Showing posts with label esai translasi. Show all posts
Showing posts with label esai translasi. Show all posts

Tuesday 4 October 2022

Pengantar Singkat Eksistensialisme (Esai Translasi)

Ditulis oleh Luke Mastin dalam Bahasa Inggris & diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Eksistensialisme—singkatnya—adalah tradisi pemikiran kefilsafatan yang menekankan nilai-nilai dari eksistensi pribadi, misalnya, terkait kebebasan & pilihan-pilihan. Berangkat dari pandangan bahwa manusia mampu mendefinisikan makna mereka sendiri dalam hidup—bahwa manusia mampu membuat keputusan yang rasional meskipun berada di alam semesta yang tak bermakna, jelek, random, nonsens, & irasional—tak lama setelah mengalami semacam keterlemparan (baca: dilahirkan).

Eksistensialisme berfokus pada pertanyaan tentang keberadaan manusia & perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan. Eksistensialisme, khususnya eksistensialisme-ateistik, berpendapat bahwa, (karena tidak ada Tuhan atau kekuatan transenden lain) satu-satunya cara untuk melawan “void” ini adalah dengan “merangkul” eksistensi kita sendiri.

Dengan demikian, Eksistensialisme percaya bahwa individu sepenuhnya bebas & harus mengambil tanggung jawab pribadi untuk diri mereka sendiri (walaupun dengan tanggung jawab ini muncul kecemasan, penderitaan, atau ketakutan yang mendalam). Oleh karenanya, ia menekankan tindakan, kebebasan, & keputusan sebagai hal yang mendasar, serta menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi kemanusiaan yang secara fundamental irasional (yang ditandai dengan penderitaan & kematian yang tak terhindarkan) adalah dengan menjalankan kebebasan & mengambil pilihan-pilihan pribadi kita (penolakan Determinisme sepenuhnya).

Seringkali, Eksistensialisme (sebagai sebuah gerakan) digunakan untuk menggambarkan mereka yang menolak untuk menjadi bagian dari aliran pemikiran mana pun, menolak kecukupan suatu korpus kepercayaan atau sistem apa pun—mengklaim korpus-korpus tersebut dangkal, akademis, & jauh dari kehidupan. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan Nihilisme, Eksistensialisme lebih merupakan reaksi terhadap filsafat tradisional, seperti Rasionalisme, Empirisme, & Positivisme, yang berusaha menemukan tatanan tertinggi & makna universal dalam prinsip-prinsip metafisik atau dalam struktur dunia yang diamati. Ini menegaskan bahwa manusia benar-benar membuat keputusan berdasarkan apa yang berarti bagi mereka, ketimbang pada apa yang rasional.

Eksistensialisme berasal dari filsuf abad ke-19—Søren Kierkegaard (1813 - 1855) & Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)—meskipun keduanya tak menggunakan istilah eksistensialisme secara gamblang di dalam karya-karya mereka. Pada tahun 1940-an & 1950-an, eksistensialis Prancis seperti Jean-Paul Sartre (1905 - 1980), Albert Camus (1913 - 1960), & Simone de Beauvoir (1908 - 1986) menulis karya ilmiah & karya fiksi yang mempopulerkan tema-tema eksistensial, seperti ketakutan, kebosanan, keterasingan, absurditas, kebebasan, komitmen, kehampaan, & ketiadaan.

Keyakinan Utama

Tak seperti René Descartes (1596 - 1650), yang mengagungkan kesadaran, Eksistensialis menegaskan bahwa manusia “dilemparkan ke” semesta yang konkret, alam semesta tetap yang tak dapat “dipikirkan lebih jauh”, & oleh karenanya eksistensi (“berada di dunia”) mendahului kesadaran, & itu merupakan realitas tertinggi. Maka, eksistensi ada sebelum esensi (esensi adalah makna yang dapat dianggap berasal dari kehidupan)—kontras dengan pandangan filsafat tradisional yang berasal dari Yunani kuno. Seperti yang dikatakan Sartre: “Pada mulanya [manusia] bukan apa-apa. Hanya setelah itu dia akan menjadi sesuatu, dan dia sendiri akan membuat dirinya menjadi apa yang dia inginkan.”

Kierkegaard melihat rasionalitas sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk melawan kecemasan eksistensial mereka, ketakutan mereka (ketika) berada di dunia. Sartre melihat rasionalitas sebagai bentuk “itikad buruk”, upaya diri untuk memaksakan struktur pada dunia fenomena yang secara fundamental irasional & random. Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan makna dalam kebebasan, & membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari.

Kierkegaard juga menekankan bahwa seorang individu harus memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan standar-objektif-yang-universal. Nietzsche lebih lanjut berpendapat bahwa seorang individu harus memutuskan situasi mana yang dianggap sebagai situasi moral. Dengan demikian, sebagian besar Eksistensialis percaya bahwa pengalaman pribadi & bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangatlah penting dalam mencapai kebenaran, & bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat langsung dalam situasi itu jelas lebih unggul ketimbang pemahaman pengamat objektif yang tak mengalami situasi tersebut (mirip dengan konsep Subjektivisme).

Menurut Camus, ketika kerinduan seorang individu akan keteraturan bertabrakan dengan ketakteraturan di dunia kenyataan, hasilnya adalah absurditas. Oleh karenanya, manusia adalah subjek dalam alam semesta yang masa bodoh, ambigu, & absurd—di mana makna tak disediakan oleh tatanan alam, melainkan (dapat) diciptakan (namun hanya sementara & tak stabil) oleh tindakan & interpretasi manusia.

Eksistensialisme dapat bersifat ateistik, teologis (atau teistik), atau agnostik. Beberapa Eksistensialis, seperti Nietzsche, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” & bahwa konsep Tuhan sudah usang. Figur yang lain, seperti Kierkegaard, sangat religius, bahkan jika para eksistenialis-ateistik merasa tak bisa membenarkan anggapan tersebut. Faktor penting bagi Eksistensialis adalah kebebasan memilih “untuk percaya” atau “tak percaya”.

Sejarah Eksistensialisme

Tema-tema bercorak eksistensialis muncul dalam tulisan-tulisan Buddhis & Kristen awal (termasuk tulisan St. Augustine & St. Thomas Aquinas). Pada abad ke-17, Blaise Pascal (1623 - 1662) menyatakan bahwa, tanpa tuhan, hidup tak akan bermakna, membosankan & penuh kesengsaraan, seperti yang diyakini oleh para Eksistensialis, meskipun, tak seperti mereka—Pascal melihat ini sebagai alasan dari eksistensi tuhan. Seseorang yang hampir sezaman dengannya, John Locke (1632 - 1704), menganjurkan otonomi individu & determinasi-diri, tetapi dalam pengejaran  Liberalisme & Individualisme mutlak— ketimbang sebagai tanggapan atas pengalaman Eksistensialis.

Eksistensialisme, dalam bentuknya yang saat ini dapat dikenali—mula-mula diilhami oleh filsuf Denmark abad ke-19 Søren Kierkegaard, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger (1889 - 1976), Karl Jaspers (1883 - 1969) & Edmund Husserl (1859 - 1938)—juga penulis seperti Fyodor Dostoevsky dari Rusia (1821 - 1881) & Franz Kafka dari Ceko (1883 - 1924). Dapat dikatakan bahwa Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831) & Arthur Schopenhauer (1788 - 1860) juga berpengaruh besar dalam perkembangan Eksistensialisme, karena filsafat Kierkegaard & filsafat Nietzsche ditulis sebagai tanggapan atau pertentangan terhadap mereka.

Kierkegaard & Nietzsche, seperti Pascal sebelumnya, tertarik pada apa yang orang-orang sembunyikan tentang ketakbermaknaan hidup & penggunaan “pengalihan” untuk melarikan diri dari rasa jemu. Namun, tak seperti Pascal, mereka menganggap peran membuat-pilihan-bebas pada nilai-nilai fundamental & keyakinan penting dalam upaya untuk mengubah sifat & identitas “pembuat-pilihan” tersebut. Dalam kasus Kierkegaard, ini menghasilkan “ksatria-iman”, yang menaruh kepercayaan penuh pada dirinya sendiri & pada tuhan, seperti yang dijelaskan dalam karyanya tahun 1843 “Fear and Trembling”. Dalam kasus Nietzsche—yang banyak difitnah—yaitu “Übermensch” (atau “Superman”)—mencapai superioritas & transendensi tanpa menggunakan “keduniawian-lain” à la Kekristenan, dalam bukunya “Thus Spake Zarathustra” (1885) & “Beyond Good and Evil” (1887).

Martin Heidegger adalah seorang filsuf awal yang penting dalam gerakan tersebut, khususnya karyanya yang berpengaruh pada tahun 1927 “Being and Time”, meskipun ia sendiri dengan keras menyangkal menjadi seorang eksistensialis dalam pengertian Sartrean. Diskursusnya tentang ontologi berakar pada analisis mode keberadaan individu manusia, & analisisnya tentang otentisitas & kecemasan dalam budaya modern membuatnya sangat Eksistensialis.

Eksistensialisme muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar melalui karya ilmiah & karya fiksi dari Eleksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, & Simone de Beauvoir. Maurice Merleau-Ponty (1908 - 1961) adalah eksistensialis Prancis yang berpengaruh & sering diabaikan pada periode itu.

Sartre mungkin yang paling terkenal, serta salah satu dari sedikit eksistensialis yang benar-benar menerima disebut “eksistensialis”. “Being and Nothingness” (1943) adalah karyanya yang paling penting, & novel serta dramanya, termasuk “Nausea” (1938) & “No Exit” (1944), membantu mempopulerkan gerakan ini.

Dalam “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus menggunakan analogi mitos Yunani Sisyphus (yang dikutuk selamanya untuk mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk menggulingkannya ke bawah lagi) sebagai contoh kesia-siaan eksistensi, tetapi menunjukkan bahwa Sisyphus akhirnya menemukan makna & tujuan dalam hidupnya, hanya dengan terus-menerus “menerapkan dirinya” untuk itu.

Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis penting yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama Sartre, menulis tentang feminis & etika eksistensial dalam karya-karyanya, termasuk “The Second Sex” (1949) & “The Ethics of Ambiguity” (1947).

Meskipun Sartre dianggap (oleh sebagian besar) sebagai Eksistensialis yang paling unggul, & (oleh banyak orang) sebagai filsuf penting & inovatif dalam dirinya sendiri, yang lain kurang terkesan dengan kontribusinya. Heidegger sendiri berpikir bahwa Sartre hanya mengambil karyanya & meregresinya kembali ke filsafat berorientasi subjek-objek Descartes & Husserl, yang persis seperti apa yang Heidegger coba bebaskan dari filsafat. Beberapa orang melihat Maurice Merleau-Ponty sebagai filsuf Eksistensialis yang lebih baik, khususnya karena penggabungannya dengan tubuh sebagai cara kita mengada di dunia, & untuk analisis “persepsi” yang lebih lengkap (dua bidang di mana karya Heidegger sering dianggap kurang).

Kritik terhadap Eksistensialisme

Herbert Marcuse (1898 - 1979) mengkritik Eksistensialisme, terutama “Being and Nothingness” karya Sartre, karena memproyeksikan beberapa fitur hidup dalam masyarakat modern yang menindas (fitur seperti kecemasan & ketakberarmaknaan) ke dalam sifat keberadaan itu sendiri.

Roger Scruton (1944 - 2020) mengklaim bahwa baik konsep Heidegger tentang ketakotentikan & konsep itikad buruk Sartre sama-sama tak konsisten, dalam arti bahwa mereka menyangkal setiap kredo moral yang universal, namun berbicara tentang konsep-konsep ini seolah-olah setiap orang terikat untuk mematuhinya.

Kaum Marxis, khususnya ketika pascaperang Prancis, menemukan Eksistensialisme bertentangan dengan penekanan mereka pada solidaritas umat manusia & teori determinisme ekonomi. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa penekanan Eksistensialisme pada pilihan individu mengarah pada kontemplasi daripada tindakan, & bahwa hanya kaum borjuis yang memiliki kemewahan untuk menjadikan diri mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan melalui pilihan mereka, sehingga mereka menganggap Eksistensialisme sebagai filsafat borjuis.

Kritikus Kristen mengeluhkan bahwa Eksistensialisme menggambarkan umat manusia dalam cahaya terburuk, mengabaikan martabat & anugerah yang berasal dari penciptaan menurut Imago Dei. Juga, menurut kritikus Kristen, Eksistensialis tak dapat menjelaskan dimensi moral kehidupan manusia, & tak memiliki dasar teori etika jika mereka menyangkal bahwa manusia terikat oleh perintah tuhan. Di sisi lain, beberapa penafsir telah keberatan dengan penggolongan Kierkegaard yang terus-menerus pada Kekristenan, terlepas dari ketakmampuannya untuk secara efektif menjustifikasinya.

Dalam istilah yang lebih umum, penggunaan karakter pseudonim dalam tulisan eksistensialis dapat membuatnya tampak seperti pengarang yang tak mau mengakui “insight”-nya sendiri, & membingungkan filsafat dengan sastra.

*****

Sumber Literatur

Mastin, Luke. "Existentialism - By Branch / Doctrine - The Basics of Philosophy." Existentialism - The Basics of Philosophy: https://www.philosophybasics.com/branch_existentialism.html




Tuesday 20 September 2022

Apa yang Nietzsche Maksud ketika Mengatakan “Tuhan telah Mati” (Esai Translasi)

“Tuhan telah mati!”

Dalam bahasa Jerman, Gott ist tot! adalah ungkapan yang paling lekat dikaitkan kepada Nietzsche. Namun ada ironi di sini karena Nietzsche bukanlah orang pertama yang mengemukakannya. Penulis Jerman, Heinrich Heine (yang Nietzsche kagumi), mengatakannya lebih dulu. Tapi Nietzsche sebagai seorang filsuf memiliki misi pribadi untuk menanggapi pergeseran budaya yang dramatis dengan ungkapan “Tuhan telah mati”.

Ungkapan tersebut pertama kali muncul di awal Book Three dari The Gay Science (1882). Kemudian ungkapan itu menjadi ide sentral dalam aforisme masyhur (125) berjudul Orang Gila, yang dimulai dengan:

“Pernahkah kau mendengar tentang orang gila yang menyalakan lentera di pagi hari yang cerah, yang berlari ke pasar, dan menangis tanpa henti: “Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!”—Karena banyak dari mereka yang tak percaya pada Tuhan berdiri di sekitarnya saat itu, dia memancing banyak tawa. Apakah dia tersesat? Tanya seseorang. Apakah dia tersesat seperti anak kecil? Tanya yang lain. Atau dia sedang bersembunyi? Apakah dia takut kepada kita? Apakah dia sudah melakukan perjalanan? Mengungsi ke negeri lain?—Sehingga mereka berteriak-teriak dan tertawa.

Orang gila itu melompat ke tengah-tengah mereka dan menusuk mereka dengan matanya. “Di mana Tuhan?” dia menangis;  “Aku akan memberitahumu. Kita telah membunuhnya—kau dan aku. Kita semua adalah pembunuhnya. Tapi bagaimana kita melakukan ini? Bagaimana kita bisa meminum lautan? Siapa yang memberi kita lap serap untuk menghapus seluruh cakrawala? Apa yang kita lakukan ketika kita melepaskan rantai bumi dari mataharinya? Ke mana ia bergerak sekarang? Ke mana kita bergerak? Jauh dari seluruh matahari? Bukankah kita terus-menerus menyelam? Mundur, ke samping, ke depan, ke segala arah? Apakah masih ada yang naik? Atau turun? Apakah kita tak tersesat, seperti melalui ketiadaan yang tak terbatas? Apakah kita tak merasakan napas dari ruang hampa? Bukankah semakin dingin? Bukankah malam terus-menerus mendekati kita? Apakah kita tak perlu menyalakan lentera di pagi hari? Apakah kita belum mendengar suara penggali kubur yang mengubur Tuhan? Apakah kita belum mencium bau busuk ilahi? Dewa-dewi juga membusuk. Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya.”

Orang gila terus berkata

“Tak pernah ada tindakan yang lebih besar; dan siapa pun yang lahir setelah kita—demi tindakan ini, ia akan menjadi bagian dari sejarah yang lebih tinggi dari semua sejarah sampai saat ini.” Ditemui oleh ketidakpahaman, ia menyimpulkan:

“Aku datang terlalu dini … Peristiwa luar biasa ini masih dalam perjalanan, masih berkeliaran; itu belum sampai ke telinga seorang manusia. Petir dan guntur membutuhkan waktu; cahaya bintang membutuhkan waktu; tindakan-tindakan, meskipun dilakukan, masih membutuhkan waktu untuk dilihat dan didengar. Tindakan ini masih lebih jauh dari mereka ketimbang bintang yang paling jauh—namun mereka telah melakukannya sendiri.”

Apa maksud dari semua ini?

Hal pertama yang cukup jelas dan menjadi poin adalah bahwa pernyataan “Tuhan telah mati” adalah paradoks. Tuhan, secara definitif, itu abadi dan mahakuasa. Dia bukanlah entitas yang bisa mati. Jadi apa maksud dari ungkapan bahwa Tuhan telah “mati”? Gagasannya beroperasi pada beberapa tingkatan.

Bagaimana agama kehilangan tempatnya dalam budaya kita

Maksud yang paling jelas dan penting hanyalah ini: Dalam peradaban Barat, agama pada umumnya, dan Kekristenan, khususnya, berada dalam kemerosotan yang tidak dapat diubah. Ia kehilangan atau telah kehilangan tempat sentral yang telah dipegangnya selama dua ribu tahun terakhir. Ini berlaku di setiap bidang: dalam politik, filsafat, sains, sastra, seni, musik, pendidikan, kehidupan sosial sehari-hari, dan dalam kehidupan spiritual dari batin setiap individu.

Seseorang mungkin keberatan: namun, tentu saja, masih ada jutaan orang di seluruh dunia, termasuk Barat, yang masih sangat religius. Ini tidak diragukan lagi benar, tetapi Nietzsche tidak menyangkalnya. Dia menunjuk ke tren yang sedang berlangsung yang, seperti yang dia tunjukkan, kebanyakan orang belum sepenuhnya memahami. Tapi trennya tetap tidak terbantahkan.

Di masa lalu, agama sangat penting dalam budaya kita. Musik terhebat, seperti Bach – Mass In B Minor, bersifat religius dalam segi inspirasi. Karya seni terbesar dari Renaissance, seperti The Last Supper karya Leonardo da Vinci, secara khusus bertema keagamaan. Ilmuwan seperti Copernicus, Descartes, dan Newton, adalah orang-orang yang sangat religius. Gagasan ketuhanan memainkan peran kunci dalam pemikiran para filsuf seperti Aquinas, Descartes, Berkeley, dan Leibniz. Seluruh sistem pendidikan diatur oleh gereja. Sebagian besar orang dibaptis, menikah dan dimakamkan oleh gereja, dan menghadiri gereja secara teratur sepanjang hidup mereka.

Tidak satu pun dari hal-hal di atas benar lagi adanya. Kehadiran di gereja di sebagian besar negara Barat telah jatuh ke dalam jumlah yang sedikit, sekitar sembilan orang bahkan kurang. Sekarang banyak individu lebih menyukai upacara yang sekuler, yang tidak bersifat keagamaan saat perayaan kelahiran, pernikahan, dan kematian. Dan di antara para intelektual—ilmuwan, filsuf, penulis, dan seniman—kepercayaan agama hampir tidak berperan dalam pekerjaan dan karya-karya mereka.

Apa penyebab kematian Tuhan?

Jadi ini adalah alasan pertama dan paling mendasar di mana Nietzsche berpikir bahwa Tuhan telah mati. Budaya kita menjadi semakin sekuler. Alasannya tidak sulit untuk dipahami. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Era Pencerahan di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi. Dikombinasikan dengan industrialisasi pada abad ke-19, kekuatan teknologi yang berkembang pesat yang dilepaskan oleh ilmu pengetahuan, juga memberi orang-orang semacam rasa kontrol yang lebih besar atas alam. Merasa tidak berdaya melawan kekuatan irasional juga memainkan perannya dalam mengikis keyakinan beragama.

Pemaknaan lebih lanjut “Tuhan telah Mati!”

Seperti yang dijelaskan Nietzsche di bagian lain The Gay Science, klaimnya bahwa Tuhan telah mati bukan hanya klaim tentang kepercayaan agama. Dalam pandangannya, banyak dari pola pikir kita yang secara standar membawa unsur-unsur agama yang tidak kita sadari. Misalnya, sangat mudah untuk berbicara tentang alam seolah-olah alam mengandung makna dan tujuan. Atau jika kita berkata alam semesta seperti sebuah mesin yang hebat, metafora ini membawa implikasi yang halus bahwa mesin itu dirancang oleh seseorang. Mungkin yang paling mendasar dari semuanya adalah asumsi kita bahwa ada yang namanya kebenaran objektif. Yang kita maksud dengan ini adalah sesuatu seperti cara dunia akan digambarkan dari “sudut pandang mata tuhan”—sudut pandang yang tidak hanya di antara banyak perspektif, tetapi adalah Satu Perspektif Sejati yang tunggal. Bagi Nietzsche, semua ilmu pengetahuan harus berangkat dari perspektif yang terbatas.

Implikasi dari kematian Tuhan

Selama ribuan tahun, gagasan tentang Tuhan (atau para dewa-dewi) telah menjadi jangkar bagi pemikiran kita terhadap dunia. Ini sangat penting sebagai landasan moralitas. Prinsip-prinsip moral yang kita ikuti (Jangan membunuh. Jangan mencuri. Membantu mereka yang membutuhkan, dll.) mengandung otoritas agama di belakangnya. Dan agama memberikan motif untuk mematuhi aturan-aturan ini, karena agama memberi tahu kita bahwa kebajikan akan dihargai dan yang sebaliknya akan dihukum. Apa yang terjadi jika permadani ini ditarik?

Nietzsche tampaknya berpikir bahwa respons pertama adalah kebingungan dan kepanikan. Seluruh bagian Orang Gila yang dikutip di atas penuh dengan pertanyaan menakutkan. Turun ke dalam kekacauan dipandang sebagai salah satu kemungkinan. Tapi Nietzsche melihat kematian Tuhan sebagai bahaya besar dan peluang besar. Ini memberi kita kesempatan untuk membangun “tabel nilai” yang baru, yang akan mengungkapkan cinta yang baru ditemukan dari dunia ini dan kehidupan ini. Karena salah satu keberatan utama Nietzsche terhadap Kekristenan adalah bahwa dengan memikirkan kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan setelah kematian, sehingga pada akhirnya keagamaan merendahkan nilai kehidupan itu sendiri.

Maka, setelah kecemasan besar yang diungkapkan dalam Book III, Book IV dari The Gay Science adalah ekspresi mulia dari pandangan yang mengafirmasi kehidupan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.


Filosofi Keputusasaan à la Cioran (Esai Translasi)

L APPEL AU SUICIDE OU L'ULTIME FLIRT (1977) by RAYMOND DOUILLET
Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

*Esai ini juga sempat dipresentasikan pada acara Philosophy Week ke-9 di Federal University of the State of Rio de Janeiro (UNIRIO) pada tahun 2019.

Terlepas dari keganjilannya, gagasan filsuf kelahiran Rumania, Emil Cioran, tidak berada dalam ruang hampa. Kita dapat berargumen bahwa gagasannya adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—bahkan pesimis—yang tidak diketahui dengan baik, seperti yang dikemukakan oleh profesor UCLA, Joshua Dienstag pada tahun 2009. Tidak ada sekolah-pemikiran-filosofis pesimisme yang tepat, tetapi Dienstag berpendapat—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Leopardi, Schopenhauer, Nietzsche, Unamuno, Camus, dan Cioran—kurang lebih sebagai tubuh dari tradisi ini.

Dalam buku Tragic Sense of Life (2008) karya Miguel de Unamuno, dinyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia. Filsafat Cioran—yang (membaca) dan berangkat dari Unamuno—tentu saja mempertajam dan menguatkan konklusi dan sentimen ini. Kesadaran sebagai penyakit adalah titik awal filosofi keputusasaan à la Cioran. Kesadaran akan apa? akan waktu. Akal kita mampu merefleksikan apa yang dipikirkannya dan memiliki pemahaman penuh tentang keberadaan masa lalu dan masa depan. Filosofi keputusasaan Cioran menyatakan bahwa kapasitas kita ini memiliki efek samping yang menakutkan, seperti pengetahuan bahwa eksistensi kita ada— dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Meskipun Cioran berpendapat bahwa kita bukanlah robot, tetapi kita beroperasi dalam keterbatasan waktu yang tidak tertanggulangi—dan kita tahu ini. Masa depan, oleh karena itu, tidak lain dan tidak bukan adalah masa lalu yang belum datang. Kita semua akan binasa, sama seperti makhluk hidup lain yang menghuni planet ini, dan pengetahuan ini membuat kita secara retroaktif tidak eksis/ada.

Pengetahuan ini juga membuat Sejarah menjadi tidak berarti. Sejarah, menurut Cioran, adalah adaptasi yang kita buat terhadap kondisi temporal kita: kita menciptakan Sejarah dan mengisinya dengan ilusi—agama dan segala macam impian. Pada momen-momen tertentu, Cioran menggunakan metafora dan mitologi untuk mengungkapkan pikirannya. Salah satu ungkapan yang dia gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”. Kita adalah makhluk yang datang dari ketiadaan abadi dan jatuh ke dalam waktu ketika kita dilahirkan: kita menjalani masa kini yang selalu cepat berlalu dan menjadi masa lalu. Untuk itu, kita selalu menitipkan harapan kita di masa depan. Semua hewan lain hidup di masa kini—mereka beradaptasi untuk hidup di masa kini, dilahirkan dan (hampir) siap untuk hidup. Mereka memiliki apa yang mereka butuhkan di dalam diri mereka. Singa, zebra, serangga, dan ikan tidak membutuhkan budaya, sekolah, dan pembelajaran formal. Mereka hidup pada masa kini dan ketakutan mereka akan kematian tidak lebih dari sekadar ketakutan yang naluriah. Hewan, bahkan ketika mereka sakit, tidak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti kita—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Filosofi keputusasaan Cioran, bagaimanapun, tidak melihat rasa sakit hanya terjadi di dunia manusia. Dalam aforisme tertentu dia mengungkapkan bagaimana kesadaran apa pun akan mendapat manfaat dari ketidakberadaan, bahkan kesadaran hewan primitif. Dalam bukunya De l'inconvénient d'être né/The Trouble with Being Born (1976), Cioran menulis, “Lebih baik menjadi hewan daripada manusia, serangga daripada hewan, tumbuhan daripada serangga, dan seterusnya. Pertolongan? Apa pun yang mampu mengurangi kerajaan-kesadaran dan mengompromikan supremasinya.” Menurut filosofi keputusasaan, dunia ideal akan dihuni oleh bebatuan—dan, jika ada kehidupan, itu adalah tumbuh-tumbuhan (Cioran, 1998). Jadi apa yang bisa kita lakukan? Apa jawaban Cioran untuk diagnosisnya yang begitu mengerikan?

Saat menulis buku pertamanya, Cioran menggunakan bahasa ibunya, yakni bahasa Rumania. Kemudian, ia beralih secara permanen menggunakan bahasa Prancis. Meskipun beberapa karya pertamanya sudah sangat suram, jawabannya atas betapa hampanya keberadaan manusia masih agak vitalis. Sebentuk kekaguman Ciora terhadap ekstase spiritual orang-orang Kristen yang suci pada awal-awal kepenulisannya hanyalah: dalam persepsi Cioran, ketika kita melihat fenomena ekstase spiritual—tanpa berpegang pada sampul dogmatis agama—orang suci itu akan menjadi semacam orang yang mampu beberapa saat meninggalkan dan lari dari ‘waktu’ di mana kita semua jatuh ke dalamnya. Sosok-sosok suci dan mistikus akan meninggalkan individuasi dan temporalitas manusia dalam momen-momen ekstase spritual yang singkat ini. Namun, setelah Perang Dunia II, Cioran dalam fase Prancis-nya, meskipun diagnosisnya tetap sama—bisa dikatakan bahwa keputusasaannya menjadi lebih dalam—dengan kata lain, Cioran tidak melihat jalan keluar. Tidak ada penolong untuk kondisi temporal kita, bahkan dalam ekstase orang-orang suci. Yang bisa kita coba, hanyalah seni untuk menjalani hidup yang agak dekat dengan asketisme dan kepasrahan non-religius yang kita temukan dalam filsafat Schopenhauer.

Menurut Schopenhauer (2014) pesimisme memberi kita celah kecil untuk melarikan diri dari kondisi keterlemparan ketika kita dilahirkan, meskipun untuk sementara. Schopenhauer (2015) baginya, mengagumi seni, terutama musik, adalah sekutu yang kuat bagi orang-orang yang berusaha menetralisir kehendak yang kejam untuk hidup, meskipun untuk sesaat. Cita-cita asketisme—misalnya, dalam monastisisme Kristen dan Buddhis—bahkan lebih baik bagi Schopenhauer: seorang asket menyangkal kehendak untuk hidup dan bekerja terus-menerus melawan nafsu yang membuat kita terikat pada dunia yang seutuhnya fana dan di mana rasa sakit, bahkan ketika tertunda, sudah pasti menyakitkan. Pengetahuan yang dimiliki dalam mempraktikkan penolakan kehendak untuk hidup, bahkan ketika penolakan ini terjadi secara tidak langsung—seperti dalam kasus para biksu, yang menolak kehendak untuk hidup demi alasan agama dan dogmatis, bukan karena wawasan filosofis—adalah  semacam kemenangan dalam filosofi Schopenhauer. Bagi Schopenhauer (2014), perpaduan dari seluruh “kehidupan” adalah penyebab dari begitu banyak penderitaan, maka akan lebih baik jika bumi kosong seperti bulan. Tapi di dalam Schopenhauer ada secuil kemenangan personal ketika kita menolak kehendak untuk hidup, yang mana itu merupakan pengetahuan tentang penolakan ini. Bagi Cioran, kemenangan kecil pun tidak mungkin. Tidak ada yang bisa memperbaiki kondisi kita. Kita hanya dapat menangani bencana total ini secara parsial dengan mengisolasi diri kita sendiri—seolah-olah kita adalah biksu urban.

Kita dapat melihat bahwa filsafat Schopenhauer dan Cioran sama-sama mempromosikan semacam penolakan kehidupan. Pada filsafat Cioran, kita juga melihat kritik tajam terhadap prokreasi. Dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Aku sendirian di pekuburan yang menghadap ke desa ketika seorang wanita hamil datang ke sini. Aku segera pergi, supaya tidak melihat pembawa mayat wanita ini dari jarak dekat, atau untuk merenungkan kontras antara rahim yang agresif dan pusara yang usang—antara janji-janji ilusif dan akhir dari semua omong kosong ini. (Cioran, 1998)

Ketidaksetujuannya terhadap reproduksi tidak terbatas pada wanita dan yang lainnya. Dalam buku catatannya, yang diterbitkan setelah meninggal dunia, dia menulis: “Dengan apa yang aku ketahui, dengan apa yang aku rasakan, aku tidak dapat mengabdikan hidup tanpa menempatkan diriku dalam kontradiksi total dengan diriku sendiri, tanpa menjadi secara intelektual tidak jujur dan kriminal secara moral.” (1997) Pernyataan seperti itu bukanlah kecaman terhadap orangtua karena menjadi orangtua, melainkan kondisi manusia yang secara membabi buta melestarikan dirinya, terlepas dari ketidakmungkinan yang total atas makna yang memuaskan bagi kehidupan dan penderitaan yang kita alami. Bagi filsuf keputusasaan, akan lebih baik jika kita tetap dalam “kemungkinan-kemungkinan”. Sekali lagi, dalam The Trouble with Being Born, dia menulis:

     Jika benar bahwa dengan kematian kita sekali lagi menjadi seperti sebelumnya, bukankah lebih baik untuk mematuhi kemungkinan murni itu, tidak bergerak darinya? Apa gunanya jalan memutar ini, ketika kita mungkin tetap selamanya dalam keterpenuhan yang tidak disadari? (Cioran, 1998)

Sentimen tersebut bergema dalam tulisan Samuel Beckett, penulis naskah drama asal Irlandia. Dalam Waiting for Godot, tokoh bernama Pozzo mengatakan: “Mereka melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” (Beckett, 2011)

Masih ada pertanyaan: jika hidup begitu mengerikan, mengapa kita tidak meninggalkannya dengan bunuh diri?Memang benar bahwa baik Cioran dan Schopenhauer sebelumnya tidak mengutuk bunuh diri. Sebaliknya: keduanya menegaskan dalam karya-karya mereka bahwa tidak ada gereja atau lembaga sipil yang pernah memberikan argumen yang valid mengenai bunuh diri. Namun, untuk alasan yang berbeda, mereka tidak menganggapnya sebagai alternatif terbaik. Bagi Schopenhauer, bunuh diri, adalah mencoba membunuh kehendak untuk hidup di dalam dirinya—tetapi kehendak untuk hidup adalah kekuatan pendorong metafisik yang menembus semua kenyataan. Bunuh diri tidak menyangkal kehendak untuk hidup, asketisme-lah yang menyangkalnya. Karena Cioran skeptis terhadap kebenaran mutlak, kita tidak menemukan bantuan pengetahuan metafisik, oleh karena itu, menurutnya, bunuh diri sebenarnya adalah alternatif yang valid, tetapi itu bukan tindakan yang perlu, juga tidak manjur. Dalam A Short History of Decay, dia menulis tentang bagaimana bunuh diri diibaratkan semacam harta karun yang kita semua punya aksesnya, tetapi kita bisa memilih untuk menghabiskan seluruh hidup kita tanpa menggunakannya (Cioran, 2012). Setelah kita lahir, kerusakan sudah terjadi, dan bunuh diri tidak mengubah itu—karena alasan ini, bunuh diri menjadi satu lagi tindakan sia-sia terhadap kondisi kita. Dalam salah satu aforismenya yang paling terkenal, Cioran menyatakan bahwa: “Tidak ada gunanya repot-repot membunuh diri sendiri, sejak dirimu selalu terlambat untuk melakukannya.” (Cioran, 1998)

Karya-karya Cioran mengungkapkan filsafat yang korosif, nihilistik, dan pesimistis—yang menyangkal nilai kehidupan, sesuatu yang mungkin kontroversial pada pandangan pertama—atau pada pandangan ketiga, keempat, keseribu ... Namun, mereka yang membacanya mesti berhati-hati dan penuh waspada, sebab penyangkalan ini bukanlah penghormatan atau dorongan untuk bunuh diri, meskipun dia tidak menilai tindakan tersebut dari sudut pandang moral atau perspektif seorang vitalis. Filosofi keputusasaan à la Cioran menggugat kehidupan tanpa mengharapkan kematian. Sebagai kesimpulan, penulis akan menutupnya dengan kata-kata Cioran sendiri:

     Kita tidak terburu-buru menuju kematian, kita melarikan diri dari malapetaka kelahiran, para penyintas berjuang untuk melupakannya. Ketakutan akan kematian hanyalah proyeksi ke masa depan dari ketakutan yang berasal dari momen pertama kehidupan kita. Tentu saja, kita enggan menganggap kelahiran sebagai momok: bukankah hal itu telah ditanamkan dalam diri kita sebagai kebaikan yang berkuasa—tidakkah kita diberitahu bahwa yang terburuk datang terakhir, bukan pada awal kehidupan kita? Namun kejahatan, kejahatan yang sebenarnya, ada di belakang, bukan di depan kita. Apa yang luput dari Yesus tidak luput dari Buddha: “Jika tiga hal tidak ada di dunia, o para murid, Yang Sempurna tidak akan hadir di dunia ...”  Dan di hadapan usia tua dan kematian, Sang Buddha menempatkan fakta kelahiran, sumber dari setiap kelemahan, setiap bencana. (Cioran, 1998).

Referensi:

Beckett, Samuel. Waiting for Godot. New York: Grove Press, 2011.

Cioran, Emil. A Short History of Decay. New York: Arcade Publishing, 2012. Translated by Richard Howard.

Cahiers, 1957-1972. Paris: Gallimard, 1997.

The Trouble with Being Born. New York: Arcade Publishing, 1998. Translated by Richard Howard.

Dienstag, Joshua Foa. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press, 2009.

Unamuno, Miguel de. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications, 2008.

Monday 5 September 2022

ABCD Eksistensi Mendahului Esensi (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.

Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.

Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung

Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).

Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.

Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung

Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.

Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.

Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.

Tiadanya Tuhan

Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.

Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.

Individual namun Bertanggung Jawab

Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.

Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.

Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain. 

Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.

*****

Sedikit Catatan

Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".

Sumber Literatur

Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956

Thursday 1 September 2022

Mitos Penciptaan à la Mitologi Yunani: Hesiodos, Homeros, & Orfisme (Esai Translasi)


Artwork by Tony Futura

Artikel ditulis oleh Marta Fatica, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Tidak ada mitos penciptaan yang tunggal dalam mitologi Yunani. Hesiodos, Homeros, & Orfisme—mereka menarasikan mitos-mitosnya tentang bagaimana dunia, para dewa, & manusia tercipta—dengan versi yang berbeda-beda.

Mitos penciptaan adalah bagian fundamental dari semua agama & mitologi. Menjelaskan 5W + 1H dunia diciptakan, & meletakkan fondasi untuk mitologi yang terkonstruksi dengan baik. Di beberapa kebudayaan, kisah penciptaan bersifat konkret & terekam dengan apik, seperti dalam Kitab Kejadian yang digunakan oleh kepercayaan Abrahamik. Namun, di Yunani kuno, mitos penciptaan, seperti banyak mitos Yunani lainnya, sangat bervariasi & berbeda-beda satu sama lainnya. Hesiodos mengisahkan mitos penciptaan yang paling lengkap & terkenal, sedangkan tradisi Homeros menciptakan jembatan antara tradisi yang lebih tua dengan Hesiodos. Tradisi Orfik, atau Orfisme, memberikan penjelasan yang sangat berbeda tentang penciptaan dunia & umat manusia.

Berikut adalah variasi mitos penciptaan Yunani, seperti yang diriwayatkan melalui tradisi Hesiodos, Homeros, & Orfisme.

Mitos Penciptaan Yunani: Hesiodos & Mitos Penciptaan Pertama

Pseudo-Seneca (now thought to be a bust of Hesiod), via Museo Archeologico Nazionale di Napoli
Kisah lengkap pertama tentang mitos penciptaan Yunani dapat ditemukan dalam buku Theogony/Theogonia (circa 7-8 SM) karya Hesiodos—di buku itu ia menggambarkan penciptaan dunia, para dewa-dewi, & umat manusia melalui medium puisi. Antologi puisi tersebut adalah yang paling menonjol dari buku-bukunya yang lain, bahkan menjadi mitos penciptaan yang terpanjang & komprehensif. Dimulai dengan Hymn to the Muses, Theogony menceritakan kisah alam semesta yang dimulai ketika hanya ada satu kondisi primordial, hingga penciptaan wanita. Puisi Hesiodos lainnya, Works and Days, berisi mitos tentang penciptaan pria & wanita, tetapi secara keseluruhan bukan merupakan mitos penciptaan.

Hesiod and the Muse by Gustave Moreau, 1891, via Museum d’Orsay
Pada mulanya, hanya ada Chaos, kondisi primordial. Keunggulan Chaos sebagai kondisi primordial & mendahului makhluk primordial adalah signifikan secara mitologis & secara filosofis. Dari Chaos muncullah Gaia (Tanah/Bumi), Tartarus/Tartaros (Dunia Bawah), Eros (Gairah/Hasrat), Erebus/Erebos (Kegelapan), & Nyx/Niks (Malam). Mereka kemudian menciptakan makhluk primordial lain, seperti Hemera (Siang), Uranus (Langit/Surga), & Pontus (Laut).

Gaia menjadikan putranya, Uranus, sebagai suaminya & melahirkan Dua Belas Titan, serta enam anak yang mengerikan. Uranus memenjarakan anak-anaknya yang mengerikan, yang membuat Gaia sangat murka. Untuk menghukum Uranus, Gaia meminta anak-anak Titannya untuk menyerang ayah mereka dengan sabit. Ini memulai siklus anak menggulingkan ayah, yang dikenal sebagai 'Mitos Suksesi.' 'Mitos Suksesi' diulang beberapa kali dalam Theogony, serta dalam mitologi Yunani.

Birth of Venus by William Bouguereau, 1879, via Museum d’Orsay
Chronos/Kronos (titan waktu), Titan termuda, mengebiri & menggulingkan ayahnya atas nama ibunya, & para Titan menggantikan Uranus sebagai penguasa alam semesta. Ketika Kronos mengebiri ayahnya, alat kelamin Uranus jatuh ke laut & berubah menjadi buih laut. Dari buih laut ini muncullah Aphrodite/Afrodit (dewi cinta, kecantikan, seksualitas, kenikmatan, & prokreasi), entah di pulau Cythera atau Siprus, yang merupakan pusat pemujaan dewi-dewi.

Saturn by Francisco Goya, 1823, via Museo Nacional del Prado
Kronos & Rhea/Rea (titan kesuburan, keibuan, & keturunan) kemudian memiliki enam anak: Hestia (dewi perapian & keluarga), Poseidon (dewa laut, gempa bumi, & kuda), Hera (dewi pernikahan & perempuan), Hades (dewa dunia bawah & kekayaan), Demeter (dewi kesuburan, panen, & tanaman), & Zeus (dewa langit & petir). Ketika Kronos menggulingkan ayahnya, ia tahu bahwa salah satu anaknya ditakdirkan untuk menggulingkannya & para Titan sebagai penguasa alam semesta. Untuk mencegah hal ini, Kronos melahap lima anak pertamanya begitu mereka terlahir. Rea tentu murka, lantas ia, bersama dengan Gaia yang juga marah karena Kronos memenjarakan saudara-saudaranya yang mengerikan, menyusun rencana untuk menggulingkan Kronos. Ketika Zeus lahir, Rea menyembunyikannya & memberi Kronos batu untuk ditelan. Zeus kemudian bisa tumbuh besar & bersembunyi dari ayahnya yang paranoid. Akhirnya, dengan bantuan para Titan lainnya, Rea & Zeus memaksa Kronos untuk memuntahkan anak-anaknya yang lain.

Zeus & saudara-saudaranya, bersama dengan anak-anak Gaia yang mengerikan, melawan para Titan dalam apa yang dikenal sebagai Perang Titan: Titanomachy/Titanomakhia. Perang berlangsung selama sepuluh tahun & berakhir dengan ditetapkannya para dewa Olympian sebagai penguasa langit & bumi. Para Titan yang berpihak pada dewa-dewi Olymphus/Olympian diberi hadiah, sedangkan sisanya dilemparkan ke Tartarus/Tartaros. Titanomakhia adalah kelanjutan dari 'Mitos Suksesi,' tatkala Zeus menggulingkan ayahnya. Menurut tradisi ini, Zeus ditakdirkan untuk digulingkan oleh putranya melalui Metis, yang dia hindari dengan menelannya & melahirkan Athena.

Pandora by Odilon Redon, 1912 via National Gallery of Art, Chester Dale Collection
Meskipun Theogony tidak menggambarkan penciptaan pria, tetapi ia menceritakan tentang penciptaan wanita. Pandora, wanita pertama, diciptakan sebagai hukuman bagi pria oleh Zeus & para dewa. Prometheus, salah satu Titan yang berpihak pada dewa-dewi Olympian, tidak mematuhi Zeus & malah membantu umat manusia dengan memberikan api. Zeus memutuskan untuk menghukum Prometheus & manusia karena kecerobohannya sendiri. Maka, para dewa, khususnya Hephaestus/Hefaistos & Athena, menurukan Pandora kepada umat manusia. Hesiodos menyatakan bahwa Pandora, & kaum wanita pada umumnya, itu jahat & menyebabkan penderitaan bagi pria. Dengan kisah Pandora, Hesiodos menceritakan mitos penciptaan, dari kelahiran para dewa hingga manusia purba di dalam Theogony.

Dalam Works and Days, puisinya yang lain, Hesiodos menyatakan bahwa umat manusia diciptakan berkali-kali oleh para Titan & dewa-dewa Olympian. Para Titan menempa Zaman Keemasan manusia, & para dewa Olympian menempa Zaman Perak, Zaman Perunggu, Zaman Pahlawan, & Zaman Besi. Hesiodos menceritakan apa yang terjadi pada setiap generasi manusia hingga generasi saat ini, Zaman Besi. Zaman Pahlawan adalah generasi manusia dalam Iliad/Ilias & Odyssey/Odisseia karya Homeros. Works and Days melengkapi mitos penciptaan à la Hesiodik.

Homeros: Genealogi yang Berbeda untuk Para Dewa

Portrait Bust of Homer, 2nd Century BC via The British Museum
Homeros, mungkin bisa dikatakan sebagai penyair Yunani paling terkenal, ia adalah penyair buta pseudo-legendaris yang dikaitkan dengan Iliad & Odyssey. Kini dipahami oleh sebagian besar akademisi bahwa Homeros sebagai manusia tidaklah nyata, karya-karya yang dikaitkan dengannya adalah puncak dari tradisi lisan selama bertahun-tahun. Tradisi Homeros tidak memiliki mitos penciptaan yang berkembang sepenuhnya, tetapi menyebutkan penciptaan para dewa. Ada dua cara utama untuk melihat bahwa tradisi Homeros & Hesiodik itu berbeda.

Female Figures from the Parthenon, 438-432 BC, via The British Museum
Dalam Iliad, epos Homeros tentang Perang Troya, Afrodit adalah putri Zeus & Dione.  Dalam Book V, Afrodit digambarkan berlari ke ibunya, Dione, setelah terluka dalam pertempuran. Ini merupakan asal muasal yang sangat berbeda untuk Afrodit, yang Hesiodos gambarkan lahir dari buih laut setelah kejadian pengebirian Uranus. Tradisi Hesiodik adalah versi Afrodit yang lebih dikenal luas & lebih bisa diterima secara luas.

Jupiter Beguiled by Juno on Mount Ida by James Barry, 1799, via The Graves Gallery
Perbedaan paling kentara adalah tradisi Homeros mengenai asal usul para dewa. Selama "Penipuan Zeus" dalam Book XIV, Hera dua kali mengacu pada Oceanus/Okeanos (titan lautan & samudra) & Typhus/Typhon sebagai pasangan primordial, bukan Gaia & Uranus. Menurut Theogony, Okeanos & Typhon adalah para Titan yang melahirkan dewa sungai & laut. Kedua referensi ini menunjukkan distingsi besar antara tradisi Hesiodik & Homeros tentang mitos penciptaan Yunani.

Tradisi Okeanos & Typhon, dua dewa air, yang disebutkan dalam Iliad bisa menjadi rujukan ke mitos penciptaan Yunani sebelumnya: mitos Eurynome/Eurinome. Dalam mitos penciptaan ini, Eurynome & Ophion/Ofion muncul dari Chaos (kekacauan) & menciptakan telur kosmik—dari telur itu dunia & para dewa tercipta. Ada hubungan antara Okeanos-Typhon & kisah penciptaan Eurynome, & tradisi Homeros dapat dilihat sebagai kelanjutan dari mitos penciptaan ini. Tradisi-tradisi ini mendahului Theogony & Works and Days karya Hesiodos, yang memperjelas perbedaan-perbedaan antara mitos penciptaan.

Tradisi Orfik: Mitos Penciptaan yang Sangat Berbeda

Orpheus and Eurydice by Auguste Rodin, 1893, via The Metropolitan Museum of Art
Orfisme adalah agama misterius dari Yunani yang katanya didirikan oleh Orpheus/Orfeus, seorang penyair legendaris. Mitos & agama penciptaan Orfik secara keseluruhan berkisar pada dewa Dionysus/Dionisos & kebangkitannya, bersama dengan reinkarnasi jiwa. Tidak ada satu teks yang mengikatnya sebagai agama, tetapi himne & catatan tentang Orfisme memungkinkan kita untuk memahami mitos penciptaannya.

Karena tidak ada teks tunggal dalam Orfisme, banyak variasi dari mitos penciptaan ini. Banyak intelektual percaya bahwa Orfisme dipengaruhi oleh ide-ide Timur, yang sejalan dengan keyakinan bahwa Dionisos adalah dewa asing.

Dalam mitos penciptaan Orfik, Chronos/Kronos, personifikasi primordial waktu, menciptakan Aether/Aither (Langit), Chaos (Kekacauan), & telur-kosmik-perak. Dengan pendekatan ini, tradisi Orfik dari telur kosmik hampir identik dengan mitos penciptaan Eurynome. Penting untuk dicatat bahwa Kronus & Kronos adalah dua entitas yang terpisah. Dari telur kosmik muncul Phanes/Fanes, juga dikenal sebagai Eros, Phanes-Dionysus/Fanes-Dionisos, & Protogynous/Protogonos. Fanes kemudian melahirkan apa yang di Hesiod adalah makhluk primordial, pertama Niks & kemudian Gaia, Uranus, dll. Sehingga, dalam mitos penciptaan Orfik, Fanes adalah pencipta dunia, bukan Chaos.

Bacchus by Caravaggio, 1597, via The Uffizi Gallery Museum
Tokoh kunci dalam Orfisme, Dionisos, awalnya lahir sebagai putra Zeus & Persephone/Persefone—& bernama Zagreus. Zeus menunjuk Zagreus sebagai penggantinya. Ini menandai perbedaan pertama dari mitos penciptaan Hesiodik, yang berfokus pada 'Mitos Suksesi.' Dalam tradisi Hesiodik, Zeus tidak ingin digantikan & menghindari penggulingan kekuasaan oleh putranya.

Hera, cemburu karena Zagreus disebut sebagai penerus Zeus, meyakinkan para Titan untuk membunuh anak itu. Para Titan merobek & memakan Zagreus. Sebagai hukuman, Zeus menyerang para Titan dengan petirnya, mengubahnya menjadi abu, & mengambil jantung Zagreus.

Dalam beberapa kisah kebangkitan Dionisos, Zeus menghamili Semele dengan jantung Zagreus, & Semele pun melahirkan Dionisos. Di tempat lain, Zeus menanamkan jantung ke pahanya sendiri, & dari situ Dionisos pun lahir. Ada juga kisah tentang dewa lain, Athena & Apollo, yang berperan dalam kebangkitan Dionisos & mendapatkan gelar khusus dalam agama Orfisme. Mitos Orfik memiliki kesamaan dengan asal-usul Dionisos yang lebih 'tradisional', yang selalu berputar-putar di sekitar narasi dewa yang dilahirkan sebanyak dua kali.

Orphic Gold Pendant, 3rd Century BC, via The British Museum
Di Orfisme, umat manusia diciptakan dari abu para Titan & Zagreus. Kisah penciptaan ini mengilhami umat manusia dengan unsur keilahian. Tradisi Orfik menyatakan bahwa jiwa manusialah yang ilahi—sebab berasal dari abu Zagreus, sedangkan tubuh manusia penuh dosa sebab berasal dari abu para Titan. Gagasan tentang jiwa ilahi, serta reinkarnasinya, adalah inti dari ritus & agama Orfisme.

Mitos penciptaan ini sangat berbeda dari mitos Hesiodos, di mana beberapa generasi manusia diciptakan oleh para dewa. Selain itu, perbedaan mencolok antara mitos penciptaan Hesiodos & Orfisme dapat dilihat sebagai perbedaan antara puisi-mitologis & agama. Mitos penciptaan Orfik berfungsi untuk menjelaskan ritus & praktik agama, sedangkan Theogony adalah sebentuk teks yang bernarasi secara puitis.

Mengapa Mitos Penciptaan Ini Berbeda-beda?

Olympus. The Battle of the Giants by Francisco Bayeu, 1768, via Museo Nacional del Prado
Agama di Yunani kuno adalah kumpulan sekte, praktik, & kepercayaan yang memiliki dewa & mitos yang tumpang tindih. Saat pengaruh baru datang-pergi, dewa & cerita masuk ke dalam kanon Yunani & menciptakan mitos yang kontras. Perbedaan antara ketiga mitos penciptaan ini, & berbagai mitos lainnya yang ditemukan di Yunani kuno, dapat dikaitkan dengan kurangnya agama yang bersifat tunggal atau kurangnya sumber yang bisa dijadikan pegangan utama.

*****

Sumber Literatur
How Did the World Begin? 3 Greek Creation Myths – TheCollector: https://www.thecollector.com/greek-creation-myths/

Saturday 27 August 2022

Ateisme dan Eksistensialisme (Esai Translasi)

Pandemonium (1841) by Martin
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha


Meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak teolog Kristen dan bahkan beberapa teolog Yahudi telah menggunakan tema-tema eksistensialis dalam tulisan-tulisan mereka, adalah fakta bahwa eksistensialisme jauh lebih mudah dan lebih umum diasosiasikan dengan ateisme—daripada dengan jenis teisme apa pun, entah Kristen atau yang lainnya. Tidak semua ateis adalah eksistensialis, tetapi seorang eksistensialis agaknya punya tendensi untuk menjadi ateis daripada menjadi teis—dan ada alasan bagus untuk ini.


Pernyataan paling definitif tentang eksistensialisme ateistik kiranya berasal dari tokoh paling menonjol dalam eksistensialisme ateistik itu sendiri, Jean-Paul Sartre, dalam kuliahnya yang diterbitkan pada format buku berjudul L'existentialisme est un humanisme/Existentialism Is a Humanism (1946):


“Eksistensialisme ateistik, yang saya representasikan, menyatakan dengan konsistensi yang lebih besar bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada satu makhluk yang keberadaannya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsepsi apa pun. Makhluk itu adalah manusia ...”


Filsafat Eksistensialisme


Ateisme adalah keseluruhan sisi dari filsafat Sartre, dan bahkan, dia berpendapat bahwa ateisme adalah konsekuensi yang diperlukan bagi siapa pun yang mendalami eksistensialisme secara serius. Ini tidak berarti bahwa eksistensialisme menghasilkan argumen-argumen filosofis yang menentang keberadaan tuhan atau menyangkal argumen-argumen teologis dasar tentang keberadaan tuhan—itu bukan jenis hubungan yang dimiliki oleh eksistensialisme dan ateisme.


Sebaliknya, hubungan itu lebih merupakan masalah kesesuaian dalam hal suasana hati dan kecenderungan. Tidak perlu bagi seorang eksistensialis untuk menjadi seorang ateis, tetapi lebih mungkin untuk menciptakan "kecocokan" yang lebih kuat dengan ateisme—ketimbang dengan teisme. Ini karena banyak tema-tema yang paling umum dan fundamental dalam eksistensialisme lebih masuk akal di alam semesta yang tidak memiliki tuhan— ketimbang di alam semesta yang dipimpin oleh tuhan yang mahakuasa, mahatahu, mahahadir, dan mahabaik.


Maka, eksistensialisme ateistik seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre bukanlah posisi yang diperoleh setelah penelusuran filosofis dan refleksi teologis, melainkan diterima sebagai konsekuensi dari mengambil gagasan-gagasan dan sikap-sikap tertentu pada kesimpulan logisnya.


Tema Utama


Yang selalu menjadi tema utama dalam filsafat Sartre adalah "kemenjadian" dan eksistensi manusia: Apa artinya kemenjadian dan apa artinya menjadi manusia? Menurut Sartre, tidak ada sifat mutlak, tetap, abadi—yang sesuai dengan kesadaran manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia dicirikan oleh “ketiadaan”—apa pun yang kita klaim sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah ciptaan kita sendiri, seringkali melalui proses memberontak-melawan batasan-batasan eksternal.


Inilah kondisi kemanusiaan—kebebasan mutlak di dunia. Sartre menggunakan frasa "l'existence précède l'essence/eksistensi mendahului esensi" untuk menjelaskan gagasan ini, kebalikan dari metafisika tradisional dan konsepsi tentang sifat realitas. Kebebasan ini, pada gilirannya, memproduksi kecemasan dan ketakutan karena, tanpa Tuhan, umat manusia dibiarkan sendiri dan tanpa sumber arah atau tanpa tujuan eksternal.


Maka, perspektif eksistensialis “cocok” dengan ateisme karena eksistensialisme menganjurkan pemahaman tentang dunia bahwa tuhan tidak memiliki peran signifikan untuk "dimainkan". Di dunia ini, manusia dilemparkan kembali pada diri mereka sendiri untuk menciptakan makna dan tujuan melalui pilihan-pilihan pribadi mereka—ketimbang menemukannya melalui hubungan erat dengan kekuatan-kekuatan irasional di luar dirinya (tuhan).


Kesimpulan


Namun, ini tidak berarti bahwa eksistensialisme dan teisme atau eksistensialisme dan agama sama sekali tidak sejalan. Terlepas dari filsafatnya, Sartre selalu mengklaim bahwa keyakinan agama tetap bersamanya—mungkin bukan sebagai ide intelektual—melainkan sebagai komitmen emosional. Dia menggunakan bahasa-bahasa (bercorak) agama dan citraan-citraan agama di seluruh tulisannya dan cenderung memandang agama secara positif, meskipun dia tidak percaya adanya tuhan dan menolak kebutuhan akan tuhan sebagai dasar keberadaan manusia.


*****


Sumber Literatur


Existentialist Philosophy and Atheistic Thought (Not all atheists are existentialists, but an existentialist is probably more likely to be atheistic than theistic—and there are good reasons for this) – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/atheism-and-existentialism-250975