Friday 8 September 2023

Memfafiui Perjudian Duniawi

Dogs Playing Poker (1903) by Cassius Marcellus Coolidge


“hoki/keberuntungan adalah persiapan bertemu dengan kesempatan.”


—Seneca


Semacam Muqadimah


kemarin, seperti biasa, aku bangun lumayan pagi. merapikan kamar. mencuci muka. bikin sarapan. mandi. menyeduh kopi. ngudud sans. duduk di atas kursi berhadapan dengan laptop (untuk mengeditori tulisan di omsky-omsky). tapi ketika aku mengecek ponselku, tepatnya ketika kubuka panel notifikasi—(selain ada pesan yang wholesome & cumil dari sifarryla gautama)—ada watsap yang cukup buatku ngakak. begini isinya: “dua-tiga zeus main sweet bonanza, pinjem dulu seratus ada ga?”.


pesan-cum-pantun itu berasal dari kawanku (yang punya kebencian ideologis terhadap Rhoma Irama). sebagai catatan, manusia berkepribadian babi hutan ini adalah orang yang sama, yang setiap tiga hari sekali bertanya apakah m-bankingku ada saldonya atau tidak. karena malas menanggapi, aku sekadar membaca pesannya. 


kemudian aku kembali fokus pada laptopku. memilah-memilih puisi yang akan diterbitkan hari ini. namun, entah kenawhy kedua mataku malah mendarat pada sebuah tulisan tentang judol & hubungannya dengan konsep Homo Ludens à la Johan Huizinga sebanyak kira-kira seribu kata. aku melahapnya dengan teknik membaca cepat. hmmm... ok juga, batinku. menarik, edukatif, & reflektif. lantas dengan lekas aku membuka aplikasi ibis paint x & dada (dada ini nggak ada hubungannya sama dadaisme gerakan seni avant-garde Eropa pada awal abad ke dua puluh) demi membuatkan ilustrasinya. & voilà ini tulisannya: Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online (klik aja yaw).


Opinique soal Judi


“barangkali, perjudian tak sekadar soal uang atau peluang. mungkin soal sensasi dari sebuah risiko. kenikmatan hormonal. deru adrenalin yang lezat—di balik tarik-menarik—antara buai kenyamanan & beban tantangan. mesti digarisbawahi bahwa judi menawarkan seduksi yang aneh. memungkinkan seseorang—rela mempertaruhkan kestabilan-posisinya—demi kestabilan lain yang lebih ideal. meskipun besar kemungkinan ia tahu—alih-alih mantap jackpot kamerad—berjudi bakal bikin rungkad. entahlah... terkadang, aku malah curiga kalau bermain judi hanya semacam all in (kemenyerahan dalam bentuk lain) di atas pertaruhan yang tak bisa dipilih sama sekali; hidup, dilahirkan.”


—Genrifinaldy, 23, pengamat slot (bukan pemain)


ya, sedikit banyak aku sepakat dengan Huizinga & konsep Homo Ludens-nya. dalam dua esaiku yang telah terbit di Kumparan (judulnya, “Homo Homini Hadeuh” & “Yang Enak dari Menjadi Anak-anak”) pun aku menyinggung sedikit soal manusia sebagai makhluk yang senang bermain & mengafirmasinya. mungkin memang begitu, manusia suka bermain-main (bahkan, dalam artian serius). misalnya dengan bahasa, bebunyian, warna, sampai risiko. oleh karenanya, aku hampir selalu memandang perjudian duniawi sebagai sesuatu yang natural & manusiawi... tapi kompleks. tidak hanya tentang seorang pecundang yang menunggu Zeus turunkan x lima ratus dari puncak Gunung Olympus. in other words, tidak sesederhana kepingin tajir melintir secara instan. mengapa judi itu rumit? utamanya mungkin karena ia kadung mendarah-daging aka membudaya (& mungkin telah meresap jadi “DNA”) dalam hampir setiap sendi-sendi kehidu-fun manusia. hasrat untuk berjudi, secara personal, bahkan telah hadir sebelum permainan judi menjadi sebuah budaya dalam suatu komunitas masyarakat.


sependek pengetahuanku yang cetek, beberapa sejarawan-antropolog berani mengklaim bahwa praktik yang bisa diindikasikan dengan perjudian-pertaruhan alias tindakan mengambil risiko sudah ada setidaknya semenjak periode Paleolitikum—zaman batu tua.


tapi secara umum kronologisnya kira-kira begini: dadu bersisi enam pertama ditemukan di Mesopotamia sekitar tahun tiga ribu SM (didasarkan pada permainan astragali kuno); selama milenium pertama SM, terdapat rumah perjudian di Tiongkok (di mana penduduk setempat bertaruh pada segala jenis aktivitas, termasuk ngadu binatang yang mungkin merupakan cikal bakal sabung ayam; tahun 1600-an, kasino pertama lahir di Italia; tahun 1800-an, rumah perjudian menjadi lebih umum di Eropa & menjamur di AS; pada 1850, mesin slot pertama ditemukan; pada tahun 2000, judi online menjadi industri bernilai miliaran dolar; penemuan smartphone pada medio 2000-an pun membuka akses perjudian ke dalam genggaman tangan dari tahun 2010 hingga saat ini.


dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, judi berevolusi sedemikian rupa & cara. dari, katakanlah, bertaruh bintang mana di atas sana yang akan jatuh pertama menjadi bintang mana yang akan ditembak Princess Starlight—atau, domba Garut mana yang menang dalam adu domba menjadi singa mana dalam Five Lions yang akan memberikan lebih banyak perkalian & menghasilkan cuan. secara definitif, sama saja, sama-sama meraba-raba kemungkinan. bermain probabilitas. dalam bahasa Sunda, ngala sugan. 


masalahnya, seperti yang dikatakan Puzairi dalam esainya yang kueditori, ada semacam kestagnanan pada upaya memafhumi judi secara komprehensif; karena diskursus sosial terlampau sering menggunakan pendekatan normatif. sehingga pada akhirnya, judi cuma dipahami sebagai tindakan tolol seorang berkepribadian minus akhlaknya. bahwa berjudi artinya melawan hukum negara & berdosa secara agama. titik. pendekatan semacam ini, menurutku, tak akan pernah menjawab persoalan fundamental, misalnya, mengapa orang nyandu berjudi. perjudian duniawi bukan soal bermoral atau amoral. perlu dipertegas lagi, judi merupakan produk budaya (atau boleh jadi anak dari kegabutan-kebosanan menyebalkan yang melahirkan keinginan untuk mencari tantangan). kita mesti memandang judi lebih “psikologis” ketimbang “agamis”, atau lebih “antropologis” ketimbang “moralis”. melampaui good & evil, saint & sinner. anjir, bau Nietzsche.


Pascal's Wager


lagi pula, the truth is... mereka yang menghukumi-mencap buruk para penjudi (khususon ila ruhi kaum si paling religius) juga berjudi. mungkin mereka lupa, bahwa mereka juga mempertaruhkan-menjudikan sesuatu. setidaknya, dalam konteks Pascal's Wager (Taruhan Pascal)—istilah yang difafifukan Blaise Pascal dalam bukunya Pensées (1669): bahwa jika keberadaan tuhan tak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa tuhan itu ada, toh tidak ada ruginya, bahkan meningkatkan potensi masuk surga. kalau tuhan ada & kita tak percaya eksistensinya, maka pasti masuk neraka.


tidak rugi bagaimana? ya rugilah. ngabisin waktu. gambling anying. selain itu, pertanyaanku sederhana, tuhan yang mana? surga yang mana? neraka yang mana? agama yang mana? bayangkan... dari sekitar delapan belas ribu tuhan mereka bertaruh pada satu tuhan saja. itu kalau mereka monoteis, kalau politeis ya lebih dari satu. tapi kalaupun mereka bertaruh pada tiga, lima, tujuh, atau sembilan tuhan pun jumlah tersebut tetap tidak ada apa-apanya dibandingkan delapan belas ribu. persentasenya kecil. kemungkinan benar-tepatnya, secara matematis, bisa dibilang mungil. emg bole seberjudi itu?


yang lebih gila, mereka tak sekadar mempertaruhkan harta... tapi hampir semuanya, termasuk juga lifestyle (yang tak ternilai harganya) & kebebasan dari hidup yang sementara. mereka yang sering memandang hina para penjudi, nyatanya, bertaruh pada samawi. maka, Pascal's Wager, kupikir... lebih judi dari membeli scatter yang berisi lima belas kali putaran & berharap semoga minimal lima kali petir Zeus menyambar-nyambar mengenai pecahan yang didapatkan.


Epilog


sesekali aku berpikir, menjalani hidup tidak jauh-jauh dari rasa percaya & pertaruhan. antara ketidakpastian yang niscaya & kefetishan pada yang pasti-pasti saja. tapi apa yang pasti? mati, yang konon pasti saja, tidak kita ketahui kapan datangnya. mungkin apa yang dibacotkan Aldous... pun juga Bukowski dalam bukunya, Notes of a Dirty Old Man (2001), benar adanya: jika kau tak berjudi, kau tidak akan pernah menang.


sebuah totalitas. kalah ya kalah sekalian. menang ya menang sekalian. namun, hanya karena aku mengutip kutipan tersebut bukan berarti aku berhasrat menjustifikasi perjudian duniawi (khususnya, judol). mm aja, sih. maneh-maneh. eh, masing-masing. nyelot atau tidak itu terserahmu. intinya satu, gak ganggu ternak warga.


yang jelas, aku hanya memberikan perspektif lain: barangkali kita semua penjudi tapi beda taruhannya saja. ada yang iman, harta, waktu, & sebagainya.


bertaruh pada api

kuharap takkan mati

tapi sial, ini padam & tak terang


percuma

oh-oh

percuma

oh-oh, oh-oh

...


—Dongker - Bertaruh Pada Api (2022)


kalau kata de Beauvoir sih jangan bertaruh pada api. jangan pula bertaruh pada masa depan. mending bertindaklah hari ini. sangat carpe diem. dah ah, shadaqallahul adzhim.