Wednesday 31 January 2024

Tanpa Alarm, Tanpa Kejutan

a heart that's full up like a landfill
a job that slowly kills you
bruises that won't heal
you look so tired, unhappy
bring down the government
they don't, they don't speak for us
i'll take a quiet life
a handshake of carbon monoxide
...

barangkali politik memang memengaruhi segalanya. setiap sendi kehidupan kita. seribu blangsak tercipta karena seorang idiot diberikan kuasa oleh sepuluh ribu orang yang jauh lebih idiot. & buta politik melanggengkan sejuta keidiotannya. Brecht, dramawan Jerman, telah mengatakan hal yang kurang lebih serupa berpuluh-puluh tahun lalu. aku yakin, berangkat dari kemuakan yang sama, banyak dari kita ingin menciptakan pemerintahan yang lebih baik, tetapi gagasan revolusioner semacam itu—sangatlah sulit diwujudkan. terlalu utopis, kalau kata seseorang yang mengklaim dirinya realistis.


tentu, lebih mudah untuk menyerah pada Leviathan & menjalani hidup yang aman jauh dari anxiety, tanpa upaya menyelesaikan masalah struktural. lebih mudah diam, tanpa mematahkan dahan, tidak pula mencabut akar (apalagi jika jenis akarnya, tunggang). tentu, jauh lebih mudah untuk mengurung diri di dalam garasi yang tertutup kemudian menyalakan mobil & menghirup sebanyak-banyaknya karbon monoksida yang keluar dari knalpot—sebuah cara yang pelan & tidak menyakitkan untuk memungkinkan bendera kuning berkibar di depan rumah dalam satu kali dua puluh empat jam. sebagaimana dianjurkan Thom Yorke dengan suara yang telampau madesu.


aku percaya kau cukup pandai untuk mengerti apa yang kubicarakan. begini, ada beberapa keganjilan, misalnya, mengapa di tengah kekeosan ini peristiwa besar belum terjadi? lautan manusia tumpah ke jalan, menyuarakan hal yang sama. ombak besar itu belum juga kulihat sejauh mata memandang. meskipun sejarah telah mencatat, ketika kekuasaan dijalankan seenak jidat & ugal-ugalan, maka guillotine bisa menjadi jawaban. kepala terpisah dari badan memang terdengar sadis & brutal, tapi begitulah kenyataan bila dibahasakan & kemungkinan yang terjadi bila kita sedikit lebih bisa meluapkan emosi.


aku curiga, jangan-jangan sebagian besar dari kita sudah terlalu sering dipatahkan hatinya, sehingga perlawanan cuma jadi ya sudahlah ingatan usang di kepala. & alih-alih menjadi anarkis—sebagaimana simtom umum seseorang membenci negara karena dikecewakan—banyak dari kita malah menjadi apolitis. mungkin karena terlalu lelah. boleh jadi takut. aku tak tahu.


oleh karenanya, sebagai klaritas & suntikan adrenalin, janganlah kita takut kepada mereka. justru merekalah yang harus takut & bergidik ngeri dengan kita. kita berhak memprotes & menuntut kewarasan sebab nasi yang mereka makan berasal dari keringat kita yang dipotong setiap bulan. pajak ini, pajak itu. suara kita, bahkan, suara tuhan. vox populi vox dei. meskipun entah tuhan yang mana, dari lebih tiga ribu tuhan yang sepanjang peradaban kita namai. tapi yang jelas, percayalah, kita mempunyai keberanian & kekuatan yang cukup untuk mengingatkan agar mereka jangan gegabah. seperti kerja-kerja supergo yang merepresi dorongan irasional dari id—agar lebih ngotak dalam bertindak membikin kebijakan—kalau meminjam istilahnya Freud. 


motivasiku akan terdengar cukup nasionalistik & klise. aku hanya ingin negara yang kucintai, tanah tumpah darahku ini, berada di trek yang benar—trek menuju kemajuan—yang selama ini kita idam-idamkan. sayangnya... jika aku misalkan kondisi saat ini sebagai trolley problem—eksperimen pikiran dalam filsafat etika—bahwa kereta telah keluar dari relnya. menggilas satu & menggilas lima. tak ada deontolog, tak ada utilitarian. yang selamat cuma yang berada dalam gerbongnya saja. Machiavelli berwajah inosens & memiliki senyum hangat seperti tokoh dalam novel-novel tentang petualangan. yang terjadi hari ini, seakan menjadi bukti konkret, kita selalu menilai buku dari sampulnya.


sebenarnya, aku malas & tak punya energi untuk menulis tentang sejenis omong kosong macam ini. sesuatu, yang jelas-jelas terlalu komikal untuk diseriusi. politik, bagiku cuma masturbasi kekuasaan yang menyengsarakan orang-orang nirprivilese. tapi ada semacam kegatalan pada dada kiriku, yang rasanya kira-kira seperti terkena daun pulus—atau barangkali ibarat dihinggapi ulat bajra api. & hanya berceracaulah, tindakan yang bisa kulakukan untuk meredakannya. selain menggabungkan botol, kain, & bensin—kemudian melemparkannya.


aku tahu & sadar, pada akhirnya, pemilu cuma memilih oligark yang paling bearable. lesser evil. iblis yang tidak jahanam-jahanam amat.


kalau boleh jujur lagi, aku sebenarnya lebih ingin retreat ke hutan belantara & menjalani hidup yang tenang tanpa alarm tanpa kejutan dengan orang tercinta, tapi masalahnya, bagaimana aku bisa tenang jika menyadari bahwa hutan belantara bahkan telah dikuasai & dirusak oleh Leviathan—makhluk yang merebut hampir segalanya dari hidupku? bagaimana ini?


semoga kiamat tidak terjadi esok hari.