Sunday 10 September 2023

The Kingdom That Failed - Murakami (Cerpen Translasi)

Illustration by Jordan Moss
*Ditulis Haruki Murakami dalam bahasa Jepang—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jay Rubin (cerita ini terbit di The New Yorker pada 13 Agustus 2020)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Tepat di belakang kerajaan yang gagal mengalir sungai kecil yang menawan. Airnya jernih, arusnya tampak indah, dan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Seekor ikan memakan gulma yang tumbuh di sana. Sang ikan, tentu saja, tak peduli apakah kerajaan itu gagal atau tidak. Apakah itu berupa kerajaan atau sebuah republik tak ada bedanya bagi mereka. Mereka tak melakukan pemungutan suara ataupun membayar pajak. Tak ada bedanya bagi kami, pikir mereka.

Aku mencuci kakiku di sungai itu. Meskipun hanya terendam sebentar, airnya yang sedingin es membikin kakiku merah. Dari sungai ini, kau dapat melihat tembok-tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, tampak bendera dengan dua warna berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, “Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal.”

***

Q dan aku adalah teman—atau lebih tepatnya, ‘pernah’ berteman semasa kuliah. Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Itulah mengapa aku pakai kata ‘pernah’. Yang jelas, kami berteman.

Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q—menjelaskannya sebagai pribadi—aku selalu merasa kesulitan. Aku memang payah menjelaskan apa pun, tetapi tanpa hal itu pun, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti merasa berada di jurang keputusasaan.

Mari membuatnya lebih sederhana, sejauh yang kubisa.

Q dan aku seumuran, tetapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tak pernah memaksa atau membual, dan ia tak pernah marah jika seseorang secara tak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, “Oh, tidak apa-apa, aku juga sering begitu.” Tapi faktanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.

Ia juga tumbuh dengan pola asuh yang baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang. Bukan berarti kelebihan pula. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlet hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk menghadapi ujian, tapi tidak pernah mengulang satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen menjelaskan.

Ia secara mengejutkan sangat berbakat dengan piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis—Balzac dan Maupassant. Sesekali ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.

Secara alami ia populer di kalangan perempuan. Tapi ia bukan tipe lelaki yang “perempuan manapun bisa digaet”. Ia punya pacar tetap, seorang mahasiswi tingkat dua yang cantik dari sebuah kampus elit khusus perempuan. Mereka kencan setiap hari Minggu.

Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.

Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam-meminjam garam atau saus salad, kami jadi teman, dan bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.

Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q sedang duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang perempuan cantik berbikini dengan kaki semampai.

Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, di umurnya yang tiga puluh tahun lebih, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.

Ia tak menyadari aku yang duduk di sebelahnya. Aku lelaki yang terlihat
biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, tetapi pada akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan perempuan itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tak enak hati untuk menyelanya. Lagipula tak banyak yang bisa kami bicarakan. “Aku pernah meminjamakanmu garam, ingat?” “Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad.” Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.

Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.

“Tidak mungkin,” kata perempuan itu. “Kau pasti bercanda.”

“Aku tahu, aku mengerti,” kata Q. “Aku paham betul apa yang kau katakan. Tapi kau juga harus memahami posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku hanya memberi tahumu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan memandangku dengan tatapan seperti itu.”

“Yah, baiklah,” jawabnya.

Q menghela nafas.

Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka—dengan tambahan imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacamnya, dan perempuan itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Ia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang menurun. Tugas untuk memberi tahu itu diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasional sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, maka aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tetapi kurasa tak jauh dari semua itu.

Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.

“Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor,” katanya. “Aku tidak perlu memberi tahumu—kau tahu cara kerjanya.”

“Jadi maksudmu kau tak bertanggung jawab atau tak bisa mengatasi masalah ini?”

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi yang bisa kulakukan sangat terbatas.”

Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Perempuan itu ingin tahu seberapa banyak Q telah berjuang untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan perempuan itu tidak percaya. Aku juga tak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Oleh karenanya, tak ada jalan keluar dari percakapan ini.

Tampaknya perempuan itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka akur hingga masalah ini muncul. Itulah yang membuatnya semakin marah. Karena ia menaruh rasa pada Q. Namun pada akhirnya, ialah yang menyerah.

“Oke,” kata perempuan itu. “Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku Cola, oke?”

Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stan minuman. Perempuan itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.

Tak berselang lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan segelas kepada perempuan itu, ia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. “Jangan terlalu bersedih tentang ini,” katanya. “Sekarang, setiap hari kau akan—”

Tapi, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat tersebut, perempuan itu melemparkan gelasnya yang masih penuh ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar satu per tiga dari Coca-Cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget. 

Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. “Maaf,” katanya dan mengulurkan handuk padaku.

“Tidak apa-apa,” jawabku. “Nanti aku mandi saja.”

Tampak sedikit kesal, ia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.

“Setidaknya biarkan aku mengganti rugi bukunya,” katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan Cola pada buku itu dan mencegahku membacanya berarti telah menyelamatkanku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum manis, seperti biasanya.

Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf kepadaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Ia tidak pernah menyadari siapa aku.

***

Aku memutuskan memberi judul “Kerajaan yang Gagal” pada cerita ini karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. “Melihat kerajaan yang indah memudar,” katanya, “jauh lebih menyedihkan ketimbang melihat keruntuhan republik kelas dua.”

Saturday 9 September 2023

Genrifinaldy's Poems

  La Voragine infernale by Botticelli


The Outcry of Silence

can we just knock on the sky & tell god to stop character development? we are at the max level. this is our final patience to endure the twinge of tragedy. & our last bravery to face the lethal uncertainty.

hello there... Plath? Dylan? is it completely empty up there? no one is there?

(2023)

-

Every Dawn

i muse about
perpetually enlarged
cosmos while almost
constantly feeling back-pain,
sudden nauseas, random
migraine, impromptu eerie,
& simultaneously thinking: 
“could one rosy afternoon
i merely lay down on
my girlfriend's thigh
in the quiet park. discussing
Monet's painting or
Dostoevsky's novel. play
Morrissey's or
Beach House's songs.
watch Pasolini's or
Ingmar's movies.
for a moment forget
the untolerable horror
of life's trial & terror.
is it too much
to actualize for?”

(2023) 

-

Indulgence

in the midst of
four thousand two hundred
confident belief systems
& three thousand
omnipotent beings,
heaven knows
she's the only religion
that i will ever believe.
the only god
that i will ever worship.

she's the only myth
that i will ever need.
heaven knows...

(2023)

-

Traveller's Tales

in the morning,
i walked barefoot
to the east. there,
i found artificial lights.
those mystical rays
bring peace. calming
the hidden storm
in my mind. i started
to realize this is the home
of tranquillity. i found beauty
lotus thrives on filthy mud.
the pacify of incense.
all the void in every part
of my soul is magically fulfilled.

at night,
i headed to the west.
& found a house.
burned house. there
are too many living corpses.
their tongue was the
sharpest sword that an
unbreakable shield
could imagine. in their
eyes, i see the highest god
suicide & the cemetery
of hope. the birth of
raven, the death of dove. 
i found no one could
take a rest. no one can
emotionally recover
from toward the west.

in the middle of the night,
i want to come home. but
as soon as i headed to
the west, i remember that
the east disappeared into
the nothingness. i'm homeless
now. don't have a home.
nor a house.

(2023)

-

Helplessness

my whole life
is a labyrinth;

designed by
another version
of Daedalus.
to hold the unbearable
naked truth. to taming
the beast within me.
my primal destructive self.
myself.
has an insatiable appetite
to annihilate
ten thousand prophets.

“i have a sublime longing
for cinematic catastrophe!
the downfall of David!”
said the Goliath
inside my flesh.

(2022)

*****

Friday 8 September 2023

Memfafiui Perjudian Duniawi

Dogs Playing Poker (1903) by Cassius Marcellus Coolidge


“hoki/keberuntungan adalah persiapan bertemu dengan kesempatan.”


—Seneca


Semacam Muqadimah


kemarin, seperti biasa, aku bangun lumayan pagi. merapikan kamar. mencuci muka. bikin sarapan. mandi. menyeduh kopi. ngudud sans. duduk di atas kursi berhadapan dengan laptop (untuk mengeditori tulisan di omsky-omsky). tapi ketika aku mengecek ponselku, tepatnya ketika kubuka panel notifikasi—(selain ada pesan yang wholesome & cumil dari sifarryla gautama)—ada watsap yang cukup buatku ngakak. begini isinya: “dua-tiga zeus main sweet bonanza, pinjem dulu seratus ada ga?”.


pesan-cum-pantun itu berasal dari kawanku (yang punya kebencian ideologis terhadap Rhoma Irama). sebagai catatan, manusia berkepribadian babi hutan ini adalah orang yang sama, yang setiap tiga hari sekali bertanya apakah m-bankingku ada saldonya atau tidak. karena malas menanggapi, aku sekadar membaca pesannya. 


kemudian aku kembali fokus pada laptopku. memilah-memilih puisi yang akan diterbitkan hari ini. namun, entah kenawhy kedua mataku malah mendarat pada sebuah tulisan tentang judol & hubungannya dengan konsep Homo Ludens à la Johan Huizinga sebanyak kira-kira seribu kata. aku melahapnya dengan teknik membaca cepat. hmmm... ok juga, batinku. menarik, edukatif, & reflektif. lantas dengan lekas aku membuka aplikasi ibis paint x & dada (dada ini nggak ada hubungannya sama dadaisme gerakan seni avant-garde Eropa pada awal abad ke dua puluh) demi membuatkan ilustrasinya. & voilà ini tulisannya: Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online (klik aja yaw).


Opinique soal Judi


“barangkali, perjudian tak sekadar soal uang atau peluang. mungkin soal sensasi dari sebuah risiko. kenikmatan hormonal. deru adrenalin yang lezat—di balik tarik-menarik—antara buai kenyamanan & beban tantangan. mesti digarisbawahi bahwa judi menawarkan seduksi yang aneh. memungkinkan seseorang—rela mempertaruhkan kestabilan-posisinya—demi kestabilan lain yang lebih ideal. meskipun besar kemungkinan ia tahu—alih-alih mantap jackpot kamerad—berjudi bakal bikin rungkad. entahlah... terkadang, aku malah curiga kalau bermain judi hanya semacam all in (kemenyerahan dalam bentuk lain) di atas pertaruhan yang tak bisa dipilih sama sekali; hidup, dilahirkan.”


—Genrifinaldy, 23, pengamat slot (bukan pemain)


ya, sedikit banyak aku sepakat dengan Huizinga & konsep Homo Ludens-nya. dalam dua esaiku yang telah terbit di Kumparan (judulnya, “Homo Homini Hadeuh” & “Yang Enak dari Menjadi Anak-anak”) pun aku menyinggung sedikit soal manusia sebagai makhluk yang senang bermain & mengafirmasinya. mungkin memang begitu, manusia suka bermain-main (bahkan, dalam artian serius). misalnya dengan bahasa, bebunyian, warna, sampai risiko. oleh karenanya, aku hampir selalu memandang perjudian duniawi sebagai sesuatu yang natural & manusiawi... tapi kompleks. tidak hanya tentang seorang pecundang yang menunggu Zeus turunkan x lima ratus dari puncak Gunung Olympus. in other words, tidak sesederhana kepingin tajir melintir secara instan. mengapa judi itu rumit? utamanya mungkin karena ia kadung mendarah-daging aka membudaya (& mungkin telah meresap jadi “DNA”) dalam hampir setiap sendi-sendi kehidu-fun manusia. hasrat untuk berjudi, secara personal, bahkan telah hadir sebelum permainan judi menjadi sebuah budaya dalam suatu komunitas masyarakat.


sependek pengetahuanku yang cetek, beberapa sejarawan-antropolog berani mengklaim bahwa praktik yang bisa diindikasikan dengan perjudian-pertaruhan alias tindakan mengambil risiko sudah ada setidaknya semenjak periode Paleolitikum—zaman batu tua.


tapi secara umum kronologisnya kira-kira begini: dadu bersisi enam pertama ditemukan di Mesopotamia sekitar tahun tiga ribu SM (didasarkan pada permainan astragali kuno); selama milenium pertama SM, terdapat rumah perjudian di Tiongkok (di mana penduduk setempat bertaruh pada segala jenis aktivitas, termasuk ngadu binatang yang mungkin merupakan cikal bakal sabung ayam; tahun 1600-an, kasino pertama lahir di Italia; tahun 1800-an, rumah perjudian menjadi lebih umum di Eropa & menjamur di AS; pada 1850, mesin slot pertama ditemukan; pada tahun 2000, judi online menjadi industri bernilai miliaran dolar; penemuan smartphone pada medio 2000-an pun membuka akses perjudian ke dalam genggaman tangan dari tahun 2010 hingga saat ini.


dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, judi berevolusi sedemikian rupa & cara. dari, katakanlah, bertaruh bintang mana di atas sana yang akan jatuh pertama menjadi bintang mana yang akan ditembak Princess Starlight—atau, domba Garut mana yang menang dalam adu domba menjadi singa mana dalam Five Lions yang akan memberikan lebih banyak perkalian & menghasilkan cuan. secara definitif, sama saja, sama-sama meraba-raba kemungkinan. bermain probabilitas. dalam bahasa Sunda, ngala sugan. 


masalahnya, seperti yang dikatakan Puzairi dalam esainya yang kueditori, ada semacam kestagnanan pada upaya memafhumi judi secara komprehensif; karena diskursus sosial terlampau sering menggunakan pendekatan normatif. sehingga pada akhirnya, judi cuma dipahami sebagai tindakan tolol seorang berkepribadian minus akhlaknya. bahwa berjudi artinya melawan hukum negara & berdosa secara agama. titik. pendekatan semacam ini, menurutku, tak akan pernah menjawab persoalan fundamental, misalnya, mengapa orang nyandu berjudi. perjudian duniawi bukan soal bermoral atau amoral. perlu dipertegas lagi, judi merupakan produk budaya (atau boleh jadi anak dari kegabutan-kebosanan menyebalkan yang melahirkan keinginan untuk mencari tantangan). kita mesti memandang judi lebih “psikologis” ketimbang “agamis”, atau lebih “antropologis” ketimbang “moralis”. melampaui good & evil, saint & sinner. anjir, bau Nietzsche.


Pascal's Wager


lagi pula, the truth is... mereka yang menghukumi-mencap buruk para penjudi (khususon ila ruhi kaum si paling religius) juga berjudi. mungkin mereka lupa, bahwa mereka juga mempertaruhkan-menjudikan sesuatu. setidaknya, dalam konteks Pascal's Wager (Taruhan Pascal)—istilah yang difafifukan Blaise Pascal dalam bukunya Pensées (1669): bahwa jika keberadaan tuhan tak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa tuhan itu ada, toh tidak ada ruginya, bahkan meningkatkan potensi masuk surga. kalau tuhan ada & kita tak percaya eksistensinya, maka pasti masuk neraka.


tidak rugi bagaimana? ya rugilah. ngabisin waktu. gambling anying. selain itu, pertanyaanku sederhana, tuhan yang mana? surga yang mana? neraka yang mana? agama yang mana? bayangkan... dari sekitar delapan belas ribu tuhan mereka bertaruh pada satu tuhan saja. itu kalau mereka monoteis, kalau politeis ya lebih dari satu. tapi kalaupun mereka bertaruh pada tiga, lima, tujuh, atau sembilan tuhan pun jumlah tersebut tetap tidak ada apa-apanya dibandingkan delapan belas ribu. persentasenya kecil. kemungkinan benar-tepatnya, secara matematis, bisa dibilang mungil. emg bole seberjudi itu?


yang lebih gila, mereka tak sekadar mempertaruhkan harta... tapi hampir semuanya, termasuk juga lifestyle (yang tak ternilai harganya) & kebebasan dari hidup yang sementara. mereka yang sering memandang hina para penjudi, nyatanya, bertaruh pada samawi. maka, Pascal's Wager, kupikir... lebih judi dari membeli scatter yang berisi lima belas kali putaran & berharap semoga minimal lima kali petir Zeus menyambar-nyambar mengenai pecahan yang didapatkan.


Epilog


sesekali aku berpikir, menjalani hidup tidak jauh-jauh dari rasa percaya & pertaruhan. antara ketidakpastian yang niscaya & kefetishan pada yang pasti-pasti saja. tapi apa yang pasti? mati, yang konon pasti saja, tidak kita ketahui kapan datangnya. mungkin apa yang dibacotkan Aldous... pun juga Bukowski dalam bukunya, Notes of a Dirty Old Man (2001), benar adanya: jika kau tak berjudi, kau tidak akan pernah menang.


sebuah totalitas. kalah ya kalah sekalian. menang ya menang sekalian. namun, hanya karena aku mengutip kutipan tersebut bukan berarti aku berhasrat menjustifikasi perjudian duniawi (khususnya, judol). mm aja, sih. maneh-maneh. eh, masing-masing. nyelot atau tidak itu terserahmu. intinya satu, gak ganggu ternak warga.


yang jelas, aku hanya memberikan perspektif lain: barangkali kita semua penjudi tapi beda taruhannya saja. ada yang iman, harta, waktu, & sebagainya.


bertaruh pada api

kuharap takkan mati

tapi sial, ini padam & tak terang


percuma

oh-oh

percuma

oh-oh, oh-oh

...


—Dongker - Bertaruh Pada Api (2022)


kalau kata de Beauvoir sih jangan bertaruh pada api. jangan pula bertaruh pada masa depan. mending bertindaklah hari ini. sangat carpe diem. dah ah, shadaqallahul adzhim.

Sunday 3 September 2023

Mengapa 'Jatuh' Berpasangan dengan 'Cinta'?

namanya Gerry. ia doppelgänger Theodore Twombly. sewaktu masih bocah, tepatnya saat pertama kali belajar bahasa, ia mengalami semacam keheranan-kebingungan yang luar biasa. mengapa 'jatuh' berpasangan dengan 'cinta'? mengapa 'love' disatukan dengan 'falling'? mengapa tidak 'rising'? mengapa bahasa Indonesia & bahasa Inggris seakan-akan menaruh ide fatalisme halus dalam perbucinan duniawi? keheranan-kebingungan ini, mengendap & bertahan pada lubuk penasarannya. barangkali dalam alam bawah sadarnya.

bocah kecil yang tolol itu, pun tumbuh, & tentu saja... beberapa kali menjalani hubungan cinta. sebagian besar cinta monyet, sebagian lain mungkin cinta sungguhan, & sisanya hanyalah pemikiran bahwa cinta mungkin memanglah monyet paling monyet. dengan kata lain, ia pernah merasakan naifnya puppy love & membagongkannya loving seorang anak anjing pantek pukimak jancok.

kabar baiknya, keheranan-kebingungannya, bisa dibilang sedikit menemukan semacam... katakanlah, titik terang, setelah setengah mampus mencoba memahami fafifuwaswewos Alan Watts dalam film Her (2013) yang disutradarai Spike Jonze. begini kira-kira ngang-ngeng-ngongnya:

“well now really when we go back into falling in love. & say, it’s crazy. falling. you see? we don’t say “rising into love”. there is in it the idea of the fall. & it goes back, as a matter of fact, to extremely fundamental things. that there is always a curious tie at some point between the fall & the creation. taking this ghastly risk is the condition of there being life. you see, for all life is an act of faith & act of gamble. the moment you take a step, you do so on an act of faith because you don’t really know that the floor’s not going to give under your feet. the moment you take a journey, what an act of faith. the moment that you enter into any kind of human undertaking in relationship, what an act of faith. see, you’ve given yourself up. but this is the most powerful thing that can be done. surrender. see. & love is an act of surrender to another person. total abandonment. i give myself to you. take me. do anything you like with me. see. so, that’s quite mad because you see, it’s letting things get out of control. all sensible people keep things in control. watch it, watch it, watch it. security? vigilance? watch it. police? watch it. guards? watch it. who’s going to watch the guards? so, actually, therefore, the course of wisdom, what is really sensible, is to let go, is to commit oneself, to give oneself up & that’s quite mad. so we come to the strange conclusion that in madness lies sanity.”

hal pertama yang ia lakukan setelah mengunyah-mencerna khotbah thought-provoking itu adalah melamun. tertegun. ia seperti dihantam double-decker bus yang menubruknya secara beruntun. ya, ia sepakat bahwa selalu ada ikatan absurd antara kejatuhan & penciptaan. tak berselang lama, pikirannya mengembara menuju ke lukisan da Vinci abad 15-an tentang arketipe burung besi yang menginspirasi Wright bersaudara, dua manusia pencipta pesawat terbang pertama yang berhasil mengudara. ia kemudian teringat, bahwa hanya ada 6 manusia saja yang mencapai titik terdalam di bumi, tetapi ada 2 kali lipat manusia yang telah menggapai bulan. ingatannya kembali bekerja, kini, ia teringat sebuah mitos Yunani kuno yang dikarang Ovid, penyair Romawi, dalam bukunya Metamorphoses: tentang Daedalus & Icarus.

ia mencoba menyambung pola, mulai berasumsi, bahwa selama berabad-abad... manusia terobsesi dengan langit & dunia aviasi serta kemampuan untuk terbang (yang tentu saja, secara logis, punya potensi kejatuhan). ia meraba kemungkinan, jangan-jangan, kejatuhan itulah yang membikin Icarus secara ajaib jadi “puisi”. jadi monumental. jadi kolosal. ia memisalkan matahari yang membakar sayap-sayap Icarus buatan Daedalus itu sebagai cinta, sedang Laut Aegea tak lebih dari air mata yang merupakan harganya. & bahwa hasrat untuk terbang (mencinta), meskipun dengan sayap alakadarnya, barangkali terdapat dalam setiap manusia.

ia sepakat, bahwa hampir setiap jenis kehidupan, adalah kombinasi dari kepercayaan & perjudian. bahwa cinta merupakan tindakan yang berafiliasi dengan kemenyerahan: love is an act of surrender to another person. bahwa yang benar-benar masuk akal adalah melepaskan, berkomitmen, menyerahkan diri pada seseorang. ia sampai pada kesimpulan yang aneh bahwa di balik kegilaan terdapat kewarasan-kemasukakalan. ia mendadak seperti kerasukan Bukowski yang sedang merokok cerutu sembari meminum bir: o anak muda, cinta adalah anjing dari neraka. meskipun demikian, sayangku, temukan apa yang kau cintai & biarkan hal itu membunuhmu. biarkan itu menguras segalanya darimu. biarkan ia menempel di punggungmu & membebanimu hingga akhirnya menjadi kehampaan. biarkan ia membunuhmu & biarkan ia melahap sisa tubuhmu. karena segala sesuatu lambat laun akan membunuhmu. namun jauh lebih baik dibunuh oleh kekasih, orang yang kau cinta.

ia mendapat laduni. bahwa cinta, seperti kesintingan yang paling bisa diterima oleh society, bahkan diglorifikasi sedemikian rupa & cara. sebentuk bunuh diri yang puitis & “heavenly”. ia memandang, kejatuhan Icarus itu lebih jauh & lebih abstrak (sebenarnya lebih tidak jelas). secara psikologis, bukan biologis. bukan secara literal, tetapi filosofis. 

tapi tiba-tiba seperti biasa ia merasa insignifikan & mulai berpikir bahwa cinta baginya ibarat api yang gagal ia domestikasi. ia pernah dibakar api cinta hidup-hidup, sampai numb, mati rasa. kematian-kiamat yang karib baginya. lantas ia teringat 5 stages of grief: denial, anger, bargaining, depression, acceptance. & mulai meramu 5 stages of love menurutnya: sacrifice, selfless, suffering, sufffering, suffering, hopeless romantic.

tapi yang ia ingin mungkin cuma lupa, hanya lupa, ia kadung percaya, cuma lupa, hanya lupa, tempat paling aman dari serangan luka. entahlah, mungkin ia terlalu banyak menonton film dengan akhir yang tidak bahagia. yang bukan berakhir dengan tawa-gembira, tetapi lubang besar di dada sebelah kiri atau di kepala bagian dahi.

ia merasa, sebuah 'hai' atau 'hello' bisa menyebabkan tiga tahun terapi. maka ia merasa lebih baik bernyanyi: hello darkness my old friend... i've come to talk with you again... because a vision softly creeping... left its seeds while i was sleeping... & the vision that was planted in my brain... still remains... within the sound of silence.

atau minimal memutar Joy Division: when routine bites hard & ambitions are low... & resentment rides high but emotions won't grow... & we're changing our ways, taking different roads... then love, love will tear us apart again... love, love will tear us apart again.

atau maksimal memutar-mutar Morrissey dengan volume tertinggi: pasolini is me... 'accattone' you'll be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me... yes i walk around somehow... but you have killed me... you have killed me... piazza cavour, what's my life for? visconti is me... magnani you'll never be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me.

tapi, kemudian ia kembali dilanda dilema. ia teringat Hawking & mulai sok-sokan positive thinking bahwa cinta besar kemungkinan bentuk lain dari harapan. sesuatu yang membikin suatu organisme kompleks macam manusia (yang sangat butuh reason) punya the will to survive. cahaya yang jadi bahan dasar setiap alasan untuk tetap “melanjutkan”.

pada akhirnya, ketika kemumetan-keruwetan menghampirinya, ia malah teringat petuah kawannya yang filsuf nyambi tukang sedot wc. begini bacotnya dengan enteng: lepaskanlah... biarkanlah.... semestaik bekerja di bawah septic tank.

cinta adalah caduk angsa, begitulah ia pernah berkata. o akuuuu bukanlah übermensch, akuuuuu juga bisa nangissss... jika kekasih hatikuuuu... pergi meninggalkan akuuuuuu...

Wednesday 30 August 2023

Cerpen: Reinkarnasi Kesekian

Ah shit, here we go again...

***

Namaku Arpeggi. Dan, beginilah kehidupanku sekarang. Mengada sebagai ikan Angler dengan ingatan dan kesadaran layaknya manusia. Barangkali inilah yang disebut reinkarnasi. Untuk yang kesekian. Dilahirkan kembali. Betapa aduh sekali. Seingatku, dulu, aku pernah hidup sebagai fungi di atas tinja sapi, sebagai kapibara yang dimukbang koloni piranha, sebagai bunga daisy, sebagai pohon kamboja yang tertimpa keranda, sebagai perempuan kelas menengah pada abad pertengahan, sebagai prajurit berpangkat rendah yang dibunuh granat tangan.

Kini, aku sejenis ikan paling buruk rupa yang hidup di zona abisal. Aku lupa siapa ilmuwan kelautan yang dengan sompral memberi predikat demikian. Tapi tak apa. Lagi pula, di sini, tak ada yang peduli pada jelek atau rupawan. Yang terpenting bisa tetap makan dan bertahan dari kepunahan. Di laut dalam, tak ada beda antara pagi dan malam. Semua sama. Pagi gelap, malam gulita. Tak ada sinar mentari yang sanggup menembus seribu meter di bawah permukaan laut. Bagi makhluk abisal, satu-satunya cahaya hanyalah bioluminesensi. Emisi cahaya buatan yang dimungkinkan oleh reaksi-reaksi kimia. Suatu fitur alam, dengan kegunaan yang beragam. Entah untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi. Demi kebutuhan predasi seperti ikan angel dan hiu-hiu tertentu. Atau sebagai sinyal kawin seperti odontosyllis enopla alias cacing bermuda. 

Sebagai yang pernah manusia, kurasa, spesies menyedihkan itu pun melakukan hal yang serupa. Atau minimal mirip-mirip. Mencipta cahaya buatan dari reaksi-reaksi semantik agar dapat punya alasan untuk bertahan. Menurutku, mereka mengembangkan makna dan harapan di dunia nirmakna serta nirharapan. Beberapa dari mereka menyebutnya negara, beberapa yang lain masyarakat, dan sebagian besar menyebutnya tuhan. Kupikir, begitulah evolusi bekerja. Selalu spesies yang mengalah pada keadaan dan lingkungan. Bukan sebaliknya. Apalah arti kehendak di hadapan kenyataan. Itulah yang kupelajari saat masih hidup sebagai makhluk yang katanya paling sempurna. 

Selain gelita, di sini, sangatlah dingin. Suhunya hanya dua derajat celsius. Selain dingin, juga penuh tekanan. Tekanan hidrostatis, tepatnya. Sependek pemahamanku, di bawah tekanan, semua yang bernyawa dipaksa beradaptasi. Berevolusi sedemikian rupa dan cara. Sesekali, naikilah kapal selam, kunjungilah laut dalam, niscaya kau tahu, setiap spesies akan mampus bila tidak melakukan hal demikian. Sependek pengetahuanku, tekanan hidrostastis ini akan meningkat sekitar satu ATM untuk setiap sepuluh meter kedalaman air. Jika kau punya jam tangan dengan keterangan tiga ATM, itu berarti ia hanya tahan dibawa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter. 

Bagi hewan-hewan selain manusia, tekanan, biasanya mengubah morfologis mereka. Bagi manusia, tekanan, mengubah seluruh aspek dalam dirinya. Menjadi suatu spesies yang berbeda dan benar-benar baru. Misalnya mengganti sapaan menjadi he/they atau she/they, membotaki atau membondoli rambutnya, hingga mewarnainya dengan warna-warna terang. Semacam mekanisme pertahanan diri. Mungkin juga mekanisme koping. Tapi, yang jelas, alam mengajarkan bahwa hewan berwarna mencolok menandai ketoksikan. Bahasa ribetnya, aposematisme. Sederhananya, agar hewan lain, khususnya predator, tak berani macam-macam. 

Biologi tak pernah gagal membuatku terkesan.

***

Aku belajar cukup banyak dari kehidupanku sebelumnya. Waktu itu, aku budak korporat perlente. Bekerja dari pukul sembilan pagi sampai lima sore. Lima kali dalam satu minggu. Begitu, secara redundan. Sebagai seorang komuter, waktuku habis dengan menontoni punggung orang-orang asing berwajah kusut masai yang tak akan pernah kutahu apa cita-cita mereka, siapa nama mereka, atau bagaimana hari mereka. Di jalan raya, di kursi tunggu peron, di dalam gerbong kereta. 

Alih-alih spektator, sebenarnya, aku lebih mau jadi aktor. Tak heran, bila pada gilirannya, aku dilanda kebosanan luar biasa kala mengamati para NPC. Aku cuma pekerja teks komersial. Bukan etnograf. Mereka bukan subjek penelitianku. Dan, aku tak pernah berhasrat membuat jurnal akademik dengan bahasa rigid tentang bagaimana kelas pekerja di wilayah perkotaan saling mengimroatuskan diri. 

Kalau boleh jujur, jenis kehidupanku yang sebelumnya itu, ketimbang kehidupan, lebih terdengar seperti kutukan paling menyedihkan yang bisa dicetuskan dewa-dewi di gunung Olimpus. Tak ada kebahagiaan imajinatif dari kerepetitifan yang menjemukan. Aku bahkan merasa, tubuhku bukan lagi tubuhku, diriku bukan lagi diriku. Aku bagai kapal theseus yang setiap kerangkanya telah diganti dan diperbaharui sepanjang waktu.

Tapi yang paling banter kulakukan saat itu hanyalah memenuhi kedua telingaku dengan lagu Tentu Saja Aku Sengsara Sekarang - Para Pandai Besi dan Tak Ada Kejutan - Kepala Radio. Dan, merobotkan diri. Memekaniskan hari-hari. Aku berevolusi menjadi robot tak berperasaan yang bisa menyelesaikan soal CAPTCHA. Alias jadi stoak-stoik urban. Suatu pagi, kuceritakan apa yang kurasakan pada ayahku. Ia bilang jadilah setegar akar. Masalahnya akarku serabut, bukan tunggang. Maka ketika badai menghantamku, yang kulakukan hanyalah cabut dengan lari tunggang-langgang. 

Barangkali, lelah akan kegagalan bertubi-tubi membikinku menjadi sosok yang mudah menyerah. Lelah adalah lelah. Menyerah tetaplah menyerah. Maka, pada suatu minggu malam, kujadwalkan untuk mengakhiri hidupku. Tiga hari sebelum bunuh diri, kukuras tabunganku yang tak seberapa. Kualihfungsikan jadi dana kenakalan. Mencari kepuasan instan. Melampiaskan kehampaan. Mengunjungi sebuah kasino. Bermain domino, qiu-qiu. Menenggak Kolonel Morgan. Dan, menyewa PSK. Setelahnya, aku melompat dengan posisi kepala terlebih dahulu dari apartemenku yang berada di lantai tiga belas.

Sebelum melompat, aku sempat menulis surat wasiat. Dalam testamenku itu, kutekskan bahwa aku ingin pulang. Sebenar-benarnya pulang. 

***

Semesta yang mahabercanda, sialnya, menerjemahkan kalimat itu dengan melahirkanku kembali sebagai ikan laut dalam. Ayolah, aku pun tahu kalau laut adalah tempat berpulang yang paling purwa. Tapi itu bukan berarti aku ingin pulang ke sana dan dilahirkan sebagai ikan Angler. Aku ingin pulang pada ketiadaan. 

Aku mengerti, nenek moyang manusia mungkin adalah ikan atau makhluk laut mikroskopis yang hidup sekitar lima ratus empat puluh juta tahun yang lalu. Dan, kehidupan itu sendiri muncul dari lautan. Yang luasnya mencapai seratus empat puluh juta mil persegi, atau sekitar tujuh puluh dua persen dari luas permukaan bumi. Aku sadar, iklim dan cuaca, bahkan kualitas udara yang dihirup manusia, begitu bergantung pada interaksi antara laut dan atmosfer, yang masih belum sepenuhnya dipahami. Aku tahu, lautan tidak hanya menjadi sumber makanan utama bagi kehidupan yang dihasilkannya, tetapi sejak catatan sejarah paling awal, laut telah memungkinkan perdagangan dan perniagaan, petualangan dan penemuan. Aku mafhum, ketika benua-benua telah dipetakan dan setiap penjuru hampir dapat diakses melalui jalur darat atau udara, sebagian besar penduduk dunia tinggal tidak lebih dari dua ratus mil dari laut dan mempunyai hubungan personal dengannya.

Tapi aku benci laut. Sewaktu masih manusia,  aku bahkan tak bisa berenang dan mengidap talasofobia. Maka, salah satu penyesalan dalam kehidupanku sebelumnya, tentu saja adalah tak menulis surat wasiat dengan benar. Penyesalanku yang paling mungkin kedua adalah tak kuliah fisika nuklir. Mempelajari inti atom dan perubahannya. Memahami bagaimana menciptakan senjata pemusnah massal. Demi mempercepat berlangsungnya hari kiamat. Kau mesti tahu, pikiranku memanglah penjahat paling bangsat yang berkeliaran bebas, yang sepertinya lebih baik dipenjara di Ilcitriz.

Mungkin aku hanya membutuhkan seseorang yang mendekapku dengan erat, hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Entahlah, aku hanya Arpeggi. Ikan laut dalam yang jelek dan jangan-jangan jadi aneh karena tak punya kawan untuk bercerita. Maaf, kalau ceritaku berantakan. Aku bahkan tak tahu akan memulai dan mengakhiri cerita ini dengan seperti apa.

Saturday 26 August 2023

Cerpen: Bagaimana Lukisan Menangis?


“Maaf,” Anna dengan sangsi mencoba memulai percakapan, “Mengapa kau melukis kesedihan? Bukankah seni seharusnya membawa kebahagiaan?”

Raymond terdiam, tetapi kedua matanya masih tidak lepas dari kanvas dan kuas.

“Ah, anak muda... lupakan soal 'seharusnya', kau telah menyentuh kebenaran yang asing,” ia pun membuka mulut, suaranya, seperti sinar matahari pagi yang lemah lembut berusaha menembus tebalnya kabut.

“Seni dan kebahagiaan memang punya hubungan yang baik. Tapi seni dan kesedihan... memiliki hubungan yang lebih menarik dan mesra... tapi kompleks,” tambahnya.

Ia menunjuk. Studionya remang. Tak mengherankan. Setiap inci ruangan itu hanya disinari lampu halogen berwarna kuning berdaya kira-kira lima watt. Jari telunjuknya mengarah pada lukisan dengan skema warna suram. Yang membikin nuansa seakan tambah temaram. Selain tampak kelam, studio itu berantakan. Seperti kapal seniman payah yang pecah. Tumpahan cat di mana-mana. Kuas-kuas yang tidak pada tempatnya. Kanvas-kanvas dengan lukisan yang belum selesai. Seseorang yang belum mengenal Raymond pastilah menyangka ia mengidap ADHD, hanya dengan melihat bagaimana kacau studionya.

Tak berselang lama, Raymond pun bangkit dari kursi kayunya. Berjalan menuju lukisan yang ia tunjuk, Anna mengekorinya. Anna memerhatikan lukisan tersebut dengan seluruh keseriusan dan ketelitian yang ia punya. Lukisan itu berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter. Berjudul “off-limits apocalypse ejaculations”, dengan deskripsi cat akrilik di atas kanvas. Dan, bertitimangsa dua ribu sembilan belas. Selayang pandang, memvisualkan dua manusia—sedang french kiss di suatu kuburan—di atas kepala mereka ada sebuah meteor yang ukurannya cukup besar untuk menandai kepunahan massal ke enam.

“Ini,” katanya, “ini adalah tegangan antara keindahan dan kengerian. Dalam produk-produk dunia penciptaan... lukisan, tulisan, lagu, atau barangkali seni performans... sedih adalah salah satu bahan dasarnya.”

“Hah, bagaimana bisa?” tanya Anna yang keheranan.

“Tanpanya, tak ada citra-citra perjuangan. Menentang keadaan, melawan kesementaraan. Perjuangan tak akan heroik tanpa bumbu kesedihan. Sedih itu serupa garam. Yang membuat sesuatu jadi gurih. Masalahnya, bila terlalu banyak... akan menyebabkan dehidrasi. Rasa kekeringan,” kata Raymond dengan santai.

“Ok, Pak Tua, tapi aku sedang tidak belajar tata boga. Apa hubungannya dengan lukisan ini?” tanya Anna semakin heran.

“Bukankah indah sekaligus ngeri rasanya melihat sepasang manusia sedang ugal-ugalan berciuman semasih kiamat dalam sekejap akan dengan mudah membumihanguskan mereka? French kiss di bandara, di bioskop, atau di kamar hotel... itu sangatlah biasa, tetapi french kiss di kuburan barulah luarbiasa. Kita mungkin sepakat, french kiss itu indah, tetapi french kiss pada hari kiamat lebih indah berkali-kali lipat. Seperti api yang menolak padam.”

Anna, kembali bertanya seperti seorang bocah kadung penasaran yang bercita-cita menjadi penginterviu tokoh-tokoh ambigu, “Aku dapat poinnya. Tapi bukankah menyakitkan untuk melukis pemandangan yang menyedihkan seperti itu?”

Raymond menyungging senyum.

“Ya, memang menyakitkan. Namun, hanya dengan melukis hal menyedihkan itulah kita dapat menerima sedih. Yang pada akhirnya, kita bisa benar-benar menghargai kata 'bahagia'. Hanya dengan seperti itulah seni bisa membawa kebahagiaan. Sedih mesti diterima, lebih-lebih dicintai apa adanya. Aku tak mau semakin meromantisasi tapi saat melukis kesedihan, aku teringat akan betapa rapuhnya keindahan. Betapa ia mudah patah. Entah dipatahkan orang lain, ataukah dipatahkan diri kita sendiri,” jawab Raymond sembari menunduk.

“Apalagi yang kau dapat dari melukis kesedihan?”

Tangan kanan Raymond meraih sebotol merlot. Sedang tangan kirinya menggapai gelas sloki.

“Kau mau minum?”

“Ketimbang merlot, sebenarnya aku lebih menyukai shiraz. Tapi tak apa... aku sedang ingin menghangatkan tubuhku. Beberapa gelas merlot mungkin ide bagus buatku.”

Mereka pun menenggak beberapa gelas merlot. Sembari berdiri.

Dengan sedikit tipsy, Raymond melanjutkan, “Yang kudapat dari melukis kesedihan... sensitivitasku meningkat pesat. Aku merasakan relativitas waktu. Betapa waktu bisa berjalan lambat atau berjalan cepat. Kau tahu, seni juga butuh kepekaan-kepekaan tertentu.”

“Kepekaan seperti apa?”

“Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, kepekaan akan betapa rapuhnya keindahan. Percayalah, anak muda... kesementaraan itulah yang membuat segalanya indah. Jika saat ini aku sedih, maka aku gembira... karena tahu kebahagiaan akan datang setelahnya. Aku menangkap air mata yang tak sekadar menyedihkan tapi juga menenangkan. Dan, sebagaimana cinta butuh bahaya-bahaya, keindahan membutuhkan kengerian.”

“Menarik... memang apa jadinya jika cinta tanpa bahaya, dan keindahan tanpa kengerian?”

“Tanpa bahaya dan kengerian, tak ada cinta dan keindahan yang agung. Yang luhur. Atau adiluhung.”

“Apakah itu artinya seni yang magnum opus itu secara paradoks lebih dekat dengan kesedihan ketimbang kebahagiaan?”

“Ini bukan soal jarak. Jauh atau dekat. Bukan pula soal massa. Ringan atau berat. Begini, Anna, seni, bagiku, adalah soal menerima semua warna yang ada pada buku pantone. Bukan pula soal apakah kita akan melukis dengan cat akrilik, cat minyak, atau cat air. Itu perkara teknis. Ada yang lebih penting dan mendasar dari itu.”

“Apa yang lebih penting dan mendasar dari itu?”

“Hahaha... Hiduplah lebih lama... kau akan tahu... sebagaimana kuning dan merah, biru adalah warna primer dalam hidup kita. Sebagaimana bahagia dan marah, sedih adalah yang berlalu lalang dalam hidup kita. Tapi kebiruan-kebiruan itu, boleh jadi, merupakan yang paling purba dari diri kita. Penanda paling pertama dari kelahiran. Pengiring paling pertama dari kematian. Aku benci mengatakan ini, tetapi kurasa, tak ada yang lebih manusia dari air mata. Barangkali itulah mengapa aku sering kali melukis kesedihan. Ya... dengan melukis kesedihan aku merasa menjadi manusia. Anna, kita adalah manusia, makhluk yang punya rasa. Tak sekadar taste of art. Lebih luas dan dalam dari selera estetika belaka. Tapi kau mesti memahami bahwa penulis sebenarnya melukis dengan tulisan dan pelukis menulis lukisan yang tak terbahasakan. Keduanya sama-sama bisa menyingkap misteri-misteri. Tapi aku hampir selalu percaya bahwa pelukis satu tingkat lebih tinggi dari penulis soal bagaimana menggambarkan sesuatu dalam diri kita. Dan, melalui seni, kupikir, kita dapat melihat tarian yang rumit di antara kondisi-kondisi emosional kita.”

Raymond berjalan menuju sudut studionya yang lain. Yang dihiasi sarang laba-laba. Anna kembali mengekorinya. Pria lanjut usia itu kemudian memutar piringan tua yang nampak telah berdebu. Ia mengalukan Cemptino d'un Autre été dari Yinn Taorson. Seratus detik berlalu. Masing-masing dari mereka mematung. Menikmati alunan piano dengan tempo allegretto yang tak secepat allegro itu.

“Mau berdansa?” tiba-tiba Anna mengajak Raymond berdansa.

“Boleh.”

Dan, mereka pun berdansa... seperti sepasang sinting tanpa pisau cukur di tangannya.

Saturday 19 August 2023

Cerpen: Dua Pendaki


“Apa yang sedang kau lamunkan?” tanya Noura tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya. Pantatnya memantapkan posisi duduknya. Lalu ia membetulkan kacamatanya yang sempat longsor. Dan kemudian berselonjor.

“Aku memisalkan dunia ini sebagai pasar malam,” jawab Emil sembari meletakkan kepalanya di pundak kiri Noura. Lantas dengan lekas memejamkan matanya.

Di atas sana, lunar memancari mereka berdua. Hewan-hewan nokturnal saling bersahutan. Membikin semacam melodi malam. Dalam kondisi seperti ini, konon, kejujuran dan keseriusan lebih mudah untuk dilahirkan. Deep talk pun biasanya tak sulit untuk dihadirkan. Di bawah sana, di arah Utara tepatnya, kerlap-kerlip lampu kota nampak jelas ternetra dari dataran setinggi kira-kira seribu tiga ratus MDPL itu. Dan warna langit seperti ingin mengabarkan sedang pukul satu.

“Maksudmu?” ia kembali menukil tanya. Seraya memasang wajahnya dengan segunung keheranan.

“Maksudku, ayolah... Apa beda planet biru ini dengan pasar malam? Di sini, bahkan, terdapat banyak wahana-wahana yang cenderung nauseatik. Ada kora-kora, komedi putar, bianglala, tong setan, dan sebagainya,” jawab Emil setelah mengangkat kepalanya dari pundak kiri Noura. 

“Sejujurnya, aku ingin mencoba memahamimu. Menalar pola pikirmu... Dan kurasa, omonganmu masuk akal. Ada benarnya. Tapi... omong-omong, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” kini Noura bertanya sambil menatap tajam mata Emil.

“Pada dasarnya, aku memang gampang mabuk. Aku bisa muntah hanya karena menaiki persegi panjang beroda lebih dari dua. Apalagi bila di dalamnya terdapat pengharum beraroma jeruk. Aku bukan nyamuk, dan bahkan benci nyamuk, tapi kami sama-sama punya konvensi untuk membenci bau jeruk. Termasuk parfum yang harum jeruk bergamot. Tak diragukan lagi, menurutku, salah satu bebauan terburuk!” ia kemudian mengambil segelas susu jahe di sebelah kanannya. Dan menyesapnya. Kedua kakinya pun turut berselenjor.

“Jawabanmu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Tapi tak apa. Setidaknya aku jadi tahu salah satu alasan mengapa lehermu selalu wangi parfum black opium. Ya, yang hint-nya tercium serupa kombinasi kopi, vanila bourbon, dan bunga melati,” Noura mencoba mengikuti topik pembicaraan.

“Ok ahli minyak wangi. Mulai sekarang kau kunamai Noura Eau de Parfum, ya?” bahasa tubuh dan intonasi bicara Emil seperti seseorang yang sedang satir.

“Haha... usaha yang bagus untuk meledekku. Tapi tolong, aku mohon, jangan mengalihkan perhatianku. Aku masih penasaran sebenarnya. Aku tanya sekali lagi, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” Noura tertawa kecil kemudian memasang wajah serius. Memicingkan tanyanya, lagi.

“Sebentar, aku mau membakar dupa dulu,” Emil meraih keril berukuran enam puluh lima liter berlogo burung osprey di dalam tenda double layer berkapasitas dua orang itu. Lengan kirinya, kini, memegang tiga buah dupa stik. Lengan kanannya memantik api.

Ia kemudian menacapkan tiga buah dupa di tanah. Di depan matras alumunium foil yang mereka duduki. Voilà, asap mengepul dan aromaterapi memenuhi lubang hidung mereka. Penanda dupa tersebut sukses menyala.

“Menurutmu, kira-kira, adakah orang waras yang menyalakan dupa sewaktu dini hari ketika sedang berkemah di antah berantah bersama teman perempuannya? Kau mau pesugihan apa bagaimana?” tak mau kalah, Noura membalas meledek Emil.

“Terserah kau mau menganggapku gila atau bagaimana. Aku terbiasa membakar dupa dan tidak sedang memulai ritual pesugihan. Lagipula pesugihan tak nyata,” kata Emil sambil sibuk menyalakan kembali beberapa dupa yang padam.

“Aku menganggapmu sebagai temanku yang membingungkan. Yang aneh... absurd. Tapi sumpah, pesugihan itu benaran ada. Riil. Kau tak percaya, kah?”

“Kata ayahku, jika pesugihan nyata, tentu saja para ekonom tak akan menggaruk kepalanya sewaktu memikirkan penyebab utama melemahnya nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Dan seseorang yang membikin teori bahwa inflasi sebuah negara dipengaruhi pesugihan itu akan diganjar Hadiah Nobel Ekonomi. IMF dan Bank Dunia pun tak akan segan-segan mengundangnya, memberinya mimbar, untuk mengisi sebuah seminar finansial pada forum pertemuan global.”

“Hahahaha... anjing!!!!” Noura tak bisa menahan tawa dan mengontrol kata-katanya.

“Kita sedang di alam. Jangan sompral,” kata Emil dengan sesimpul senyum. 

“Maaf aku lupa kita sedang berkemah. Eh, aku baru ingat... hmmm... kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau merasa mual dengan kehidupan?”

Emil membuka kotak makanan yang sejak tadi ia anggurkan. Isinya adalah seratus gram tembakau, sebuah alat pelinting, lima puluh butir filter rokok, dua ratus kertas papir, dan tiga buah lem kertas. Tanpa berkata sepatah kata pun, Noura memerhatikan bagaimana Emil melinting sebuah rokok. Hanya butuh tiga puluh detik baginya untuk melakukannya. Setelah jadi, Noura refleks memberikan korek api kepadanya. Emil membakar dan mengisap rokoknya. Sedang asapnya diembuskan melalui dua buah lubang hidungnya.

“Kalau boleh jujur, aku malas menjawabnya. Pertanyaan itu terlalu personal dan sentimental. Tapi sekarang aku sedang ingin menjawabnya. Begini, enam bulan lalu ayahku masih bangun pagi untuk bekerja di pasar saham. Ia manajer perusahaan broker. Kini, dirinya tidur abadi di dalam peti mati. Ia bunuh diri karena kena PHK. Ia depresi. Praktis, ekonomi keluargaku kolaps. Warisan satu-satunya cuma pasar malam. Aku benci menjadi pengusaha. Tapi aku akan meneruskan bisnis ayahku yang tersisa,” ia mematikkan rokoknya. Pundaknya seperti gedung pencakar langit yang menunggu kehilangan rangka beton di setiap lantainya. Nyaris runtuh, rubuh. 

“Ya Tuhan, aku turut berduka cita atas apa yang telah menimpamu. Aku meminta maaf jika pertanyaanku malah membuatmu merasa tidak enak. Pertanyaanku seperti mengorek luka yang masih menganga. Sekali lagi, aku minta maaf,” kedua tangan Noura menepuk-nepuk pundak Emil. Tak berselang lama, ia pun memeluknya.

“Ya, tak apa. Tak apa-apa...” Emil membisik pelan ke telinga Noura. 

“Aku akan mendengarkanmu jika kau masih ingin bercerita,” Noura memeluk Emil dengan lebih erat.

“Terima kasih sudah memasang telinga...” ia kembali membisik.

“Aku di sini,” Noura melepas pelukan. Emil kembali mengambil rokoknya. Dan membakarnya. Lagi.

“Sejak kecil, aku terbiasa hidup dimanja. Aku lelah memutar kepala agar tidak meninggal dengan cara paling menyedihkan di zaman di mana lebih banyak orang yang tutup usia karena obesitas ketimbang malnutrisi. Ya, kelaparan... aku hanya takut jika suatu hari nanti aku ingin memakan arum manis tapi aku telanjur sakit gigi...” ucapannya terputus karena ia mengisap rokoknya, “Sesekali aku merasa seperti seorang yang alergi gravitasi tapi dipaksa menaiki kereta luncur yang mengarah ke bawah. Aku tidak mual dengan kehidupan, aku telah muntah.”

Noura menelan ludah.

“Percayalah, pada suatu hari nanti kau akan bangkit lagi. Semoga Tuhan selalu memberikanmu obat antiemetik. Ingat ini, apa yang tak membunuhmu akan membuatmu jadi jauh lebih kuat lagi,” katanya, menguatkan.

“Terima kasih atas empatimu,” Emil mengembuskan asap rokoknya ke udara seakan memberi jeda, “... tapi apa yang tak membunuhku lebih besar kemungkinannya membuatku berharap mampus dengan segera.”

“Mengapa kau begitu pesimis? Percayalah, selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap itu.”

“Aku tidak pesimis, aku realistis. Misalkan cahaya di ujung terowongan itu ada. Tetap tak ada yang bisa menjamin apakah cahaya itu merupakan jawaban bagi kegelapan ataukah kereta dengan kecepatan enam ratus tiga kilometer perjam yang akan menghantamku, mengoyak tubuhku, membunuhku, bahkan sebelum reseptor nyeri itu sempat mengirim sinyal bahaya ke otakku,” Emil menggosok hidungnya.

Noura kembali menelan ludah. Seakan tak percaya atas apa yang ia dengar.

“Meskipun dunia bagiku telah seperti pasar malam yang sedang mati lampu, tapi darinya aku banyak belajar. Misalnya bahwa manusia punya semacam kerinduan purba terhadap keseruan. Bahkan rela merogoh kocek mereka dalam-dalam untuk membayarnya. Membeli andrenalin untuk mendapatkan endorfin, sederhananya. Yang ganjil adalah wahana rumah hantu. Seseorang yang mendatangi wahana itu, tentu saja, sadar bahwa hantu-hantu di sana merupakan sesuatu yang sifatnya buatan. Mengapa ia mesti ketakutan bahkan lari tunggang langgang ketika bersitatap dengan hantu-hantu itu?” ia melanjutkan.

Noura, kini, membiarkan Emil bermonolog. Dan di atas sana, lunar masih memancari mereka berdua...