Saturday 31 December 2022

Analisis Filosofis Tren Fesyen Mamba

Portrait of Madame X (1884) by Sargent

Dewasa ini, setiap sendi kehidupan masyarakat bergerak dengan serba cepat—tak terkecuali industri fesyen dan berbagai geliat mode yang melingkupinya. Baru-baru ini, melansir dari CNN Indonesia, ada semacam kategorisasi citra diri dari cara berpakaian seseorang, khususnya kaum hawa: Cewek Mamba, Cewek Kue, dan Cewek Bumi.

Secara garis besar, sederhananya: Cewek Mamba adalah seorang perempuan yang berpakaian serba hitam; Cewek Kue adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan warna-warna cerah, misalnya, kuning dan merah; Cewek Bumi adalah seorang perempuan yang berpakaian dengan earth-tone (warna-warna bumi), misalnya, cokelat, abu-abu, dan hijau tua.

Penulis hanya akan menganalisis secara umum (tak spesifik pada gender perempuan) serta singkat tipe yang pertama saja. Sebagaimana gaya hidup, pakaian mempunyai makna—baik secara sosial maupun personal. Makna, dapat ditelisik melalui beberapa pendekatan.

Semiotika

Menurut Derrida, seorang filsuf bahasa, semua ide-gagasan terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa. Jika pakaian adalah semacam metode komunikasi untuk mengomunikasikan sesuatu, maka dengan paradigma yang sama, dapat diasumsikan bahwa tak memakai pakaian pun merupakan suatu metode komunikasi, suatu cara untuk mengomunikasikan suatu pikiran atau perasaan (bahasa). Lantas, apa bahasa yang ingin dikomunikasikan seorang-mamba?

Hitam, adalah warna yang lekat dengan kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan. Seseorang yang berpakaian serba hitam, dengan demikian, memiliki kecenderungan untuk menandai dirinya sebagai individu yang “gelap”, sedang bersedih, sedang berduka, sudah menerima “mati”, mencoba elegan, dan penuh misteri. Dapat dikatakan bahwa seseorang tersebut mencoba membangun tanda diri melalui atribut-atribut sifat yang dilekatkan pada warna hitam.

Saussure, seorang ahli bahasa dan tokoh strukturalis, menyatakan bahwa suatu tanda tak hanya ada dalam bentuk citra bunyi, tetapi juga dalam pemahaman. Seekor tokek disebut tokek karena ia memiliki citra bunyi “tokek”—sedangkan seekor kecoak tak memiliki memiliki citra bunyi “kecoak”, tetapi diberikan nama kecoak di atas persetujuan bersama bahwa hewan yang sering hidup di kamar mandi kotor tersebut dinamakan kecoak. Apa hubungannya dengan seorang-mamba?

Tentu saja seorang-mamba tak memiliki citra bunyi yang sama seperti seekor spesies ular endemik Benua Afrika bernama Black Mamba. Pointnya adalah bahwa segala sesuatu yang “ada” (besar kemungkinan) tak bisa lepas dari relasi tanda, penanda, dan petanda. Hitam adalah penanda (signifier) dan hal-hal yang identik dengan warna hitam (kegelapan, kesedihan, kedukaan, kematian, keeleganan, dan kemisteriusan) adalah petanda (signified). Ketika seseorang mengatakan kegelapan, kepala kita akan memiliki kecondongan untuk membayangkan warna hitam, begitu pula sebaliknya. Ini (mungkin) adalah bukti betapa kita terobsesi dengan relasi antara Penanda dan Petanda.

Fenomenologi

Selain tak bisa kabur dari bahasa, manusia pun tak bisa lepas dari fenomena. Fenomenologi, adalah ilmu yang mengkaji fenomena dan kesadaran sekaligus aliran filsafat yang berisi diskursus mengenai hal-hal personal (dan khusus) seperti pengalaman. Husserl, seorang filsuf sekaligus Bapak Fenomenologi, menekankan bahwa untuk memahami sebuah fenomena seseorang harus menelaah fenomena tersebut apa adanya. Seseorang harus menyimpan sementara atau mengisolasi asumsi, keyakinan, dan pengetahuan yang telah dimilikinya tentang suatu fenomena.

Dalam konteks Fesyen Mamba, penulis adalah seorang-mamba yang secara langsung mengalami fenomena tersebut. Jika dikorelasikan dengan kesuraman pandemi tak bertepi yang dirasakan secara pribadi, secara sosial, maupun secara global—ditambah survei yang dilakukan Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI): pada tahun 2020, sebanyak 63 persen responden mengalami cemas dan 66 persen responden mengalami depresi (akibat pandemi COVID-19)—penulis menilai bahwa tren Fesyen Mamba mungkin hanyalah konsekuensi logis dari keadaan pandemi—di mana banyak orang kehilangan, berduka, bersedih, dan kemudian melupakan emosinya tersebut dalam cara berpakaian.

Fesyen Mamba, secara lebih luas, juga identik dengan seorang pelayat, à la gothic, dan secara sekilas mirip dengan gaya busana orang-orang dari gerakan Eksistensialisme Prancis tahun ’60-an yang membawa “wabah depresi” kepada dunia.

Sosio-Kultural

Tradisi Barat menganggap hitam sebagai warna ancaman dan pemberontakan—mereka mengasosiasikannya dengan kematian, pemakaman, kekuasaan, intimidasi, dan kontrol. Sehingga para Anarkis (seorang penganut Anarkisme: ideologi yang menentang hierarki dan status quo, khususnya negara) lekat dengan atribut pakaian serba hitam. Akan tetapi, dalam budaya kontemporer, orang-orang Barat melihat ‘hitam’ sebagai warna yang berkelas dan tanda dari suatu fesyen papan atas.

Secara sosio-kultural Timur, khususnya Indonesia secara garis besar, warna hitam dianggap sebagai jenis warna yang sakral. Warna hitam kerap digunakan dalam berbagai jenis pakaian kebesaran, seperti pakaian kerajaan, sampai busana pengantin. Pakaian berwarna hitam tak selalu negatif—dengan kata lain, situasional—bahkan positif, misalnya bagi seseorang yang sedang berziarah atau melayat, memakai pakaian berwarna hitam bermakna “baik”—ikut berduka dan menghargai keluarga yang sedang berduka.

Menurut interpretasi penulis, alih-alih tren yang berangkat dari faktor kesakralan sosio-kultural warna hitam, tren Fesyen Mamba, lebih merupakan gerakan selera personal bernuansa melankolisme-gelap—yang pada gilirannya menjamur secara kolektif karena kesamaan “rasa” di bawah pesimisme-pandemik yang dirasakan secara global. Mungkin juga karena memang seorang-mamba hanya sekadar menyukai warna hitam. Di sisi lain, analisis semiotik bertendensi menghiperbolakan suatu fenomena sosial yang sebenarnya biasa saja. Kita tutup dengan tafsiran de Waelhens atas pemikiran Merleau-Ponty, filsuf ambigu itu, bahwa dunia/realitas tak akan pernah bisa direduksi menjadi satu makna belaka—sebab dunia/realitas sungguhlah rumit. Kedwiartian? Kebanyakartian? Kebanyakan-arti?

*****

Referensi:

de Saussure, Ferdinand. 1998. Course in General Linguistics. Open Court;

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press;

Husserl, Edmund. 1999. The Idea of Phenomenology. Springer;

de Waelhens, Alphonse. 1951. Une philosophie de l’ambiguïté. Publications Universitaires de Louvain;

Kaiser, S. (2011). The Semiotics of Clothing: Linking Structural Analysis with Social Process. In T. Sebeok & J. Umiker-Sebeok (Ed.), The Semiotic Web 1989 (pp. 605-624). Berlin, Boston: De Gruyter Mouton. https://doi.org/10.1515/9783110874099.605;

Smith, J. A., & Osborn, M. (2015). Interpretative phenomenological analysis as a useful methodology for research on the lived experience of pain. British journal of pain, 9(1), 41–42. https://doi.org/10.1177/2049463714541642;

Cherry, Kendra. 2020. verywellmind. “The Color Psychology of Black” https://www.verywellmind.com/the-color-psychology-of-black-2795814;

Tim CNN Indonesia. 2022. CNN Indonesia. “Viral Cewek Kue, Cewek Mamba, Cewek Bumi, Apa Sih Artinya?”. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20220715071236-277-821821/viral-cewek-kue-cewek-mamba-cewek-bumi-apa-sih-artinya).

Friday 23 December 2022

Batas-Batas Bahasa dalam Filsafat Wittgenstein (Esai Translasi)

Esai ditulis oleh Tim Rayner dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Ludwig Wittgenstein (1889 – 1951) adalah salah satu filsuf terpenting abad ke-20. Wittgenstein tak hanya menyumbang pemikiran krusial dalam diskursus tentang bahasa, logika, dan metafisika, tetapi juga dalam etika—cara kita hidup di dunia. Dia menerbitkan dua karya signifikan: Tractatus Logico-Philosophicus (1921) dan Philosophical Investigations (1953), yang melambungkan namanya. Kedua buku ini adalah kontribusi besar bagi filsafat bahasa abad 20.

Wittgenstein memiliki kepribadian yang begitu sulit dipahami. Mereka yang mengenalnya (mungkin akan) mengira apakah dia adalah orang gila ataukah seorang jenius. Wittgenstein dikenal karena membuat dirinya sendiri frustrasi—seperti seseorang yang mondar-mandir di suatu ruangan mengutuki kebodohannya sendiri, dan menyumpah-serapahi para filsuf karena kebiasaan mereka mengikat diri mereka sendiri dalam “simpul-simpul semantik”. Dalam kerendah-hatiannya, Wittgenstein tidak takut mengakui kesalahannya sendiri. Dia pernah berkata: “Jika orang tak pernah melakukan sesuatu yang bodoh, tak ada kecerdasan yang akan didapatkan”. Dia juga berkata: “Aku tak tahu mengapa kita ada di sini, tetapi aku cukup yakin itu bukan untuk bersenang-senang”. Wittgenstein adalah seorang dosen dan para mahasiswa mengikuti kelasnya di Universitas Cambridge dengan gemetar, tak pernah yakin apakah mereka akan menyaksikan tindakan brilian dari dekonstruksi-logis atau ledakan dari pikiran yang tersiksa.

Terkadang krisis memicu produktivitas. Wittgenstein, yang terus-menerus berada dalam cengkeraman semacam “bencana intelektual”, cenderung memajukan pemikirannya dengan menyanggah apa-apa yang sebelumnya mapan dan dia anggap benar. Contoh terbaiknya adalah hal yang membuatnya terkenal, menyatakan “nature bahasa”. Dalam Tractatus, Wittgenstein mengemukakan teori representasional dari bahasa. Dia menggambarkan ini sebagai The Picture Theory: realitas (‘dunia’) adalah kumpulan fakta-fakta yang begitu banyak yang dapat kita gambarkan dalam bahasa, dengan asumsi bahwa bahasa kita memiliki bentuk logis yang memadai. “Dunia adalah totalitas fakta-fakta, bukan benda-benda” kata Wittgenstein, dan fakta-fakta ini tersusun dengan cara yang logis. Tujuan filsafat, bagi Wittgenstein muda, adalah mengembalikan bahasa ke bentuk logisnya, agar lebih baik menggambarkan bentuk logis dunia.

Karya-karya awal Wittgenstein mengilhami generasi positivis-logis—para pemikir analitis-kritis yang berangkat untuk menyanggah ‘pseudo-statements’ yang tak dapat diverifikasi dalam upaya untuk menentukan batas-batas bahasa yang bermakna. “Apa yang tak dapat kita bicarakan, kita mesti membiarkannya dalam diam”, Wittgenstein melantunkan kutipan tersebut di bagian penutup Tractatus. Untuk menjadi seorang filsuf, seseorang harus belajar menahan lidahnya. Positivisme logis adalah gerakan berpengaruh yang mendefinisikan bentuk filsafat analitik hingga tahun 1960-an. Akan tetapi, itu dilemahkan oleh karya orang yang sama yang menjadi pendirinya. Pada tahun 1930-an, Wittgenstein telah memutuskan bahwa The Picture Theory sungguh keliru. Dia mengabdikan sisa hidupnya untuk menjelaskan alasannya. “Beristirahat dengan kepuasan diri sama berbahayanya dengan beristirahat saat kau berjalan di salju”, ujarnya, “Kau tertidur dan mati dalam tidurmu” tambahnya.

Pergeseran pemikiran Wittgenstein, antara Tractatus dan Philosophical Investigations, memetakan pergeseran umum dalam filsafat abad ke-20 dari positivisme logis ke behaviorisme dan pragmatisme. Ini adalah pergeseran dari melihat bahasa sebagai struktur tetap yang dipaksakan pada dunia menjadi melihatnya sebagai struktur cair yang terikat-erat dengan praktik dan bentuk kehidupan kita sehari-hari. Bagi Wittgenstein, selanjutnya, membuat pernyataan yang bermakna bukanlah masalah memetakan bentuk logis dunia. Ini adalah masalah menggunakan istilah yang secara konvensional didefinisikan dalam ‘Tata Permainan Bahasa’ yang kita mainkan dalam kehidupan sehari-hari. “Dalam banyak kasus, arti sebuah kata adalah dari penggunaannya”, tulis Wittgenstein, dalam bagian paling terkenal di buku Philosophical Investigations. Bukan ‘apa’ yang kau katakan, melainkan cara kau mengatakannya, dan konteks di mana kau mengatakannya. Kata-kata adalah ‘bagaimana’ kau menggunakannya.

Komunikasi, dalam model ini, melibatkan penggunaan istilah-istilah konvensional dalam cara yang diakui oleh komunitas linguistik. Ini melibatkan suatu cara untuk memainkan tata permainan bahasa yang diterima secara konvensional.

“Jika seekor singa dapat berbicara, kita semestinya tak dapat memahaminya”, kata Wittgenstein, karena tata permainan bahasa singa terlalu berbeda dari “permainan” kita untuk memungkinkan pemahaman kita terhadapnya. Perlu dicatat, selain itu, teori Wittgenstein memungkinkan singa memiliki bahasa, yang didasarkan pada dinamika sosial dari aktivitas berburu dan kawin mereka. Auman dua singa jantan dewasa, yang menantang satu sama lain demi memimpin kawanan, dapat dikatakan sebagai aktivitas permainan bahasa seperti olok-olok dua manusia yang saling-saing, masing-masing berusaha mengalahkan yang lain melalui permainan kata-kata. Kita begitu jauh dari jalan pandangan formalistik bahasa yang dijelaskan dalam Tractatus. Kita telah meninggalkan ranah logika murni Platonis dan menemukan kembali dunia.

Pandangan Wittgenstein tentang bahasa sebagai praktik sosial sangat berguna bagi siapa saja yang ingin berkomunikasi dengan jelas dan efektif. Para penulis dan komunikator selalu diberitahu untuk memikirkan audiens yang mereka ajak bicara dan menyusun komunike mereka sesuai dengan itu. Filsafat Wittgenstein mendorong sudut pandang ini—membawa kemudian melampaui linguistik ke dalam etnografi. Untuk berkomunikasi dengan suku sosial, dengarkan bagaimana mereka bermain dengan bahasa. Dalam banyak kasus, bahasa gaul, olok-olokan, dan lelucon bukanlah bentuk komunikasi 'sekunder' yang terstruktur dengan buruk, tetapi sarana kode untuk menyusun pertukaran tajam dalam suatu komunitas. Sebuah gambar, kata mereka, bernilai ribuan kata, tetapi lelucon yang tepat waktu dapat mengungkapkan pandangan dunia. Wittgenstein pernah berkata bahwa “karya kefilsafatan yang serius dan baik dapat ditulis seluruhnya terdiri dari lelucon”.

Lelucon bukanlah sesuatu yang berlangsung sebentar saja, pada saat itu saja. Lelucon-lelucon mungkin secara logis tidak koheren (ini yang sering membuatnya lucu), namun memainkan peran penting dalam permainan bahasa yang mengikat komunitas bersama.

Pandangan Wittgenstein tentang bahasa juga penting bagi siapa pun yang terlibat dalam filsafat. Diktum: “Dalam kebanyakan kasus, makna adalah penggunaan” berfungsi sebagai koreksi penting bagi impuls yang mendorong spekulasi metafisik tidak jelas yang didasarkan pada penyalahgunaan kata-kata. Ambil kata 'Tuhan', misalnya. Perdebatan kontemporer antara ateis dan teis (seseorang yang percaya Tuhan) didasarkan pada gagasan apakah kata 'Tuhan' merepresentasikan sesuatu yang nyata di dunia ataukah tidak sama sekali. Teis berpendapat bahwa kata tersebut merepresentasikannya (dan mengikat diri mereka dalam simpul semantik—mencoba untuk memverifikasi klaim ini), sementara ateis berpendapat sebaliknya. Namun, kedua pihak dalam perdebatan ini tanpa disadari mengandalkan The Picture Theory. Dalam teori ini, bahasa merepresentasikan fakta-fakta tentang dunia. Apa yang dikatakan hanya akan berakhir menjadi benar atau salah. Keduanya tidak akan pernah bertemu pada satu konvensi.

Pendekatan Wittgensteinian untuk perdebatan ini dimulai dengan menunjukkan bahwa 'Tuhan' adalah kata yang memiliki arti berbeda dalam konteks komunitas yang berbeda. Dalam konteks komunitas linguistik yang berbeda, orang-orang menggunakan kata 'Tuhan' dengan cara yang berbeda untuk mengartikulasikan aspek pengalaman yang berbeda-beda pula (pertimbangkan kalimat “Sekarang semuanya ada di tangan Tuhan” atau “Ketika matahari terbit, aku merasakan kehadiran Tuhan”). Dengan demikian, cara berpikir lain tentang makna 'Tuhan' adalah dengan melihat penggunaan istilah ini di orang-orang sebagai gerakan dalam permainan bahasa sosial—sebuah gerakan yang idealnya memiliki konotasi spesifik untuk anggota komunitas. Mungkin istilah 'Tuhan' tersebut mengungkapkan kesetiaan pada cara hidup, jalan hidup, seperti argumen Karen Armstrong. Mungkin mengungkapkan keheranan manusia di hadapan keberadaan. Intinya adalah bahwa menggunakan istilah tidak selalu menyiratkan kepercayaan pada entitas yang sesuai dengan istilah tersebut. Arti sebuah kata bergantung pada kegunaannya dalam konteks, bukan referensi idealnya di luar semua konteks yang memungkinkannya.

Ajaran Wittgenstein memiliki nilai praktikal. Mengapa membuang-buang waktu untuk memperdebatkan masalah yang tidak akan pernah terselesaikan ketika semuanya dapat dikempiskan dengan pertanyaan sederhana: “Apakah kita membicarakan hal yang sama?”. Jika kau berjuang untuk mengatasi dorongan untuk mendefinisikan sesuatu dengan terlalu hati-hati, atau menemukan diri kau sendiri terobsesi terhadap arti kata-kata dan definisi 'benar-nya', atau jika kau merasa yakin, seperti banyak filsuf, eksistensi kata secara logis menyiratkan beberapa esensi metafisik, atau bentuk Platonis, yang sesuai dengan kata ini, ingatlah bahwa apa yang memberi makna pada kata adalah wacana-sosial-konvensional di mana kata itu digunakan. Dengan memerhatikan konteks bahasa biasa yang memberi arti pada kata-kata, kita dapat menghindari penyalahgunaannya dan tak mencoba membuatnya menjadi hal-hal yang tidak dimaksudkan. Semakin kita mengembalikan kata-kata ke “rumah mereka”, melihatnya dalam konteks bahasa biasa tempat mereka bekerja, semakin mudah untuk melepaskan simpul-simpul dalam bahasa dan memahami apa yang sebenarnya dikatakan.

Sumber Literatur:

Meaning is use: Wittgenstein on the limits of language, Tim Rayner: https://philosophyforchange.wordpress.com/2014/03/11/meaning-is-use-wittgenstein-on-the-limits-of-language/

Saturday 17 December 2022

Membacoti Fenomena Beauty and the Beast

“I often stood in front of the mirror alone, wondering how ugly a person could get.” 

—Bukowski, Ham on Rye (1982)
kira-kira 3 tahun lalu, aku menangkap “keabsurdan” ini, mencoba menuliskannya,  tapi draft tulisan ini tak pernah sempat kuselesaikan. sengaja kugunakan diksi ‘keabsurdan’, sebab menurutku, adalah absurd untuk menyaksikan langsung kisah fiksi à la Disney (insert alunan piano Tchaikovsky) terjadi di kehidupan nyata. ya, ceracau ini perihal Beauty and the Beast yang semakin menjamur & telah menjadi fenomena. aku ngakak (dalam tendensi kagum, bukan merendahkan) & sedikit “tergelitik” ketika melihat begitu banyak perempuan (yang menurutku) “cantik” berpasangan dengan lelaki yang (mohon maaf, aku harus jujur) “burik & tak-instastoryable”. di sisi lain, kupikir, sah-sah saja semisal ada perempuan “cakep” berpacaran dengan lelaki “budug”, ya terserah mereka. lagipula preferensi pasangan setiap orang begitu kompleks, subjektif, & tak akan dipahami seseorang selain dirinya.

aku juga tak mau body shaming, tak mau meneruskan stigmatisasi ini buruk rupa itu rupawan bla-bla-bla, atau secara brutal mengungkapkan raw truth bahwa dicap tak-cakep secara kolektif adalah buruk & merupakan malapetaka. sialnya, fakta sosial di lapangan secara tak langsung mengatakan: bila kau good-looking, maka kau “aman”—seminimal-minimalnya dari hujatan. aku paham, sungguh sangat pantek untuk mengarungi samudera fakta bahwa dunia jelek ini tak pernah adil & ramah bagi mereka yang tak-good-looking, memang.

aku sebetulnya penasaran dengan mengapa kita begitu terobsesi dengan visual—lantas aku membaca-baca, & menemukan... katanya Pinker, penulis buku sains populer “How the Mind Works”, juga seorang psikolog, & ilmuwan di bidang kognitif—“manusia adalah makhluk visual”, & dari hasil riset-penelitian ditemukan: manusia memproses data visual lebih baik ketimbang bentuk data lainnya; otak manusia memproses gambar 60.000 kali lebih cepat ketimbang teks—& 90% informasi yang dikirimkan ke otak berbentuk visual. maka, konsekuensi paling logisnya adalah bahwa ungkapan “visual itu tak penting”, “jangan melihat dari visualnya” atau ungkapan-ungkapan lain yang bernada seperti mencoba menegasikan aspek visual, mungkin, hanya mengandung kebenaran saintifik sebesar 10%—bila berangkat dari paradigma ini.

di paragraf ini, aku langsung teringat dengan kuots filosofis sekaligus puitis tapi cukup klise: “jika wujud/fisik/penampilan adalah yang paling utama, bagaimana kau mencintai tuhan yang tak terindera mata?”. di lain sisi, aku juga kesal mendengar petuah usang & kuno: “jangan menilai buku dari sampulnya”. aku kesal karena membayangkan bagaimana jika di multiverse lain... aku adalah seorang desainer sampul buku, yang telah mendesain dengan susah payah, & kemudian pada suatu pagi yang absurd seorang tolol dengan selera seni yang buruk melisankan petuah menyebalkan itu tepat di depan mukaku. mungkin, kemungkinan terbesar setelahnya adalah bogem mentah mendarat tepat di wajah seorang naif itu. menurutku, kita pasti menilai sesuatu dari visualnya terlebih dahulu.

kembali pada Beauty and the Beast, aku sering menemukan konten audio-visual (video) yang berisi fenomena tersebut & ketika kubuka kolom komentarnya hampir selalu kutemukan kalimat-kalimat satir atau sarkas, misalnya: “anjir, cowonya magrib #minimalmandi”, “spill dukun”, “cewenya hoki banget (pedahal, cowonya jelek)”, “terus kembangkan, ubahlah cacian jadi ancaman pembunuhan”, “peletnya kuat”, & lain sebagainya. sejujurnya, aku kasihan & bersimpati kepada para lelaki yang diidentifikasi (secara sosial) jelek tersebut. & jika Sartre hidup di +62 mungkin dia akan mengemukakan: “Netizen adalah Neraka”. jancok pisan.

kendati ada acuan dari golden ratio (rasio emas), lengkap dengan satuan matematis untuk melihat-mengukur seberapa estetik/cantik/perfek (& simetris) wajah seseorang—di sisi lain, aku sungguh tak tahu bagaimana menilai secara absolut & presisi wajah yang “cantik” & “tampan” itu seperti apa pastinya. walau demikian, “jelek” itu mutlak, kurasa. ini agaknya sulit untuk dibahasakan... mungkin ini adalah masalah bahasa dalam terma Wittgenstein, seorang filsuf ngaruh dalam filsafat bahasa, bahwa “apapun yang kutekskan di sini, tak akan mampu untuk melampaui batasan-batasan mendasar dari bahasa manusia & tak akan mendedahkan apa-apa, kecuali pecahan-pecahan makna yang ingin kusampaikan—sementara kau, sebagai pembaca, hanya akan memahaminya melalui kerangka linguistikmu (yang mungkin saja terbatas)”.

walaupun pusing banget ya Allah, kepalaku mencari benang merah antara fenomena membagongkan ini dengan peribahasa Latin dari drama Latin berjudul “Phormio” karya Publius Terentius Afer (di Barat lazim disebut Terence), dramawan komedi era Republik Romawi—peribahasa yang juga dikutip Cicero, negarawan Romawi kuno dalam bukunya “Tusculan Disputations”: Fortis Fortuna Adiuvat (keberuntungan berpihak pada pemberani). Publius Vergilius Maro aka Virgil (tanpa van Dijk), pujangga kenamaan masih dari Romawi, dalam karyanya “Aeneid”—menulis peribahasa ini dengan ‘Audentis Fortuna Iuvat’. jika ditarik ke konteks perbucinan duniawi, khususnya masa kini, ada benarnya juga: si cantik yang wangy bukan milik si tampan yang cupu, tetapi milik si jelek yang pemberani/percaya diri.

aku tahu ini nampak kocak gemink, tapi menurutku, cara paling buruk untuk dicintai adalah atas dasar kecantikan-ketampanan—sehingga seseorang yang dicintai bukan karena kecantikan-ketampanan semestinya berbahagia, sebab ia dicintai karena sesuatu hasil dari usaha-perjuanganya bukan karena sesuatu yang sifatnya (lebih besar) genetik-bawaan-diwariskan. bagiku, seburuk-buruknya perempuan, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kecantikan & seburuk-buruknya lelaki, adalah yang tak mampu menawarkan hal lain selain kekayaan. 

terakhir, satu yang luput dari Beauty and the Beast, adalah fakta membagongkan (yang tak terbantahkan) bahwa meskipun sang pangeran memiliki fisik dari gabungan hewan-hewan liar nan buruk rupa—surai singa, kepala kerbau, dahi gorila, gading babi hutan, kaki & ekor serigala, & tubuh beruang—tapi ia memiliki istana.

Marx-Engels, duet filsuf, pakar ekonomi, & sosiolog itu sekali lagi benar... Determinisme Ekonomi (ekonomi adalah kekuatan, perilaku manusia dimotivasi oleh alasan-alasan ekonomi, & manusia akan dihargai bila mapan secara finansial) itu valid adanya & memainkan peranan kunci dalam relasi seorang manusia dengan manusia lainnya (termasuk pada konteks perbucinan duniawi). pada titik tertentu, seorang tak-good-looking tapi good-rekening, akan menang melawan seorang good-looking tapi tak-good-rekening.

anjing.

“If you think something is ugly, look harder. Ugliness is just a failure of seeing.”

—Haig, The Humans (2013)

Wednesday 7 December 2022

Heidegger dan Konsepsi-Dikotomis Sartre tentang Kematian (Paper Translasi)

Still Life (1657) by Pieter Claesz

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Meskipun pertanyaan tentang “kehidupan” pascakematian adalah salah satu yang sangat diperdebatkan, premis bahwa kematian adalah takdir definitif bagi semua manusia diterima secara universal. Karena sifat-sifat dari keterbatasan manusia, filsuf Jerman, Martin Heidegger—memandang kematian sebagai takdir yang memungkinkan seseorang menemukan makna, dan dengan demikian menjadi versi paling otentik dari dirinya. Heidegger menggambarkan kematian sebagai penghubung erat dengan otentisitas personal—sebab “faktis” dari ‘kedirian’. Menjadi otentik dalam terma Heideggerian berarti hidup “sejati” untuk diri sendiri. Heidegger menegaskan bahwa kebenaran dapat dijalani, dan seseorang mungkin kemudian gagal untuk menjalankan kebenarannya, oleh karenanya dia menegaskan ada cara fundamental untuk ada, atau mengada. Maka, ia mengklaim “esensi manusia terletak pada keberadaannya” (42).

Heidegger menggunakan istilah ‘Dasein’ (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman “mengada” yang khas manusia. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. (Ini juga dapat ditafsirkan sebagai istilah teknis Heidegger yang mengacu pada kita—bukan sebagai individu manusia—tetapi, mengacu pada cara mengada semua manusia). Dia secara tidak langsung mendedahkan gagasan antara mengada sebagai diri (yang otentik) dan menjalani hidup—sebagai dikotomi yang mendiferensiasi pengalaman-pengalaman manusia. Heidegger menegaskan bahwa ada kualitas-kualitas, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas tertentu yang lebih “mewakili” dari sekadar apa yang hanya kita lakukan dan nikmati. Oleh karenanya, ketika kita terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan “esensi” kita, kita menjalani kehidupan yang secara intrinsik tidaklah otentik. Sebagai Dasein, kehidupan memiliki struktur pencapaian, atau “keutuhan”, yang ada karena adanya kematian. Melalui pemahaman ini, Heidegger membedakan antara menjalani hidup dengan menjadi diri yang otentik.

Untuk lebih memahami teori Heidegger, seseorang dapat membayangkan skenario di mana waktunya untuk hidup tinggal beberapa hari lagi. Melalui penyelidikan ini, jika seseorang tersebut merasa sangat menyesal atas proyeksi kehidupannya, maka ia menjalani kehidupan yang tidak otentik sama sekali. Sebaliknya, jika ia mengungkapkan kepuasan murni terhadap arah hidupnya, terlepas dari kemungkinan kematian di tikungan sana, maka ia telah menjalani hidupnya dengan sejati. Bagi Heidegger, proyeksi imajinatif mengenai kematian sangatlah penting dalam menentukan siapa diri kita. Setelah menyadari kematian sebagai hal yang tidak terelakkan sama sekali, “seseorang dibebaskan sedemikian rupa, sehingga untuk pertama kalinya ia dapat secara otentik memahami dan memilih di antara kemungkinan-kemungkinan faktikal yang terbentang di depan” (308). Manusia memasuki keadaan kecemasan di mana kemungkinan hidup yang tidak terbatas menjadi jelas, maka pilihan-pilihan kita secara faktual dipandu dengan membuat kemungkinan-kemungkinan ini. Pada gilirannya, pilihan yang kita buat menentukan kita, memberi makna pada hidup kita, dan pada akhirnya mendorong kita pada “keotentikan”.

Meskipun Jean-Paul Sartre mengikuti garis filosofis yang cenderung indentik dengan Heidegger, dia memiliki persepsi yang sedikit berbeda terkait arti kematian. Baik Sartre maupun Heidegger, keduanya menegaskan bahwa pilihan-pilihan yang kita buat menentukan (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana) kita. Karya Sartre menggemakan karya Heidegger ketika dia mengklaim “manusia tidak lain adalah apa yang dia bangun dari dirinya sendiri” (28). Maka dari itu, karya-karyanya mewakili pandangan tegas bahwa eksistensi-mendahului-esensi. Tindakan dan keputusan kolektif kita menggambarkan siapa kita sebagai manusia, dan dengan demikian kita pada akhirnya sepenuhnya bertanggung jawab atas bagaimana kita berperilaku di dunia ini. Mengakui kebebasan-untuk-memilih—dan menghadapi konsekuensi dari tanggung jawab kita sendiri—merupakan sebuah seni untuk menjalani kehidupan yang otentik. Akan tetapi, Sartre berpendapat bahwa pandangan Heidegger memberikan terlalu banyak kekuatan untuk “mati” dalam membentuk arah hidup seseorang.

Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Berbeda dari premis Heidegger bahwa kematian memungkinkan makna, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru mengambil makna ini. Mirip dengan Sartre, Simone de Beauvoir memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tidak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tidak adil” (106). Setelah kematian, Sartre percaya bahwa makna hidup seseorang hanyalah berasal dari apa yang orang lain coba pikirkan—oleh karena kita tidak memiliki kendali untuk memengaruhi makna tersebut. Maka dari itu, kita tidak boleh sekadar menunggu kematian terjadi “bukan karena kematian tidak membatasi kebebasanku, tetapi karena kebebasan tidak pernah menemui batasan ini” (Sartre, 700). Sartre merasa kematian bukanlah peristiwa yang mesti ditakuti dan direnungi—karena kematian dianggap tidak terlalu berarti selama seseorang masihlah hidup. Dengan demikian, setelah analisis lebih lanjut dari teks-teks Sartre ini—dikotomi antara Heidegger dan Sartre menjadi semakin jelas.

Pada akhirnya, peneliti akan berargumen bahwa Sartre mengabaikan pentingnya kematian dalam mewujudkan makna hidup. Sartre menggambarkan kematian sebagai peristiwa yang sepenuhnya independen—yang tidak memiliki dampak eksistensial tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan. Secara kontras, Heidegger mengklaim bahwa kita ada-menuju-kematian sebagai ‘kemungkinan yang paling mungkin bagi manusia’. Kita mengada sebagai agen yang mampu mengenali dan berjuang menciptakan makna dengan mengindentifikasi kesementaraan kita yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu, Dasein dihadapkan dengan kematian sebagai kemungkinan eksistensi, dan ia “berdiri di hadapan dirinya sendiri dalam potensi keberadaan yang paling dirinya sendiri” (Heidegger, 232). Dengan mengenali potensi kematian, kita “mengekspos” makna dari kemungkinan-kemungkinan alternatif karena makna-makna ada dalam batasan-batasan kita.

Serupa dengan Heidegger, peneliti menegaskan bahwa kematian kitalah yang mampu memungkinkan makna seperti itu. Kemungkinan kematian, yang bertahan tanpa batas sepanjang hidup kita—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan yang kita buat. Sartre gagal membahas pentingnya kematian karena dia memandangnya sebagai fenomena yang tidak pasti, sementara Heidegger menyibak alasan mendasar mengapa kebebasan kita penting bagi kita. Makna penting yang Heidegger tempatkan pada kematian adalah valid, sebab waktu kita di Bumi terbatas dan pilihan yang kita buat sepenuhnya merupakan tanggung jawab kita sendiri. Melalui kesadaran akan kematian, Heidegger mengklaim bahwa ada-menuju-kematian mendasari temporalitas Dasein. Sehingga, temporalitas ini sangatlah fundamental bagi makna yang kita berikan pada hidup. Kita dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tidak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di Bumi tidak terbatas. Manusia yang fana tidak mampu melakukannya. Dengan demikian, dengan mengakui kesementaraan kita—di mana seseorang dapat memahami kesementaraan keberadaan mereka—keputusan-keputusan kita mengandung semacam “beban-beban” tertentu.

Setelah mengalami semacam konfrontasi personal dengan kematian, peneliti sangat memahami betapa rapuhnya “eksistensi”. Gagasan Heidegger tentang ada-menuju-kematian menguraikan kehidupan yang peneliti jalani setelah perjalanan terakhir ke “kosmos”. Meskipun pada awalnya penekanan Sartre terhadap tanggung jawab pribadi dan kebebasan dianggap berhasil, namun hal tersebut hanyalah keterbatasan kematian itu sendiri—yang mendasari kondisi yang diperlukan untuk makna. Waktu terbatas yang kita miliki di planet ini “mendikte” pilihan-pilihan yang dibuat, dan kehidupan macam apa yang akan kita pilih untuk diwujudkan. Karena kematian adalah “kemungkinan terbesar” yang telah final, menjadi jelas bahwa cara paling tepat untuk menjalani hidup adalah dengan membuat keputusan berdasarkan keinginan pribadi, bukan berdasarkan keinginan orang lain di sekitar. Masa muda kita mencontohkan keinginan yang sangat kompleks untuk penerimaan—kita segera menyadari kepuasan diri kita sendiri dengan hidup yang dimanifestasikan dari dalam ‘Diri’, dan bukan melalui penerimaan ‘Yang Lain’.

Dengan bertatap muka langsung dengan kematian, kita memahami keterbatasan eksistensi dan fakta bahwa semua kemungkinan hidup tidak akan pernah sepenuhnya terwujud. Ada sesuatu yang luar biasa di luar eksistensi kita. Potensi kematian memungkinkan seseorang untuk memahami keberadaan dalam totalitasnya dan dengan demikian memfokuskan keberadaannya sebagai miliknya (individu)—alih-alih jenis keberadaan yang tidak otentik, yang bukan berasal dari diri kita (yang lain). Meskipun kematian kakek kita adalah keluhan yang sangat pribadi, yang sangat berpotensi mengubah hidup kita—hal tersebut merupakan kematian “manusia lain”. Kendati mengalami kematiannya adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan menyiksa, itu masihlah ‘objektif’ dalam artian bahwa kita masih menghindari konfrontasi dengan kematian kita sendiri.

Heidegger mengklaim ketika kematian dihadapi sebagai individu—kita mengakui kemungkinan yang dimiliki Dasein. Jika dunia eksternal, yang memperoleh makna berdasarkan ‘Yang Lain’ tertutupi—seseorang mungkin gagal menghayati pengalaman ke dalam ‘Yang Lain’. Dengan demikian, menghadapi kematian memungkinkan eksistensi manusia untuk fokus sepenuhnya pada dirinya sebagai Diri-nya sendiri. Karya Martin Heidegger telah menjadi analogi untuk konfrontasi pribadi peneliti dengan temporalitas kehidupan yang “rapuh” ini. Karyanya telah berfungsi sebagai kebangkitan eksistensial—meningkatkan lonjakan keinginan akan makna di dunia yang pada dasarnya “hampa”.

*****

Referensi:

Beauvoir, Simone de. 1965. A Very Easy Death. Trans. Patrick O’Brian. Pantheon 102 Books: New York.

Heidegger, Martin. 1996. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. State University of New York Press: Albany.

Sartre, Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness. Trans. Hazel E. Barnes. Washington Square Press: New York.

Sigrist, Michael J. Death and the meaning of life. Philosophical Papers 44.1 (2015): 83-102.

Sumber Literatur:

Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2021/09/19/heidegger-and-sartres-dichotomous-conceptions-of-death/