Showing posts with label bila. Show all posts
Showing posts with label bila. Show all posts

Tuesday, 25 October 2022

Puisi: Ode untuk Bila

Bila Aku Menulis Puisi dengan Es Krim di Mulutku

lihat, mataku sore. mulutku gua sunyi tempat para pembaharu mendapat wahyu. lidahku campuran antara musim semi, taifun, & musik-musik dengan nada paling melankolik. hidungku ular yang lapar. telingaku laut yang tak pernah takut menerima sungai—& tubuhku, o tubuhku, adalah hotel bagi mereka yang pergi ... tak pernah mau kembali. pikiranku? miniatur dalam skala satu banding satu—dari apa-apa yang tak pernah ada, yang mencurigakan, & yang mencemaskan. kemari, kemarilah, tolong jawab kesintingan-kesintinganku: bahasa apakah airmatamu, & airmataku—aku lelah, ingin mati dipelukmu?

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi Bucin

hari itu, sore itu, kita pun mengautopsi
tubuh kebebasan & temukan kesepian.
sedari itu, kausadari—kita, kau & aku
sepasang lebaran—ada kemenangan
dalam namamu & pengorbanan dalam
namaku. tapi kemurungan-kemurungan
kau & aku, tahu: kita sudah kalah—jauh
sebelum kita dilahirkan, & tak ada yang
mesti kita korbankan. & kau tak pernah
berjihad menahan apa-apa. & aku tak
pernah berkorban apa-apa. kita adalah
kata sifat kiamat campur kesintinganmu &

ke
       ja
              tu
                    han
                             ku.

serupa telenovela yang diputar-putar
ketika di luar sana, el niño & la niña
hancurkan batas-batas dualitas:
kekekalan & kesementaraan
kesedihan & kebahagiaan
kesenian & kesusastraan
masalalu & masadepan
mimpi & kenyataan
pikiran & perasaan
matamu-mataku
lidahmu-lidahku
bibirmu-bibirku
kita—kau-aku
bertubrukan.

“que será, será ...” kata kita berdua 
seraya berdansa-bernyanyi balon kita
ada dua—meletus dalam satu supernova.

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi di Bawah Bulan yang Bersinar Tolol

: kesedihan adalah narkotika
golongan satu, yang hanya
dibolehkan untuk keperluan
penciptaan jiwa seni-sastra
(narkotika jenis ini, memiliki
potensi yang begitu tinggi
timbulkan ketergantungan).

hari itu, malam itu, kau pinjam pipi kiriku & tumpahkan seluruh sedihmu yang tak pernah sudah itu di pipi kiriku. bibirmu hangat, ya? kataku memecah keheningan. seperti kelahiran kembali, seperti ... seorang perantau yang bertemu perantau lain di tanah perantauan—yang pada gilirannya, cair jadi satu dalam titik lebur tertentu, dalam satu kerangka ruang-waktu. 

tapi bulan bersinar tolol, & kau dapat lihat aku diam-diam benamkan dua per tiga senyawa utama kecemasan-kecemasanku di dahimu. seribu Schopenhauer mati di situ. seribu Kierkegaard menangis di situ. & sejuta pertunjukan Macbeth selesai di bibirmu.

kita buka jendela. tapi yang terbuka adalah kegelapan kosmik—yang entah berapa juta tahun cahaya jauhnya. kita saksikan masa-masa indah yang tak pernah ada. & bulan masih bersinar tolol, di sana. & kita berciuman seperti ketakutan waktu di hadapan hari kematiannya.

(2022)

Bila Einstein Mengidap Gangguan Kecemasan

E = mc²
*E = Elegi
*m = Masalah-Masalah
*c = Kecepatan Kecemasan

I
tak ada rileks yang bisa bergerak
secepat cemas, karena hal tersebut
tak logis, tak masuk akal … secara
matematis, maupun secara fisikal.

II
kecepatan cemas (c) merambat
melalui ruang hampa dengan
kecepatan konstan bernilai
3 x 108 m/s & tak bergantung
pada kecepatan pengamat
ataupun sumber kecemasan.

III
nilai elegi (E) sama atau setara
dengan nilai masalah-masalah dikali
kecepatan cemas yang dikuadratkan.

(2022)

Bila Aku Menulis Puisi dalam Ekstase 

nabi-nabi samawi berkhotbah: 
tentang tipu daya buah pengetahuan, 
tentang kitab-kitab perihal kejatuhan,
tentang sejarah, tentang air bah,
tentang Mina, tentang Tursina,
tentang Golgota, tentang Hira
tentang langit, tentang bumi,
tentang mula, tentang eskatologi;

tentang kekasih & tentang pecinta 
yang pinta cinta seribu satu malam lagi.

II
di sana, antropolog-filolog 
masih coba tafsir Efrat & Tigris, 
Mesir & Mesopotamia, yang berlapis 
enam ribu tahun sebelum lahirnya masehi
Mediterania cari seberkas cahaya tuhan
Romawi curi mitos & dewa-dewi Yunani
pra-Abad Pertengahan—Renaissance 
berbau & berwarna demistifikasi;

di sini, kau menyalib kebiruanku
di rusukmu, seribu Menara Babel
runtuh pascakegentingan kolosal itu. 

III
“sayangku ... o sayangku
bagaimana manusia bisa
belajar memaknai sesuatu
jika tanpa dukalara—jika
tanpa kehilangan—jika
tanpa kecemasan—jika
tanpa kerisauan—jika
tanpa kegetiran—jika
tanpa kegundahan—jika
tanpa darah & airmata?”
dalam dadaku tuhan bersuara.

(2022)

Dari Lebaran ke Lebaran 

aku
      reguk
              airmatamu, 
                                 kekalahan jadi hujan.
                                                                  
kau
      teguk
            airmataku, kesia-siaan jadi sungai.

kita
      tenggak
            airmata kita berdua, & air laut pun             
                                                           tercipta.

(2022)

Monday, 10 October 2022

Bila Aku Benar-benar Tak Lagi Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang ...

Bogor, 10 Oktober 2022

“... but clocks keep on ticking
& life keeps on going
to leave the pair behind at last

she said to me
& i said to her
to hold back each other's true fate
is not of our nature
let's be mature

maybe you weren't made for me
nor i for you ...”

selamat pagi, Bila. sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, tetapi sepertinya cerita-ceritaku tak lagi menarik & penting bagimu (dengan kata lain, cerita-ceritaku telah berubah menjadi bahasa yang tak perlu lagi dibahasakan kepadamu). maka teks-teks setelah kalimat tadi adalah ceracauku kepada diriku sendiri yang semestinya tak lagi kau baca—terlepas dari apakah kau benar-benar membaca surat-suratku untukmu ataukah tidak sama sekali.

dimulai dari alinea ini, demi kebaikan bersama, aku mohon jangan kau teruskan lagi membaca suratku yang tak berguna ini. tapi terserah, itu pilihanmu, lagipula aku percaya pada free will & kupikir manusia memang dikutuk untuk bebas alias L'homme est Condamné à Être Libre!—oleh karenanya, silakan tanggung sendiri akibatnya bila kau terus membaca surat ini sampai selesai, ya.

mungkin ini agak skizoid, sebab kata-kata di dalamnnya adalah dari, oleh, & untuk diriku sendiri—tapi tak apa. beberapa bulan ke belakang ada satu-dua-tiga-empat hal-hal lumayan sinting yang terjadi dalam realitasku. maaf bila aku tak menuliskannya dalam kronologis yang linier & sistematis.

pertama, aku tak pernah menyangka bila pada suatu hari puisiku akan dipamerkan di sebuah pameran, khususnya di kotaku, Bogor. singkat cerita, aku datang ke pameran itu & bertemu dengan beberapa kawan-onlineku: seorang penulis, fisikawan, & fenomenolog (bisa dikatakan demikian atau anggap saja begitu). tapi bagian absurdnya adalah aku melihat beberapa orang yang tak kukenal sama sekali dengan serius membaca puisiku (yang ditempelkan di sebuah spanduk) di depan mataku & rasa-rasanya cukup ganjil (mungkin ini hanya perasaanku saja yang ganjil).

kedua, setelah sekian lama, aku kembali ngueng-ngueng lagi. aku fafifu-wasweswos via Google Meet mengenai ... Eksistensialisme di sebuah komunitas filsafat yang kuduga berpusat di Paris van Java. animonya cukup tinggi, diskusinya hidup, meskipun aku memaparkan materi “serius” dengan pembawaan yang komikal. kupikir Eksistensialisme memanglah sesuatu yang serius, dalam artian bahwa para eksistensialis (secara tak langsung) menciptakan semacam krisis tak terelakkan bagi para pembacanya—& pada gilirannya, membuat hidup manusia, secara 180 derajat, bertambah ruwet sekaligus mumet. 

kupikir, tak ada yang tak serius dari apa yang telah dikeluhkan oleh Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Dostoevsky, Sartre, de Beauvoir, Kafka, Camus, & para figur lain (yang dapat kuasosiasikan sebagai seorang eksistensialis). di beberapa konteks, aku bahkan hampir setuju bahwa mengada adalah keadaan-tak-menyenangkan yang tak terbantahkan. maka dengan sadar & sengaja aku menarasikan kenoiran-kenoiran mereka dengan gaya seorang kawan lama yang humoris. aku pikir bagian itu cukup, sebab aku takut oversharing kepada diriku sendiri & belajar dari yang sudah-sudah bahwa aku sering kali lupa waktu ketika membincangkan -isme tersebut.

ketiga, aku juga tak menyangka bahwa pada suatu ketika yang random ... esaiku akan mengada di sebuah majalah yang diterbitkan oleh komunitas filsafat (yang ini kucurigai berdomisili di Jakarta). omong-omong, komunitas ini adalah komunitas yang sama, yang pernah mengundangku untuk membacot-membicarakan Pak Kumis pada bulan Juli lalu. oh ya, esaiku tentang Sapere Aude (iya, frasa latin yang bermakna dare to know, have courage to use your own reason, dare to know things through reason, & dare to be wise itu), sedikit Horace, sedikit Aufklärung, sedikit Kant, & sedikit diriku sendiri. rasanya cukup nano-nano untuk melihat-membaca esaiku sendiri dalam format majalah.

keempat, pada suatu siang yang lesu di bulan kemarin, aku dikirimi DM oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai panitia Festival of Arts and Sports FH UI 2022. pendek kata, dia menawariku untuk berpartisipasi sebagai dewan juri dalam lomba cerpen—katanya, dia mendapat rekomendasi & kontakku dari salah seorang kawanku yang juga menjadi juri lomba tersebut. satu yang menyebalkan bagiku adalah fakta bahwa sampai detik ini aku tak tahu menahu siapa orang yang telah merekomendasikanku itu. pedahal, secara personal, aku ingin berterima-kasih kepadannya. 

yang jelas, membaca cerpen-cerpen anak hukum memberiku semacam pengalaman baru yang unik. pengalaman yang (bisa dibilang) tak kudapatkan ketika menjadi redaktur fiksi & puisi selama lebih dari 1 tahun di media tempatku freelance. sebelumnya aku juga pernah menjadi juri lomba puisi di kampusku dulu, tetapi feel-nya tak seotentik ini. kupikir, pengalaman ini pada akhirnya akan memperluas cakrawala persepsi-penilaianku mengenai karya sastra, khususnya terkait unsur ekstrinsik sebuah cerpen (& puisi).

mungkin surat ini agak tolol, cenderung nonsens, & tak memiliki kepaduan yang rasional—sebab tak seorang manusia, setan, atau tuhan pun yang tahu surat ini akan mengarah & dibawa ke mana. sebagai penutup, surat ini akan duduk di sebelah ketiadaan & berkata: mungkin surat ini memanglah suratku yang terakhir untukmu, Bil; & akan menjadi pernyataan dari pertanyaan subtil tentangmu dalam diriku ... Bil, haruskah kita kembali bertemu?

mungkin tidak. tapi aku akan tetap mengatakan banyak-banyak merci dengan sepenuh cinta & tetap melangitkan doaku untukmu (yang tak pernah berubah dari dulu) dengan sepenuh cita: semoga kau selalu berbahagia, ya.

“... qué será, será
whatever will be, will be
the future's not ours to see
qué será, será
what will be, will be ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Wednesday, 14 September 2022

Bila Aku Menulis Lagi Surat Untukmu


Kepada Bila yang ... Hmmm

Bogor, 13 September 2022

“... sing me something soft
sad & delicate
or loud & out of key
sing me anything
we're glad for what we've got
done with what we've lost
our whole lives laid out
right in front of us

sing like you think no one's listening
you would kill for this
just a little bit
just a little bit
you would
you would ...”

selamat dini hari, Bila. aku bingung bagaimana memulai surat ini, itulah mengapa aku mengawalinya dengan lirik lagu Existentialism on Prom Night (selain karena aku tahu Kau suka menyanyi & menggeluti Eksistensialisme). walaupun sebenarnya, sejujurnya, aku lebih bingung mengenai “mengapa” aku menulis selamat dini hari, Bila & “mengapa” aku menulis lagi surat untukmu, Bila. kebingungan lainnya berasal dari betapa bingungnya pikiran-perasaanku yang sama sekali tak menyangka kita akan kembali saling bertukar-teks setelah aku menerbitkan tulisan “Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu”—tetapi kemarin Kau malah mem-vidcall-ku—aku mengangkatnya & sekitar 3 jam lamanya kita mengaktifkan mulut & menyalakan telinga.

Bil, apakah kau menyadari bahwa di alinea pertama saja sudah ada setidaknya 4 kebingungan yang kutelurkan? Kau tak sadar, ya? hahahaha lupakan ... intinya akan kutekskan beberapa kebingungan yang bising di dalam kepalaku (yang terkadang kurasa tak perlu juga kuberi medium kata-kata—biarkan saja meledak senyap di dalam kepala) pada surat tak berguna ini. sebelum itu aku ingin curhat-menarasikan kebingungan yang bacot-banget ini dulu, ya.

beberapa hari lalu, aku menerjemahkan 2 esai yang ditulis dalam bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris. (katakanlah Kau bertanya mengapa aku melakukannya) aku bersedia mengalihbahasakannya karena sehari sebelum tawaran penerjemahan itu kusanggupkan—aku mencoba simulasi IELTS & mendapatkan skor 80 dengan label 'advanced' atau setara 601-625 dalam skor TOEFL. alasan terbesarnya justru bukan aku merasa jago basa enggres, tetapi aku bingung mengapa pula skorku sedemikian besarnya—pedahal grammar-ku masih acakadut—& dari kebingungan itulah aku menantang diriku sendiri untuk bergulat di batas-batas antara bahasa ibu & bahasa blonde.

semacam intermezzo: kau tahu, Bil, skill speaking basa elizabethasu-ku ini seperti bule-bloon yang tentu saja bukan native speaker asal London, yang ... diduga sedang sariawan namun memaksakan untuk kumur-kumur Listerine. apalagi bahasa jurusanmu itu, aduh, amandelku bisa kambuh. bila Kau ingat, aku pernah berkata bahwa berbahasa macam orang Paris berpotensi besar membuatku sakit tenggorokan dengan cukup kronis.

ok, back to the curhat ... esai yang pertama kualihbahasakan garis besarnya tentang Panduan Pembebasan Individual di Era Postmodern. esai kedua, gambaran besarnya membahas kedepresifan manusia, hal-ihwal penderitaan, dampak teknologi, sampai kebusukan-kebusukan society. ini, Bil, efek psikologis yang kualami paska-penerjemahan: yang pertama, tulisan Vetuyara itu membuat kedua tanganku ingin mencipta molotov (dari sebotol anggur merah Cap Orang Tua yang botolnya entah berapa banyak akan kutenggak semasih aku muda + seluruh baju-bajuku yang sudah kumal + bensin pertalite yang kini mahal) lalu melemparkannya ke wajah borjuis muda yang tekun flexing di sosial media—yang gemar membacot di seminarnya yang ... overprice mengenai omong kosong kerja keras & kerja cerdas dengan percaya diri sekaligus dumb-ass;

yang kedua, lebih parah, Le Chien Rifki (penulisnya) kupikir adalah seorang demotivator ulung yang sukses membahasakan pesimisme dengan begitu optimis. si anjing itu sungguh sangat hadeuh, Bil. ia menghidupkan seribu Macbeth yang berperangai seperti Deadpool sedang existential dread di lubuk kesadaranku. dengan piawai-bangsatnya ia juga menggemakan kegagalan Dazai menjadi seorang manusia & pada gilirannya melukiskan betapa terancamnya kata hidup dalam kamusku bila aku terlalu banyak mengonsumsi esai-esai Cioran.

Bil, kau kan tahu bahwa gelar 'MA' di belakang namaku bukan Master of Arts, melainkan Master of Anguish. Kau apalagi, menyandang gelar Ph.D ... Pretty-huge Despair (sumpah, aku sama sekali tak tertawa). tapi berjuta tapi, bukan berarti aku rela, memberimu lampu hijau, atau lebih sinting lagi menganjurkan—jika pada akhirnya kau benar-benar lelah & memilih untuk membunuh dirimu sendiri. mengapa aku menukil perihal suicide? sebab hari ini ada puisimu yang masuk melalui pintu watsap-ku—isinya kira-kira begini:

Tuhan,
Aku hanya ingin mati.

—Bila

(Jakarta, 13 September 2022)

Kau mesti tahu bahwa aku senang bila Kau mengirimkan puisimu kepadaku. tapi aku bingung mau merespon puisimu yang satu ini bagaimana atau dengan pendekatan masturbasi pikiran (khas terma-terma kefilsafatan) yang seperti apa. kupikir, pada titik tertentu, fafifu filsafat malah memperburuk keadaan, khususon Filsafat Prancis (Kau tentu lebih suhu dariku terkait ini, misalnya, lebih memahami bahwa philosophical notion from a croissant country memang cenderung, bukan cenderung juga sih, tetapi memang noir). semisal aku ngueng-ngueng luas Stoikisme = ½ × S × K ... pun juga tak guna—sebab kita bukan anak kandung Seneca yang punya seolympus Ke-sa-bar-an.

paling banter ya aku tekskan begini: “wanna talk?”—atau menelponmu (& aku akan menempatkan kedua telingaku dalam mode siap-siaga-bencana-airmata, tanpa mengeluarkan suara apalagi saran bila tak Kau pinta), atau berjuta kali meneror-menggedor notifikasimu à la admin slot bila Kau tak kunjung mengangkat panggilan gawat-darurat itu. tapi aku & ke-overthinking-an-ku tahu, yang terjadi di realitas-babi adalah wanna talk? itu tak kunjung ceklis dua.

& voilà, aku hariwang padamu, Bila. aku lupa apakah sudah cerita ini ataukah belum: kandungan suudzon pada neuron kepalaku berkali-kali lipat jauh lebih banyak dari anjuran husnudzon di dalam ayat-ayat malaikat sekalipun ia tipikal malaikat yang mahamemaksa. aku hanya menuliskan kejujuranku. o ya, aku hampir lupa, hari ini Godard (iya Godard yang Jean-Luc, yang sutradara, penulis skenario, & produser asal negara oui—juga orang ngaruh dalam kebangkitan & sepak terjang gerakan sinema Prancis itu) kini telah mati—omong-omong, ia adalah salah satu figur penting dalam proses kreatif kepenulisanku yang suram, biru, & tak kreatif-kreatif amat.

Bil, sekarang sudah pukul 2 pagi. & alih-alih membayangkan bagaimana Sisifus berbahagia, kepalaku malah semakin bertendensi untuk membayangkan skenario kiamat kubra. aku berdoa, semoga apa yang kutakutkan tentangmu, tak menjadi kenyataan. meski kutahu, bahwa jauh di dasar hatiku—aku masih bingung bagaimana doa bekerja—& masih begitu membenci harapan.

“ ... someday you will die
but i'll be close behind
i'll follow you into the dark

no blinding light
or tunnels, to gates of white
just our hands clasped so tight
waiting for the hint of a spark

if Heaven & Hell decide
that they both are satisfied
illuminate the no's on their vacancy signs
if there's no one beside you
when your soul embarks
then I'll follow you into the dark ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Sunday, 14 August 2022

Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu


Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata setelah 'Hidup' ...

Bogor, 14 Agustus 2022

“... & when i wake up tomorrow,
will i see another dawn?
as the days turns so hollow,
will i stare across my lawn
to find you whisper stranger things
my love?
i can't explain at all,
i crave to hear the fiction
when you call ...”

selamat pagi, Bila. selamat siang, Bila. selamat sore, Bila. selamat malam, Bila. selamat, Bila, kau telah bertransformasi—menjelma kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata bilangan, kata sambung, kata depan, kata sandang, & kata seru—bagi kata-kataku, bagi puisi-puisiku, bagiku.

tapi, pertama-tama, aku ingin menukil-menyentil katanya Baudelaire (iya, penyair Prancis yang grandeur itu; yang disebut-sebut sebagai “penyair abad kesembilan belas terbesar” oleh Proust dalam esainya di tahun 1922) yang kukira cukup menarik sekaligus asik untuk kita renungi terlebih dahulu: setiap orang haruslah menjadi pemabuk, entah dengan wine, dengan puisi, dengan kebajikan seperti yang mereka inginkan. mabuklah! teruslah mabuk! sudah waktunya untuk mabuk! agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk! 

di tengah-tengah teks-teksku yang cenderung gelap & hampir selalu membuatmu terengah-engah ketika membacanya, aku ingin terang-terangan: bahwa tubuh waktu sudah membusuk, pikiran-perasaanku sudah mabuk (bahkan terlampau mabuk), & terbila-bila bilamana keimpulsifanku yang naif secara tak sporadis mencoba mengeja namamu dengan liris, Bila. 

bila-bila nanti aku tak lagi terbila-bila bila sedang mengingat-meracauimu, Bila, maka bila mungkin—kau mesti memahaminya. bilamasa itu telah tiba, bila perlu kau jangan sedih bila saja aku dimabuk 2 botol anggur merah dengan es batu—ditambah segunung putus asa—dikali nostalgia (yang sejatinya lebih tepat disebut sebagai saudade) terhadap perasaan hiper-bucin yang sebelumnya tak pernah kualami seumur hidupku selaku seorang manusia. sebab ...

“bila bom khawatir diledakkan
akan tumbuh surat-surat genrifinaldy.”

katamu, Bila, kau sudah lama tak mengarang karya sastra & hal-hal terkait keperempuanan. katamu, Bila, waktu tak mengizinkanmu membaca buku-buku teori atau sekadar buku-buku fiksi—sebab seluruh waktumu telah kaugunakan untuk menghadapi realitas yang semakin hari kian gila & tak danta. sejujurnya, hatiku retak ketika mengetahui: kau tak memiliki sedetik pun waktu untuk menyelesaikan skripsimu. 

Bila, waktu memanglah babi hutan, tetapi apa/bagaimana/siapa yang mampu lepas dari waktu & lari dari kenyataan bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan? maaf bila aku kesurupan Aristoteles di waktu yang tepat sasaran. “waktu adalah ... proyektil peluru yang melesat dari masalalu, melewati masakini, menuju masadepan, & membunuh setiap kemungkinan-kesempatan yang sudah tertutup-terlewatkan.”

kutipan di atas adalah konsep Waktu Linier menurut para intelektual Barat campur secuil kebangsatan Nihilisme yang pahit & menggigil dalam rongga dadaku.

o Bila, bila tak ada ide-ide pandir seperti cinta platonik bla-bla-bla (yang pada akhirnya memicu momen puitik di setiap lamunanku) yang lahir dari kekeliruan kalkulasi interaksi antar neuron di dalam kepalaku—yang dikomunikasikan secara ritmis melalui satuan bahasa di mulutku kepadamu ... kurasa semuanya tak akan serumit ini.

bila aku tak lagi menulis surat untukmu, Bila, semoga kita bukanlah orang yang salah di waktu yang salah.

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday, 13 August 2022

Bila Aku Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata sebelum 'Hidup' ...

Bogor, 27 Juli 2022

selamat malam, Bila. siang tadi, kira-kira 11 jam sebelum aku menulis surat ini, aku berselancar di youtube lalu menemukan bahwa menurut Mitologi Yunani: malam adalah personifikasi perempuan & kegelapan adalah personifikasi lelaki. aku melamun berat setelahnya. aku tahu ini terlalu random, tetapi aku pun sama sekali tak tahu akan kuapakan informasi nirguna ini.

& alih-alih kau bisa segera mengecap keromantisan yang obskur dalam suratku ini—kukira, prolognya malah akan menimbulkan efek domino yang membidani rasa skeptis & persepsi kritis di kepalamu bahwa surat ini perlahan namun pasti akan mengalir dengan cukup payah & cenderung goblok.

sebentar … aku ingin bertanya hal yang fundamental: kau di sana, & masih berhasrat untuk membaca surat ini, kan? aku mau tekskan kejujuranku: sebenarnya, isi batok kepalaku tak lebih piawai & pandai dari seekor kalkun yang sedang pilek. dengan kata lain, aku hiper-bahlul ketika di hadapkan pada situasi di mana aku mesti mengarang surat (yang mungkin lebih terlihat seperti puisi-prosa berwarna kerinduan campur kebucinan) demi meredakan & menenangkan seribu taifun pada ceruk hatiku. 

aku tak mengidap gangguan obsesif kompulsif, tetapi aku ingin bertanya pertanyaan yang sama: kau masih di sana, kan? kalau iya, sekarang, coba kau buka persegi panjang berkaca itu, kau harus tahu bahwa malam ini, lunar dengan sinarnya yang megalomania menyinari kerisauan-kerisauanku lagi. 

selamat pagi, Bila. maaf, semalam otot mataku dikalahkan kelelahanku yang jauh lebih kuat. kemarin, pada pukul 19.00-21.00, aku mengisi forum diskusi tentang Nietzsche yang kita sama-sama sepakat: dia terlalu sinting, enigmatik, & edgy. kau tahu? aku dihujani tanda tanya yang sama seperti tanda tanya kepada seorang juru bicara. tapi tak apa, aku senang, & mungkin di neraka sana—Si Dinamit akan tersenyum panjang kali lebar kali tinggi kepadaku ... yang telah meluruskan beberapa miskonsepsi klise dari orang-orang awam ... yang mencoba membaca sekaligus menerka-nerka paradigma ODGJ ... yang mati dipeluk pneumonia & raja singa di Basel itu.

selamat pagi, Bila. aku sengaja mengucapkan selamat pagi lagi, sebab pada pagi ini, aku sarapan dengan semangkuk bubur yang begitu kau benci. aku masih tak paham mengapa pula kau membenci bubur, baik yang diaduk maupun yang tak diaduk. tapi satu yang jelas, hatiku begitu campur aduk (dalam konotasi yang negatif) ketika tak ada lagi teks-teks semacam “how's your day?” mengetuk-ngetuk pintu whatsapp-ku. 

& seperti yang sudah bisa kau tebak, hari ini kehendakku putuskan untuk kembali mengawinkan kafein & nikotin dengan penuh keberanian—demi menjawab pertanyaan yang hampir selalu mengudara ketika aku pertama kali membuka mata: “should I kill myself, or have a cup of coffee? but in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

jika kau ingat, kau sudah kuberi tahu, bahwa pikiran-kesadaranku tak lagi perawan. & hidup yang dilandaskan pada Absurdisme hanya berkutat pada siasat-siasat repetitif untuk menunda kematian secara efektif (dalam konteks yang lebih suram: bahkan tak melakukan bunuh diri pun adalah sebuah prestasi, katanya Camus). kita sama-sama membenci Mas Prancis yang absurd itu: kau membencinya sebab Bapak Sisifus itu berdampak buruk buat mental kita berdua—sedang aku membencinya sebab kau adalah arketipe de Beauvoir, yang masalahnya aku bukan Sartre, & terlalu Camus buatmu.

sedikit menyoal de Beauvoir, bagaimana kabar skripsimu yang menggunakan teorinya? aku percaya kau bisa menyelesaikannya. ini bukan sejenis gombalan … faktanya, secara empiris, kau memanglah perempuan paling intelek (sekaligus paling feminis, paling liberal, & paling manis) yang pernah berbincang-bincang denganku selama lebih dari 6 jam yang bahkan dilakukan secara konstan; 2 hari berturut-turut—tanpa memberikan ruang bagi keheningan yang canggung—untuk masuk ke dalam bahasan-bahasan kita yang seperti tak pernah kehabisan bahasa.

selamat siang, Bila. bumi bajingan ini masih berputar-putar dengan kecepatan 1.770 km/jam. cepat sekali, bukan? tapi ... 

when you sit with a 10/10 woman for more than six hours, you think it's only a minute—but when you sit on your loneliness, you think it's eternity. that's relativity.”

kutipan di atas adalah kutipan terkenal dari Einstein tentang Relativitas Waktu yang sengaja kuganti agar lebih puitis & senada dengan orkestra kemurungan-kemurungan luar biasa pada pembuluh hasratku.

omong-omong, apakah kau punya obat pereda kemualan-kemualan eksistensial? aku nausea. & nausea. & nausea. & bagian paling buruknya adalah aku seperti tak mau hidup seribu tahun lagi. kalau boleh blak-blakan, aku mual sebab ketika kesadaran menguasai 3/3 alam bawah sadarku, maka satu-satunya yang naik & tampak di indera penglihatanku adalah fragmen-fragmen senyummu. o senyummu adalah rumah kabin kayu bergaya Skandinavia (di tengah-tengah antah-berantah yang tak seorang Schrödinger pun tahu & peduli; “apakah beringin tua itu jatuh bersuara ketika tak ada sebuah kuping di sana?”) dengan jendela menghadap ke lembah-lembah di mana airmata kita berdua aman tersimpan.

selamat sore, Bila. maaf tadi aku semakin melantur tak karuan. aku masih graphomania. aku harap kau tak lupa untuk membangunkan hidup, memandikan hidup, memberi makan hidup, memberi makna hidup, & menghidupi hidup. aku meminta segenap maaf jika aku pernah menggoreskan kata sifat pisau pada dinding hatimu. kehendak untuk berkuasa milikku tak pernah berminat untuk melakukannya. aku sama sekali tak punya tendensi untuk memancing sistem lakrimal pada kedua matamu untuk mengeluarkan airmatamu yang laut itu.

terakhir ... aku benci untuk mengatakan ini, tetapi saat ini, aku benar-benar merindukanmu. & jauh di lubuk hatiku yang muram & lindap—aku benci berharap & sudah lama tak berharap & kini aku kembali berharap: semoga surat yang kutulis dalam keadaan yang begitu melankolis & biru ini ... bukanlah sebuah ketololan-kelirisan yang tak perlu.

Sincerely,

Mas Aldy