Kepada Sifarryla Gautama yang ... Emang Bole Ya Segemash Ini?
Bogor, 31 Juli 2023
“... if you built yourself a myth
you'd know just what to give
materialize
or let the ashes fly
help me to name it
help me to name it...”
halo, Kangil. alias Ikan Gila. alias Sifarryla Gautama. sebenarnya aku kepingin bikin surat ini dari hari Selasa, 27 Juni 2023. iya, sewaktu aku suddenly-randomly memimpikanmu. aku masih teu ngartos bisa-bisanya memimpikanmu. pedahal kita jarang kontakan (bahkan bisa dibilang tidak kontakan). tapi aku lebih tak mengerti mengapa aku dalam keadaan sober-tak-hangover, secara tolol campur berani, menggedor ruang DM akun Twittermu. di mimpiku itu, seperti yang telah kuceritakan padamu, kita berada di dalam bunker bersama Amélie Poulain—protagonis dalam salah satu film Prancis yang keren abis—Amélie (2001). kau menangis semenangisnya, sedang aku & Amélie hanya bisa diam tanpa kata sembari menatap ke arahmu. got no idea to sekadar menenangkanmu.
25 menit setelahnya kau membalas. kau shock membaca pesanku, sebab 1 hari sebelum aku memimpikanmu... kau memang menangis semenangisnya—“keselarasan” tak berhenti sampai di situ—film tersebut merupakan film favoritmu. begitu katamu. ya aku ikutan shock-lah anjenk. kok bisa pas. aku bukan sinefil, tak banyak film yang kutonton. aduh pantek pukimak jancok, konspirasi apalagi ini? begitu kira-kira bahasa batinku saat itu.
sependek ingatanku, aku ini manusia yang apa-apa kudu logis. maka hal pertama yang kulakukan adalah mengeksplorasi penyebab paling rasional dari kejadian itu. otakku yang kecil kupaksa kerja rodi mencari yang mantiki. tapi nihil, banh. pikiran & perasaanku akhirnya membangun hubungan diplomatik pada kata ‘kebetulan’. mungkin ini terdengar cukup berlebihan, tapi di titik itulah... kepercayaanku pada salah satu konsep metafisik tak saintifik—soulmate—meningkat cukup pesat. oh ya, tak lama berselang lama, logikaku juga pingsan.
setelahnya kita saling mengirim pesan. ngang ngeng ngong. seperti pada umumnya, dimulai dari hal yang general lalu lambat laun merambah ke hal yang personal & sentimental. kau membahasakan kecemasan-kecemasanmu, kesedihan-kesedihanmu, masalah-masalahmu. begitu pula aku. menariknya, aku menyukai bagaimana kau menarasikan tragedi dengan dibalut komedi. sebuah cara yang, juga sering kulakukan. wah, sepertinya ada potensi punya kemistri! kenaifanku kembali mengalkulasi.
pada suatu sabtu yang cukup biru, sebiru periode biru Picasso ditambah alunan piano Chopin yang Nocturne in E-Flat Major (Op. 9 No. 2), kau mengajakku untuk berpindah dimensi. dengan kecepatan cahaya, anjayani. bukan. bukan dari samsara menuju nirvana. tapi dari Twitter menuju WA. konsekuensi logisnya, komunikasi semakin intens. saling mengisi peran, antara komunikator & komunikan. surat mungil ini, barangkali adalah komunike-nya. bentar, ini kenapa jadi kayak kuliah komunikasi 1 SKS. mon maap, ye. kelepasan.
& pada suatu jumat yang penat, aku yang basicly moron mengajakmu fafifu wasweswos via telepon. karena sinyal yang sialan bin bangsat, kita kembali berpindah dimensi. dari WA menuju Telegram. wah, cakep, lancar. kegeraman pun punah dari dunia perasaan. kira-kira 3 jam lamanya kita bertukar suara. tak terasa, mungkin, relativitas waktu. selama 3 jam itulah aku bilang “asu!” dalam hati sebanyak 21 kali. u r so me! allahuakbar allah mahabesar! at some points, u know me more than i know myself. aku merasa seperti telah mengenalmu semenjak 3000 tahun yang lalu. aku bahkan jadi curiga bahwa di past lives we punya hubungan tertentu. setelah sempat bangun dari pingsan, logikaku mati di momen itu. ini bukan hiperbola. serius mampus.
aku sebenarnya punya hasrat sebesar diameter pohon baobab untuk mengutarakannya, tapi yang pada akhirnya kulakukan hanyalah menuju ke arah selatan: menceritakannya kepada si Didi, bebekku, anakku yang kerjanya cuma turu. tapi tak apa... setidaknya si Didi sobat si Nino, mengmu, anakmu. 21 asu dengan tanda seru yang sublim itu, kupendam dalam-dalam di alam bawah sadarku.
heaven knows i'm gak kuat lama-lama menahan sesuatu yang mengganjal. voilà, hari ini, dengan bantuan dewa Dionysus/Bacchus & frasa Latin in vino veritas... kau confess beberapa hal. salah satunya, kau mentekskan begini, “i love you 1000099 ton.”
ini menarik. aku suka dengan bagaimana caramu mengambil sudut pandang. alih-alih menggunakan satuan jarak—misalnya dengan kalimat klise macam “i love you to the moon & back”—kau justru menawarkan kebaruan dengan memakai satuan massa. secara personal, sesekali kupikir bahwa cinta lebih merupakan soal 'massa' ketimbang 'jarak'. & kurasa, 'berat' lebih punya daya ledak. ketika kita memandang cinta sebagai hal-perihal massa, kita cenderung melihatnya sebagai sesuatu yang mesti diperlakukan tidak hanya dengan kekuatan, tapi juga kerelaan & ke-selfless-an total. ada gema altruistik yang kolosal. meskipun lebih tidak eksploratif ketimbang satuan jarak, satuan massa lebih terdengar heroik. ada kesan pengorbanan untuk bertahan dari yang unbearable. dalam mitologi Yunani, seperti pundak Atlas yang bersetia menopang planet bumi. bagiku, mitos Atlas & cinta sama-sama kutukan!
interpretasiku, tak bisa dilepaskan pengaruhnya dari salah satu kuots Rumi yang paling thought-provoking... lovers don't finally meet somewhere. they're in each other all along. dengan kata lain, aku telanjur percaya kalau lovers, soulmate, whatsoever... tak pernah berjarak. aku sadar kuots itu konteksnya hubungan vertikal, bukan horizontal. habluminallah, bukan habluminannas. lagipula aku tidak sedang berlagak sufi. 24x7 jam kalung Buddha menggantung di leherku. kau tahu, aku begitu ngefans dengan Siddhartha Gautama. itulah mengapa kau kunamai Sifarryla Gautama. alasan sederhananya itu. alasan kompleksnya mungkin akan kujelaskan pada suratku nanti. berbarengan dengan alasan mengapa kau juga kunamai Kangil alias Ikan Gila & mengapa aku lebih nyaman disebut Sogil alias Soang Gila.
2 hari lalu kau berujar memimpikanku. & baru hari ini, kau bilang bahwa di mimpimu kau menciumku. sebenarnya, saat ini, detik ini, aku pun benar-benar ingin mereguk bibirmu. i wanna eat u. setelah mendengar pengakuan mimpimu itu, ada hasrat kuat dalam diriku untuk mengimitasi magnum opus-nya Klimt—Der Kuss (1907-1908). iya, karya Klimt yang paling tidak mengandung unsur femme fatale seperti Nuda Veritas (1899) atau Judith and the Head of Holofernes (1901). lukisan art nouveau dengan skema warna cerah & dihiasi sentuhan geometris ini, ibarat kombinasi antara kompleksitas hubungan cinta & kehendak biologis dalam tindakan berciuman. mudahnya, Der Kuss seperti mengeksplorasi yang artistik & magis dari bercumbu. sayangnya mataku sudah seperti bohlam 5 watt yang bukan merek Philips. aku ngantuk, Kangilku. aku terlampau produktif hari ini. mataku berkunang-kunang setelah kembali mengeditori naskah dengan 3648 kata yang ... haduh yuk bisa yuk dikit lagi beres.
terakhir, bonne nuit, selamat tidur. i love u se-black hole, Kangil. kau tahu, objek terberat (& dengan gravitasi tertinggi) di alam semesta ini adalah lubang hitam. sekali lagi, selamat malam.
“... say, would you let me cry,
on your shoulder
i've heard that you'll will try anything twice
close your eyes,
& think of someone,
you physically admire,
& let me kiss you,
let me kiss you...”
Sogil