Showing posts with label arsip. Show all posts
Showing posts with label arsip. Show all posts

Sunday 22 September 2024

Cerpen: Bantal dan Tuan Pecundang

Di kamar yang lindap dan pengap, hiduplah sebuah bantal tua yang sudah mulai kehilangan bentuk aslinya. Bantal ini ajaib: ia bisa bicara kalau dibacakan mantra oleh Tuan Pecundang. Mantranya, Tal-Bantal. Jika diucap dua kali, maka Bantal tidak akan bisa berbicara.


Setiap malam, Bantal menjadi saksi hidup dari keluhan-keluhan Tuan Pecundang, seorang pria paruh baya yang selalu merasa Dewi Fortuna tidak pernah berpihak kepadanya.


“Tal-Bantal, kenapa hidupku selalu sial? Aku sesekali penasaran, misal reinkarnasi nyata, kira-kira dosa sebesar apakah yang telah kulakukan di kehidupan sebelumnya?” keluh Tuan Pecundang sambil merebahkan tubuh jomponya di atas kasur. “Hari ini, gerdku kumat. Istriku, yang tinggal di kampung, memblokir nomorku. Dan aku terlambat lagi datang ke kantor sebab motor bututku mogok. Turun mesin. Bosku naik pitam, hampir menonjok, dan mengancam akan memecatku.”


Bantal, yang khatam betul mendengar keluhan-keluhan tololnya ini, hanya bisa menghela napas dalam-dalam. “Tuan Pecundang, sial memang tidak mengenal tanggal. Tapi sudah tahu Anda punya riwayat gerd, mengapa masih meminum kopi? Tolonglah, Anda bukan Stefan Zweig. Anda bukanlah novelis Austria-Hungaria yang punya hubungan misterius dengan kopi. Dan sudah kubilang berkali, istrimu itu childish dan emotionally unavailable. Meski sudah tua, ia tak pernah dewasa. Dan, berhentilah berlagak menjadi ruang poli jiwa. Saya muak dengan Saviour Complex Anda. Dan, satu lagi, semisal Anda punya otak sedikit lebih pintar dari lumba-lumba, tentu Anda tidak akan pernah berpikir bahwa mengganti oli cuma akal-akalan orang bengkel, sehingga motor Anda tidak bakal turun mesin. Seperti penis, piston butuh pelumas ketika penetrasi. Agar blok piston tidak baret dan lecet,” jawab Bantal dengan nada sarkastik.


Tuan Pecundang mengerutkan keningnya. “Kau beruntung. Sebab kalau kau punya lidah, sudah kupotong lidah brengsekmu itu. Jangan mengguruiku. Bantal sepertimu tahu apa tentang kopi, lika-liku hubungan rumah tangga, dan otomotif? Kau tidak pernah mengerti, Bantal. Tidak pernah. Hidup ini pada dasarnya memang tidak adil. Pengadilan Akhirat ada sebab dunia ini tak pernah adil. Apakah kau belum menyadari bahwa Tuhan Langit tidak pernah berpihak kepadaku? Lihat saja tetanggaku, si Pak Sukses, ia selalu beruntung. Jalan hidupnya adalah jalan tol. Bebas hambatan. Ia tajir melintir. Rumahnya begitu megah, seperti kuil Parthenon Yunani.”


Bantal tertawa kecil. “Barangkali karena Pak Sukses tidak menghabiskan waktunya mengeluh seperti Anda, Tuan Pecundang. Ketika Anda masih tertidur pulas, ia sudah bangun untuk bekerja keras. Dia mungkin lebih bisa dinasehati dan fokus pada sesuatu yang mampu ia kendalikan. Maka, berhentilah mengeluh dan carilah hal positif dalam diri Anda.”


Tuan Pecundang mendengus. “Tidak ada jaminan bahwa ia tidak mengeluh dan bekerja lebih keras dariku. Selain itu, memangnya ada yang positif dari diriku ini? Satu-satunya yang positif adalah bagan medical check up berisi keterangan HIV/Aids. Tak ada yang positif dari hidupku. Bahkan kucingku yang belang tiga, si Albert Catus, pergi meninggalkanku. Seperti kucing-kucing lain, si Albert tergoda untuk menyambangi rumah Pak Sukses. Tak mengherankan, sebab ia seringkali menaruh makanan kucing yang harganya ratusan ribu di depan pintu rumahnya. Bagian terburuknya, aku tak tahu di mana kucing kesayanganku berada.”


Bantal mencoba menahan tawanya. “Bukankah HIV hanyalah buah dari kebodohanmu sendiri, Tuan Pecundang? Hampir setiap hari, Anda menyewa pelacur dan berhubungan seks tanpa pengaman. Lantas, apa yang Anda harapkan? TV LCD tiga puluh dua inch? Ayolah, jangan selalu merengek menyalahkan Tuhan Langit atas kebegoanmu. Soal kucingmu, mungkin ia juga butuh variasi dalam hidupnya. Ia boleh jadi bosan diberi makan kepala ikan yang kurang gizi. Cobalah untuk melihat sisi baik dari setiap kejadian. Segala sesuatu yang terjadi berwajah Dewa Janus, selalu punya dua sisi.”


Tuan Pecundang terdiam sejenak, merenungi kata-kata Bantal. “Kau tahu, Bantal, terkadang, alih-alih memotong lidahmu aku nampaknya lebih ingin memotong urat nadiku. Kau ingat, kesialan ini bermula semenjak tujuh belas tahun lalu, ketika aku gagal menjadi tentara. Sebab Ayahku tak punya sawah untuk dijual sebagai modal. Setelahnya, kesialan datang bertubi umpama orang-orang yang hilir mudik meminjam uang pada Pak Sukses. Barangkali bukan di kehidupan ini, bukan di kehidupan ini, aku bisa menjadi apa yang aku mau dan merasa menang.”


Bantal menggelengkan “kepalanya”. “Tuan Pecundang, memotong urat nadi adalah cara paling menyusahkan diri sendiri untuk bertemu Tuhan Langit. Bagaimana tidak? Anda tidak menderita hemofilia yang hanya butuh sekitar tiga sampai enam menit untuk berpulang karena kehabisan darah. Artinya, butuh berjam-jam bagi Anda untuk mampus. Ada banyak cara yang lebih efektif dan praktis ketimbang itu. Misalnya duduk di rel kereta api. Soal tentara, aku sudah terlampau kesal bilang kepada Anda bahwa tidak ada perbedaan yang cukup berarti antara pelacur dan tentara. Pelacur, menjual sebagian waktu dan tubuhnya kepada lelaki hidung belang. Tapi tentara? Mereka menjual seumur hidup dan seluruh tubuhnya kepada negara. Jika Anda dulu diterima sebagai tentara, mungkin Anda sudah koit di medan perang. Tolong, saya memohon dengan sangat, jangan menyesali masa lalu dan berhentilah membandingkan hidup Anda dengan Pak Sukses. Satu lagi, Tuan Pecundang, tanpa memotong urat nadi pun Anda bakal tutup usia lebih dini dari orang lain. Cobalah untuk memaksimalkan sisa umur Anda.”


Tuan Pecundang menghela napas panjang. “Kau benar, Bantal. Mungkin aku harus mulai mendengarkan semua saranmu. Dan obrolan malam ini benar-benar membuatku ngantuk. Bonne Nuit, Bantal.”


“Selamat tidur, Tuan Pecundang.”


Malam itu, Tuan Pecundang tidur dengan lebih pulas dan tenang. Tapi sayang, itu adalah malam terakhirnya. Dan sebelum mengembuskan napas terakhir, Tuan Pecundang mengigau, Tal-Bantal... Tal-Bantal... Artinya, Bantal tak lagi bisa bicara semenjak mantra diucap dua kali.


Pagi datang dan seorang penyiar berita lokal mewartakan: “Pencurian Kucing-Kucing Belang Tiga yang Dijadikan Tumbal Pesugihan Seseorang Bernama Pak Sukses”.

Wednesday 20 March 2024

Cerpen: Tak Ada yang Baru di Bawah Mata Hari

I was looking for a job, and then I found a job…
And heaven knows I'm miserable now…

Namamu Hari. Kau dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Itulah dering alarmmu yang menyebalkan. Perpaduan sempurna antara melodi ceria dan lirik yang menohok dada. Dengan kata lain, kesuraman yang terdengar riang menjadi sarapan bagi telingamu setiap hari. Kau tak tahu mengapa lagu kesukaanmu berubah menjadi lagu yang paling kau benci. Tapi Caligula tahu, dunia ini pada dasarnya dibentuk sekumpulan orang sinting yang tak mengunjungi poli jiwa, sehingga kesintingan merajalela di mana-mana. Tervalidasi ketika kau menyalakan televisi dan mendapati berita-berita yang niscaya membikin Kaisar Romawi itu bakal tersipu malu.


Kau berpendapat orang-orang lebih memilih percaya bahwa mereka punya gangguan mental dan mengidap masalah biokimia yang kompleks, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut di laboratorium selama puluhan tahun ketimbang mengakui betapa kejam, abusif, dan korup pemerintah—akar dari seluruh kondisi mereka. Kau sebal sekaligus lelah dengan keadaan. Setiap siang bolong, kau bermimpi memimpin revolusi. Sekadar ingin merasai suntikan adrenalin, meski hanya dalam mimpi. Kau paham betul, revolusi cuma kata sakral penggetar dada dalam buku-buku sejarah.


Di dunia nyata, beberapa orang masih bermain-main dengan hal-hal edan, misalnya negara dan kekuasaan. Beberapa lainnya cuma sibuk menyiasati lapar yang tak bisa ditawar. Dan sisanya, yang paling banter... giat bekerja, rajin membayar pajak, dan mati di usia senja. Yang terakhir memicu memori lampaumu. Waktu kecil, Ayahmu berujar, “Hari, kalau sudah besar jadilah manusia.” Menjadi manusia, kau terjemahkan sebagai bekerja. Maka kau pun menduga-duga, jangan-jangan, cara paling rasional untuk mencapai apa yang diinginkan adalah dengan tidak menjadi pengangguran. Lekas-lekas kau lamar ratusan lowongan dengan berbagai posisi. Dari yang gajinya tinggi sampai yang lebih terdengar macam perbudakan zaman kiwari.


Hari di mana kau resmi menjadi manusia yang membanting tulang telah tiba bertahun-tahun lalu. Tapi kehampaanmu masih bersarang entah di mana. Dulu, kau dipusingkan dengan tidak punya uang. Kini, kau dipusingkan dengan semakin terbatasnya waktu dan ruang. Dari lubuk hatimu paling dalam, kau sadar bahwa sebelum dan setelah bekerja tipis sekali batasnya. Kau bahkan menilai Anggur Cap Orang Tua dan Red Wine Opus One kurang lebih sama. Sama-sama menjadi rute pelarian ketika kenyataan terlampau mengecewakan.


Di titik tertentu, dalam pagi yang berulang, kau tak lagi merasa manusia. Kau telah menjadi robot yang punya sistem metabolisme dan dibebani kerangka psikologis. Seluruh hidupmu telah sedemikian mekanis. Dari senin sampai jumat. Dari yang mulanya motivasional sampai kehilangan semangat. Kau bahkan terasing dari dirimu sendiri. Orang-orang yang mulanya kau sebut kolega, lambat laun, mewujud orang-orang asing yang mesti dikompromi. 


Keasingan itu semakin meraksasa ketika kau menyadari bahwa wajah-wajahnya terkubur pada layar berbentuk persegi panjang yang bercahaya dan bersuara. Yang tujuh kali dua puluh empat jam, menyiarkan notifikasi rumah mereka di dunia maya. Kau sadari, teknologi memang mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. 


Dan ironi adalah kata pertama yang muncul di benakmu ketika kau pulang kemudian di perjalanan matamu terfokus pada binar papan iklan yang mempromosikan gadget teranyar. Kepala kau terasa pengar, dan kau pun menuju tempat merebah yang disebut rumah. KPR tipe tiga enam yang cicilannya macam jumlah malaikat yang wajib diketahui—tahun lagi. Dalam perjalanan itu, tak jarang kau berpapasan dengan seorang tunawisma yang menjual kesedihan. Sebuah pengingat akan ketidaksetaraan yang menjangkiti masyarakat. Kau tak ambil pusing, memilih persetan, dan mengisi energi dengan tidur demi mengarungi esok hari yang kurang lebih begitu-begitu lagi.


Matahari pasti terbit, dan kau tiba di kantor entah yang kesekian kalinya. Orang-orang asing yang mesti dikompromi itu masih terpaku pada komputer berisi statistik dan angka-angka. Mereka bekerja berjam-jam, tanpa pernah mempertanyakan apakah semua itu sepadan atau berguna. Seseorang boleh berandai-andai jika Siddhartha Gautama masih hidup, maka ia besar kemungkinan akan bersabda bahwa yang menjadikanmu manusia adalah kapabel memilih gambar lampu lalu lintas dari enam belas kotak yang tersedia. Mampu menyelesaikan soal Captcha adalah penanda paling pasti yang membedakan robot dan manusia. Begitulah isi kebijaksanaan pertama.


Tiba-tiba kau teringat sesuatu, yang mungkin bisa menjadi panasea bagi persoalan-persoalan repetitif dan pelikmu: cinta! Kau mengira telah menemukan harta karun yang telah lama hilang. Kau menjalani hubungan dengan beberapa orang asing yang relatif bisa kau toleransi. Sayangnya, kau sampai pada kesimpulan bahwa cinta hanyalah rentetan kepelikan yang mengernyitkan dahi. 


Seolah-olah kau mengamini bahwa pada dasarnya cinta itu transaksional, horni hanyalah bahaya yang lekas pudar, dan bersetubuh cuma upaya menunda kekalahan panjang bernama kesia-siaan. Kau tidak sedang kesurupan binatang jalang itu, tetapi kemurungan yang sama telah menubuh padamu. C’est la vie! pekikmu dalam hati. Maka demi mengurangi intensitas nyeri, kau pun menenggak beberapa botol alkohol.


I was happy in the haze of a drunken hour

But heaven knows I'm miserable now...


Pada suatu pagi yang biasa, kau masih dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Di luar, sayup hujan turun dengan deras. Sebuah kondisi yang akan meningkatkan gaya gravitasi kasurmu dan menambah rasa kantukmu yang belum tandas. Sambil mengucek-ngucek mata, kau menengok jam. Waktu menunjukan pukul lima lewat lima pagi. Ada hari yang mesti dimulai, lagi.


Tak ada yang baru di bawah matamu, tapi setidaknya kini kau tahu mengapa haram hukumnya menjadikan lagu kesukaan sebagai dering alarm. Sebab, pada akhirnya, kau justru akan membencinya sampai mati. Sebab kau akan membenci sesuatu yang membangunkanmu dari tidur indahmu. Seperti kematian, kapitalisme merebut segalanya darimu. Dan hanya mimpi yang kau miliki seutuhnya, tak bisa direnggut oleh sesiapa.


Ada beberapa hal yang tak kau pahami dan mungkin tak akan pernah. Misalnya mengapa tumbler airmu harganya hampir tiga kali lipat toren air berkapasitas dua ratus lima puluh liter. Setidaknya, untuk saat ini, kau telah berjuang melawan kesintingan dan meredam tendensi bunuh diri dengan sebaik-baiknya. Dan itu rasa-rasanya patut disyukuri.

Wednesday 20 December 2023

Cerpen: Tiga Majusi

Sudah lebih dari satu bulan ini, sekira bakda salat isya, yang kami lakukan adalah duduk melamun semalam suntuk di depan api unggun. Dan bubar jalan pada pukul satu dini hari. Secara teknis, bukan api unggun karena kayu dibakar di atas panggangan barbeque. Namun, katakanlah demikian.

Oh ya, ritual redundan yang tidak sakral ini kami laksanakan bertiga: aku, R, dan A. Bertempat di halaman rumah R yang hanya berjarak empat meter dari rumahku dan tujuh meter dari rumah A.

Mereka berdua adalah tetanggaku. Sayangnya, aku tak pernah cukup pandai untuk mendeskripsikan seseorang. Namun, biar kujelaskan sedikit soal mereka—sejauh yang kubisa.

R adalah seorang pemuda berambut botak dua senti, bermata sayu, dan berkumis tidak simetris seperti ikan lele. Ia berumur satu tahun lebih tua dariku. Secara biologis, umurnya dua puluh empat. Secara psikologis, ia seperti seorang manula berusia lima puluh sembilan tahun yang telah memasuki masa pensiun (aku punya beberapa pembenaran untuk itu, misalnya filosofi hidupnya yang fatum brutum nrimo ing pandum atau gerakan tubuhnya yang seperti bergerak dalam skala sembilan ratus enam puluh fps; maksudku, slow motion). R berprofesi sebagai konsultan bangunan dengan gelar sarjana arsitektur, tetapi kini ketika proyek konstruksi sedang sepi ia banting setir menjadi petani rumahan—ia bahkan menyulap halaman di depan rumahnya menjadi semacam kebun hidroponik. 

Sedangkan A, adalah seseorang bergaya rambut pompadour berusia kira-kira empat puluh tahun dan telah memiliki anak. Wajahnya agak serupa orang Jepang bagian Utara (suku Ainu, tepatnya) dan dihiasi brewok lebat khas orang-orang dari Eropa Timur yang, secara sekilas, persis gambar pada produk serum penumbuh janggut asal Malaysia. A punya segudang pengalaman di dunia finance, sebab dulu pernah bekerja belasan tahun sebagai field collection di suatu perusahaan pembiayaan. Saat ini, setiap pagi sampai sore, selain mengurusi tempat makan paling ikonik di daerahku, bakso kuah rujak à la Bi Enti—ia menggarap kebun miliknya. Sebagaimana R, A pun tengah menggemari dunia pertanian.

Oleh karenanya, kalau bukan ritual melamun di depan api unggun, barangkali tanamanlah yang menyatukan kami bertiga. Aku dan A, sering kali menyambangi rumah R—untuk sekadar membantu mengurusi kebun hidroponik miliknya. Maksudku, secara umur dan latar belakang kami jelas-jelas berbeda. Dan, kalau boleh menduga-duga, bisa jadi batok kepala R berisi estimasi tentang rata-rata tinggi sebuah kusen pintu atau harga keramik marmer di toko material sekitar sini. Sedangkan, batok kepala A bisa jadi berisi ingatan tentang busuknya persekongkolan antara dealer dengan leasing atau soal strategi menjalakan bisnis makanan yang nyeleneh tapi mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun. Dan batok kepalaku, berisi banyak pengetahuan tidak penting, katakanlah soal bagaimana melatih tim futsal beranggotakan remaja-remaja tanggung yang masih mencari jati diri.

Dengan kata lain, kami begitu berbeda, kecuali dalam hobi menyiram tanaman. Dan kalau pun Anda masih penasaran tentang apa hal lain lagi yang besar kemungkinan memungkinkanku, R, dan A, setiap hari menghabiskan malam bersama, maka itu adalah: pertama, pesimisme; kedua, kebencian terhadap dunia politik yang penuh intrik dan gimik.

Biar kujelaskan dari yang pertama. Meskipun aku bisa pastikan R dan A tidak pernah membaca buku mengenai filsafat pesimisme, katakanlah Schopenhauer atau Cioran, tapi dari keempat mata itu, opini-opini, dan selera humor mereka aku tahu keduanya sama-sama pesimistis. Mereka seperti seseorang yang telah khatam menelan asam garam kenyataan yang bajingan. Menghabiskan berjam-jam mengobrol dengan mereka, kukira, rasanya sama seperti mendaki gunung putus asa. Menguras energi tapi memicu begitu banyak kontemplasi dan memberiku pelajaran yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah: bagaimana menerima hidup apa adanya, sebisa mungkin tidak berharap lebih dari semestinya, dan mampu mengapresiasi hal-hal sederhana.

Kedua, ini aneh tapi nyata. Kami sama-sama peduli setan terhadap politik dan punya pengalaman absurd yang nyaris serupa. Singkatnya, kami pernah ditawari jadi tim sukses seorang caleg tapi kami tolak mentah-mentah. Selain itu, kami juga terlampau muak dengan baliho dan bendera partai P dan D yang memenuhi hampir setiap sudut di sekitar rumah kami. Maka, pada suatu sore, tanpa pikir panjang, kubawa saja bendera Britania Raya berukuran dua puluh kali tiga puluh sentimeter yang kupunya ke rumah R—tempat biasa kami berkumpul—dan mengibarkannya dengan tiang dari besi bekas setinggi tiga meter. Setelahnya, kami larut dalam gelak tawa sepuas-puasnya. Dan, memutar lagu-lagu British Rock tahun sembilan puluhan dengan volume sekencang-kencangnya.

Sejujurnya, aku lebih percaya melamun di depan api unggun adalah yang menguatkan perkawanan kami bertiga. Biasanya, ritual melamun dilaksanakan setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi. Tapi sesekali juga setelah memasak air untuk menjarang teh hijau atau kopi arabika dengan metode v-sixty—dan setelah memanggang apa saja yang nampak enak untuk dipanggang: entah itu singkong, roti, pisang, jagung, ikan gurame, lobster, sosis, hingga bakso.

***

Di depan api unggun, aku tiba-tiba teringat buku Sapiens-nya Harari dan menghayati betapa pentingnya api bagi manusia. Kemudian, pikiranku yang liar membayangkan: Bagaimana jika kita tidak pernah mendomestikasi api? Apakah peradaban akan secanggih sekarang?

Rasa-rasanya, api memang memberi manusia semacam kontrol atas alam dan menjadi elemen penting demi bertahan hidup, misalnya untuk membuka ladang, menghangatkan badan, hingga memungkinkan kita untuk memasak makanan yang tidak dapat dicerna dalam bentuk aslinya (katakanlah, gandum, beras, kentang, dan sebagainya). Tak mengherankan, sejak sekitar tiga ratus ribu tahun lalu, kita punya semacam hubungan spesial dengan api. Filsuf alam, Heraclitus, sampai percaya bahwa api adalah sumber dan sifat dari segala sesuatu. Orang-orang Persia Kuno, bahkan mengultuskan-menyembah api dan menamai diri mereka sebagai Majusi. Mereka meyakini bahwa api melambangkan cahaya Tuhan, Ahura Mazda. Kepercayaan arkaik ini kutahu setelah menonton film biopik berjudul Bohemian Rhapsody—tentang vokalis Queen, Freddie Mercury—yang merupakan salah satu penganutnya.

Dalam mitologi Yunani, api dipercaya sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kekuatan ilahi. Mitosnya diabadikan Hesiodos, dalam buku puisinya, Theogony dan Works and Days—juga Aeschylus, bapak Tragedi Yunani, dalam Prometheus Bound. Sederhananya, begini... ada seorang Titan bernama Prometheus yang mencuri api dari para dewa-dewi di Gunung Olympus dan memberikannya kepada umat manusia. Sayang, tindakan revolusionernya diketahui Zeus. Pemimpin para dewa itu murka lantas memutuskan untuk menghukum Prometheus dengan merantainya di atas batu di Gunung Kaukasus, dan menyiksanya tanpa henti: menyuruh seekor elang memakan hatinya. Hati itu akan tumbuh kembali di malam hari, sehingga elang itu dapat dengan senang hati memakannya lagi keesokan hari.

Begitu dan begitu, dalam kekekalan. Mitos ini, secara simbolik, menyiratkan api atau pengetahuan adalah berkah sekaligus kutukan. Atau boleh jadi ada harga mahal yang mesti dibayar kalau bermain api.

“Hei pakcoy, ritualnya belum dimulai. Kita nyeduh teh dan bakar pisang dulu. Lagi banyak pikiran kah? Mikirin cicilan KPR tenor dua puluh tahun?”

Lamunanku pecah.

“Kayaknya sih mikirin pemilu tahun depan. Dibilang susah menang kalau masih banyak politik uang. Sayang duit. Lagian, mending ngelon daripada nyalon. Udah, mending kita vandal aja semua bendera dan baliho partai di sekitar rumah kita.”

“Enggak. Mana ada KPR, nyalon bla bla bla. Aku lagi mikirin jangan-jangan kita ini sebenernya orang Majusi sangking setiap harinya ngadain ritual api begini. Tapi bagus gak sih, biar Pak Ustad MCR (Maman Chemical Romance) punya saingan?” kataku dengan wajah serius, menatapi wajah R dan A.

Dan, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Aku tak bisa menahan tawaku. Ngakak menular, ternyata.

***

Pada suatu malam minggu yang suram, aku curiga, jangan-jangan menontoni api ini warisan evolusi. Genetik. Hobi yang diturunkan  melalui DNA dari generasi ke generasi.

Entahlah, yang jelas, aku benci fakta bahwa ketika aku sedang melamunkan hal-hal abstrak terlalu lama itu hampir selalu membuatku nampak seperti orang sedang memusingkan harga properti yang semakin tak masuk akal—atau sedang memikirkan strategi untuk merusak baliho partai tanpa ketahuan—atau bahkan sedang depresi—karena terlilit hutang dan terpikir galbay, misalnya—pedahal kenyataannya, tentu tidak sama sekali.

Tapi omongan R benar juga, lebih baik kuseruput teh hangat dan pisang bakar dengan toping meses coklat plus keju cedar di depanku itu terlebih dahulu. Lagi pula, kupikir, tidak ada yang bisa menjelajahi dunia kemungkinan dengan perut keroncongan. Bon appétit!

*****

Sunday 8 October 2023

Cerpen: Anomali


Ilustrasi: Omong-Omong/Ghufroni An’ars

“Semua tato itu temporer,” ucapnya, “tak ada yang permanen. Lagi pula, hidup ini fana.”

Seketika saja aku teringat kata-kata yang dilontarkan salah satu klienku minggu lalu. Lebih tepatnya, aku teringat klienku yang unik itu. Waktu itu, Sabtu sore, langit sedang berwarna merah kirmizi dan seorang pemuda kurus bermata sayu dengan rambut bergradasi warna ungu mengetuk-ngetuk pintu studio tatoku. Sebut saja, Anomali.

Aku mempersilakannya masuk. Kami telah berjanjian sebelumnya. Aku menyalaminya dan meluncurkan beberapa pertanyaan basabasi. Ia menyimpul senyum. Kedua matanya kemudian seakan berpatroli mengitari ruangan seluas lima kali lima meter ini. Ada beberapa lukisan Wirhel dan Baskiat yang membikin studioku bernuansa neo-ekspresionis dan pop art. Tapi Anomali malah menatap cukup lama pada salah satu poster dinding yang bertuliskan, ‘get that tatoo, your parents are already disappointed in you’.

Sebenarnya kutipan pada poster dinding itu merupakan bagian dari trik marketing. Agar klien lamaku kembali menambah tato. Dan biar klienku yang baru semakin yakin untuk ditato. Lagi pula, kurasa, tak ada seniman tato yang mau menato seseorang yang masih ragu. Entah ragu-ragu soal penempatannya atau desainnya. Barangkali itulah mengapa, aku selalu berkali-kali mengingatkan klienku untuk tidak menato nama pasangan. Aku tahu, pacar bisa putus, istri atau suami bisa cerai. Aku percaya, mengabadikan nama pasangan di badan merupakan sebentuk kenaifan yang paling mungkin disesalkan. Dan lebih bloon dari memutuskan untuk merajah wajah.

Hal pertama yang kulakukan setelah menyambut klien, biasanya, adalah membuka laptop. Menanyakan apakah desainnya sudah sesuai ataukah belum. Jika sudah lampu hijau, lantas dengan lekas kucetak desain tato tersebut menggunakan mesin printer.

Menyoal Anomali, sejujurnya, aku masih penasaran dengan arti atau filosofi dari tatonya. Desain tatonya adalah aksara Bara yang gundul. Tak ada harakatnya. Masalahnya, dulu… sebelum kuputuskan menjadi seniman tato, aku bukan tergolong sun-tree yang tekun belajar ilmu nahwu atau shorof. Mengingat desain tato yang Anomali pinta, sempat aku curiga, ia adalah seorang sun-tree. Artinya, ia pastilah tahu bahwa di agama Bara, menato tubuh adalah dosa besar yang dilaknat Halla. Maka boleh jadi menato tubuh, baginya, merupakan terapi atau barangkali pemberontakan. Atas norma sosial, jeruji kultural, atau jerat spiritual. Semacam proklamasi kepemilikan atas tubuhnya.

Aku jadi teringat dengan klienku yang lain, ia adalah seorang terapis. Sebut saja, Didi. Pada suatu temaram, di studio tatoku, ia mengatakan bahwa seniman tato adalah terapis yang bekerja dengan medium seni rupa. Didi memisalkan seniman tato sebagai terapis yang menyembuhkan luka batin dengan mengubahnya menjadi karya bernilai artistik serta filosofis. Aku pun sesekali berpikir bahwa menato tubuh adalah upaya mengalihkan sakit mental menjadi sakit fisikal. Semacam katarsis memakai jarum plus pigmen tinta yang menembus lima lapisan epidermis, kedalamannya.

Kembali pada Anomali, meskipun waktu itu adalah tato pertamanya, kulihat ia datang tanpa keraguan di ceruk dadanya. Termasuk ketika ia ngotot untuk ditato di leher. Sependek pemahamanku, tato di leher ini adalah salah satu tato yang paling sulit untuk disembunyikan. Kecuali orang bertato leher itu mau mengenakan hoodie seumur hidupnya.

Selain sulit disembunyikan, tato di leher pun merupakan jenis tato dengan rasa nyeri yang hampir tak tertahankan. Terlepas dari toleransi sakit yang berbeda-beda antara tubuh biologis lelaki dan perempuan. Leher adalah bagian tubuh dengan ratusan saraf, kulit yang tipis, dan hanya memiliki sedikit massa otot. Semua tato itu sakit, tetapi tato di leher sakitnya berkali-kali lipat. Kuadrat. Jenis rasa sakit ini terasa seperti rasa gatal plus panas yang intens. Seolah-olah kucing berkuku setajam pedang dimiskus sedang menyeret cakarnya di atas kulitmu. Kalau secara Numerical Rating Scales (NRS), skala satu sampai sepuluh, tato di leher ada pada skala sembilan atau sepuluh.

Selain menyakitkan, di banyak budaya instansi dan perusahaan, tato di leher dicap sebagai tanda ketidakprofesionalan. Artinya, dibutuhkan begitu banyak permenungan sebelum memutuskannya. Tapi Anomali dengan santai mengatakan bahwa penelitian membuktikan kalau tato di leher ini bisa menghilangkan beberapa kecemasan… misalnya kecemasan untuk mencari pekerjaan, formal khususnya. Bahasa tubuhnya jelas tidak sedang bercanda ketika melontarkan lelucon itu. Ia, kulihat, seperti membaiat diri untuk menjadi freelance sepanjang hayat dikandung badan. Dan, kupikir, ‘Anomali’ pun adalah nama tengahnya.

Begini, aku sudah menggeluti dunia pertatoan (khususnya mesin, bukan handpoke) ini selama lebih dari lima tahun. Ribuan tubuh manusia telah kujadikan kanvas. Dari tato bergaya old skul atau tradisional, neo-tradisional, garis, tribal, geometris, abstrak, realis, tekstual, japanis, tiga dimensi, minimalis, hingga potret. Aku, ibarat seorang arsitek yang pernah merancang berbagai gaya bangunan: dari klasikal, gotik, barok, rokoko, ekletisis, industrial, brutalis, vernakular, bawhaus, art deko, art nuveau, kontemporer, modern, neo-modern, hingga pos-modern. Dan, minggu lalu adalah kali pertama seseorang bertubuh serupa kanvas kosong meminta digambar di leher. Sebab, tato pertama, biasanya, letaknya di pergelangan tangan.

Selain keanehan-keanehan yang telah kuceritakan itu, ada keanehan lain mengenai klienku yang satu ini. Tapi aku tak bisa memastikan apakah ini keanehan atau bukan. Yang jelas, ia ditato tanpa anastesi. Lazimnya, tato pertama dan tato di area tertentu itu diolesi anastesi lokal terlebih dahulu. Semacam krim yang memberi efek kebal alias mati rasa. Cara kerjanya serupa tisu-mejik yang dioleskan pada kelamin pria. Agar sakitnya bisa dikompromi, dan yang lebih penting, agar tidak kapok kalau mau ditato lagi.

Mulanya aku mengira Anomali berlagak sok kuat, tetapi ketika kutanyakan alasannya cukup mencengangkan. Katanya, ia ingin mengukur lebih sakit mana nyeri ketubuhan versus nyeri kepikiran. Jawabannya itu, jelas membagongkan.

Setelah pertemuan itu, aku sesekali memutar lagu yang Anomali pinta ketika ia ditato olehku, di studioku. Lankan Pirk – Pada Akhirnya. Kuresapi reff-nya dalam-dalam: ay traid so hard en gat so far… bat in di end it dasen ipen meter… ay hed tu fol tu lus it ol… bat in di end it dasen ipen meter…

***

Aku dibangunkan dengung samar mesin tato, melodi familiar yang menandakan hari lain di studio.

*****

Thursday 14 September 2023

Genrifinaldy's Poems (2)

Ode to the Adulthood

: Beach House - Space Song

i'm still that random boy in every sci-fi/adventure movie—playing hide & seek with the constellation of stars—seeking to understand what the hell is going on or what the fuck god's problem is. where did he throw the dice?

& how can a mature outside of me still have a light after entering the black hole of reality?

(2023)

-

One of Reason to be Sad

long ago, one of the things that could make me happy all day was finding money in my pants. today, it actually made me sad all day. i realize i'm getting older & forgetful.

forgot that i had those pants & there was money inside of them.

(2023)

-

I'm Disillusioned

by the fact that life isn't like a movie. there is no cinematic backsound for every filmic thing we experience: when we take a deep breath before making a tough decision, close our eyes while kissing our partner's lips, let ourselves be wet caught in the rain, sunken in puzzled philosophical daydreams, smile at childhood memory we have, hangout with friends on friday night then laugh so hard, crying alone silently on the top of pillow on sunday evening, & so on, & so on.

in life, there is no 'protagonist' either. since everyone is an 'extra'. & we never know who the antagonist is. but i found that the “advanced antagonist” can give us shelters, serve us food & drinks, lecture good value, go to the grocery store, pay our bills, & tell us to keep going on the endless circular track they build ahead of us.

unfortunately... that's not the worst part, but the probability that our life was probably directed by the most untalented-amateur directors with a bad sense of humor & taste of art.

(2023)

-

Live Longer

aspirations

are just undiscover

disappointment.

(2023)

-

If You Ask How's My Day...

i just feel like a schiz with a bad headache. too bad, me & my mind speak in a different language. & my neck tells my ears longing for the blade of guillotine. i want to believe that there's a grand lullaby to my agony, a story that will validate my tears, stomachache, & back pain. that's a frail voice inside me hoping for a glimpse of light in the vast darkness. yet, as time unfurls, i recognize those whispers are merely echoes of a desperate heart. but the universe remains silent, indifferent to my pleas. since i'm just transient beings, insignificant in the boundless expanse of existence. my fretfulness, in the enormous narrative of life, is but a meaningless noisy disturbance. i think i consume too many western thinkers until i assume there's no cosmic reward waiting for me at the end. unhappily, i simply exist, endure, & the idea of me eventually vanish into oblivion, with no real assurance that my streams had any true seas. while my hopes perish like little flowers swept by the volcanic mudflow. perhaps, my daily basis struggles are that tinyer than i feel they are. unlucky, now, i have become a gigantic monster under the bed that countless religions fight with...

no, just kidding. i'm okay. that's just a phase. as you said.

(2023)

Saturday 9 September 2023

Genrifinaldy's Poems

  La Voragine infernale by Botticelli


The Outcry of Silence

can we just knock on the sky & tell god to stop character development? we are at the max level. this is our final patience to endure the twinge of tragedy. & our last bravery to face the lethal uncertainty.

hello there... Plath? Dylan? is it completely empty up there? no one is there?

(2023)

-

Every Dawn

i muse about
perpetually enlarged
cosmos while almost
constantly feeling back-pain,
sudden nauseas, random
migraine, impromptu eerie,
& simultaneously thinking: 
“could one rosy afternoon
i merely lay down on
my girlfriend's thigh
in the quiet park. discussing
Monet's painting or
Dostoevsky's novel. play
Morrissey's or
Beach House's songs.
watch Pasolini's or
Ingmar's movies.
for a moment forget
the untolerable horror
of life's trial & terror.
is it too much
to actualize for?”

(2023) 

-

Indulgence

in the midst of
four thousand two hundred
confident belief systems
& three thousand
omnipotent beings,
heaven knows
she's the only religion
that i will ever believe.
the only god
that i will ever worship.

she's the only myth
that i will ever need.
heaven knows...

(2023)

-

Traveller's Tales

in the morning,
i walked barefoot
to the east. there,
i found artificial lights.
those mystical rays
bring peace. calming
the hidden storm
in my mind. i started
to realize this is the home
of tranquillity. i found beauty
lotus thrives on filthy mud.
the pacify of incense.
all the void in every part
of my soul is magically fulfilled.

at night,
i headed to the west.
& found a house.
burned house. there
are too many living corpses.
their tongue was the
sharpest sword that an
unbreakable shield
could imagine. in their
eyes, i see the highest god
suicide & the cemetery
of hope. the birth of
raven, the death of dove. 
i found no one could
take a rest. no one can
emotionally recover
from toward the west.

in the middle of the night,
i want to come home. but
as soon as i headed to
the west, i remember that
the east disappeared into
the nothingness. i'm homeless
now. don't have a home.
nor a house.

(2023)

-

Helplessness

my whole life
is a labyrinth;

designed by
another version
of Daedalus.
to hold the unbearable
naked truth. to taming
the beast within me.
my primal destructive self.
myself.
has an insatiable appetite
to annihilate
ten thousand prophets.

“i have a sublime longing
for cinematic catastrophe!
the downfall of David!”
said the Goliath
inside my flesh.

(2022)

*****

Wednesday 30 August 2023

Cerpen: Reinkarnasi Kesekian

Ah shit, here we go again...

***

Namaku Arpeggi. Dan, beginilah kehidupanku sekarang. Mengada sebagai ikan Angler dengan ingatan dan kesadaran layaknya manusia. Barangkali inilah yang disebut reinkarnasi. Untuk yang kesekian. Dilahirkan kembali. Betapa aduh sekali. Seingatku, dulu, aku pernah hidup sebagai fungi di atas tinja sapi, sebagai kapibara yang dimukbang koloni piranha, sebagai bunga daisy, sebagai pohon kamboja yang tertimpa keranda, sebagai perempuan kelas menengah pada abad pertengahan, sebagai prajurit berpangkat rendah yang dibunuh granat tangan.

Kini, aku sejenis ikan paling buruk rupa yang hidup di zona abisal. Aku lupa siapa ilmuwan kelautan yang dengan sompral memberi predikat demikian. Tapi tak apa. Lagi pula, di sini, tak ada yang peduli pada jelek atau rupawan. Yang terpenting bisa tetap makan dan bertahan dari kepunahan. Di laut dalam, tak ada beda antara pagi dan malam. Semua sama. Pagi gelap, malam gulita. Tak ada sinar mentari yang sanggup menembus seribu meter di bawah permukaan laut. Bagi makhluk abisal, satu-satunya cahaya hanyalah bioluminesensi. Emisi cahaya buatan yang dimungkinkan oleh reaksi-reaksi kimia. Suatu fitur alam, dengan kegunaan yang beragam. Entah untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi. Demi kebutuhan predasi seperti ikan angel dan hiu-hiu tertentu. Atau sebagai sinyal kawin seperti odontosyllis enopla alias cacing bermuda. 

Sebagai yang pernah manusia, kurasa, spesies menyedihkan itu pun melakukan hal yang serupa. Atau minimal mirip-mirip. Mencipta cahaya buatan dari reaksi-reaksi semantik agar dapat punya alasan untuk bertahan. Menurutku, mereka mengembangkan makna dan harapan di dunia nirmakna serta nirharapan. Beberapa dari mereka menyebutnya negara, beberapa yang lain masyarakat, dan sebagian besar menyebutnya tuhan. Kupikir, begitulah evolusi bekerja. Selalu spesies yang mengalah pada keadaan dan lingkungan. Bukan sebaliknya. Apalah arti kehendak di hadapan kenyataan. Itulah yang kupelajari saat masih hidup sebagai makhluk yang katanya paling sempurna. 

Selain gelita, di sini, sangatlah dingin. Suhunya hanya dua derajat celsius. Selain dingin, juga penuh tekanan. Tekanan hidrostatis, tepatnya. Sependek pemahamanku, di bawah tekanan, semua yang bernyawa dipaksa beradaptasi. Berevolusi sedemikian rupa dan cara. Sesekali, naikilah kapal selam, kunjungilah laut dalam, niscaya kau tahu, setiap spesies akan mampus bila tidak melakukan hal demikian. Sependek pengetahuanku, tekanan hidrostastis ini akan meningkat sekitar satu ATM untuk setiap sepuluh meter kedalaman air. Jika kau punya jam tangan dengan keterangan tiga ATM, itu berarti ia hanya tahan dibawa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter. 

Bagi hewan-hewan selain manusia, tekanan, biasanya mengubah morfologis mereka. Bagi manusia, tekanan, mengubah seluruh aspek dalam dirinya. Menjadi suatu spesies yang berbeda dan benar-benar baru. Misalnya mengganti sapaan menjadi he/they atau she/they, membotaki atau membondoli rambutnya, hingga mewarnainya dengan warna-warna terang. Semacam mekanisme pertahanan diri. Mungkin juga mekanisme koping. Tapi, yang jelas, alam mengajarkan bahwa hewan berwarna mencolok menandai ketoksikan. Bahasa ribetnya, aposematisme. Sederhananya, agar hewan lain, khususnya predator, tak berani macam-macam. 

Biologi tak pernah gagal membuatku terkesan.

***

Aku belajar cukup banyak dari kehidupanku sebelumnya. Waktu itu, aku budak korporat perlente. Bekerja dari pukul sembilan pagi sampai lima sore. Lima kali dalam satu minggu. Begitu, secara redundan. Sebagai seorang komuter, waktuku habis dengan menontoni punggung orang-orang asing berwajah kusut masai yang tak akan pernah kutahu apa cita-cita mereka, siapa nama mereka, atau bagaimana hari mereka. Di jalan raya, di kursi tunggu peron, di dalam gerbong kereta. 

Alih-alih spektator, sebenarnya, aku lebih mau jadi aktor. Tak heran, bila pada gilirannya, aku dilanda kebosanan luar biasa kala mengamati para NPC. Aku cuma pekerja teks komersial. Bukan etnograf. Mereka bukan subjek penelitianku. Dan, aku tak pernah berhasrat membuat jurnal akademik dengan bahasa rigid tentang bagaimana kelas pekerja di wilayah perkotaan saling mengimroatuskan diri. 

Kalau boleh jujur, jenis kehidupanku yang sebelumnya itu, ketimbang kehidupan, lebih terdengar seperti kutukan paling menyedihkan yang bisa dicetuskan dewa-dewi di gunung Olimpus. Tak ada kebahagiaan imajinatif dari kerepetitifan yang menjemukan. Aku bahkan merasa, tubuhku bukan lagi tubuhku, diriku bukan lagi diriku. Aku bagai kapal theseus yang setiap kerangkanya telah diganti dan diperbaharui sepanjang waktu.

Tapi yang paling banter kulakukan saat itu hanyalah memenuhi kedua telingaku dengan lagu Tentu Saja Aku Sengsara Sekarang - Para Pandai Besi dan Tak Ada Kejutan - Kepala Radio. Dan, merobotkan diri. Memekaniskan hari-hari. Aku berevolusi menjadi robot tak berperasaan yang bisa menyelesaikan soal CAPTCHA. Alias jadi stoak-stoik urban. Suatu pagi, kuceritakan apa yang kurasakan pada ayahku. Ia bilang jadilah setegar akar. Masalahnya akarku serabut, bukan tunggang. Maka ketika badai menghantamku, yang kulakukan hanyalah cabut dengan lari tunggang-langgang. 

Barangkali, lelah akan kegagalan bertubi-tubi membikinku menjadi sosok yang mudah menyerah. Lelah adalah lelah. Menyerah tetaplah menyerah. Maka, pada suatu minggu malam, kujadwalkan untuk mengakhiri hidupku. Tiga hari sebelum bunuh diri, kukuras tabunganku yang tak seberapa. Kualihfungsikan jadi dana kenakalan. Mencari kepuasan instan. Melampiaskan kehampaan. Mengunjungi sebuah kasino. Bermain domino, qiu-qiu. Menenggak Kolonel Morgan. Dan, menyewa PSK. Setelahnya, aku melompat dengan posisi kepala terlebih dahulu dari apartemenku yang berada di lantai tiga belas.

Sebelum melompat, aku sempat menulis surat wasiat. Dalam testamenku itu, kutekskan bahwa aku ingin pulang. Sebenar-benarnya pulang. 

***

Semesta yang mahabercanda, sialnya, menerjemahkan kalimat itu dengan melahirkanku kembali sebagai ikan laut dalam. Ayolah, aku pun tahu kalau laut adalah tempat berpulang yang paling purwa. Tapi itu bukan berarti aku ingin pulang ke sana dan dilahirkan sebagai ikan Angler. Aku ingin pulang pada ketiadaan. 

Aku mengerti, nenek moyang manusia mungkin adalah ikan atau makhluk laut mikroskopis yang hidup sekitar lima ratus empat puluh juta tahun yang lalu. Dan, kehidupan itu sendiri muncul dari lautan. Yang luasnya mencapai seratus empat puluh juta mil persegi, atau sekitar tujuh puluh dua persen dari luas permukaan bumi. Aku sadar, iklim dan cuaca, bahkan kualitas udara yang dihirup manusia, begitu bergantung pada interaksi antara laut dan atmosfer, yang masih belum sepenuhnya dipahami. Aku tahu, lautan tidak hanya menjadi sumber makanan utama bagi kehidupan yang dihasilkannya, tetapi sejak catatan sejarah paling awal, laut telah memungkinkan perdagangan dan perniagaan, petualangan dan penemuan. Aku mafhum, ketika benua-benua telah dipetakan dan setiap penjuru hampir dapat diakses melalui jalur darat atau udara, sebagian besar penduduk dunia tinggal tidak lebih dari dua ratus mil dari laut dan mempunyai hubungan personal dengannya.

Tapi aku benci laut. Sewaktu masih manusia,  aku bahkan tak bisa berenang dan mengidap talasofobia. Maka, salah satu penyesalan dalam kehidupanku sebelumnya, tentu saja adalah tak menulis surat wasiat dengan benar. Penyesalanku yang paling mungkin kedua adalah tak kuliah fisika nuklir. Mempelajari inti atom dan perubahannya. Memahami bagaimana menciptakan senjata pemusnah massal. Demi mempercepat berlangsungnya hari kiamat. Kau mesti tahu, pikiranku memanglah penjahat paling bangsat yang berkeliaran bebas, yang sepertinya lebih baik dipenjara di Ilcitriz.

Mungkin aku hanya membutuhkan seseorang yang mendekapku dengan erat, hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Entahlah, aku hanya Arpeggi. Ikan laut dalam yang jelek dan jangan-jangan jadi aneh karena tak punya kawan untuk bercerita. Maaf, kalau ceritaku berantakan. Aku bahkan tak tahu akan memulai dan mengakhiri cerita ini dengan seperti apa.

Saturday 26 August 2023

Cerpen: Bagaimana Lukisan Menangis?


“Maaf,” Anna dengan sangsi mencoba memulai percakapan, “Mengapa kau melukis kesedihan? Bukankah seni seharusnya membawa kebahagiaan?”

Raymond terdiam, tetapi kedua matanya masih tidak lepas dari kanvas dan kuas.

“Ah, anak muda... lupakan soal 'seharusnya', kau telah menyentuh kebenaran yang asing,” ia pun membuka mulut, suaranya, seperti sinar matahari pagi yang lemah lembut berusaha menembus tebalnya kabut.

“Seni dan kebahagiaan memang punya hubungan yang baik. Tapi seni dan kesedihan... memiliki hubungan yang lebih menarik dan mesra... tapi kompleks,” tambahnya.

Ia menunjuk. Studionya remang. Tak mengherankan. Setiap inci ruangan itu hanya disinari lampu halogen berwarna kuning berdaya kira-kira lima watt. Jari telunjuknya mengarah pada lukisan dengan skema warna suram. Yang membikin nuansa seakan tambah temaram. Selain tampak kelam, studio itu berantakan. Seperti kapal seniman payah yang pecah. Tumpahan cat di mana-mana. Kuas-kuas yang tidak pada tempatnya. Kanvas-kanvas dengan lukisan yang belum selesai. Seseorang yang belum mengenal Raymond pastilah menyangka ia mengidap ADHD, hanya dengan melihat bagaimana kacau studionya.

Tak berselang lama, Raymond pun bangkit dari kursi kayunya. Berjalan menuju lukisan yang ia tunjuk, Anna mengekorinya. Anna memerhatikan lukisan tersebut dengan seluruh keseriusan dan ketelitian yang ia punya. Lukisan itu berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter. Berjudul “off-limits apocalypse ejaculations”, dengan deskripsi cat akrilik di atas kanvas. Dan, bertitimangsa dua ribu sembilan belas. Selayang pandang, memvisualkan dua manusia—sedang french kiss di suatu kuburan—di atas kepala mereka ada sebuah meteor yang ukurannya cukup besar untuk menandai kepunahan massal ke enam.

“Ini,” katanya, “ini adalah tegangan antara keindahan dan kengerian. Dalam produk-produk dunia penciptaan... lukisan, tulisan, lagu, atau barangkali seni performans... sedih adalah salah satu bahan dasarnya.”

“Hah, bagaimana bisa?” tanya Anna yang keheranan.

“Tanpanya, tak ada citra-citra perjuangan. Menentang keadaan, melawan kesementaraan. Perjuangan tak akan heroik tanpa bumbu kesedihan. Sedih itu serupa garam. Yang membuat sesuatu jadi gurih. Masalahnya, bila terlalu banyak... akan menyebabkan dehidrasi. Rasa kekeringan,” kata Raymond dengan santai.

“Ok, Pak Tua, tapi aku sedang tidak belajar tata boga. Apa hubungannya dengan lukisan ini?” tanya Anna semakin heran.

“Bukankah indah sekaligus ngeri rasanya melihat sepasang manusia sedang ugal-ugalan berciuman semasih kiamat dalam sekejap akan dengan mudah membumihanguskan mereka? French kiss di bandara, di bioskop, atau di kamar hotel... itu sangatlah biasa, tetapi french kiss di kuburan barulah luarbiasa. Kita mungkin sepakat, french kiss itu indah, tetapi french kiss pada hari kiamat lebih indah berkali-kali lipat. Seperti api yang menolak padam.”

Anna, kembali bertanya seperti seorang bocah kadung penasaran yang bercita-cita menjadi penginterviu tokoh-tokoh ambigu, “Aku dapat poinnya. Tapi bukankah menyakitkan untuk melukis pemandangan yang menyedihkan seperti itu?”

Raymond menyungging senyum.

“Ya, memang menyakitkan. Namun, hanya dengan melukis hal menyedihkan itulah kita dapat menerima sedih. Yang pada akhirnya, kita bisa benar-benar menghargai kata 'bahagia'. Hanya dengan seperti itulah seni bisa membawa kebahagiaan. Sedih mesti diterima, lebih-lebih dicintai apa adanya. Aku tak mau semakin meromantisasi tapi saat melukis kesedihan, aku teringat akan betapa rapuhnya keindahan. Betapa ia mudah patah. Entah dipatahkan orang lain, ataukah dipatahkan diri kita sendiri,” jawab Raymond sembari menunduk.

“Apalagi yang kau dapat dari melukis kesedihan?”

Tangan kanan Raymond meraih sebotol merlot. Sedang tangan kirinya menggapai gelas sloki.

“Kau mau minum?”

“Ketimbang merlot, sebenarnya aku lebih menyukai shiraz. Tapi tak apa... aku sedang ingin menghangatkan tubuhku. Beberapa gelas merlot mungkin ide bagus buatku.”

Mereka pun menenggak beberapa gelas merlot. Sembari berdiri.

Dengan sedikit tipsy, Raymond melanjutkan, “Yang kudapat dari melukis kesedihan... sensitivitasku meningkat pesat. Aku merasakan relativitas waktu. Betapa waktu bisa berjalan lambat atau berjalan cepat. Kau tahu, seni juga butuh kepekaan-kepekaan tertentu.”

“Kepekaan seperti apa?”

“Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, kepekaan akan betapa rapuhnya keindahan. Percayalah, anak muda... kesementaraan itulah yang membuat segalanya indah. Jika saat ini aku sedih, maka aku gembira... karena tahu kebahagiaan akan datang setelahnya. Aku menangkap air mata yang tak sekadar menyedihkan tapi juga menenangkan. Dan, sebagaimana cinta butuh bahaya-bahaya, keindahan membutuhkan kengerian.”

“Menarik... memang apa jadinya jika cinta tanpa bahaya, dan keindahan tanpa kengerian?”

“Tanpa bahaya dan kengerian, tak ada cinta dan keindahan yang agung. Yang luhur. Atau adiluhung.”

“Apakah itu artinya seni yang magnum opus itu secara paradoks lebih dekat dengan kesedihan ketimbang kebahagiaan?”

“Ini bukan soal jarak. Jauh atau dekat. Bukan pula soal massa. Ringan atau berat. Begini, Anna, seni, bagiku, adalah soal menerima semua warna yang ada pada buku pantone. Bukan pula soal apakah kita akan melukis dengan cat akrilik, cat minyak, atau cat air. Itu perkara teknis. Ada yang lebih penting dan mendasar dari itu.”

“Apa yang lebih penting dan mendasar dari itu?”

“Hahaha... Hiduplah lebih lama... kau akan tahu... sebagaimana kuning dan merah, biru adalah warna primer dalam hidup kita. Sebagaimana bahagia dan marah, sedih adalah yang berlalu lalang dalam hidup kita. Tapi kebiruan-kebiruan itu, boleh jadi, merupakan yang paling purba dari diri kita. Penanda paling pertama dari kelahiran. Pengiring paling pertama dari kematian. Aku benci mengatakan ini, tetapi kurasa, tak ada yang lebih manusia dari air mata. Barangkali itulah mengapa aku sering kali melukis kesedihan. Ya... dengan melukis kesedihan aku merasa menjadi manusia. Anna, kita adalah manusia, makhluk yang punya rasa. Tak sekadar taste of art. Lebih luas dan dalam dari selera estetika belaka. Tapi kau mesti memahami bahwa penulis sebenarnya melukis dengan tulisan dan pelukis menulis lukisan yang tak terbahasakan. Keduanya sama-sama bisa menyingkap misteri-misteri. Tapi aku hampir selalu percaya bahwa pelukis satu tingkat lebih tinggi dari penulis soal bagaimana menggambarkan sesuatu dalam diri kita. Dan, melalui seni, kupikir, kita dapat melihat tarian yang rumit di antara kondisi-kondisi emosional kita.”

Raymond berjalan menuju sudut studionya yang lain. Yang dihiasi sarang laba-laba. Anna kembali mengekorinya. Pria lanjut usia itu kemudian memutar piringan tua yang nampak telah berdebu. Ia mengalukan Cemptino d'un Autre été dari Yinn Taorson. Seratus detik berlalu. Masing-masing dari mereka mematung. Menikmati alunan piano dengan tempo allegretto yang tak secepat allegro itu.

“Mau berdansa?” tiba-tiba Anna mengajak Raymond berdansa.

“Boleh.”

Dan, mereka pun berdansa... seperti sepasang sinting tanpa pisau cukur di tangannya.