Showing posts with label reviu buku. Show all posts
Showing posts with label reviu buku. Show all posts

Wednesday 26 April 2023

Reviu Singkat “Mata Kecoak - Dayuk” dari Perspektif Absurdis yang Lebih Nyaman Disebut Eksistensialis



Author: Sayyidatul Imamah
Title: Mata Kecoak
Format: 182 pages, Paperback
ISBN: 9789797753313
Published: March, 2023 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Absurdisme yang ditawarkan Dayuk (sapaan akrabnya) dalam kumpulan cerpennya ini tentu berbeda dengan Kafka, Camus, Beckett, atau Ionesco. Jika mesti dilabeli, barangkali ia adalah seorang Absurdis-Feminis; absurdis yang tak hanya menggemakan kerandoman pikiran seorang manusia dengan daya imajinasi supertinggi, tetapi juga membawa serta female gaze & isu keperempuanan di realitas yang patriarkis. Tapi, akan terlalu picik apabila kita hanya mempersepsikannya atau bahkan mereduksinya demikian, sebab Dayuk juga membawa hal-hal yang penting namun jarang kita renungi-maknai: suara-suara benda mati, pikiran-perasaan serangga, kemuakan terhadap peperangan, kritik atas otoritarianisme, viralitas atas hal-hal tolol di masyarakat, hingga elitisme yang hampir selalu menyebalkan.

Berikut reviu singkatnya...

Perjalanan Panjang: mengisahkan betapa ripuh-nya Rusmini menjadi perempuan di lingkungan patriarkal. Yang rentan ditindas & dieksploitasi, misalnya, ketika ia dulu pernah diperkosa di gang gelap oleh lima bajingan secara bergiliran. Tahun-tahun setelahnya bertambah ripuh ketika dokter memvonis Rusmini tak bisa punya anak. Ibu Rusmini rusak mindset-nya—fetish untuk membahagiakan lelaki—& lebih sedih ketika mendapati suaminya yang jahat mati gantung diri di pohon belakang rumah setelah ia menendang adik Rusmini hingga mati. Pada akhirnya, Rusmin bundir menenggak pil & yang lebih membagongkan, jasadnya baru ditemukan pada hari berikutnya—karena suaminya yang dingin & berengsek terlalu sibuk indehoy dengan pelacur murahan. Kisah ditutup dengan headline berita yang membuat pembaca naik pitam. Benar-benar rentetan penderitaan yang panjang. Membacanya seperti mengarungi mimpi buruk yang berkepanjangan. Berbahagialah Rusmini-Rusmini di luar sana. Cerpen ini membikinku menghela napas sepanjang ingat dikandung ingatan.

Nasrina Masih Berlari: tentang seorang gadis berambut bondol bernama Nasrina, yang menjadi viral karena terus berlari. Dengan kaus merah & celana hitam sobek-sobek, Nasrina berlari—untuk mencari kebebasan—ia masih berlari menuju ke tempat yang tak bisa mengekangnya. Nasrina masih berlari agar tak berakhir seperti orang-orang. Melewati hutan gundul, di atas lautan hingga sampai di Asia bagian Barat di mana ada banyak perang—anak-anak seusianya mati meregang nyawa. Nasrina kecewa sebab ia merasa mereka lebih membutuhkan perhatian dari dunia & awak media ketimbang meliput dirinya yang terus berlari seperti Forrest Gump. Ending-nya, Nasrina berhenti berlari setelah bertemu lelaki tua yang mengantarkan tiga anaknya bersekolah. Cerpen ini, meskipun terkesan absurd, tetapi mengajak pembaca untuk merenungkan betapa orang-orang tak pernah peduli pada peperangan & lebih memedulikan hal-hal nampak aneh bin tolol. Peculiar things are always famous. Tokoh Nasrina pun mengingatkanku pada Nasida Ria, yang pernah menyuarakan perdamaian lewat medium musik: banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai! Lebih baik “make love, not war” kalau kata Lennon.

Foto Presiden: salah satu cerpen paling emosional serta realistis tentang kondisi desa yang terpencil jauh dari “peradaban” & betapa tak bergunanya berharap pada negara. Mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa di semesta lain ada sekolah yang lebih butut dari kandang ayam—hanya berisikan foto presiden yang tak pernah diganti sejak tahun 1998 (tak diganti karena tak ada uang buat beli foto presiden yang baru)—serta seorang Kepala Sekolah merangkap guru (setelah ditinggal dua gurunya jadi TKI di luar negeri) dengan dua muridnya: Elki yang kritis & Tinasa yang penurut. Secara personal, saya menyukai tokoh Elki yang bawel. Macam Socrates yang membaca Skeptisisme Descartes. Sepanjang cerita, pembaca akan dihadapkan pada kegeraman & tendensi kuat untuk mengelus dada. Bau busuknya Orba yang masih menyengat kuat seakan menambah kesan bahwa “yang berganti hanya presidennya, bukan kediktatorannya, bukan nasib orang-orang lemah macam tokoh Kepala Sekolah.”

Kumis yang Sengsara: menceritakan kisah sebuah kumis bernama Kirik yang hidup sengsara di wajah Preman. Sebelumya Kirik pernah lahir di wajah seorang petani dan seorang politikus. Di kehidupannya yang ketiga ini, Kirik begitu tersiksa karena pola hidup jorok si Preman. Pada gilirannya, Kirik berempati karena mendapati fakta bahwa si Preman seperti tokoh Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) dalam lakon absurd berjudul Menunggu Godot karangan Samuel Beckett. Bedanya si Preman menunggu ibunya untuk pulang. Si Preman, meskipun Preman—uniknya—memiliki semacam kriteria untuk dipalak; tak mau memalak mereka yang termaginalkan. Di malam-malam yang panjang, Kirik sadar bahwa si Preman kesepian. Satu-satunya kawannnya hanya si Pawang Monyet yang cengengesan. Dialog mengalir-menampilkan realitas masyarakat kelas bawah yang suram. Suasana Covid pun terbangun dengan baik-apik dalam cerpen ini. Karena Covid, dengan dramatis, pasar—tempat satu-satunya di mana “cahaya” itu ada—ditutup. Kisah ditutup dengan sedih—setelah si Preman melamun & membayangkan bagaimana jika ia sebenarnya dibuang oleh ibunya? & air mata Preman lembut itu mengenai tubuh Kirik. Aku bukanlah Übermensch, aku juga bisa nanges. hiks...—batin si Preman. & Genrifinaldy pun meneteskan air mata, lalu meraih 2 lembar tisu itu di meja kerjanya.

Mencoret Kelamin: Gina, seorang perempuan yang gemar bertanya hal-hal eksistensial sejak umur 10 tahun. Mengapa perempuan bervagina, merasakan menstruasi seumur hidup, harus bersikap lembut-manis-patuh, & memiliki beban-batas lain yang terlampau absurd? Gina terus bertanya-tanya, kepada guru sekolah sampai guru ngaji. Tapi jawaban mereka (terutama jika dijawab dengan pendekatan agama) memang tak pernah memuaskan, seperti biasa, seperti realitanya. Karena merasa dirinya bagai alien bagi dirinya sendiri & merasa terisolasi (baca: merasa sendirian), Gina meneggak puluhan pil tidur. Ia pun tumbuh menjadi perempuan yang memendam “gelembung gelap” itu diam-diam. Situasi bertambah anjing ketika tiga temannya secara haduh gak ngotaknya memperkosanya ketika sedang mengerjakan tugas kelompok. Peristiwa nahas itu mengubah seluruh hidup Gina hingga dia berhenti bertanya-tanya. Pada gilirannya, Gina bergabung dengan Kelompok Dukungan & mendapat perspektif baru dari seorang lelaki yang mengutip Sartre: bahwa seseorang yang berpenis pun menderita. Gina mencoret kelaminnya, & menggantinya dengan kebebasan. Akhirnya, Gina hidup sebagai manusia bukan kelamin. Setelah membaca Sartre dengan tekun Gina pun mengeluarkan kredo pamungkasnya: Gina mendahului vagina! Bukankah memang begitu seharusnya?

Bagian yang Ada: tentang enam orang bernama: Le, La, Ki, Pe, Rem, dan Puan—yang melingkari meja untuk memakan Bagian yang Ada. Katakanlah dunia sebagai meja & Bagian yang ada di atas meja itu sebagai suatu makanan untuk dimakan. Masalah ada ketika Le, La, & Ki tak pernah bisa adil dalam bertindak, selalu tamak, & hanya memikirkan Bagian-nya sendiri. Secara alegoris, cerpen ini, menyiratkan bahwa lelaki selalu mendominasi perempuan. Perempuan adalah Le Deuxième Sexe (The Second Sex) kalau kata de Beauvoir. Perempuan dalam di mata de Beauvoir seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Perempuan tak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Artinya, perempuan tertindas & tak pernah mendapatkan kesetaraan. & barangkali, tak ada yang bisa meruntuhkan tirani itu lelaki kecuali lelaki itu sendiri. Setelah membaca cerpen ini, aku merasa seperti Adam yang berdosa karena pernah menyalahkan Hawa pascaditendang ke bumi.

Jembatan: habis berbatang-batang perempuan itu belum datang.... Cerpen ini memungkinkan banyak permenungan-permenungan eksistensial. Bagaimana jika kita “membunuh diri kita sendiri”? Atau, misalnya, kesepian & keterasingan macam apa yang dirasakan jembatan? & mungkin tak ada yang lebih buruk dari eksistensi yang tak disadari. Tapi orang-orang yang berjalan di atas Jembatan itu barangkali memanglah Sisifus dengan batu yang berbeda. Pada akhirnya, selain Sisifus, seseorang benar-benar harus membayangkan jembatan yang memiliki ingatan bagus itu berbahagia atau minimal—membayangkan—pagi itu Camus & tokoh-tokoh Dayuk tak menyeduh kopi karena sakit maag & memilih kemungkinan yang pertama. Kill him/her-self.

Menjadi Aku: coba kau pikirkan, coba kau renungkan, bagaimana jika kau dikutuk menjadi lampu lalu lintas? Kau sarapan dengan suara klakson & cahaya biru dari ponsel orang-orang yang selalu sibuk. Setiap saat kau melihat miniatur Sisifus itu berjalan menuju ke arah yang sama—dengan kaus yang itu lagi itu lagi; menyaksikan persegi-persegi panjang itu bergerak, & kalau sial, bertabrakan—memungkinkan momen inersia & membikin kebisingan yang memuakkan. Bayangkan... “bagaimana kalau kehidupan repetitif inilah yang akan kau jalani selamanya?”. Cerpen ini mengingatkanku akan konsep Eternal Recurrence/Return (baca: perulangan abadi) yang digaungkan Nietzsche. Filsuf eksistensialis itu menghadirkan kemungkinan buruk atau skenario jelek bahwa waktu bergerak sirkuler, bagai ular ouroboros yang memakan ekornya sendiri—& kita mesti hidup, merasakan tragedi, & mati & hidup—begitu seterusnya. & ini bertambah ngeri jika kita adalah lampu lalu lintas. Misalkan kita adalah lampu lalu lintas, mampukah kita mencintai segenap hidup dalam keabadian-kerepetitifan yang menggabutkan itu? Baik menjadi manusia yang merasakan bahwa ada yang salah dalam dirinya ataupun menjadi lampu lalu lintas yang hidup sebagai benda mati, keduanya sama-sama terlalu buruk untuk dijalani. Mungkin lebih baik tak pernah mengada. Sleep is good, death is better; but of course, the best thing would to have never been born at all. Saya membayangkan Heine membacakan puisi fenomenalnya secara teatrikal di depan lampu lalu lintas itu.

Waktu dan Tempat untuk Kematian:
“Manakah yang lebih baik, mengetahui waktu atau tempat kematian?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali, yang lebih baik adalah menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh diri kita sendiri. Cerpen filosofis ini sukses memikat hatiku & secara tak sadar membuatku berkata kasar dalam tendensi kagum. Terdapat banyak gagasan-gagasan besar yang coba dipadatkan ke dalam cerita & itu berhasil. Bahwa penamaan hari hanyalah warisan bersama, seperti bahasa. Aku sepakat bahwa kematian (sebagai sesuatu yang buruk) terlalu dibesar-besarkan sampai banyak dari kita mengira bahwa penderitaan seumur hidup & hidup abadi tak lebih buruk & membahayakan dari kematian. Melalui cerpen ini, timbul keseruan untuk membayangkan bahwa ada seorang (katakanlah) budak korporat, yang menabung selama sepuluh tahun & menggunakan tabungannya untuk menyewa pembunuh bayaran—yang targetnya adalah dirinya sendiri. Apapun alasannya, sesuatu yang kita sebut sebagai alasan mesti diberikan sepenuhnya kepada yang-melakukan. Sedikit fafifuwasweswos, dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”—dengan kata lain, secara tak langsung menyatakan bahwa hidup merupakan perkara yang-subjektif & pilihan-tindakan adalah sesuatu yang personal. Bagian membagongkan dari cerpen ini: Pembunuh Bayaran gagal menjalankan tugasnya & malah diberi kuliah eksistensialisme à la Camus (meskipun Camus benci dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme; eksistensialis) sebanyak kira-kira 6 sks. Tujuan eksistensialisme, singkatnya, adalah penciptaan makna/esensi; sedang absurdisme berupaya merangkul yang-absurd atau ketakbergunaan dalam hidup & secara simultan memberontak dengan cara terus hidup—memilih untuk terus hidup adalah sebentuk pemberontakan. Cerpen ini juga mengingatkan kita bahwa ada kedunguan umum yang mengatakan cewek itu ribet. Faktanya, cewek dan cowok, keduanya sama-sama memiliki potensi ribet yang sama. Keribetan tak bisa ditarik hanya ke dalam satu jenis kelamin tertentu. Terakhir, moralitas pun sepertinya hanyalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial oleh suatu masyarakat. Mungkin ini akan terdengar posmodern, meminjam bahasa Tarkovsky (lagi), sebuah dunia di kepala 8 miliar manusia adalah 8 miliar dunia yang berbeda. & moralitas barangkali memanglah sesuatu yang relatif; brengsek tak sesederhana ketika kita menyakiti orang lain. & tanpa moralitas objektif, tak akan ada yang menganggapmu goblok karena telah mencoba membunuh dirimu sendiri dengan tangan orang lain bila tak ada yang mengetahuinya. Sartre benar lagi, manusia dikutuk untuk menilai & ternilai.

Snob Berpistol: cerpen ini sedikit mengingatkanku pada The Strangers karya Camus. Tokoh utama (Meursault) di dalam novel tersebut membunuh ibunya secara esensi/gagasan dalam ungkapan “Ibu meninggal hari ini. Atau mungkin kemarin, saya tidak tahu”. Di cerpen ini, tokoh utama, Snob yang berkelamin pistol, benar-benar membunuh ibunya (secara eksistensi). Seperti Meursault yang menembak “orang Arab” tanpa alasan yang jelas sama sekali (& mengakui bahwa dia tak harus membunuhnya)—keabsurdan semacam itu hampir bertebaran di sepanjang narasi “Snob Berpistol”. Awalnya pembaca akan mengira bahwa Snob mengidap semacam megalomania khas Hitler karena membaca The Will to Power-nya Nietzsche atau buku-buku Heidegger & merasa ia adalah Ras Unggul. Atau mungkin semacam superstar syndrom karena pernah viral. Dayuk mengajak kita untuk merenungkan ulang, apakah manusia unggul adalah mereka yang hanya membaca buku-buku filsafat, mendengar musik-musik klasik, menonton film-film sureal, & yang membuat teori-teori berguna untuk keberlanjutan hidup? Atau mereka yang memfafifuwasweswoskan Nietzsche, Lou, Rée, Schopenhauer, Deleuze dkk. Cerpen ini juga mengingatkan akan pentingnya menjaga “subjek” agar tak mati ketika menimba-membaca pemikiran-pengetahuan. Puncaknya ketika terdapat dialog mengenai isi kepala penulis yang ramai seperti pasar nama & gagasan. Uniknya, penis Snob yang berbentuk pistol, secara simbolik, pun menyimbolkan bahwa kelelakian mempunyai potensi bahaya yang sama dengan senjata api. Penulis juga menyoal bagaimana “persetubuhan pemikiran” mungkin tak akan seutuhnya memuaskan dahaga dua insan yang dimabuk cinta. Cerpen ini menyiratkan pula bahwa tuntutan untuk bahagia, lebih mengerikan dari mendorong batu tak berguna dalam kekekalan. Pada akhirnya, Perempuan itu mati terbunuh (secara eksistensi) oleh Snob, tetapi gagasan akan Perempuan itu mungkin takkan pernah mati—bahkan jika Snob mati bunuh diri & jadi Deleuze kedua.

Jalan Lain Menjadi Serangga: cerpen ini me-recall ingatanku pada kutipan Cioran dalam The Trouble with Being Born (tentu dengan diksi yang disesuaikan, telah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks): jangan-jangan lebih baik menjadi serangga ketimbang manusia—sehingga mereka tak akan saling menghina—atau saling membenci & menyebabkan perang dunia? Betul bahwa: tak ada serangga yang merasa paling benar; tak ada serangga yang suka menilai hampir segalanya & banyak bacot dengan wajah menyebalkan. Penulis mengajak kita untuk belajar banyak pada serangga-serangga, khususnya kecoak, yang mampu menghadapi seleksi alam & berevolusi menjadi tangguh bukan kejam. Cerpen ini juga menyinggung soal perang & perbudakan (perbudakan rasial). Lebih banyak nilai moral yang akan kita dapatkan ketika membaca “Jalan Lain Menjadi Serangga”—ketimbang membaca

Mata Kecoak: jika membayangkan pembukaan Kafka yang terkenal dalam The Metamorphosis—pada suatu pagi seseorang bernama Gregor Samsa bangun dari mimpinya yang gelisah & mendapati dirinya berubah di tempat tidurnya menjadi kecoak—saja sudah terlampau absurd, cerpen ini boleh jadi lebih absurd. Bayangkan, di semesta lain ada semesta kecoak lengkap dengan pemimpinnya yang memiliki realitas persis macam manusia. Lengkap dengan matanya yang memiliki 2000 lensa yang bergerak-gerak, Pemimpin Kecoak itu mengawasi layar monitor serta tindak-tanduk 15 kecoak (baca: warganya). Cerpen ini berhasil menampilkan semesta kecoak yang mirip manusia di sebuah negara dunia ketiga; yang lekat dengan feodalisme & teror. Misalkan kita adalah kecoak, bukankah wajar jika kita takut disabuni?

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Saya masih tak handal membuat kesimpulan: membaca Mata Kecoak membuatku berpikir bahwa "neraka adalah keluarga" & absurdisme tak melulu berisi kemuraman yang negatif, tetapi mampu memungkinkan permenungan panjang kali lebar kali tinggi yang positif—sebagai kritik pedas terhadap masyarakat & nilai-nilai kolektif; atau sebagai "penyengat" seperti yang telah ditekskan oleh Plato dalam Apology (yang berkali-kali digaungkan kembali oleh Syarif Maulana).

special thanks to: Indonesia Tera, Raihan Robby, & Sayyidatul Imamah

Saturday 20 August 2022

Reviu Singkat "Sapiens - Harari" yang ... Sungguh Hadeuh Sekali

 

Author: Yuval Noah Harari
Title: Sapiens: A Brief History of Humankind
Format: 512 pages, Paperback
ISBN: 9780099590088
Published: January 1, 2015 by Vintage
Language: English

Sapiens & Hal-Hal yang Tak Selesai

ingatan bekerja seperti mesin pencetak perangko yang ... dingin, pikun, & kuno. tapi sejuta deus lahir setiap hari. menggemakan mitos-mitos baru. lalu mempercepat laju masadepan, yang ... bergerak di antara: bagaimana primata-primitif cikal bakal manusia—mendomestikasi api dengan cara paling udik, seperti menggesekan dua buah batu tanpa sangsi;

& bagaimana seorang diktator mengontrol kerjasama global—dengan memainkan kelenjar adrenal, seperti memproduksi rudal yang ... dilengkapi hulu ledak nuklir—secara massal, melalui wajah keamanan negara, ditenagai isi kepala—fisikawan-teoritis yang ... tiba-tiba jadi nasionalis, sebab dibayar super-mahal—untuk menulis rumus-rumus matematika ... panjang x lebar x tinggi—untuk menjelaskan bagaimana interaksi antar atom bekerja—kepada para penambang bijih uranium yang ... sepertinya bekerja hanya demi bagaimana—bisa makan hari ini.

(2022)

—Moch Aldy MA

Maaf bila saya malah memulai tulisan dengan puisi yang dikarang sekitar 40 menit setelah selesai mengaji buku aduhai ini untuk yang ke-3 kalinya. Kalau tak salah ingat (& tak mengalami efek mandela), saya membaca-menamatkan Sapiens yang ditulis Prof. Yuval Noah Harari asal Israel ini, baik dalam bentuk cetak maupun digital—dalam versi bahasa Inggris & bahasa Indonesia—sebanyak 4 kali. Tapi tolong jangan bertanya ada di mana bentuk fisik buku saya yang satu ini (saya benci untuk mengakui fakta bahwa meminjamkan buku kepada teman dengan segunung harapan akan dikembalikan adalah salah satu kenaifan-kebloonan yang luar biasa).

Self diagnosis adalah sesuatu yang keliru sekaligus tak patut ditiru, tetapi saya ingin melakukannya—kemudian mengatakan bahwa meskipun Sapiens adalah buku bergizi, pada akhirnya, ia membuat saya sedikit depresi & kekurangan vitamin D yang cukup serius—diakibatkan oleh tubuh saya yang hampir tak terkena sinar ultraviolet pada pagi hari—sebab saya lebih banyak membuang pagi di dalam kamar saya yang berukuran kira-kira 4 x 5 meter persegi (sebenarnya tak bisa disebut persegi karena 4 x 5 itu asimetris) untuk mengkhatamkan buku ini.

Sedikit pengingat, kalimat-kalimat di atas, khususnya bagian vitamin D, adalah sebentuk hiperbola biasa yang lazim kalian temui jika membaca teks-teks Genrifinaldy. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya pikir, adalah fakta bahwa bukan matahari yang mengandung vitamin D—melainkan proses ketika kulit terpapar sinar ultraviolet dari matahari yang memicu sintesis vitamin D—lalu ginjal & hati mengonversinya menjadi vitamin D aktif yang dapat digunakan tubuh untuk meningkatkan peresapan kalsium & kesehatan tulang—begitu kata kawan saya yang dokter spesialis bedah.

Ok, saya kira cukup wawawa-nya—mari kita mulai.

Review Bukunya

Harari membuka Sapiens dengan mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa ... di atas ketinggian di Afrika Timur, 2 juta tahun lalu, kita kemungkinan bisa menjumpai sekumpulan sosok-sosok lazimnya manusia:  ibu-ibu yang gelisah tengah membuai bayi-bayi mereka & kecipak riang anak-anak bermain di lumpur; pemuda-pemuda tempramental yang dongkol menentang aturan masyarakat & para tetua yang lelah minta ditinggalkan dalam suasana tenang; kaum jagoan dengan dada berdebar-debar yang berusaha memikat gadis-gadis cantik lokal & para nyonya rumah yang sudah menyaksikan itu semua.

Secara garis besar, Sapiens dibagi menjadi 4 bagian: Revolusi Kognitif, Revolusi Agrikultur, Penyatuan Manusia, & Revolusi Saintifik. Pertama, Revolusi Kognitif, berfokus pada hal-ihwal yang sangat berbau biologi, teka-teki evolusi yang terlampau ndakik-ndakik (bagi cetak biru kepala saya yang IPS-Sosiologi), sampai lompatan Homo Sapiens yang spektakuler ke puncak rantai makanan.

Tapi yang menarik adalah bagian yang membahas bahwa ukuran otak tak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan: walaupun otak Sapiens Modern rata-rata hanya berukuran 1200-1400 sentimeter kubik, tetapi ia jauh lebih pintar dari Neanderthal yang berotak lebih jumbo (bahkan jika diadu dengan Neanderthal yang paling rajin belajar sekalipun); Sapiens Modern juga jauh lebih jenius dari famili kucing-kucingan yang meski berotak lebih gigan, tetap tak bisa mengerjakan soal-soal kalkulus.

Di titik ini, seketika otak saya yang piawai nakalnya membayangkan perlombaan cerdas cermat antara seekor babon bloon bermuka jelek versus Homo Sapiens yang tampan & cerdas—babon itu kalah, kemudian mengamuk & dengan mudah merobek-robek wajah rupawan Homo Sapiens sampai membuatnya menjadi jauh lebih jelek dari seekor babon bermuka jelek yang bahkan belum mandi selama 4 bulan lamanya.

Revolusi Kognitif, singkatnya, sebuah babak yang terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu—yang hanya dialami oleh Homo Sapiens—sehingga menjadikannya spesies yang overpower di hadapan kerabat-kerabatnya (Neanderthal, Homo Erectus, Homo Soloensis, & Homo Florensis)—yang tak mengalami Revolusi Kognitif. Secara biologis, Homo Sapiens yang digambarkan hampir identik dengan manusia modern. Mereka makan, minum, mencari pengakuan dari bestie atau crush-nya, melamun, bermain, jatuh cinta kepada orang yang salah, tidur, bermimpi kencing & bangun mendapatinya dirinya mengompol, hidup berkoloni, membentuk pertemanan akrab dengan sirkel-nya masing-masing & lain-lain & lain-lain.

Babak ini ditandai dengan meningkatnya kepekaan pancaindra (melihat, mendengar, membaui, mengecap, & merasakan) dalam mempersepsi-menganalisis realitas objektif, mulai munculnya realitas imajiner di batok kepala Homo Sapiens untuk mengarang hal-hal berwarna fiksi (yang dibahas lebih detail di bagian ke-3), & menajamnya kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa). Secara pragmatis, membidani lahirnya kebohongan pertama umat manusia & membuka berjuta kemungkinan di kepala Homo Sapiens untuk memanipulasi keadaan demi memenuhi keinginan-kebutuhannya.

"You could never convince a monkey to give you a banana by promising him limitless bananas after death in monkey heaven."

Harari mengajak kita untuk membayangkan bahwa kelak makhluk-makhluk bipedal nan menyedihkan & tak signifikan itu akan berjalan di bulan, mengolonisasi planet mars, membelah atom, menyibak kode genetik dalam mutasi setiap DNA, merumuskan rumus-rumus mekanika kuantum, & menulis buku-buku sejarah.

Transformasi terbesar ada di bagian kedua. Revolusi Agrikultur, adalah istilah yang diberikan untuk sejumlah alterasi budaya dari metode hunting-food gathering (berburu & mengumpulkan makanan) menjadi food producing (bercocok tanam & beternak) & mendomestikasi/menjinakkan (hampir semua) hewan-tumbuhan yang ada di muka bumi. Meski demikian, tak semua hewan mampu didomestikasi/dijinakkan oleh Homo Sapiens, katakanlah ... zebra, rakun, rubah, bonobo, kuda nil, atau serigala.

Hunting-food gathering adalah cara paling primitif (sekaligus udik) untuk mendapatkan makanan—yang dilakukan dengan cara berpencar untuk hunting (berburu) hewan-hewan liar & gathering (mengumpulkan makanan) tumbuhan/buah-buahan liar di belantara liar demi memenuhi kebutuhan fisiologis (baca: makan). Jika sumber makanan sudah habis, mereka akan langsung berpindah tempat untuk mencari sumber makanan yang baru.

Revolusi Agrikultur adalah titik di mana Homo Sapiens menjelajahi-merajai 3/3 muka bumi & dengan radikal memanfaatkannya secara produktif. Yang menarik adalah bahwa Harari (& Prof. Jared Diamond, iya ilmuwan yang famous itu) menggambarkan Revolusi Agrikultur sebagai kesalahan terbesar yang pernah dibuat manusia sepanjang sejarah. Revolusi Agrikultur tak bersinonim dengan apa yang disebut "sukses". Lebih lanjut, menurutnya, pada akhirnya kita tak mendomestikasi hewan-tumbuhan—melainkan sebaliknya. Dengan kata lain, kita diperbudak oleh apa yang kita domestikasi.

Pertanian-peternakan memang memudahkan Homo Sapiens untuk mendapatkan makanan, tetapi industrinya memiliki begitu banyak dampak buruk bagi manusia, hewan, & lingkungan: berkontribusi terhadap meningkatnya rasa mager di tubuh manusia modern (ketimbang berburu babi hutan menggunakan senapan angin yang belum tentu dapat, ya lebih baik ke pergi ke Jalan Suryakencana & membeli sate babi siap santap); hewan ternak menjadi rentan terhadap penyakit, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, & menjadi menyesal dilahirkan (ya bayangkan saja dilahirkan sebagai seekor ayam broiler yang tinggal menunggu takdir menjemputmu di restoran cepat saji atau mengalami transendensi menjadi semacam nugget rebus hasil ngide orang bloon yang kehabisan minyak goreng); agrikultur adalah salah satu pemicu yang mempercepat proses perubahan iklim global—katanya United Nations Environment Programme (UNEP), sekitar 13% emisi gas rumah kaca disebabkan pengoperasian agrikultur—peternakan menghabiskan 70% tanah untuk agrikultur atau setara dengan 30% permukaan tanah yang ada di planet biru ini.

Belum lagi emisi metana, tambah kawan saya (yang ini seorang diploma veteriner; D3 kesehatan hewan) yang gemar mengonsumsi fungi, yang tumbuh di atas tinja hewan ruminansia. Sejujurnya, saya jauh lebih penasaran dengan rasa daging genus gajah purba yang telah punah, mamut, jika dibuat rendang (ya saya tahu ini terdengar seperti random para tolol).

"We did not domesticate wheat. It domesticated us."

Tapi beribu tapi, dear Prof. Harari & Prof. Jared ... siapa orang sinting yang mau tetap hidup nomadik, berburu herbivora berkaki empat melawan karnivora macam harimau gigi pedang pakai tombak, & akhirnya memilih memakan tumbuhan random yang bisa saja membuatnya mampus dalam sekejap?

Bagian ketiga buku ini, Penyatuan Manusia, tak lagi membahas transisi Homo Sapiens dari spesies nomaden ke spesies menetap—kini, Harari menerawang efek domino dari umat manusia yang menjadi satu kesatuan yang tak terhindarkan. Dia berpendapat, bahwa keberhasilan kita dalam mencapai kesatuan ini adalah berkat kemampuan luar biasa untuk menciptakan berbagai mitos intersubjektif. Semacam hal-hal yang hanya ada dalam pikiran setiap individu yang mempercayainya—tak memiliki dasar saintifik, tetapi memungkinkan kerja sama dalam skala massal. Atas nama ekonomi, atas nama negara, atas nama agama—kita bersatu padu bekerja ... begitu mudahnya.

"How do you cause people to believe in an imagined order such as Christianity, democracy or capitalism? First, you never admit that the order is imagined."

Kemampuan untuk fafifu wasweswos ngueng-ngueng mencipta-mengarang mitos-mitos (termasuk tentang membacot hal-hal abstrak seperti ideologi, nasionalisme, patriotisme, sampai memformulasikan traktat perdamaian global) inilah yang membuat Homo Sapiens secara periodik tetap bertahan & secara meyakinkan terus berevolusi: membangun nilai-nilai kolektif, membentuk kerjasama ekonomi di atas alat tukar (mata uang) yang disepakati bersama, membina hubungan bilateral-multilateral, menyusun produk-produk hukum positif, & seterusnya & seterusnya.

Selain itu, mitos-mitos juga memungkinkan umat manusia (& peradaban yang melingkupinya) untuk terus bertumbuh-berkembang sedemikian rupa—juga secara simultan menurunkan angka konflik horizontal-vertikal antar individu agar tak saling timpuk-menimpuk menggunakan kapak perimbas, misalnya, sebagai imbas dari perbedaan-perbedaan rasial yang sama sekali tak terhindarkan—setidaknya sampai saat ini.

Mitos-mitos, saya pikir, adalah semacam rambu-rambu yang mencegah si miskin yang kelaparan tak menjarah dapur si kaya yang secara ironis kelebihan pangan.

Bagian ke-4 buku ini, Harari membawa pembaca pada apa yang disebut Revolusi Saintifik. Revolusi yang ... diproduksi di Eropa pada pertengahan milenium terakhir, kemudian didistribusikan ke seluruh dunia, & dikonsumsi secara brutal oleh negara-negara dunia ketiga. Bagian ini diisi semacam rasa haus kepada pengetahuan baru (yang sialnya disalahgunakan oleh kapitalisme & imperialisme). Menurut Harari, kemajuan saintifik ini memungkinkan kita untuk melampaui batasan-batasan biologis yang ditempatkan pada kita oleh evolusi.
Proses ini menjadi hal yang membentuk fase berikutnya dari sistem empiris manusia yang membentuk kita sedemikian rupa sampai kita sulit membayangkan konsekuensi logisnya.

Bagian paling menarik dari bagian ke-4, saya rasa, adalah ketika Harari membahas kebahagiaan. Seperti yang dia coba tampilkan: hampir tak ada cara untuk mengetahui—apakah kehidupan abad ke-21 kita yang nyaman ini membuat kita, secara objektif, lebih bahagia daripada nenek moyang kita?

Sedikit ngueng-ngueng soal kebahagiaan: tradisi intelektual Barat menyatakan bahwa untuk menjadi bahagia, yang paling perlu kita lakukan adalah pergi keluar rumah, mengamankan sumber daya, mendirikan bisnis, menjalankan pemerintahan, mendapatkan ketenaran, & menaklukkan dunia. Sebaliknya, tradisi intelektual Timur sudah sejak lama menarasikan antipodal-nya—misalnya, dalam untaian ajaran Buddha & Hindu (baik secara eksplisit/implisit), mereka bersikeras bahwa rasa puas mengharuskan kita belajar untuk tak menaklukkan dunia, melainkan menaklukkan instrumen yang membuat kita memandang dunia ini: pikiran kita.

Pada akhirnya, pada titik tertentu, Barat menghasilkan terlalu banyak playboy-tengil yang tak bahagia, yang suka misuh-misuh—sedang Timur terlalu banyak melahirkan orang bijak yang tak seru, yang kontraproduktif, yang hidupnya dihabiskan untuk meditasi, yang hanya memikirkan bagaimana menaklukkan kehendak & pikiran sebagai konsekuensi dari eksistensi.

"According to Buddhism, the root of suffering is neither the feeling of pain nor of sadness nor even of meaninglessness. Rather, the real root of suffering is this never-ending and pointless pursuit of ephemeral feelings, which causes us to be in a constant state of tension, restlessness & dissatisfaction. Due to this pursuit, the mind is never satisfied. Even when experiencing pleasure, it is not content, because it fears this feeling might soon disappear, & craves that this feeling should stay & intensify. People are liberated from suffering not when they experience this or that fleeting pleasure, but rather when they understand the impermanent nature of all their feelings, & stop craving them. This is the aim of Buddhist meditation practices. In meditation, you are supposed to closely observe your mind & body, witness the ceaseless arising & passing of all your feelings, & realise how pointless it is to pursue them. When the pursuit stops, the mind becomes very relaxed, clear & satisfied. All kinds of feelings go on arising & passing—joy, anger, boredom, lust—but once you stop craving particular feelings, you can just accept them for what they are. You live in the present moment instead of fantasising about what might have been. The resulting serenity is so profound that those who spend their lives in the frenzied pursuit of pleasant feelings can hardly imagine it. It is like a man standing for decades on the seashore, embracing certain ‘good’ waves & trying to prevent them from disintegrating, while simultaneously pushing back ‘bad’ waves to prevent them from getting near him. Day in, day out, the man stands on the beach, driving himself crazy with this fruitless exercise. Eventually, he sits down on the sand & just allows the waves to come & go as they please. How peaceful!"

Pada gilirannya, membaca bagian ini membuat saya ingin menelurkan hipotesa liar (hasil melamun di kamar mandi) yang terdengar lumayan mengerikan, tetapi cukup masuk akal: "harapan adalah pisau bermata dua: meningkatnya harapan adalah kabar baik yang membuat kita memiliki beribu alasan untuk tetap hidup; kabar buruknya, kita mungkin tak lebih bahagia daripada mereka yang datang jauh sebelum kita."

Terakhir, semisal pada akhirnya manusia bisa menjadi tuhan, maka ia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya—kecuali kebahagiaan. Mengapa? knowledge is a power that makes humans suffer. Sekian, mari kita tutup tulisan ini (sebelum otak saya berubah menjadi petasan banting) dengan mantra andalan: semoga semua keberadaan berbahagia.

& dengan puisi yang saya karang setelah membaca Sapiens untuk yang ke-2 kalinya.

Sains yang Mengasyikkan & Kau yang Menyebalkan

Pada suatu masa sekitar 13,7 miliar tahun silam, zat, energi, waktu, & ruang berasal dari apa yang dikenal sebagai Ledakan Besar.

Kisah tentang bagian-bagian mendasar alam semesta ini kita kenal dengan Fisika.

Kira-kira 300 ribu tahun setelah muncul, zat dan energi mulai bergabung menjadi struktur-struktur kompleks yang disebut dengan atom & berkombinasi menjadi molekul-molekul.

Kisah atom, molekul, & interaksinya ini dikenal dengan Kimia.

Setelah itu sekitar 3,8 miliar tahun lalu di planet bumi, molekul-molekul tertentu bersatu padu membentuk struktur-struktur amat besar & rumit yang disebut organisme.

Kisah organisme-organisme ini kita kenal dengan Biologi.

Lalu sekitar dua puluh empat jam yang silam, organisme ini mengirim pesan kepada organisme lain yang disukainya.

Namun, walaupun pesannya sudah dibaca & si penerima sudah memposting eksistensinya sebanyak 17 kali, tetapi pesannya masih belum juga dibalas.

&, kisah organisme ini kita kenal dengan Elegi

(2020)

—Moch Aldy MA

Monday 15 August 2022

Reviu Singkat "A Brief History of Time - Hawking" yang Sepertinya Lebih Panjang Ngueng-Nguengnya ketimbang Review Bukunya

 


Author: Stephen Hawking
Title: A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes
Format: 213 pages, Paperback
ISBN: 9780553380163 (ISBN10: 0553380168)
Published: September 1, 1998 by Bantam Books
Language: English

"What is the nature of time? Will it ever come to an end? Can we go back in time? Some day these answers may seem as obvious to us as the Earth orbiting the sun, or perhaps as ridiculous as a tower of tortoises. Only time, that's what we say." —The Theory of Everything (2014)

Mula-mula, saya ingin memberi semacam mukadimah & membangun jukstaposisi sependek pengetahuan saya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa saya sama sekali tak bermaksud untuk menciptakan dikotomi yang tak perlu agar pembahasan ini terkesan seperti suatu bahasan yang teatrikal & enigmatik pada saat yang sama (atau malah menjadi omong kosong yang membingungkan). Faktanya, diskursus tentang 'Waktu' adalah Perang Dingin (atau jika menggunakan istilah yang lebih kolosal; adalah Perang Kurukshetra). Antara konsep Waktu Linier yang digaungkan oleh Agama-agama Samawi/Abrahamik & sebagian besar Intelektual Barat versus konsep Waktu Sirkuler yang diserukan oleh Agama-agama Ardhi & mayoritas Intelektual Timur.

Pada praktiknya, Agama-agama Samawi/Abrahamik (yang berwarna akhirat-sentris) memiliki kecondongan untuk memberi kita pandangan linier tentang peristiwa & waktu yang melingkupinya—bahwa waktu tidak pernah datang dua kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Sebaliknya, Agama-agama Ardhi memberi kita pandangan yang bersebrangan—bahwa waktu datang berulang kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak akan habis.

Secara singkat, Waktu Linier: gagasan bahwa waktu adalah anak panah yang melesat dari masa lalu, melewati masa kini, & menuju masa depan. Dengan kata lain, hidup hanyalah sekali—& tentu mengandung corak pemikiran yang cenderung menegasikan kemungkinan adanya Reinkarnasi (kelahiran kembali). Sedangkan Waktu Sirkuler: anggapan bahwa waktu adalah roda yang berputar, atau bandul yang bergerak ritmis, konstan, & pasti, dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Sehingga, setiap objek & peristiwa niscaya kembali ke posisi asalnya.

Di Yunani kuno, Kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi, yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di konsep Kalachakra (roda waktu) pada teks-teks Buddhis & dalam genealogi Buddhisme di India & di Tibet (baik secara gamblang maupun samar).

Dalam tradisi pemikiran di Nusantara, khususnya masyarakat Jawa, kita akan menemukan konsep
Cakra Manggilingan yang hampir identik dengan Kalachakra, tetapi lebih komprehensif & ekstensif membahas waktu dalam konteks siklus hidup manusia. Dalam bahasa Sanskerta, Cakra bisa diartikan sebagai roda/cakram—sedangkan Manggilingan dalam bahasa Jawa mengandung makna "yang berputar"—sehingga interpretasi filosofisnya adalah bahwa kehidupan laksana roda yang kadang di atas, kadang di bawah, kadang di kiri, kadang di kanan ... hidup kadang bahagia, kadang sengsara, & seterusnya, & seterusnya.

Di Mesir kuno, kita akan menemukan simbol-simbol arkaik yang mengindikasikan konsep Waktu Sirkuler. Adalah Ouroboros/Uroboros, seekor ular (atau mungkin lebih tepatnya naga) yang sedang memakan ekornya sendiri sebagai simbol perulangan waktu (& keabadian). Ouroboros/Uroboros memasuki sendi-sendi tradisi pemikiran Barat melalui ikonografi Mesir kuno & tradisi magis Yunani—juga diadopsi sebagai simbol dalam Gnostisisme & Hermetisisme—terutama dalam ilmu alkimia oleh para alkemis. Kemudian, pasca berkembangnya agama Kristen, di Barat, gagasan Waktu Sirkuler tak lagi populer.

Review Bukunya

Jika rahasia & teka-teki kosmos adalah sebotol minuman bersoda, maka buku ini adalah pembuka tutup botol berbentuk hukum-hukum sains yang mengatur jagat raya. Agar kita tak terjebak dalam glorifikasi sains yang bermajas hiperbola, saya pikir kita tetap harus setuju dengan Hawking bahwa Tuhan tak hanya bermain dadu, tetapi dia melempar dadu itu ke tempat yang tak dapat kita temukan. A Brief History of Time, ditulis dalam bahasa yang saya kira cukup cair & lumayan ramah di kepala, sebab sudah di-downgrade sedemikian rupa (tetapi tetap dengan pertimbangan intelektual, tentunya) dengan harapan tak mereduksi makna aslinya sekaligus mudah dibaca-dipahami-dicerna seseorang yang bahkan tak selalu berpikir secara ilmiah & jarang bersinggungan dengan bahasa-bahasa fisika (kira-kira begitu ... kata sales marketing buku ini, yang kalau boleh jujur, saya sama sekali tak setuju di bagian mudah dibaca-dipahami-dicerna).

Di dalamnya pembaca akan menemukan siluet-siluet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perennial (yang tak pernah selesai dibahas), misalnya tentang bagaimana awal mula alam semesta atau seperti apa bentuknya di masa depan. Di dalamnya pembaca akan menemukan pertanyaan-jawaban berbau kosmologi (saya tertawa ketika menggunakan diksi 'kosmologi', sebab di salah satu adegan film berjudul "The Theory of Everything" yang mengudara pada tahun 2014—Hawking berkata bahwa kosmologi adalah semacam agama untuk seorang ateis yang cerdas) misalnya tentang ...

Newton, Einstein, & para fisikawan gigan lain yang merevolusi cara kita berpikir tentang bagaimana objek bergerak; di era posmodern yang serba-relatif—kecepatan cahaya tetaplah fix & konstan—sehingga kita tak selalu dapat mengukur kecepatan sesuatu itu relatif terhadap sesuatu yang lain; teori relativitas menyatakan bahwa waktu itu tak tetap; sebuah bintang bermassa berat yang mati akan menjadi singularitas yang disebut lubang hitam; lubang hitam tak sehitam itu; lubang hitam menyedot (hampir) segalanya; ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa waktu hanya dapat bergerak maju (senada dengan konsep Waktu Linier); meskipun para ilmuan sepakat bahwa "awal mula" dimulai dengan ledakan besar, mereka tak tahu secara pasti bagaimana tepatnya itu terjadi; fisikawan belum mampu menyatukan relativitas umum & mekanika kuantum.

Saya membaca "A Brief History of Time" karya Stephen Hawking ini dalam versi e-book menggunakan perangkat Kindle Basic 10th Gen—sewaktu di dalam rangkaian KRL dari Stasiun Jurang Mangu—transit, Stasiun Tanah Abang—transit, Stasiun Manggarai—sampai Stasiun Bogor. Selain karena saya memang mengidap mabuk perjalanan, & mesti berdiri selama lebih dari 2 jam lamanya—RAM otak saya ini tergolong rendah & terlalu payah untuk mencerna buku-buku sains yang berat—sehingga, yang terjadi setelahnya adalah adegan muntah-mengeluarkan roti kasur & susu UHT (yang saya konsumsi pada pagi hari sebelum berangkat) di kamar mandi umum Stasiun Bogor.

Meski percaya bukanlah satuan fisika, pereviu percaya bahwa ada sekitar 3 hal yang bisa diutarakan setelah membaca A Brief History of Time: Pertama, pembaca setidaknya dapat menyadari betapa dirinya hanyalah debu kosmik di kosmos yang mahabongsor, mahaluas, mahaabsurd, mahamisteri, mahamembingungkan, & mahahaha; kedua, buku ini punya tendensi membuat pembaca melamun dengan lebih nikmat, lebih asoy, lebih tumaninah; ketiga, pembaca tak akan pernah melihat langit dengan cara yang sama lagi—jika kesadarannya menyadari bahwa ada sekitar 100 miliar hingga 200 miliar galaksi—dengan lebih dari 3 triliun planet di setiap galaksi—yang berputar-berotasi-berevolusi di tengah semesta aneh yang secara konstan terus mengembang ini.

Pada akhirnya, membaca buku ini mengingatkan saya pada ungkapan monumental, nothing really matters, dari Freddie (iya, Freddie Mercury—yang juga mengutip nama martir ilmu pengetahuan bernama Galileo; yang dihukum mati oleh gereja, yang pada saat itu lebih memilih untuk percaya bahwa bumi adalah datar) di lagu Bohemian Rhapsody. Dengan kata lain, A Brief History of Time, cenderung membuat saya berpikir bahwa buku ini dengan brutal seperti ingin menegaskan ulang eksistensi saya yang besar kemungkinan memanglah tak memiliki makna, alias tak berguna. Pada gilirannya, pada titik tertentu, saya kira buku ini juga membuat seulas senyum meraksasa di wajah Schopenhauer yang sepertinya sepanjang waktunya tak bosan-bosan untuk berkata bahwa hidup ini meaningless.

Jadi, yang benar itu Waktu Linier atau Waktu Sirkuler? entahlah ... hanya tukang jam tangan yang suka ngaret yang tahu.

Semoga semua keberadaan lekas berbahagia, sebelum sekitar 7 miliar hingga 8 miliar tahun lagi matahari yang kita ketahui bersama itu akan mengeluarkan serangkaian suara letupan-letusan yang tak teratur sekaligus tak menentu—& mati—lantas menjadi lubang hitam yang baru.

"It is clear that we are just an advanced breed of primates on a minor planet orbiting around a very average star, in the outer suburb of one among a hundred billion galaxies. BUT, ever since the dawn of civilization people have craved for an understanding of the underlying order of the world. There ought to be something very special about the boundary conditions of the universe. And what can be more special than that there is no boundary? And there should be no boundary to human endeavor. We are all different. However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there is life, there is hope." —The Theory of Everything (2014)

Friday 12 August 2022

Reviu Singkat "Hujan Menulis Ayam - SCB" dari Perspektif Pembaca Awam

Author: Sutardji Calzoum Bachri
Title: Hujan Menulis Ayam
Format: 129 pages, Paperback
ISBN: 9789799375186
Published: June 1, 2020 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Judul-judul cerpen di dalam "Hujan Menulis Ayam" saya rasa mengandung efek domino yang dapat membuat pembacanya tertipu dan tanpa tedeng aling-aling merendahkan isinya—sebab menggunakan diksi yang sederhana, yang cukup dekat dengan keseharian normies pada umumnya. Namun beribu namun, pembaca akan terkejut bukan main ketika membaca cerpen-cerpen di buku ini—yang teks-teksnya dibangun & ditopang dengan menggunakan komposisi: imaji liar, plot yang absurd, amanat yang tersirat-implisit, & gaya bahasa yang luar biasa ajaib, terdengar seperti mantra. Apa jadinya jika Presiden Penyair Indonesia mengarang cerpen? Ya, beginilah jadinya. Edan!

Berikut review singkatnya ...

HUJAN: tentang Ayesha yang memiliki hubungan batin dengan hujan—yang begitu mencintai hujan; karena ia membenci matahari. Setelah membaca cerpen ini, ada semacam dorongan untuk berkata bahwa: hujan bukan sekadar fenomena klimatologis yang terjadi ketika kandungan air di awan jatuh ke bumi. Hujan adalah sesuatu yang monumental, yang membuat kita menghayati apa-apa yang sebelumnya kita anggap begitu biasa, bahkan tak bermakna. "Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedahkan sastra, nyanyi, musik, atau tari ..."

Bagi saya, cerpen ini terasa surealis, ajaib, & filosofis. & karena ditulis oleh seorang Presiden Penyair Indonesia—teks-teks dalam cerpen ini mengeluarkan bunyi-bunyian yang ritmis & merdu—seperti hujan di hadapan gurun pasir. Cerpen ini seperti cocok dibaca ketika kita sudah terlampau mumet bergelut dengan realitas yang ada. "Hujan" seperti menghidupkan kembali seorang bocah kecil di dalam alam bawah sadar pembaca.

DI KEBUN BINATANG: mulanya saya mengira ini adalah cerpen tentang sebuah keluarga yang lengkap & harmonis—yang akan membuang minggu di kebun binatang—tetapi saya keliru. Cerpen ini berisikan pertanyaan-pernyataan sengit antar tokohnya: Herman & Lisa (atau mungkin lebih tepatnya berisi rayuan maut nan pantang menyerah dari Herman untuk Lisa). Berlatar sama seperti judulnya, dari dibuka sampai ditutup—dari penolakan sampai penerimaan. "Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang ..."

Detail di dalam cerpen ini luar biasa rinci. Kalau boleh sok tahu, "Di Kebun Binatang" seperti sebuah cerpen yang beririsan dengan puisi legendaris SCB: "Tragedi Winka dan Sihka".

SUATU MALAM SUATU WARUNG: berlatar malam hari di suatu warung yang muram karena lampu di sana bersinar muram—tentang tiga pengarang muda nan suram yang membahas ketakproduktifan mereka dalam mengarang karya sastra—lantas secara acak & tiba-tiba, Nahar (seseorang dari trio suram itu), membahas ketidaktakutannya pada sipilis & gonorrhea. Cerpen ini tambah madesu dengan hadirnya dua wanita tua (satu pelacur tua, satunya lagi pelacur yang lebih tua karena beban kantuknya); yang pertama merajuk bahkan menangis karena terus menerus dituduh mengidap sipilis & gonorrhea, yang kedua pernah alami sipilis & gonorrhea kemudian bertobat & membuka warung ala kadarnya. Saya tertarik dengan bagaimana SCB membuat kesal pembaca (khususnya saya) menggunakan dialog-dialog menyebalkan khas malam hari semacam ini.

TAHI: saya penasaran, apakah SCB menulis cerpen berjudul "Tahi" yang memiliki judul asli "Protes" ini sambil ketawa atau tidak. Saya berani bertaruh—jika pembaca punya sedikit saja kewasaran dalam batok kepalanya, maka ia akan berkata dengan penuh kesadaran bahwa cerpen ini sungguh sinting. Bercerita tentang tokoh aku, kawannya yang belum makan selama empat hari, & seekor figuran berwujud anjing bernama Moli. Tentang orang makan tahi yang menurutnya rasanya seperti nasi goreng, atau nasi goreng yang rasanya seperti tahi karena dibuat dari tahi. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa "Tahi", sama sekali tak berbau tahi—baunya satir sosio-ekonomi campur komedi hitam seorang sastrawan kawakan yang punya selera humor ekstrim. van Gogh gila karena matahari, sama seperti seseorang yang tak makan selama empat hari, yang terpapar sinar matahari secara konstan—kemudian harus fatum brutum amor fati—menyantap tahi dengan lahap. Secara filosofis, cerpen ini seperti ingin mengatakan, pada akhirnya pada titik tertentu—semuanya akan jadi tahi atau minimal terasa seperti tahi & kita harus menerima-menikmati—lebih-lebih mencintai hal-hal tahi semacam itu.

TANGAN: masih dengan tokoh bernama Herman, namun bukan berkisah tentang Herman yang merayu Lisa untuk kawin dengannya. Herman yang ini bucin kepada seorang perempuan bernama Nina. Herman yang ini punya tangan besar & berbulu. Masalahnya, Nina, tak suka tangan Herman yang besar & berbulu. Cerpen dibangun dengan suasana yang cukup romantis, potongan-potongan kejadian yang berjalan pelan namun mantap, lanskap alam yang lagi-lagi detail & indah, & bentuk rasa cinta seorang Herman yang edan, yang melakukan segala cara demi membuat Nina mencintainya—termasuk berpikir beberapa minggu, kemudian kesurupan arwah van Gogh—tetapi seperti yang sudah diduga, Herman tak memotong telinga kirinya, ia memotong satu tangannya sendiri. Saya mencium sedikit bau tragikomedi di sini, sebab pada akhirnya, alih-alih Nina terpesona, terkesan, & jatuh cinta—ia malah muntah di sumur di rumahnya—lalu duduk tersandar pada tembok sumur dengan mata tertutup, dengan tubuh lemas, & kehabisan bahasa. Setelah membaca cerpen sedeng yang cukup melelahkan ini, saya mencoba membayangkan Herman berbahagia dengan apa-apa yang telah dilakukannya. 

Seseorang benar-benar harus membayangkan Herman berbahagia.

MENULIS: bagi saya, menulis karya sastra dengan tema kepenulisan adalah sesuatu yang bisa dikatakan 'berat'. Selain itu, biasanya, juga rentan terjebak dalam klise yang itu lagi itu lagi: misalnya, menceritakan mimpi-mimpi keabadian seorang penulis muda, tambah kenaifan-kenaifannya, tambah ke-optimis-an-nya yang terlampau gigan untuk sekadar dibaca. Tapi tidak dengan cerpen ini, di sini, di cerpen ini, SCB berhasil kabur dari perangkap-perangkap itu. "Betapa pun, aku mau menulis yang kecil-kecil. Aku mau menulis yang kecil-kecil agar aku tak kebesaran dunia. Aku harus kuat pada dunia tanpa menjadi kebesaran padanya. Dunia ini sesuatu yang besar, dungu, tak peduli, keras, & seterusnya ..."

Cerpen ini seperti sebuah puisi ode yang dinarasikan dengan kesinisan-kelirisan dalam dosis wajar—untuk hal-hal yang kita anggap remeh-temeh & biasa-biasa saja. Melalui cerpen ini, SCB seperti ingin meneroka perspektifnya tentang hal-hal filsafati, mendefinisikan kebenaran menurutnya, & mengejawantahkan kata 'hidup' dengan memesona. Dimulai dengan menghadirkan keabsurdan kecoak Kafka, hingga membahas burung milik Freud. Ada banyak dialog eksistensial & intelektual yang cukup pekat untuk membuat pembaca mempertanyakan ulang hidup & kehidupan. Di sini, di cerpen ini, saya bisa merasakan sedikit momen puitik seorang SCB yang ditumpahkan ke dalam teks di tubuh cerita pendek. "Menulis" adalah cerpen favorit saya dalam buku ini.

SENYUMLAH PADA BUMI: adalah cerpen paling waras, paling bijak, & paling jelas amanatnya dalam buku ini. "Selalulah senyum, kau akan dapat sesuatu meskipun tidak selalu tepat seperti yang kau inginkan ..."

Petuah-petuah di cerpen ini tak terjatuh ke jurang ke-sok-tahu-an yang menyebalkan, yang terkesan menggurui seseorang yang masih bau kencur, yang rambutnya masih bau matahari kemarin sore. Membaca "Senyumlah Pada Bumi", pembaca akan dihadapkan pada teks yang hangat & yang sejuk—seperti mendengarkan cerita seseorang telah kita kenal lama, seseorang yang ... ingin kita temui di suatu malam yang masih panjang untuk diarungi seorang diri. Jika cerpen memang harus mengandung nilai moral atau (jika meminjam bahasa Kafka) harus menjadi kapak yang memecahkan lautan beku dalam tubuh kita—maka cerpen ini adalah amplas yang mengamplas kembali pesan arkaik yang kian terlupakan ... tentang betapa pentingnya sebuah senyuman.

Setelah membaca cerpen ini, seulas senyum meraksasa di muka saya yang melankolis ini.

AYAM: sejujurnya, membaca cerpen ini begitu melelahkan. Dimulai dengan narasi bernuansa sejarah timur tengah berbau para nabi, lalu pembaca dilemparkan pada hiruk-pikuk sepasang pasutri yang memelihara ayam, yang (saya duga) keduanya sama-sama sinting. Tentang tokoh aku, yang sepertinya memiliki dendam pribadi kepada unggas berkaki dua yang lazim kita sebut sebagai ayam. Mungkin mereka kesal, sebab ayam peliharaannya itu sering berak sembarangan. Namun pada suatu pagi yang absurd, tokoh aku seperti merasa kehilangan ayam yang ia begitu benci & secara acak, seekor cicak pun jatuh dari tembok—menatapnya sesaat—kemudian lari & tokoh aku tiba-tiba berteriak pada istrinya yang sedang berada di dapur bahwa ia ingin memelihara buaya. Kisah benar-benar berjalan seperti keong yang malas berjalan. & alurnya bergerak ke suatu arah yang nyaris tak tertebak sama sekali. Ada banyak dialog-dialog yang saya kira bakal menggelitiki perut pembaca. & saya benci harus jujur lagi bahwa saya tak pernah menyangka membuang bangkai ayam bisa jadi persoalan yang begitu serius, setara dengan menjaga hubungan diplomatik antar negara demi terciptanya perdamaian dunia. 

"Ayam" adalah cerpen yang ilustrasinya dijadikan sampul "Hujan Menulis Ayam" terbitan Indonesia Tera pada 2020 ("Hujan Menulis Ayam" pertama kali diterbitkan Indonesia Tera pada tahun 2001). Setelah membaca cerpen ini saya membayangkan demit pohon apa yang menginspirasi SCB menulis cerpen ini. Apakah Pohon Akasia?

PADA TERANGNYA BULAN: saya tidak ingin berkomentar banyak tentang cerpen yang satu ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa SCB sepertinya punya hubungan gelap dengan bulan. Buku kumpulan cerpen ini dimulai & diakhir oleh cerpen yang puitis. Diawali dengan Hujan, ditutup dengan Malam, Bulan, Lagu, & Gitar.

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Sejujurnya saya tak handal membuat kesimpulan: satu yang jelas—membaca buku ini membuat saya nausea, & membuat gaya gravitasi di pantat saya semakin menguat. Sedang pikiran saya makin keliling dunia, & perasaaan saya jadi sebungkus permen nano-nano. & pada akhirnya, kita memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: tak ada fakta, hanya ada interpretasi. Sebab ... sebuah buku yang dibaca oleh seribu orang yang berbeda adalah seribu buku yang berbeda—tutup Tarkovsky—mengakhiri review singkat pembaca awam ini.

special thanks to: Indonesia Tera & Titan Sadewo