Wednesday, 16 July 2025

Apakah Perempuan Cantik Tidak Buang Air Besar?

saya pernah percaya bahwa perempuan cantik tidak buang air besar. keyakinan itu, yang sekarang terdengar begitu konyol, pernah menjadi semacam agama kecil saya di masa kanak-kanak. sebuah agama naif yang tumbuh dari sela-sela ketidaktahuan & kekaguman; agama tanpa kitab, tanpa sabda nabi, hanya disusun oleh imajinasi kekanakan & aroma bedak bayi.


saya tidak tahu persis asbabun dari mana datangnya keyakinan semacam itu. tapi bolehjadi ia tumbuh pelan-pelan dari serpihan-serpihan halus yang tak pernah saya sadari: cara teman perempuan masa kecil saya menutup pintu kamar mandi dengan rapat & keluar dengan wajah bersih seolah baru kembali dari tempat suci; iklan sabun yang memotret perempuan seolah-olah tak memiliki liang pori, hanya cahaya yang merembes dari kulitnya; film kartun yang menggambarkan-mengonstruksikan perempuan sebagai tuan putri (hampir peri) yang hanya makan apel & bernyanyi dengan burung-burung. semua itu bersekongkol membentuk benang merah dalam kepala saya: bahwa yang cantik adalah yang tak menyentuh tanah, tak berurusan dengan bau, & tak pernah mengeluarkan sesuatu yang menjijikkan—feses.


saya tumbuh dengan pandangan udik bahwa kecantikan adalah sterilitas. bahwa yang cantik adalah yang bersih dari suara tubuh: dari keringat, dari cairan yang menandakan keberadaan biologis, & sebagainya. perempuan cantik, dalam imajinasi saya yang masih polos & puritan, adalah makhluk yang makan tidak terlalu banyak, apalagi mengeluh ingin buang hajat ke kamar mandi. kamar mandi, bagi mereka, pikir saya, hanyalah tempat untuk berdandan, bukan untuk melepaskan. jika mereka memegang perut, itu hanya sebab menahan tawa, bukan sebab menahan rasa mulas.


& anehnya, saya tidak merasa perlu mempertanyakan logika di balik kepercayaan itu. tentu, sebab anak kecil tidak butuh logika untuk percaya. & saya percaya. sebab memercayai sesuatu membikin dunia lebih mudah ditoleransi. ada kenyamanan dalam membayangkan bahwa yang indah tak perlu repot dengan hal-hal rendah seperti kotoran & bau. keyakinan itu memberi jarak antara kekaguman & tubuh. saya bisa mengidealkan tanpa mesti membayangkan hal-hal yang terasa tidak pantas bagi usia saya. saya bisa memuja tanpa takut tersandung kenyataan tubuh.


tentu saya tidak sendiri. saya hanyalah satu anak dari generasi yang dibesarkan di bawah pencitraan perempuan ideal yang dikurasi begitu teliti oleh industri hiburan, periklanan, & sebagainya. dalam dunia yang menjual sabun pencerah, krim penghalus, & pewangi kewanitaan—tubuh perempuan yang terlalu manusiawi adalah hambatan pasar. maka perempuan pun dijadikan simbol visual: dipoles, disunting, dijauhkan dari kenyataan tubuh mereka sendiri. dalam hal ini, kapitalisme tidak sekadar menjual produk, tetapi juga menjual ilusi: bahwa tubuh yang baik adalah tubuh yang tak terlihat sebagai tubuh. bahwa tubuh yang ideal adalah tubuh yang tidak perlu buang air besar.


namun tubuh tumbuh lebih cepat ketimbang pikiran. & ketika saya mulai mengenal istilah-istilah baru di bangku sekolahan: pencernaan, metabolisme, sembelit alias ketika buku-buku biologi memperkenalkan sistem ekskresi sebagai sesuatu yang tak terhindarkan, saya mulai bertanya: mungkinkah ada manusia, sebersih & secantik apa pun, yang tidak pernah buang air besar?


pertanyaan itu muncul bukan sebagai bentuk skeptisisme, melainkan sebagai bentuk kekecewaan. dunia mulai bocor dari pinggirannya. ilusi yang saya rawat mulai retak. & saya menyaksikan keretakan itu dengan rasa enggan. kesempurnaan ternyata bukan kenyataan, melainkan semacam sandiwara pertunjukan: cahaya sinetron, editan majalah, & aroma toko kosmetik.


namun keyakinan masa kecil adalah pohon berakar tunggang yang menembus tanah begitu dalam. bahkan ketika kepala saya mulai memahami bahwa semua manusia punya tubuh & kebutuhan biologis, ada bagian kecil dari diri saya yang tetap menolak membayangkan perempuan cantik duduk di atas toilet, meringis, mengeluarkan sesuatu dari tubuhnya. seolah-olah dengan membayangkan itu, saya telah menghancurkan sebuah altar dalam pikiran saya sendiri. saya seakan-akan masih tidak percaya bagaimana bisa perempuan secantik itu mengejan di atas toilet?


seolah-olah saya harus memilih: antara kecantikan & kemanusiaan, sebab keduanya tak bisa duduk di bangku yang sama.


tapi bukankah tubuh adalah fondasi dari semua estetika? bukankah yang bisa terluka, berkeringat, & mengeluarkan kotoran itulah yang menjadikan kita hidup? mengapa saya, & barangkali banyak orang lain, merasa perlu memisahkan tubuh dari representasi? apa yang membuat kita percaya bahwa yang indah harus bebas dari realitas yang banal?


mungkin ini bukan soal kecantikan perempuan semata, melainkan cara kita memahami tubuh secara lebih luas. tubuh selalu menjadi medan konflik antara yang ideal & yang nyata. sejarah filsafat barat, sejak Plato, telah lama memisahkan tubuh dari jiwa, menempatkan yang material sebagai sesuatu yang lebih rendah, lebih najis, lebih harus dikendalikan. maka tak heran, bila kecantikan modern dibangun di atas penyangkalan terhadap tubuh: kita ingin tubuh yang tidak mengganggu, tidak meninggalkan jejak, tidak memperlihatkan kerja-kerja dalamnya. kita ingin tubuh yang tak ada metabolisme tubuhnya.


saya pernah bertanya pada diri saya sendiri: jika saya sungguh mencintai seseorang, akankah saya tetap mencintainya setelah melihatnya buang air besar?


pertanyaan itu, terdengar tolol, memang. tapi di situlah ia membuka celah refleksi: apakah cinta bisa bertahan setelah menyaksikan sisi yang justru paling purba dari orang yang kita kagumi? apakah kecantikan hanya berlaku selama tubuh tertutup pakaian & wangi-wangian? atau justru cinta yang paling sejati adalah yang bisa berdiri tegak di tengah kenyataan tubuh; yang menyentuh kulit yang basah, mencium napas yang belum disikat, memeluk seseorang bahkan ketika mereka bau apak, yang bersetia menunggu perempuan selesai buang air besar?


pertanyaan itu mungkin masih ada: apakah perempuan cantik buang air besar? & jawabannya adalah tentu saja. mungkin dulu saya tidak percaya. kini saya tahu: mereka melakukannya, seperti semua manusia, & tidak ada keindahan yang hilang karenanya. justru dalam pengakuan terhadap hal-hal yang paling biasa itulah, kecantikan menjadi lebih utuh. lebih jujur. lebih nyata. lebih rasional.


barangkali kecantikan bukanlah soal penyangkalan, melainkan keberanian untuk tetap hadir di tengah absurditas tubuh. perempuan cantik juga berkeringat, merasa mulas, & mencium bau dirinya sendiri & semua itu bukan pengkhianatan terhadap pesona, melainkan perpanjangan dari keberadaannya yang utuh.


jika ada yang lebih memesona dari wajah cantik, mungkin itu adalah keberaniannya untuk tetap menjadi tubuh: tanpa malu, tanpa sembunyi, & tetap tersenyum sesudahnya.