Showing posts with label antinatalisme. Show all posts
Showing posts with label antinatalisme. Show all posts

Wednesday, 7 June 2023

Peter Wessel Zapffe: Antinatalisme dan Eksistensialisme-Evolusionis?


Semacam Muqadimah

Pada tahun 1872, seorang yang mendalami filologi sekaligus kritikus budaya yang lebih dikenal sebagai filsuf, Nietzsche, menelurkan buku The Birth of Tragedy—tentang tegangan dua impuls artistik yang menubuh dalam Tragedi Yunani: Apollonian dan Dionysian. Yang menarik adalah bahwa dia merisalahkan mitos kuno tentang Raja Midas—pergi ke hutan untuk mencari “Silenus yang Bijak”, kawan baiknya Dionysus (kelak masyarakat Romawi menyebutnya Bacchus) yang merupakan dewa anggur—demi menjawab pertanyaannya perihal “apa yang terbaik dan paling diinginkan manusia?”.

Setelah bertahun-tahun berlalu, sang raja akhirnya berhasil menemukan Silenus si paling tipsy—dan sembari tertawa terbahak-bahak, dia berkata: “O, ras fana yang celaka… mengapa kau memaksaku untuk memberi tahumu apa yang sebaiknya tak kau dengar? Apa yang terbaik dari semuanya benar-benar di luar jangkauanmu: tak dilahirkan, tak mengada, tak menjadi apa-apa. Tapi yang terbaik kedua bagimu adalah—mati dengan segera”. Nietzsche menilai bahwa orang-orang Yunani merasakan kengerian-eksistensial dari “Kebijaksanaan Silenus”—dan oleh karenanya, mereka berbondong-bondong membangun kerja-kerja kesenian, kesusastraan, serta konsep dewa-dewi Olympian dari Chronos sampai Afrodit (dan boleh jadi termasuk pula zodiak-zodiak dari Aries hingga Pisces) sebagai semacam kamuflase pertama dan terakhir untuk menyembunyikan kebenaran pahit ini—demi memperkecil peluang kemungkinan memiliki pandangan dunia yang pesimistis, dipenuhi banalitas, dan diliputi nihilitas seperti desas-desus Silenus.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, hal terbaik adalah tak pernah dilahirkan sama sekali.” —Heine, Complete Poetical Works of Heinrich Heine (2016)

Terlepas dari konotasi positif-negatifnya, gagasan ketakberadaan, ketaklahiran, serta antinatalistik—merentang dari tendensi Vibhava-taṇhā à la Buddhisme Theravada, ide-ide Schopenhauerian, larik terakhir puisi berjudul Morphine milik Heine di atas, aforisme-aforisme Cioran, lirik Bohemian Rhapsody-nya Queen, buku L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste karangan de Giraud, gagasan-gagasan Benatar, kutipan Sophocles yang disadur Gie, hingga perspektif menarik dari filsuf Nordik yang sayangnya kurang terkenal: Peter Wessel Zapffe.

Dalam perbandingan yang kasar, orang-orang lebih besar kemungkinannya untuk menyebut Halland ketimbang Zapffe ketika ditanya siapa contoh manusia asal Norwegia. Ada beberapa alasan mengapa pengacara dan penjelajah Antartika ini masih begitu asing di telinga kita (yang bukan Anglophone atau Francophone, bukan pula bangsa Skandinavian). Salah satunya, adalah fakta budug, karya-karya Zapffe sedikit sekali (bahkan beberapa belum ada) yang diterjemahkan dari bahasa aslinya. Karya yang pertama kali melambungkan namanya—disertasi doktoralnya yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1941—yang telah dicetak berkali-kali dalam beragam edisi—“Om det tragiske”, setebal lebih dari 600 halaman—hingga detik ini, sejauh riset penulis, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia) dan masih dalam tahap penggarapan. Esai-esainya, kabar baiknya, tertanggal 30 Januari 2023, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan telah tersedia di laman OpenAirPhilosophy. 

Antinatalisme Zapffe

Bayangkan sebuah pasar malam yang sedang kebakaran, barangkali begitulah kira-kira gambaran dunia menurut Zapffe. Maka, tak mengejutkan bila dia pernah menulis sesuatu berbau antinatalis bahwa “melahirkan anak ke dunia ini seperti membawa kayu bakar ke rumah yang terbakar”. Kalimat ini menggemakan ajakan untuk menyudahi prokreasi—menghentikan upaya untuk memproduksi anak (dengan pendekatan moralis). Sesuatu yang, tentu saja berlawan dengan perintah-perintah pronatalis dalam Ajaran Samawi untuk berkembang biak atau beranak-pinak demi “melanjutkan kerajaan Allah di bumi”—yang telah idée fixe dan harga mati. 


Tapi Zapffe tetap pada pendiriannya dengan tak memiliki anak sepanjang hidupnya. Dia menyoal dan mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan bahwa sebuah koin receh saja—sebelum kita sedekahkan kepada pengemis—kita periksa dan pertimbangkan dengan teliti, dengan berbagai kalkulasi ekonomi—tapi mengapa seorang anak, kita “lemparkan” ke dalam kebrutalan kosmik tanpa sangsi? Bukankah pengandaiannya ini terdengar cukup membagongkan?


Untuk lebih memahami mengapa Zapffe memiliki pemikiran yang “madesu” dan “melakoli”, bijaknya kita menyelami diagnosis-diagnosisnya berikut ini.


Paradoks Biologis 


“Manusia adalah binatang yang tragis. Bukan karena tubuhnya yang kecil, tapi karena dia terlalu diberkahi. Manusia memiliki kerinduan dan tuntutan spiritual yang tak dapat dipenuhi oleh kenyataan. Kita memiliki harapan akan dunia yang adil dan bermoral. Manusia membutuhkan makna di dunia yang nirmakna.” —Zapffe, The Last Messiah (2013)

Pada 2013, salah satu esainyayang berjudul “Den sidste Messiasyang telah mengudara sejak 1933—baru dialihbahasakan oleh Tangenes ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Last Messiah” dan tersedia dalam edisi Kindle-nya. Satu tahun berselang, terjemahan ini terbit di majalah Philosophy Now - Issue 45. Melalui esainya ini, Zapffe menelurkan gagasan-gagasan kefilsafatannya (yang nampak terlalu pesimis ketimbang realistis) tentang manusia dan hal-hal eksistensial yang melingkupinya. Jika mesti diklasifikasikan, maka dia bisa digolongkan sebagai seorang nihilis dan pada titik tertentu sebagai eksistensialis. Tapi, akan terlalu sembrono apabila kita melabelinya hanya sekadar seseorang yang membawa “wabah eksistensialisme”—sebab secara spesifik, dia menggabungkan kecenderungan filsafat yang bersemi di Paris pasca-perang-dunia-kedua itu dengan paradigma darwinian-evolusionis. Mungkin kita sebaiknya tak melabelinya apapun selain “anak gunung” atau “si paling mapala”.

Fakta menariknya, Zapffe merupakan intelektual Norwegia pertama yang mengembangbiakkan kritik filosofis dengan kacamata ekologis; khususnya, relasi antara manusia dengan lingkungan. Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk digarisbawahi bahwa secara biologi-taksonomi, manusia digolongkan sebagai kingdom animalia, ordo primata, famili hominidae, genus homo, spesies homo sapiens. Singkatnya, secara naturalistik manusia adalah hewan. الانسان حيوان ناطق (Al-Insanu Hayawanun Nathiq); hewan yang berpikir—dalam terma Al-Ghazali yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan Socrates—khususnya. Terlepas dari perdebatan tentang sifat alami manusia, antara Hobbes versus Rousseau, daya pikir hewan berakal ini sepanjang waktu bertumbuh-berkembang sedemikian rupa. Masalahnya, menurut Zapffe, evolusi memungkinkan sistem kognitif kita menjadi terlalu “canggih”—daya dobrak dari pikiran dan kecerdasan manusia ini—memantik fitur-fitur kecemasan bahkan memperbesar kekuatan dari ketakutan yang khas manusia. 

Dalam bagian kedua Den sidste Messias, dia menggambarkan kondisi manusia sebagai “... paradoks biologis, sesuatu yang dibenci, sebuah absurditas, sebuah keberlebihan dari sifat bencana”. Dengan kata lain, biang kerok penyebab paradoks biologis adalah surplus akal-pikiran ini—menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—seperti mitos tentang Prometheus yang mencuri api pengetahuan dari Zeus kemudian “terbakar-tersiksa oleh api yang dicurinya sendiri”. Selain itu, kondisi ini membikin eksistensi kita condong dinegasi, karena kita menjadi benci akan keberadaan kita sendiri. Absurditas yang dicetuskan Zapffe juga sekilas selaras dengan dengan gaung kerandoman dalam novel-novel Dostoevsky (The Idiot, The Brothers Karamazov), Kafka (The Metamorphosis, The Castle), Kundera (The Joke, The Unbearable Lightness of Being), hingga Camus (The Stranger, The Plague); serta dalam karya fenomenalnya, Le Mythe de Sisyphe, yang mengisahkan mitos Raja Sisifus—dikutuk secara absurd untuk mendorong batu di gunung kekekalan. Sedangkan, keberlebihan kemampuan manusia bisa mewujud efek kupu-kupu yang memicu ribuan BM (banyak mau). Dapat kita interpretasi, pertama-tama, dengan memahami bahwa hidup-kehidupan telah sedemikian bervariasi serta kompleks dan “keinginan” manusia pun berbanding lurus dengannya. Nafsu keinginan ini, dalam Buddhisme, dianggap sebagai akar dari penderitaan manusia, namun nafsu ini memiliki fungsi biologis dan evolusioner yang krusial—sebagai penyulut kemajuan-penemuan dalam peradaban. Tanpa nafsu keinginan, semua akan serba mandek dan stagnan.

Zapffe melanjutkan: “... suatu spesies telah dipersenjatai terlalu berat—oleh semangat yang dibuat tanpa mahakuasa, tetapi sama-sama merupakan ancaman bagi kenyamanannya sendiri. Senjatanya seperti pedang tanpa gagang atau pelat, bilah bermata dua yang membelah segalanya; tetapi dia yang akan memegangnya harus memegang pedangnya dan mengarahkan satu ujungnya ke arah dirinya sendiri”. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya, “senjata” yang manusia miliki saat ini mengakibatkannya ngeri akan kehidupan itu sendiri; lebih-lebih terhadap keberadaannya sendiri. Lebih lanjut, Zapffe menggambarkan bahwa manusia memiliki semacam “mata-yang-baru” dan melihat bahwa dirinya “datang ke alam semesta sebagai tamu tak diundang dan telah kehilangan haknya untuk tinggal karena telah membeli buah pengetahuan dengan segenap kepolosan-kedamaian jiwanya”. Harga bagi senjata luar biasa berat ini adalah kepekaat kuat akan penderitaan miliaran manusia lain serta makhluk hidup lain di planet ini—dan tak menutup kemungkinan, termasuk juga kehidupan-kehidupan makhluk ekstraterestrial di galaksi lain—di alam semesta yang secara konstan mengembang ini.

Lebih jauh, ikan marlin, kapibara, penguin, cacing besar alaska memiliki apa-apa yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup dan “hidup di masa kini”, sedangkan manusia punya kecenderungan besar untuk mencari sesuatu yang mungkin tak mereka butuhkan dan berhasrat “melampaui” yang-kini—kembali ke yang-lalu atau menuju ke yang-nanti. Cioran memiliki istilah teknis untuk kondisi problematis ini: jatuh-ke-dalam-waktu. Hewan-hewan selain manusia tak ada yang dipusingkan dengan masalah-masalah fisika kuantum, eksistensi AI dalam ekosistem seni, celah impunitas dalam hukum, tekanan hidup di zaman mahabeli, dan seterusnya. Diskursus ini, pada gilirannya, mengarah pada anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit—seperti yang telah dituangkan oleh de Unamuno dalam Tragic Sense of Life (2017): semua makhluk hidup memiliki ketakutan yang naluriah, namun hanya manusia yang memiliki kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan (akibat dari analisis otak terlalu canggihnya, Zapffe menambahkan). Dalam keadaan sehat dan berbahagia, manusia, bahkan memiliki kemungkinan untuk membayangkan rasa sakit dan hari kematiannya. Argumentasi ini seperti berangkat dari Kitab Dhammapada, Yamaka Vagga, syair pertama dan kedua, yang menekankan bahwa “pikiran adalah pelopor sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”.

Pada dasarnya, bagi Zapffe, kesadaran kita selalu “meluap-luap” dan kita cenderung berpikir terlalu banyak. Konsekuensi logisnya, imajinasi kita semakin terasa semakin nyata. Garis demarkasi antara apa yang-nyata dan yang-imaji menjadi bias. Seneca dari zaman bahela, dalam On the Shortness of Life (2017), telah menyinggung ini bahwa “kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas”. Akan tetapi, Zapffe mencurigai tak hanya manusia yang menderita karena evolusi berlebihan ini. Dalam salah satu bagian liris dari The Last Messiah, dia menulis:


“Jadi diperkirakan, misalnya, rusa tertentu (Megaloceros giganteus, sejenis Rusa Irlandia) pada zaman paleontologis mati karena mereka memiliki tanduk yang terlalu berat. Mutasi harus dianggap buta, mereka bekerja, seperti dilontarkan, tanpa ada kontak kepentingan dengan lingkungannya. Dalam keadaan depresi, pikiran dapat dilihat dalam citraan tanduk seperti itu, dengan segala kemegahannya yang luar biasa menindih pemiliknya ke tanah.”


Surplus-Kesadaran


Meskipun manusia tak punah seperti Rusa Irlandia, tetapi surplus-kesadaran ini membuat kita vis-à-vis dengan bahaya dari “kepanikan kosmik” yang tak henti-henti. Pada puncak tertentu, seseorang yang tak mampu lagi menanggungnya akan bertendensi dan mempunyai intensi bunuh diri. Zapffe memandang bahwa kebarbaran dunia modern bertopang pada kesalahpahaman tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karenanya, ketika fenomena bunuh diri terjadi, yang selalu dipersoalkan adalah perihal kuantitas-kualitas spiritualitas yang sedikit-rendah. Sederhananya, diterima secara umum persepsi bahwa orang-orang membunuh dirinya karena kurangnya iman—bukan karena dunia yang secara fundamental tak mampu memenuhi dahaga purbakala manusia akan sosok mahatransendental-mahakuasa.


Cioran, dalam The Trouble with Being Born (2013), secara tersirat menyebut surplus-kesadaran ini sebagai “kerajaan kesadaran yang supremasinya tak tertahankan”. Tak mengherankan, Cioran dan Zapffe membaca Nietzsche, sedikit banyak tepapar tesis-tesisnya dan dengan demikian keduanya memiliki fokus filosofis yang mirip-mirip dan bernuansa Dionysian; tendensi eskapisme dengan kemabukan seperti yang telah disinggung di awal. Baudelaire, penyair surealis Prancis, secara puitik dan cantik melalui medium puisi menggambarkannya begini:


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk. Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk. Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Empat Peta Mekanisme-Pertahanan

Hampir dalam keseluruhan karya-karyanya, Sartre mensyiarkan beban-beban pilihan-keputusan sebagai konsekuensi kita akan kesadaran terhadap kehendak bebas. Kundera, dalam The Unbearable Lightness of Being (2009), pun demikian—secara implisit mendedahkan beban-beban (dari surplus-kesadaran dalam istilah Zapffe) yang berdiri pada refleksi akan waktu, akan hidup yang hanya sekali ini. Tapi filsuf berkacamata ini, secara autentik, memetakan empat mekanisme-pertahanan manusia untuk “mengurangi” intensitas kesadarannya: 


Pertama, Isolasi—teknik paling ekstrem dengan penolakan sewenang-wenang untuk mengeliminasi pikiran-perasaan yang pahit dan “mengganggu”. Mengisolasi diri di alam liar macam Christopher McCandless yang menolak membaca ide-ide hitam Shakespeare dalam Tragedi Hamlet atau Macbeth. Tak memikirkan sesuatu yang mengerikan tentang kehidupan, singkatnya.


Kedua, Penjangkaran—semacam pemusatan kesadaran pada apa-apa yang metafisik, pada suatu nilai atau cita-cita kolektif: tuhan, agama-agama, negara, masyarakat, moralitas, takdir, humanisme, dan sebagainya. Pada titik yang paling personal, mirip seperti Leap of Faith atau Lompatan Iman Kierkedian. Bertaklid pada monastisisme islam dan menjadi salik yang “zuhud”, misalnya.


Ketiga, Distraksi—upaya pengalihan perhatian, mendistraksi surplus-kesadaran, dengan stimulus-stimulus eksternal: menenggak alkohol, mengisap mariyuana (jenis indica atau sativa), mengonsumsi tramadol, bermain Pou, bermain tic-tac-toe, minum coklat panas, bermain permainan papan, dan seterusnya.


Terakhir, Sublimasi—pendek kata, daya upaya untuk mengonversi surplus-kesadaran menjadi sesuatu yang produktif, kreatif, dan bernilai seni. Lebih jauh, penderitaan-penderitaan karena surplus-kesadaran ditransformasikan menjadi citraan-citraan yang dramatis, herois, liris—atau bahkan komikal (seperti Joker yang mampu ngakak selepas-lepasnya di puncak keputusasaannya).


Banyak manusia menggunakan tiga mekanisme-pertahanan di atas—dan yang terakhir, Sublimasi, merupakan yang paling langka. Mengapa? Ada kebolehjadian tinggi bahwa Sublimasi ibarat “panasea yang terlalu sulit untuk ditelan”. Bisa dibilang, mengubah derita jadi karya, luarbiasa susahnya—sebab dibutuhkan lebih banyak “kegilaan” ketimbang “kewarasan” untuk melakukannya. Hanya ada sedikit manusia yang cukup “gila” untuk mengonversi rasa sedih yang tak pernah sudah atau pengalaman traumatisnya menjadi sesuatu yang puitis dan estetis. Dalam bahasa Seneca yang Stoik: “tak ada orang jenius-hebat yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan”. Tulisan-tulisan Goethe sampai Zapffe, lukisan-lukisan van Gogh sampai Picasso, musik-musik Wagner sampai Chopin, barangkali dapat dijadikan sebagai beberapa contoh dari mekanisme-pertahanan berbasis Sublimasi. 


Eksistensialisme-Evolusionis Zapffe


Berangkat dari perspektif kosmik dan penderitaan kolektif yang bersarang dalam surplus-kesadaran manusia, Zapffe menambah warna baru dalam literatur Eksistensialisme—dan seperti melengkapi pandangan Frankl dalam Man’s Search for Meaning (2013) tentang apa yang dia sebut sebagai Logoterapi serta visinya bahwa makna atau sesuatu yang berguna dapat ditemukan dalam pertarungan-pergulatan kita dengan penderitaan.


Di titik ini, penulis ingin sedikit merevisi petuah Walpole yang juga digemakan ulang oleh Fitzgerald dalam magnum opusnya The Great Gatsby (2005): “hidup adalah komedi bagi mereka yang berpikir, tragedi bagi mereka yang merasakan, dan tragikomedi bagi mereka yang berpikir untuk merasakan pikiran-pikirannya”.


Belajar atau tak belajar, pada akhirnya, kita akan menyesali keduanya. Mari kita tutup mekanisme-pertahanan Sublimasi berbentuk teks ini dengan Kitab Pengkhotbah, Ecclesiastes 1:18, tepatnya: “karena dengan banyak hikmat datang banyak derita; semakin banyak pengetahuan, semakin banyak kesedihan mendalam karenanya”. Semoga semua yang membaca berbahagia. Semoga kita tak berakhir seperti tokoh Don Quixote dalam kepala Cervantes, yang jadi gila karena iqra.

“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (2004).

*****

Referensi

Zapffe, Peter Wessel (translator: Gisle Tangenes). 2013. The Last Messiah. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 2003. The Birth of Tragedy. Penguin Classics;

Heine, Heinrich. 2016. Complete Poetical Works of Heinrich Heine. Kindle Editon: Delphi Classics;

De Unamuno, Miguel. 2017. Tragic Sense of Life. Kindle Edition;

Cioran, Emil. 2013. The Trouble with Being Born. Kindle Edition;

Seneca. 2017. On the Shortness of Life. Kindle Edition;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Kundera, Milan. 2009. The Unbearable Lightness of Being. Harper Perennial;

Frankl, Viktor. 2013. Man’s Search for Meaning. Kindle Edition: Ebury Digital;

Fitzgerald, Scott. 2005. The Great Gatsby. Kindle Editions: Scribner;

Kierkegaard, Søren. 2004. The Sickness Unto Death. Kindle Editions: Penguin.

Monday, 27 March 2023

Antinatalisme: Perihal yang Lebih “Kontroversial” dari Childfree

Le Cauchemar du Petit Ludwig van Beethoven by Raymond Douillet

Beberapa waktu silam, istilah Childfree menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat Indonesia. Childfree merupakan istilah teknis yang dinisbahkan kepada mereka yang secara sadar memilih untuk tidak memiliki anak. Ini tentu berbeda dengan “Childless”. Perbedaannya, yang pertama adalah pilihan, sedangkan yang kedua adalah kompromi. Dengan kata lain, Childless merupakan suatu istilah untuk menjelaskan semacam kompromi atas ketidakmampuan untuk memiliki anak berdasarkan faktor di luar kehendak—sebut saja, biologis. Definisi antara Childfree dan Childless yang tertuang dalam buku Childfree & Happy (2021) karangan Victoria Tunggono.

Namun, terkait dengan hal ini, pernahkan kalian mengetahui istilah “Antinatalisme”?

Antinatalisme

Pertama-tama, apa itu “Antinatalisme”? Secara singkat dan sederhana, antinatalisme adalah posisi filosofis yang memandang kelahiran dan prokreasi makhluk hidup (termasuk non-manusia, seperti hewan) sebagai sesuatu yang secara moral, problematik, tercela, dan keliru—oleh karenanya, antinatalis (sebutan untuk penganut paham Antinatalisme) berpendapat bahwa manusia harus bersegera menghentikan siklus kelahiran.

Secara kesejarahan, kata “Antinatalisme” pertama kali digunakan dalam artian yang provokatif ini pada sekitar tahun 2006, ketika seorang aktivis-filsuf asal Belgia, Théophile de Giraud, yang menerbitkan buku berjudul L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste—dan dosen-filsuf asal Afrika Selatan, David Benatar, menulis buku Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Kedua karya kontroversial tersebut secara tegas menolak wacana untuk memproduksi anak. 

Penulis hanya akan sedikit membahas Antinatalisme-nya Benatar. Tetapi, yang lebih penting dari itu adalah mengapa? Mengapa? Dan, mengapa mempunyai anak merupakan ide yang buruk?

Benatar memiliki argumen untuk itu, yang disebut sebagai asymmetry argument: berkembang biak itu keliru karena asimetri antara kesenangan dan rasa sakit tak sepadan. Dengan kata lain, ketiadaan rasa sakit adalah baik bahkan jika tak ada yang mengalami kebaikan itu, sedangkan ketiadaan kesenangan tidaklah buruk kecuali jika seseorang tak pernah dilahirkan. Setiap manusia yang lahir pasti akan mengalami rasa sakit, lebih baik mereka tak ada karena tak ada yang dirugikan oleh ketiadaan mereka. 

Yang lebih suram dari asymmetry argument ini adalah fakta bahwa ia tak berangkat dari sesuatu berbau “keadaan” atau skenario overpopulasi yang katastropik seperti dalam Teori Malthusian.

Banyak yang berspekulasi bahwa karakter Thanos dalam film Avengers: Endgame (2019) menjadikan Teori Malthusian sebagai motivasi utama ketika menggenosida setengah populasi manusia: sekitar 5 triliun jiwa, jika dalam semesta Marvel. Teori-nya Thomas Robert Malthus ini menjelaskan tentang ketakseimbangan antara pasokan makanan dengan pertumbuhan penduduk yang eksponensial. Melalui karya berjudul An Essay on the Principle of Population pada tahun 1798, teori ini pertama kali muncul ke udara. Malthus percaya bahwa untuk mencegah masalah-masalah (social-environmental, khususnya) populasi harus dikontrol untuk menyeimbangkan pasokan makanan dengan melakukan pencegahan kelahiran. 

Upaya-upaya preventif dalam Teori Malthusian, pada gilirannya, mengingatkan penulis pada diskursus antara Pro-Life dan Pro-Choice yang sempat ramai di Amerika Serikat sana—antara yang menolak tindakan aborsi, dan yang membenarkannya. Terlepas dari pertimbangan moral-etika serta pergelutan keduanya, masing-masing dari mereka memiliki alasan logis dan “posisi ideologis” yang kuat. Bagaimana dengan Benatar? Sayangnya, dia bukan keduanya. Salah satu filsuf paling pesimis sepanjang sejarah filsafat ini, mungkin adalah seseorang yang akan berdiri paling depan untuk mendukung kepunahan umat manusia.

Pada akhirnya, untuk lebih memahami Antinatalisme, kita mungkin mesti memposisikan diri sebagai Mandra dalam sinetron Si Doel Anak Sekolahan (1994) yang di suatu episode paling lucu mengatakan: “Segini banyaknya orang, kagak ada yang nyenengin gua… Nyakitin semua! nyakitin semua!”. Barangkali benar bahwa hidup ini lebih bajingan dari yang kita kira. 

Mama, oooh

I don’t want to die,

I sometimes wish I’d never been born at all.

—Queen – Bohemian Rhapsody

*****

Referensi:

Benatar, David. 2006. Better Never to Have Been: The Harm of Coming into Existence. Oxford University Press, USA;

de Giraud, Théophile. 2006. L’art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste. Le Mort-Qui-Trompe;

Malthus, TR. 1999. An Essay on the Principle of Population. Oxford University Press;

Tunggono, Victoria. 2021. Childfree & Happy. EA Books.