Saturday 27 August 2022

Ateisme dan Eksistensialisme (Esai Translasi)

Pandemonium (1841) by Martin
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha


Meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak teolog Kristen dan bahkan beberapa teolog Yahudi telah menggunakan tema-tema eksistensialis dalam tulisan-tulisan mereka, adalah fakta bahwa eksistensialisme jauh lebih mudah dan lebih umum diasosiasikan dengan ateisme—daripada dengan jenis teisme apa pun, entah Kristen atau yang lainnya. Tidak semua ateis adalah eksistensialis, tetapi seorang eksistensialis agaknya punya tendensi untuk menjadi ateis daripada menjadi teis—dan ada alasan bagus untuk ini.


Pernyataan paling definitif tentang eksistensialisme ateistik kiranya berasal dari tokoh paling menonjol dalam eksistensialisme ateistik itu sendiri, Jean-Paul Sartre, dalam kuliahnya yang diterbitkan pada format buku berjudul L'existentialisme est un humanisme/Existentialism Is a Humanism (1946):


“Eksistensialisme ateistik, yang saya representasikan, menyatakan dengan konsistensi yang lebih besar bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada satu makhluk yang keberadaannya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsepsi apa pun. Makhluk itu adalah manusia ...”


Filsafat Eksistensialisme


Ateisme adalah keseluruhan sisi dari filsafat Sartre, dan bahkan, dia berpendapat bahwa ateisme adalah konsekuensi yang diperlukan bagi siapa pun yang mendalami eksistensialisme secara serius. Ini tidak berarti bahwa eksistensialisme menghasilkan argumen-argumen filosofis yang menentang keberadaan tuhan atau menyangkal argumen-argumen teologis dasar tentang keberadaan tuhan—itu bukan jenis hubungan yang dimiliki oleh eksistensialisme dan ateisme.


Sebaliknya, hubungan itu lebih merupakan masalah kesesuaian dalam hal suasana hati dan kecenderungan. Tidak perlu bagi seorang eksistensialis untuk menjadi seorang ateis, tetapi lebih mungkin untuk menciptakan "kecocokan" yang lebih kuat dengan ateisme—ketimbang dengan teisme. Ini karena banyak tema-tema yang paling umum dan fundamental dalam eksistensialisme lebih masuk akal di alam semesta yang tidak memiliki tuhan— ketimbang di alam semesta yang dipimpin oleh tuhan yang mahakuasa, mahatahu, mahahadir, dan mahabaik.


Maka, eksistensialisme ateistik seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre bukanlah posisi yang diperoleh setelah penelusuran filosofis dan refleksi teologis, melainkan diterima sebagai konsekuensi dari mengambil gagasan-gagasan dan sikap-sikap tertentu pada kesimpulan logisnya.


Tema Utama


Yang selalu menjadi tema utama dalam filsafat Sartre adalah "kemenjadian" dan eksistensi manusia: Apa artinya kemenjadian dan apa artinya menjadi manusia? Menurut Sartre, tidak ada sifat mutlak, tetap, abadi—yang sesuai dengan kesadaran manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia dicirikan oleh “ketiadaan”—apa pun yang kita klaim sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah ciptaan kita sendiri, seringkali melalui proses memberontak-melawan batasan-batasan eksternal.


Inilah kondisi kemanusiaan—kebebasan mutlak di dunia. Sartre menggunakan frasa "l'existence précède l'essence/eksistensi mendahului esensi" untuk menjelaskan gagasan ini, kebalikan dari metafisika tradisional dan konsepsi tentang sifat realitas. Kebebasan ini, pada gilirannya, memproduksi kecemasan dan ketakutan karena, tanpa Tuhan, umat manusia dibiarkan sendiri dan tanpa sumber arah atau tanpa tujuan eksternal.


Maka, perspektif eksistensialis “cocok” dengan ateisme karena eksistensialisme menganjurkan pemahaman tentang dunia bahwa tuhan tidak memiliki peran signifikan untuk "dimainkan". Di dunia ini, manusia dilemparkan kembali pada diri mereka sendiri untuk menciptakan makna dan tujuan melalui pilihan-pilihan pribadi mereka—ketimbang menemukannya melalui hubungan erat dengan kekuatan-kekuatan irasional di luar dirinya (tuhan).


Kesimpulan


Namun, ini tidak berarti bahwa eksistensialisme dan teisme atau eksistensialisme dan agama sama sekali tidak sejalan. Terlepas dari filsafatnya, Sartre selalu mengklaim bahwa keyakinan agama tetap bersamanya—mungkin bukan sebagai ide intelektual—melainkan sebagai komitmen emosional. Dia menggunakan bahasa-bahasa (bercorak) agama dan citraan-citraan agama di seluruh tulisannya dan cenderung memandang agama secara positif, meskipun dia tidak percaya adanya tuhan dan menolak kebutuhan akan tuhan sebagai dasar keberadaan manusia.


*****


Sumber Literatur


Existentialist Philosophy and Atheistic Thought (Not all atheists are existentialists, but an existentialist is probably more likely to be atheistic than theistic—and there are good reasons for this) – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/atheism-and-existentialism-250975

Agama sebagai Candu Masyarakat (Esai Translasi)

Opium of the masses (2018) by Ricardo Dominguez


Karl Marx adalah seorang filsuf Jerman yang mencoba mengkaji agama dengan objektif, dari perspektif ilmiah. Analisis dan kritik Marx terhadap agama "Die Religion ... ist das Opium des Volkesis/Agama adalah candu masyarakat"—mungkin salah satu yang paling terkenal dan paling banyak dikutip oleh teis dan ateis. Sayangnya, sebagian besar dari mereka yang mengutip tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud Marx, mungkin karena pemahaman yang tidak lengkap mengenai teori umum Marx tentang ekonomi dan masyarakat.

Pandangan Naturalistik tentang Agama

Banyak orang di berbagai bidang ingin sekali menjelaskan tentang agama—asal-usulnya, perkembangannya, dan bahkan pengaruh kuatnya dalam masyarakat modern. Sebelum abad ke-18, sebagian besar jawaban dibingkai semata-mata dalam istilah teologis dan agama, dengan asumsi kebenaran pewahyuan Kristen dan kelanjutannya dari titik tersebut. Namun sepanjang abad ke-18 dan ke-19, pendekatan yang lebih “naturalistik” mulai berkembang.

Marx sebenarnya sangat sedikit berbicara tentang agama secara langsung; dalam semua tulisannya, dia hampir tidak pernah membahas agama secara sistematis, meskipun dia sering bersentuhan dengan agama dalam buku-buku, pidato-pidato, dan pamflet-pamflet. Alasannya adalah bahwa kritiknya terhadap agama hanya merupakan satu bagian dari keseluruhan teorinya tentang masyarakat—sehingga, memahami kritiknya terhadap agama memerlukan beberapa pemahaman tentang kritiknya terhadap masyarakat secara umum.

Menurut Marx, agama adalah ekspresi dari realitas material dan ketidakadilan ekonomi. Dengan demikian, masalah dalam agama pada akhirnya menjadi masalah dalam masyarakat. Agama bukanlah penyakit, tetapi hanya gejala (tanda dari penyakit). Agama digunakan oleh penindas untuk membuat masyararakat merasa lebih baik atas kesusahan yang mereka alami karena menjadi miskin dan dieksploitasi. Inilah asal mula anggapannya bahwa agama adalah “candu masyarakat”—tetapi seperti yang akan kita lihat, pemikirannya jauh lebih kompleks daripada yang biasa digambarkan.


Latar Belakang

Untuk memahami kritik Marx terhadap agama dan teori ekonomi, penting untuk memahami sedikit tentang dari mana dia berasal, latar belakang filosofisnya, dan bagaimana dia sampai pada beberapa keyakinannya tentang budaya dan masyarakat.


Teori Ekonomi

Bagi Marx, ekonomi adalah dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia, sumber yang menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang diduga mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi. Semua institusi yang menonjol dalam kehidupan kita sehari-hari—pernikahan, tempat ibadah, pemerintahan, seni, dll.—hanya bisa benar-benar dipahami jika ditinjau dalam relasinya dengan kekuatan ekonomi.


Analisis Agama

Menurut Marx, agama adalah salah satu institusi sosial yang bergantung pada realitas material dan ekonomi dalam suatu masyarakat tertentu. Ia tidak memiliki sejarah yang berdikari, tetapi justru merupakan makhluk dari kekuatan-kekuatan produktif. Seperti yang ditulis Marx, “Dunia religius hanyalah refleksi dari dunia nyata.”

Semenarik dan seedukatif apapun analisis dan kritik Marx, bukan berarti analisis dan kritik itu bebas dari masalah—sejarah dan ekonomi. Karenanya, tidaklah bijak untuk menerima gagasan-gagasan Marx secara tidak kritis. Meskipun dia pasti memiliki beberapa hal penting untuk dikatakan tentang sifat-sifat dasar agama, Marx tidak dapat diterima sebagai solusi terakhir terkait masalah ini.


Biografi

Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818, di kota Trier, Jerman. Keluarganya adalah Yahudi, tetapi kemudian menjadi Protestan pada tahun 1824 untuk menghindari persekusi dari undang-undang anti-Semit. Untuk alasan ini, Marx muda menolak agama sejak dini dan menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia adalah seorang ateis.

Marx belajar filsafat di Bonn dan kemudian di Berlin, di mana ia berada di bawah pengaruh Georg Wilhelm Friedrich von Hegel. Filsafat Hegel memiliki pengaruh besar atas pemikiran dan teori-teori Marx kedepannya. Hegel adalah seorang filsuf yang rumit, tetapi adalah mungkin untuk menggambar garis besar yang kasar atas pemikirannya agar kita mampu memahaminya.

Hegel adalah bapak dialektika idealis, dan seseorang yang dikenal sebagai “idealis”—menurutnya, hal-hal mental (ide, konsep) adalah fundamental bagi dunia, bukan materi. Hal-hal material hanyalah ekspresi dari ide-ide—khususnya, dari “Roh Universal” atau “Ide Absolut” yang mendasarinya.


Hegelian Muda

Marx bergabung dengan “Hegelian Muda” (bersama Bruno Bauer dan lainnya) yang tidak hanya sebagai pengikut, tetapi juga sebagai kritikus Hegel. Meskipun mereka setuju bahwa pemisahan antara pikiran dan materi adalah masalah filosofis yang fundamental, mereka berpendapat sebaliknya, bahwa gagasan sebenarnya hanyalah ekspresi dari kebutuhan akan material. Apa yang secara fundamental nyata tentang dunia adalah kekuatan material, bukan ide dan konsep—kekuatan material ini adalah jangkar dasar, yang di kemudian hari menjadi titik pangkal semua gagasan Marx.

Dua gagasan penting yang dikembangkan oleh Marx perlu disebutkan di sini: Pertama, bahwa realitas ekonomi merupakan faktor penentu bagi semua perilaku manusia; dan kedua, bahwa semua sejarah manusia adalah perjuangan kelas antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mereka yang tidak memilikinya—sehingga harus bekerja terus menerus demi bertahan hidup. Ini adalah konteks di mana semua institusi sosial manusia berkembang, termasuk agama.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Marx pindah ke Bonn, dan berharap menjadi profesor, tetapi karena adanya konflik kefilsafatan dengan Hegel, Ludwig Feuerbach dipecat pada tahun 1832 dan tidak diizinkan untuk kembali ke universitas pada tahun 1836. Marx melupakan idenya untuk melanjutkan karir akademiknya. Pada tahun 1841 pemerintah juga melarang Profesor muda Bruno Bauer untuk mengajar di Bonn. Pada awal tahun 1842, kaum radikal di Rhineland (Cologne), yang berafiliasi dengan kaum Hegelian Kiri, mendirikan surat kabar yang menentang pemerintah Prusia, yang disebut Rheinische Zeitung. Marx dan Bruno Bauer diundang untuk menjadi kontributor utama, dan pada Oktober 1842 Marx menjadi Pemimpin Redaksi Rheinische Zeitung dan pindah dari Bonn ke Cologne. Kelak, jurnalistik menjadi pekerjaan utama Marx untuk sebagian besar hidupnya.


Bertemu Friedrich Engels

Setelah kegagalan berbagai gerakan revolusioner di kontinen (Eropa terkecuali Inggris) itu, Marx terpaksa pergi ke London pada tahun 1849. Perlu dicatat bahwa Marx tidak bekerja sendiri di sebagian besar hidupnya—ia mendapat bantuan dari Friedrich Engels yang telah, secara mandiri, mengembangkan teori Determinisme Ekonomi yang sangat mirip dengan milik Marx. Keduanya memiliki pemikiran yang sama dan bekerja sama dengan sangat baik—Marx adalah filsuf yang lebih baik sementara Engels adalah komunikator yang lebih baik.

Meskipun gagasan-gagasan itu kemudian berdiri atas nama “Marxisme”, harus selalu diingat bahwa Marx tidak menggagasnya seorang diri. Engels juga penting bagi Marx dalam hal finansial—kemiskinan sangat membebani Marx dan keluarganya; jika bukan karena bantuan keuangan Engels yang terus-menerus dan tanpa pamrih, Marx tidak hanya tidak akan mampu menyelesaikan sebagian besar karya utamanya, tetapi juga mungkin menyerah pada kelaparan dan kekurangan gizi.

Marx menulis dan belajar secara terus-menerus, tetapi kesehatan yang buruk mencegahnya menyelesaikan dua jilid terakhir Capital (yang kemudian dikumpulkan oleh Engels dari catatan Marx). Istri Marx meninggal pada 2 Desember 1881, dan pada 14 Maret 1883, Marx meninggal dengan tenang di kursinya. Dia dikuburkan di sebelah istrinya di Highgate Cemetery, London.


Pandangan Marx tentang Agama

Menurut Marx, agama hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan sistem sosial lain dan struktur ekonomi masyarakat. Faktanya, agama hanya bergantung pada ekonomi, tidak ada yang lain—sehingga doktrin agama yang sebenarnya hampir tidaklah relevan. Ini adalah interpretasi fungsionalis agama: pemahaman agama bergantung pada apa tujuan sosial dari agama itu sendiri (sebagai sesuatu yang melayani), bukan bergantung pada isi dari keyakinan agama yang memang irasional.

Marx berpendapat bahwa agama adalah ilusi yang memberikan alasan dan dalih untuk menjaga agar masyarakat berfungsi sebagaimana adanya. Sama seperti kapitalisme yang merampas kerja-kerja produktif kita dan mengalienasi kita dari nilai-nilainya, agama mengambil cita-cita dan aspirasi tertinggi kita dan mengasingkan kita darinya, memproyeksikannya ke makhluk asing dan tidak dapat diketahui yang disebut tuhan.

Marx memiliki tiga alasan untuk tidak menyukai agama:

•Pertama, nonsens—agama adalah delusi dan pemujaan terhadap penampilan yang menghindari pengenalan realitas yang mendasarinya.

•Kedua, agama menegasikan semua yang bermartabat dalam diri manusia dengan menjadikan manusia budak dan lebih bisa menerima status quo. Di dalam kata pengantar disertasi doktoralnya, Marx mengadopsi kata-kata dari pahlawan Yunani, Prometheus, yang menantang para dewa-dewi untuk membawa api bagi umat manusia: "aku benci semua dewa-dewi," dengan tambahan bahwa mereka "tidak mengakui kesadaran manusia sebagai keilahian tertinggi."

•Ketiga, agama itu hipokrit (munafik). Meskipun mungkin menganut prinsip-prinsip yang berharga, agama berpihak kepada para penindas. Yesus menganjurkan membantu orang miskin, tetapi gereja Kristen bergabung dengan negara Romawi yang menindas, turut ambil bagian dalam perbudakan selama berabad-abad. Pada Abad Pertengahan, Gereja Katolik berkhotbah tentang surga, tetapi merampas properti dan kekuasaan sebanyak mungkin.

Martin Luther berkhotbah tentang kemampuan setiap individu untuk menafsirkan Alkitab, tetapi berpihak kepada penguasa aristokrat dan melawan petani yang berjuang memerangi penindasan sosio-ekonomi. Menurut Marx, bentuk baru Kekristenan ini, Protestantisme, adalah produksi kekuatan ekonomi baru ketika kapitalisme awal berkembang. Realitas ekonomi baru membutuhkan suprastruktur agama baru yang dapat dibenarkan dan dipertahankan.


Jantung dari Dunia yang Kejam

Pernyataan Marx yang paling terkenal tentang agama berasal dari kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel:

Kesengsaraan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi sekaligus protes dari kesengsaraan yang nyata. Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang kejam, sebagaimana ia adalah spirit dari situasi tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat.

•Penghapusan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat diperlukan untuk kebahagiaan sejati mereka. Permintaan untuk melepaskan ilusi tentang kondisinya adalah permintaan untuk menyerahkan kondisi yang membutuhkan ilusi.

Ini sering disalahpahami, mungkin karena bagian lengkapnya jarang digunakan: huruf tebal di atas menunjukkan apa yang biasanya dikutip. Huruf miring adalah teks di dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal, kutipan tersebut disajikan secara tidak jujur ​​karena mengatakan “Agama adalah desahan makhluk yang tertindas …” mengesampingkan bahwa itu juga merupakan “jantung dunia yang kejam.” Teks ini lebih merupakan kritik terhadap masyarakat yang sudah terlampau kejam dan bahkan merupakan pengesahan parsial terhadap agama yang berusaha menjadi jantungnya. Terlepas dari ketidaksukaannya dan kemarahannya terhadap agama, Marx tidak menjadikan agama sebagai musuh utama para pekerja dan para komunis. Seandainya Marx menganggap agama sebagai musuh yang lebih serius, dia akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk menulis tentang itu.

Marx mengatakan bahwa agama dimaksudkan untuk menciptakan fantasi palsu bagi orang miskin. Realitas ekonomi menghalangi mereka untuk menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup ini, maka agama memberi tahu orang miskin bahwa semua baik-baik saja karena mereka akan menemukan kebahagiaan sejati di akhirat nanti (kehidupan selanjutnya). Bukan berarti Marx tidak prihatin: orang-orang dalam kesusahan dan agama memang memberikan penghiburan, seperti halnya orang-orang yang terluka secara fisik menerima bantuan dari obat-obatan berbasis zat opiat.

Masalahnya adalah zat opiat gagal memperbaiki cedera fisik—orang miskin hanya melupakan rasa sakit dan penderitaannya itu untuk sementara waktu. Akan tetapi, jauh lebih baik jika mereka juga mencoba mengatasi penyebab rasa sakit yang mendasarinya. Demikian pula, agama tidak mengatasi penyebab yang mendasari rasa sakit dan penderitaan orang-orang—sebaliknya, agama membantu mereka melupakan mengapa mereka menderita dan menyebabkan mereka menantikan masa depan imajiner ketika rasa sakit itu berhenti—ketimbang berusaha mengubah keadaannya secepat mungkin. Lebih buruk lagi, “obat” ini dipegang oleh para penindas yang bertanggung jawab atas rasa sakit dan penderitaan mereka.

Kendala Analisis Agama Marx

Marx tidak menghabiskan banyak waktu untuk melihat agama secara umum; sebaliknya, ia berfokus pada agama yang paling ia kenal, Kristen. Pandangannya berlaku untuk agama-agama lain dengan doktrin serupa tentang tuhan yang mahakuasa dan kehidupan setelah kematian yang mahabahagia, yang tidak berlaku untuk agama yang berbeda secara radikal. Di Yunani kuno dan Roma, misalnya, kehidupan setelah kematian yang mahabahagia disediakan untuk para pahlawan sementara orang-orang biasa hanya bisa berharap dan menantikan bayangan dari keberadaan duniawi mereka menjadi lebih baik. Mungkin dia dipengaruhi, dalam hal ini oleh Hegel, yang berpikir bahwa Kekristenan adalah bentuk agama tertinggi dan bahwa apa pun yang dikatakan tentang itu juga secara otomatis berlaku untuk agama-agama “lebih rendah”—itu keliru.

Masalah kedua adalah klaimnya bahwa agama sepenuhnya ditentukan oleh realitas material dan ekonomi. Tidak hanya tidak ada hal lain yang cukup fundamental untuk memengaruhi agama, tetapi pengaruh tidak dapat berjalan ke arah lain, dari agama ke realitas material dan ekonomi. Ini tidak benar. Jika Marx benar, maka kapitalisme akan muncul di negara-negara sebelum Protestantisme karena Protestantisme adalah sistem agama yang diciptakan oleh kapitalisme—tetapi kita tidak menemukan ini. Reformasi Protestan hadir di Jerman pada abad ke-16 masihlah bersifat feodal;  kapitalisme yang sesungguhnya tidak muncul sampai abad ke-19. Hal ini menyebabkan Max Weber berteori bahwa institusi keagamaan pada akhirnya menciptakan realitas ekonomi baru. Bahkan jika Weber salah, kita melihat bahwa seseorang dapat membantah kebalikan dari Marx dengan bukti sejarah yang jelas.

Masalah terakhir lebih bersifat ekonomi daripada agama—tetapi karena Marx menjadikan ekonomi sebagai dasar bagi semua kritiknya terhadap masyarakat, masalah apa pun dengan analisis ekonominya akan memengaruhi gagasannya yang lain. Marx menempatkan penekanannya pada konsep nilai, yang hanya dapat diciptakan oleh kerja-kerja manusia, bukan mesin. Hal ini memiliki 2 kekurangan.


Cacat dalam Menempatkan dan Mengukur Nilai

Pertama, jika Marx benar, maka industri padat karya akan menghasilkan lebih banyak nilai lebih (dan karenanya lebih banyak keuntungan) daripada industri yang kurang mengandalkan tenaga kerja manusia dan lebih banyak mengandalkan mesin. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Paling-paling, pengembalian investasi adalah sama—apakah pekerjaan itu dilakukan oleh manusia atau mesin. Cukup sering, mesin memungkinkan lebih banyak keuntungan daripada manusia.

Kedua, pengalaman umum bahwa nilai suatu objek yang diproduksi tidak terletak pada kerja-kerja yang dimasukkan ke dalamnya, tetapi pada estimasi subjektif dari calon pembeli. Secara teori, seorang pekerja dapat mengambil sepotong kayu mentah yang indah dan, setelah berjam-jam, menghasilkan patung yang sangat jelek. Jika Marx benar bahwa semua nilai berasal dari kerja, maka pahatan seharusnya memiliki nilai lebih dari kayu mentah. Objek hanya memiliki nilai dari apa pun yang akhirnya bersedia dibayar oleh seorang pembeli; beberapa mungkin membayar lebih untuk kayu mentah, beberapa mungkin membayar lebih untuk sebuah patung yang jelek.

Teori nilai kerja Marx dan konsep nilai lebih sebagai penggerak eksploitasi dalam kapitalisme adalah fondasi fundamental yang menjadi dasar semua idenya. Tanpa itu, keluhan moralnya terhadap kapitalisme akan rumpang, dan sisa-sisa filsafatnya akan runtuh. Dengan demikian, analisisnya tentang agama menjadi sulit untuk dipertahankan atau diterapkan, setidaknya dalam bentuk sederhana yang ia gambarkan.

Kaum Marxis telah mencoba dengan gagah berani untuk menolak kritik tersebut atau merevisi ide-ide Marx untuk membuat mereka kebal terhadap masalah yang dijelaskan di atas, tetapi mereka belum sepenuhnya berhasil (walaupun mereka tentu saja tidak setuju—jika tidak, mereka tidak akan tetap menjadi Marxis).


Melihat-Melampaui Kecacatan Marx

Untungnya, kita tidak sepenuhnya terbatas pada formulasi sederhana Marx. Kita tidak perlu membatasi diri pada gagasan bahwa agama hanya bergantung pada ekonomi dan tidak ada yang lain, bahwa doktrin agama yang sebenarnya hampir tidak relevan. Sebaliknya, kita dapat mengenali bahwa ada berbagai pengaruh sosial terhadap agama, termasuk realitas ekonomi dan material masyarakat. Dengan cara yang sama, agama dapat, pada gilirannya, memiliki pengaruh pada sistem ekonomi masyarakat.

Apa pun kesimpulan seseorang tentang keakuratan atau validitas ide-ide Marx tentang agama, kita harus mengakui bahwa ia memberikan jasa yang tak ternilai dengan memaksa orang-orang untuk melihat jaringan sosial di mana agama selalu ada. Dengan adanya pemikiran Marx, adalah tidak mungkin untuk mempelajari agama tanpa juga mengeksplorasi hubungannya dengan berbagai kekuatan sosial dan ekonomi. Kehidupan spiritual manusia tidak dapat lagi dianggap lepas dari kehidupan materialnya.


Pandangan Linier Sejarah

Bagi Karl Marx, faktor penentu dasar sejarah manusia adalah ekonomi. Menurutnya, manusia—bahkan sejak awal mulanya—tidak dimotivasi oleh gagasan-gagasan besar, melainkan oleh kepentingan materi, seperti kebutuhan untuk makan dan bertahan hidup. Ini adalah premis dasar dari pandangan materialis tentang sejarah. Pada awalnya, orang-orang bekerja bersama dalam satu kesatuan.

Namun akhirnya, manusia menemukan-mengembangkan agrikultur dan konsep kepemilikan pribadi. Kedua fakta ini menciptakan pembagian kerja dan pemisahan kelas berdasarkan kekuasaan dan kekayaan. Hal ini, pada gilirannya, menciptakan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Semua ini diperburuk oleh kapitalisme yang hanya meningkatkan kesenjangan antara kelas pemodal yang borjuis dan kelas buruh yang proletar. Konfrontasi di antara mereka tidak dapat dihindari karena kelas-kelas itu didorong oleh kekuatan sejarah di luar kendali siapa pun. Kapitalisme juga menciptakan satu kesengsaraan baru: eksploitasi nilai lebih.


Kapitalisme dan Eksploitasi

Bagi Marx, sistem ekonomi yang ideal akan melibatkan pertukaran nilai yang setara untuk nilai yang sama, di mana nilai ditentukan hanya oleh jumlah pekerjaan yang dimasukkan ke dalam apa pun yang sedang diproduksi. Kapitalisme menginterupsi cita-cita ini dengan memperkenalkan motif keuntungan—keinginan untuk menghasilkan pertukaran yang tidak merata dari nilai yang lebih rendah untuk nilai yang lebih besar. Laba pada akhirnya diperoleh dari akumulasi nilai lebih yang dihasilkan oleh para pekerja di pabrik-pabrik.

Seorang buruh mungkin menghasilkan nilai yang cukup untuk memberi makan keluarganya dalam 2 jam kerja, tetapi dia tetap bekerja selama sehari penuh—dalam waktu Marx, itu mungkin 12 atau 14 jam. Jam-jam ekstra tersebut mewakili nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja. Pemilik pabrik bahkan tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan nilai lebih ini, tetapi tetap mengeksploitasi para pekerjanya dan menyimpan selisihnya sebagai keuntungan.

Dalam konteks ini, Komunisme dengan demikian memiliki 2 tujuan: Pertama, ia diharapkan untuk menjelaskan realitas-realitas ini kepada orang-orang yang tidak menyadarinya; kedua, ia seharusnya memanggil orang-orang di kelas buruh untuk bersiap menghadapi konfrontasi dan revolusi. Penekanan pada praksis ketimbang sekadar renungan filosofis ini adalah poin penting Marx. Seperti yang dia tulis dalam Tesisnya yang terkenal tentang Feuerbach: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dalam berbagai cara; intinya, bagaimanapun, adalah bagaimana mengubahnya.”


Masyarakat

Dengan demikian, ekonomi merupakan dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia—menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang seharusnya mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi, tidak ada yang lain.

Marx memiliki kata khusus untuk semua pekerjaan yang dilakukan untuk mengembangkan institusi-institusi tersebut: ideologi. Orang-orang yang bekerja dalam sistem itu—mengembangkan seni, teologi, filsafat, dll.—membayangkan bahwa ide-ide itu berasal dari keinginan untuk mencapai kebenaran atau keindahan, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada kenyataannya, hal-hal tersebut adalah ekspresi kepentingan kelas dan konflik kelas. Mereka adalah cerminan dari kebutuhan mendasar untuk mempertahankan status quo dan melestarikan realitas ekonomi saat ini. Ini tidak mengejutkan—sebab mereka yang berkuasa selalu ingin membenarkan dan mempertahankan kekuatan-kekuatan itu.

*****

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sumber Literatur:

Religion as Opium of the People (Karl Marx) – Learn Religions 

Thursday 25 August 2022

Yang Mungkin Kukarang secara Ringkas sebelum Benar-benar Pulang dari Galnas

dokumentasi pribadi

aku menulis memoar kecil ini di sebuah taman besar—masih dalam area Galeri Nasional. sekarang pukul 15:33 WIB. & aku baru saja selesai mengikuti pameran tetap; melihat-lihat koleksi seni rupa negara ini—yang menurutku begitu ... adiluhung. selain karena karya-karya seni memanglah miniatur museum—yang hidup & menyimpan sepotong riwayat hidup, sepotong sejarah, sepotong ruang & sepotong waktu. seperti membius kedua bola mataku (& kacamataku)—kemudian mengambil alih kesadaranku untuk berkata dalam hati: betapa jenius, imajinatif, & kreatifnya para seniman bangsa ini. terdengar agak hiperbolis, tetapi begitulah yang kurasakan.

***

beberapa orang yang melihatku—mungkin akan berasumsi, bahwa aku keluar dari galeri seperti orang tolol yang mabuk darat di tanah orang lain; tanah yang orang-orangnya selalu terlihat terburu-buru (di sini, di Jakarta, aku percaya dengan kredo dari penyembah Konsep Waktu Linier: bahwa waktu adalah uang) ketimbang seseorang yang baru saja terhipnotis oleh daya magis sebuah lukisan. sekali lagi, aku tak berupaya meromantisasi. tak sama sekali. malah, aku mendapat semacam pengalaman artistik yang agak pelik (atau bahkan mustahil) untuk kubahasakan.

***

sedikit bercerita, 3 hari sebelum aku berkunjung ke Galeri Nasional, kawanku yang perlente, berkata bahwa aku ini dilettante—ada 2 lema makna dilettante jika mengutip dari Merriam-Webster (iya, perusahaan dari Paman Sam yang menerbitkan buku referensi, khususnya kamus, yang sudah berdiri semenjak tahun 1831 itu): pertama, seseorang yang memiliki minat dangkal dalam seni atau cabang pengetahuan lain; kedua, seorang pengagum atau pecinta seni. 

aku mencoba untuk berbaik sangka pada kawanku itu—ia merujuk pada lema makna yang kedua. tapi aku tak bisa menghentikan kecurigaanku bahwa kawanku itu memiliki postulat (yang kupikir cenderung gegabah): bahwa mulutku sebesar paus sperma dengan otak sebesar makanan paus sperma (zooplankton, biota mikro yang kira-kira hanya berukuran 0,2-2mm).

sependek pengetahuanku, aku ini memang tak terlalu bakat menggambar-melukis (membuat gambar-gambar kolase à la surealisme & dadaisme menggunakan software editing masih bisa, sedikit). kecerdasan visual-spasialku (& mungkin juga kecerdasan musikalku) hanya sebesar planet biru pucat bernama bumi di mata lensa pesawat luar angkasa Voyager 1 dari jarak 8 triliun kilometer (sekitar 0,8456006672196924 tahun cahaya).

9 jenis kecerdasan buatan Gardner, psikolog & profesor di Harvard University itu, hampir semuanya kuhabiskan untuk kecerdasan eksistensial (baca: kecerdasan untuk melamun dengan serius)—yang pada akhirnya membuatku memutilasi-merekonstruksi sebab di dalam setiap tindakanku, misalnya, mengapa pula aku memikirkan bacot kawanku yang bahkan dengan bahasa tubuh bangga campur segunung rasa percaya diri berkata: lukisan fresko "The Creation of Adam" yang merupakan bagian dari langit-langit Kapel Sistina, yang dilukis sekitar tahun 1508–1512, yang dianggap sebagai ekspresi klasik seni Renaisans & salah satu lukisan Renaisans terbaik pada abad ke-15 & ke-16—itu karya da Vinci, bukan Michaelangelo.

***

sejujurnya, aku ingin mencoba memetakan makna dari lukisan sureal Ivan Sagita berjudul "Meraba Diri"—berukuran 90 cm x 72 cm—dengan cat minyak di atas kanvas—yang dilukis pada tahun 1988 ... yang kalau boleh sok tahu, lukisan ini kupikir bertema pencarian jati diri, keperempuanan, & suwung (kekosongan) yang menggunakan simbol-simbol sosiokultural Jawa—3 figur perempuan yang sejajar tersebut adalah tanda dari proses transfigurasi (tangan, aku interpretasi sebagai upaya pengidentifikasian diri): pertama, yang di kiri, adalah penanda dari diri yang belum/tak-diidentifikasi; kedua, yang di kanan, adalah penanda dari diri yang mulai mengindentifikasi; ketiga, yang di tengah, adalah penanda dari diri yang telah diidentifikasi (sebagai perempuan Jawa, dicirikan dengan atribut sanggul).

pertanyaannya adalah, mengapa diri yang telah diidentifikasi berada di tengah? apakah itu berarti bahwa puncak tertinggi dari kesejatian diri adalah kemoderatan? atau mengapa diri yang belum/tak-diidentifikasi cenderung menggunakan komposisi warna yang lebih cerah? apakah hal-hal menyangkut identitas kebudayaan mempu menggelapkan/menyuramkan diri & membikin kita semakin jauh dari suwung? & yang lebih umum, apakah kesadaran tertinggi adalah ketika kita mampu secara filosofis melepaskan atribut-atribut kultural yang berpangkal dari letak geografis?

selain itu, aku ingin sedikit sok tahu fafifu tentang lukisan abstrak Abas Alibasyah yang berjudul "Garuda"—berukuran 100 cm x 66 cm—dengan cat minyak pada kanvas—dilukis pada tahun 1969; ada semacam ingatan kolektif yang mencoba mengetuk-ngetuk persepsiku: bahwa modernisasi merupakan jiwa zaman pada akhir 1960 sampai awal tahun 1970—sehingga mendorong perubahan bentuk menjadi lebih abstrak (yang kalau boleh jujur, lukisan itu lebih terlihat seperti sesosok manusia yang berdiri ketimbang makhluk mitologis semacam Garuda). di samping fakta bahwa Orde Baru melahirkan semacam estetika yang memuja segala hal yang serba samar—& ambigu dalam perkara politik. entah atas alasan keamanan, maupun karena selera visual yang memang selalu bertransformasi—dari waktu ke waktu.

***

Seni dan Politik memang tak dapat dipisahkan. karya seni sejak zaman kuda makan besi (baca: dari zaman dahulu) sudah sangat lama menjadi medium kritik sosial. terkadang membuat kita seperti terkena efek mandela. terkadang pula, menjadi efek kupu-kupu bagi mereka yang ingin menghayati mitos-mitos di dalamnya. & sering kali, aku dibuat sangat penasaran—misalnya, tentang bagaimana unsur-unsur surealitas & hal-hal abstrak bekerja di dalam kepala seorang seniman? atau jika karya seni bukan merupakan produk pikiran (melainkan produk perasaan); aku tetap penasaran. 

rasa penasaran semacam itu, pada gilirannya, membuatku takut untuk mati muda. yang kutakutkan dari mati muda—bukan tak akan pernah merasakan bagaimana rasanya berkeluarga, menjadi bapak, membesarkan seorang anak, & segala macam tetek bengek domestik rumah tangga—aku takut jika dikubur di dalam tanah sedalam 6 kaki dengan miliaran pertanyaan; yang masih tersisa di dalam batok kepalaku.

aku masih sulit untuk berkompromi dengan hal-hal seperti itu. bentuk kompromi yang sama seperti ketika aku menemukan wajah kebingungan yang sama—di antara teman-temanku di kelas ketika bersekolah dulu, ketika seorang guru Seni Budaya dengan caranya yang hambar, menerangkan hal-ihwal berwarna seni dengan cara yang sama sekali tak artsy (alias membosankan): seni yang hanya berkutat pada bagaimana melestarikan budaya & tradisi—tanpa pernah mengedukasi-membagi-perspektif tentang, misalnya, betapa pentingnya dekonstruksi, hal-hal yang berkelindan dengan seni, segala sesuatu tak bisa dilepaskan dari segala bentuk seni, atau tentang petuah kuno berbau seni dari bahasa Latin ... Ars Longa, Vita Brevis; hidup itu singkat, seni itu panjang (abadi).

oleh karenanya, 12 tahun aku belajar sesuatu bernama seni di sekolah—hasilnya adalah aku tak tertarik sama sekali terhadap dunia kesenian—setidaknya sebelum aku bersentuhan cukup intens dengannya ketika keadaan mengharuskanku menyelaminya.

***

aku juga muak dengan anggapan masyarakat yang ortodoks: bahwa semakin lukisan-lukisan bercorak realis atau mendekati objek aslinya—lukisan itu semakin bernilai seni. tapi aku juga tak mengerti, mengapa para pelukis yang buta warna—kini dianggap unik di sekolah-sekolah seni. terkadang, aku berpikir bahwa komposisi karya seni hanyalah rasa gabut seniman campur absurditas dunia. tapi tak sesederhana itu juga, kupikir.

maksudku begini, (mungkin) karya seni adalah hasil dari mekanisme kompleks alam bawah sadar—semacam buah yang bersumber dari seniman itu sendiri. maka tak heran, lukisan yang terkesan serampangan justru berasal dari sistem semiotik (& sistem kognitif) yang kompleks dari pembuatnya. masalahnya adalah aku tak kuliah seni, & seni bukanlah ilmu eksakta—jadi yang kulakukan sebenarnya hanyalah hipotesa yang lahir dari praduga-praduga (yang pada titik tertentu, sebenarnya tak perlu & tak penting untuk ditekskan).

ah gawat. aku semakin melantur tak karuan. tapi bukankah hidup yang asik—dimulai dari memproduksi serangkaian eksperimen-eksperimen kecil untuk menafsir kemungkinan-kemungkinan baru? bukankah menghancurkan kebekuan-kebekuan adalah sama dengan memberontak pada keabsurdan & kefanaan dunia bajingan ini? bukankah kesenian (& kesusastraan) tak akan pernah ada tanpa yang absurd & yang sementara?

sebelum aku ketinggalan kereta, & tulisan ini tak jelas arahnya—alangkah baiknya sekarang aku meluncur menuju Stasiun Gondangdia—lantas menutup tulisan ini dengan kutipan Pak Tua dari Danzig (yang menginspirasi Nietzsche) & kutipanku yang suka bermain di wilayah interteks Nietzche:

"treat a work of art like a prince: let it speak to you first."
—Schopenhauer

"bagi kehidupan yang absurd & sementara, kenormalan adalah bencana—tanpa seni, hidup adalah kiamat yang paling kubra."
—Genrifinaldy

Jakarta, 2 Januari 2022.

Saturday 20 August 2022

Reviu Singkat "Sapiens - Harari" yang ... Sungguh Hadeuh Sekali

 

Author: Yuval Noah Harari
Title: Sapiens: A Brief History of Humankind
Format: 512 pages, Paperback
ISBN: 9780099590088
Published: January 1, 2015 by Vintage
Language: English

Sapiens & Hal-Hal yang Tak Selesai

ingatan bekerja seperti mesin pencetak perangko yang ... dingin, pikun, & kuno. tapi sejuta deus lahir setiap hari. menggemakan mitos-mitos baru. lalu mempercepat laju masadepan, yang ... bergerak di antara: bagaimana primata-primitif cikal bakal manusia—mendomestikasi api dengan cara paling udik, seperti menggesekan dua buah batu tanpa sangsi;

& bagaimana seorang diktator mengontrol kerjasama global—dengan memainkan kelenjar adrenal, seperti memproduksi rudal yang ... dilengkapi hulu ledak nuklir—secara massal, melalui wajah keamanan negara, ditenagai isi kepala—fisikawan-teoritis yang ... tiba-tiba jadi nasionalis, sebab dibayar super-mahal—untuk menulis rumus-rumus matematika ... panjang x lebar x tinggi—untuk menjelaskan bagaimana interaksi antar atom bekerja—kepada para penambang bijih uranium yang ... sepertinya bekerja hanya demi bagaimana—bisa makan hari ini.

(2022)

—Moch Aldy MA

Maaf bila saya malah memulai tulisan dengan puisi yang dikarang sekitar 40 menit setelah selesai mengaji buku aduhai ini untuk yang ke-3 kalinya. Kalau tak salah ingat (& tak mengalami efek mandela), saya membaca-menamatkan Sapiens yang ditulis Prof. Yuval Noah Harari asal Israel ini, baik dalam bentuk cetak maupun digital—dalam versi bahasa Inggris & bahasa Indonesia—sebanyak 4 kali. Tapi tolong jangan bertanya ada di mana bentuk fisik buku saya yang satu ini (saya benci untuk mengakui fakta bahwa meminjamkan buku kepada teman dengan segunung harapan akan dikembalikan adalah salah satu kenaifan-kebloonan yang luar biasa).

Self diagnosis adalah sesuatu yang keliru sekaligus tak patut ditiru, tetapi saya ingin melakukannya—kemudian mengatakan bahwa meskipun Sapiens adalah buku bergizi, pada akhirnya, ia membuat saya sedikit depresi & kekurangan vitamin D yang cukup serius—diakibatkan oleh tubuh saya yang hampir tak terkena sinar ultraviolet pada pagi hari—sebab saya lebih banyak membuang pagi di dalam kamar saya yang berukuran kira-kira 4 x 5 meter persegi (sebenarnya tak bisa disebut persegi karena 4 x 5 itu asimetris) untuk mengkhatamkan buku ini.

Sedikit pengingat, kalimat-kalimat di atas, khususnya bagian vitamin D, adalah sebentuk hiperbola biasa yang lazim kalian temui jika membaca teks-teks Genrifinaldy. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya pikir, adalah fakta bahwa bukan matahari yang mengandung vitamin D—melainkan proses ketika kulit terpapar sinar ultraviolet dari matahari yang memicu sintesis vitamin D—lalu ginjal & hati mengonversinya menjadi vitamin D aktif yang dapat digunakan tubuh untuk meningkatkan peresapan kalsium & kesehatan tulang—begitu kata kawan saya yang dokter spesialis bedah.

Ok, saya kira cukup wawawa-nya—mari kita mulai.

Review Bukunya

Harari membuka Sapiens dengan mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa ... di atas ketinggian di Afrika Timur, 2 juta tahun lalu, kita kemungkinan bisa menjumpai sekumpulan sosok-sosok lazimnya manusia:  ibu-ibu yang gelisah tengah membuai bayi-bayi mereka & kecipak riang anak-anak bermain di lumpur; pemuda-pemuda tempramental yang dongkol menentang aturan masyarakat & para tetua yang lelah minta ditinggalkan dalam suasana tenang; kaum jagoan dengan dada berdebar-debar yang berusaha memikat gadis-gadis cantik lokal & para nyonya rumah yang sudah menyaksikan itu semua.

Secara garis besar, Sapiens dibagi menjadi 4 bagian: Revolusi Kognitif, Revolusi Agrikultur, Penyatuan Manusia, & Revolusi Saintifik. Pertama, Revolusi Kognitif, berfokus pada hal-ihwal yang sangat berbau biologi, teka-teki evolusi yang terlampau ndakik-ndakik (bagi cetak biru kepala saya yang IPS-Sosiologi), sampai lompatan Homo Sapiens yang spektakuler ke puncak rantai makanan.

Tapi yang menarik adalah bagian yang membahas bahwa ukuran otak tak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan: walaupun otak Sapiens Modern rata-rata hanya berukuran 1200-1400 sentimeter kubik, tetapi ia jauh lebih pintar dari Neanderthal yang berotak lebih jumbo (bahkan jika diadu dengan Neanderthal yang paling rajin belajar sekalipun); Sapiens Modern juga jauh lebih jenius dari famili kucing-kucingan yang meski berotak lebih gigan, tetap tak bisa mengerjakan soal-soal kalkulus.

Di titik ini, seketika otak saya yang piawai nakalnya membayangkan perlombaan cerdas cermat antara seekor babon bloon bermuka jelek versus Homo Sapiens yang tampan & cerdas—babon itu kalah, kemudian mengamuk & dengan mudah merobek-robek wajah rupawan Homo Sapiens sampai membuatnya menjadi jauh lebih jelek dari seekor babon bermuka jelek yang bahkan belum mandi selama 4 bulan lamanya.

Revolusi Kognitif, singkatnya, sebuah babak yang terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu—yang hanya dialami oleh Homo Sapiens—sehingga menjadikannya spesies yang overpower di hadapan kerabat-kerabatnya (Neanderthal, Homo Erectus, Homo Soloensis, & Homo Florensis)—yang tak mengalami Revolusi Kognitif. Secara biologis, Homo Sapiens yang digambarkan hampir identik dengan manusia modern. Mereka makan, minum, mencari pengakuan dari bestie atau crush-nya, melamun, bermain, jatuh cinta kepada orang yang salah, tidur, bermimpi kencing & bangun mendapatinya dirinya mengompol, hidup berkoloni, membentuk pertemanan akrab dengan sirkel-nya masing-masing & lain-lain & lain-lain.

Babak ini ditandai dengan meningkatnya kepekaan pancaindra (melihat, mendengar, membaui, mengecap, & merasakan) dalam mempersepsi-menganalisis realitas objektif, mulai munculnya realitas imajiner di batok kepala Homo Sapiens untuk mengarang hal-hal berwarna fiksi (yang dibahas lebih detail di bagian ke-3), & menajamnya kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa). Secara pragmatis, membidani lahirnya kebohongan pertama umat manusia & membuka berjuta kemungkinan di kepala Homo Sapiens untuk memanipulasi keadaan demi memenuhi keinginan-kebutuhannya.

"You could never convince a monkey to give you a banana by promising him limitless bananas after death in monkey heaven."

Harari mengajak kita untuk membayangkan bahwa kelak makhluk-makhluk bipedal nan menyedihkan & tak signifikan itu akan berjalan di bulan, mengolonisasi planet mars, membelah atom, menyibak kode genetik dalam mutasi setiap DNA, merumuskan rumus-rumus mekanika kuantum, & menulis buku-buku sejarah.

Transformasi terbesar ada di bagian kedua. Revolusi Agrikultur, adalah istilah yang diberikan untuk sejumlah alterasi budaya dari metode hunting-food gathering (berburu & mengumpulkan makanan) menjadi food producing (bercocok tanam & beternak) & mendomestikasi/menjinakkan (hampir semua) hewan-tumbuhan yang ada di muka bumi. Meski demikian, tak semua hewan mampu didomestikasi/dijinakkan oleh Homo Sapiens, katakanlah ... zebra, rakun, rubah, bonobo, kuda nil, atau serigala.

Hunting-food gathering adalah cara paling primitif (sekaligus udik) untuk mendapatkan makanan—yang dilakukan dengan cara berpencar untuk hunting (berburu) hewan-hewan liar & gathering (mengumpulkan makanan) tumbuhan/buah-buahan liar di belantara liar demi memenuhi kebutuhan fisiologis (baca: makan). Jika sumber makanan sudah habis, mereka akan langsung berpindah tempat untuk mencari sumber makanan yang baru.

Revolusi Agrikultur adalah titik di mana Homo Sapiens menjelajahi-merajai 3/3 muka bumi & dengan radikal memanfaatkannya secara produktif. Yang menarik adalah bahwa Harari (& Prof. Jared Diamond, iya ilmuwan yang famous itu) menggambarkan Revolusi Agrikultur sebagai kesalahan terbesar yang pernah dibuat manusia sepanjang sejarah. Revolusi Agrikultur tak bersinonim dengan apa yang disebut "sukses". Lebih lanjut, menurutnya, pada akhirnya kita tak mendomestikasi hewan-tumbuhan—melainkan sebaliknya. Dengan kata lain, kita diperbudak oleh apa yang kita domestikasi.

Pertanian-peternakan memang memudahkan Homo Sapiens untuk mendapatkan makanan, tetapi industrinya memiliki begitu banyak dampak buruk bagi manusia, hewan, & lingkungan: berkontribusi terhadap meningkatnya rasa mager di tubuh manusia modern (ketimbang berburu babi hutan menggunakan senapan angin yang belum tentu dapat, ya lebih baik ke pergi ke Jalan Suryakencana & membeli sate babi siap santap); hewan ternak menjadi rentan terhadap penyakit, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, & menjadi menyesal dilahirkan (ya bayangkan saja dilahirkan sebagai seekor ayam broiler yang tinggal menunggu takdir menjemputmu di restoran cepat saji atau mengalami transendensi menjadi semacam nugget rebus hasil ngide orang bloon yang kehabisan minyak goreng); agrikultur adalah salah satu pemicu yang mempercepat proses perubahan iklim global—katanya United Nations Environment Programme (UNEP), sekitar 13% emisi gas rumah kaca disebabkan pengoperasian agrikultur—peternakan menghabiskan 70% tanah untuk agrikultur atau setara dengan 30% permukaan tanah yang ada di planet biru ini.

Belum lagi emisi metana, tambah kawan saya (yang ini seorang diploma veteriner; D3 kesehatan hewan) yang gemar mengonsumsi fungi, yang tumbuh di atas tinja hewan ruminansia. Sejujurnya, saya jauh lebih penasaran dengan rasa daging genus gajah purba yang telah punah, mamut, jika dibuat rendang (ya saya tahu ini terdengar seperti random para tolol).

"We did not domesticate wheat. It domesticated us."

Tapi beribu tapi, dear Prof. Harari & Prof. Jared ... siapa orang sinting yang mau tetap hidup nomadik, berburu herbivora berkaki empat melawan karnivora macam harimau gigi pedang pakai tombak, & akhirnya memilih memakan tumbuhan random yang bisa saja membuatnya mampus dalam sekejap?

Bagian ketiga buku ini, Penyatuan Manusia, tak lagi membahas transisi Homo Sapiens dari spesies nomaden ke spesies menetap—kini, Harari menerawang efek domino dari umat manusia yang menjadi satu kesatuan yang tak terhindarkan. Dia berpendapat, bahwa keberhasilan kita dalam mencapai kesatuan ini adalah berkat kemampuan luar biasa untuk menciptakan berbagai mitos intersubjektif. Semacam hal-hal yang hanya ada dalam pikiran setiap individu yang mempercayainya—tak memiliki dasar saintifik, tetapi memungkinkan kerja sama dalam skala massal. Atas nama ekonomi, atas nama negara, atas nama agama—kita bersatu padu bekerja ... begitu mudahnya.

"How do you cause people to believe in an imagined order such as Christianity, democracy or capitalism? First, you never admit that the order is imagined."

Kemampuan untuk fafifu wasweswos ngueng-ngueng mencipta-mengarang mitos-mitos (termasuk tentang membacot hal-hal abstrak seperti ideologi, nasionalisme, patriotisme, sampai memformulasikan traktat perdamaian global) inilah yang membuat Homo Sapiens secara periodik tetap bertahan & secara meyakinkan terus berevolusi: membangun nilai-nilai kolektif, membentuk kerjasama ekonomi di atas alat tukar (mata uang) yang disepakati bersama, membina hubungan bilateral-multilateral, menyusun produk-produk hukum positif, & seterusnya & seterusnya.

Selain itu, mitos-mitos juga memungkinkan umat manusia (& peradaban yang melingkupinya) untuk terus bertumbuh-berkembang sedemikian rupa—juga secara simultan menurunkan angka konflik horizontal-vertikal antar individu agar tak saling timpuk-menimpuk menggunakan kapak perimbas, misalnya, sebagai imbas dari perbedaan-perbedaan rasial yang sama sekali tak terhindarkan—setidaknya sampai saat ini.

Mitos-mitos, saya pikir, adalah semacam rambu-rambu yang mencegah si miskin yang kelaparan tak menjarah dapur si kaya yang secara ironis kelebihan pangan.

Bagian ke-4 buku ini, Harari membawa pembaca pada apa yang disebut Revolusi Saintifik. Revolusi yang ... diproduksi di Eropa pada pertengahan milenium terakhir, kemudian didistribusikan ke seluruh dunia, & dikonsumsi secara brutal oleh negara-negara dunia ketiga. Bagian ini diisi semacam rasa haus kepada pengetahuan baru (yang sialnya disalahgunakan oleh kapitalisme & imperialisme). Menurut Harari, kemajuan saintifik ini memungkinkan kita untuk melampaui batasan-batasan biologis yang ditempatkan pada kita oleh evolusi.
Proses ini menjadi hal yang membentuk fase berikutnya dari sistem empiris manusia yang membentuk kita sedemikian rupa sampai kita sulit membayangkan konsekuensi logisnya.

Bagian paling menarik dari bagian ke-4, saya rasa, adalah ketika Harari membahas kebahagiaan. Seperti yang dia coba tampilkan: hampir tak ada cara untuk mengetahui—apakah kehidupan abad ke-21 kita yang nyaman ini membuat kita, secara objektif, lebih bahagia daripada nenek moyang kita?

Sedikit ngueng-ngueng soal kebahagiaan: tradisi intelektual Barat menyatakan bahwa untuk menjadi bahagia, yang paling perlu kita lakukan adalah pergi keluar rumah, mengamankan sumber daya, mendirikan bisnis, menjalankan pemerintahan, mendapatkan ketenaran, & menaklukkan dunia. Sebaliknya, tradisi intelektual Timur sudah sejak lama menarasikan antipodal-nya—misalnya, dalam untaian ajaran Buddha & Hindu (baik secara eksplisit/implisit), mereka bersikeras bahwa rasa puas mengharuskan kita belajar untuk tak menaklukkan dunia, melainkan menaklukkan instrumen yang membuat kita memandang dunia ini: pikiran kita.

Pada akhirnya, pada titik tertentu, Barat menghasilkan terlalu banyak playboy-tengil yang tak bahagia, yang suka misuh-misuh—sedang Timur terlalu banyak melahirkan orang bijak yang tak seru, yang kontraproduktif, yang hidupnya dihabiskan untuk meditasi, yang hanya memikirkan bagaimana menaklukkan kehendak & pikiran sebagai konsekuensi dari eksistensi.

"According to Buddhism, the root of suffering is neither the feeling of pain nor of sadness nor even of meaninglessness. Rather, the real root of suffering is this never-ending and pointless pursuit of ephemeral feelings, which causes us to be in a constant state of tension, restlessness & dissatisfaction. Due to this pursuit, the mind is never satisfied. Even when experiencing pleasure, it is not content, because it fears this feeling might soon disappear, & craves that this feeling should stay & intensify. People are liberated from suffering not when they experience this or that fleeting pleasure, but rather when they understand the impermanent nature of all their feelings, & stop craving them. This is the aim of Buddhist meditation practices. In meditation, you are supposed to closely observe your mind & body, witness the ceaseless arising & passing of all your feelings, & realise how pointless it is to pursue them. When the pursuit stops, the mind becomes very relaxed, clear & satisfied. All kinds of feelings go on arising & passing—joy, anger, boredom, lust—but once you stop craving particular feelings, you can just accept them for what they are. You live in the present moment instead of fantasising about what might have been. The resulting serenity is so profound that those who spend their lives in the frenzied pursuit of pleasant feelings can hardly imagine it. It is like a man standing for decades on the seashore, embracing certain ‘good’ waves & trying to prevent them from disintegrating, while simultaneously pushing back ‘bad’ waves to prevent them from getting near him. Day in, day out, the man stands on the beach, driving himself crazy with this fruitless exercise. Eventually, he sits down on the sand & just allows the waves to come & go as they please. How peaceful!"

Pada gilirannya, membaca bagian ini membuat saya ingin menelurkan hipotesa liar (hasil melamun di kamar mandi) yang terdengar lumayan mengerikan, tetapi cukup masuk akal: "harapan adalah pisau bermata dua: meningkatnya harapan adalah kabar baik yang membuat kita memiliki beribu alasan untuk tetap hidup; kabar buruknya, kita mungkin tak lebih bahagia daripada mereka yang datang jauh sebelum kita."

Terakhir, semisal pada akhirnya manusia bisa menjadi tuhan, maka ia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya—kecuali kebahagiaan. Mengapa? knowledge is a power that makes humans suffer. Sekian, mari kita tutup tulisan ini (sebelum otak saya berubah menjadi petasan banting) dengan mantra andalan: semoga semua keberadaan berbahagia.

& dengan puisi yang saya karang setelah membaca Sapiens untuk yang ke-2 kalinya.

Sains yang Mengasyikkan & Kau yang Menyebalkan

Pada suatu masa sekitar 13,7 miliar tahun silam, zat, energi, waktu, & ruang berasal dari apa yang dikenal sebagai Ledakan Besar.

Kisah tentang bagian-bagian mendasar alam semesta ini kita kenal dengan Fisika.

Kira-kira 300 ribu tahun setelah muncul, zat dan energi mulai bergabung menjadi struktur-struktur kompleks yang disebut dengan atom & berkombinasi menjadi molekul-molekul.

Kisah atom, molekul, & interaksinya ini dikenal dengan Kimia.

Setelah itu sekitar 3,8 miliar tahun lalu di planet bumi, molekul-molekul tertentu bersatu padu membentuk struktur-struktur amat besar & rumit yang disebut organisme.

Kisah organisme-organisme ini kita kenal dengan Biologi.

Lalu sekitar dua puluh empat jam yang silam, organisme ini mengirim pesan kepada organisme lain yang disukainya.

Namun, walaupun pesannya sudah dibaca & si penerima sudah memposting eksistensinya sebanyak 17 kali, tetapi pesannya masih belum juga dibalas.

&, kisah organisme ini kita kenal dengan Elegi

(2020)

—Moch Aldy MA

Monday 15 August 2022

Reviu Singkat "A Brief History of Time - Hawking" yang Sepertinya Lebih Panjang Ngueng-Nguengnya ketimbang Review Bukunya

 


Author: Stephen Hawking
Title: A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes
Format: 213 pages, Paperback
ISBN: 9780553380163 (ISBN10: 0553380168)
Published: September 1, 1998 by Bantam Books
Language: English

"What is the nature of time? Will it ever come to an end? Can we go back in time? Some day these answers may seem as obvious to us as the Earth orbiting the sun, or perhaps as ridiculous as a tower of tortoises. Only time, that's what we say." —The Theory of Everything (2014)

Mula-mula, saya ingin memberi semacam mukadimah & membangun jukstaposisi sependek pengetahuan saya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa saya sama sekali tak bermaksud untuk menciptakan dikotomi yang tak perlu agar pembahasan ini terkesan seperti suatu bahasan yang teatrikal & enigmatik pada saat yang sama (atau malah menjadi omong kosong yang membingungkan). Faktanya, diskursus tentang 'Waktu' adalah Perang Dingin (atau jika menggunakan istilah yang lebih kolosal; adalah Perang Kurukshetra). Antara konsep Waktu Linier yang digaungkan oleh Agama-agama Samawi/Abrahamik & sebagian besar Intelektual Barat versus konsep Waktu Sirkuler yang diserukan oleh Agama-agama Ardhi & mayoritas Intelektual Timur.

Pada praktiknya, Agama-agama Samawi/Abrahamik (yang berwarna akhirat-sentris) memiliki kecondongan untuk memberi kita pandangan linier tentang peristiwa & waktu yang melingkupinya—bahwa waktu tidak pernah datang dua kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Sebaliknya, Agama-agama Ardhi memberi kita pandangan yang bersebrangan—bahwa waktu datang berulang kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak akan habis.

Secara singkat, Waktu Linier: gagasan bahwa waktu adalah anak panah yang melesat dari masa lalu, melewati masa kini, & menuju masa depan. Dengan kata lain, hidup hanyalah sekali—& tentu mengandung corak pemikiran yang cenderung menegasikan kemungkinan adanya Reinkarnasi (kelahiran kembali). Sedangkan Waktu Sirkuler: anggapan bahwa waktu adalah roda yang berputar, atau bandul yang bergerak ritmis, konstan, & pasti, dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Sehingga, setiap objek & peristiwa niscaya kembali ke posisi asalnya.

Di Yunani kuno, Kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi, yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di konsep Kalachakra (roda waktu) pada teks-teks Buddhis & dalam genealogi Buddhisme di India & di Tibet (baik secara gamblang maupun samar).

Dalam tradisi pemikiran di Nusantara, khususnya masyarakat Jawa, kita akan menemukan konsep
Cakra Manggilingan yang hampir identik dengan Kalachakra, tetapi lebih komprehensif & ekstensif membahas waktu dalam konteks siklus hidup manusia. Dalam bahasa Sanskerta, Cakra bisa diartikan sebagai roda/cakram—sedangkan Manggilingan dalam bahasa Jawa mengandung makna "yang berputar"—sehingga interpretasi filosofisnya adalah bahwa kehidupan laksana roda yang kadang di atas, kadang di bawah, kadang di kiri, kadang di kanan ... hidup kadang bahagia, kadang sengsara, & seterusnya, & seterusnya.

Di Mesir kuno, kita akan menemukan simbol-simbol arkaik yang mengindikasikan konsep Waktu Sirkuler. Adalah Ouroboros/Uroboros, seekor ular (atau mungkin lebih tepatnya naga) yang sedang memakan ekornya sendiri sebagai simbol perulangan waktu (& keabadian). Ouroboros/Uroboros memasuki sendi-sendi tradisi pemikiran Barat melalui ikonografi Mesir kuno & tradisi magis Yunani—juga diadopsi sebagai simbol dalam Gnostisisme & Hermetisisme—terutama dalam ilmu alkimia oleh para alkemis. Kemudian, pasca berkembangnya agama Kristen, di Barat, gagasan Waktu Sirkuler tak lagi populer.

Review Bukunya

Jika rahasia & teka-teki kosmos adalah sebotol minuman bersoda, maka buku ini adalah pembuka tutup botol berbentuk hukum-hukum sains yang mengatur jagat raya. Agar kita tak terjebak dalam glorifikasi sains yang bermajas hiperbola, saya pikir kita tetap harus setuju dengan Hawking bahwa Tuhan tak hanya bermain dadu, tetapi dia melempar dadu itu ke tempat yang tak dapat kita temukan. A Brief History of Time, ditulis dalam bahasa yang saya kira cukup cair & lumayan ramah di kepala, sebab sudah di-downgrade sedemikian rupa (tetapi tetap dengan pertimbangan intelektual, tentunya) dengan harapan tak mereduksi makna aslinya sekaligus mudah dibaca-dipahami-dicerna seseorang yang bahkan tak selalu berpikir secara ilmiah & jarang bersinggungan dengan bahasa-bahasa fisika (kira-kira begitu ... kata sales marketing buku ini, yang kalau boleh jujur, saya sama sekali tak setuju di bagian mudah dibaca-dipahami-dicerna).

Di dalamnya pembaca akan menemukan siluet-siluet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perennial (yang tak pernah selesai dibahas), misalnya tentang bagaimana awal mula alam semesta atau seperti apa bentuknya di masa depan. Di dalamnya pembaca akan menemukan pertanyaan-jawaban berbau kosmologi (saya tertawa ketika menggunakan diksi 'kosmologi', sebab di salah satu adegan film berjudul "The Theory of Everything" yang mengudara pada tahun 2014—Hawking berkata bahwa kosmologi adalah semacam agama untuk seorang ateis yang cerdas) misalnya tentang ...

Newton, Einstein, & para fisikawan gigan lain yang merevolusi cara kita berpikir tentang bagaimana objek bergerak; di era posmodern yang serba-relatif—kecepatan cahaya tetaplah fix & konstan—sehingga kita tak selalu dapat mengukur kecepatan sesuatu itu relatif terhadap sesuatu yang lain; teori relativitas menyatakan bahwa waktu itu tak tetap; sebuah bintang bermassa berat yang mati akan menjadi singularitas yang disebut lubang hitam; lubang hitam tak sehitam itu; lubang hitam menyedot (hampir) segalanya; ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa waktu hanya dapat bergerak maju (senada dengan konsep Waktu Linier); meskipun para ilmuan sepakat bahwa "awal mula" dimulai dengan ledakan besar, mereka tak tahu secara pasti bagaimana tepatnya itu terjadi; fisikawan belum mampu menyatukan relativitas umum & mekanika kuantum.

Saya membaca "A Brief History of Time" karya Stephen Hawking ini dalam versi e-book menggunakan perangkat Kindle Basic 10th Gen—sewaktu di dalam rangkaian KRL dari Stasiun Jurang Mangu—transit, Stasiun Tanah Abang—transit, Stasiun Manggarai—sampai Stasiun Bogor. Selain karena saya memang mengidap mabuk perjalanan, & mesti berdiri selama lebih dari 2 jam lamanya—RAM otak saya ini tergolong rendah & terlalu payah untuk mencerna buku-buku sains yang berat—sehingga, yang terjadi setelahnya adalah adegan muntah-mengeluarkan roti kasur & susu UHT (yang saya konsumsi pada pagi hari sebelum berangkat) di kamar mandi umum Stasiun Bogor.

Meski percaya bukanlah satuan fisika, pereviu percaya bahwa ada sekitar 3 hal yang bisa diutarakan setelah membaca A Brief History of Time: Pertama, pembaca setidaknya dapat menyadari betapa dirinya hanyalah debu kosmik di kosmos yang mahabongsor, mahaluas, mahaabsurd, mahamisteri, mahamembingungkan, & mahahaha; kedua, buku ini punya tendensi membuat pembaca melamun dengan lebih nikmat, lebih asoy, lebih tumaninah; ketiga, pembaca tak akan pernah melihat langit dengan cara yang sama lagi—jika kesadarannya menyadari bahwa ada sekitar 100 miliar hingga 200 miliar galaksi—dengan lebih dari 3 triliun planet di setiap galaksi—yang berputar-berotasi-berevolusi di tengah semesta aneh yang secara konstan terus mengembang ini.

Pada akhirnya, membaca buku ini mengingatkan saya pada ungkapan monumental, nothing really matters, dari Freddie (iya, Freddie Mercury—yang juga mengutip nama martir ilmu pengetahuan bernama Galileo; yang dihukum mati oleh gereja, yang pada saat itu lebih memilih untuk percaya bahwa bumi adalah datar) di lagu Bohemian Rhapsody. Dengan kata lain, A Brief History of Time, cenderung membuat saya berpikir bahwa buku ini dengan brutal seperti ingin menegaskan ulang eksistensi saya yang besar kemungkinan memanglah tak memiliki makna, alias tak berguna. Pada gilirannya, pada titik tertentu, saya kira buku ini juga membuat seulas senyum meraksasa di wajah Schopenhauer yang sepertinya sepanjang waktunya tak bosan-bosan untuk berkata bahwa hidup ini meaningless.

Jadi, yang benar itu Waktu Linier atau Waktu Sirkuler? entahlah ... hanya tukang jam tangan yang suka ngaret yang tahu.

Semoga semua keberadaan lekas berbahagia, sebelum sekitar 7 miliar hingga 8 miliar tahun lagi matahari yang kita ketahui bersama itu akan mengeluarkan serangkaian suara letupan-letusan yang tak teratur sekaligus tak menentu—& mati—lantas menjadi lubang hitam yang baru.

"It is clear that we are just an advanced breed of primates on a minor planet orbiting around a very average star, in the outer suburb of one among a hundred billion galaxies. BUT, ever since the dawn of civilization people have craved for an understanding of the underlying order of the world. There ought to be something very special about the boundary conditions of the universe. And what can be more special than that there is no boundary? And there should be no boundary to human endeavor. We are all different. However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there is life, there is hope." —The Theory of Everything (2014)