Showing posts with label nietzsche. Show all posts
Showing posts with label nietzsche. Show all posts

Friday, 5 May 2023

“Tiga Metamorfosis” Nietzsche dalam Zarathustra

Der Blaue Reiter (1909) by Kandinsky

“Cara paling pasti untuk merusak seorang pemuda adalah dengan menginstruksikannya untuk menjunjung tinggi mereka yang berpikiran sama daripada mereka yang berpikiran berbeda.”
—Nietzsche, The Portable Nietzsche (1977)
Ini mungkin terdengar cukup sinting, tetapi Nietzsche benar-benar mengarang karya fenomenalnya, Thus Spoke Zarathustra, dalam ledakan-ledakan inspirasi konstan (yang berasal dari “muse” mendalamnya) selama sepuluh hari. Bukunya ini sangat alegoris dan diliputi simbolisme-simbolisme yang, konsekuensi logisnya, seakan-akan membidani aliran filsafat perspektivisme (baca: Gudang Perspektif). Dengan nuansa biblikal tapi di sisi lain mendobrak konvensi: ia menggunakan bahasa Liturgis atau Lingua Sacra khas samawi dalam setiap perkataan (dan perbuatan) tokoh protagonisnya—pada saat yang sama—dengan keras pula mengolok-olok status quo yang telah mapan adanya.

Singkatnya, begini, di sebuah negeri fiktif—ada seorang pengkhotbah yang, bagai nabi pada umumnya, selalu terlihat datang terlalu cepat. Dia adalah Zarathustra—seseorang yang menghargai gelak tawa—yang bahkan mampu menertawakan dirinya sendiri. Seseorang dengan tingkat penguasaan diri yang luar biasa hebat serta memiliki “kehendak untuk berkuasa” yang kuat. Jika diselami, filsafat Nietzsche secara keseluruhan, dan khususnya dalam novel Thus Spoke Zarathustra, memiliki penanda mencolok: prinsip “kehendak untuk berkuasa” sebagai penggerak fundamental dari semua sesuara filosofisnya.

Salah satu bagian yang menarik dari “A Book for All and None” ini adalah bahwa ia memetakan tiga metamorfosis yang mesti dilalui seseorang untuk membuatnya menjadi seorang “kreator-tabel-nilai”; yang memiliki segenap daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri—melampaui seseorang yang sekadar mengamini nilai-nilai purba—yang dipaksakan institusi-institusi sosial/kultural/spiritual selama ribuan tahun kepada manusia.

Meski dapat dikatakan metamorfosis à la Nietzsche sama-sama metamorfosis sempurna seperti telur-nimfa-imago yang, terdengar cukup Kafka-Samsa-kecoak, tetapi jangan berharap tiga metamorfosis dalam Zarathustra ini terjadi dalam satu spesies belaka—atau minimal rasional secara taksonomi—apalagi ditekskan secara terang eksplisitnya.

“Tiga Metamorfosis” dalam Thus Spoke Zarathustra

Camel on a Balmy Night (2013) by Beth Watkins

Metamorfosis pertama adalah unta dan inilah yang ditulis Nietzsche tentang tahap pertama:

“Ada banyak yang memberati si roh, bagi roh pemanggul-beban yang kuat, yang di dalamnya berdiam kehormatan dan rasa segan: kekuatannya merindukan yang berat-berat, yang paling berat. Apakah berat? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, demikianlah ia berlututa bagai unta, ingin dipunggah beban sepantasnya. Apakah hal yang berat, o pahlawan? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, sehingga aku boleh memanggulnya dan bergembira dengan kekuatanku? [...] Sang roh pemanggul-beban memunggah bagi dirinya semua hal yang paling berat ini: laiknya seekor unta tergopoh-gopoh dengan bebannya menuju gurun, demikianlah ia berjalan memasuki gurunnya sendiri.”

Secara interpretatif, unta merupakan pemanggul beban berjiwa kuat yang dalam kesepiannya memanggul beban-beban berat. Beban berat yang dipikul unta adalah sekumpulan “Engkau harus”—sebuah kalimat perintah, semacam kode etik dan perilaku, perspektif rigid dan final untuk melihat dunia—harus begini, harus begitu. Secara lebih luas, “Engkau harus” adalah bahasa perintah yang membawa seseorang menuju perjalanan paling purba dalam sejarah filsafat: perjalanan pertama untuk memperoleh pengetahuan tentang diri dan dunia tempatnya “mengada”. Unta melewati hal-hal tersulit yang terjadi dalam hidup yang remang redup. Kita mulai dengan menjadi unta. Sebagai murid, kita mencari ilmu dan guru—berusaha untuk memahami dunia sebanyak mungkin. Begitu banyak ilmu, begitu banyak pemikir hebat yang kita kagumi dan hormati. Semakin kita tahu sesuatu, maka itu berbanding lurus dengan semakin berat beban yang ada di punggung kita.

Setelah membaca Kierkegaard dan Sartre, eksistensialis lain, unta segera mengembangkan keinginan untuk berhenti memikul beban yang bukan miliknya karena menyadari bahwa ada semacam “ketakpastian objektif” dan tak ada nilai universal atau makna hidup yang tunggal. Tapi gurun itu memungkinkan kesepian yang paling sunyi, dan roh unta tak mau lagi memikul beban ide dan pengetahuan yang bukan miliknya. Dunia, yang telah ditemukan unta, tak memiliki nilai esensial atau universal. Tak ada arti atau makna hidup yang tunggal. Demikianlah unta kemudian bermetamorfosis menjadi singa.

Leo (2015) by Linda Emerson

Inilah yang Nietzsche tekskan pada tahapan kedua:

“... Tetapi di gurun yang paling sunyi terjadi metamorfosis yang kedua: roh menjadi singa, ia ingin merdeka dan menjadi tuan dari gurunnya sendiri. Ia mencari di tempat ini tuannya yang paripurna: ia akan menjadi seorang musuh baginya dan bagi tuhan paripurnanya, ia akan bergulat untuk mengalahkan si naga besar. Apakah naga besar yang oleh si roh tak lagi hendak dipanggil tuan dan tuhan? Naga besar dinamai engkau harus”. Tapi roh si singa berkata “aku hendak”! “Engkau harus” berdiam di jalurnya, bagai seekor binatang buas yang bersisik emas, dan pada setiap sisik berkilauan “Engkau harus” keemasan.

Nilai-nilai ribuan tahun berkilauan pada sisik-sisik itu, dan demikianlah berkata naga yang paling berkuasa dan sekaliannya: “Seluruh nilai benda-benda—menjadi kilauan bagiku.” “Semua nilai telah diciptakan, dan semua nilai ciptaan—terdapat padaku. Sungguh, tak akan ada lagi ‘aku hendak’!” Demikianlah berkata si naga. Saudara-saudaraku, mengapa si singa diperlukan dalam si roh? Mengapa binatang beban, yang tak menuntut apa-apa dan takzim, tak mencukupi?

Untuk menciptakan nilai-nilai baru—bahkan si singa pun tak mampu: tapi untuk menciptakan bagi dirinya sendiri kebebasan bagi pencipta baru—itu tak dapat dilakukan oleh kuasa si singa. Untuk menciptakan kebebasan bagi diri sendiri dan sebuah kata ‘Tidak’ yang suci walaupun terhadap tugas: si singa diperlukan untuk itu, Saudara-saudaraku. Untuk menangkap hak akan nilai-nilai baru—itu kerjaan paling mengerikan bagi roh pemanggul-beban yang takzim. Sungguh, bagi roh ini hal itu pencurian dan kerjaan binatang pemangsa.

Sekali ia mencintai “Engkau harus” ini sebagai hal paling suci baginya: kini ia harus menemukan ilusi dan perubahan pikiran mendadak, bahkan di tempat yang paling suci sekalipun, supaya bisa mencuri kebebasan dan cinta: si singa diperlukan menghadapi pencurian ini.”

Agar singa bebas dan bisa menguasai padang pasir, singa harus menggulingkan penguasa yang ada di sana. Naga adalah penghalang kebebasan yang dicari singa. Pada naga ini terdapat sisik-sisik, dan pada setiap sisiknya yang menarik, keemasan, dan berkilauan tertulis “Engkau harus”. Frasa ini mewakili institusi yang menentukan hukum moral dan nilai-nilai di masyarakat yang mengatur bagaimana kita harus bertindak serta memberi tahu siapa kita. Bagi Nietzsche, naga ini mewakili agama, pemerintah, orang tua, atau pada dasarnya siapa pun yang bersifat mendoktrin. Pendek kata, filsuf berkumis baplang ini percaya bahwa individu sejati harus membangun tujuannya dengan caranya sendiri.

Children Of Light - Colorful Bright Read And Blue Abstract Art Painting (2017) by Gordan P Junior

Dan beginilah yang Nietzsche sabdakan tentang metamorfosis terakhir:

“Tapi katakan padaku, Saudara-saudaraku, apa yang dapat dilakukan si anak yang bahkan si singa tak dapat? Mengapa harus si singa pemangsa masih menjadi sesosok anak? Si anak itu lugu dan pelupa, satu awal baru, suatu olahraga, sebuah roda yang berputar sendiri, satu gerak pertama, satu Ya suci. Ya, satu Ya suci diperlukan, Saudara-saudaraku, bagi olahraga penciptaan: si roh kini menghendaki kehendak-nya sendiri, si roh yang memisahkan diri dari dunia kini memenangi dunia-nya sendiri.”

Pada akhirnya, singa menginginkan kehendak-nya sendiri, ia bermetamorfosis untuk terakhir kalinya. Tapi, mengapa seorang anak merupakan metamorfosis puncak? Seperti yang dikatakan Nietzsche secara tersirat, seorang anak memiliki awal yang baru dan segar—yang selaras dengan potensi kebaruan alias berbagai kemungkinan-kemungkinan baru yang menggairahkan. Seorang anak itu dipenuhi kemurnian dan tak terbelenggu: tak pernah terbebani oleh aturan atau konvensi masyarakat tertentu, ajaran agama tertentu. Yang menarik, unik, dan autentik adalah fakta bahwa seorang anak selalu punya cara tersendiri untuk menilai segala sesuatu tanpa embel-embel tertentu.

Dengan kata lain, seorang anak menginginkan jalan takdirnya sendiri serta hidup bebas dalam kreativitas dan permainan—seperti Homo Ludens yang membaca Le Petit Prince karangan Antoine de Saint-Exupéry. Nietzsche menegaskan hal ini dengan mengatakan, “di setiap manusia sejati tersembunyi seorang anak yang ingin bermain-main”. Jangan lupa menjadi anak-anak.

*****

Referensi

Nietzsche, Friedrich, (Terjemahan H.B. Jassin; Pengantar, Goenawan Mohamad), 2019, Zarathustra, Yogyakarta: IRCiSoD.

Thursday, 16 February 2023

Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme

L'éternel Retour by Raymond Douillet

“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati: bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apa pun yang diperlukan—tetapi mencintai semua itu.”

—Nietzsche, Ecce Homo (1992)

Begitulah, sabda si Dinamit-Nietzsche di buku otobiografinya, Ecce Homo—sebelum jatuh ke dalam penyakit kejiwaan pada bulan Januari 1889 dan kemudian, tak berselang lama dari itu—meninggal pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia (infeksi/radang paru-paru). Meski dikarang pada tahun 1888, namun terbitan pertama buku tersebut mengudara pada 1908—sekitar 20 tahun setelah bukunya selesai ditulis, atau 8 tahun pasca Nietzsche wafat.

Lantas apa yang Nietzsche sebut sebagai formula bernama “Amor Fati” itu? Apakah itu semacam mantra ajaib penolak bala?

Pendek kata, Amor Fati adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika diterjemahkan secara kasar berarti: “Mencintai Takdir”. Amor Fati mempunyai bentuk yang lebih lengkap, puitis, dan monumental: yakni, 'Fatum Brutum Amor Fati'; yang kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti: “Mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal”. Mengutip dari merriam-webster.com, Amor Fati (amor fa·ti; ˈä-ˌmȯr-ˈfä-tē) bermakna: mencintai takdir; menyambut semua pengalaman hidup dengan baik. Jika mengutip dari urbandictionary.com, Amor Fati memiliki makna: menggambarkan suatu sikap yang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang; cara bersikap pada segala sesuatu.

Dengan kata lain, Amor Fati adalah suatu sikap penerimaan yang tegas dan antusias atas segala sesuatu—berpuncak pada kemampuan memaknai past/present/future dalam tenses hidup kita—agar kita mampu menjalani hidup dengan energik, tanpa kecemasan, dan mampu vis a vis menatap mata kematian tanpa satu pun penyesalan.

Secara literal, frasa Amor Fati justru bukan ingin menolak bala, tetapi mengajak kita untuk menerimanya secara brutal. Maka tak heran, frasa ini keluar dari mulut Nietzsche, sebab ia pernah mengungkapkan bahwa “inti dari realitas adalah kekacauan, adalah kaotis”—sehingga hal paling waras dan logis yang dapat kita lakukan, pertama-tama, adalah menerima kehidupan lengkap dengan seluruh keruwetan problemanya, kebudugan dunianya, dan tentu takdirnya yang sering luar biasa kejamnya.

Sejatinya, frasa Amor Fati telah hadir jauh sebelum Ecce Homo, misalnya dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza/The Gay Science/The Joyful Wisdom/The Joyous Science), Nietzsche menulis:

“Aku ingin belajar lebih banyak lagi untuk melihat keindahan macam apa yang diperlukan dalam segala sesuatu; maka aku akan menjadi salah satu dari mereka yang membuat segala sesuatu menjadi indah. Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya! Aku tak ingin melancarkan perang melawan apa yang jelek. Aku tak ingin menuduh; aku bahkan tak ingin menuduh mereka yang menuduh. Memalingkan muka akan menjadi satu-satunya bentuk negasiku. Dan semua dalam semua dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku hanya ingin menjadi seseorang yang mengatakan ‘Ya’ pada kehidupan.”

—Nietzsche, The Joyous Science (2018)

Selain itu, Amor Fati juga tercatat dalam Der Fall Wagner (termasuk dalam “Nietzsche Contra Wagner”, sebuah esai kritik Nietzsche terkait pemikirannya tentang komposer Richard Wagner):

“Amor fati: adalah inti dari keberadaanku ... Hanya penderitaan besar; penderitaan besar itu, di mana kita tampaknya berada di atas api kayu hijau, penderitaan yang memakan waktu—memaksa kita, para filsuf, untuk turun ke kedalaman terdalam kita, dan melepaskan semua kepercayaan, semua sifat baik, semua pengurangan, semua kelembutan, semua mediokritas—hal-hal yang sebelumnya kita pertaruhkan di atas kemanusiaan kita.”

—Nietzsche, Nietzsche Contra Wagner (2021)

 

Amor Fati dan Stoikisme

Berbicara perihal ‘Amor Fati’, tak komprehensif bila tanpa membahas Stoikisme—sebab Nietzsche, secara filosofis, sedikit banyak terpengaruh oleh para Stoik. Stoikisme, singkatnya, adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno, dan merupakan salah satu dari tiga mazhab filsafat besar pada periode Helenistik—satu era dengan Epikureanisme dan Pyrrhonisme—yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Dalam beberapa literatur tentang Zeno kita dapat menemukan pemikirannya yang berwarna Amor Fati:

“Takdir adalah rantai sebab-akibat yang tak ada habisnya, di mana segala sesuatunya ada; alasan atau formula di mana dunia berjalan.”

—Zeno dari Citium

Dalam karya-karya Marcus Aurelius, salah satu figur Stoik paling terkenal pun demikian, misalnya pada Ta eis heauton (Meditations):

“Dia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, dan terus-menerus mempertimbangkan apa yang dunia siapkan untuknya—melakukan yang terbaik, dan percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Sebab kita membawa takdir kita bersama kita—dan takdir itu mengantarkan kita.”

 —Aurelius, Meditations (2006)

Figur intelektual Stoik pun tak luput menyatakan pandangannya yang bernuansa Amor Fati—baik secara tindakannya yang menerima hukuman bunuh diri yang dijatuhkan kepadanya maupun dalam karya-karya awalnya seperti Ad Lucilium Epistulae Morales (Letters from a Stoic):

“Kebahagiaan sejati adalah memahami kewajiban kita kepada Tuhan dan manusia; untuk menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada kecemasan akan masa depan; bukan untuk menghibur diri kita sendiri dengan harapan atau ketakutan, tetapi untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, yang sangat cukup ini.”

—Seneca, Letters from a Stoic (2004)

Filsuf Stoik lain, Epictetus, pun mencetuskan ungkapan yang kurang lebih seperti Amor Fati dalam bahasa dan terma Stoikisme—dia menulis:

“Jangan menuntut hal-hal terjadi seperti yang kau inginkan, tetapi berharaplah hal itu terjadi sebagaimana adanya, dan kau akan berjalan dengan baik.”
—Epictetus, The Discourses of Epictetus: The Handbook (1995)

Dengan demikian, besar kemungkinan Amor Fati adalah pola pikir Stoik untuk memanfaatkan masa kini dan secara total melakukan yang terbaik terlepas dari apa pun hasilnya dan apa pun yang terjadi: misalnya, perihal bagaimana memperlakukan setiap momen—tak peduli seberapa sulitnya—sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan berani, bukan dinegasikan atau dihindari.

 

Mengapa Amor Fati?

Kini, yang menjadi pertanyaan mungkin adalah mengapa kita harus bersusah payah menggali makna dari frasa Latin di kuburan-pemikiran Nietzsche—yang bahkan sudah berumur lebih dari 134 tahun itu (dan kuburan-pemikiran para Stoik yang jauh lebih purba)—untuk kemudian menghayati atau bahkan mengaplikasikannya dalam hidup kita?

Satu yang jelas, gagasan-gagasan ketuhanan, ritus-ritus keagamaan, dan ide-ide seseorang tak akan pernah pernah mati—selama itu tetap relevan dengan kondisi zaman. Tubuh dapat membusuk dan melebur dengan tanah, tetapi apa yang telah dia formulasikan—gaungnya masih mungkin terdengar lantang sampai sekarang dan sampai masa-masa yang akan datang. Secanggih apapun peradaban umat manusia, pada hakikatnya, tetap saja ada hal-hal yang tak dapat manusia seluruhnya dan seutuhnya kendalikan. Manusia boleh berbangga, manakala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membawa seekor anjing bernama Laika pergi ke luar angkasa, mendaratkan Armstrong dan Aldrin di bulan, robot-robot canggih ciptaan manusia sudah hilir-mudik di wajah planet lain, rencana futuristik untuk Kolonisasi Mars 2030, dan seterusnya dan seterusnya.

Akan tetapi, jauh di lubuk hati, pada gilirannya, kita mungkin menyadari sesuatu bahwa masih banyak hal-hal yang tak mampu kita kendalikan. Katakanlah waktu—sampai tulisan ini selesai dibuat—belum ada teknologi sesinting-secanggih mesin waktu yang memungkinkan penggunanya melakukan perjalanan waktu, yang dapat dikendalikan dengan sesuka pikiran-perasaan penggunanya. Yang menjadi masalah adalah, manusia itu budak sang waktu, seperti yang telah dipuisikan oleh Baudelaire, penyair besar Prancis itu dalam Enivrez-vous: “Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.” Hampir setiap orang di muka bumi ini, rasa-rasanya, memiliki semacam tendensi tinggi untuk mengubah masa lalunya, atau pergi melihat masa depannya.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Nietzsche, Amor Fati, dan Stoikisme?

Amor Fati adalah kredo untuk menerima, merangkul, dan mencintai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum terjadi, mungkin terjadi, tak mungkin terjadi, atau tak akan terjadi—di dimensi ketiga (kenyataan) yang dipenuhi berbagai kemungkinan-kemungkinan acak dan ensiklopedis. Secara lebih luas, mengafirmasi dengan tegas dan askenden hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, sekaligus mencintai perubahan-perubahan yang tak terelakkan. Semacam upaya untuk menjustifikasi sekaligus menjawab aforisme ‘Phanta Rei’ à la Heraclitus, seorang filsuf pra-socrates, yang menekankan bahwa satu yang pasti dalam kehidupan adalah perubahan konstan. Secara implisit, kredo ini seperti mengisyaratkan bahwa sifat alam semesta adalah selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, tanpa perubahan—kita tak akan ada, kesadaran baru tak akan ada, daya-daya tafsir baru tak akan ada, kita tak akan tertawa ketika mengingat tragedi, tak akan belajar mencintai keberadaan dari ketakberadaan, dan tak akan mencipta sesuatu. Tanpa perubahan, kita tak akan pernah mengalami asam-garam itu semua.

Apakah perubahan itu baik, buruk, menyenangkan, menyiksa, menggairahkan, atau merugikan—itu persoalan lain. Miliaran tahun, umat manusia mengalami evolusi, perubahan, transformasi, mutasi—perkembangan yang eksponensial telah membawa kemungkinan ke tempat kita berada sekarang. Penulis tak akan dapat menulis hal-ihwal Amor Fati—jika bukan karena setiap peristiwa yang telah terjadi jauh sebelum saat ini: misalnya, karena seekor ikan purbakala yang mulai bosan hidup di dalam air, berpikir untuk naik ke daratan dan menjadi primata—lalu berevolusi sedemikian rupa, kemudian menjadi cikal bakal Homo Sapiens; atau dengan pendekatan agama samawi yang ditopang literatur-literatur abrahamik, karena sepasang manusia bernama Adam dan Hawa memakan buah terlarang, kemudian ditendang dari surga—lantas melahirkan seluruh keturunan manusia di muka bumi ini. Dengan membayangkan seperti itu, mungkin kita bisa mulai belajar untuk mencintai takdir dengan paripurna.

Nietzsche pun mengadvokasi ini: bahwa kita tak boleh lari dari takdir apalagi bersembunyi dari takdir. Kita harus menerimanya. Akan tetapi, lebih dari sekadar penerimaan biasa, lebih-lebih, kita harus mencintai takdir kita dan menerimanya secara utuh apa adanya. Kita perlu menerimanya, memanfaatkannya, dan menggunakannya untuk membuat sesuatu yang produktif—sesuatu yang bernilai seni, kreatif, dan filsafati. Meratapi dengan sesal hal-hal yang telah terjadi, hanyalah memperpanjang nafas penderitaan yang tak perlu—hanyalah membuang-buang waktu.

Ketika kita menerima apa yang terjadi pada kita, setelah memahami bahwa hal-hal tertentu—khususnya hal-hal buruk dan menyebalkan—berada di luar kendali kita (baca: Dikotomi Kendali-nya Stoikisme) kita hanya akan di hadapkan dengan ini: mencintai apa pun yang akan terjadi pada kita, menghadapinya dengan keceriaan di rongga dada, dan dengan energi besar serta meletup-letup, kita akan terus bersemi, lagi dan lagi. Meskipun dunia memberi winter-yang-menyakitkan, namun selalu ada summer-yang-tak-terkalahkan di dalam diri kita, meminjam interteks Camus, seorang eksistensialis yang lebih nyaman disebut absurdis. Selain itu, bahwa dibutuhkan api yang begitu panas untuk membentuk emas. Terbentur, terbentur, melebur—jika meminjam ungkapan Tan yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks ini. Poinnya adalah bahwa selain pilihan, ada kebolehjadian tinggi bahwa hidup juga merupakan kompromi.

“Dari sekolah perang dalam kehidupan—apa yang tak membunuhku, membuatku jauh lebih kuat.” tulis Nietzsche dengan berani tanpa kecondongan masokis. Bukan untuk mencari pembenaran atas trauma dan luka masa lalu, tetapi lebih menawarkan semacam antidot-fakta bahwa tak ada kekuatan tanpa penderitaan. Bahwa kebijaksanaan harganya adalah pedihnya belajar dan istiqomah tingkat tinggi untuk bangkit dari kebahlulan.

Pada akhirnya, Amor Fati, adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak. Terakhir, takdir mungkin memang piawai bangsatnya hadir seperti bajingan paling asu, tetapi hanya hidup singkat ini yang kita punya. Kita tak dapat mengontrol apa-apa yang di luar batas-batas kebebasan-kekuasaan kita, tetapi kita selalu dapat mengontrol apa yang bisa kita persepsikan dan mengelola serta mengkalkulasi tindakan macam apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah setiap negatif menjadi positif. Sebab, ketimbang kalimat pasif, manusia adalah kalimat aktif—yang dengan segala intelektualitasnya semestinya mampu menjadi ‘aktor’ bukan ‘spektator’ bagi kehidupannya sendiri. Terdengar cukup eksistensialis, memang.

Que Será, Será; apapun yang akan terjadi, terjadilah. Jalani, nikmati, Amor Fati!

 

Referensi:

Nietzsche, Friedrich, 1992, Ecce Homo, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2018, The Joyous Science, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2021, Nietzsche Contra Wagner, California: Stanford University Press.

Heraclitus, 2003, Fragments, London: Penguin Classics.

Aurelius, Marcus, 2006, Meditations, London: Penguin Books.

Seneca, 2004, Letters from a Stoic, London: Penguin Books.

Epictetus, 1995, The Discourses of Epictetus: The Handbook, Fragments, London: Everyman Paperback.

Tom Stern, VIII—Nietzsche, Amor Fati and The Gay Science, Proceedings of the Aristotelian Society, Volume 113, Issue 2_pt_2, 1 July 2013, Pages 145–162, https://doi.org/10.1111/j.1467-9264.2013.00349.x

Panaïoti, A. (2012). Amor fati and the affirmation of suffering. In Nietzsche and Buddhist Philosophy (pp. 91-131). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139382144.007

Thiele, Leslie Paul. "TEN. Amor Fati and the Eternal Recurrence". Friedrich Nietzsche and the Politics of the Soul: A Study of Heroic Individualism, Princeton: Princeton University Press, 2020, pp. 197-206. https://doi.org/10.1515/9780691222073-014

Brodsky, Garry M. (1998). Nietzsche's notion of Amor fati. Continental Philosophy Review 31 (1):35-57.

Sunday, 29 January 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html

Saturday, 19 November 2022

Nihilisme dan Penguasaan Diri: Menafsir Nietzsche dan Buddhisme (Paper Translasi)

Thangka of Shakyamuni Buddha, Tibet, c. 18th century

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Setelah dilakukannya analisis mendalam tentang Buddhisme dan filsafat Friedrich Nietzsche, kesamaan subtil muncul dalam pemahaman mereka tentang konsep penguasaan diri (Self-Overcoming). Secara garis besar, Nietzsche dan Buddhisme menegaskan dua hal: pertama, kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan; dan kedua, gagasan tentang 'diri' adalah konstruksi belaka. Melalui analisis yang lebih dalam tentang gagasan 'penguasaan diri' yang ada pada Buddhisme dan filsafat Nietzschean, paper ini mengungkap kesepakatan filosofis di antara keduanya, seraya memberikan kritik atas misinterpretasi Nietzsche terkait Buddhisme sebagai nihilisme-pasif.

Peneliti juga mengklarifikasi disparitas (perbedaan) antara filsafat Buddhis awal dan Buddhisme seperti yang ditafsirkan oleh Nietzsche; yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan kolonial dan minimnya eksposur para intelektual Eropa terhadap Filsafat Timur. Peneliti mengeksplorasi kesalahpahaman Nietzsche—dan penolakan yang diakibatkannya—terhadap agama Buddha sebagai bentuk “nihilisme-pasif” dan nirvāna/nirwana sebagai praktik untuk menyangkal realitas.  Terlepas dari distingsi mereka, peneliti menyimpulkan bahwa filsafat eksistensial Nietzsche secara ironis dekat dengan Buddha, sebab formulasi mereka untuk kehidupan yang bermakna membutuhkan konsep penguasaan diri.

Mentor awal Nietzsche, Schopenhauer, adalah pengagum berat Buddhisme awal, Nietzsche hampir tidak berdiri sendiri dalam kesalahpahamannya tentang Buddhisme sebagai agama yang bercorak nihilistik. Dengan ajaran utama Buddhisme seputar konsep ketiadaan-diri (moksa/pengahapusan diri melalui praktik meditasi) dan noneksistensi, dapat dimengerti mengapa Eropa abad ke-19 memegang konsepsi Buddhisme yang dominan negatif. Lebih penting lagi, bagaimanapun, kritik Nietzsche terhadap Buddhisme mengungkapkan kesalahtafsirannya dan kekurangannya sendiri pada saat itu; terutama karena pemahaman Eropa yang terbatas—dan kolonial (dan begitu kental dengan orientalisme)—tentang filsafat Timur. Penting untuk dicatat bahwa filsafat Timur mulai muncul di Barat pada awal abad ke-19. Makna yang sebenarnya dari ideologi Timur—seperti Buddhisme—sering hilang dalam terjemahan, dan akibatnya, Buddhisme sering disalahartikan melalui sumber-sumber dari tangan kedua.

Meskipun demikian, Nietzsche adalah salah satu pelopor Barat pertama yang mengeksplorasi agama Buddha. Bukunya, On the Genealogy of Morals (1887), mengkategorikan Buddhisme awal, secara fundamental, mengingkari kehidupan—yang bertujuan pada kekosongan/ketiadaan, dan berdiri bertentangan dengan eksistensi manusia (Nietzsche, 1994, 61). Dalam The Will to Power (1901), Buddhisme digambarkan selaku nihilistik-pasif dengan tujuan 'bertindak' sebagai penenang sementara bagi mereka yang menderita (1968, 18). Menurut para ahli, kesalahpahaman Nietzsche terkait dengan pandangan umum agama Buddha pada masanya, dan penggambaran semacam itu lebih merupakan cerminan dari apa yang terjadi di Eropa—runtuhnya nilai-nilai tradisional yang mapan, ancaman ateisme, dan 'kematian  Tuhan'—ketimbang deskripsi yang akurat tentang Buddhisme (Van Der Braak, 2010, 6).

Maka, Nietzsche memahami Buddhisme awal sebagai bentuk "nihilisme-pasif"; indikasi dari "penurunan kekuatan roh" (1901, 22). Dia membandingkannya dengan nihilisme-aktif—'kekuatan roh yang meningkat'—yang mendorong penghancuran kesadaran semua kepercayaan yang sebelumnya memiliki makna. Bagi Nietzsche, nihilis-pasif menyerah pada keputusasaannya dan menggali secara membabi buta ke dalam mentalitas kawanan (herd-mentality), sementara nihilis-aktif menghadapi realitas-keberadaan dan penderitaan manusia.

Tetap saja, penilaian Nietzsche tentang Buddhisme benar-benar kompleks. Dalam salah satu buku catatannya ia menulis: “Aku bisa menjadi Buddha Eropa meskipun terus terang aku akan menjadi antipodal dari Buddha India …” (Panaïoti, 2013, 2). Deskripsi Nietzsche tentang dirinya sebagai tipe "Anti-Buddha" menggambarkan perbedaan yang ia buat sebelumnya mengenai nihilisme pasif dan aktif. Sepanjang tulisan dan ajarannya, ia mengingat nihilisme sebagai wabah yang merasuki budaya Eropa; kebencian terhadap kehidupan dan penolakan terhadap tindakan. Ketika membahas pertemuan Sang Buddha dengan orang sakit, orang tua, dan orang mati, Nietzsche menulis dalam Thus Spake Zarathustra (1883-1885):

Ada orang-orang pengonsumsi jiwa: mereka hampir tidak dilahirkan ketika mereka mulai mati dan merindukan doktrin-doktrin kelesuan dan penolakan. Mereka ingin mati, dan kita harus menyambut keinginan mereka. Mari kita waspada ketika membangunkan orang mati dan mengganggu peti mati hidup ini! Mereka bertemu dengan orang sakit atau orang tua atau mayat dan segera mereka berkata, “Hidup ini disangkal”. Tapi hanya mereka sendiri yang disangkal, dan mata mereka, yang hanya melihat satu wajah eksistensi ini.”

Nietzsche dengan cepat menolak Buddhisme Eropa sebagai filsafat yang menegasikan kehidupan dan cenderung pesimistis. Salah satu mentor awalnya, Schopenhauer, telah sangat mengenal filsafat Timur dibandingkan dengan rekan-rekan Baratnya itu. Ketakutan Nietzsche, bagaimanapun, adalah bahwa kebangkitan filsafat pesimis akan menghasilkan kemenangan bagi kepasifan dan melahirkan dekadensi di Eropa; mengarahkan manusia menjauh dari dunia dan menuntun mereka menuju kekosongan/ketiadaan. Juga, selama era inilah Nietzsche menarik kembali narasi 'kematian Tuhan' dan runtuhnya sistem nilai tradisional Eropa.

Dalam banyak hal, Nietzsche memandang Buddha sebagai seorang tabib yang meresepkan obat untuk kondisi dasar penderitaan manusia. Baik filsafat Nietzschean maupun Buddhis, keduanya sama-sama bergulat dengan gagasan nihilisme, sembari menolak gagasan tentang kebenaran yang diwahyukan. Proyek utama Nietzsche adalah mengungkapkan kesalahan dalam Kekristenan, dan menolak gagasan 'moralitas' itu sendiri. Baginya, moralitas adalah wabah terbesar; membatasi manusia dari pelampauan ke versi tertinggi dari diri mereka sendiri, dan dengan demikian bertentangan dengan aktualisasi diri. Dalam hal ini, Nietzsche memandang Buddhisme lebih superior (unggul) daripada Kristen, dan melangkah lebih jauh untuk membandingkan keduanya secara langsung dalam The Anarchist (1968).

Dari perbandingannya, ia menyimpulkan bahwa agama Buddha jauh lebih “realistis” daripada agama Kristen—sesuai dengan pemahaman agama Buddha tentang penderitaan dan ‘resep’ Buddha untuk memberantasnya. Selain itu, Buddhisme menghilangkan konsep Tuhan yang monoteistik, dan dilanjutkan sebagai agama positivistik. Nietzsche melukiskan gambaran yang jauh lebih positif tentang agama Buddha di kalangan Anarkis, namun, banyak akademisi percaya ini hanya karena perbandingan yang dia buat dengan agama Kristen—agama yang dia benci dan sering digambarkan sebagai "agama yang merosot" yang didirikan di atas "kebencian terhadap segala sesuatu yang mapan dan dominan” (Elman, 1983, 689).

Secara paradoks, Nietzsche menggunakan gagasan "nihilisme-aktif" sebagai alat dalam proyeknya sendiri melawan nihilisme Barat. Filsafatnya berpendapat bahwa penguasaan diri atas nihilisme sangat penting untuk menjadi versi “sejati” dari diri kita sendiri. Selanjutnya, dalam The Will to Power, Nietzsche menggambarkan dirinya sebagai “nihilis Eropa yang sempurna”, yang telah hidup melalui “keseluruhan nihilisme, sampai akhir, meninggalkannya, di luar dirinya” (Nietzsche, 1968, 3). Dalam pandangan ini, kemampuan untuk mengalahkan “nausea hebat” dari kekosongan/ketiadaan memungkinkan Nietzsche hadir sebagai pemenang.

Nietzsche bertujuan untuk mengatasi nihilisme dengan menegaskan kehidupan, dengan merangkul eksistensi tanpa syarat. Baginya, hidup bukan untuk disangkal, melainkan diciptakan melalui sistem nilai-nilai pribadi, dan dibangun di atas landasan pemahaman bahwa tidak ada makna yang diwariskan di alam semesta ini. Nishianti menggambarkan proses ini sebagai “menyekarati kematian hebat di jurang nihilitas dan hidup kembali” (1983, 233). Dengan demikian, nihilisme-aktif menjadi tahap transisi, bukan tujuan itu sendiri. Ini adalah jurang yang harus kita turuni, “malam tergelap sebelum fajar” (Nietzsche, 1968, 12).

Melalui tahap-tahap empiristik di dalam nihilisme-aktif—seorang individu berjuang untuk mencapai kedudukan makhluk-ideal yang lebih tinggi, Übersmench. Dia menegaskan bahwa hidup dengan 'moralitas mulia' seseorang dicirikan dengan eksistensi yang kuat, penuh semangat, bebas dan menyenangkan, secara bawaan diperintah oleh “kehendak untuk mengalahkan, dan kehendak untuk memerintah” (1968, 16). Dari karya-karyanya, tampak jelas bahwa Nietzsche membenci orang lemah dan rendah hati yang berusaha melarikan diri dari kenyataan hidup ini.

Ironisnya, Buddhisme bertujuan untuk melepaskan diri dari roda samsara (siklus hidup dan mati) alih-alih menegaskan revolusi abadinya. Bagi Nietzsche, dia menafsirkan ini sebagai pelepasan negatif dari dunia karma dalam samsara. Namun, pembebasan nirvāna/nirwana, sebagaimana dipahami oleh agama Buddha, adalah penghapusan ego dan kemelekatan pada hasrat duniawi. Gagasan bahwa seseorang dapat melarikan diri dari keadaan hidup, yang digambarkan oleh Nietzsche dalam rekurensi abadi/perulangan abadi (eternal return/eternal recurrence), adalah angan-angan yang menyesatkan bagi Nietzsche pada saat itu; sering digambarkan sebagai “the fable song of madness” (1968, 12).

Kutipan dari catatan pribadinya mengungkapkan bahwa keberadaan manusia, sebagaimana adanya, “tanpa makna atau tujuan, namun tidak terhindarkan berulang tanpa akhir dalam kekosongan/ketiadaan” adalah bentuk paling ekstrem dari nihilisme (55). Agar interpretasi Nietzsche dapat dipertahankan, Buddha harus mengkhotbahkan samsara yang berulang secara abadi. Tidak hanya itu, Buddha juga mesti mengkhotbahkan tiadanya kemungkinan untuk membebaskan diri dari samsara, atau tercapainya Pencerahan. Secara juskstaposisi, jalan tengah—Madhyama-pratipadā—yang ditemukan oleh Sang Buddha adalah kematian ego, dan akhir dari siklus kelahiran; pengerahan kehendak nihilisme menuju kebebasan dari samsara. Setelah pembuktian lebih lanjut, tampaknya para Buddhis justru mendukung kebalikan dari nihilisme kosong—yang ditakuti Nietzsche dan bertujuan untuk melenyapkan Eropa.

Seseorang juga dapat beralih ke empat kebenaran mulia Buddhisme (Pali: cattāri ariyasaccāni) ketika menganalisis kritik awal Nietzsche terhadap Buddhisme. Yang pertama, Duhkha, menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan. Kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi (Nishitani, 1983, 169). Yang kedua, Samudaya, menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan. Kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan dari siklus kematian, yang pada akhirnya mengarah ke nirvanā/nirwana. Kebenaran mulia terakhir, lebih lanjut, menegaskan gagasan ini dengan mengilustrasikan Jalan Utama Berunsur Delapan (Pali: Ariyo aṭṭhaṅgiko maggo; Sanskerta: Ārya 'ṣṭāṅga mārgaḥ). Sebagai bagian dari jalan beruas delapan, Sammä-väyäma, atau “daya-upaya benar” menganjurkan kehendak yang kuat, sejajar dengan konsep kehendak untuk berkuasa dari Nietzsche. Kehendak energik ini bertujuan untuk meringankan salah satu dari semua keinginan, yang mengarah pada penderitaan. Jelas, agama Buddha menganjurkan tindakan positif yang disengaja, daripada mengejar kepasifan yang awalnya diyakini Nietzsche.

Lebih jauh, analisis terhadap Buddhisme Theravāda mengungkapkan bahwa tujuan utama Buddhisme adalah transformasi radikal diri melalui tindakan. Arahat/Arahat (istilah untuk seorang yang telah terbebas belenggu Taṇhā, dengan jalan mencapai penerangan sempurna—seseorang yang mengerti dan memahami tentang Anicca dan Anatta yang telah memutus Tali Kelahiran-kembali), bentuk tertinggi manusia, tidak mengumpulkan karma menurut Buddhisme Theravadā, karena ia telah melampaui siklus kelahiran-kembali. Bebas dari ego, dan gagasan diri yang dibuat-buat, Arahat bebas dari samsara. 

Target kritik Nietzsche adalah gagasan nihilisme-pasif dan bentuk negasi eksistensial yang total. Mirip dengan nihilisme-pasif, metafisik ekstrem dari diskontinuitas mutlak dan kekosongan/ketiadaan, Ucchedavad, dilarang oleh Sang Buddha. Sang Buddha juga menolak gagasan Vibhava-taṇhā, yang merupakan keinginan manusia akan ketidakberadaan. Ini juga bisa berarti keinginan untuk tidak mengada, dan penolakan total terhadap penderitaan yang tidak menyenangkan dari kehidupan saat ini atau masa depan. Ajaran Buddha ini menekankan sudut pandang negatif Buddhisme pada negasi kehidupan itu sendiri, dan penekanannya pada kehendak yang penuh semangat.

Secara ironis, formulasi Nietzsche untuk penguasaan diri menarik banyak kesamaan dengan Buddhis secara filosofis. Buddhisme menganjurkan transendensi melampaui kondisi masyarakat, maya, dan menciptakan jalan individu untuk diri sendiri. “Jalan” ini mencerminkan jalan beruas delapan yang terkenal; mencerminkan kesadaran dan kasih sayang yang lebih besar. Hampir empat puluh lima tahun setelah pencerahan Buddha, beliau menghabiskan hidupnya menyebarkan kebijaksanaan dengan belas kasih dan cinta untuk orang lain di sekitarnya—yang menunjukkan pentingnya ajaran Buddha ini.

Terakhir, gagasan tentang makhluk yang sempurna dan paling ideal, seperti yang disajikan oleh Nietzsche dan Buddhisme memiliki kesamaan yang tidak kentara. Keduanya menegaskan pentingnya kehendak individu, dan menolak gagasan tentang moralitas yang sejati. Dalam agama Buddha, Arahat adalah seseorang yang telah melampaui samsara. Ada ayat dari Mūlapariyāya Sutta, di mana Sang Buddha membahas akar penyebab penderitaan dan bagaimana mencapai pencerahan dari penderitaan. Beliau memberi tahu murid-muridnya apa sebenarnya seorang Arahat, atau manusia ideal itu:

Seorang bhikkhu yang layak, tanpa fermentasi mental—yang telah mencapai penyelesaian, merampungkan tugas, meletakkan beban, memperoleh tujuan yang benar, menghancurkan belenggu untuk mengada, dan dilepaskan melalui pengetahuan yang benar—secara langsung mengenal bumi sebagai bumi. Ia secara langsung mengenal bumi sebagai bumi, tidak memikirkan hal-hal tentang bumi, tidak memikirkan hal-hal di bumi, tidak memikirkan hal-hal yang keluar dari bumi, tidak berpikir bahwa bumi adalah 'milikku', tidak menyenangi bumi. Mengapa demikian? Sebab ia telah memahaminya, aku berkata kepadamu. (Tanissaro, 1998)

Bagian ini menggambarkan bahwa bhikkhu itu adalah orang yang layak, yang telah membebaskan dirinya dari belenggu penderitaan yang menjebak seseorang dalam lingkaran kelahiran. Arahat harus mencapai pencerahan dengan mengada ‘tanpa fermentasi mental’—selalu terbebas dari pikiran, apa pun itu—dan melihat dunia sebagaimana adanya, tanpa distorsi dari keinginan dan penderitaan.

Bagi Nietzsche, Übersmench, atau 'overman', menciptakan nilai-nilainya sendiri dari kebebasannya. Istilah overman/superman mengacu pada jenis manusia yang lebih agung/mulia dari manusia biasa. Namun, bagi übersmench tujuan akhir bukan hanya mengatasi penderitaan, melainkan mengatasi kondisi pasif dan melampauai kemediokeran manusia biasa. Ini kontras dengan Arahat, yang menghindari fermentasi mental sebagai cara untuk mengatasi ikatan penderitaan. Arahat juga terbebas dari perasaan diri ketika mencapai pembebasan. Bagi Nietzsche, dengan melampaui-menuju übersmench, diri dirangkul/ditegaskan ketimbang ditolak. Gagasan tentang diri diciptakan kembali dalam diri overman, karena kualitas mendasar yang menentukan dari overman adalah menciptakan nilai-nilainya sendiri. Namun, ini tampaknya bertentangan dengan apa yang ditegaskan Nietzsche dalam karya-karyanya selanjutnya.

Dalam bagian kunci dari On the Genealogy of Morality (1887)—Nietzsche berseru:

Tidak ada 'keberadaan' di balik tindakan, memengaruhi, mengada: 'seseorang yang bertindak' hanyalah fiksi yang ditambahkan ke perbuatan—tindakan adalah segalanya ... seluruh ilmu pengetahuan kita masih berada di bawah pengaruh bahasa yang menyesatkan dan tidak membuang makhluk fiktif yang kecil itu, 'subjek'.

Melalui pembacaan Nietzsche ini, mungkin ditemukan banyak kesamaan dengan agama Buddha. Diri dalam filosofi Buddhis hanyalah serangkaian komponen mental dan fisik yang mewujud dalam bentuk seorang manusia. Ini dikenal sebagai lima 'kelompok' bentuk, perasaan, pembentukan mental, persepsi, dan kesadaran. Diri adalah fungsi dari kelima kelompok unsur kehidupan ini yang saling bekerja bersama. Sementara Nietzsche menegaskan diri melalui penguasaan diri sendiri, ia juga menegaskan tidak ada 'keberadaan' melainkan tindakan yang dilakukan dari subjek. Melalui analisis antara Buddhisme dan gagasan Nietzsche tentang diri dalam konsep menguasai diri sendiri, kesamaan subtil ini muncul.

Sebagai kesimpulan, paper ini menunjukkan misinterpretasi Nietzsche tentang gagasan nihilisme-pasif yang ada dalam filsafat Buddhis. Lebih jauh lagi, peneliti menawarkan penjelasan tentang kehadiran konsep menguasai diri sendiri dalam kedua filosofi, dan di mana bidang kesepakatan itu muncul ke permukaan. Melalui keterlibatan langsung dengan penderitaan seorang manusia, Buddhisme bertujuan untuk menghilangkan penyebab dan kondisi penderitaan dengan melepaskan diri dari keinginan-keinginan yang wajib dipenuhi, dan hasrat keabadian di dunia yang tidak kekal, sementara, atau singkatnya fana.

Dengan cara yang sama, Nietzsche, memperingatkan bahaya terutama mencari kebahagiaan dan kesenangan/kenikmatan duniawi, sambil menolak bentuk eskapisitas ekstrem lainnya: nihilitas-pasif. Melalui interpretasi inilah kesamaan subtil itu muncul. Paper ini juga membuka jalan baru untuk kemajuan penelitian, seperti perbedaan dalam Buddhisme dan gagasan metafisik Nietzsche tentang reinkarnasi/kelahiran-kembali. Berangkat dari diskursus yang telah disajikan, Nietzsche mungkin telah menemukan wilayah kesepakatan dengan agama Buddha—jika ia telah menafsirkan dengan benar gagasan tentang nihilisme-aktif, ketimbang menolaknya sebagai ayat lain dalam 'fable song of madness’.

 

*****

 

Daftar Pustaka:

Elman, Benjamin A. 1983. “Nietzsche and Buddhism.” Journal of the History of Ideas 44, no. 4 : 671-686.

Hongladarom, Soraj. 2011. The overman and the arahant: Models of human perfection in Nietzsche and Buddhism. Asian Philosophy. no.1:53-69.

Lincourt, Jared. 2010. “If Nietzsche Only Knew.” Stance: An International Undergraduate Philosophy Journal. 3:62-68.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Keith Ansell-Pearson, and Carol Diethe. 1994. On the Genealogy of Morality. New York: Cambridge University Press.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann, and R. J. Hollingdale. 1968. The Will to Power. New York: Vintage Books.

Nietzsche, Friedrich Wilhelm, Walter Kaufmann. 1963. The Anarchist. New York: Vintage Books.

Nishitani, Keiji. 1983. Religion and nothingness. Univ of California Press.

Panaïoti, Antoine. 2013. Nietzsche and Buddhist philosophy. Cambridge University Press.

Thanissaro, Bhikkhu. 1998. Mulapariyya Sutta: The Root Sequence. New York: Vintage Books.

Thomas, Richard Hinton. 1983. Nietzsche in German politics and society, 1890-1918. Manchester University Press.

Van der Braak, André. 2011. Nietzsche and Zen: Self-overcoming without a self. Lexington Books.

Sumber Literatur:

Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2020/08/06/nihilism-and-self-overcoming-interpreting-nietzsche-and-buddhism/

Wednesday, 2 November 2022

Apollonian-Dionysian Nietzsche dan Penolakan Kehendak Schopenhauer (Esai Translasi)

Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Salah satu tesis Nietzsche dalam The Birth of Tragedy—adalah tentang bagaimana tragedi Yunani—merupakan produk sintesis antara dua impuls artistik yang begitu kontras, Apollonian dan Dionysian. Tapi apa sebenarnya makna dari dua impuls tersebut? Pertama-tama, orang Yunani kuno memiliki kebijaksanaan populer—berasal dari kepekaan kuat mereka—mengarah menuju pandangan dunia yang pesimistis:

“Mampu mengalami penderitaan besar, amat rentan terhadap rasa sakit—sangat masuk akal bila orang Yunani dalam kondisi ini berbahaya bagi kehidupan: kekejaman yang menyakitkan bagi eksistensi, bisa membawanya menuju pesimisme, menuju penolakan eksistensi itu sendiri.” (Machado, 2017)

Nietzsche mempertimbangkan kebijaksanaan populer Yunani ketika dia menulis bahwa, dalam mitos, raja Midas menemukan Silenus, dewa tarian dan anggur, di hutan dan bertanya kepadanya perihal sesuatu yang paling diinginkannya. Silenus, yang sering mabuk-mabukan dan bernyanyi—sebenarnya, telah menjadi kawan dewa Dionysus/Bacchus—menolak untuk menjawab, tetapi setelah raja bersikeras, dia mengatakan bahwa hal terbaik adalah di luar jangkauan manusia: tidak dilahirkan. Maka hal terbaik kedua adalah mati sesegera mungkin.

Menurut Nietzsche, Seni Yunani berangkat dari sini. Semenjak seni dan kepercayaan praktis melebur bersama di Yunani, penciptaan dewa-dewi Olympus merupakan jawaban atas masalah eksistensial yang dirangkum dalam Kebijaksanaan Silenus. Apollo, salah satu Olympians, diperlakukan oleh Nietzsche sebagai simbol ukuran, peradaban, proporsi yang indah, “yang berfungsi sebagai semacam tembok besar yang menjaga alam di teluk”, sebab realitas yang ada kacau-balau, menyakitkan, mematikan, dan selalu dalam perubahan konstan.

Seni Apollonian memiliki representasi terbesarnya dalam epos Homeros, dengan para pahlawan dan dewa-dewinya yang indah. Di hadapan kebijaksanaan pesimistis yang cenderung memusnahkan kehidupan, seni Apollonian muncul untuk menjustifikasi kehidupan, untuk mengklaim bahwa kehidupan itu baik, bahwa manusia memiliki nilai baik secara kolektif maupun secara individu. Dorongan Apollonian juga merepresentasikan individuasi, yang mendefinisikan setiap hal di dunia sebagai sesuatu itu sendiri daripada sesuatu yang lain. Ada semacam kebutuhan untuk mengatur—di dunia yang coba ditangani oleh dorongan artistik ini.

Sangat penting untuk memperjelas bahwa dewa-dewi Olympus dan seni yang menyertainya, meskipun berfungsi sebagai pertahanan terhadap alam yang tidak teratur, bukanlah bentuk eskapisme dari dunia. Sebaliknya, seni Apollonian menancapkan akarnya di dunia dan bermaksud mengaturnya: keberadaan dan kehidupan di dunia ini berharga karena seni Apollonian. Bukan sebentuk pelarian dari dunia menuju realitas yang hanya dapat dicapai dengan kenaikan/pencerahan, agama Olympians (agama politeistik—yang paling umum disembah adalah dua belas dewa—dewi Olympian: Zeus, Hera, Poseidon, Aphrodite, Athena, Artemis, Apollo, Hephaestus, Hermes, Demeter, Ares, dan Hestia) dan puisi Homeros berusaha menciptakan benteng dalam realitas— mempertahankannya dari “gangguan alam” yang menyakitkan, kaotis, jelek, dan menyebabkan begitu banyak penderitaan.

Pendek kata, tidak ada keindahan dalam apa yang natural, tetapi hanya dalam apa yang diatur. Keindahan terdiri dari “wujud”. Wujud inilah yang membuat hidup jadi kita inginkan:

“Untuk melepaskan diri dari kebijaksanaan populer yang pesimis, orang Yunani menciptakan dunia yang indah, alih-alih mengungkapkan kebenaran dunia, itu adalah strategi agar kebenaran ini tidak keluar dan membuat orang-orang Yunani menjadi pesimistis.” (Machado, 2017)

“Wujud” diperlukan, sebab yang-mahaprimordial, realitas metafisik yang ada di balik segala sesuatu, membutuhkan wujud yang indah agar dapat membebaskan dan mengindividualisasikan dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri. Yang-primordial ini dilihat oleh Nietzsche dengan cara yang sama seperti Schopenhauer melihat Kehendak: adalah apa yang nyata di balik dunia wujud. Tapi itu adalah kenyataan yang tidak mungkin untuk ditoleransi, dan itulah sebabnya seni Apollonian diciptakan. Dorongan Apollonian adalah apa yang membawa ketertiban, individuasi, Negara, dll.

Apollonian adalah tahap pertama yang dianalisis oleh Nietzsche. Tahap kedua adalah seni Dionysian, yang berasal dari kultus yang datang dari luar Yunani dan akhirnya dianut oleh Yunani. Kultus-kultus ini memiliki sosok dewa yang liar, pengembara, pemabuk, dan orgiastik—Dionysus. Meskipun dorongan Apollonian merepresentasikan mimpi dalam kenyataan—mimpi peradaban, mimpi wujud-wujud dan proporsi yang indah, individual, teratur, dan terukur—dorongan Dionysian membawa serta keinginan untuk kembali ke yang-primordial, dunia Kehendak, yang alami, kaotis dan tanpa ukuran. Dionysian merayakan aspek-aspek realitas ini, mencari lebih banyak pengalaman mistik tentang penyatuan dengan segala sesuatu ketimbang menghasratkan keteraturan dan pemisahan. Ini merepresentasikan bahaya tidak hanya untuk seni Apollonian dan dewa-dewa Olympus, tetapi juga untuk cara hidup orang Yunani, sebab seni Apollonian dan kepercayaan Olympus adalah sesuatu yang menopang gagasan tentang apa yang membuat seseorang bisa dikatakan sebagai orang Yunani.

Kemabukan memproduksi jalan pulang ke keadaan alami di mana tidak ada diferensiasi, yang mengguncang fondasi eksistensi, karena itu mengungkapkan sekali lagi kepada orang Yunani bahwa situasi di tempat yang mereka tinggali hanyalah mimpi peradaban, individualitas, ketertiban, dan keindahan. Dan jika ini semua hanya mimpi, kita kembali ke Kebijaksanaan Silenus: lebih baik tidak dilahirkan; hal terbaik kedua adalah mati secepatnya. Menurut Nietzsche, inilah saat bentuk baru ekspresi seni datang untuk menyelamatkan orang Yunani dari pesimisme sekali lagi: tragedi. Mengutip Roberto Machado, dalam Nietzsche and the Truth:

Jenis seni baru ini (tragedi)—yang merepresentasikan epitome peradaban Yunani—tidak bermaksud untuk membangun parit lain, sekat lain, tembok besar lain yang menghentikan pintu masuk dan perluasan Dionysian, seperti yang ingin dilakukan oleh seni Apollonian dan puisi epos. Ciri khas dari strategi artistik baru adalah mengintegrasikan, dan bukan untuk menekan, elemen Apollonian, mengubah kemuakan yang disebabkan oleh kengerian dan absurditas eksistensi dalam representasi yang mampu membuat kehidupan menjadi mungkin. (Machado, 2017)

Dan dalam kata-kata Nietzsche:

Tragedi itu indah—sejauh gerakan naluriah yang menciptakan kengerian dalam hidup memanifestasikan dirinya dalam tragedi sebagai naluri artistik, dengan senyumnya, seperti anak kecil yang sedang bermain. Apa yang menarik dalam tragedi itu sendiri adalah bahwa kita melihat naluri yang mengerikan menjadi naluri seni dan bermain di depan mata kita. (Machado, 2017, hlm. 37)

Seni tragis mampu menyatukan Apollonian dan Dionysian, wujud dan esensi, tabir Maya dan Kehendak. Namun, itu adalah persatuan yang tidak ditampilkan sebagai koeksistensi pasifis dan abadi, tetapi sebagai konflik antara dua kekuatan, di mana pengetahuan Apollonian untuk sementara dikalahkan oleh Dionysian. Artinya, menurut interpretasi Nietzschean, individuasi (yang diagungkan Apollonian) terungkap sebagai penyebab semua rasa sakit dan penderitaan kita.

Nietzsche menulis: 

“Bentuk paling universal dari takdir tragis adalah kekalahan yang menang atau kemenangan yang dicapai dalam kekalahan. Setiap kali individualitas kita dikalahkan: dan, bagaimanapun, kita merasakan kehancurannya sebagai kemenangan.” (Machado, 2017, hlm. 38)

Metafisika para seniman: “[...] merupakan konsepsi bahwa seni adalah aktivitas metafisik yang tepat dari manusia, konsepsi bahwa hanya seni yang memungkinkan pengalaman hidup sebagai sesuatu yang kuat, tak dapat dihancurkan, dan ceria— terlepas dari perubahan fenomena.” (Machado, 2017) 

Nietzsche melihat metafisika para seniman sebagai respons terhadap metafisika konseptual dan sains. Dia percaya bahwa seni tragis berumur singkat di Yunani, menghilang tiba-tiba, dan mengidentifikasi Euripides dan Socrates sebagai tokoh utama yang bertanggung jawab atas kematian tragedi.

Bagi Nietzsche, Euripides bertanggung jawab untuk mengurangi pentingnya dan penggunaan elemen yang dia anggap penting dalam tragedi: paduan suara yang tragis. Elemen ini, yang digunakan selama pertunjukan, adalah fokus utama dalam tragedi yang “mendahului” Euripides, tepatnya karena melalui paduan suara yang tragis, penonton dapat merasakan apa yang terjadi—dan tidak hanya memahami peristiwa dalam drama sebagai pelajaran moral atau apa pun itu. Tesis Nietzsche adalah bahwa tragedi tidak seharusnya dijelaskan, tetapi dirasakan, dan di situlah bagian penting dari tragedi terletak. Ini tidak hanya sebentuk katarsis, tetapi obat, tonik terapeutik yang membuat mereka yang menontonnya merasakan emosi mereka tanpa perlu mengekstraksi pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana dunia berfungsi. Bukannya kita tidak bisa belajar darinya, tetapi pembelajaran ini lebih terhubung dengan afeksi (perasaan) ketimbang dengan intelektualitas (pikiran). Menurut Nietzsche, tanpa paduan suara yang tragis, hal ini tidak terjadi.

Euripides akan menjadi representasi Socrates dalam konteks seni tragis, dan oleh karenanya Nietzsche menyatakan dia sebagai penulis yang mempercepat “the death of tragedy”—benar-benar bunuh diri, karena Euripides menulis tragedi. Tesis Nietzsche menegaskan hal berikut: walaupun sebelum tragedi Euripides membuat penonton menyentuh “yang-nyata” tanpa perlu melihatnya dengan cara yang dapat dipahami, setelah Euripides kita kedatangan “estetika Socrates”, yang terjadi ketika penyair tunduk kepada filsuf, seseorang yang menganalisis dunia melalui akal dan bermaksud untuk memiliki pengetahuan tentang apa yang universal dan apa yang penting.

Tragedi, sebelumnya, tidak punya kebutuhan untuk menghubungkan peristiwa dengan “logika yang terlihat”, peristiwa tidak mesti memiliki sebab dan akibat yang eksplisit. Kepentingannya terletak pada bagaimana membuat penonton “merasakan”, bukan “memahami”. Hal ini, menurut Nietzsche, tidak dapat ditoleransi oleh para filsuf. Aeschylus dan Sophocles menulis tragedi mereka sehingga mereka dapat bertindak sedemikian rupa sampai menimbulkan perasaan mabuk vitalis kepada penonton. Euripides, sebaliknya, “[...] menjadi penyair rasionalisme Socrates: kritiknya terhadap seni adalah perpanjangan tangan dari kritik Socrates terhadap manusia yang menjalankan tugasnya menggunakan naluri karena mereka tidak-sadar.” (Machado, 2017)

Bertindak berdasarkan insting tanpa berusaha memahami apa yang dilakukannya tentu bertentangan dengan segala sesuatu yang dicari oleh filsuf, yaitu kejernihan pengetahuan saintifik. Pengetahuan tragis dan artistik, pemahaman semacam itu, yang menghubungkan penonton dengan yang-primordial, dengan Kehendak, tanpa perlu pemahaman yang jelas dan sadar tentang mekanisme metafisik—adalah sesuatu yang sepenuhnya dibenci oleh filsuf—dan Euripides adalah juru bicara filsuf di antara para penyair tragis. Filsafat Socrates, yang merupakan induk dari semua ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern—adalah pencarian pemahaman yang mendetil tentang alam. Ia berusaha menembus alam dan mengungkapkan esensi dunia di balik wujudnya. Meskipun kerudung Maya menutupi mata manusia, filsafat mengungkap dunia, mengungkapkan kebenaran di balik ilusi.

Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer, dan pengaruh ini begitu nyata dalam The Birth of Tragedy, buku pertamanya. Bagi Schopenhauer, esensi di balik wujud adalah Kehendak, sebuah kekuatan metafisik yang tunggal, tak lekang oleh waktu dan imanen, yang menjiwai semua keberadaan: dari kekuatan paling dasar fisika Newton hingga organisme paling kompleks. Kehendak tidak memiliki tujuan rasional, tujuan akhir, tetapi hanya kebutuhan mendesak untuk mengobjektifikasi dirinya dalam berbagai hal. Dari sinilah individuasi yang kita lihat di dunia material berasal. Meskipun kita tampak terpisah dalam representasi Kehendak, meskipun ada ilusi tatanan rasional yang dapat kita urai menggunakan kecerdasan dan pengamatan, esensi di balik ilusi multiplisitas alami ini adalah Kesatuan yang irasional dan kaotis:

[...] pemahaman yang dimiliki Schopenhauer tentang Kehendak, kita dapat mengatakannya, sebagai dorongan serampangan dan buta, sebagai kehausan hidup, Kehendak akan segera mengonkretkan ide dan secara tidak langsung mewujudkannya dalam fenomena. Untuk memuaskan hasratnya yang tidak henti-hentinya untuk hidup, kesatuan primitif Kehendak akan melipatgandakan dirinya melalui prinsip individuasi dan kausalitas, menyebarkan dirinya dalam banyak hal yang membentuk dunia fenomena, bahkan yang terkecil dan yang paling terisolir dari fragmen-fragmen ini pun akan tetap menjadi satu, produk dan ekspresi dari Kehendak. (Dias, 1997)

Kehendak, bagi Schopenhauer dan Nietzsche, adalah kaotis, tidak stabil dan menyebabkan rasa sakit serta penderitaan bagi makhluk hidup, di mana ia mengobjektifikasikan dirinya sendiri—rasa sakit dan penderitaan yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk mengulangi representasi individu baru dari Kehendak.  Tapi meskipun bagi Schopenhauer seni bisa berfungsi sebagai penolakan temporer dari Kehendak, pelarian dari rasa sakit hidup yang kacau, bagi Nietzsche Kehendak itu artistik dalam dirinya sendiri, dan ia menebus dirinya sendiri dalam wujud yang dihasilkannya. Dan penebusan eksistensial ini tidak hanya terjadi melalui seni tragis, tetapi juga melalui seni Apollonian, misalnya. Selama momen Apollonian dalam seni Yunani, ada obat penawar rasa sakit dunia, untuk kenaturalan dan kemenjadian yang kaotis. Tragedi datang hanya untuk mendamaikan roh Apollonian dan Dionysian, sesuatu yang, bagi Nietzsche, menciptakan bentuk penebusan yang superior melalui seni. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baginya, bahkan seni Apollonian sudah mampu membuat hidup lebih layak untuk dijalani:

Kebutuhan bahagia dari pengalaman seperti mimpi ini dengan cara yang sama diungkapkan oleh orang-orang Yunani pada Apollo: Apollo, dalam kualitas dewa yang memiliki kekuatan konfigurasi, pada saat yang sama adalah dewa ramalan. Menurut akar dari namanya yang “gemerlap”, keilahian cahaya, ia juga berkuasa di atas wujud indah dunia fantasi. Kebenaran superior, kesempurnaan keadaan-keadaan ini, dalam kontraposisinya dengan realitas umum, seperti celah dan dapat dipahami, diikuti oleh kesadaran mendalam tentang penyembuhan dan sifat masuk akal dari tidur dan mimpi, secara simultan merupakan analogi simbolis dari kemampuan meramal dan juga kemampuan artistik, yang dengannya kehidupan menjadi mungkin dan layak dijalani. (Nietzsche, 2005)

Ini sangat bertentangan dengan pesimisme Schopenhauer dan Kehendak-nya yang menyangkal etika, yang menganggap bahwa menjauhkan diri dari dunia sebagai respons definitif terhadap kondisi manusia. Dalam karya pertama Nietzsche kita menemukan apa yang kemudian disebut Pesimisme-Dionysian: 

“Adalah pesimisme romantis dalam bentuknya yang paling ekspresif, baik itu dalam Schopenhauerian tentang Kehendak, baik itu dalam musik Wagnerian [...] Bahwa masih ada pesimisme yang begitu berbeda dan klasik—intuisi semacam itu milikku [...]” (Nietzsche, 2001)

Sebagian besar, filsafat Nietzsche terdiri dari upaya abadi untuk menolak pesimisme yang menolak kehidupan à la Schopenhauer. Tentang tipe pesimismenya, dia menulis:

“[...] Pesimisme masa depan ini—dan itu akan datang! Aku sudah melihatnya datang!—aku menyebutnya Pesimisme-Dionysian.” (Nietzsche, 2001)

“Corak” pesimismenya ini akan menjadi varian dari pesimisme yang dia lihat dalam tragedi Yunani, yang merangkul kehidupan dengan segenap rasa sakit dan kemalangannya.

Kita hanya bisa berspekulasi apa yang akan Schopenhauer pikirkan tentang pesimisme Nietzsche. Namun tampaknya jelas bahwa dia akan menolaknya dan bahkan tidak akan menganggapnya sebagai pandangan negatif tentang eksistensi. Ketika kita membaca bagian-bagian the World as Will and as Representation, menjadi sulit untuk membayangkan Schopenhauer setuju dengan tesis bahwa kita harus merangkul kemenjadian dengan semua rasa sakit dan penderitaan yang terkandung di dalamnya. Seluruh filsafat Schopenhauerian seperti pendakian besar menuju puncak pengetahuan yang mengerikan: bahwa tidak ada hal baik yang bisa diperoleh dengan melestarikan keadaan yang kita sebut “kehidupan”. Bahkan seni, terutama musik, dengan segala keindahan dan kapasitas pelariannya, tidak mampu menang melawan Kehendak. Oleh karena itu, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyangkal Kehendak dalam diri kita, bukan dengan membunuh diri kita sendiri, tetapi menjauhkan diri dari kehidupan. Bagi Schopenhauer: 

“[...] kita dapat menyebut penekanan otomatis yang total dan penolakan Kehendak ini sebagai kebaikan tertinggi, summo bonum, dan melihatnya sebagai satu-satunya dan cara radikal untuk menyembuhkan penyakit—yang kesemua caranya adalah anodin (obat pereda nyeri), yang hanya bisa meringankan.” (Schopenhauer, 2005)

Namun ada filsuf pesimisme lain yang mampu mengomentari filsafat Nietzsche sejak ia hidup pada abad ke-20: Cioran. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang akan dipikirkan Schopenhauer tentang Pesimisme-Dionysian, tetapi kita memiliki pemikiran filsuf lain yang, dengan caranya, juga menyangkal kehidupan dan keberadaan dengan cara yang lebih mendalam dan ekstrem—sebab Cioran skeptis tentang postulat metafisika yang tepat. Penyangkalan hidupnya terjadi karena dia menganggap bahwa kesadaran sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan dari rasa sakit dan penderitaan. Bagi Cioran, dilahirkan adalah mengada, dan keberadaan sama dengan penderitaan. Tentang Nietzsche, Cioran menulis:

Kepada seorang murid yang ingin tahu di mana aku berdiri sehubungan dengan penulis Zarathustra, aku menjawab bahwa aku sudah lama berhenti membacanya. Mengapa? “Aku menganggapnya naif ...” Aku menahan antusiasmenya, menentang semangatnya. Dia menghancurkan begitu banyak berhala-berhala hanya untuk menggantikannya dengan yang lain: ikonoklas palsu, dengan aspek ketidakdewasaan dan keperjakaan tertentu, kepolosan tertentu yang melekat dalam karier soliternya. Dia mengamati manusia hanya dari kejauhan. Seandainya dia mendekat, dia tidak akan bisa membayangkan atau mengumumkan übermensch (adimanusia) itu, angan-angan yang tidak masuk akal, menggelikan, bahkan aneh sekali, sebuah khayalan yang hanya bisa muncul dalam pikiran tanpa waktu, untuk mengetahui ketenangan panjang menjijikan dari ketidakmelekatan. Marcus Aurelius jauh lebih dekat denganku. Tidak ada keraguan sedikit pun antara lirisisme yang carut-marut dan prosa penerimaan: Aku menemukan lebih banyak kenyamanan, bahkan lebih banyak harapan, pada kaisar yang lelah ketimbang pada nabi yang bergemuruh. (Cioran, 1976)

Referensi: 

Cioran, Emil. The Trouble with Being Born. New York: Arcade, 1976. Tradução para o inglês de Richard Howard.

Dias, Rosa. “A influência de Schopenhauer na filosofia da arte de Nietzsche em O Nascimento da Tragédia” In Cadernos Nietzsche. n. 3, São Paulo, 1997.

Machado, Roberto. Nietzsche e a Verdade. São Paulo: Paz e Terra, 2017.

Nietzsche, Friedrich. O nascimento da tragédia. São Paulo: Cia das Letras, 2005. Tradução de J. Guinsburg.

A Gaia Ciência. São Paulo: Cia das Letras, 2001. Tradução de Paulo César Lima de Souza.

Schopenhauer, Arthur. O Mundo como Vontade e Representação. São Paulo: UNESP, 2005. Tradução de Jair Barboza.