Friday 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...