentang pilihan moral menjadi begitu penting. Fokus ini memberikan alasan lebih lanjut tentang kecenderungan eksistensialisme untuk ekspresi sastra. Karena eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral umum yang jelas, ia didorong dari teori ke arah analisis pilihan pribadi setiap individu. Ini memberikan tantangan yang menarik bagi filsafat moral tradisional, yang memang paling efektif diungkapkan dalam bentuk sastra.

Alasan mengapa eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral dan politik yang koheren adalah penekanannya pada pilihan-pilihan autentik setiap individu. Inilah sebabnya mengapa para eksistensialis, secara individu—dalam keyakinan agama, politik, dan moral mereka—sangat berbeda satu sama lainnya. Kierkegaard adalah seorang Kristen yang taat, Sartre seorang ateis, Heidegger mendukung Nazi dan bahkan tetap setengah hati mengutuk Holocaust, sementara Sartre mendukung komunisme. Mereka semua bersatu dalam kebajikan formal sebuah otentisitas personal, yaitu keotentikan pilihan-pilihan pribadi. Kita selalu dihadapkan pada alternatif-alternatif yang dapat dan mesti kita pilih. Kita dalam ungkapan Sartre “dikutuk untuk bebas”, tetapi derita mendalam muncul, karena tak adanya pedoman objektif.

Penulis mengesampingkan, sebagai subjek yang terlalu luas untuk sebuah artikel, pertanyaan apakah eksistensialisme dijustifikasi dalam membuang standar moral objektif seperti yang telah disediakan oleh Aristoteles, Kant, atau Mill. Namun, kita harus mengakui bahwa semua filsafat moral dibatasi setidaknya dalam dua cara. Salah satunya adalah bahwa dasar dari filsafat moral itu sendiri bertumpu pada asumsi yang terbuka untuk dianalisis secara kritis.

Filsafat moral Aristoteles adalah tentang mencapai kehidupan yang baik, eudaimonia, tak cukup diterjemahkan sebagai kebahagiaan karena melibatkan perkembangan atau pemenuhan diri. Kita semua akrab, bahkan dalam hal-hal sepele, dengan peningkatan yang kita dapatkan dari melakukan hal dengan baik, misalnya berhasil melatih bakat kita. Namun, untuk menyimpulkan pedoman moral apa pun dari ini, kita harus memutuskan apa yang penting bagi manusia, apa yang perlu dipenuhi oleh diri kita, atau mengapa lebih penting mengembangkan bakat untuk berfilsafat ketimbang menggoyangkan telinga? Aristoteles menanggapi pertanyaan ini dengan mendefinisikan manusia sebagai 'binatang rasional' yang pemenuhannya terdiri dari melatih akal dan mengendalikan serta menyeimbangkan secara rasional berbagai hasratnya, (yakni, menemukan cara yang tepat di antara ekses yang saling berlawanan). Tapi dapatkah kita menerima begitu saja rasionalitas manusia sebagai ciri utamanya?

Sangat masuk akal untuk ditekankan, seperti halnya kaum utilitarian, pentingnya memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Tapi ini jelas setengah benar, bagi petinju dan pendaki gunung yang mirip seperti ilmuwan, yang berdedikasi mengekspos diri mereka sendiri, secara sukarela, pada rasa sakit. Ada juga masalah dari mengukur kesenanganku dengan rasa sakitmu, atau kesenangan jangka pendek dengan rasa sakit jangka panjang.

Pendekatan lain diambil oleh para pemikir seperti Hegel atau Marx yang percaya bahwa kita dapat menemukan gerak sejarah sebagai upaya penyingkapan nalar, kemajuan kebebasan atau gerak menuju masyarakat yang adil tanpa kelas-kelas sosial. Kita kemudian dapat bertindak selaras dengan tren seperti itu. Masalahnya adalah kita menjadi ragu apakah ada tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat dilihat dalam sejarah. Terakhir, yang tak kalah penting, dalam tulisan ini perlu diangkat pula filsafat moral-nya Kant, bahwa, menurutnya, alasan-alasan praktis melahirkan kewajiban ketika berbicara kepada kita sebagai suara bawaan dari hati nurani. Hukum moral, yang diartikulasikan dalam formulasi berbeda dari Imperatif Kategoris, bagaimanapun, sangat formal, menuntut konsistensi, ketakberpihakan, dan penghormatan terhadap tujuan orang lain. Alih-alih memunculkan prinsip, ia bertindak sebagai kriteria untuk mereka. Sangat mirip dengan aturan logika, yang tak memberi tahu kita apa yang harus ditulis, tetapi hanya tentang bagaimana menghindari penulisan yang tak masuk akal. Jelas acuan singkat ini tak dapat berlaku adil untuk pendekatan yang berbeda terhadap filsafat moral. Acuan ini hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa filsafat-filsafat moral semacam itu tak dapat memberi kita panduan langsung karena sudah bertumpu pada praduga dan terlalu formal.

Alasan lebih lanjut mengapa teori-teori moral umum seperti itu tak dapat secara langsung memandu kita adalah karena banyaknya konflik-konflik tragis. Teori yang berbeda mungkin setuju bahwa berbohong itu salah atau bahwa kekejaman secara moral tak dapat diterima. Tapi bagaimana jika jujur ​​pun tak baik? Kita mungkin setuju bahwa keadilan maupun perdamaian itu berharga, tetapi kita mungkin menemukan bahwa kita harus berjuang hanya demi menegakkan keadilan.

Merupakan hutang budi bagi para eksistensialis untuk berfokus pada implikasi dari batasan teori-teori moral dengan menekankan pilihan-pilihan pribadi yang tak terhindarkan. Bahkan jika kita mengesampingkan keraguan tentang kemungkinan hukum moral objektif yang berasal dari tuhan, alam atau akal, mereka tak membawa kita sepenuhnya ke keputusan. Kau mungkin, misalnya, menjadi seorang Kristen religius yang menerima setiap perintah Alkitab, namun memilih pasifisme atau percaya pada perang yang adil menurut interpretasimu sendiri. Dengan kata lain, kau tak dapat memprogram komputer dengan prinsip-prinsip moralmu, memasukkan detail-detail kasus tertentu, menekan tombol dan menerima keputusan tentang apa yang harus kau lakukan. Itu terletak pada sifat dasar dari pilihan-pilihan moral yang tak dapat direduksi menjadi personal. Tak ada yang bisa mengangkat beban ini dari pundakmu.

Pengingat bahwa kita tak dapat mengalihkan tanggung jawab kita, tak dapat berlindung di balik teori umum, cukup penting memang, tetapi secara esensial negatif. Bisakah eksistensialis menawarkan semacam panduan positif, yang kita cari dari filsafat? Kita dapat dengan mudah setuju dengan seruan eksistensialisme pada keotentikan dan realisasi diri, tetapi apakah ini lebih membantu daripada seruan pada konsistensi? Di sini kita telah sampai pada alasan lain mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra. Beberapa orang mungkin keberatan dengan argumen penulis sejauh ini bahwa para filsuf masa lalu memegang pandangan moral tertentu yang mereka tawarkan sebagai pedoman. Aristoteles memuji apa yang kita sebut “kebajikan yang lembut”, Kant sangat percaya pada hukuman mati, Mill sangat mendukung kebebasan. Namun, dalam pandangan penulis, kesimpulan semacam itu tak sepenuhnya secara ketat menaungi filsafat mereka, tetapi diwarnai oleh faktor latar belakang budaya dan kepribadian mereka. Tugas filsuf bukanlah sebagai pembimbing moral dan kita tak akan menerimanya filsuf semacam itu, meskipun kita dapat menghormati pandangan moralnya sebagaimana kita menghormati orang yang memegangnya. Apa yang dapat dilakukan filsafat adalah menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang persoalan-persoalan yang harus kita putuskan. Ini adalah nilai dari teori-teori seperti 'rata-rata', imperatif kategoris atau kalkulus kebahagiaan.

Sebuah “bagaimana” lebih lanjut telah dipetakan oleh Kierkegaard dan tetap paradigmatik untuk pendekatan eksistensialis. Selain menawarkan kriteria dan kerangka kerja formal untuk merefleksikan hidup, kita dapat mengangan-angankan model-model individual, atau jenis-jenis kehidupan, dan eksplorasi imajinatif dari implikasinya. Dengan demikian, seorang individu dibantu secara konkret untuk memutuskan, dengan lebih banyak wawasan, menjadi manusia seperti apa yang dia inginkan. Karya sastra yang magnum opus, selalu melakukan hal semacam itu. Dalam eksistensialisme hal tersebut menjadi instrumen tentang usaha-usaha filosofis yang dipilih dan dilakukan secara sadar.

*****

Sumber Literatur

Existentialism & Literature | Issue 32 | Philosophy Now: https://philosophynow.org/issues/32/Existentialism_and_Literature

Sunday 12 February 2023

Milan Kundera dan Eksistensialisme (Esai Translasi)


Sastra yang mengkaji sifat-sifat eksistensi

Menurut Kundera, novel-novelnya lebih mencurahkan perhatian pada studi tentang eksistensi ketimbang studi tentang realitas. Catatan bahwa novel-novel Kundera tak selalu diringkas sebagai eksistensialisme. Meskipun demikian, ide-ide eksistensialis yang digambarkan dalam novel-novelnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi besar eksistensialisme. Menurut Kundera, eksistensi tak berkaitan dengan apa yang telah terjadi; tetapi mengacu pada apa-apa yang mungkin bagi manusia, dan pada semua kemampuan mengada, serta pada semua yang dia bisa. Dengan meneliti tokoh-tokohnya secara dekat, menjadi jelas bahwa mereka merupakan representasi diri-eksperimental yang merepresentasikan pengalaman mengada. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh fiksi Kundera dan realitas mereka memiliki titik referensi eksistensialis yang mengungkapkan bagaimana mereka dan anggapan mereka tentang eksistensi saling berhubungan dan sangat bergantung satu sama lainnya.

Dalam novelnya, The Unbearable Lightness of Being, gagasan-gagasan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Seorang tokoh hadir dari situasi dasar atau beberapa kata. Dalam fiksi, pengarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri… Dengan demikian, imajinasi novel mampu memperluas probabilitas-probabilitas realitas yang rentangnya sampai pada keberadaan realitas. Dalam realitas, semua yang kita miliki diberikan saat kita dilahirkan (hlm. 65).

Menanggapi eksistensialisme

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana Kundera menanggapi para pionir eksistensialisme dalam tulisan-tulisannya. The Unbearable Lightness of Being menukil gagasan Nietzsche: “eternal recurrence/eternal return/perulangan abadi”. Gagasan ini mewartakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan perulangan dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebagai tambahan, ini adalah perulangan dari perulangan itu (hlm. 76). Dalam Nietzsche, gagasan perulangan abadi adalah hal yang positif. Namun, Kundera percaya itu absurd karena hidup hanya sekali, dan kehidupan tak dapat diulangi, sehingga tak mungkin bagi seseorang untuk secara substansial memperbaiki dirinya sendiri. Kundera membuat referensi dalam buku yang sama dengan pepatah Jerman yang berarti bahwa “melakukan sesuatu sekali sama dengan tak pernah melakukannya” (hlm. 142). Novelis eksistensialis itu bertanya-tanya apakah kehidupan manusia memiliki makna karena hidup itu sementara dan teruslah berubah-rubah. Ungkapan indeterministik Beethoven berulang kali dikutip dalam novel: Must that be so? (hlm. 189). Keadaan manusia tak ditentukan oleh kebetulan yang tak mereka sesali: mereka dapat memilih takdir yang mereka inginkan. “To be or not to be”-nya Hamlet pun memperoleh pemaknaan metafisik dengan menekankan pemberontakannya terhadap hidup yang sekali melalui “kemungkinan” yang dimilikinya.

Seperti yang disiratkan Kundera dalam tulisan-tulisanya—hidup manusia memang hanya sekali, tetapi keputusan yang kita buat pada titik waktu yang berbeda-beda mengandung berbagai pilihan yang bercabang-cabang. Jika tak ada kemungkinan, hidup menjadi mekanis, dan otonominya berkurang. Selalu ada kemungkinan, yang mengungkap kompleksitas keadaan eksistensi manusia. Meskipun demikian, dimensi kemungkinan ini akan selalu menjadi kekuatan “tak-berwujud”; yang tak dapat direalisasikan. Kundera mengungkapkan konflik antara probabilitas dan realitas melalui tokoh Tomáš, yang secara acak mengingat argumen terkenal Plato tentang jenis kelamin manusia dalam buku Dialogues-nya: manusia pada mulanya hermafrodit (berkelamin ganda) dan, karena Zeus membelah umat manusia menjadi dua (perempuan dan lelaki), setiap bagian itu mengembarai dunia demi mencari pasangannya (hlm. 623). 

Oleh karenanya, cinta adalah impuls untuk mencari belahan jiwa yang telah lama hilang. Cinta sejati akan selalu ada sebagai kemungkinan yang ideal, tak pernah menjadi kenyataan—sebab kita tak dapat betul-betul memastikan apakah seseorang yang kita pacari adalah benar-benar belahan jiwa kita atau bukan, misalnya. Konsekuensi logisnya, orang-orang idealis vis-à-vis langsung dengan kepusingan yang diakibatkan oleh ketakmampuan mereka untuk secara komprehensif dan valid menilai: apakah calon pasangan hidup mereka adalah seseorang yang harus mereka jadikan sebagai “komitmen” atau tidak.

Dari perspektif lain, dalam konteks sebuah narasi profan-duniawi, tak ada yang bisa kembali setelah mengalami musibah, begitu pula kematian. Dalam pengertian ini, das Sein zum Tode-nya Heidegger sangat diperlukan untuk memahami eksistensi manusia, karena seseorang hanya dapat membayangkan kematian sebagai kemungkinan final yang terakhir; hanya dengan begitu seseorang dapat menghargai kehidupan. Itu menjadikan kematian sebagai dasar dari semua kepastian dan makna dalam hidup: masa depan manusia terletak pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipahami, tetapi terus-menerus digantikan oleh kematian, yang terbesar dari segala kemungkinan-kemungkinan (hlm. 65).

Dalam sensibilitas ini, begitu seseorang mengatasi kematian dan memiliki cukup waktu untuk menjelajahi semua kemungkinan, kehendak untuk hidup menjadi tak dapat diatasi—dengan kata lain, kehendak untuk mati menjadi tinggi. Seorang penulis feminis-eksistensialis, Simone de Beauvoir, menghadirkan konsep kematian ini dalam novelnya, All Men Are Mortal (1946), di mana protagonisnya hidup abadi—mengalami semua hal di dunia sebagai hasil dari kekekalannya, tetapi yang dia inginkan hanyalah mati secepatnya—dia tak lagi memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehidupan, akibat dari tak adanya kemungkinan-kemungkinan.

Pilihan-pilihan bebas adalah beban berat yang tak terbatas

Bagian argumen ini akan membahas Jean-Paul Sartre dan beberapa pernyataannya yang terkenal tentang eksistensi manusia.

Pernyataan Sartre tentang eksistensi membentuk dasar dari argumen ini: “eksistensi bukanlah apa-apa.” Dia percaya bahwa benda-benda seperti cangkir kopi adalah jenis keberadaan yang “ada-dalam-dirinya sendiri”, sedangkan manusia adalah “ada-bagi-dirinya”. Atau, dengan kata lain, keberadaan manusia berasal dari ketiadaan/nihilnya esensi. Selain itu, dia menguraikan bahwa “eksistensi mendahului esensi”—yang menunjukkan bahwa dengan eksistensi, seseorang dapat mengerahkan inisiatif subyektifnya untuk menciptakan dan mengembangkan esensi-nya sendiri. Manusia pada dasarnya bebas, menurut Sartre—dan, karena tak ada esensi abadi yang mengikatnya dalam kebebasan itu, manusia memiliki kebebasan total untuk membuat pilihan dan harus menentukan hidupnya untuk menghadapi keadaan kebebasannya yang mutlak.

Sartre mengilustrasikan masalah pilihan menggunakan kasus Eichmann, seorang perwira Nazi. Demi membela tindakannya, Eichmann menegaskan bahwa: “Saya seorang prajurit; saya mengikuti perintah, dan saya tak punya pilihan.” Untuk membantah pernyataan ini, Sartre menegaskan bahwa Hanya karena kau tak memiliki daya upaya atau keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan—itu tak berarti kau tak memiliki pilihan sama sekali (hlm. 78). Eskapisme, menipu-diri, dan penolakan terhadap keadaan harus dihentikan dengan segala cara.

Sartre berpendapat bahwa kebebasan memilih adalah hal yang sulit. Oleh karena itu penting untuk menentukan standar pengambilan keputusan dan menetapkannya secara mandiri. Terlepas dari hasrat semua orang pada landasan yang kokoh dan andal untuk mendasarkan keputusan mereka, Sartre menegaskan bahwa kita membuat semua keputusan berdasarkan standar yang ditentukan oleh diri kita sendiri. Pilihan pasti memiliki konsekuensi, bagaimanapun, katanya “tak ada seorang pun yang dapat mengemban kewajiban ini”: setelah memilih, seseorang bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya.

Di sini, pengaruh Nietzsche terbukti nyata adanya. Nietzsche bukan seorang realis-moral—dia tak percaya bahwa moralitas dan nilai-nilai dapat diukur melalui standar yang objektif.  Manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri. Sartre juga percaya pada subjektivitas nilai.

Tujuan diskusi ini adalah untuk mencari penjelasan dari apa yang Kundera maksudkan dengan “lightness of being” dalam judul novelnya. Mempertimbangkan bagaimana cara dia membahas eksistensi manusia, mengapa “lightness” yang dia maksud melekat pada eksistensi manusia.

Eksistensi manusia memiliki kemungkinan tak terbatas dan tak mempunyai batasan yang melekat padanya. Yang ringan dan leluasa. Masalah dari “keleluasaan” semacam ini adalah ia seperti terasing dari dunia eksternal karena tak terkekang oleh norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya. Singkatnya, suatu keberadaan tanpa petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran dari seseorang di luar dirinya. Kundera tampaknya berpendapat bahwa pilihan-pilihan kita dalam hidup ini dan tindakan-tindakan yang diambil tak memiliki legitimasi. Kita adalah satu-satunya hakim atas tindakan kita sendiri. Adalah tak mungkin untuk menentukan pilihan kita secara tepat berdasarkan faktor-faktor seperti kebangsaan, jenis kelamin, etnis, dan latar belakang ideologis.

Oleh karena itu, “keberadaan yang leluasa” ini disertai dengan keadaan yang berat. Misalnya, kita dapat mengikuti suatu cara hidup yang mungkin tak diperbolehkan di dunia tradisional mana pun—tetapi di sisi lain, semua rasa sakit, derita, dan trauma katastrofis yang terkait dengannya adalah milik kita sendiri—hanya diri kita sendiri yang mampu merasakannya. Oleh karenanya, kehidupan (dan keberadaan manusia) adalah keleluasaan yang tak tertahankan.

Solusi komunitarian

Charles Taylor, seorang filsuf komunitarian dari Kanada, mengusulkan satu kemungkinan obat untuk “keleluasaan keberadaan yang tak tertahankan”-nya Kundera. Menurutnya, komunitarian menolak egoisme ekstrem dan beberapa paham liberal—dan justru menekankan pentingnya latar belakang budaya dalam membentuk seorang individu. Manusia cenderung mempunyai denominator umum yang terstandar bla-bla-bla—semacam landasan bersama. Dengan demikian, kekhasan atau otentisitas masing-masing individu didasarkan pada kesamaan itu dan tentu saja tak sepenuhnya bertentangan dengannya. Untuk memperjelasnya, ketika seseorang mengembangkan identitasnya, dia tak mengatakan dan tak harus menganggap segala sesuatu di luar dirinya sebagai penghalang atau musuh. Sebaliknya, dirinya harus melihatnya sebagai sumber daya dan pemicu perkembangannya.

Meskipun demikian, Kundera tak mendukung pemikiran komunitarian dalam tulisannya, dan dia sangat menentangnya melalui istilah yang dia ciptakan: Kitsch.

“Kitsch”

Jika diteliti lebih dekat, terlihat jelas bahwa heroisme apa pun mengadvokasi “pelampauan” realitas ketimbang mendasarkannya pada realitas yang ada—dan hal semacam itu lebih membangkitkan hasrat daripada perilaku yang bijaksana dan realistis. Di sini, teori heroisme Max Weber yang membumi adalah yang paling relevan. Milan Kundera menggambarkan citra heroik ini sebagai kitsch. Seperti disebutkan sebelumnya, kitsch adalah jenis ekspresi di mana pikiran dan perasaan klise disajikan secara sensasional untuk menarik perhatian publik. Analisis mendalam mengungkapkan bahwa kitsch adalah estetika yang didukung oleh pandangan dunia tertentu—yang dapat disebut filosofis—lebih dari sekadar gaya artistik. Kitsch adalah filsafat deterministik ekstrem yang berakar pada satu logika menyeluruh.

Filsafat jenis ini “menyaring-keluar” kontingensi, ambiguitas, paradoks, dan berbagai faktor non-deterministik lainnya dalam praktik kehidupan—sehingga dapat mencapai kesubliman moral yang tak tergoyahkan dan menggugah nafsu-nafsu yang menyentuh dalam estetika. Dengan demikian, kitsch dapat dipahami sebagai keseluruhan inspirasi emosional yang dapat direpresentasikan oleh ideologi; semua gagasan tentang gerakan kompulsif; dan semua ide-gagasan yang gemar digunakan oleh sosiolog dengan mengkategorikan identitas dan ideologi seseorang. Pada akhirnya, kitsch adalah sebentuk rayuan-diri, yang bergerak secara otomatis, yang menyentuh demi “menyentuh”.

Kundera dengan tegas menegakkan anti-kitsch dalam tulisannya. Dia percaya bahwa sejarah adalah semacam komedi, atau pengungkapan rahasia dari eksistensi manusia, yang merupakan pengakuan dalam keadaan “paradoks tertinggi” (hlm. 93). Dalam keadaan kitsch yang tragis, selalu ada bentuk pemuasan emosi, seperti kesedihan, kemalangan, kegembiraan, atau dendam… tetapi tak ada ironi atau humor. Menggunakan narasi alegoris akan mengganggu yang “estetis” dan yang “sublim”, membawanya ke ranah yang najis seperti dalam kehidupan sehari-hari. Tapi tulisan Kundera menghargai gelak tawa dan mengutuk retorika, mengadopsi pendekatan penulisan yang tanpa tekanan dari apa yang disebut “keseriusan”.

Koeksistensi dengan “kitsch”

Kundera juga sangat sadar bahwa kitsch sudah mendarah daging dalam kondisi manusia—karena ia adalah atribut intrinsik dari sifat manusia—manusia harus menerimanya dan hidup dengannya.

Sabina, yang merupakan karakter “paling leluasa” dalam The Unbearable Lightness of Being, menjelang akhir hidupnya—ditulis Kundera begini: “Dia mengatakan kitsch adalah musuh bebuyutannya, tetapi bukankah dia adalah kitsch di dalam hati?” (hlm. 84).

Contoh lain adalah Meursault-nya Camus dalam buku The Stranger. Merupakan kesalahan besar untuk berpikir bahwa Meursault tak peduli tentang apa pun karena dia menolak hampir setiap kitsch yang pernah terpikirkan. Pedahal, yang ditentangnya adalah semacam kegaduhan massa. Jelas bahwa dia menyadari pentingnya menyembuhkan dirinya sendiri dan tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Meursault tergelincir ke dalam jurang, “dia menyerah untuk melawan” (hlm. 56)— selangkah demi selangkah di paragraf terakhir dan bagian paling menarik dari buku itu: monolog Meursault di dalam penjara. Sangat mungkin untuk menyatakan bahwa kekosongan mutlak ini adalah cara tragis untuk menghibur diri dan menjaga kewarasan. Juga benar bahwa kesadaran akan kekosongan hidup mengarah pada upaya penyelamatan-diri Sisyphean, dengan cara yang sama—dengan menyadari fakta bahwa manusia hidup di dunia yang porak poranda dan rusak—dapat menjadi kekuatan yang berguna.

Mewaspadai pemikiran yang oposisi biner

Kierkegaard mengisahkan sebuah cerita tentang seorang pria yang bangun pada suatu pagi dan menemukan dirinya mati— tanpa pernah menggali akar eksistensinya. Ini menandakan bahwa ada seseorang yang tak berani berfilsafat atau memfilsafati kehidupan. Meskipun manusia sangat menggelisahi zaman atom (mengacu pada periode sekitar 1940-1963, ketika kekhawatiran tentang perang nuklir mendominasi masyarakat Barat selama Perang Dingin), manusia tetap saja linglung seperti tokoh dalam cerita Kierkegaard—tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial.

Dewasa ini, dalam masyarakat yang sangat terpolarisasi, banyak orang merasa sulit untuk membebaskan diri dari pemikiran yang oposisi biner. Inilah mengapa mereka perlu menggunakan klise berulang kali untuk menipu diri mereka sendiri. Namun, para eksistensialis berkali-kali mengingatkan kita: mendefinisikan dan mengarahkan eksistensi manusia sedemikian sederhana adalah penghinaan terhadap kompleksitas manusia. Oleh karenanya, kita mesti mengingat ajaran Socrates dari dua ribu tahun yang lalu: pergunakan akalmu sendiri demi membuktikan eksistensimu!

Referensi

Aji, Aron, ed. (1992). Milan Kundera and the Art of Fiction: Critical Essays. New
York:Garland.
Kundera, Milan. (1995) Testaments Betrayed: An Essay in Nine Parts. New York:
HarperCollins.
Kundera, M. (1984). The Unbearable Lightness of Being. London: Faber & Faber Limited.
Ricard, François. (2003). Agnes’s Final Afternoon: An Essay on the Work of Milan Kundera. Translated by Aaron Asher. New York: HarperCollins.
Weeks, Mark. (2005). “Milan Kundera: A Modern History of Humor Amid the Comedy of History.” Journal of Modern Literature 28: 130-148.
Woods, Michelle. (2006). Translating Milan Kundera. Clevedon, England: Multilingual Matters, 2006.
Sartre, J-P. (1943/2003) Being and Nothingness. Oxon: Routledge.(1938/2000) Nausea. London: Penguin Books.
Kussi, P. (1983) ‘Milan Kundera: Dialogues with Fiction,’ in Bloom, H. (ed.) (2003)
Milan Kundera. Philadelphia: Chelsea House Publishers, pp. 13-17
Manser, A. (1967) Sartre: A Philosophic Study. London: The Athlone Press.

***

Sumber Literatur

Milan Kundera and Existentialism - Thinking Reed: https://ladernieregeneration.org/2022/09/23/milan-kundera-and-existentialism/

Sunday 29 January 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html

Friday 23 December 2022

Batas-Batas Bahasa dalam Filsafat Wittgenstein (Esai Translasi)

Esai ditulis oleh Tim Rayner dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) adalah salah satu filsuf terpenting abad ke-20. Wittgenstein tak hanya menyumbang pemikiran krusial dalam diskursus tentang bahasa, logika, dan metafisika, tetapi juga dalam etika—cara kita hidup di dunia. Dia menerbitkan dua karya signifikan: Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953), yang melambungkan namanya. Kedua buku ini adalah kontribusi besar bagi filsafat bahasa abad 20.

Wittgenstein memiliki kepribadian yang begitu sulit dipahami. Mereka yang mengenalnya (mungkin akan) mengira apakah dia adalah orang gila ataukah seorang jenius. Wittgenstein dikenal karena membuat dirinya sendiri frustrasi—seperti seseorang yang mondar-mandir di suatu ruangan mengutuki kebodohannya sendiri, dan menyumpah-serapahi para filsuf karena kebiasaan mereka mengikat diri mereka sendiri dalam “simpul-simpul semantik”. Dalam kerendah-hatiannya, Wittgenstein tidak takut mengakui kesalahannya sendiri. Dia pernah berkata: “Jika orang tak pernah melakukan sesuatu yang bodoh, tak ada kecerdasan yang akan didapatkan”. Dia juga berkata: “Aku tak tahu mengapa kita ada di sini, tetapi aku cukup yakin itu bukan untuk bersenang-senang”. Wittgenstein adalah seorang dosen dan para mahasiswa mengikuti kelasnya di Universitas Cambridge dengan gemetar, tak pernah yakin apakah mereka akan menyaksikan tindakan brilian dari dekonstruksi-logis atau ledakan dari pikiran yang tersiksa.

Terkadang krisis memicu produktivitas. Wittgenstein, yang terus-menerus berada dalam cengkeraman semacam “bencana intelektual”, cenderung memajukan pemikirannya dengan menyanggah apa-apa yang sebelumnya mapan dan dia anggap benar. Contoh terbaiknya adalah hal yang membuatnya terkenal, menyatakan “nature bahasa”. Dalam Tractatus, Wittgenstein mengemukakan teori representasional dari bahasa. Dia menggambarkan ini sebagai The Picture Theory: realitas (‘dunia’) adalah kumpulan fakta-fakta yang begitu banyak yang dapat kita gambarkan dalam bahasa, dengan asumsi bahwa bahasa kita memiliki bentuk logis yang memadai. “Dunia adalah totalitas fakta-fakta, bukan benda-benda” kata Wittgenstein, dan fakta-fakta ini tersusun dengan cara yang logis. Tujuan filsafat, bagi Wittgenstein muda, adalah mengembalikan bahasa ke bentuk logisnya, agar lebih baik menggambarkan bentuk logis dunia.

Karya-karya awal Wittgenstein mengilhami generasi positivis-logis—para pemikir analitis-kritis yang berangkat untuk menyanggah ‘pseudo-statements’ yang tak dapat diverifikasi dalam upaya untuk menentukan batas-batas bahasa yang bermakna. “Apa yang tak dapat kita bicarakan, kita mesti membiarkannya dalam diam”, Wittgenstein melantunkan kutipan tersebut di bagian penutup Tractatus. Untuk menjadi seorang filsuf, seseorang harus belajar menahan lidahnya. Positivisme logis adalah gerakan berpengaruh yang mendefinisikan bentuk filsafat analitik hingga tahun 1960-an. Akan tetapi, itu dilemahkan oleh karya orang yang sama yang menjadi pendirinya. Pada tahun 1930-an, Wittgenstein telah memutuskan bahwa The Picture Theory sungguh keliru. Dia mengabdikan sisa hidupnya untuk menjelaskan alasannya. “Beristirahat dengan kepuasan diri sama berbahayanya dengan beristirahat saat kau berjalan di salju”, ujarnya, “Kau tertidur dan mati dalam tidurmu” tambahnya.

Pergeseran pemikiran Wittgenstein, antara Tractatus dan Philosophical Investigations, memetakan pergeseran umum dalam filsafat abad ke-20 dari positivisme logis ke behaviorisme dan pragmatisme. Ini adalah pergeseran dari melihat bahasa sebagai struktur tetap yang dipaksakan pada dunia menjadi melihatnya sebagai struktur cair yang terikat-erat dengan praktik dan bentuk kehidupan kita sehari-hari. Bagi Wittgenstein, selanjutnya, membuat pernyataan yang bermakna bukanlah masalah memetakan bentuk logis dunia. Ini adalah masalah menggunakan istilah yang secara konvensional didefinisikan dalam ‘Tata Permainan Bahasa’ yang kita mainkan dalam kehidupan sehari-hari. “Dalam banyak kasus, arti sebuah kata adalah dari penggunaannya”, tulis Wittgenstein, dalam bagian paling terkenal di buku Philosophical Investigations. Bukan ‘apa’ yang kau katakan, melainkan cara kau mengatakannya, dan konteks di mana kau mengatakannya. Kata-kata adalah ‘bagaimana’ kau menggunakannya.

Komunikasi, dalam model ini, melibatkan penggunaan istilah-istilah konvensional dalam cara yang diakui oleh komunitas linguistik. Ini melibatkan suatu cara untuk memainkan tata permainan bahasa yang diterima secara konvensional.

“Jika seekor singa dapat berbicara, kita semestinya tak dapat memahaminya”, kata Wittgenstein, karena tata permainan bahasa singa terlalu berbeda dari “permainan” kita untuk memungkinkan pemahaman kita terhadapnya. Perlu dicatat, selain itu, teori Wittgenstein memungkinkan singa memiliki bahasa, yang didasarkan pada dinamika sosial dari aktivitas berburu dan kawin mereka. Auman dua singa jantan dewasa, yang menantang satu sama lain demi memimpin kawanan, dapat dikatakan sebagai aktivitas permainan bahasa seperti olok-olok dua manusia yang saling-saing, masing-masing berusaha mengalahkan yang lain melalui permainan kata-kata. Kita begitu jauh dari jalan pandangan formalistik bahasa yang dijelaskan dalam Tractatus. Kita telah meninggalkan ranah logika murni Platonis dan menemukan kembali dunia.

Pandangan Wittgenstein tentang bahasa sebagai praktik sosial sangat berguna bagi siapa saja yang ingin berkomunikasi dengan jelas dan efektif. Para penulis dan komunikator selalu diberitahu untuk memikirkan audiens yang mereka ajak bicara dan menyusun komunike mereka sesuai dengan itu. Filsafat Wittgenstein mendorong sudut pandang ini—membawa kemudian melampaui linguistik ke dalam etnografi. Untuk berkomunikasi dengan suku sosial, dengarkan bagaimana mereka bermain dengan bahasa. Dalam banyak kasus, bahasa gaul, olok-olokan, dan lelucon bukanlah bentuk komunikasi 'sekunder' yang terstruktur dengan buruk, tetapi sarana kode untuk menyusun pertukaran tajam dalam suatu komunitas. Sebuah gambar, kata mereka, bernilai ribuan kata, tetapi lelucon yang tepat waktu dapat mengungkapkan pandangan dunia. Wittgenstein pernah berkata bahwa “karya kefilsafatan yang serius dan baik dapat ditulis seluruhnya terdiri dari lelucon”.

Lelucon bukanlah sesuatu yang berlangsung sebentar saja, pada saat itu saja. Lelucon-lelucon mungkin secara logis tidak koheren (ini yang sering membuatnya lucu), namun memainkan peran penting dalam permainan bahasa yang mengikat komunitas bersama.

Pandangan Wittgenstein tentang bahasa juga penting bagi siapa pun yang terlibat dalam filsafat. Diktum: “Dalam kebanyakan kasus, makna adalah penggunaan” berfungsi sebagai koreksi penting bagi impuls yang mendorong spekulasi metafisik tidak jelas yang didasarkan pada penyalahgunaan kata-kata. Ambil kata 'Tuhan', misalnya. Perdebatan kontemporer antara ateis dan teis (seseorang yang percaya Tuhan) didasarkan pada gagasan apakah kata 'Tuhan' merepresentasikan sesuatu yang nyata di dunia ataukah tidak sama sekali. Teis berpendapat bahwa kata tersebut merepresentasikannya (dan mengikat diri mereka dalam simpul semantik—mencoba untuk memverifikasi klaim ini), sementara ateis berpendapat sebaliknya. Namun, kedua pihak dalam perdebatan ini tanpa disadari mengandalkan The Picture Theory. Dalam teori ini, bahasa merepresentasikan fakta-fakta tentang dunia. Apa yang dikatakan hanya akan berakhir menjadi benar atau salah. Keduanya tidak akan pernah bertemu pada satu konvensi.

Pendekatan Wittgensteinian untuk perdebatan ini dimulai dengan menunjukkan bahwa 'Tuhan' adalah kata yang memiliki arti berbeda dalam konteks komunitas yang berbeda. Dalam konteks komunitas linguistik yang berbeda, orang-orang menggunakan kata 'Tuhan' dengan cara yang berbeda untuk mengartikulasikan aspek pengalaman yang berbeda-beda pula (pertimbangkan kalimat “Sekarang semuanya ada di tangan Tuhan” atau “Ketika matahari terbit, aku merasakan kehadiran Tuhan”). Dengan demikian, cara berpikir lain tentang makna 'Tuhan' adalah dengan melihat penggunaan istilah ini di orang-orang sebagai gerakan dalam permainan bahasa sosial—sebuah gerakan yang idealnya memiliki konotasi spesifik untuk anggota komunitas. Mungkin istilah 'Tuhan' tersebut mengungkapkan kesetiaan pada cara hidup, jalan hidup, seperti argumen Karen Armstrong. Mungkin mengungkapkan keheranan manusia di hadapan keberadaan. Intinya adalah bahwa menggunakan istilah tidak selalu menyiratkan kepercayaan pada entitas yang sesuai dengan istilah tersebut. Arti sebuah kata bergantung pada kegunaannya dalam konteks, bukan referensi idealnya di luar semua konteks yang memungkinkannya.

Ajaran Wittgenstein memiliki nilai praktikal. Mengapa membuang-buang waktu untuk memperdebatkan masalah yang tidak akan pernah terselesaikan ketika semuanya dapat dikempiskan dengan pertanyaan sederhana: “Apakah kita membicarakan hal yang sama?”. Jika kau berjuang untuk mengatasi dorongan untuk mendefinisikan sesuatu dengan terlalu hati-hati, atau menemukan diri kau sendiri terobsesi terhadap arti kata-kata dan definisi 'benar-nya', atau jika kau merasa yakin, seperti banyak filsuf, eksistensi kata secara logis menyiratkan beberapa esensi metafisik, atau bentuk Platonis, yang sesuai dengan kata ini, ingatlah bahwa apa yang memberi makna pada kata adalah wacana-sosial-konvensional di mana kata itu digunakan. Dengan memerhatikan konteks bahasa biasa yang memberi arti pada kata-kata, kita dapat menghindari penyalahgunaannya dan tak mencoba membuatnya menjadi hal-hal yang tidak dimaksudkan. Semakin kita mengembalikan kata-kata ke “rumah mereka”, melihatnya dalam konteks bahasa biasa tempat mereka bekerja, semakin mudah untuk melepaskan simpul-simpul dalam bahasa dan memahami apa yang sebenarnya dikatakan.

Sumber Literatur:

Meaning is use: Wittgenstein on the limits of language, Tim Rayner: https://philosophyforchange.wordpress.com/2014/03/11/meaning-is-use-wittgenstein-on-the-limits-of-language/

Wednesday 2 November 2022

Apollonian-Dionysian Nietzsche dan Penolakan Kehendak Schopenhauer (Esai Translasi)

Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Salah satu tesis Nietzsche dalam The Birth of Tragedy—adalah tentang bagaimana tragedi Yunani—merupakan produk sintesis antara dua impuls artistik yang begitu kontras, Apollonian dan Dionysian. Tapi apa sebenarnya makna dari dua impuls tersebut? Pertama-tama, orang Yunani kuno memiliki kebijaksanaan populer—berasal dari kepekaan kuat mereka—mengarah menuju pandangan dunia yang pesimistis:

“Mampu mengalami penderitaan besar, amat rentan terhadap rasa sakit—sangat masuk akal bila orang Yunani dalam kondisi ini berbahaya bagi kehidupan: kekejaman yang menyakitkan bagi eksistensi, bisa membawanya menuju pesimisme, menuju penolakan eksistensi itu sendiri.” (Machado, 2017)

Nietzsche mempertimbangkan kebijaksanaan populer Yunani ketika dia menulis bahwa, dalam mitos, raja Midas menemukan Silenus, dewa tarian dan anggur, di hutan dan bertanya kepadanya perihal sesuatu yang paling diinginkannya. Silenus, yang sering mabuk-mabukan dan bernyanyi—sebenarnya, telah menjadi kawan dewa Dionysus/Bacchus—menolak untuk menjawab, tetapi setelah raja bersikeras, dia mengatakan bahwa hal terbaik adalah di luar jangkauan manusia: tidak dilahirkan. Maka hal terbaik kedua adalah mati sesegera mungkin.

Menurut Nietzsche, Seni Yunani berangkat dari sini. Semenjak seni dan kepercayaan praktis melebur bersama di Yunani, penciptaan dewa-dewi Olympus merupakan jawaban atas masalah eksistensial yang dirangkum dalam Kebijaksanaan Silenus. Apollo, salah satu Olympians, diperlakukan oleh Nietzsche sebagai simbol ukuran, peradaban, proporsi yang indah, “yang berfungsi sebagai semacam tembok besar yang menjaga alam di teluk”, sebab realitas yang ada kacau-balau, menyakitkan, mematikan, dan selalu dalam perubahan konstan.

Seni Apollonian memiliki representasi terbesarnya dalam epos Homeros, dengan para pahlawan dan dewa-dewinya yang indah. Di hadapan kebijaksanaan pesimistis yang cenderung memusnahkan kehidupan, seni Apollonian muncul untuk menjustifikasi kehidupan, untuk mengklaim bahwa kehidupan itu baik, bahwa manusia memiliki nilai baik secara kolektif maupun secara individu. Dorongan Apollonian juga merepresentasikan individuasi, yang mendefinisikan setiap hal di dunia sebagai sesuatu itu sendiri daripada sesuatu yang lain. Ada semacam kebutuhan untuk mengatur—di dunia yang coba ditangani oleh dorongan artistik ini.

Sangat penting untuk memperjelas bahwa dewa-dewi Olympus dan seni yang menyertainya, meskipun berfungsi sebagai pertahanan terhadap alam yang tidak teratur, bukanlah bentuk eskapisme dari dunia. Sebaliknya, seni Apollonian menancapkan akarnya di dunia dan bermaksud mengaturnya: keberadaan dan kehidupan di dunia ini berharga karena seni Apollonian. Bukan sebentuk pelarian dari dunia menuju realitas yang hanya dapat dicapai dengan kenaikan/pencerahan, agama Olympians (agama politeistik—yang paling umum disembah adalah dua belas dewa—dewi Olympian: Zeus, Hera, Poseidon, Aphrodite, Athena, Artemis, Apollo, Hephaestus, Hermes, Demeter, Ares, dan Hestia) dan puisi Homeros berusaha menciptakan benteng dalam realitas— mempertahankannya dari “gangguan alam” yang menyakitkan, kaotis, jelek, dan menyebabkan begitu banyak penderitaan.

Pendek kata, tidak ada keindahan dalam apa yang natural, tetapi hanya dalam apa yang diatur. Keindahan terdiri dari “wujud”. Wujud inilah yang membuat hidup jadi kita inginkan:

“Untuk melepaskan diri dari kebijaksanaan populer yang pesimis, orang Yunani menciptakan dunia yang indah, alih-alih mengungkapkan kebenaran dunia, itu adalah strategi agar kebenaran ini tidak keluar dan membuat orang-orang Yunani menjadi pesimistis.” (Machado, 2017)

“Wujud” diperlukan, sebab yang-mahaprimordial, realitas metafisik yang ada di balik segala sesuatu, membutuhkan wujud yang indah agar dapat membebaskan dan mengindividualisasikan dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri. Yang-primordial ini dilihat oleh Nietzsche dengan cara yang sama seperti Schopenhauer melihat Kehendak: adalah apa yang nyata di balik dunia wujud. Tapi itu adalah kenyataan yang tidak mungkin untuk ditoleransi, dan itulah sebabnya seni Apollonian diciptakan. Dorongan Apollonian adalah apa yang membawa ketertiban, individuasi, Negara, dll.

Apollonian adalah tahap pertama yang dianalisis oleh Nietzsche. Tahap kedua adalah seni Dionysian, yang berasal dari kultus yang datang dari luar Yunani dan akhirnya dianut oleh Yunani. Kultus-kultus ini memiliki sosok dewa yang liar, pengembara, pemabuk, dan orgiastik—Dionysus. Meskipun dorongan Apollonian merepresentasikan mimpi dalam kenyataan—mimpi peradaban, mimpi wujud-wujud dan proporsi yang indah, individual, teratur, dan terukur—dorongan Dionysian membawa serta keinginan untuk kembali ke yang-primordial, dunia Kehendak, yang alami, kaotis dan tanpa ukuran. Dionysian merayakan aspek-aspek realitas ini, mencari lebih banyak pengalaman mistik tentang penyatuan dengan segala sesuatu ketimbang menghasratkan keteraturan dan pemisahan. Ini merepresentasikan bahaya tidak hanya untuk seni Apollonian dan dewa-dewa Olympus, tetapi juga untuk cara hidup orang Yunani, sebab seni Apollonian dan kepercayaan Olympus adalah sesuatu yang menopang gagasan tentang apa yang membuat seseorang bisa dikatakan sebagai orang Yunani.

Kemabukan memproduksi jalan pulang ke keadaan alami di mana tidak ada diferensiasi, yang mengguncang fondasi eksistensi, karena itu mengungkapkan sekali lagi kepada orang Yunani bahwa situasi di tempat yang mereka tinggali hanyalah mimpi peradaban, individualitas, ketertiban, dan keindahan. Dan jika ini semua hanya mimpi, kita kembali ke Kebijaksanaan Silenus: lebih baik tidak dilahirkan; hal terbaik kedua adalah mati secepatnya. Menurut Nietzsche, inilah saat bentuk baru ekspresi seni datang untuk menyelamatkan orang Yunani dari pesimisme sekali lagi: tragedi. Mengutip Roberto Machado, dalam Nietzsche and the Truth:

Jenis seni baru ini (tragedi)—yang merepresentasikan epitome peradaban Yunani—tidak bermaksud untuk membangun parit lain, sekat lain, tembok besar lain yang menghentikan pintu masuk dan perluasan Dionysian, seperti yang ingin dilakukan oleh seni Apollonian dan puisi epos. Ciri khas dari strategi artistik baru adalah mengintegrasikan, dan bukan untuk menekan, elemen Apollonian, mengubah kemuakan yang disebabkan oleh kengerian dan absurditas eksistensi dalam representasi yang mampu membuat kehidupan menjadi mungkin. (Machado, 2017)

Dan dalam kata-kata Nietzsche:

Tragedi itu indah—sejauh gerakan naluriah yang menciptakan kengerian dalam hidup memanifestasikan dirinya dalam tragedi sebagai naluri artistik, dengan senyumnya, seperti anak kecil yang sedang bermain. Apa yang menarik dalam tragedi itu sendiri adalah bahwa kita melihat naluri yang mengerikan menjadi naluri seni dan bermain di depan mata kita. (Machado, 2017, hlm. 37)

Seni tragis mampu menyatukan Apollonian dan Dionysian, wujud dan esensi, tabir Maya dan Kehendak. Namun, itu adalah persatuan yang tidak ditampilkan sebagai koeksistensi pasifis dan abadi, tetapi sebagai konflik antara dua kekuatan, di mana pengetahuan Apollonian untuk sementara dikalahkan oleh Dionysian. Artinya, menurut interpretasi Nietzschean, individuasi (yang diagungkan Apollonian) terungkap sebagai penyebab semua rasa sakit dan penderitaan kita.

Nietzsche menulis: 

“Bentuk paling universal dari takdir tragis adalah kekalahan yang menang atau kemenangan yang dicapai dalam kekalahan. Setiap kali individualitas kita dikalahkan: dan, bagaimanapun, kita merasakan kehancurannya sebagai kemenangan.” (Machado, 2017, hlm. 38)

Metafisika para seniman: “[...] merupakan konsepsi bahwa seni adalah aktivitas metafisik yang tepat dari manusia, konsepsi bahwa hanya seni yang memungkinkan pengalaman hidup sebagai sesuatu yang kuat, tak dapat dihancurkan, dan ceria— terlepas dari perubahan fenomena.” (Machado, 2017) 

Nietzsche melihat metafisika para seniman sebagai respons terhadap metafisika konseptual dan sains. Dia percaya bahwa seni tragis berumur singkat di Yunani, menghilang tiba-tiba, dan mengidentifikasi Euripides dan Socrates sebagai tokoh utama yang bertanggung jawab atas kematian tragedi.

Bagi Nietzsche, Euripides bertanggung jawab untuk mengurangi pentingnya dan penggunaan elemen yang dia anggap penting dalam tragedi: paduan suara yang tragis. Elemen ini, yang digunakan selama pertunjukan, adalah fokus utama dalam tragedi yang “mendahului” Euripides, tepatnya karena melalui paduan suara yang tragis, penonton dapat merasakan apa yang terjadi—dan tidak hanya memahami peristiwa dalam drama sebagai pelajaran moral atau apa pun itu. Tesis Nietzsche adalah bahwa tragedi tidak seharusnya dijelaskan, tetapi dirasakan, dan di situlah bagian penting dari tragedi terletak. Ini tidak hanya sebentuk katarsis, tetapi obat, tonik terapeutik yang membuat mereka yang menontonnya merasakan emosi mereka tanpa perlu mengekstraksi pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana dunia berfungsi. Bukannya kita tidak bisa belajar darinya, tetapi pembelajaran ini lebih terhubung dengan afeksi (perasaan) ketimbang dengan intelektualitas (pikiran). Menurut Nietzsche, tanpa paduan suara yang tragis, hal ini tidak terjadi.

Euripides akan menjadi representasi Socrates dalam konteks seni tragis, dan oleh karenanya Nietzsche menyatakan dia sebagai penulis yang mempercepat “the death of tragedy”—benar-benar bunuh diri, karena Euripides menulis tragedi. Tesis Nietzsche menegaskan hal berikut: walaupun sebelum tragedi Euripides membuat penonton menyentuh “yang-nyata” tanpa perlu melihatnya dengan cara yang dapat dipahami, setelah Euripides kita kedatangan “estetika Socrates”, yang terjadi ketika penyair tunduk kepada filsuf, seseorang yang menganalisis dunia melalui akal dan bermaksud untuk memiliki pengetahuan tentang apa yang universal dan apa yang penting.

Tragedi, sebelumnya, tidak punya kebutuhan untuk menghubungkan peristiwa dengan “logika yang terlihat”, peristiwa tidak mesti memiliki sebab dan akibat yang eksplisit. Kepentingannya terletak pada bagaimana membuat penonton “merasakan”, bukan “memahami”. Hal ini, menurut Nietzsche, tidak dapat ditoleransi oleh para filsuf. Aeschylus dan Sophocles menulis tragedi mereka sehingga mereka dapat bertindak sedemikian rupa sampai menimbulkan perasaan mabuk vitalis kepada penonton. Euripides, sebaliknya, “[...] menjadi penyair rasionalisme Socrates: kritiknya terhadap seni adalah perpanjangan tangan dari kritik Socrates terhadap manusia yang menjalankan tugasnya menggunakan naluri karena mereka tidak-sadar.” (Machado, 2017)

Bertindak berdasarkan insting tanpa berusaha memahami apa yang dilakukannya tentu bertentangan dengan segala sesuatu yang dicari oleh filsuf, yaitu kejernihan pengetahuan saintifik. Pengetahuan tragis dan artistik, pemahaman semacam itu, yang menghubungkan penonton dengan yang-primordial, dengan Kehendak, tanpa perlu pemahaman yang jelas dan sadar tentang mekanisme metafisik—adalah sesuatu yang sepenuhnya dibenci oleh filsuf—dan Euripides adalah juru bicara filsuf di antara para penyair tragis. Filsafat Socrates, yang merupakan induk dari semua ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern—adalah pencarian pemahaman yang mendetil tentang alam. Ia berusaha menembus alam dan mengungkapkan esensi dunia di balik wujudnya. Meskipun kerudung Maya menutupi mata manusia, filsafat mengungkap dunia, mengungkapkan kebenaran di balik ilusi.

Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer, dan pengaruh ini begitu nyata dalam The Birth of Tragedy, buku pertamanya. Bagi Schopenhauer, esensi di balik wujud adalah Kehendak, sebuah kekuatan metafisik yang tunggal, tak lekang oleh waktu dan imanen, yang menjiwai semua keberadaan: dari kekuatan paling dasar fisika Newton hingga organisme paling kompleks. Kehendak tidak memiliki tujuan rasional, tujuan akhir, tetapi hanya kebutuhan mendesak untuk mengobjektifikasi dirinya dalam berbagai hal. Dari sinilah individuasi yang kita lihat di dunia material berasal. Meskipun kita tampak terpisah dalam representasi Kehendak, meskipun ada ilusi tatanan rasional yang dapat kita urai menggunakan kecerdasan dan pengamatan, esensi di balik ilusi multiplisitas alami ini adalah Kesatuan yang irasional dan kaotis:

[...] pemahaman yang dimiliki Schopenhauer tentang Kehendak, kita dapat mengatakannya, sebagai dorongan serampangan dan buta, sebagai kehausan hidup, Kehendak akan segera mengonkretkan ide dan secara tidak langsung mewujudkannya dalam fenomena. Untuk memuaskan hasratnya yang tidak henti-hentinya untuk hidup, kesatuan primitif Kehendak akan melipatgandakan dirinya melalui prinsip individuasi dan kausalitas, menyebarkan dirinya dalam banyak hal yang membentuk dunia fenomena, bahkan yang terkecil dan yang paling terisolir dari fragmen-fragmen ini pun akan tetap menjadi satu, produk dan ekspresi dari Kehendak. (Dias, 1997)

Kehendak, bagi Schopenhauer dan Nietzsche, adalah kaotis, tidak stabil dan menyebabkan rasa sakit serta penderitaan bagi makhluk hidup, di mana ia mengobjektifikasikan dirinya sendiri—rasa sakit dan penderitaan yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk mengulangi representasi individu baru dari Kehendak.  Tapi meskipun bagi Schopenhauer seni bisa berfungsi sebagai penolakan temporer dari Kehendak, pelarian dari rasa sakit hidup yang kacau, bagi Nietzsche Kehendak itu artistik dalam dirinya sendiri, dan ia menebus dirinya sendiri dalam wujud yang dihasilkannya. Dan penebusan eksistensial ini tidak hanya terjadi melalui seni tragis, tetapi juga melalui seni Apollonian, misalnya. Selama momen Apollonian dalam seni Yunani, ada obat penawar rasa sakit dunia, untuk kenaturalan dan kemenjadian yang kaotis. Tragedi datang hanya untuk mendamaikan roh Apollonian dan Dionysian, sesuatu yang, bagi Nietzsche, menciptakan bentuk penebusan yang superior melalui seni. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baginya, bahkan seni Apollonian sudah mampu membuat hidup lebih layak untuk dijalani:

Kebutuhan bahagia dari pengalaman seperti mimpi ini dengan cara yang sama diungkapkan oleh orang-orang Yunani pada Apollo: Apollo, dalam kualitas dewa yang memiliki kekuatan konfigurasi, pada saat yang sama adalah dewa ramalan. Menurut akar dari namanya yang “gemerlap”, keilahian cahaya, ia juga berkuasa di atas wujud indah dunia fantasi. Kebenaran superior, kesempurnaan keadaan-keadaan ini, dalam kontraposisinya dengan realitas umum, seperti celah dan dapat dipahami, diikuti oleh kesadaran mendalam tentang penyembuhan dan sifat masuk akal dari tidur dan mimpi, secara simultan merupakan analogi simbolis dari kemampuan meramal dan juga kemampuan artistik, yang dengannya kehidupan menjadi mungkin dan layak dijalani. (Nietzsche, 2005)

Ini sangat bertentangan dengan pesimisme Schopenhauer dan Kehendak-nya yang menyangkal etika, yang menganggap bahwa menjauhkan diri dari dunia sebagai respons definitif terhadap kondisi manusia. Dalam karya pertama Nietzsche kita menemukan apa yang kemudian disebut Pesimisme-Dionysian: 

“Adalah pesimisme romantis dalam bentuknya yang paling ekspresif, baik itu dalam Schopenhauerian tentang Kehendak, baik itu dalam musik Wagnerian [...] Bahwa masih ada pesimisme yang begitu berbeda dan klasik—intuisi semacam itu milikku [...]” (Nietzsche, 2001)

Sebagian besar, filsafat Nietzsche terdiri dari upaya abadi untuk menolak pesimisme yang menolak kehidupan à la Schopenhauer. Tentang tipe pesimismenya, dia menulis:

“[...] Pesimisme masa depan ini—dan itu akan datang! Aku sudah melihatnya datang!—aku menyebutnya Pesimisme-Dionysian.” (Nietzsche, 2001)

“Corak” pesimismenya ini akan menjadi varian dari pesimisme yang dia lihat dalam tragedi Yunani, yang merangkul kehidupan dengan segenap rasa sakit dan kemalangannya.

Kita hanya bisa berspekulasi apa yang akan Schopenhauer pikirkan tentang pesimisme Nietzsche. Namun tampaknya jelas bahwa dia akan menolaknya dan bahkan tidak akan menganggapnya sebagai pandangan negatif tentang eksistensi. Ketika kita membaca bagian-bagian the World as Will and as Representation, menjadi sulit untuk membayangkan Schopenhauer setuju dengan tesis bahwa kita harus merangkul kemenjadian dengan semua rasa sakit dan penderitaan yang terkandung di dalamnya. Seluruh filsafat Schopenhauerian seperti pendakian besar menuju puncak pengetahuan yang mengerikan: bahwa tidak ada hal baik yang bisa diperoleh dengan melestarikan keadaan yang kita sebut “kehidupan”. Bahkan seni, terutama musik, dengan segala keindahan dan kapasitas pelariannya, tidak mampu menang melawan Kehendak. Oleh karena itu, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyangkal Kehendak dalam diri kita, bukan dengan membunuh diri kita sendiri, tetapi menjauhkan diri dari kehidupan. Bagi Schopenhauer: 

“[...] kita dapat menyebut penekanan otomatis yang total dan penolakan Kehendak ini sebagai kebaikan tertinggi, summo bonum, dan melihatnya sebagai satu-satunya dan cara radikal untuk menyembuhkan penyakit—yang kesemua caranya adalah anodin (obat pereda nyeri), yang hanya bisa meringankan.” (Schopenhauer, 2005)

Namun ada filsuf pesimisme lain yang mampu mengomentari filsafat Nietzsche sejak ia hidup pada abad ke-20: Cioran. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang akan dipikirkan Schopenhauer tentang Pesimisme-Dionysian, tetapi kita memiliki pemikiran filsuf lain yang, dengan caranya, juga menyangkal kehidupan dan keberadaan dengan cara yang lebih mendalam dan ekstrem—sebab Cioran skeptis tentang postulat metafisika yang tepat. Penyangkalan hidupnya terjadi karena dia menganggap bahwa kesadaran sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan dari rasa sakit dan penderitaan. Bagi Cioran, dilahirkan adalah mengada, dan keberadaan sama dengan penderitaan. Tentang Nietzsche, Cioran menulis:

Kepada seorang murid yang ingin tahu di mana aku berdiri sehubungan dengan penulis Zarathustra, aku menjawab bahwa aku sudah lama berhenti membacanya. Mengapa? “Aku menganggapnya naif ...” Aku menahan antusiasmenya, menentang semangatnya. Dia menghancurkan begitu banyak berhala-berhala hanya untuk menggantikannya dengan yang lain: ikonoklas palsu, dengan aspek ketidakdewasaan dan keperjakaan tertentu, kepolosan tertentu yang melekat dalam karier soliternya. Dia mengamati manusia hanya dari kejauhan. Seandainya dia mendekat, dia tidak akan bisa membayangkan atau mengumumkan übermensch (adimanusia) itu, angan-angan yang tidak masuk akal, menggelikan, bahkan aneh sekali, sebuah khayalan yang hanya bisa muncul dalam pikiran tanpa waktu, untuk mengetahui ketenangan panjang menjijikan dari ketidakmelekatan. Marcus Aurelius jauh lebih dekat denganku. Tidak ada keraguan sedikit pun antara lirisisme yang carut-marut dan prosa penerimaan: Aku menemukan lebih banyak kenyamanan, bahkan lebih banyak harapan, pada kaisar yang lelah ketimbang pada nabi yang bergemuruh. (Cioran, 1976)

Referensi: 

Cioran, Emil. The Trouble with Being Born. New York: Arcade, 1976. Tradução para o inglês de Richard Howard.

Dias, Rosa. “A influência de Schopenhauer na filosofia da arte de Nietzsche em O Nascimento da Tragédia” In Cadernos Nietzsche. n. 3, São Paulo, 1997.

Machado, Roberto. Nietzsche e a Verdade. São Paulo: Paz e Terra, 2017.

Nietzsche, Friedrich. O nascimento da tragédia. São Paulo: Cia das Letras, 2005. Tradução de J. Guinsburg.

A Gaia Ciência. São Paulo: Cia das Letras, 2001. Tradução de Paulo César Lima de Souza.

Schopenhauer, Arthur. O Mundo como Vontade e Representação. São Paulo: UNESP, 2005. Tradução de Jair Barboza.

Thursday 27 October 2022

Nietzsche: Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah (Esai Translasi)

Antara tahun 1873 dan 1876, Nietzsche menerbitkan buku Unfashionable Observations/Untimely Meditations/Thoughts Out of Season (bahasa Jerman: Unzeitgemässe Betrachtungen) yang terdiri dari empat karyanya. Bagian kedua dari bukunya ini adalah esai yang sering dialihbahasakan dan diberi judul “The Use and Abuse of History for Life/Penggunaan dan Penyalahgunaan Sejarah untuk Kehidupan” (1874). Namun, terjemahan yang lebih akurat dari karyanya tersebut adalah “On the Uses and Disadvantages of History for Life/Tentang Kegunaan dan Kerugian Sejarah untuk Kehidupan”.

Makna dari “Sejarah” dan “Kehidupan”

Dua istilah kunci dalam judul, “sejarah” dan “kehidupan” digunakan dalam cara yang sangat luas. Nietzsche secara khusus memaknai “sejarah” sebagai pengetahuan historis dari budaya-budaya sebelumnya (misalnya Yunani, Roma, Renaisans), yang mencakup pengetahuan tentang filsafat masa lampau, sastra, seni, musik, dan sebagainya. Tapi dia juga memikirkan pengetahuan secara umum, termasuk komitmen pada prinsip-prinsip ilmiah atau metode ilmiah yang ketat, dan juga kesadaran-diri terkait historisitas-umum yang terus-menerus menempatkan waktu dan budaya seseorang dalam kaitannya dengan orang lain yang telah datang sebelumnya.

Istilah “kehidupan” tidak didefinisikan dengan jelas di dalam esainya ini. Di satu titik, Nietzsche menggambarkannya sebagai “sebuah kegelapan mengemudikan kekuatan keinginan-diri yang tidak terpuaskan”, tetapi itu tidak banyak memberi tahu kita. Apa yang tampaknya paling sering dia pikirkan, ketika berbicara tentang “kehidupan”, adalah sesuatu seperti keterlibatan yang dalam, kaya, dan kreatif dengan dunia tempat seseorang tinggal. Di sini, seperti dalam semua tulisannya, penciptaan budaya yang mengesankan sangat penting bagi Nietzsche.

Apa yang Ditentang Nietzsche

Pada awal abad ke-19, Hegel (1770-1831) telah membangun filsafat sejarah yang melihat sejarah peradaban sebagai perluasan kebebasan manusia dan pengembangan kesadaran-diri yang lebih besar mengenai sifat dan makna sejarah. Filsafat Hegel sendiri merepresentasikan tahap tertinggi yang belum dicapai dalam pemahaman-diri manusia. Setelah Hegel, secara umum diterima bahwa pengetahuan tentang masa lalu adalah hal yang baik. Faktanya, abad kesembilan belas berbangga diri karena lebih terinformasi secara historis daripada zaman sebelumnya.

Nietzsche, bagaimanapun, seperti yang dia suka lakukan, mempertanyakan kepercayaan luas ini.

Dia mengidentifikasi 3 pendekatan terhadap sejarah: yang monumental, yang antikuarian, dan yang kritis. Masing-masing dapat digunakan dengan cara yang baik, tetapi masing-masing memiliki bahayanya sendiri.

Pendekatan Sejarah yang Monumental

Pendekatan ini berfokus pada contoh-contoh kebesaran manusia, individu yang “memperbesar konsep manusia … memberikan rasa puas yang lebih indah”. Nietzsche tidak menyebutkan nama, tetapi dia agaknya merujuk kepada orang-orang seperti Musa, Yesus, Pericles, Socrates, Caesar, Leonardo, Goethe, Beethoven, dan Napoleon. Satu hal yang sama-sama dimiliki oleh semua individu hebat adalah kesediaan yang angkuh untuk mempertaruhkan nyawa dan mengorbankan kesejahteraan materi mereka. Orang-orang seperti itu dapat menginspirasi kita untuk meraih kebesaran diri kita sendiri. Mereka adalah antidote keletihan-dunia.

Tapi pendekatan sejarah yang monumental membawa bahaya-bahaya tertentu. Ketika kita melihat tokoh-tokoh masa lalu ini sebagai inspirasi, kita mungkin mendistorsi sejarah dengan mengabaikan keadaan-keadaan unik yang memunculkannya. Sangat mungkin bahwa tidak ada figur seperti itu yang bisa muncul lagi karena keadaan seperti itu tidak akan pernah terjadi lagi. Bahaya lain terletak pada cara dari beberapa orang yang memperlakukan pencapaian besar di masa lalu (misalnya tragedi Yunani, lukisan Renaisans) sebagai sesuatu yang kanonikal. Mereka dipandang memberi paradigma bahwa seni kontemporer tidak boleh menantang atau menyimpang dari konvensi seni yang sudah ada sejak masa lampau.

Ketika digunakan dengan cara ini, sejarah yang monumental dapat menghalangi jalan menuju pencapaian budaya yang baru dan orisinal.

Pendekatan Sejarah yang Antikuarian

Pendekatan ini mengacu pada pendalaman ilmiah dalam beberapa periode masa lalu atau budaya masa lalu. Ini adalah pendekatan sejarah yang khas akademisi. Berguna membantu kita untuk meningkatkan makna dari identitas suatu budaya. Misalnya, ketika penyair kontemporer memperoleh pemahaman mendalam tentang tradisi puitis tempat mereka berasal, ini memperkaya karya mereka sendiri. Mereka mengalami “kepuasan sebatang pohon dengan akar-akarnya”.

Akan tetapi, pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan tersembunyi. Terlalu banyak tenggelam dalam masa lalu dengan mudah mengarah pada keterpesonaan yang tidak cerdik dan penghormatan terhadap apa pun yang lama, terlepas dari apakah itu benar-benar mengagumkan atau menarik. Pendekatan sejarah yang antikuarian dengan mudah merosot menjadi keterpelajaran belaka, di mana tujuan melakukan sejarah telah lama dilupakan. Dan pemujaan terhadap masa lalu dapat menghambat orisinalitas. Produk-produk budaya masa lalu dipandang begitu gemilang, sehingga kita hanya bisa berpuas diri dengannya dan tidak mencoba menciptakan sesuatu yang baru.

Pendekatan Sejarah yang Kritis

Pendekatan sejarah ini hampir berkebalikan dari pendekatan sejarah yang antikuarian. Alih-alih memuja masa lalu, sejarah yang kritis menolaknya sebagai bagian dari proses menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya, gerakan-artistik-orisinal seringkali sangat kritis dan penuh kritik terhadap gaya yang mereka coba gantikan (cara penyair Romantik menolak diksi buatan penyair abad ke-18). Bahayanya di sini, bagaimanapun, kita akan bersikap tidak adil terhadap masa lalu. Secara khusus, kita akan gagal untuk melihat bagaimana elemen-elemen dalam budaya masa lalu yang kita benci itu diperlukan; bahwa mereka adalah salah satu elemen yang melahirkan kita.

Masalah yang Disebabkan oleh Terlalu Banyak Pengetahuan Sejarah

Dalam pandangan Nietzsche, budaya Jerman/budaya Eropa/budayanya (dan dia mungkin akan mengatakan budaya kita juga) telah membengkak dengan terlalu banyak pengetahuan. Dan ledakan pengetahuan ini tidak melayani “kehidupan”—dengan kata lain, tidak mengarah pada budaya kontemporer yang lebih kaya, lebih bersemangat, lebih hidup. Di sisi lain, para akademisi terobsesi dengan metodologi dan analisis yang canggih. Dengan melakukan itu, mereka kehilangan tujuan sebenarnya dari apa yang mereka kerjakan. Mereka terus-menerus tidak sadar bahwa yang paling penting bukan apakah metodologi mereka masuk akal, tetapi apakah apa yang mereka lakukan berguna untuk memperkaya kehidupan dan budaya kontemporer ataukah tidak.

Seringkali terjadi—alih-alih mencoba menjadi kreatif dan orisinal, orang-orang terpelajar justru membenamkan diri dalam kegiatan ilmiah yang relatif kering. Hasilnya adalah kita hanya memiliki pengetahuan tentang budaya, bukannya memiliki budaya yang hidup. Alih-alih benar-benar mengalami sesuatu, kita mengambil sikap ilmiah yang terpisah dari sejarah itu sendiri. Orang-orang mungkin berpikir di sini, misalnya, perbedaan di antara lukisan atau komposisi musik, dan memperhatikan bagaimana itu mencerminkan pengaruh tertentu dari seniman atau komposer sebelumnya.

Di tengah-tengah esainya, Nietzsche mengidentifikasi lima kelemahan spesifik dari memiliki terlalu banyak pengetahuan sejarah. Sisanya merupakan elaborasi dari poin-poin ini. Lima kelemahan tersebut adalah:

  1. Menciptakan terlalu banyak kontras antara apa yang ada di pikiran orang-orang dan cara mereka hidup. Misalnya, filsuf yang membenamkan dirinya dalam Stoikisme tidak lagi hidup seperti seorang Stoa; mereka hanya hidup seperti orang lain. Filsafatnya secara murni teoretis. Bukan sesuatu yang benar-benar dijalani.

  2. Membuat kita berpikir bahwa kita lebih superior dari zaman sebelumnya. Kita cenderung melihat kembali periode-periode sebelumnya sebagai sesuatu yang lebih inferior dari kita dalam berbagai hal, terutama, mungkin, di bidang moralitas. Sejarawan modern bangga akan objektivitas mereka. Tapi jenis sejarah terbaik bukanlah jenis yang sangat objektif dalam pengertian ilmiah yang kering. Sejarawan terbaik bekerja seperti seniman yang membawa-menghidupkan zaman sebelumnya ke kehidupan kontemporer kita.

  3. Mengganggu naluri-naluri dan menghambat perkembangan kedewasaan. Untuk mendukung gagasan ini, Nietzsche secara khusus mengeluhkan cara para akademisi modern yang terlalu cepat menjejalkan diri dengan terlalu banyak pengetahuan. Hasilnya adalah mereka kehilangan kedalaman. Spesialisasi ekstrem, ciri lain dari ilmu pengetahuan modern, menjauhkan mereka dari kebijaksanaan, yang membutuhkan pandangan yang lebih luas tentang berbagai hal.

  4. Membuat kita menganggap bahwa diri kita adalah peniru yang lebih inferior dari pendahulu kita.

  5. Mengarah pada ironi dan sinisme.

Dalam menjelaskan poin 4 dan 5, Nietzsche memulai kritiknya yang berkelanjutan terhadap Hegelianisme. Esai diakhiri dengan dia mengungkapkan harapan kepada “golongan muda”, yang sepertinya dia maksudkan karena mereka belum cacat oleh terlalu banyak pendidikan.

Di Latar Belakang – Richard Wagner

Dalam esai ini, Nietzsche tidak mengutip kawannya pada saat itu: komposer Richard Wagner. Tapi dalam menarik kontras antara mereka yang hanya tahu tentang budaya dan mereka yang secara kreatif terlibat dengan budaya, dia hampir pasti menganggap Wagner sebagai contoh dari tipe yang kedua. Pada saat itu, Nietzsche bekerja sebagai profesor, di Universitas Basel di Swiss. Basel merepresentasikan pengetahuan historis. Kapan pun dia bisa, dia akan naik kereta api ke Luzern untuk mengunjungi Wagner, yang pada saat itu sedang menyusun Der Ring des Nibelungen-nya. Rumah Wagner di Tribschen mewakili “kehidupan”. Bagi Wagner, jenius-kreatif yang juga seorang yang suka bertindak, terlibat penuh di dunia, dan bekerja keras untuk meregenerasi budaya Jerman melalui opera—mencontohkan bagaimana seseorang dapat menggunakan masa lalu (tragedi Yunani, legenda Nordik, musik klasik Romantik) dalam  cara yang sehat untuk menciptakan sesuatu yang baru.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.