Monday 29 May 2023

Keluarga, Keluar-ga, Ke-luar-ga?

Congress (2003) by Mehretu

“Keluarga adalah rumah bagi kesintingan-kesintingan.”
—Debré, Love Me Tender (2020)

tak banyak yang bisa & mau “kukeluarkan” tentang ‘keluarga’. meskipun hampir setiap hari—ada dua makhluk berkaki dua & berbadan tegap yang telah kuanggap sebagai kawan dekatku—bertandang ke kamarku, menyesap kopi, mengembuskan asap rokok mereka ke angkasa, & dengan intonasi rendah menceritakan bagaimana rumitnya konflik keluarga mereka; konflik yang, kupikir jauh lebih kompleks dari apa yang ada dalam Fathers and Sons karangan Turgenev atau Anna Karenina-nya Tolstoy atau Letter to My Father-nya Kafka atau To the Lighthouse-nya Virginia atau The Sound and the Fury-nya Faulkner.

atau kata ‘keluarga’ di kepala seorang rumah-rusak pendengar setia lagu-lagu Blink-182 era DeLonge, misalnya Stay Together for The Kids dengan liriknya yang ikonik: their anger hurts my ears ... been running strong for seven years... rather than fix the problems... they never solve them, it makes no sense at all.

barangkali itulah mengapa ada anggapan klasik bahwa harta paling berharga adalah keluarga. secara personal, aku brutally setuju. karena memang, sepasang manusia yang bercocok tanam, melahirkan-membesarkan kita, & kelak kita panggil dengan ayah & ibu inilah yang paling menentukan roller coaster-nya hidup kita. apa yang kita makan di pagi hari, apa yang kita pikirkan sebelum tidur, apa yang kita kendarai, di mana kita mengemban pendidikan, kapan kita mengerti tentang pentingnya mengatur keuangan, siapa yang biasanya dapat kita temui, mengapa kita bekerja, bagaimana kita menyusun mimpi—tentu saja ditentukan oleh apa-apa yang “terdapat” & “inheren” dalam keluarga kita.

apakah kita akan menjadi seorang optimis ataukah pesimis ketika dewasa, ialah salah satu contoh besarnya. aku, bahkan berani bertaruh bahwa persoalan bagaimana kita melihat dunia, lebih ditentukan oleh siapa/bagaimana keluarga kita ketimbang buku-buku, lagu-lagu, & lukisan-lukisan yang kita konsumsi sepanjang usia. buku-buku sastra telah banyak menarasikan secara artistik & terkadang barbar bagaimana rasanya terlahir di keluarga yang (silakan masukkan kata-kata kasar).

menyoal karya sastra, aku masih ingat... pada suatu siang yang random, mentor persastraanku pernah mengatakan bahwa dialog dalam satu-satunya cerpenku tentang keluarga nampak tak natural, tak logis, bahkan aneh. responku hanya tertawa. faktanya, aku memang tak bisa membangun suasana atau percakapan yang logis antara seorang anak & orang tuanya. tolong jangan tanya mengapa. aku memohon, dengan sangat.

sekali lagi, aku tak mau menulis banyak. pada akhirnya, menyoal kedua kawan dekatku, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan dengan sabar curhatan-curhatan mereka itu sambil menepuk-nepuk bahunya. & secara klandestin, menarik napas panjang setelah mereka pulang. aku pun sesekali, jika tak bisa lagi kutelan sendirian, menceritakan kondisiku pada mereka: aku memisalkan keluargaku sebagai pesawat boeing 737, & aku sebagai tumbuhan (katakanlah, pakis-pakisan) yang hanya ingin berfotosintesis dengan damai tapi mesti merasakan tertimpa burung besi berkecepatan kira-kira 539 knot itu.

keluarga
keluar-ga
ke-luar ga?

ayok. kalo gak ke luar
nanti keluar airmata.

Saturday 27 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Hemingway


Tahanan

Beberapa datang dengan rantai
ketaksesalan tapi kelelahan.
Terlalu lelah tapi tersandung keadaan.

Berpikir dan membenci telah selesai
Berpikir dan berkelahi telah selesai
Mundur dan berharap telah selesai.

Penyembuhan hasilkan perang
yang panjang, yang lancarkan
kematian.

-

Untuk Orang Baik yang Mati

Mereka mengisap kita;
Raja dan negara,
Tuhan yang Mahakuasa
Dan sisanya.
Patriotisme,
Demokrasi,
Kehormatan—
Kata dan frasa,
mengolok-olok
atau membunuh kita.

-

Pada Akhirnya

Dia coba muntahkan kebenaran;
Dengan mulut yang kering,
pada mulanya, Dia menitikkan
air liur dan meneteskan air liur
pada akhirnya; Kebenaran
mengucurkan rahangnya.

-

Yang Dipinta Usia

Usia meminta agar kita bernyanyi
dan memotong lidah kita.
Usia menuntut kita mengalir
dan memalu penutup tangki.
Usia memaksa kita menari
dan jejalkan kita ke dalam celana besi.

Dan pada akhirnya usia menyerahkan
jenis omong kosong yang pernah dipintanya.

-
Montparnasse

Tak pernah ada kasus bunuh diri pada usia muda
di antara orang-orang yang-tak-dikenal—
tak ada percobaan bunuh diri yang menggores sukses.
Seorang pemuda Tionghoa yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(mereka terus meletakkan surat-surat
di kotak surat pemuda malang itu)
Seorang pemuda Norwegia yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(tak ada yang tahu ke mana pemuda Norwegia
yang-tak-dikenal lainnya pergi)
Mereka menemukan sebuah tubuh terbujur pasi
di tempat tidur dan telah menjemput kematian.
(bagi seorang concierge hotel mewah itu adalah
masalah yang hampir tak tertahankan).

Minyak manis, putih telur, mustard dan air,
busa sabun, dan pompa perut menyelamatkan
orang-orang yang-dikenal. Setiap sore, orang-orang
yang-dikenal dapat ditemukan di kafe-kafe.

*****

Ernest Hemingway adalah seorang novelis dan cerpenis Amerika yang dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1954. Gaya prosanya yang ringkas dan terang memberikan pengaruh kuat pada sastra Amerika dan Inggris pada abad ke-20. Sebelum fokus sebagai prosais, di masa muda, Hemingway tekun menulis puisi.

Sumber literatur:
Ernest Hemingway, My Poetic Side:
https://mypoeticside.com/poets/ernest-hemingway-poems

Thursday 25 May 2023

Apakah Kecerdasan adalah Kutukan?

“Sebab, dengan banyak hikmat, ada banyak kesusahan, dan dia yang memperbanyak pengetahuan memperbanyak kesengsaraan.” — Eccelesiastes 1:18

Pada tahun 1983, Howard Gardner, seorang figur pendidikan dan psikolog, mempopulerkan teori kecerdasan ganda dalam bukunya⁠, Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences⁠. Gardner secara praktis memperluas definisi kecerdasan dan menguraikan beberapa jenis kompetensi intelektual yang berbeda-beda. Ada sembilan tipe kecerdasan: naturalis, musikal, logis-matematis, eksistensial, interpersonal, kinestetik, linguistik, intrapersonal, spasial.

Akan tetapi, terlepas dari teori kecerdasan ganda ini dan pertanyaan fundamental tentang "apa itu cerdas?", meskipun saya bukanlah orang yang tergolong cerdas dalam standar mana-apa-pun, saya menaruh hipotesis bernada kecurigaan-sinis di hati bahwa jangan-jangan kecerdasan adalah kutukan. Seperti Prometheus yang menjadi "tersiksa" karena telah mencuri api pengetahuan dari para dewa di Gunung Olympus dalam mitologi Yunani.

Kecerdasan, yang sering kali dipandang sebagai kata sifat yang dicita-citakan, memiliki sisi gelap yang jarang dibayangkan, jarang diperbincangkan, jarang dibahasakan. Saya menilai, sesuatu yang secara sosial-kultural dikultuskan oleh hampir semua peradaban-kebudayaan ini (secara negatif) berpotensi besar untuk memengaruhi kesehatan mental, selera humor, relasi secara horizontal-vertikal, dan bagaimana dunia ide (dalam konteks Plato) tampak secara keseluruhan bagi pengidapnya. Lebih jauh dari itu, daya intelektualitas tinggi menyebabkan pemikiran berlebihan dan analisis tak berujung pangkal; yang berpuncak pada peningkatan dosis kecemasan dan kelelahan mental.

Seorang esais-cum-eksistensialis, Peter Wessel Zapffe, dalam esai yang melambungkan namanya, The Last Messiah, menamai kondisi paradoksal ini dengan sebutan “surplus kesadaran”. Pendek kata, kecerdasan memperkuat eksistensi kesadaran, sesuatu yang paling nyata yang membedakan manusia dengan hewan-hewan. Sialnya, harga yang mesti dibayar manusia untuk merengkuh kesadaran adalah keputusasaan.

Kadar kesadaran berlebih berbanding lurus dengan peningkatan kepekaan yang memungkinkan eskalasi keputusasaan. Dalam The Sickness Unto Death, Kierkegaard, sang filsuf-melankolis, menulis, "Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat—semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”

Seorang individu yang cerdas sering kali merenungkan apa-apa yang ada, yang tidak ada, mungkin ada, mungkin tidak ada, tidak mungkin ada, maupun yang tidak mungkin tidak ada. Sayangnya, meraba kemungkinan dari keberadaan bisa membuat pengidap kecerdasan kewalahan. Neuron dalam kepalanya akan condong mencari-melihat pola dari hampir segala sesuatu yang sekilas tampak tidak berhubungan sama sekali. Ia akan terus-menerus mencatat hal-hal yang menarik, hal-hal yang perlu dipelajari, hal-hal yang perlu diperbaiki-diimprovisasi, dan cara-cara untuk terus membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Hal ini tak jarang menyebabkan stres berat dan kegagalan untuk sekadar benar-benar beristirahat.

Dari pengamatan personal dan bacaan-bacaan, saya pun menemukan asumsi bahwa seorang yang cerdas bertendensi untuk "memiliki masalah" dengan "otoritas" atau "status quo" dan nilai-nilai kolektif. Entah negara tempatnya bernaung, agama-kepercayaan yang diyakini mayoritas orang, atasannya di kantor, dan sebagainya. Sebab, ia—sependek yang saya lihat—punya hasrat besar untuk bermain-main dengan apa-apa yang telah dianggap mapan. Hal ini akan menjadi masalah bila dilakukan di waktu dan tempat yang salah.

“Seseorang yang berpikir sepanjang waktu tak memiliki apapun untuk dipikirkan kecuali pikiran. Maka, dia kehilangan kontak dengan kenyataan dan hidup di dunia khayalan.” — Alan Watts

Surplus pikiran pun menimbulkan rasa keterpisahan dari dunia eksternal—semacam alienasi intelektual. Kecerdasan juga membuat pengidapnya terlihat kikuk, aneh, bahkan tampak tolol secara sosial. Bukankah kesenjangan intelektual dan kesulitan menemukan individu yang berpikiran sama mengandung konsekuensi logis, yaitu keterasingan sosial? Individu ini, tak peduli apakah dia tipikal introver atau ekstrover, niscaya berjuang setengah mampus untuk sekadar terhubung secara mendalam dengan orang lain—yang pada gilirannya, ia akan mengalami kesepian akut dan kehilangan sense of belonging.

Psikoanalis terkenal, Carl Jung, benar sekali lagi bahwa "jika seorang individu tahu lebih banyak dari yang individu lainnya, dia menjadi kesepian". Dengan demikian, perbedaan "frekuensi" antara seseorang yang cerdas dengan yang tak cerdas dalam obrolan pun memperparah rasa kesepian-keterasingan ini. Meskipun sepertinya hampir semua individu membutuhkan obrolan ringan, tetapi terlalu banyak obrolan ringan biasanya membuat seseorang yang cerdas mengalami kebosanan-kegabutan dan, pada gilirannya, membuatnya menjadi makhluk soliter penghuni kamar yang mengeksilkan diri dari lingkungan sosial.

Kecerdasan pun membawa serta standar-standar tinggi, harapan-harapan langit, dan cenderung membikin pengidapnya perfeksionis. Kecerdasan, bagaimanapun positifnya, adalah rahim yang melahirkan ekspektasi tinggi kepada/dari diri sendiri dan masyarakat, yang disimtomkan oleh stres kronis dan sindrom impostor. Sindrom impostor, pendek kata, adalah ketidakpuasan terhadap prestasi atau pencapaian yang diraih, secara konstan merasa kurang, dan merasa sebagai seorang penipu. Dalam bahasa Nietzsche yang filsuf-moralis, menipu diri sendiri merupakan dosa terbesar seorang manusia. Di pojokan sana, Dostoevsky sang novelis gigan pun besar kemungkinan mengamini kalimat puitis ini.

Dengan demikian, ada semacam pil pahit yang mesti ditelan oleh orang-orang cerdas nan perfeksionis bahwa dunia-kehidupan tidaklah sesempurna yang mampu mereka konstruksikan dalam pikiran-perasaannya. Akan selalu ada disparitas antara dunia ideal dengan realitas; demarkasi nyata antara gairah purba dalam diri untuk mencapai apa-apa yang sublim dengan apa-apa yang mampu ditawarkan kenyataan. Camus dan Beckett, duet maut absurdis, mendedahkan bahwa inilah mengapa hidup ini absurd dan, sialnya, manusia tak bisa lari dari absurditasnya.

Pada akhirnya, kita akan menyadari bahwa ada banyak jalan menuju Roma, begitu pula jalan kecerdasan menuju kesengsaraan. Jika buku merupakan infrastruktur pembaca, pintu menuju pengetahuan, dan pengetahuan mengurangi kemungkinan kebahagiaan, maka berbahagialah mereka yang tak pernah membaca apa-apa sepanjang hayat dikandung badan.

Walau bagaimanapun, kecerdasan harus dirayakan-disyukuri-dicintai. Sebab, kecerdasan adalah sesuatu yang menggerakkan roda-roda peradaban menuju masa depan yang lebih asyik, menarik, dan mungkin baik. Dengan penerimaan semacam ini—mengakui serta sadar bahwa ada sisi gelap dari kecerdasan dan memilih untuk mencintainya—timbul pengharapan subtil bahwa semoga masyarakat dapat menciptakan lingkungan yang lebih suportif.

Sabbe satta bhavantu sukhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.

Monday 22 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Almadhoun



Perempuan

Kau;
yang menjejaki
anggur sampai jadi wine
dengan telanjang kaki
semenjak sejarah bermula
yang terkunci di Sabuk Suci
di Eropa
yang dibakar sampai mati
di Abad Pertengahan
yang menulis novel
di bawah nama samaran lelaki
hanya agar bisa dipublikasikan
yang memanen teh
di Sri Langka
yang membangun ulang
Berlin pascaperang
yang menumbuhkan kapas
di Mesir
yang melumuri tubuhnya
dengan kotoran
demi hindari pemerkosaan
tentara Prancis yang bengis
di Algeria
perempuan perawan
di Kuba
yang melinting cerutu
di atas paha mereka
bagian gerilyawan Black Diamond
di Liberia
penari samba
di Brasil
perempuan yang wajahnya
dihancurkan
racun asam
di Afghanistan...

Ibuku…
Maafkan aku.

-

Kami

Kami, yang berserakan dalam potongan-potongan, yang dagingnya terbang di udara seperti tetesan hujan, menawarkan permintaan maaf kami yang mendalam kepada semua orang di dunia yang beradab ini, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, karena kami secara tak sengaja muncul di rumah-damai mereka tanpa meminta izin.

Kami mohon maaf karena telah memasukkan bagian tubuh kami yang tercerai-berai ke dalam ingatan mereka yang seputih salju, karena kami telah menodai citra manusia yang normal dan utuh di mata mereka, karena kami memiliki ketidaksopanan untuk melompat tiba-tiba ke buletin berita dan halaman-halaman majalah, internet dan pers, bertelanjang, dengan darah dan sisa-sisa hangusnya tubuh kami.

Kami meminta maaf kepada semua orang yang tak memiliki keberanian untuk melihat langsung luka-luka kami, karena takut mereka akan terlalu merasa ngeri, dan kepada mereka yang tak dapat menyelesaikan makan malam mereka setelah mereka secara tak terduga melihat gambar-gambar segar kami di televisi.

Kami mohon maaf atas penderitaan yang kami sebabkan kepada semua orang yang melihat kami seperti itu, apa adanya tanpa hiasan, tanpa ada upaya yang dilakukan untuk menyatukan kami kembali atau menyatukan kembali jenazah kami sebelum kami muncul di layar mereka.

Kami juga meminta maaf kepada tentara Israel yang harus bersusah payah untuk menekan tombol tembak di pesawat dan tank mereka untuk meledakkan kami, dan kami meminta maaf atas betapa mengerikannya penampilan kami setelah mereka mengarahkan peluru dan bom mereka langsung ke kepala kami yang lunak, dan untuk waktu-waktu yang kini akan mereka habiskan di klinik psikiatri, mencoba menjadi manusia lagi, seperti sebelum kami berubah menjadi bagian-bagian tubuh menjijikkan yang mengejar mereka setiap kali mereka mencoba untuk tertidur lelap.

Kami adalah apa yang telah kalian lihat di layar dan di media, dan jika kalian berusaha menyatukan potongan-potongan itu, seperti puzzle, kalian akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang kami, sangat jelas sampai kalian merasa tak akan bisa melakukan apa-apa lagi.

-

Pembantaian

Pembantaian adalah metafora mati yang memakan teman-temanku, memakan mereka tanpa garam. Mereka adalah penyair dan telah menjadi Reporters With Borders; mereka sudah lelah dan sekarang mereka bahkan jauh lebih lelah. 'Mereka menyeberangi jembatan saat fajar menyingsing hari' dan mati tanpa jangkauan telepon sama sekali. Aku melihat mereka melalui kacamata malam dan mengikuti panas tubuh mereka dalam kegelapan; di sanalah mereka, melarikan diri darinya bahkan ketika mereka berlari ke arahnya, menyerah pada pijatan besar ini. Pembantaian adalah ibu mereka yang sebenarnya, sedang genosida tak lebih dari sebuah puisi klasik yang ditulis oleh para intelektual pensiunan jenderal. Genosida tak pantas untuk teman-temanku, karena ini adalah tindakan kolektif yang terorganisir dan tindakan kolektif yang terorganisir mengingatkan mereka pada Sayap Kiri yang mengecewakan mereka.

Pembantaian bangun pagi, memandikan teman-temanku dengan air dingin dan darah, mencuci pakaian dalam mereka dan membuatkan roti dan teh, lalu mengajari mereka sedikit tentang berburu. Pembantaian lebih berbelas kasih kepada teman-temanku ketimbang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pembantaian membuka pintu bagi mereka ketika pintu lain ditutup, dan memanggil mereka dengan nama-nama mereka ketika laporan berita hanya mencari angka-angka. Pembantaian adalah satu-satunya yang memberi mereka suaka terlepas dari latar belakang mereka; keadaan ekonomi mereka tak mengganggu Pembantaian, Pembantaian juga tak peduli apakah mereka intelektual atau penyair, Pembantaian melihat hal-hal dari sudut pandang yang netral; Pembantaian memiliki ciri-ciri kematian yang sama dengan mereka, nama yang sama dengan istri janda mereka, seperti mereka melalui pedesaan dan pinggiran kota dan muncul tiba-tiba seperti mereka dalam berita utama. Pembantaian menyerupai teman-temanku, tetapi selalu datang sebelum teman-temanku di desa-desa yang jauh dan sekolah-sekolah anak.

Pembantaian adalah metafora mati yang keluar dari televisi dan memakan teman-temanku tanpa sedikit pun garam.

-

Untuk Damaskus

Ini membunuhku, musim panas ini
yang merembes
melalui retakan Damaskus, aku merangkak seperti karat
di pintu penjara yang berubah
menjadi sebuah museum ini. Ini aku, yang duduk
takut dan malu di kafe pada hari-hari ketika uang
begitu langka, dan tertawa sekeras-kerasnya
pada hari-hari ketika kantongku terisi paripurna. Damaskus
adalah rumahku yang retak, dan
Kasyon adalah apa yang kuratapi. Aku sebarkan
di malam hari seperti klakson mobil
dan gerobak kacang yang besar, aku dikenal
orang asing dan turis. Aku tak memiliki pagar, setiap
kebahagiaan yang telah mengkhianati wajahku
kembali meminta maaf dari tawaku. Aku
adalah campuran aneh yang berkuasa
di langit orang miskin dan pakaian
di jendela di depan toko. Tubuhku adalah
ladang gandum yang terbakar, lidahku mencaci
seperti sepatu. Petugas polisi, guru,
dan pria misterius itu menatapku, maka aku
dengan sedih tertawa, dan mereka
dengan riangnya menangis. Damaskus
adalah milikku, dan aku tak akan
mengizinkan siapa pun
untuk membagi tempat tidurku, selain
kepada mereka yang jahat
dan para pelacur. Aku adalah tangga
yang menurun
ke lubang yang didirikan tinggi, dan
jejak pencuri di atas pasir. Tubuhku
adalah hotel bagi mereka yang pergi.
Kata-kataku adalah Injil kecil
yang hilang oleh para nabi, maka mereka
yang sesat mengadopsi.
Karena itu aku akan
membuang remah-remahnya
pada burung kawat berduri, dan aku akan
mengebiri kejayaan pada aspal. Inilah yang
mereka ajarkan kepada kami
di sekolah umum, maka
mereka melepaskan kami seperti kelinci
untuk mengunyah rumput dari penyerahan.
Aku berkata kepadamu bahwa aku tak akan
izinkan siapa pun menyelinap masuk
dan melihat Damaskus sebagai
seorang perempuan
yang mandi sendiri, payudara
kecilnya terbuka dengan malu, aku tak akan membiarkanmu ...
masuk.

-

Ode untuk Kedukaan

Kami mencintaimu, Eropa, kau benua tua. Aku tak tahu mengapa mereka menyebutmu tua pedahal kau masihlah muda dibandingkan dengan Mesir dan Mesopotamia.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membayar pajak-pajakmu seperti yang dilakukan orang kulit putih, dan tahan dengan suasana hatimu yang berubah-ubah, yang menyerupai cuacamu, dan kekurangan vitamin D yang serius, yang disebabkan gelapnya musim dinginmu. Kami mencintaimu dan sedih dengan kenyataan bahwa kami tak akan pernah terbiasa dengan kegelapan suram di musim dinginmu yang begitu panjang, karena inilah teman-teman Eropa kami, maksudku penduduk aslimu yang lahir di Utaramu yang dingin dari seorang ibu dan ayah Arya, menderita depresi seperti kami dan kekurangan vitamin D, karena, menurut teori evolusi, mereka juga adalah Homo Sapiens, yang berasal dari Afrika. Penghuni aslimu yang sebenarnya, maksudku Neanderthal yang berevolusi selama zaman es hingga mereka dapat menahan rasa dinginmu itu, sekarang telah punah.

Kami mencintaimu, Eropa, dan kami tak menyangkal bahwa kami datang kepadamu dari negara-negara dunia ketiga yang terbelakang, begitu, kau menyebutnya. Aku sendiri berasal dari Damaskus dan mengalami banyak klise, stereotip, dan prasangka dari penulis-penulis dan penyair-penyairmu. Terlepas dari kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai seorang feminis, aku menjadi bosan dan muak dengan pertanyaan dangkal yang terus-menerus dilontarkan tentang situasi perempuan di Timur Tengah. Aku mengakui sepenuhnya bahwa perempuan di Suriah mendapat hak untuk memilih pada tahun 1949, tetapi di Swiss, pusat uang-uangmu dan uang dari kediktatoran kami dan rekening bank rahasia mereka, perempuan mendapat hak untuk memilih pada tahun 1971, dan tentu saja itu tak ada di semua kanton di Swiss: kanton Appenzell Innerrhoden hanya memberikan hak suara penuh kepada perempuan pada tahun 1991, ya Tuhan!

Kami mencintaimu, Eropa. Kami menyukai kebebasan yang kau berikan kepada kami ketika kami jatuh ke pelukanmu, dan kami berpura-pura tak memerhatikan rasisme yang coba kau sembunyikan di bawah karpet saat kau membersihkan ruang tamu.

Kami mencintaimu, Eropa, nyonya kolonialisme masa lalu, pembantai penduduk asli, pengisap darah orang-orang dari India sampai Kongo, dari Brazil hingga Selandia Baru.

Nyonya Penyelidik, pembakar perempuan dengan alasan bahwa mereka adalah penyihir, nyonya pedagang budak yang mengangkut orang kulit hitam ke dunia baru, pencipta politik apartheid di Afrika Selatan, pendiri fasisme dan Nazisme, penemu solusi terakhir untuk membinasakan orang Yahudi, solusi terakhir yang menyebabkanku terlahir sebagai pengungsi kamp Yarmouk di Damaskus karena kau memiliki keberanian untuk menyerahkan negaraku Palestina sebagai pembayaran, kompensasi, dan solusi untuk Holocaust yang dilakukan oleh penduduk kulit putihmu, yang percaya pada kemurnian ras Arya.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membawa paspor-mu yang membukakan seribu pintu bagi kami, semudah peluru-mu merobek daging jutaan orang Algeria yang ingin menikmati kebebasan yang dielu-elukan Revolusi Prancis-mu.

Kami mencintaimu, Eropa. Kami mencintai seni-mu dan membenci sejarah kolonialisme-mu, mencintai teater-mu dan membenci kamp konsentrasi-mu, mencintai musik-mu dan membenci suara bom-mu, mencintai filsafat-mu dan membenci Martin Heidegger-mu, mencintai sastra-mu dan membenci orientalisme-mu, mencintai puisi-mu dan membenci Ezra Pound-mu, mencintai kebebasan berekspresi dalam batas-batas-mu sendiri dan membenci Islamofobia-mu, mencintai peradaban maju-mu, sekulerisme-mu, hukum-mu yang adil dan hak asasi manusia di wilayah-mu sendiri, dan membenci rasisme-mu, standar ganda-mu, pandangan arogan-mu, dan sejarah berdarah-mu.

Ambil Nazisme dan beri kami Immanuel Kant
Ambil Blackshirts dan beri kami anggur Italia
Ambil genosida di Algeria dan beri kami Baudelaire
Ambil Leopold the Second dan beri kami René Magritte
Ambil Adolf Hitler dan beri kami Hannah Arendt
Ambil Franco dan beri kami Cervantes
Ambil barang-barangmu dan biarkan kami mengambil apa-apa yang milik kami itu.

*****

Ghayath Almadhoun adalah seorang penyair Palestina yang lahir di Damaskus pada tahun 1979 dan berimigrasi ke Swedia pada tahun 2008. Saat ini, ia tinggal di antara Berlin dan Stockholm.

Sumber literatur:
Ghayath Almadhoun, Poetry in English:
https://www.ghayathalmadhoun.com/

Wednesday 17 May 2023

Homo Homini Hadeuh


Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.

Di kemudian hari, frasa ini digaungkan kembali dengan “sedikit” kurasi-modifikasi oleh filsuf-cum-sosiolog, Karl Marx: Homo Faber (manusia sebagai makhluk yang-bekerja/sebagai pekerja; makhluk yang produktif serta konstruktif)—Hannah Arendt dan Max Scheler memperluas terma Marxis ini dengan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk yang mengendalikan alam melalui alat-alat yang diciptakannya”.

Dalam semesta sastra, seorang pengarang asal Swiss, Max Frisch, menerbitkan novel dengan judul sama: “Homo Faber”. Secara jukstaposisi, Johan Huizinga, sejarawan Belanda menelurkan buku “Homo Ludens”—tentang sifat manusia yang secara natural senang “bermain-main” (bukan bekerja) khususnya dalam budaya.

“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”

—Huizinga, Homo Ludens (2014)

Homo Faber dan Homo Ludens merepresentasikan dua konsep filosofis yang antipodal: yang pertama mengacu pada manusia yang menggunakan rasionalitasnya untuk menghasilkan-memproduksi objek-benda buatan dan dengan demikian mengendalikan dunia eksternal (alam); yang kedua menekankan betapa pentingnya peran atau esensi dari “bermain/permainan” dalam kehidupan manusia—serta berfokus pada waktu luang dan hiburan.

Selain dua istilah di atas, barangkali telah diketahui secara umum bahwa Bapak Taksonomi Modern sekaligus Bapak Ekologi Modern, Carolus Linnaeus, mengemukakan istilah Homo Sapiens sebagai penanda “manusia modern” pada wilayah ilmu Biologi. ‘Homo’ dan ‘Sapiens’ adalah kata dalam bahasa Latin yang secara literal artinya “manusia” dan “bijak”; manusia adalah spesies yang-bijak, singkatnya.
Terlepas dari segala kontroversi di belakangnya, istilah ini semakin menemukan kepopulerannya setelah Yuval Noah Harari menetaskan buku berjudul “Sapiens: A Brief History of Humankind” yang merisalahkan tentang tiga revolusi besar: Kognitif, Agrikultur, Sains—serta implikasinya terhadap peradaban. Beberapa tahun berselang, Harari menerbitkan “Homo Deus: A History of Tomorrow” yang mengeksplorasi berbagai dampak perkembangan teknologi (termasuk kecerdasan buatan) pada masyarakat dan beragam kemungkinan canggih di milenium-milenium mendatang.

Lebih lanjut, Harari secara naif percaya bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memungkinkannya setara dengan Deus (bahasa Latin: Tuhan), dengan demikian ia menggagas Homo Deus (manusia sebagai “Tuhan yang berjalan” atau makhluk yang signifikan) dan praktis menambah panjang model-konsepsi manusia.

Selain empat arketipe-manusia yang telah disebutkan di atas, masih banyak 'homo-homo' lain, misalnya: Homo Economicus (manusia sebagai makhluk ekonomi) yang dicetuskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations; Homo Politicus (manusia sebagai makhluk yang berpolitik) yang dikemukakan Aristoteles; Homo Sociologicus (manusia sebagai makhluk sosiologis/yang memiliki kapasitas untuk berperan secara sosial dan bermasyarakat) yang ditekskan Ralf Dahdendorf; Homo Narrans (manusia sebagai makhluk yang bercerita/yang mampu menarasikan sesuatu) yang dipaparkan Kurt Ranke; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang diperkenalkan Plautus; Homo Homini Socius (manusia sebagai makhluk sosial/yang mampu berkawan dengan sesamanya) yang ditulis Seneca.

Homo Homini Hadeuh

Yang unik dan menarik dari manusia, pun luput orang-orang sadari, adalah fakta bahwa manusia barangkali merupakan satu-satunya hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluh. Atau, dalam bahasa lebih yang teologis dan metafisik, adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan anugerah: kehendak untuk mengeluh.

Semut rangrang yang terinjak, ikan lele yang menunggu dimasak, burung camar yang ditembak, sampai kerbau yang dipakai untuk membajak—besar kemungkinannya tak memiliki kemampuan luar biasa yang secara autentik dimiliki manusia ini. Kehendak untuk mengeluh, meskipun Tuhan boleh jadi tak menyukainya, tetapi tetap Tuhan berikan kepada kita (dalam bentuk pilihan)—sebagai manifestasi cinta tingkat tinggi, antara pencipta kepada ciptaannya.

“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”

—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)

Bayangkan apabila Tuhan tak menganugerahkan-menghadiahkan kehendak yang mampu menjadi semacam painkiller (obat berjenis analgesik yang berfungsi utuk meredakan nyeri) bagi kesusahan-penderitaan manusia ini, maka tak terbayang seberat apalagi beban-beban yang mesti kita pikul. Mengapa? Sebab terkadang, bahkan seringkali, hidup berjalan piawai menyebalkannya dan kita dirundung masalah-masalah secara konstan (di samping anggapan bahwa hidup adalah masalah itu sendiri).
Anehnya, kita selalu saja secara positif menemukan alasan-alasan baru untuk mengeluh dan secara paradoksal menemukan kepuasan-kenikmatan di dalamnya. Dengan demikian, manusia masa kini dibentuk oleh 5W dan 1H: waduh, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeuh.

Akan tetapi, kehendak untuk mengeluh, alias obat yang bisa dibilang manjur ini, tentu memiliki beberapa efek samping tak mengenakkan seperti dianggap lemah oleh kawan kita yang Homo Ferrum (manusia besi/makhluk yang kuat sekali). Tipikal manusia yang, ajaibnya tak pernah menggunakan kehendak untuk mengeluh seumur hidupnya—meskipun didera “hujan problema” yang bertubi-tubi.
Negatifnya, selain itu, terlalu banyak atau terlampau sering berkehendak untuk mengeluh, secara tak langsung membikin citra kita buruk/jelek—sebagai manusia yang kurang bersyukur—yang, di titik tertentu, seperti tak pernah bisa mengapresiasi sesuatu.

Terlepas dari positif-negatif tersebut, tuntutan zaman dan persoalan-persoalan masa kini yang semakin ruwet-keruh tak terjernihkan, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang lumayan lucu. Salah satunya, tendensi kehendak untuk mengeluh yang berkelindan pada ruang-ruang digital, khususnya Twitter. Terhitung semenjak 24 Agustus 2022, “Komunitas Marah-Marah” kian ramai—sampai-sampai memiliki lebih dari 111.000 member yang berkehendak untuk mengeluh sepanjang sinyal dikandung paket internetan. Kira-kira beginilah deskripsi komunitasnya:

“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”

Marah-marah merupakan sebentuk ekspresi puncak dari mengeluh yang lazim juga disebut dengan berkeluh-kesah. Artinya, meningkatnya kecenderungan ini pada orang-orang sedikit banyak dapat menjelaskan beberapa hal serta memproduksi banyak pertanyaan-pertanyaan besar.
Apa bahan dasar atau sesuatu yang menggerakkan kehendak untuk mengeluh? Selain di Twitter, di mana biasanya seseorang berkehendak untuk mengeluh? Mengapa mereka berkehendak untuk mengeluh? Hingga, seberapa ampuh dampak dari kehendak untuk mengeluh terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi?

Pada akhirnya, tak akan ada jawaban pasti dan final untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekilas nampak sinting ini. Tetapi, julukan Homo Homini Hadeuh: makhluk yang (mampu) mengeluh—mesti ditambahkan ke dalam kamus besar model manusia. Entahlah, barangkali manusia justru Homo Homini Homina-Homina, makhluk membingungkan yang selamanya akan menjadi rahasia tak terungkap kata. Atau, meminjam bahasa Rumi, barangkali manusia hanyalah kata kecil-mungil yang terselip di antara aib dan gaib.

Jangan lupa mengeluh dan misuh-misuh.

“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”

—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)

Wednesday 10 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Pessoa



Aku Tahu, Aku Sendiri

Aku tahu, aku sendiri
Betapa lukai, hati ini
Tanpa iman atau aturan
Atau melodi atau gagasan.

Hanya aku, hanya aku
Tak ada yang bisa kubahasakan
Karena perasaan bagai langit—
Terindra mata, kehampaan.

-

Autopsychography

Penyair dipenuhi kepura-puraan.
Dengan sangat teliti, hingga
Dia berhasil memalsukan kesakitan.

Sakit yang benar-benar dia rasakan;

Dan para pembaca karangannya
Jelas merasa, dalam sakit yang terbaca,
Tak satu pun rasa sakit itu miliknya,
Hanya sakit yang tak mereka pahami.

Maka, di sekitar jejaknya yang guncang
Kencang berlari, 'tuk sibukkan akal budi,
Sebuah kereta mengitari jarum jam
Yang manusia sepakati sebagai hati.

-

Matamu Menyedih

Matamu menyedih. Kau tak
dengarkan apa yang kukatakan.
Matamu mengagut, bermimpi,
dan mengabut. Tak acuh;
aku mengawang jauh.

Kunarasikan apa yang telah berlalu,
dari kesedihan yang lesu,
begitu melulu ...
Kupikir kaupernah mendengarkan,
tapi tidak, tak ada telingamu.

Tiba-tiba,
Tatapan yang hilang, kau menatapku,
masih jauh tak terkira,
kau menyimpul senyum.

Aku terus berbicara. Sedang kau
terus dengarkanpikiranmu sendiri,
senyuman yang hilang;

Hingga, lewati kemalasan
Sore yang terbuang sia-sia,
Keheningan membuka diri
Dari senyummu yang tak berguna.

-
Sesekali Aku Punya

Sesekali aku punya ide-ide bahagia,
Ide-ide tiba-tiba bahagia, di antara ide-ide
Dan kata-kata di mana mereka biasa bebas

Setelah menulis, aku membaca…
Apa yang membuatku menulisnya?
Di mana aku pernah menemukannya?
Dari mana hal itu datang kepadaku?
Itu lebih baik dariku…

Haruskah kita mengada, di dunia ini,
paling tidak, jadi pena dan tinta
yang digunakan seseorang
untuk mengarang dengan rapi
dan tepat apa yang kita guratkan
di sini?

-

Yang Tak Terhitung Jumlahnya

Yang tak terhitung jumlahnya
tinggal di dalam kita; ketika aku
memikirkan atau merasakan,
aku tak tahu siapa yang memikirkan
atau siapa yang merasakan.
Aku hanyalah sebuah tempat
dari perasaan atau pikiran.

Aku memiliki lebih dari satu jiwa.
Ada lebih banyak aku dari diriku sendiri.
Aku ada tapi tak peduli
kepada mereka semua.
Aku bungkam mereka:
aku berbicara.

Impuls yang bertentangan dari apa
yang-kurasakan atau
yang-tak-kurasakan;
sengketa di dalam,
siapa diriku sebenarnya?
Aku mengabaikan mereka.
Mereka tak mendikte kepada
seseorang yang kutahu.
Aku menulis.

*****
Fernando António Nogueira Pessoa adalah seorang penyair kritikus sastra, penerjemah, dan intelektual Portugis—digambarkan sebagai salah satu tokoh sastra terpenting abad ke-20 serta salah satu penyair terbesar dalam bahasa Portugis.

Sumber literatur:

Twenty Poems Fernando Pessoa, Translated by A. S. Kline: https://www.poetryintranslation.com/PITBR/Portuguese/FernandoPessoa.php#anchor_Toc503461473