Tuesday 27 September 2022

Godardisme: Membangun Filosofi dalam “Vivre sa vie” (Esai Translasi)

[Bagian dari VARIABLES, serangkaian esai tentang seni & politik Jean-Luc Godard]

Dipublikasikan pertama kali di website filmcapsule.com pada 19 November 2014
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha  

*terjemahan ini didedikasikan untuk Godard—& terbit 2 minggu pascakematiannya pada 13 September 2022.

***

Jean-Luc Godard sering dilabeli sebagai sutradara/pembuat film intelektual, yang biasanya tampak seperti istilah yang sombong, mewakili sesuatu seperti “didaktik” atau bersifat mendidik—& “obtus” atau sulit dipahami. & terkadang itu mungkin benar. Tapi jika Godard adalah pembuat film intelektual, itu bukanlah suatu sikap gaya-gayaan atau kepura-puraan, tetapi pendalaman yang sungguh-sungguh terhadap konsep tentatif di ruang lingkupnya. Prancis 1960-an adalah sarang wacana politik & diskursus filosofis, Godard & rekan-rekan New Wave-nya (yang dulunya para teoritikus kemudian beralih menjadi sutradara) adalah bagian integral dari lingkungan ini. Wajar jika diskursus ini mulai merembes ke dalam film-film mereka.

Vivre sa vie (1962) karya Godard, misalnya, kaya akan eksistensialisme. Baik dalam bentuk maupun isinya, kisah terjunnya seorang single mother berusia 22 tahun ke dalam prostitusi ini seringkali tampak dimotivasi oleh prinsip-prinsip pembentukan-diri à la eksistensialisme, tetapi anggapan mengenai eksistensialisme dalam film ini tetaplah ambigu. Apakah Nana Kleinfrankenheim (yang diperankan Anna Karina) memang bebas untuk menjalani kehidupan yang dia pilih, ataukah dia malah ditentukan oleh ketiadaan kehendak bebas yang kentara? Apakah otonomi individu, ataukah kecenderungan untuk menolak makna itulah yang mendefinisikan Vivre sa vie?

Salah satu prinsip eksistensialisme yang sering hadir baik secara bentuk maupun isi film tersebut adalah keselarasan antara ajaran & cara hidup seseorang, antara perkataan & tindakan. Dengan prinsip ini, Godard pasti akan menjadi model yang mengagumkan bagi para sinefil untuk film abad ke-20 & ke-21. Pertama sebagai kritikus & teoritikus yang setia, kemudian sebagai pembuat film yang ulet & produktif, Godard mempraktekkan apa-apa yang dia khotbahkan. Tulisan-tulisannya tentang kekuatan & politik dari film diaktualisasikan dalam karyanya, sebagaimana karyanya itu sendiri ada sebagai perpanjangan dari teori & filosofinya sendiri.

Tapi apakah integritas yang sama antara kata-kata & tindakan ini ada pada Nana di Vivre sa vie? Eksistensialisme bergantung pada pembentukan “gagasan yang lebih personal tentang ‘kebenaran’ (Flynn 2),” sebuah esensi unik untuk setiap individu yang berfungsi sebagai peta filosofisnya mengarungi kehidupan. Meskipun Nana sangat menginginkan kebenarannya sendiri, di sepanjang film dia menjadi “didefinisikan” bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak orang lain.

Godard & Karina mencirikan Nana melalui luapan emosinya, serta rasa ingin tahu & perhatiannya yang naif. Misalnya, dalam satu adegan kunci, Nana dengan berurai air mata menonton The Passion of Joan of Arc karya Carl Theodor Dryer tahun 1928. Kekuatan emosional dari adegan yang sangat sunyi ini bergantung pada ketepatan Godard & Karina dalam menangani respons emosional Nana yang dalam & hampir sublim, yang menunjukkan penerimaan perasaannya, sebagai prinsip lain dari eksistensialisme. Adegan kunci lain dalam film ini memperlihatkan Nana yang mencoba membangun filosofinya sendiri, tetapi setelah Nana berbincang dengan filsuf-sungguhan (Brice Parain), Nana semakin bingung dengan teori pertamanya tentang kehidupan.

Cita-cita Eksistensialisme difokuskan pada individu manusia dalam “pengejaran identitas & makna (Flynn 8),” namun dalam Vivre sa vie, Nana secara rutin ditolak agensi dalam mengejar identitasnya sendiri, sama seperti dia tidak dapat menciptakan sistem maknanya sendiri. Godard mencapai ini dengan secara konsisten & radikal menyasar Nana dalam konteks peran sosialnya, sebagai karyawan toko kaset, calon aktris, ibu yang rindu, model yang tidak antusias, & tentu saja, pelacur. Masing-masing peran ini ditentukan oleh fungsinya bagi orang lain, bukan oleh esensinya sendiri. Sebagai seorang aktris & model khususnya, Nana tampaknya bersedia tunduk pada kehendak sutradara atau fotografer, melepaskan identitasnya sendiri untuk mengenakan topeng sebagai “performer”. Sebagai pelacur, Nana kembali dicirikan oleh fungsinya untuk orang lain, namun bahkan sebutan sederhananya sebagai “pelacur Raoul” lenyap saat dia berganti germo, yang mengakibatkan kehancurannya. Meskipun dia mencari integritas eksistensial demi menjalani hidupnya sendiri, untuk dirinya sendiri—Nana menolak pilihanya di setiap kesempatan.

Meskipun Godard dalam Vivre sa vie memasukkan penelusuran à la eksistensialisme, elemen-elemen ini sebagian besar negatif, sebagai pengingat bahwa apa yang Nana cari mati-matian tidak akan pernah didapatkan. Mungkin sebaliknya, film ini merupakan ekspresi dari pembentukan-diri Godard sendiri sebagai seorang pemikir & seniman. Kehadiran sang sutradara dalam film tersebut tampak muncul melalui pembacaan “The Oval Portrait” karya Edgar Allan Poe. Dengan teknik close-up ke wajah Karina, narasi Poe dibacakan oleh suara Godard sendiri, menggantikan aktor yang membaca buku itu. Saat Godard membaca kegilaan seorang seniman dengan rendering gambar istrinya, dengan mengesampingkan Nana, penonton akan menyadari hubungan pribadi yang mendalam dari cerita ini dengan hubungan Godard & Karina, yang mengancam dedikasi Godard terhadap karyanya sendiri.

Ditempatkan di akhir film, adegan ini mengganggu pembacaan eksistensialis terhadap Vivre sa vie seraya “memperluas” film demi mencakup kehidupan Godard dan Karina. Meskipun Godard “melipat” dirinya ke dalam jalinan film, langkah ini tidak bertentangan dengan pencarian Nana untuk filosofi eksistensialnya, itu justru meluas menuju ke arah Godard sendiri. Godard tidak merusak integritas Nana, tetapi sebaliknya—menegaskan integritasnya sendiri, menyusun pernyataan tesis dari filosofi sinematik pribadinya.

Referensi:

Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford.

Tuesday 20 September 2022

Apa yang Nietzsche Maksud ketika Mengatakan “Tuhan telah Mati” (Esai Translasi)

“Tuhan telah mati!”

Dalam bahasa Jerman, Gott ist tot! adalah ungkapan yang paling lekat dikaitkan kepada Nietzsche. Namun ada ironi di sini karena Nietzsche bukanlah orang pertama yang mengemukakannya. Penulis Jerman, Heinrich Heine (yang Nietzsche kagumi), mengatakannya lebih dulu. Tapi Nietzsche sebagai seorang filsuf memiliki misi pribadi untuk menanggapi pergeseran budaya yang dramatis dengan ungkapan “Tuhan telah mati”.

Ungkapan tersebut pertama kali muncul di awal Book Three dari The Gay Science (1882). Kemudian ungkapan itu menjadi ide sentral dalam aforisme masyhur (125) berjudul Orang Gila, yang dimulai dengan:

“Pernahkah kau mendengar tentang orang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, yang berlari ke pasar, dan menangis tanpa henti: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”—Karena banyak dari mereka yang tak percaya pada Tuhan berdiri di sekitarnya saat itu, dia memancing banyak tawa. Apakah dia tersesat? Tanya seseorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lain. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut kepada kita? Apakah dia sudah melakukan perjalanan? Mengungsi ke negeri lain?—Sehingga mereka berteriak-teriak dan tertawa.

Orang gila itu melompat ke tengah-tengah mereka dan menusuk mereka dengan matanya. “Di mana Tuhan?” dia menangis;  “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuhnya—kau dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Tapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita bisa meminum lautan? Siapa yang memberi kita lap serap untuk menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan rantai bumi dari mataharinya? Ke mana ia bergerak sekarang? Ke mana kita bergerak? Jauh dari seluruh matahari? Bukankah kita terus-menerus menyelam? Mundur, ke samping, ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada yang naik? Atau turun? Apakah kita tak tersesat, seperti melalui ketiadaan yang tak terbatas? Apakah kita tak merasakan napas dari ruang hampa? Bukankah semakin dingin? Bukankah malam terus-menerus mendekati kita? Apakah kita tak perlu menyalakan lentera di pagi hari? Apakah kita belum mendengar suara penggali kubur yang mengubur Tuhan? Apakah kita belum mencium bau busuk ilahi? Dewa-dewi juga membusuk. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.”

Orang gila terus berkata

“Tak pernah ada tindakan yang lebih besar; dan siapa pun yang lahir setelah kita—demi tindakan ini, ia akan menjadi bagian dari sejarah yang lebih tinggi dari semua sejarah sampai saat ini.” Ditemui oleh ketidakpahaman, ia menyimpulkan:

“Aku datang terlalu dini … Peristiwa luar biasa ini masih dalam perjalanan, masih berkeliaran; itu belum sampai ke telinga seorang manusia. Petir dan guntur membutuhkan waktu; cahaya bintang membutuhkan waktu; tindakan-tindakan, meskipun dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka ketimbang bintang yang paling jauh—namun mereka telah melakukannya sendiri.”

Apa maksud dari semua ini?

Hal pertama yang cukup jelas dan menjadi poin adalah bahwa pernyataan “Tuhan telah mati” adalah paradoks. Tuhan, secara definitif, itu abadi dan mahakuasa. Dia bukanlah entitas yang bisa mati. Jadi apa maksud dari ungkapan bahwa Tuhan telah “mati”? Gagasannya beroperasi pada beberapa tingkatan.

Bagaimana agama kehilangan tempatnya dalam budaya kita

Maksud yang paling jelas dan penting hanyalah ini: Dalam peradaban Barat, agama pada umumnya, dan Kekristenan, khususnya, berada dalam kemerosotan yang tidak dapat diubah. Ia kehilangan atau telah kehilangan tempat sentral yang telah dipegangnya selama dua ribu tahun terakhir. Ini berlaku di setiap bidang: dalam politik, filsafat, sains, sastra, seni, musik, pendidikan, kehidupan sosial sehari-hari, dan dalam kehidupan spiritual dari batin setiap individu.

Seseorang mungkin keberatan: namun, tentu saja, masih ada jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Barat, yang masih sangat religius. Ini tidak diragukan lagi benar, tetapi Nietzsche tidak menyangkalnya. Dia menunjuk ke tren yang sedang berlangsung yang, seperti yang dia tunjukkan, kebanyakan orang belum sepenuhnya memahami. Tapi trennya tetap tidak terbantahkan.

Di masa lalu, agama sangat penting dalam budaya kita. Musik terhebat, seperti Bach – Mass In B Minor, bersifat religius dalam segi inspirasi. Karya seni terbesar dari Renaissance, seperti The Last Supper karya Leonardo da Vinci, secara khusus bertema keagamaan. Ilmuwan seperti Copernicus, Descartes, dan Newton, adalah orang-orang yang sangat religius. Gagasan ketuhanan memainkan peran kunci dalam pemikiran para filsuf seperti Aquinas, Descartes, Berkeley, dan Leibniz. Seluruh sistem pendidikan diatur oleh gereja. Sebagian besar orang dibaptis, menikah dan dimakamkan oleh gereja, dan menghadiri gereja secara teratur sepanjang hidup mereka.

Tidak satu pun dari hal-hal di atas benar lagi adanya. Kehadiran di gereja di sebagian besar negara Barat telah jatuh ke dalam jumlah yang sedikit, sekitar sembilan orang bahkan kurang. Sekarang banyak individu lebih menyukai upacara yang sekuler, yang tidak bersifat keagamaan saat perayaan kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dan di antara para intelektual—ilmuwan, filsuf, penulis, dan seniman—kepercayaan agama hampir tidak berperan dalam pekerjaan dan karya-karya mereka.

Apa penyebab kematian Tuhan?

Jadi ini adalah alasan pertama dan paling mendasar di mana Nietzsche berpikir bahwa Tuhan telah mati. Budaya kita menjadi semakin sekuler. Alasannya tidak sulit untuk dipahami. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Era Pencerahan di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi. Dikombinasikan dengan industrialisasi pada abad ke-19, kekuatan teknologi yang berkembang pesat yang dilepaskan oleh ilmu pengetahuan, juga memberi orang-orang semacam rasa kontrol yang lebih besar atas alam. Merasa tidak berdaya melawan kekuatan irasional juga memainkan perannya dalam mengikis keyakinan beragama.

Pemaknaan lebih lanjut “Tuhan telah Mati!”

Seperti yang dijelaskan Nietzsche di bagian lain The Gay Science, klaimnya bahwa Tuhan telah mati bukan hanya klaim tentang kepercayaan agama. Dalam pandangannya, banyak dari pola pikir kita yang secara standar membawa unsur-unsur agama yang tidak kita sadari. Misalnya, sangat mudah untuk berbicara tentang alam seolah-olah alam mengandung makna dan tujuan. Atau jika kita berkata alam semesta seperti sebuah mesin yang hebat, metafora ini membawa implikasi yang halus bahwa mesin itu dirancang oleh seseorang. Mungkin yang paling mendasar dari semuanya adalah asumsi kita bahwa ada yang namanya kebenaran objektif. Yang kita maksud dengan ini adalah sesuatu seperti cara dunia akan digambarkan dari “sudut pandang mata tuhan”—sudut pandang yang tidak hanya di antara banyak perspektif, tetapi adalah Satu Perspektif Sejati yang tunggal. Bagi Nietzsche, semua ilmu pengetahuan harus berangkat dari perspektif yang terbatas.

Implikasi dari kematian Tuhan

Selama ribuan tahun, gagasan tentang Tuhan (atau para dewa-dewi) telah menjadi jangkar bagi pemikiran kita terhadap dunia. Ini sangat penting sebagai landasan moralitas. Prinsip-prinsip moral yang kita ikuti (Jangan membunuh. Jangan mencuri. Membantu mereka yang membutuhkan, dll.) mengandung otoritas agama di belakangnya. Dan agama memberikan motif untuk mematuhi aturan-aturan ini, karena agama memberi tahu kita bahwa kebajikan akan dihargai dan yang sebaliknya akan dihukum. Apa yang terjadi jika permadani ini ditarik?

Nietzsche tampaknya berpikir bahwa respons pertama adalah kebingungan dan kepanikan. Seluruh bagian Orang Gila yang dikutip di atas penuh dengan pertanyaan menakutkan. Turun ke dalam kekacauan dipandang sebagai salah satu kemungkinan. Tapi Nietzsche melihat kematian Tuhan sebagai bahaya besar dan peluang besar. Ini memberi kita kesempatan untuk membangun “tabel nilai” yang baru, yang akan mengungkapkan cinta yang baru ditemukan dari dunia ini dan kehidupan ini. Karena salah satu keberatan utama Nietzsche terhadap Kekristenan adalah bahwa dengan memikirkan kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan setelah kematian, sehingga pada akhirnya keagamaan merendahkan nilai kehidupan itu sendiri.

Maka, setelah kecemasan besar yang diungkapkan dalam Book III, Book IV dari The Gay Science adalah ekspresi mulia dari pandangan yang mengafirmasi kehidupan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.


Filosofi Keputusasaan à la Cioran (Esai Translasi)

L APPEL AU SUICIDE OU L'ULTIME FLIRT (1977) by RAYMOND DOUILLET
Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

*Esai ini juga sempat dipresentasikan pada acara Philosophy Week ke-9 di Federal University of the State of Rio de Janeiro (UNIRIO) pada tahun 2019.

Terlepas dari keganjilannya, gagasan filsuf kelahiran Rumania, Emil Cioran, tidak berada dalam ruang hampa. Kita dapat berargumen bahwa gagasannya adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—bahkan pesimis—yang tidak diketahui dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh profesor UCLA, Joshua Dienstag pada tahun 2009. Tidak ada sekolah-pemikiran-filosofis pesimisme yang tepat, tetapi Dienstag berpendapat—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Leopardi, Schopenhauer, Nietzsche, Unamuno, Camus, dan Cioran—kurang lebih sebagai tubuh dari tradisi ini.

Dalam buku Tragic Sense of Life (2008) karya Miguel de Unamuno, dinyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia. Filsafat Cioran—yang (membaca) dan berangkat dari Unamuno—tentu saja mempertajam dan menguatkan konklusi dan sentimen ini. Kesadaran sebagai penyakit adalah titik awal filosofi keputusasaan à la Cioran. Kesadaran akan apa? akan waktu. Akal kita mampu merefleksikan apa yang dipikirkannya dan memiliki pemahaman penuh tentang keberadaan masa lalu dan masa depan. Filosofi keputusasaan Cioran menyatakan bahwa kapasitas kita ini memiliki efek samping yang menakutkan, seperti pengetahuan bahwa eksistensi kita ada— dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Meskipun Cioran berpendapat bahwa kita bukanlah robot, tetapi kita beroperasi dalam keterbatasan waktu yang tidak tertanggulangi—dan kita tahu ini. Masa depan, oleh karena itu, tidak lain dan tidak bukan adalah masa lalu yang belum datang. Kita semua akan binasa, sama seperti makhluk hidup lain yang menghuni planet ini, dan pengetahuan ini membuat kita secara retroaktif tidak eksis/ada.

Pengetahuan ini juga membuat Sejarah menjadi tidak berarti. Sejarah, menurut Cioran, adalah adaptasi yang kita buat terhadap kondisi temporal kita: kita menciptakan Sejarah dan mengisinya dengan ilusi—agama dan segala macam impian. Pada momen-momen tertentu, Cioran menggunakan metafora dan mitologi untuk mengungkapkan pikirannya. Salah satu ungkapan yang dia gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”. Kita adalah makhluk yang datang dari ketiadaan abadi dan jatuh ke dalam waktu ketika kita dilahirkan: kita menjalani masa kini yang selalu cepat berlalu dan menjadi masa lalu. Untuk itu, kita selalu menitipkan harapan kita di masa depan. Semua hewan lain hidup di masa kini—mereka beradaptasi untuk hidup di masa kini, dilahirkan dan (hampir) siap untuk hidup. Mereka memiliki apa yang mereka butuhkan di dalam diri mereka. Singa, zebra, serangga, dan ikan tidak membutuhkan budaya, sekolah, dan pembelajaran formal. Mereka hidup pada masa kini dan ketakutan mereka akan kematian tidak lebih dari sekadar ketakutan yang naluriah. Hewan, bahkan ketika mereka sakit, tidak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti kita—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Filosofi keputusasaan Cioran, bagaimanapun, tidak melihat rasa sakit hanya terjadi di dunia manusia. Dalam aforisme tertentu dia mengungkapkan bagaimana kesadaran apa pun akan mendapat manfaat dari ketidakberadaan, bahkan kesadaran hewan primitif. Dalam bukunya De l'inconvénient d'être né/The Trouble with Being Born (1976), Cioran menulis, “Lebih baik menjadi hewan daripada manusia, serangga daripada hewan, tumbuhan daripada serangga, dan seterusnya. Pertolongan? Apa pun yang mampu mengurangi kerajaan-kesadaran dan mengompromikan supremasinya.” Menurut filosofi keputusasaan, dunia ideal akan dihuni oleh bebatuan—dan, jika ada kehidupan, itu adalah tumbuh-tumbuhan (Cioran, 1998). Jadi apa yang bisa kita lakukan? Apa jawaban Cioran untuk diagnosisnya yang begitu mengerikan?

Saat menulis buku pertamanya, Cioran menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Rumania. Kemudian, ia beralih secara permanen menggunakan bahasa Prancis. Meskipun beberapa karya pertamanya sudah sangat suram, jawabannya atas betapa hampanya keberadaan manusia masih agak vitalis. Sebentuk kekaguman Ciora terhadap ekstase spiritual orang-orang Kristen yang suci pada awal-awal kepenulisannya hanyalah: dalam persepsi Cioran, ketika kita melihat fenomena ekstase spiritual—tanpa berpegang pada sampul dogmatis agama—orang suci itu akan menjadi semacam orang yang mampu beberapa saat meninggalkan dan lari dari ‘waktu’ di mana kita semua jatuh ke dalamnya. Sosok-sosok suci dan mistikus akan meninggalkan individuasi dan temporalitas manusia dalam momen-momen ekstase spritual yang singkat ini. Namun, setelah Perang Dunia II, Cioran dalam fase Prancis-nya, meskipun diagnosisnya tetap sama—bisa dikatakan bahwa keputusasaannya menjadi lebih dalam—dengan kata lain, Cioran tidak melihat jalan keluar. Tidak ada penolong untuk kondisi temporal kita, bahkan dalam ekstase orang-orang suci. Yang bisa kita coba, hanyalah seni untuk menjalani hidup yang agak dekat dengan asketisme dan kepasrahan non-religius yang kita temukan dalam filsafat Schopenhauer.

Menurut Schopenhauer (2014) pesimisme memberi kita celah kecil untuk melarikan diri dari kondisi keterlemparan ketika kita dilahirkan, meskipun untuk sementara. Schopenhauer (2015) baginya, mengagumi seni, terutama musik, adalah sekutu yang kuat bagi orang-orang yang berusaha menetralisir kehendak yang kejam untuk hidup, meskipun untuk sesaat. Cita-cita asketisme—misalnya, dalam monastisisme Kristen dan Buddhis—bahkan lebih baik bagi Schopenhauer: seorang asket menyangkal kehendak untuk hidup dan bekerja terus-menerus melawan nafsu yang membuat kita terikat pada dunia yang seutuhnya fana dan di mana rasa sakit, bahkan ketika tertunda, sudah pasti menyakitkan. Pengetahuan yang dimiliki dalam mempraktikkan penolakan kehendak untuk hidup, bahkan ketika penolakan ini terjadi secara tidak langsung—seperti dalam kasus para biksu, yang menolak kehendak untuk hidup demi alasan agama dan dogmatis, bukan karena wawasan filosofis—adalah  semacam kemenangan dalam filosofi Schopenhauer. Bagi Schopenhauer (2014), perpaduan dari seluruh “kehidupan” adalah penyebab dari begitu banyak penderitaan, maka akan lebih baik jika bumi kosong seperti bulan. Tapi di dalam Schopenhauer ada secuil kemenangan personal ketika kita menolak kehendak untuk hidup, yang mana itu merupakan pengetahuan tentang penolakan ini. Bagi Cioran, kemenangan kecil pun tidak mungkin. Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi kita. Kita hanya dapat menangani bencana total ini secara parsial dengan mengisolasi diri kita sendiri—seolah-olah kita adalah biksu urban.

Kita dapat melihat bahwa filsafat Schopenhauer dan Cioran sama-sama mempromosikan semacam penolakan kehidupan. Pada filsafat Cioran, kita juga melihat kritik tajam terhadap prokreasi. Dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Aku sendirian di pekuburan yang menghadap ke desa ketika seorang wanita hamil datang ke sini. Aku segera pergi, supaya tidak melihat pembawa mayat wanita ini dari jarak dekat, atau untuk merenungkan kontras antara rahim yang agresif dan pusara yang usang—antara janji-janji ilusif dan akhir dari semua omong kosong ini. (Cioran, 1998)

Ketidaksetujuannya terhadap reproduksi tidak terbatas pada wanita dan yang lainnya. Dalam buku catatannya, yang diterbitkan setelah meninggal dunia, dia menulis: “Dengan apa yang aku ketahui, dengan apa yang aku rasakan, aku tidak dapat mengabdikan hidup tanpa menempatkan diriku dalam kontradiksi total dengan diriku sendiri, tanpa menjadi secara intelektual tidak jujur dan kriminal secara moral.” (1997) Pernyataan seperti itu bukanlah kecaman terhadap orangtua karena menjadi orangtua, melainkan kondisi manusia yang secara membabi buta melestarikan dirinya, terlepas dari ketidakmungkinan yang total atas makna yang memuaskan bagi kehidupan dan penderitaan yang kita alami. Bagi filsuf keputusasaan, akan lebih baik jika kita tetap dalam “kemungkinan-kemungkinan”. Sekali lagi, dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Jika benar bahwa dengan kematian kita sekali lagi menjadi seperti sebelumnya, bukankah lebih baik untuk mematuhi kemungkinan murni itu, tidak bergerak darinya? Apa gunanya jalan memutar ini, ketika kita mungkin tetap selamanya dalam keterpenuhan yang tidak disadari? (Cioran, 1998)

Sentimen tersebut bergema dalam tulisan Samuel Beckett, penulis naskah drama asal Irlandia. Dalam Waiting for Godot, tokoh bernama Pozzo mengatakan: “Mereka melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” (Beckett, 2011)

Masih ada pertanyaan: jika hidup begitu mengerikan, mengapa kita tidak meninggalkannya dengan bunuh diri?Memang benar bahwa baik Cioran dan Schopenhauer sebelumnya tidak mengutuk bunuh diri. Sebaliknya: keduanya menegaskan dalam karya-karya mereka bahwa tidak ada gereja atau lembaga sipil yang pernah memberikan argumen yang valid mengenai bunuh diri. Namun, untuk alasan yang berbeda, mereka tidak menganggapnya sebagai alternatif terbaik. Bagi Schopenhauer, bunuh diri, adalah mencoba membunuh kehendak untuk hidup di dalam dirinya—tetapi kehendak untuk hidup adalah kekuatan pendorong metafisik yang menembus semua kenyataan. Bunuh diri tidak menyangkal kehendak untuk hidup, asketisme-lah yang menyangkalnya. Karena Cioran skeptis terhadap kebenaran mutlak, kita tidak menemukan bantuan pengetahuan metafisik, oleh karena itu, menurutnya, bunuh diri sebenarnya adalah alternatif yang valid, tetapi itu bukan tindakan yang perlu, juga tidak manjur. Dalam A Short History of Decay, dia menulis tentang bagaimana bunuh diri diibaratkan semacam harta karun yang kita semua punya aksesnya, tetapi kita bisa memilih untuk menghabiskan seluruh hidup kita tanpa menggunakannya (Cioran, 2012). Setelah kita lahir, kerusakan sudah terjadi, dan bunuh diri tidak mengubah itu—karena alasan ini, bunuh diri menjadi satu lagi tindakan sia-sia terhadap kondisi kita. Dalam salah satu aforismenya yang paling terkenal, Cioran menyatakan bahwa: “Tidak ada gunanya repot-repot membunuh diri sendiri, sejak dirimu selalu terlambat untuk melakukannya.” (Cioran, 1998)

Karya-karya Cioran mengungkapkan filsafat yang korosif, nihilistik, dan pesimistis—yang menyangkal nilai kehidupan, sesuatu yang mungkin kontroversial pada pandangan pertama—atau pada pandangan ketiga, keempat, keseribu ... Namun, mereka yang membacanya mesti berhati-hati dan penuh waspada, sebab penyangkalan ini bukanlah penghormatan atau dorongan untuk bunuh diri, meskipun dia tidak menilai tindakan tersebut dari sudut pandang moral atau perspektif seorang vitalis. Filosofi keputusasaan à la Cioran menggugat kehidupan tanpa mengharapkan kematian. Sebagai kesimpulan, penulis akan menutupnya dengan kata-kata Cioran sendiri:

     Kita tidak terburu-buru menuju kematian, kita melarikan diri dari malapetaka kelahiran, para penyintas berjuang untuk melupakannya. Ketakutan akan kematian hanyalah proyeksi ke masa depan dari ketakutan yang berasal dari momen pertama kehidupan kita. Tentu saja, kita enggan menganggap kelahiran sebagai momok: bukankah hal itu telah ditanamkan dalam diri kita sebagai kebaikan yang berkuasa—tidakkah kita diberitahu bahwa yang terburuk datang terakhir, bukan pada awal kehidupan kita? Namun kejahatan, kejahatan yang sebenarnya, ada di belakang, bukan di depan kita. Apa yang luput dari Yesus tidak luput dari Buddha: “Jika tiga hal tidak ada di dunia, o para murid, Yang Sempurna tidak akan hadir di dunia ...”  Dan di hadapan usia tua dan kematian, Sang Buddha menempatkan fakta kelahiran, sumber dari setiap kelemahan, setiap bencana. (Cioran, 1998).

Referensi:

Beckett, Samuel. Waiting for Godot. New York: Grove Press, 2011.

Cioran, Emil. A Short History of Decay. New York: Arcade Publishing, 2012. Translated by Richard Howard.

Cahiers, 1957-1972. Paris: Gallimard, 1997.

The Trouble with Being Born. New York: Arcade Publishing, 1998. Translated by Richard Howard.

Dienstag, Joshua Foa. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press, 2009.

Unamuno, Miguel de. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications, 2008.

Wednesday 14 September 2022

Bila Aku Menulis Lagi Surat Untukmu


Kepada Bila yang ... Hmmm

Bogor, 13 September 2022

“... sing me something soft
sad & delicate
or loud & out of key
sing me anything
we're glad for what we've got
done with what we've lost
our whole lives laid out
right in front of us

sing like you think no one's listening
you would kill for this
just a little bit
just a little bit
you would
you would ...”

selamat dini hari, Bila. aku bingung bagaimana memulai surat ini, itulah mengapa aku mengawalinya dengan lirik lagu Existentialism on Prom Night (selain karena aku tahu Kau suka menyanyi & menggeluti Eksistensialisme). walaupun sebenarnya, sejujurnya, aku lebih bingung mengenai “mengapa” aku menulis selamat dini hari, Bila & “mengapa” aku menulis lagi surat untukmu, Bila. kebingungan lainnya berasal dari betapa bingungnya pikiran-perasaanku yang sama sekali tak menyangka kita akan kembali saling bertukar-teks setelah aku menerbitkan tulisan “Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu”—tetapi kemarin Kau malah mem-vidcall-ku—aku mengangkatnya & sekitar 3 jam lamanya kita mengaktifkan mulut & menyalakan telinga.

Bil, apakah kau menyadari bahwa di alinea pertama saja sudah ada setidaknya 4 kebingungan yang kutelurkan? Kau tak sadar, ya? hahahaha lupakan ... intinya akan kutekskan beberapa kebingungan yang bising di dalam kepalaku (yang terkadang kurasa tak perlu juga kuberi medium kata-kata—biarkan saja meledak senyap di dalam kepala) pada surat tak berguna ini. sebelum itu aku ingin curhat-menarasikan kebingungan yang bacot-banget ini dulu, ya.

beberapa hari lalu, aku menerjemahkan 2 esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (katakanlah Kau bertanya mengapa aku melakukannya) aku bersedia mengalihbahasakannya karena sehari sebelum tawaran penerjemahan itu kusanggupkan—aku mencoba simulasi IELTS & mendapatkan skor 80 dengan label 'advanced' atau setara 601-625 dalam skor TOEFL. alasan terbesarnya justru bukan aku merasa jago basa enggres, tetapi aku bingung mengapa pula skorku sedemikian besarnya—pedahal grammar-ku masih acakadut—& dari kebingungan itulah aku menantang diriku sendiri untuk bergulat di batas-batas antara bahasa ibu & bahasa blonde.

semacam intermezzo: kau tahu, Bil, skill speaking basa elizabethasu-ku ini seperti bule-bloon yang tentu saja bukan native speaker asal London, yang ... diduga sedang sariawan namun memaksakan untuk kumur-kumur Listerine. apalagi bahasa jurusanmu itu, aduh, amandelku bisa kambuh. bila Kau ingat, aku pernah berkata bahwa berbahasa macam orang Paris berpotensi besar membuatku sakit tenggorokan dengan cukup kronis.

ok, back to the curhat ... esai yang pertama kualihbahasakan garis besarnya tentang Panduan Pembebasan Individual di Era Postmodern. esai kedua, gambaran besarnya membahas kedepresifan manusia, hal-ihwal penderitaan, dampak teknologi, sampai kebusukan-kebusukan society. ini, Bil, efek psikologis yang kualami paska-penerjemahan: yang pertama, tulisan Vetuyara itu membuat kedua tanganku ingin mencipta molotov (dari sebotol anggur merah Cap Orang Tua yang botolnya entah berapa banyak akan kutenggak semasih aku muda + seluruh baju-bajuku yang sudah kumal + bensin pertalite yang kini mahal) lalu melemparkannya ke wajah borjuis muda yang tekun flexing di sosial media—yang gemar membacot di seminarnya yang ... overprice mengenai omong kosong kerja keras & kerja cerdas dengan percaya diri sekaligus dumb-ass;

yang kedua, lebih parah, Le Chien Rifki (penulisnya) kupikir adalah seorang demotivator ulung yang sukses membahasakan pesimisme dengan begitu optimis. si anjing itu sungguh sangat hadeuh, Bil. ia menghidupkan seribu Macbeth yang berperangai seperti Deadpool sedang existential dread di lubuk kesadaranku. dengan piawai-bangsatnya ia juga menggemakan kegagalan Dazai menjadi seorang manusia & pada gilirannya melukiskan betapa terancamnya kata hidup dalam kamusku bila aku terlalu banyak mengonsumsi esai-esai Cioran.

Bil, kau kan tahu bahwa gelar 'MA' di belakang namaku bukan Master of Arts, melainkan Master of Anguish. Kau apalagi, menyandang gelar Ph.D ... Pretty-huge Despair (sumpah, aku sama sekali tak tertawa). tapi berjuta tapi, bukan berarti aku rela, memberimu lampu hijau, atau lebih sinting lagi menganjurkan—jika pada akhirnya kau benar-benar lelah & memilih untuk membunuh dirimu sendiri. mengapa aku menukil perihal suicide? sebab hari ini ada puisimu yang masuk melalui pintu watsap-ku—isinya kira-kira begini:

Tuhan,
Aku hanya ingin mati.

—Bila

(Jakarta, 13 September 2022)

Kau mesti tahu bahwa aku senang bila Kau mengirimkan puisimu kepadaku. tapi aku bingung mau merespon puisimu yang satu ini bagaimana atau dengan pendekatan masturbasi pikiran (khas terma-terma kefilsafatan) yang seperti apa. kupikir, pada titik tertentu, fafifu filsafat malah memperburuk keadaan, khususon Filsafat Prancis (Kau tentu lebih suhu dariku terkait ini, misalnya, lebih memahami bahwa philosophical notion from a croissant country memang cenderung, bukan cenderung juga sih, tetapi memang noir). semisal aku ngueng-ngueng luas Stoikisme = ½ × S × K ... pun juga tak guna—sebab kita bukan anak kandung Seneca yang punya seolympus Ke-sa-bar-an.

paling banter ya aku tekskan begini: “wanna talk?”—atau menelponmu (& aku akan menempatkan kedua telingaku dalam mode siap-siaga-bencana-airmata, tanpa mengeluarkan suara apalagi saran bila tak Kau pinta), atau berjuta kali meneror-menggedor notifikasimu à la admin slot bila Kau tak kunjung mengangkat panggilan gawat-darurat itu. tapi aku & ke-overthinking-an-ku tahu, yang terjadi di realitas-babi adalah wanna talk? itu tak kunjung ceklis dua.

& voilà, aku hariwang padamu, Bila. aku lupa apakah sudah cerita ini ataukah belum: kandungan suudzon pada neuron kepalaku berkali-kali lipat jauh lebih banyak dari anjuran husnudzon di dalam ayat-ayat malaikat sekalipun ia tipikal malaikat yang mahamemaksa. aku hanya menuliskan kejujuranku. o ya, aku hampir lupa, hari ini Godard (iya Godard yang Jean-Luc, yang sutradara, penulis skenario, & produser asal negara oui—juga orang ngaruh dalam kebangkitan & sepak terjang gerakan sinema Prancis itu) kini telah mati—omong-omong, ia adalah salah satu figur penting dalam proses kreatif kepenulisanku yang suram, biru, & tak kreatif-kreatif amat.

Bil, sekarang sudah pukul 2 pagi. & alih-alih membayangkan bagaimana Sisifus berbahagia, kepalaku malah semakin bertendensi untuk membayangkan skenario kiamat kubra. aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tentangmu, tak menjadi kenyataan. meski kutahu, bahwa jauh di dasar hatiku—aku masih bingung bagaimana doa bekerja—& masih begitu membenci harapan.

“ ... someday you will die
but i'll be close behind
i'll follow you into the dark

no blinding light
or tunnels, to gates of white
just our hands clasped so tight
waiting for the hint of a spark

if Heaven & Hell decide
that they both are satisfied
illuminate the no's on their vacancy signs
if there's no one beside you
when your soul embarks
then I'll follow you into the dark ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Tuesday 13 September 2022

Cigarettes After Sex (Interviu Translasi)

interviu Music&Riots Magazine (Issue 23 - The Innovators Issue) bersama Greg Gonzalez—dipublikasikan pada 30 Oktober 2017—dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Bayangkan sebuah film romantis-melankolis berwarna hitam & putih—seperti itulah Cigarettes After Sex terdengar. Sang vokalis, Greg Gonzalez, memulai band ini pada tahun 2008, tetapi baru pada tahun 2015—melalui single “Affection”—mereka sukses meledak. CAS baru saja mengeluarkan album self-titled yang mengesankan & kami memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Gonzalez.

Penginterviu: Anda merintis Cigarettes After Sex pada tahun 2008. Beri tahu kami apa yang membuat Anda memulai proyek ini.

Gonzalez: Aku memulainya pada tahun 2008 & itu dimulai sebagai proyek solo yang kubuat berdasarkan kompilasi beberapa lagu. Sejak saat itu “suara-solo” tersebut berevolusi-berkembang pesat & menjadi sebuah band sekitar tahun 2015.

Penginterviu: Anda mempelajari musik di University of Texas, El Paso, tetapi kemudian Anda pindah ke Brooklyn & mulai bekerja sebagai musisi & mengelola bioskop (Teater Beekman di Upper East Side Manhattan). Musik Anda memiliki pendekatan sinematik, film apa/mana yang berdampak pada Anda saat menulis lagu?

Gonzalez: Kurasa, hal fundamental yang aku sering pikirkan untuk suara Cigarettes After Sex adalah film La double vie de Véronique/The Double Life of Veronique (1991) yang disutradarai Kieślowski & juga L'Avventura (1960) karya Antonioni. Kupikir, kedua film tersebut memiliki semacam keindahan misterius; keduanya sangat sensual, visualnya begitu mengagumkan, & musiknya amat cantik. Mengandung & memberikan semacam perasaan eksotik juga. Aku benar-benar menyukainya. Aku pikir mereka meringkas perasaan Cigarettes After Sex untukku. Kedua film itu adalah film yang murung & romantis.

Penginterviu: Adakah referensi musik lain yang penting dalam proses produksi musik Anda?

Gonzalez: Kupikir yang utama adalah musik Françoise Hardy hanya karena musiknya terdengar begitu murni & indah … Dia adalah penyanyi favoritku, lagu-lagu seperti “All Over The World” & “Voilà” sangat mengesankan. Tapi juga band-band seperti The Paris Sisters & semacam grup gadis lembut awal tahun 60-an, Julee Cruise & hal-hal yang dia lakukan untuk Twin Peaks. Cocteau Twins juga berpengaruh besar.

Penginterviu: Beri tahu kami tentang lineup band saat ini & bagaimana mereka bergabung dengan Anda.

Gonzalez: Aku bertemu keyboardis, Phillip Tubbs, di El Paso, dia sebenarnya dari kampung halamanku juga & dia bermain gitar untuk waktu yang lama. Dia gitaris di EP pertama. Setelahnya para anggota lain mulai masuk. Aku kembali memegang gitar & dia menjadi keyboardis, lalu aku bertemu drummer, Jacob Tomsky, & bassis, Randy Miller. Aku melihat mereka bermain di band lokal & kupikir mereka hebat & mereka memang begitu menakjubkan. Aku benar-benar meminta mereka untuk bergabung. Mereka sudah menjadi penggemar CAS sebelum mereka masuk, jadi itu hal yang keren juga. Begitu mereka bergabung, semuanya berada pada tempatnya. Kupikir setiap orang menjadi sempurna dalam masing-masing peran. Setiap orang memiliki tempat penting mereka sendiri dalam band.

Penginterviu: Meskipun Cigarettes After Sex dibentuk pada tahun 2008, hanya pada tahun 2015 ada kesuksesan impresif secara online dengan lagu “Affection” & mengarah pada penemuan kembali EP debut Anda, I, yang dirilis pada tahun 2012. Bagaimana Anda merefleksikan kembali hal itu?

Gonzalez: Itu aneh. Rasanya itu seperti datang dalam waktu yang lama. Aku seperti merasakan di dalam hatiku tahu bahwa sesuatu akan terjadi suatu hari nanti. Aku tahu bahwa musik yang kubuat memiliki kualitas dalam beberapa hal & kupikir itu benar, tetapi aku tidak benar-benar melihat hasilnya. Aku hanya melihat beberapa orang yang akan mengatakan bahwa mereka menyukainya, tetapi tidak pernah seperti sekarang, di mana ada banyak penggemar yang menyukainya. Aku hanya merasa akan terjadi sesuatu suatu hari nanti & itu terjadi dengan cara yang sangat aneh—YouTube adalah sesuatu yang tidak kuduga, sebab CAS menjadi viral. Aku benar-benar berpikir bahwa mungkin kami akan menandatangani kontrak dengan sebuah label, merilis rekaman & mendapatkan ulasan yang bagus & kemudian semuanya lepas landas, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, di mana kami melewatkan semua itu & orang-orang menyukai musik kami karena mereka mendengarnya entah bagaimana, dengan cara yang paling acak. Tapi menurutku itu luar biasa. Itu benar-benar lebih baik, sebab orang memilih untuk mendengarkan musiknya sendiri, mereka tidak harus mendengarnya dari orang lain yang mengatakan “Kamu harus mendengarkan ini”. Mereka memutuskan untuk memilih itu karena alasan tertentu—berdasarkan sampul album—atau nama—atau apa pun. Sungguh hal yang keren bagaimana musik berubah & bagaimana hal-hal semacam ini terjadi sekarang.

Penginterviu: Salah satu yang estetik dari CAS adalah karya seni hitam-putih Anda yang minimalis namun mampu menarik perhatian. Apa yang menarik Anda untuk memilih citra itu?

Gonzalez: Aku menyukai film hitam-putih saat aku tumbuh dewasa & melihat seberapa dalam fotografi menjadi benar-benar indah seperti Citizen Kane (1941), hanya film hitam-putih yang indah ini yang kutonton. Aku pikir ada sesuatu yang kuat untuk itu & begitu kami membuat EP & musiknya selesai digarap, aku mencari sampul album & aku melihat karya Man Ray, & ketika aku menggabungkan musik dengan sampul albumnya, keduanya terasa sangat sempurna. Keduanya seperti saling melengkapi. Hal semacam itu muncul & begitu aku melihatnya, aku berpikir, “Inilah yang harus kita lakukan”. Aku tidak bisa benar-benar melihatnya dengan cara lain. Aku benar-benar berpikir bahwa sejujurnya, hitam & putih hanya terlihat lebih romantis. Ada sesuatu tentang itu yang lebih dreamlike (terasa seperti mimpi), jadi aku memutuskan untuk tetap dengan itu & kupikir ada sesuatu yang kuat tentang itu.

Penginterviu: Anda baru saja merilis full-length pertama Anda & ini adalah upaya yang mendalam, intim, & melankolis-romantis. Ini luar biasa. Ceritakan sedikit tentang bagaimana pendekatan penulisan untuk itu.

Gonzalez: Sesuatu yang aneh terkait ini adalah ditulis selama 5 tahun, karena ada lagu-lagu yang kupunya di El Paso yang kami coba rekam sebagai sebuah band, tetapi tidak berjalan baik. Lantas kami melakukannya lagi setahun setelahnya & akhirnya kami menemukan versi yang tepat, seperti lagu “Flash” yang merupakan lagu lama. & kemudian ada hal-hal yang benar-benar baru. “K” adalah lagu yang lebih baru, itu ditulis tepat sebelum kami masuk ke rekaman. Lagu seperti “Truly” juga lebih baru. Hal tentang itu adalah aneh bahwa itu mencakup periode 5 tahun hidupku secara otobiografi & itu adalah periode waktu yang panjang & semuanya ditulis dalam waktu yang sangat berbeda. Beberapa lagu ditulis di El Paso, beberapa ditulis di Brooklyn & beberapa ditulis tahun lalu ketika aku sedang tur seperti di Paris atau Praha. Aku suka itu sedikit acak. [tertawa]
“Aku hanya mencoba untuk hidup semaksimal mungkin, setiap hari. & jika aku romantis dengan seseorang, aku suka jika keromantisanku itu menjadi sesuatu yang patut dikenang.”
—Greg Gonzalez, Vokalis Cigarettes After Sex


Penginterviu: EP I Anda direkam di tangga empat lantai di kampus Anda, University of Texas di El Paso. Saya membaca lagu “Each Time You Fall in Love” direkam di tangga juga. Bagaimana rasanya merekam album debut Anda?

Gonzalez: Masalahnya adalah bahwa aku menyukai ide untuk melakukan rekaman di lokasi yang aneh & tangga adalah yang pertama & kemudian kami masuk & hanya melakukan semacam latihan normal di ruangan itu untuk “Affection” di EP. Aku memiliki akses ke tangga yang ada di bioskop yang sedang kukerjakan saat itu & aku hanya berpikir, “Ayo masuk ke sana untuk mencoba beberapa lagu & lihat bagaimana suaranya” & untungnya “Each Time You Fall In Love” dimainkan dengan baik & kami pikir kami harus menggunakannya. Itu sangat mirip jika aku menemukan lokasi yang bagus, kami hanya akan mencoba beberapa lagu. Hanya menggunakan lokasi sebagai semacam karakteristik gaya rekaman.

Penginterviu: Apakah ada lagu lain dari album yang direkam di lokasi berbeda selain studio?

Gonzalez: Tidak, hanya yang itu. “Each Time You Fall In Love” direkam di tangga & sisanya dilakukan selama 3 hari di Brooklyn di ruang latihan, sama seperti kami merekam “Affection”. Kupikir “Affection” direkam dengan sangat baik sehingga pada dasarnya seperti template untuk album. Aku berpikir, “Lagu ini terdengar hebat, jadi mari kita coba melakukan seluruh rekaman di sana,” itulah sebabnya kami kembali karena masuk akal untuk melakukannya di sana.

Penginterviu: Anda sangat personal & mendalam dengan lirik lagu Anda. Selalu ada getaran romantis & nostalgia untuk itu. Bagaimana biasanya Anda memulai proses penulisan lirik?

Gonzalez: Bagiku, aku hanya mencoba untuk hidup semaksimal mungkin, setiap hari. & jika aku romantis dengan seseorang, aku suka jika keromantisanku itu menjadi sesuatu yang patut dikenang. [tertawa]. Aku hanya memiliki itu & bagaimana hidupku berjalan & ketika aku duduk & menggambar apa pun yang terjadi padaku, semuanya sedikit banyak memengaruhiku. Aku hanya perlu menggali kembali sebagian besar kenangan & memikirkan hal-hal menyenangkan saat aku bersama seseorang & membayangkan bahwa sekarang hal itu telah hilang. Aku pikir kesedihan itu berasal dari kenyataan bahwa kau memiliki ingatan yang baik & indah di masa lalu, tetapi ada semacam kesedihan tentangnya karena masa-masa indah itu sekarang telah pergi, terasa jauh bahkan jika kau punya ingatan yang baik. Ada banyak lagu yang sebenarnya adalah lagu yang sangat manis jika kau memikirkannya, tetapi lagu-lagu itu masih terlihat sedih karena kenangan di dalamnya dari masa lalu & kebahagiaannya hilang & kau hanya berada di masa sekarang. Aku pikir itulah yang membuat musik sedih. Tidak selalu sedih—terkadang sedih, terkadang tidak—tapi lagu-lagu itu tetaplah lagu yang sangat manis.

Penginterviu: Lagu pembuka, “K”, adalah lagu yang sangat memesona & menarik. Bisakah Anda ceritakan tentang latar belakang lagu tersebut?

Gonzalez: Aku sedang melihat perempuan ini. Aku di New York & dia di El Paso. Kami baru saja melakukan sesuatu yang sangat intens & itu adalah hubungan jarak jauh. Aku menulis lagu “Affection” tentang dia karena … Jika kau mendengarkan bait kedua dari “Affection”, lagu tersebut mengatakan “We love to talk about how you’ll come up to visit me/& we’ll rent a car & we’ll drive upstate”, jadi itu adalah lagu untuknya sebelum dia berkunjung. & kemudian “K” sebenarnya adalah saat dia datang berkunjung. Pada dasarnya, seperti semacam sekuel dari “Affection”. “K” menceritakan ketika dia datang ke New York & kami menjalani minggu yang menyenangkan bersama, tetapi ketika itu berakhir, kami bertemu untuk melihat satu sama lain saling meninggalkan & itu sedikit menyakitkan. “K” adalah akhir.

Penginterviu: Apakah sulit bagi Anda untuk mengungkapkan perasaan itu & memainkannya di lagu Anda berulang kali? Bagaimana perasaan Anda tentang itu?

Gonzalez: Aku merasa beruntung bahwa lagu-laguku ditulis berdasarkan kenyataan & kupikir itu selalu membuatku emosional ketika aku berada di atas panggung. Jika kami memainkan lagu seperti “Nothing’s Gonna Hurt You Baby” atau “K”, yang harus kulakukan hanyalah memejamkan mata & aku dapat melihat ingatan itu. Aku bisa kembali bersama dengan perempuan itu, aku bisa kembali menari di ruang tamu dengan pacarku … Banyak penonton juga membuatku emosional karena aku dapat melihat bahwa musik kami bermakna bagi mereka hanya dengan melihat wajah mereka. Aku senang bahwa aku tidak harus berusaha terlalu keras, adalah wajar & natural jika memiliki perasaan dalam seperti ini & itu tidak memudar.

Penginterviu: Secara keseluruhan, album debut Anda terasa seperti soundtrack film retro-romantis, yang mencengkram Anda sepanjang waktu. Jika Cigarettes After Sex adalah soundtrack film, film apakah itu?

Gonzalez: Ini sulit. Aku banyak mengubah jawabanku, tetapi kupikir itu harus menjadi soundtrack dari film favoritku, yaitu The Red Shoes (1948) besutan Michael Powell & Emeric Pressburger, hanya karena film itu tentang romansa yang intens & film yang mewah. Aku akan sangat tersanjung entah bagaimana musik dalam film itu memiliki intensitas yang sama. Aku mungkin akan mengubah jawabanku setiap hari.  [tertawa]

*****

Tuesday 6 September 2022

Puisi: Ode untuk Frin-frin

Ode untuk Frin-frin

kau, membuatku mencintai sekaligus mengutuki dunia fana yang juga bedebah ini: mencintai, sebab kau dengan piawai bangsatnya membuat aku yang keparat ini—secara sinting ingin hidup seribu tahun lagi; 

mengutuk, karena kau dengan lihai brengseknya membuatku menyadari—bahwa waktu ternyata sudah berlari serupa bajingan paling asu bahkan sebelum kita bertemu, sebelum ia mencair dalam setiap ciuman pertama anak Adam & Hawa, sebelum kembali membeku dalam malam-malam—tanpa dekapanmu yang matahari. 

& di sini, di tempat aku mencipta puisi, aku masih mencoba mencintai bulan yang dengan laknatnya bertelanjang dada—seperti sedang menghitung berapa banyak ciuman yang akan kita punya—dalam satu kali inkarnasi, seorang manusia yang separuh tubuhnya—adalah bentuk paling buduk dari melankoli. 

atau mungkin sialnya, ia sedang menunggu mitos-mitos perihal katarsis—demi menghapus jahanamnya pertanyaan, dari air mata sebuah rindu: “sampai kapankah kita akan saling mencintai sekaligus mengutuki—betapa sundalnya dunia di tengah-tengah menyebalkannya kemabukan cinta—yang sungguh membagongkan ini?”

(2021) 

Ode untuk Frin-frin II

bunga fritillaria mekar di musim semi, seperti sungai yang berjanji—untuk menghanyutkan Ophelia. separuh langit retak jadi hujan, jadi air bah. jadi sepotong writer’s block yang pecah dalam puisi, lalu jadi tanda baca yang tak pernah selesai bertanya: “kira-kira, berapa kali sebuah bahasa pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya dari seorang pecundang yang memilih diam seribu bahasa—ketika berada di depan kekasihnya?”

sedang mitos-mitos masih tumbuh di kedua bola matamu, sayangku. seperti rindu yang kabur dari pertanyaan tentang waktu. jadi sebilah perang yang berkecamuk pada malam-malam brengsek—berlatar biru paling glumi, tanpa dekapanmu yang matahari. sebelum tuhan meniupkan kata sifat dari surga; ke dalam ciuman pertama sepasang manusia yang dimabuk cinta.

setelah penyair dalam pembuluh darahku, tiba-tiba berubah, jadi seperti ambulans yang terjebak macet—kala dirimu dengan sangsi bertanya: “sampai kapankah kau akan berjihad melawan sepi campur sunyi, seperti orang tolol—sebab melakukannya dengan seorang diri?”

(2022)

Ode untuk Frin-frin III

mitos-mitos masih menunggu demistifikasi. dalam bayang-bayang ilmu pengetahuan pasca-pandemi. aku mengutuki lisensi puitika yang tak berguna. rinduku padamu, bermetamorfosa. jadi semacam piano butut yang separuh purna. pada simfoni paling sunyi. jadi imbesil. seperti eksil dari sejarah orang lain yang tragikomedi.

aku menunggu deus ex machina. di matamu, bahasa sudah terbakar. baunya vitamin d yang overdosis. menolak padam. seperti cahaya tuhan di perpustakaan alexandria. hangus. tanpa sisa. tanpa ampun. & tanpa sangsi, memilih hanyut di sungai-sungai—tempat antropolog berkata: “konon katanya, peradaban selalu dimulai di lembah-lembah yang dialiri air—& berakhir ketika seorang lelaki gagal mentransfigurasi airmata sebuah rindu jadi puisi.”

(2022)

Monday 5 September 2022

ABCD Eksistensi Mendahului Esensi (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.

Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.

Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung

Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).

Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.

Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung

Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.

Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.

Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.

Tiadanya Tuhan

Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.

Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.

Individual namun Bertanggung Jawab

Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.

Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.

Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain. 

Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.

*****

Sedikit Catatan

Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".

Sumber Literatur

Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956

Saturday 3 September 2022

Sekerat Surat Tak Berguna untuk Ursa

Kepada Ursa yang ... Telah Menjadi Kata Sifat Waktu bagi Beberapa Ruang Hampa di Hatiku

Bogor, 3 September 2022

" ... 'cause you brought out the best of me
a part of me i'd never seen
you took my soul wiped it clean
our love was made for movie screens

but if you loved me
why did you leave me
take my body
take my body
all i want is
all i need is
to find somebody
i'll find somebody

ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh oh
ooh ah
ooh oh ..."

halo, Sa. how's your day? how's life? semoga harimu baik, ya—meski beberapa bulan lalu kau (menggunakan akun instagram palsu) menguntiti setiap instastoryku—aku menangkap basah dirimu (percayalah, intuisi-instingku ini tak pernah salah ... setara intel KGB yang mengamalkan Kritisisme Kant)—kau pun mengaku, sembari tertawa dalam medium emoji—& mengirimiku beberapa teks yang kurang lebih mengandung konteks bahwa kau sedang tak baik-baik saja.

sejujurnya, hatiku saat itu berubah menjadi kaca murahan setebal 1 milimeter yang tertimpa Mjölnir ketika membaca bahasa bahwa pernikahanmu gagal total: bercerai. bagaimana tidak? di setiap ibadahku yang bolong-bolong, aku hampir pasti melangitkan doa-doa naif-afirmatif berisi semoga kau berbahagia dengan lelaki pilihanmu itu campur keputusasaanku yang Shakespeare. 

melalui sekerat (baca: sepotong) surat tak berguna ini, akan kuceritakan beberapa hal padamu. tapi pertama-tama, kumuntahkan dua kredo yang secara sayup kuingat (kau tahu, aku pikun) tentang kita terlebih dahulu: pertama, kita selalu sepakat bahwa hidup ini seperti kelamin kuda; kedua, pernikahan adalah Kuda Troya. yang pertama kuterima sebagai konvensi sublim yang ... menyatukan kepesimisanku dengan kefrontalanmu. yang terakhir kuterima sebagai pil pahit yang ... mesti kutelan ketika pada akhirnya kau mengundangku—aku datang ke pernikahanmu—kemudian aku pulang dalam keadaan (secara filosofis) mati & tak pernah dikuburkan, setidaknya sampai saat ini.

aku belum cerita padamu terkait kepulanganku dari salah satu hari paling biru dalam kalenderku (yang tak pernah mengenal tanggal merah) itu, ya? oke, mungkin kau tahu aku sama sekali tak cocok (& rentan dipecat) jika bekerja di ekspedisi, khususnya, bagian kurir yang mesti serba cepat. dengan kata lain, aku selalu memacu kuda besiku bagai seekor kukang yang malas. aku tak suka ngebut. tapi hari itu, malam itu, adalah pertama kalinya aku membawa motorku (dengan perasaan yang carut-marut) di atas 100 km/jam—seperti Rossi yang hampir jadi Simoncelli yang ... menubruk tubuh Decepticon berkaki 12 (alias truk trinton). aku tak bisa membayangkan jika pada malam kelam itu—aku mengalami lakalantas, lantas disiksa dalam abadi di neraka yang selalu kau percaya & tak pernah kupercaya.

lupakan soal itu. sampai sekarang, aku masih merasa bersalah atas hilangnya kacamata yang kauberikan padaku (yang harganya, konon, setara honor puisi-puisiku yang terbit di koran sebanyak 7 kali terbit itu). tapi ini bukan masalah harga, ini memang pure aku yang tolol & teledor. sebenarnya, ada banyak hal yang kuingin ceritakan padamu, tetapi, akan terlalu kaki seribu (& aku tak yakin mampu) jika kuceritakan semuanya satu per satu. tenang, akan kuceritakan beberapa:

1. aku memutuskan untuk mentato leher kiriku (aku ini anak TK yang tak mau kalah, faktanya, kau lebih dulu mentato pergelangan tanganmu; tapi motif utamanya bukan itu, sebenarnya, aku ingin merasakan sakit yang benar-benar sakit secara ragawi—tetapi yang perlu digarisbawahi adalah bahwa aku tak masokis, justru kau yang masokis ... aku yang sadis—sedikit fafifu soal rasa sakit, aku sempat membaca esai filsafat Hume berjudul "On Tragedy", tambah argumen penyair Romawi bernama Lucretius di "On the Nature of the Universe", tambah "Elements of Law" karya Hobbes yang kalau semuanya disintesiskan memaparkan bahwa: rasa sakit adalah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan).

2. kawanku yang tak belajar ilmu psikologi secara akademik mendiagnosisku (dengan dugaan sementara) bahwa alasan paling logis mengapa aku begitu mencintamu adalah karena kau ini tipikal perempuan yang maternal (keibuan)—& aku mengidap Oedipus Complex (aku separuh setuju akan hal itu jika kita punya kesamaan interpretasi tentang burungnya Freud).

3. selain karena aku skeptis terhadap si Thales akamsi Miletus yang berkata kehidupan berasal dari air & sedikit meragukan hipotesa Sains bahwa asal-muasal kehidupan berasal dari dasar laut—aku sepertinya memiliki fobia terhadap air (jangan ditafsirkan aku ini jarang mandi); sehingga aku masih tak bisa renang sampai sekarang (oh ya, terima kasih, dulu kau selalu mengajari aku yang terlalu makhluk darat ini berenang dengan susah payah).

4. aku sudah menonton film-film Marvel yang dulu kaurekomendasikan padaku—aku menemukan bahwa film-film Marvel itu overrated (tolong jangan marah, sebab itu bukan berarti aku berselingkuh dengan film-film DC; namun, sungguh, Doctor Strange in the Multiverse of Madness & Antman adalah salah dua film termonumental yang pernah kutonton—lebih-lebih membuatku tertarik dengan fisika, tepatnya fisika kuantum).

5. aku punya ritus devosi pribadi untuk membeli Lays rasa rumput laut setiap tanggal 9, setiap bulan—hingga perusahaan Lays berhenti memproduksi snack yang hukumnya perlu ada ketika kita bersua itu (aku memendam dendam pada kongsi dagang ICBP karena hal yang menurutku sangat merugikanku itu).

6. kini, aku setuju denganmu bahwa japlak kuah jauh lebih enak ketimbang japlak karamel (dulu aku selalu memesan japlak karamel—sebab kupikir, japlak kuah rasanya seperti ingus naga yang sedang mengidap influenza daripada makanan khas yang hanya bisa ditemui di Kabupaten Bogor & Kabupaten Sukabumi. oh ya, kita pernah berdebat hebat tentang subjektifitas penyajian japlak yang  ... memang harus diperbebatkan karena sungguh sangat penting & fundamental ini—silakan tertawa).

7. aku percaya hidup yang benar-benar hidup berasal dari (pengalaman) mati yang benar-benar mati (bahasa Sufi-nya: mati sebelum mati). aku sama sekali tak berharap kau datang ke pemakamanku—& membawa sekotak Pizza McDonald's berbentuk bulat dengan pemotong berbentuk segitiga ke pemakamanku (seperti pada suatu sore yang dingin & gaje—ketika aku mengirimimu pesan yang berisi ungkapan bahwa aku masuk angin—aku memilih untuk tidur—& aku terbangun, sebab tiba-tiba saja kau sudah ada di kamarku dengan koin seribu perak yang terbuat dari nikel ... yang sudah dibaluri minyak—bersiap untuk mengerok punggungku—lalu menawari mulutku yang norak Pizza McDonald's itu).

8. entah tak sengaja atau sengaja dalam konteks bercanda, mamaku masih sering menyebut-nyebut namamu, Sa.

9. aku masih mendengarkan lagu wajib yang sering kita putar bersama: Muse - Madness.

10. aku mengutuk versi past tense dari diriku sendiri yang ... telah menghapus seluruh fotomu & foto kita berdua yang kusimpan rapi di Google Drive & folder tersembunyi di Macbook jadulku (yang pada gilirannya, menyebabkanku tak bisa menangis secara paripurna ketika mendengarkan Neck Deep - Wish You Were Here: if a picture is all that i have ... i can picture the times that we won't get back ... if i picture it now, it don't seem so bad ... either way, i still wish you were here ... don't say everything's meant to be ... 'cause you know it's not what i believe ... can't help but think that it should've been me ... either way, i still wish you were here).

11. jika suatu saat kita bertemu lagi, entah di tempat yang dulu sering kita sambangi atau di antah-berantah yang asing—aku mohon jangan bertanya apakah aku sudah menikah atau belum (aku belum memiliki keberanian yang cukup untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu— yang kupikir berjuta kali lebih ngeri ketimbang pertanyaan eksistensialisme-klasik seperti, misalnya, apakah aku benar-benar berbahagia?).

12. maaf aku tak mampu lagi bercerita, ini terlalu emosional bagiku, huft.

terakhir, aku tahu ini dungu, tetapi ... semoga kau selalu berbahagia. terima kasih telah menjadi cinta pertamaku.

Sincerely,

Aldy