Showing posts with label cinta. Show all posts
Showing posts with label cinta. Show all posts

Sunday 17 September 2023

Mokondo-Momekdo dan Teori Modal Bourdieu

 

Jujurly, kegatalan tak bernama adalah bahan bakar utama saya dalam menulis opini jelek ini. Pada mulanya, begini, saya sedang berselancar di aplikasi X lalu saya menemukan sebuah utas berisi seseorang yang tengah dirujak berjemaah oleh orang-orang dari mazhab al-alteriyyah (baca: akun alter) karena ia katanya “tidak modal“ ketika berpacaran.
“Najis! Dasar mokondo!“—adalah komentar paling dominan yang menguasai perujakan duniawi tersebut. Di sisi lain, counter-attack pun datang, “Yeu elu juga sama aja, momekdo!“—dan karena penasaran terhadap apa yang sebenarnya mereka bicarakan, saya pun mencari tahu dua istilah yang terdengar cukup alien di telinga saya itu. Ibu jari saya bermigrasi ke aplikasi Google Chrome. Lantas dengan lekas mengunyah artikel-artikel yang bertebaran di sana.
Sependek pembacaan saya, 'Mokondo' dan 'Momekdo', merupakan singkatan dari “modal k*nt*l doang” dan “modal m*m*k doang”. Gak bahaya ta, batin saya, saat mengetahui arti dari dua akronim itu.
Kemudian wajah Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis dan tokoh strukturalis yang gigan itu, adalah yang pertama kali mencuat di kesadaran saya. Tak berselang lama, pikiran saya yang jahil memisalkan Bourdieu masih hidup, suka jb jb, dan kebetulan menemukan utas tersebut—sehingga besar kemungkinan ia akan berkomentar begini: “Sorry to say this, but, Nder.. gak ada mokondo-momekdo, masing-masing dari diri kita adalah akumulasi dari modal-modal; economic capital, cultural capital, social capital, symbolic capital. Ketika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ada capital conversion di situ.“
Yang terjadi setelahnya, barangkali, akan ada seseorang yang menanggapi, “Aku mah masih pemula. Ajarin dong puh sepuh.”
Idih si paling pemula. Bacot lu Mesopotamia. Lu pilih diem apa tirai no 3?

Teori Modal Bourdieu

zoom-in-whitePerbesar
Terdapat semacam postulat umum bahwa modal/kapital mengarah pada terma ekonomi yang diukur oleh uang. Anggapan dasar ini tidak sepenuhnya salah bila mengingat manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Namun akan “kurang tepat” kalau melupakan prototipenya sebagai homo culturalis (makhluk budaya), homo socius (makhluk sosial), dan semiovora (makhluk pemakan “tanda”).
Dengan kata lain, selain sebagai makhluk yang ngarti duit dan percuanan, plus transaksional—manusia juga aktif mencipta-terekspos budaya (mengkalcerkan/terkalcerkan), bersosial (nongkrong gitu lah, ya), dan memakan-bermain tanda (oh, penanda ini adalah petanda itu) tertentu dari suatu subjek, hal, atau benda. Oleh karenanya, jika berangkat dari argumen ini, maka menganggap modal/kapital hanya sebatas fulus merupakan kenaifan yang gegabah. Magsoed loe gimane?
Modal tidak selalu bersifat ekonomi, dan tidak melulu soal uang. Setidaknya begitulah yang berulang kali saya tangkap dari pemikiran-pemikiran Bourdieu, khususnya dalam karyanya yang berjudul Forms of Capital, Distinction, dan On the Theory of Action.
Di buku-bukunya itu, ia memfafifuwasweswoskan mengenai relasi serta konversi antara berbagai jenis modal: Modal Finansial (duit, aset materialistik seperti kendaraan pribadi dan properti), Modal Kultural (pendidikan, pengetahuan, selera, eksposur produk-produk budaya), Modal Sosial (keluarga, koneksi, jaringan), dan Modal Simbolik (penghargaan, pengakuan, prestise, publisitas).
Sebagai gambaran, seseorang yang punya Modal Kultural (pengetahuan) dapat mengonversinya menjadi Modal Simbolik (pengakuan), atau seseorang yang punya Modal Finansial (uang) dapat mengonversinya menjadi Modal Sosial (koneksi).
Menurut saya, sesampah-sampah seseorang pastilah ia tidak benar-benar punya modal yang nol besar. Dengan demikian, jika saya coba sambungkan ke dalam fenomena mokondo-momekdo—ketika dua individu menjalani suatu hubungan, katakanlah berpacaran—saya menilai, tidak mungkin keduanya “tidak bermodal”. Masing-masing dari mereka pastilah mempunyai modal-modal tertentu.
Entah dalam bentuk kecantikan-ketampanan, gelar dari universitas bergengsi, karya kreatif/intelektual, bahasa tertentu, popularitas, atau selera humor, musik, buku, sinema, dan seni yang terbilang “ok banget”—(tanpa bermaksud mendiskriminasi selera-selera tertentu dan memperlebar jurang antara low culture dan high culture).
Maka mokondo-momekdo pada titik ini, saya pikir, dapat dikatakan tidak logis bila dipandang dari kacamata Teori Modal Bourdieu. Yang membuatnya cacat, secara logika bahasa, adalah penggunaan kata “doang”—karena dalam setiap individu terdapat setidaknya 4 buah modal à la Bourdieu, sehingga mengatakan “doang” sama dengan menutup mata atas fakta-fakta sosiologis yang nyata adanya.
Tapi perlu digarisbawahi, sebagai catatan, saya tidak sedang berusaha menjustifikasi konsep kencan hanya “membawa badan” dan berharap sang pasangan akan dengan senang hati membayarkan makan di restoran all you can it, mentraktir es krim mcflurry di suatu mcd, membelikan tiket untuk menonton film teranyar di sebuah bioskop, dan seterusnya.
Tidak sama sekali. Saya secara pribadi justru menentang seseorang bermental pengemis semacam itu dan mungkin punya kecenderungan cinderella complex—dalam konteks, financial support—terlepas dari apapun gendernya. Di lain sisi, saya mafhum bahwa menjadi “donatur” ataupun “gold-digger” adalah hak setiap individu dalam “arena” cinta luring, atau daring, seperti misalnya Tinder atau Bumble.
Tapi teman saya, sebut saja si N—yang borju, julid, tengil kayak duit bapaknya halal aja, dan tentu tidak akan memahami kesuraman struktural pernah mengatakan ini kepada saya, “Ngapain sih para pengangguran sok-sokan pacaran? Mending mereka gawe, buka bisnis kek. Ngamen kek. Mulung kek.”
Sejak pertama kali mengenalnya sampai sekarang, saya masih percaya bahwa kata-katanya setajam rambut yang dibelah tujuh. Apa yang dikatakannya jelas terdengar kejam dan brutal. Seakan-akan orang miskin tidak boleh bucin. Sayangnya, fakta pahitnya, lambat laun saya menyadari memang tidak ada yang gratis di dunia ini. There's No Such Thing As a Free Lunch, kalau kata judul bukunya Friedman, ekonom Amerika Serikat yang pernah diganjar Nobel Ekonomi.
Sederhananya begini, kalau parkir bayar, ingin kencing bayar, mengisi daya ponsel bayar—apalagi pacaran? Ya, tentu, butuh modal finansial yang terbilang “cukup besar”—atau minimal ada pengaggaran. Sebab berkencan memang butuh dana, tidak bisa hanya bermodalkan pemikiran. “Lu punya duit, lu punya kuasa... dan bisa punya pacar!” kata Foucault setelah terpapar Adam Smith dan kemudian mengutip kata serta logat Bayem Sore, sang filsuf kontemporer.
Pada gilirannya, saya mengandaikan kalau saja si N bisa lebih membumi, “menyentuh rumput”, dan sekali saja mencoba memahami disparitas antar kelas borjuis dan proletar—mungkin ia bisa duduk ngopi sambil cosplay maba-aktivis-kiri yang hampir selalu bermimpi mengorganisir massa demi meruntuhkan kapitalisma—yang dalam konteks ini, merugikan para pembucin.
Meskipun saya dan N telah bersepakat, lebih mudah membayangkan dunia ini kiamat ketimbang kapitalisma rungkad—seperti bacotan Žižek, yang gemar sekali menggosok hidungnya.

Epilog

Dengan adanya fenomena mokondo-momekdo, mata saya sekali lagi terbuka dan memahami betapa pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan—khususnya, hubungan romansa—demi meminimalisir potensi kekecewaan-kekecewaan yang sebenarnya dapat dicegah. Misalnya, dengan membikin perjanjian-perjanjian tertentu atau sekurang-kurangnya berdiskusi untuk mencapai konvensi kencan, katakanlah, split bill (baca: patungan), dan sebagainya.
Pada akhirnya, saya akan tetap mengambil posisi duduk favorit saya sambil mengatakan sesuatu yang cukup berwarna Sartrean, “Do whatever you want. But remember this, consider that, every choice you make and every deed you take, has the complex consequence that you may forget to calculate.”

Sunday 3 September 2023

Mengapa 'Jatuh' Berpasangan dengan 'Cinta'?

namanya Gerry. ia doppelgänger Theodore Twombly. sewaktu masih bocah, tepatnya saat pertama kali belajar bahasa, ia mengalami semacam keheranan-kebingungan yang luar biasa. mengapa 'jatuh' berpasangan dengan 'cinta'? mengapa 'love' disatukan dengan 'falling'? mengapa tidak 'rising'? mengapa bahasa Indonesia & bahasa Inggris seakan-akan menaruh ide fatalisme halus dalam perbucinan duniawi? keheranan-kebingungan ini, mengendap & bertahan pada lubuk penasarannya. barangkali dalam alam bawah sadarnya.

bocah kecil yang tolol itu, pun tumbuh, & tentu saja... beberapa kali menjalani hubungan cinta. sebagian besar cinta monyet, sebagian lain mungkin cinta sungguhan, & sisanya hanyalah pemikiran bahwa cinta mungkin memanglah monyet paling monyet. dengan kata lain, ia pernah merasakan naifnya puppy love & membagongkannya loving seorang anak anjing pantek pukimak jancok.

kabar baiknya, keheranan-kebingungannya, bisa dibilang sedikit menemukan semacam... katakanlah, titik terang, setelah setengah mampus mencoba memahami fafifuwaswewos Alan Watts dalam film Her (2013) yang disutradarai Spike Jonze. begini kira-kira ngang-ngeng-ngongnya:

“well now really when we go back into falling in love. & say, it’s crazy. falling. you see? we don’t say “rising into love”. there is in it the idea of the fall. & it goes back, as a matter of fact, to extremely fundamental things. that there is always a curious tie at some point between the fall & the creation. taking this ghastly risk is the condition of there being life. you see, for all life is an act of faith & act of gamble. the moment you take a step, you do so on an act of faith because you don’t really know that the floor’s not going to give under your feet. the moment you take a journey, what an act of faith. the moment that you enter into any kind of human undertaking in relationship, what an act of faith. see, you’ve given yourself up. but this is the most powerful thing that can be done. surrender. see. & love is an act of surrender to another person. total abandonment. i give myself to you. take me. do anything you like with me. see. so, that’s quite mad because you see, it’s letting things get out of control. all sensible people keep things in control. watch it, watch it, watch it. security? vigilance? watch it. police? watch it. guards? watch it. who’s going to watch the guards? so, actually, therefore, the course of wisdom, what is really sensible, is to let go, is to commit oneself, to give oneself up & that’s quite mad. so we come to the strange conclusion that in madness lies sanity.”

hal pertama yang ia lakukan setelah mengunyah-mencerna khotbah thought-provoking itu adalah melamun. tertegun. ia seperti dihantam double-decker bus yang menubruknya secara beruntun. ya, ia sepakat bahwa selalu ada ikatan absurd antara kejatuhan & penciptaan. tak berselang lama, pikirannya mengembara menuju ke lukisan da Vinci abad 15-an tentang arketipe burung besi yang menginspirasi Wright bersaudara, dua manusia pencipta pesawat terbang pertama yang berhasil mengudara. ia kemudian teringat, bahwa hanya ada 6 manusia saja yang mencapai titik terdalam di bumi, tetapi ada 2 kali lipat manusia yang telah menggapai bulan. ingatannya kembali bekerja, kini, ia teringat sebuah mitos Yunani kuno yang dikarang Ovid, penyair Romawi, dalam bukunya Metamorphoses: tentang Daedalus & Icarus.

ia mencoba menyambung pola, mulai berasumsi, bahwa selama berabad-abad... manusia terobsesi dengan langit & dunia aviasi serta kemampuan untuk terbang (yang tentu saja, secara logis, punya potensi kejatuhan). ia meraba kemungkinan, jangan-jangan, kejatuhan itulah yang membikin Icarus secara ajaib jadi “puisi”. jadi monumental. jadi kolosal. ia memisalkan matahari yang membakar sayap-sayap Icarus buatan Daedalus itu sebagai cinta, sedang Laut Aegea tak lebih dari air mata yang merupakan harganya. & bahwa hasrat untuk terbang (mencinta), meskipun dengan sayap alakadarnya, barangkali terdapat dalam setiap manusia.

ia sepakat, bahwa hampir setiap jenis kehidupan, adalah kombinasi dari kepercayaan & perjudian. bahwa cinta merupakan tindakan yang berafiliasi dengan kemenyerahan: love is an act of surrender to another person. bahwa yang benar-benar masuk akal adalah melepaskan, berkomitmen, menyerahkan diri pada seseorang. ia sampai pada kesimpulan yang aneh bahwa di balik kegilaan terdapat kewarasan-kemasukakalan. ia mendadak seperti kerasukan Bukowski yang sedang merokok cerutu sembari meminum bir: o anak muda, cinta adalah anjing dari neraka. meskipun demikian, sayangku, temukan apa yang kau cintai & biarkan hal itu membunuhmu. biarkan itu menguras segalanya darimu. biarkan ia menempel di punggungmu & membebanimu hingga akhirnya menjadi kehampaan. biarkan ia membunuhmu & biarkan ia melahap sisa tubuhmu. karena segala sesuatu lambat laun akan membunuhmu. namun jauh lebih baik dibunuh oleh kekasih, orang yang kau cinta.

ia mendapat laduni. bahwa cinta, seperti kesintingan yang paling bisa diterima oleh society, bahkan diglorifikasi sedemikian rupa & cara. sebentuk bunuh diri yang puitis & “heavenly”. ia memandang, kejatuhan Icarus itu lebih jauh & lebih abstrak (sebenarnya lebih tidak jelas). secara psikologis, bukan biologis. bukan secara literal, tetapi filosofis. 

tapi tiba-tiba seperti biasa ia merasa insignifikan & mulai berpikir bahwa cinta baginya ibarat api yang gagal ia domestikasi. ia pernah dibakar api cinta hidup-hidup, sampai numb, mati rasa. kematian-kiamat yang karib baginya. lantas ia teringat 5 stages of grief: denial, anger, bargaining, depression, acceptance. & mulai meramu 5 stages of love menurutnya: sacrifice, selfless, suffering, sufffering, suffering, hopeless romantic.

tapi yang ia ingin mungkin cuma lupa, hanya lupa, ia kadung percaya, cuma lupa, hanya lupa, tempat paling aman dari serangan luka. entahlah, mungkin ia terlalu banyak menonton film dengan akhir yang tidak bahagia. yang bukan berakhir dengan tawa-gembira, tetapi lubang besar di dada sebelah kiri atau di kepala bagian dahi.

ia merasa, sebuah 'hai' atau 'hello' bisa menyebabkan tiga tahun terapi. maka ia merasa lebih baik bernyanyi: hello darkness my old friend... i've come to talk with you again... because a vision softly creeping... left its seeds while i was sleeping... & the vision that was planted in my brain... still remains... within the sound of silence.

atau minimal memutar Joy Division: when routine bites hard & ambitions are low... & resentment rides high but emotions won't grow... & we're changing our ways, taking different roads... then love, love will tear us apart again... love, love will tear us apart again.

atau maksimal memutar-mutar Morrissey dengan volume tertinggi: pasolini is me... 'accattone' you'll be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me... yes i walk around somehow... but you have killed me... you have killed me... piazza cavour, what's my life for? visconti is me... magnani you'll never be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me.

tapi, kemudian ia kembali dilanda dilema. ia teringat Hawking & mulai sok-sokan positive thinking bahwa cinta besar kemungkinan bentuk lain dari harapan. sesuatu yang membikin suatu organisme kompleks macam manusia (yang sangat butuh reason) punya the will to survive. cahaya yang jadi bahan dasar setiap alasan untuk tetap “melanjutkan”.

pada akhirnya, ketika kemumetan-keruwetan menghampirinya, ia malah teringat petuah kawannya yang filsuf nyambi tukang sedot wc. begini bacotnya dengan enteng: lepaskanlah... biarkanlah.... semestaik bekerja di bawah septic tank.

cinta adalah caduk angsa, begitulah ia pernah berkata. o akuuuu bukanlah übermensch, akuuuuu juga bisa nangissss... jika kekasih hatikuuuu... pergi meninggalkan akuuuuuu...

Friday 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...