Showing posts with label esai. Show all posts
Showing posts with label esai. Show all posts

Saturday 17 February 2024

Apalah Arti Kedewasaan Itu...

 


“...

Gone now are the old times

Forgotten, time to hold on the railing
The Rubix cube isn’t solving for us
Old friends, long forgotten
The old ways at the bottom
Of the ocean now has swallowed


The only thing that’s left

Is us, so pardon the silence

That you’re hearing is turning

Into a deafening, painful, shameful roar.”

—Ode to the Mets – The Strokes (The New Abnormal, 2020)


Yang kulakukan setiap malam, dalam tiga bulan terakhir ini, adalah merenung sambil memutar lagu-lagu The Strokes album “The New Abnormal”. Dari The Adults Are Talking sampai Ode to the Mets—dengan spiker bluetooth. Dalam momen perenungan itu, khususnya ketika lagu Ode to the Mets diputar, pikiranku seolah-olah dibawa pada praduga bahwa masa dewasa dipenuhi oleh sesuatu yang kita cintai tanpa syarat, tetapi kenyataannya sesuatu itu terus menerus mengecewakan kita. Katakanlah pasangan, teman, keluarga, pekerjaan, klub sepakbola, hingga pemerintah.


Aku seperti merasakan ada semacam “keminoran yang mayor” perihal kedewasaan dalam lagu yang dinyanyikan Julian Casablancas ini. Sang vokalis, seakan-akan ingin mengatakan dengan mata sayu bahwa seperti biasa, dalam masa dewasa, kita akan mengalami kekecewaan-kekecewaan yang luar biasa. Tapi seberat apapun itu, kelak pagi akan datang kembali. Dan kita akan menyadari, tak ada kekecewaan-kekecewaan yang bertahan lama. Sebab waktu berjalan kontinu, dan pada gilirannya, semua akan habis dimakan lupa.


Berbicara tentang ‘masa dewasa’ ataupun ‘kedewasaan’, sejujurnya, aku sama sekali tak benar-benar memahami apa arti dari kata ‘dewasa’—apalagi ‘kedewasaan’. Aku bahkan tak tahu apakah aku “sudah dewasa” atau belum. Dengan kata lain, aku tak tahu ‘kedewasaan’ itu seperti apa dan bagaimana bentuknya.


Kalau boleh sok tahu perihal bagaimana rasa kedewasaan, maka mungkin rasanya seperti memainkan gim petualangan-open-world di mana kita secara tak sadar telah men-skip tutorial dan kita hanya berlari-lari tak tentu arah—tanpa tahu bagaimana cara memenangkan permainannya; atau sekadar menyelesaikan misi-misinya.


Sialnya, ‘kedewasaan’ bukan makhluk yang biasanya punya satu mulut dan dua telinga, sehingga dengan atribut fisikal semacam itu ia menjadi mungkin untuk kuajak bicara dan kuminta untuk menjelaskan siapakah dirinya.


Ketika kutanya beberapa kawan yang telanjur kupercaya bahwa mereka “sudah dewasa” dan tahu apa ‘kedewasaan’ itu—atau minimal kenal dengan ‘kedewasaan’—jawaban mereka secara garis besar pun nyaris serupa: persis tokoh-tokoh kartun yang dulu kubenci, tetapi kini sedikit bisa kupahami. Katakanlah, Squidward Tentacles (tokoh paling menyebalkan dalam serial SpongeBob SquarePants).


Karena tak puas, hal yang kulakukan selanjutnya adalah membuka kamus. Aku menemukan ada beberapa makna tentang ‘kedewasaan’. Salah satunya, ‘matang’. Tapi ‘matang’ itu apa? Dan, misalkan kita sepakat bahwa ‘matang’ itu adalah soal ‘kesiapan’, maka akan lahir pertanyaan lanjutan—’siap’ untuk apa? Apakah siap untuk menjadi budak korporat yang mekanis dan ignorant-bastard bagai filsuf Stoik? Ataukah siap untuk menelan kenyataan pahit, misalnya, bahwa tidak akan ada seseorang dari antah berantah—yang secara magis—membantu membayarkan tagihan listrik, mengobati lapar yang tidak bisa ditawar, dan menyelesaikan masalah-masalah struktural yang kompleks dalam hidup kita?


Ini mungkin akan terdengar tolol, tapi satu-satunya yang terlintas di benakku ketika mendengar kata ‘matang’ dan ‘siap’ adalah buah-buahan. Masalahnya adalah mengapa kita cenderung mengibaratkan proses kedewasaan macam buah-buahan yang matang pada pohonnya—sesuai waktunya.


Kita seakan-akan mengabaikan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Sebut saja pola pengasuhan orang tua dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dengan kata lain, serasa menutup mata, bahwa banyak dari kita yang dipaksa dewasa oleh keadaan—oleh kenyataan.


Barangkali kita harus mulai mengakui, bahwa banyak dari kita didewasakan dengan berita-berita tentang Gen Z dan Millenials yang hampir mustahil untuk membeli rumah tanpa skema KPR bertenor separuh usia hayat dikandung badan. Menangisi harga properti yang kian tak masuk akal. Atau sekadar mengumpati hari senin pagi. Atau memusingkan tidak seimbangnya biaya hidup dengan penghasilan yang didapatkan. Dan mengamini bahwa solusi kapitalistik untuk memenuhi kebutuhan dasar hanyalah hustle culture (baca: kerja lembur bagai kuda; mengambil side jobs) ditambah frugal living (baca: hidup ugal-ugalan; puasa senin-kamis; melarat dengan gaya).


Banyak dari kita juga mengukir makna kedewasaan sebagai tulang punggung kedua—atau bahkan tulang punggung utama. Yang sedini mungkin membanting tulangnya demi membiayai pendidikan adik-adiknya atau membikin dapur ibu tetap ngebul, misalnya. Sebab mereka, termasuk ke dalam Generasi Sandwich.


Tentu, dengan perspektif semacam ini, proses kedewasaan lebih terdengar serupa pisang belum matang yang diberi karbit, bukan?

Tapi mungkin begitulah realitas bekerja. Kejam dan tak berperasaan. Menyoal anggapan terhadap kemungkinan realitas yang seram semacam ini, aku sedikit banyak bersepakat dengan kutipan Anaïs Nin, esais Prancis-Amerika, dalam buku Incest: From “A Journal of Love”: The Unexpurgated Diary of Anaïs Nin, 1932-1934 (1992), dia menulis: “Realitas tidak membuatku terkesan. Aku hanya percaya pada kemabukan, pada ekstasi, dan ketika kehidupan biasa membelengguku, aku melarikan diri, dengan satu atau lain cara.”


Dan begitulah, yang kulakukan setelah menemukan jalan buntu ketika merenungi makna kedewasaan dan hidup yang kian redup: mengubur ke-sober-an dengan ke-hangover-an, dengan bantuan botol-botol alkohol. Setelah sisa mabuk semalam hampir habis, aku teringat sesuatu. Sekira tiga belas tahun lalu, aku melewati sekumpulan pemabuk dan berpikir betapa sampahnya mereka. Kemarin, aku mabuk di depan rumahku, seorang bocah melewatiku, dan mungkin berpikir hal yang sama denganku dulu.


Sesekali, seorang bocah dalam diriku seakan kecewa, mengapa masa dewasa nampak begitu repetitif dan depresif? Kalau tidak begini-begini saja, ya begitu-begitu saja. Tak ada yang benar-benar seru dan mengejutkan. Mengapa masa dewasa sebegitu redundan kebosanannya.


Tak seperti novel-novel romantik di mana mukjizat dan keajaiban selalu terjadi. Tak ada goblin atau barbarian buruk rupa yang harus dilawan dan dikalahkan. Tak ada pedang atau kapak yang bisa kutempa di pandai besi. Tak ada tuan putri di atas menara tinggi untuk kubebaskan dari cengkeraman naga yang mulutnya menyemburkan api. Yang ada cuma pertarungan sunyi melawan sakit maag, asam urat, insomnia, dan nyeri punggung yang abadi.


Pada akhirnya, kalau boleh lebih sok tahu, ‘kedewasaan’ mungkin adalah menyadari bahwa dunia cukup disesaki orang-orang yang saling menasihati-memotivasi—meskipun mereka besar kemungkinan sama-sama stres-pusing dan pengin teriak, “***j**ggggg!”


Maka, setiap kali dadaku terasa tiba-tiba nyeri, aku bergumam, mungkin inilah waktunya… dan kembali memutar lagu-lagu The Strokes.


“…

Stockholders

Same shit, a different lie

I’ll get it right sometime

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

ad

Oh, maybe not tonight

…”

—The Adult Are Talking – The Strokes (The New Abnormal, 2020)

Sunday 17 September 2023

Mokondo-Momekdo dan Teori Modal Bourdieu

 

Jujurly, kegatalan tak bernama adalah bahan bakar utama saya dalam menulis opini jelek ini. Pada mulanya, begini, saya sedang berselancar di aplikasi X lalu saya menemukan sebuah utas berisi seseorang yang tengah dirujak berjemaah oleh orang-orang dari mazhab al-alteriyyah (baca: akun alter) karena ia katanya “tidak modal“ ketika berpacaran.
“Najis! Dasar mokondo!“—adalah komentar paling dominan yang menguasai perujakan duniawi tersebut. Di sisi lain, counter-attack pun datang, “Yeu elu juga sama aja, momekdo!“—dan karena penasaran terhadap apa yang sebenarnya mereka bicarakan, saya pun mencari tahu dua istilah yang terdengar cukup alien di telinga saya itu. Ibu jari saya bermigrasi ke aplikasi Google Chrome. Lantas dengan lekas mengunyah artikel-artikel yang bertebaran di sana.
Sependek pembacaan saya, 'Mokondo' dan 'Momekdo', merupakan singkatan dari “modal k*nt*l doang” dan “modal m*m*k doang”. Gak bahaya ta, batin saya, saat mengetahui arti dari dua akronim itu.
Kemudian wajah Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis dan tokoh strukturalis yang gigan itu, adalah yang pertama kali mencuat di kesadaran saya. Tak berselang lama, pikiran saya yang jahil memisalkan Bourdieu masih hidup, suka jb jb, dan kebetulan menemukan utas tersebut—sehingga besar kemungkinan ia akan berkomentar begini: “Sorry to say this, but, Nder.. gak ada mokondo-momekdo, masing-masing dari diri kita adalah akumulasi dari modal-modal; economic capital, cultural capital, social capital, symbolic capital. Ketika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ada capital conversion di situ.“
Yang terjadi setelahnya, barangkali, akan ada seseorang yang menanggapi, “Aku mah masih pemula. Ajarin dong puh sepuh.”
Idih si paling pemula. Bacot lu Mesopotamia. Lu pilih diem apa tirai no 3?

Teori Modal Bourdieu

zoom-in-whitePerbesar
Terdapat semacam postulat umum bahwa modal/kapital mengarah pada terma ekonomi yang diukur oleh uang. Anggapan dasar ini tidak sepenuhnya salah bila mengingat manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Namun akan “kurang tepat” kalau melupakan prototipenya sebagai homo culturalis (makhluk budaya), homo socius (makhluk sosial), dan semiovora (makhluk pemakan “tanda”).
Dengan kata lain, selain sebagai makhluk yang ngarti duit dan percuanan, plus transaksional—manusia juga aktif mencipta-terekspos budaya (mengkalcerkan/terkalcerkan), bersosial (nongkrong gitu lah, ya), dan memakan-bermain tanda (oh, penanda ini adalah petanda itu) tertentu dari suatu subjek, hal, atau benda. Oleh karenanya, jika berangkat dari argumen ini, maka menganggap modal/kapital hanya sebatas fulus merupakan kenaifan yang gegabah. Magsoed loe gimane?
Modal tidak selalu bersifat ekonomi, dan tidak melulu soal uang. Setidaknya begitulah yang berulang kali saya tangkap dari pemikiran-pemikiran Bourdieu, khususnya dalam karyanya yang berjudul Forms of Capital, Distinction, dan On the Theory of Action.
Di buku-bukunya itu, ia memfafifuwasweswoskan mengenai relasi serta konversi antara berbagai jenis modal: Modal Finansial (duit, aset materialistik seperti kendaraan pribadi dan properti), Modal Kultural (pendidikan, pengetahuan, selera, eksposur produk-produk budaya), Modal Sosial (keluarga, koneksi, jaringan), dan Modal Simbolik (penghargaan, pengakuan, prestise, publisitas).
Sebagai gambaran, seseorang yang punya Modal Kultural (pengetahuan) dapat mengonversinya menjadi Modal Simbolik (pengakuan), atau seseorang yang punya Modal Finansial (uang) dapat mengonversinya menjadi Modal Sosial (koneksi).
Menurut saya, sesampah-sampah seseorang pastilah ia tidak benar-benar punya modal yang nol besar. Dengan demikian, jika saya coba sambungkan ke dalam fenomena mokondo-momekdo—ketika dua individu menjalani suatu hubungan, katakanlah berpacaran—saya menilai, tidak mungkin keduanya “tidak bermodal”. Masing-masing dari mereka pastilah mempunyai modal-modal tertentu.
Entah dalam bentuk kecantikan-ketampanan, gelar dari universitas bergengsi, karya kreatif/intelektual, bahasa tertentu, popularitas, atau selera humor, musik, buku, sinema, dan seni yang terbilang “ok banget”—(tanpa bermaksud mendiskriminasi selera-selera tertentu dan memperlebar jurang antara low culture dan high culture).
Maka mokondo-momekdo pada titik ini, saya pikir, dapat dikatakan tidak logis bila dipandang dari kacamata Teori Modal Bourdieu. Yang membuatnya cacat, secara logika bahasa, adalah penggunaan kata “doang”—karena dalam setiap individu terdapat setidaknya 4 buah modal à la Bourdieu, sehingga mengatakan “doang” sama dengan menutup mata atas fakta-fakta sosiologis yang nyata adanya.
Tapi perlu digarisbawahi, sebagai catatan, saya tidak sedang berusaha menjustifikasi konsep kencan hanya “membawa badan” dan berharap sang pasangan akan dengan senang hati membayarkan makan di restoran all you can it, mentraktir es krim mcflurry di suatu mcd, membelikan tiket untuk menonton film teranyar di sebuah bioskop, dan seterusnya.
Tidak sama sekali. Saya secara pribadi justru menentang seseorang bermental pengemis semacam itu dan mungkin punya kecenderungan cinderella complex—dalam konteks, financial support—terlepas dari apapun gendernya. Di lain sisi, saya mafhum bahwa menjadi “donatur” ataupun “gold-digger” adalah hak setiap individu dalam “arena” cinta luring, atau daring, seperti misalnya Tinder atau Bumble.
Tapi teman saya, sebut saja si N—yang borju, julid, tengil kayak duit bapaknya halal aja, dan tentu tidak akan memahami kesuraman struktural pernah mengatakan ini kepada saya, “Ngapain sih para pengangguran sok-sokan pacaran? Mending mereka gawe, buka bisnis kek. Ngamen kek. Mulung kek.”
Sejak pertama kali mengenalnya sampai sekarang, saya masih percaya bahwa kata-katanya setajam rambut yang dibelah tujuh. Apa yang dikatakannya jelas terdengar kejam dan brutal. Seakan-akan orang miskin tidak boleh bucin. Sayangnya, fakta pahitnya, lambat laun saya menyadari memang tidak ada yang gratis di dunia ini. There's No Such Thing As a Free Lunch, kalau kata judul bukunya Friedman, ekonom Amerika Serikat yang pernah diganjar Nobel Ekonomi.
Sederhananya begini, kalau parkir bayar, ingin kencing bayar, mengisi daya ponsel bayar—apalagi pacaran? Ya, tentu, butuh modal finansial yang terbilang “cukup besar”—atau minimal ada pengaggaran. Sebab berkencan memang butuh dana, tidak bisa hanya bermodalkan pemikiran. “Lu punya duit, lu punya kuasa... dan bisa punya pacar!” kata Foucault setelah terpapar Adam Smith dan kemudian mengutip kata serta logat Bayem Sore, sang filsuf kontemporer.
Pada gilirannya, saya mengandaikan kalau saja si N bisa lebih membumi, “menyentuh rumput”, dan sekali saja mencoba memahami disparitas antar kelas borjuis dan proletar—mungkin ia bisa duduk ngopi sambil cosplay maba-aktivis-kiri yang hampir selalu bermimpi mengorganisir massa demi meruntuhkan kapitalisma—yang dalam konteks ini, merugikan para pembucin.
Meskipun saya dan N telah bersepakat, lebih mudah membayangkan dunia ini kiamat ketimbang kapitalisma rungkad—seperti bacotan Žižek, yang gemar sekali menggosok hidungnya.

Epilog

Dengan adanya fenomena mokondo-momekdo, mata saya sekali lagi terbuka dan memahami betapa pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan—khususnya, hubungan romansa—demi meminimalisir potensi kekecewaan-kekecewaan yang sebenarnya dapat dicegah. Misalnya, dengan membikin perjanjian-perjanjian tertentu atau sekurang-kurangnya berdiskusi untuk mencapai konvensi kencan, katakanlah, split bill (baca: patungan), dan sebagainya.
Pada akhirnya, saya akan tetap mengambil posisi duduk favorit saya sambil mengatakan sesuatu yang cukup berwarna Sartrean, “Do whatever you want. But remember this, consider that, every choice you make and every deed you take, has the complex consequence that you may forget to calculate.”

Friday 15 September 2023

Tanpa Moralitas Objektif Semuanya Boleh: Emang Boleh Seboleh Itu?

Hampir setiap hari, saya menjumpai frasa "emang boleh" di medsos. Di status WhatsApp, di beranda Twitter (maksud saya X), di story Instagram. Tak hanya di medos, bahkan dari mulut orang-orang di sekitar. Emang boleh semenjumpai itu?
Oke, lalu apa masalahnya?
Yang jadi masalah adalah saya terkadang tidak bisa menahan diri untuk tidak berfafifuwasweswos. Misalnya, berngangngengngong bahwa pertama, moralitas secara sosiologis merupakan konstruksi sosial. Kedua, konstruksi ini, pada gilirannya, bertransformasi menjadi sesuatu bernama moralitas objektif.
Ketiga, moralitas objektif ini berfungsi sebagai kontrol sosial agar seorang individu tidak melakukan hal aneh-aneh (katakanlah, membunuh seseorang karena penasaran). Keempat, dengan kata lain, tanpa moralitas objektif semuanya “diperbolehkan” dan tidak akan ada yang melarang-larang.
Emang boleh makan sushi pakai tangan?
Emang boleh seblak topingnya selai nutella?
Emang boleh kayang di depan akuarium berisi ikan channa?
Tanpa moralitas objektif bahwa makan sushi harus pakai sumpit, topping seblak harus bakso urat, harus diam di depan akuarium ikan channa.
Tiga contoh pertanyaan emang boleh di atas punya jawaban, bwolehhhhh (pakai logat Twoman). Lagi pula, percayalah, kita tak akan dihukum harakiri di Hutan Aokigahara oleh Dewa Matahari karena melakukannya.
Prabu Siliwangi pun tak akan kembali dari moksanya hanya demi mencegah kita menggabungkan makanan Sunda dengan pasta manis berbasis hazelnut khas Italia. Atau, ikan channa itu pun tentunya tak akan mendiagnosis dan menganggap kita mengidap semacam autisme karena ia tak belajar psikologi dan tak punya semangat tholabul ilmi layaknya manusia.

Artinya apa Banh Messi? Pake nanyaaaaaaa...

Moralitas objektif ialah "kiper" terbaik di dunia. Gatekeeper peradaban. Tanpanya, semua tendangan akan berbuah gol; semua tindakan akan jadi tindakan tanpa “pertimbangan”.
Ya tidak ada yang salah dengan makan sushi pakai tangan, mengolesi selai nutella di atas seblak, dan kayang di depan akuarium ikan channa. Tapi ngapain? Dengan asumsi ini, moralitas objektif adalah yang mencegah kita tidak bertindak gegabah atau minimal meminimalisasi keanomalian yang tak perlu. Mohon jangan gegabah!
Tanpa rantai metafisik ini, menurut saya, manusia tinggallah hayawanun, bukan lagi al-insanu hayawanun nathiq (hewan yang berpikir)—kalau meminjam istilah Imam Ghazali. Konsekuensi logisnya, yang tersisa dari manusia cuma insting survival-biologisnya, kebinatangannya—otak reptilnya.
Maka, bisa kita bayangkan sebuah barangkali yang terjadi setelahnya: misalnya, kaum proletar dan budak korporat di setiap penjuru dunia akan merampok bank nasionalnya masing-masing dan memutar-mutar lagu Bella Ciao—seperti dalam serial drama asal Spanyol, La Casa De Papel (2017).

Tanpa moralitas objektif, semuanya boleh? Affakah iyyah banh?

Besar kemungkinan, iya. Sebab moralitas objektif melahirkan rasa takut ini, rasa takut itu. Secara umum, takut dicap buruk atau tolol oleh orang lain. Sekarang, bayangkan jika moralitas objektif tak ada. Voilà!
Semua orang akan melakukan apapun yang mereka suka tanpa memposting emang boleh di setiap akun media sosialnya. Setidaknya itulah laduni yang kudapatkan dari novel The Brothers Karamazov karya Dostoevsky.
Dalam buku tersebut, moralitas objektif itu bernama “tuhan”. Ketakutan akan “sumber utama“ inilah yang memungkinkan adanya: yang-boleh dan yang-tidak-boleh.
Jika seseorang sudah kehilangan rasa takut atau tak mengimani moralitas objektif, ia cenderung "tidak habis fikri" dan bisa bertindak "di luar nurul". Bacalah pemikiran Nietzsche, Mainländer, dan kawan-kawannya—yang problematik plus red flags banget. Yang juara 1 lomba melanggar perintah tuhan. Atau amatilah kelakuan Diogenes yang di luar prediksi BMKG.
Dengan demikian, diakui atau tidak, “ketakutan“ adalah penahan terkuat-terbesar dalam diri manusia. Tapi perlu digarisbawahi, ketakutan tersebut bervariasi bentuknya. Takut dosa, takut mengulang mata kuliah, takut mertua nggak suka, takut masuk penjara, takut mengecewakan ayang. Mamah aku takut!
Menariknya, interaksi antar rasa takut yang berbeda-beda dosisnya memungkinkan sesuatu yang terbilang kocak gemink. Asumsi ini berasal dari lamunan acak di kamar mandi ketika buang air besar—setelah mendengar pengakuan kawan dekat saya, sebut saja si A.
Si A ini mengaku beribadah karena takut dimarahi ayahnya—bukan karena ia takut api neraka dan ngeri di-BDSM oleh Tuhan di sana (tentunya tidak dalam artian film Fifty Shades of Grey). Ia tidak sedang bercyanda ketika mengakui ini.
Maka, ibadah, dalam kasus kawanku ini, tak lagi sesuatu yang bersifat sakral-transendental tapi sekadar tuntutan sosial-kultural. Tarik menarik antara satu ketakutan dengan ketakutan yang lain. Emang boleh ibadah sesosial-kultural ini?
“Ada orang ibadah karena lebih takut sama ayahnya ketimbang sama tuhan aja udah aneh, sebenernya. Sangat waduh,” begitu kata kawanku yang lain.
Saya tidak mau mengomentari si A—yang penting ia tidak menjadi musang birahi, pinjem dulu seratus, atau mengganggu ternak warga. Lagi pula, saya tidak pernah berminat atau berhasrat menjadi Alina lain dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku karangan Seno yang dalam logat Dian Sastro mengatakan, “Dasar bego! Dikasih syariat tidak mau mengerti!“.

Epilog

Barangkali yang-boleh dan yang-tidak-boleh hanya gagasan belaka, cuma ada pada pikiran—dalam bentuk platonik. Jika kita tidak menganggap gagasan itu sebagai gagasan yang baik, maka sebenarnya tidak ada yang bisa mengekang-menghentikan tindak tanduk kita sebagai burung tanpa sangkar. Manusia tanpa moralitas (baik objektif maupun subjektif).
Saya malas mengatakannya, tapi jangan-jangan sangkar itu, moralitas itu, sebenarnya tidak ada—kecuali kita berperilaku seolah-olah itu ada.
Barangkali itulah sebabnya sejarah manusia dipenuhi genosida atas nama negara atau agama, penjajahan kultural, kolonisasi ilmu pengetahuan, penjarahan sumber daya alam, pemerkosaan terhadap mereka yang termarjinalkan, perbudakan rasial, dan seterusnya. Silakan sebutkan perbuatan najis, kejam, dan menjijikan—niscaya manusia telah melakukannya.
Masyarakat bisa menyusun nilai-nilai kolektif, the crime and its punishment, misalnya dalam bentuk hukum positif. Namun, saya rasa, saya pikir, tidak ada satupun yang benar-benar menghalangi kita melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Menonjok dada seseorang sampai berbunyi “dug!“ mungkin tidak diperbolehkan secara hukum atau sosial, tetapi tidak ada hal eksternal yang benar-benar dapat menghentikan seseorang untuk tidak melakukan hal demikian jika berhadapan dengan sesosok manusia yang menyebalkan dan ia mempunyai kesempatan melampiaskannya.
Kau bahkan tidak bisa menghentikan kehendak bebasku untuk meludahi mukamu jika kau melakukan suatu kedunguan yang percaya diri di hadapanku. Dengan kata lain, kita selalu punya kesempatan untuk menjadi seorang stoik yang ignorant-bastard. Yang tidak peduli pada perasaan orang lain dan mampu bersikap brengsek.
“Semuanya boleh“ adalah kenyataan dilematis yang bisa didengar makhluk liar, manipulatif, dan destruktif macam manusia. Hiduplah lebih lama, kau akan tahu mengapa aku mengatakan demikian.
Maksudku, seorang manusia sekalipun ia tahu dan memahami aturan-aturan ia bisa saja mengabaikan konsekuensi dari tindakannya—tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang melakukan kekerasan hingga korbannya koma kemudian disidang karena perbuatannya, ia bisa saja melakukan hal tidak bermoral seperti menyogok hakim atau jaksa untuk mengatasi masalahnya. Hakim atau jaksa tersebut pun bisa saja menerima suapnya.
Pada akhirnya, orang-orang masih akan peduli setan pada moralitas selama itu tidak mengganggu sesenti pun ruang hidupnya. Dan bumi akan tetap berputar pada porosnya. Kenyataan bahwa “semuanya boleh” akan terdengar manis bagi seorang sinting.
Bagi yang waras dan masih punya rasa percaya terhadap pentingnya moralitas, ini adalah kenyataan pahit yang sulit ditelan. Itulah mengapa aku memakai kata "dilematis". Emang boleh sedilematis itu?