Showing posts with label esai translasi. Show all posts
Showing posts with label esai translasi. Show all posts

Saturday 27 August 2022

Agama sebagai Candu Masyarakat (Esai Translasi)

Opium of the masses (2018) by Ricardo Dominguez


Karl Marx adalah seorang filsuf Jerman yang mencoba mengkaji agama dengan objektif, dari perspektif ilmiah. Analisis dan kritik Marx terhadap agama "Die Religion ... ist das Opium des Volkesis/Agama adalah candu masyarakat"—mungkin salah satu yang paling terkenal dan paling banyak dikutip oleh teis dan ateis. Sayangnya, sebagian besar dari mereka yang mengutip tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud Marx, mungkin karena pemahaman yang tidak lengkap mengenai teori umum Marx tentang ekonomi dan masyarakat.

Pandangan Naturalistik tentang Agama

Banyak orang di berbagai bidang ingin sekali menjelaskan tentang agama—asal-usulnya, perkembangannya, dan bahkan pengaruh kuatnya dalam masyarakat modern. Sebelum abad ke-18, sebagian besar jawaban dibingkai semata-mata dalam istilah teologis dan agama, dengan asumsi kebenaran pewahyuan Kristen dan kelanjutannya dari titik tersebut. Namun sepanjang abad ke-18 dan ke-19, pendekatan yang lebih “naturalistik” mulai berkembang.

Marx sebenarnya sangat sedikit berbicara tentang agama secara langsung; dalam semua tulisannya, dia hampir tidak pernah membahas agama secara sistematis, meskipun dia sering bersentuhan dengan agama dalam buku-buku, pidato-pidato, dan pamflet-pamflet. Alasannya adalah bahwa kritiknya terhadap agama hanya merupakan satu bagian dari keseluruhan teorinya tentang masyarakat—sehingga, memahami kritiknya terhadap agama memerlukan beberapa pemahaman tentang kritiknya terhadap masyarakat secara umum.

Menurut Marx, agama adalah ekspresi dari realitas material dan ketidakadilan ekonomi. Dengan demikian, masalah dalam agama pada akhirnya menjadi masalah dalam masyarakat. Agama bukanlah penyakit, tetapi hanya gejala (tanda dari penyakit). Agama digunakan oleh penindas untuk membuat masyararakat merasa lebih baik atas kesusahan yang mereka alami karena menjadi miskin dan dieksploitasi. Inilah asal mula anggapannya bahwa agama adalah “candu masyarakat”—tetapi seperti yang akan kita lihat, pemikirannya jauh lebih kompleks daripada yang biasa digambarkan.


Latar Belakang

Untuk memahami kritik Marx terhadap agama dan teori ekonomi, penting untuk memahami sedikit tentang dari mana dia berasal, latar belakang filosofisnya, dan bagaimana dia sampai pada beberapa keyakinannya tentang budaya dan masyarakat.


Teori Ekonomi

Bagi Marx, ekonomi adalah dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia, sumber yang menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang diduga mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi. Semua institusi yang menonjol dalam kehidupan kita sehari-hari—pernikahan, tempat ibadah, pemerintahan, seni, dll.—hanya bisa benar-benar dipahami jika ditinjau dalam relasinya dengan kekuatan ekonomi.


Analisis Agama

Menurut Marx, agama adalah salah satu institusi sosial yang bergantung pada realitas material dan ekonomi dalam suatu masyarakat tertentu. Ia tidak memiliki sejarah yang berdikari, tetapi justru merupakan makhluk dari kekuatan-kekuatan produktif. Seperti yang ditulis Marx, “Dunia religius hanyalah refleksi dari dunia nyata.”

Semenarik dan seedukatif apapun analisis dan kritik Marx, bukan berarti analisis dan kritik itu bebas dari masalah—sejarah dan ekonomi. Karenanya, tidaklah bijak untuk menerima gagasan-gagasan Marx secara tidak kritis. Meskipun dia pasti memiliki beberapa hal penting untuk dikatakan tentang sifat-sifat dasar agama, Marx tidak dapat diterima sebagai solusi terakhir terkait masalah ini.


Biografi

Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818, di kota Trier, Jerman. Keluarganya adalah Yahudi, tetapi kemudian menjadi Protestan pada tahun 1824 untuk menghindari persekusi dari undang-undang anti-Semit. Untuk alasan ini, Marx muda menolak agama sejak dini dan menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia adalah seorang ateis.

Marx belajar filsafat di Bonn dan kemudian di Berlin, di mana ia berada di bawah pengaruh Georg Wilhelm Friedrich von Hegel. Filsafat Hegel memiliki pengaruh besar atas pemikiran dan teori-teori Marx kedepannya. Hegel adalah seorang filsuf yang rumit, tetapi adalah mungkin untuk menggambar garis besar yang kasar atas pemikirannya agar kita mampu memahaminya.

Hegel adalah bapak dialektika idealis, dan seseorang yang dikenal sebagai “idealis”—menurutnya, hal-hal mental (ide, konsep) adalah fundamental bagi dunia, bukan materi. Hal-hal material hanyalah ekspresi dari ide-ide—khususnya, dari “Roh Universal” atau “Ide Absolut” yang mendasarinya.


Hegelian Muda

Marx bergabung dengan “Hegelian Muda” (bersama Bruno Bauer dan lainnya) yang tidak hanya sebagai pengikut, tetapi juga sebagai kritikus Hegel. Meskipun mereka setuju bahwa pemisahan antara pikiran dan materi adalah masalah filosofis yang fundamental, mereka berpendapat sebaliknya, bahwa gagasan sebenarnya hanyalah ekspresi dari kebutuhan akan material. Apa yang secara fundamental nyata tentang dunia adalah kekuatan material, bukan ide dan konsep—kekuatan material ini adalah jangkar dasar, yang di kemudian hari menjadi titik pangkal semua gagasan Marx.

Dua gagasan penting yang dikembangkan oleh Marx perlu disebutkan di sini: Pertama, bahwa realitas ekonomi merupakan faktor penentu bagi semua perilaku manusia; dan kedua, bahwa semua sejarah manusia adalah perjuangan kelas antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mereka yang tidak memilikinya—sehingga harus bekerja terus menerus demi bertahan hidup. Ini adalah konteks di mana semua institusi sosial manusia berkembang, termasuk agama.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Marx pindah ke Bonn, dan berharap menjadi profesor, tetapi karena adanya konflik kefilsafatan dengan Hegel, Ludwig Feuerbach dipecat pada tahun 1832 dan tidak diizinkan untuk kembali ke universitas pada tahun 1836. Marx melupakan idenya untuk melanjutkan karir akademiknya. Pada tahun 1841 pemerintah juga melarang Profesor muda Bruno Bauer untuk mengajar di Bonn. Pada awal tahun 1842, kaum radikal di Rhineland (Cologne), yang berafiliasi dengan kaum Hegelian Kiri, mendirikan surat kabar yang menentang pemerintah Prusia, yang disebut Rheinische Zeitung. Marx dan Bruno Bauer diundang untuk menjadi kontributor utama, dan pada Oktober 1842 Marx menjadi Pemimpin Redaksi Rheinische Zeitung dan pindah dari Bonn ke Cologne. Kelak, jurnalistik menjadi pekerjaan utama Marx untuk sebagian besar hidupnya.


Bertemu Friedrich Engels

Setelah kegagalan berbagai gerakan revolusioner di kontinen (Eropa terkecuali Inggris) itu, Marx terpaksa pergi ke London pada tahun 1849. Perlu dicatat bahwa Marx tidak bekerja sendiri di sebagian besar hidupnya—ia mendapat bantuan dari Friedrich Engels yang telah, secara mandiri, mengembangkan teori Determinisme Ekonomi yang sangat mirip dengan milik Marx. Keduanya memiliki pemikiran yang sama dan bekerja sama dengan sangat baik—Marx adalah filsuf yang lebih baik sementara Engels adalah komunikator yang lebih baik.

Meskipun gagasan-gagasan itu kemudian berdiri atas nama “Marxisme”, harus selalu diingat bahwa Marx tidak menggagasnya seorang diri. Engels juga penting bagi Marx dalam hal finansial—kemiskinan sangat membebani Marx dan keluarganya; jika bukan karena bantuan keuangan Engels yang terus-menerus dan tanpa pamrih, Marx tidak hanya tidak akan mampu menyelesaikan sebagian besar karya utamanya, tetapi juga mungkin menyerah pada kelaparan dan kekurangan gizi.

Marx menulis dan belajar secara terus-menerus, tetapi kesehatan yang buruk mencegahnya menyelesaikan dua jilid terakhir Capital (yang kemudian dikumpulkan oleh Engels dari catatan Marx). Istri Marx meninggal pada 2 Desember 1881, dan pada 14 Maret 1883, Marx meninggal dengan tenang di kursinya. Dia dikuburkan di sebelah istrinya di Highgate Cemetery, London.


Pandangan Marx tentang Agama

Menurut Marx, agama hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan sistem sosial lain dan struktur ekonomi masyarakat. Faktanya, agama hanya bergantung pada ekonomi, tidak ada yang lain—sehingga doktrin agama yang sebenarnya hampir tidaklah relevan. Ini adalah interpretasi fungsionalis agama: pemahaman agama bergantung pada apa tujuan sosial dari agama itu sendiri (sebagai sesuatu yang melayani), bukan bergantung pada isi dari keyakinan agama yang memang irasional.

Marx berpendapat bahwa agama adalah ilusi yang memberikan alasan dan dalih untuk menjaga agar masyarakat berfungsi sebagaimana adanya. Sama seperti kapitalisme yang merampas kerja-kerja produktif kita dan mengalienasi kita dari nilai-nilainya, agama mengambil cita-cita dan aspirasi tertinggi kita dan mengasingkan kita darinya, memproyeksikannya ke makhluk asing dan tidak dapat diketahui yang disebut tuhan.

Marx memiliki tiga alasan untuk tidak menyukai agama:

•Pertama, nonsens—agama adalah delusi dan pemujaan terhadap penampilan yang menghindari pengenalan realitas yang mendasarinya.

•Kedua, agama menegasikan semua yang bermartabat dalam diri manusia dengan menjadikan manusia budak dan lebih bisa menerima status quo. Di dalam kata pengantar disertasi doktoralnya, Marx mengadopsi kata-kata dari pahlawan Yunani, Prometheus, yang menantang para dewa-dewi untuk membawa api bagi umat manusia: "aku benci semua dewa-dewi," dengan tambahan bahwa mereka "tidak mengakui kesadaran manusia sebagai keilahian tertinggi."

•Ketiga, agama itu hipokrit (munafik). Meskipun mungkin menganut prinsip-prinsip yang berharga, agama berpihak kepada para penindas. Yesus menganjurkan membantu orang miskin, tetapi gereja Kristen bergabung dengan negara Romawi yang menindas, turut ambil bagian dalam perbudakan selama berabad-abad. Pada Abad Pertengahan, Gereja Katolik berkhotbah tentang surga, tetapi merampas properti dan kekuasaan sebanyak mungkin.

Martin Luther berkhotbah tentang kemampuan setiap individu untuk menafsirkan Alkitab, tetapi berpihak kepada penguasa aristokrat dan melawan petani yang berjuang memerangi penindasan sosio-ekonomi. Menurut Marx, bentuk baru Kekristenan ini, Protestantisme, adalah produksi kekuatan ekonomi baru ketika kapitalisme awal berkembang. Realitas ekonomi baru membutuhkan suprastruktur agama baru yang dapat dibenarkan dan dipertahankan.


Jantung dari Dunia yang Kejam

Pernyataan Marx yang paling terkenal tentang agama berasal dari kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel:

Kesengsaraan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi sekaligus protes dari kesengsaraan yang nyata. Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang kejam, sebagaimana ia adalah spirit dari situasi tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat.

•Penghapusan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat diperlukan untuk kebahagiaan sejati mereka. Permintaan untuk melepaskan ilusi tentang kondisinya adalah permintaan untuk menyerahkan kondisi yang membutuhkan ilusi.

Ini sering disalahpahami, mungkin karena bagian lengkapnya jarang digunakan: huruf tebal di atas menunjukkan apa yang biasanya dikutip. Huruf miring adalah teks di dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal, kutipan tersebut disajikan secara tidak jujur ​​karena mengatakan “Agama adalah desahan makhluk yang tertindas …” mengesampingkan bahwa itu juga merupakan “jantung dunia yang kejam.” Teks ini lebih merupakan kritik terhadap masyarakat yang sudah terlampau kejam dan bahkan merupakan pengesahan parsial terhadap agama yang berusaha menjadi jantungnya. Terlepas dari ketidaksukaannya dan kemarahannya terhadap agama, Marx tidak menjadikan agama sebagai musuh utama para pekerja dan para komunis. Seandainya Marx menganggap agama sebagai musuh yang lebih serius, dia akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk menulis tentang itu.

Marx mengatakan bahwa agama dimaksudkan untuk menciptakan fantasi palsu bagi orang miskin. Realitas ekonomi menghalangi mereka untuk menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup ini, maka agama memberi tahu orang miskin bahwa semua baik-baik saja karena mereka akan menemukan kebahagiaan sejati di akhirat nanti (kehidupan selanjutnya). Bukan berarti Marx tidak prihatin: orang-orang dalam kesusahan dan agama memang memberikan penghiburan, seperti halnya orang-orang yang terluka secara fisik menerima bantuan dari obat-obatan berbasis zat opiat.

Masalahnya adalah zat opiat gagal memperbaiki cedera fisik—orang miskin hanya melupakan rasa sakit dan penderitaannya itu untuk sementara waktu. Akan tetapi, jauh lebih baik jika mereka juga mencoba mengatasi penyebab rasa sakit yang mendasarinya. Demikian pula, agama tidak mengatasi penyebab yang mendasari rasa sakit dan penderitaan orang-orang—sebaliknya, agama membantu mereka melupakan mengapa mereka menderita dan menyebabkan mereka menantikan masa depan imajiner ketika rasa sakit itu berhenti—ketimbang berusaha mengubah keadaannya secepat mungkin. Lebih buruk lagi, “obat” ini dipegang oleh para penindas yang bertanggung jawab atas rasa sakit dan penderitaan mereka.

Kendala Analisis Agama Marx

Marx tidak menghabiskan banyak waktu untuk melihat agama secara umum; sebaliknya, ia berfokus pada agama yang paling ia kenal, Kristen. Pandangannya berlaku untuk agama-agama lain dengan doktrin serupa tentang tuhan yang mahakuasa dan kehidupan setelah kematian yang mahabahagia, yang tidak berlaku untuk agama yang berbeda secara radikal. Di Yunani kuno dan Roma, misalnya, kehidupan setelah kematian yang mahabahagia disediakan untuk para pahlawan sementara orang-orang biasa hanya bisa berharap dan menantikan bayangan dari keberadaan duniawi mereka menjadi lebih baik. Mungkin dia dipengaruhi, dalam hal ini oleh Hegel, yang berpikir bahwa Kekristenan adalah bentuk agama tertinggi dan bahwa apa pun yang dikatakan tentang itu juga secara otomatis berlaku untuk agama-agama “lebih rendah”—itu keliru.

Masalah kedua adalah klaimnya bahwa agama sepenuhnya ditentukan oleh realitas material dan ekonomi. Tidak hanya tidak ada hal lain yang cukup fundamental untuk memengaruhi agama, tetapi pengaruh tidak dapat berjalan ke arah lain, dari agama ke realitas material dan ekonomi. Ini tidak benar. Jika Marx benar, maka kapitalisme akan muncul di negara-negara sebelum Protestantisme karena Protestantisme adalah sistem agama yang diciptakan oleh kapitalisme—tetapi kita tidak menemukan ini. Reformasi Protestan hadir di Jerman pada abad ke-16 masihlah bersifat feodal;  kapitalisme yang sesungguhnya tidak muncul sampai abad ke-19. Hal ini menyebabkan Max Weber berteori bahwa institusi keagamaan pada akhirnya menciptakan realitas ekonomi baru. Bahkan jika Weber salah, kita melihat bahwa seseorang dapat membantah kebalikan dari Marx dengan bukti sejarah yang jelas.

Masalah terakhir lebih bersifat ekonomi daripada agama—tetapi karena Marx menjadikan ekonomi sebagai dasar bagi semua kritiknya terhadap masyarakat, masalah apa pun dengan analisis ekonominya akan memengaruhi gagasannya yang lain. Marx menempatkan penekanannya pada konsep nilai, yang hanya dapat diciptakan oleh kerja-kerja manusia, bukan mesin. Hal ini memiliki 2 kekurangan.


Cacat dalam Menempatkan dan Mengukur Nilai

Pertama, jika Marx benar, maka industri padat karya akan menghasilkan lebih banyak nilai lebih (dan karenanya lebih banyak keuntungan) daripada industri yang kurang mengandalkan tenaga kerja manusia dan lebih banyak mengandalkan mesin. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Paling-paling, pengembalian investasi adalah sama—apakah pekerjaan itu dilakukan oleh manusia atau mesin. Cukup sering, mesin memungkinkan lebih banyak keuntungan daripada manusia.

Kedua, pengalaman umum bahwa nilai suatu objek yang diproduksi tidak terletak pada kerja-kerja yang dimasukkan ke dalamnya, tetapi pada estimasi subjektif dari calon pembeli. Secara teori, seorang pekerja dapat mengambil sepotong kayu mentah yang indah dan, setelah berjam-jam, menghasilkan patung yang sangat jelek. Jika Marx benar bahwa semua nilai berasal dari kerja, maka pahatan seharusnya memiliki nilai lebih dari kayu mentah. Objek hanya memiliki nilai dari apa pun yang akhirnya bersedia dibayar oleh seorang pembeli; beberapa mungkin membayar lebih untuk kayu mentah, beberapa mungkin membayar lebih untuk sebuah patung yang jelek.

Teori nilai kerja Marx dan konsep nilai lebih sebagai penggerak eksploitasi dalam kapitalisme adalah fondasi fundamental yang menjadi dasar semua idenya. Tanpa itu, keluhan moralnya terhadap kapitalisme akan rumpang, dan sisa-sisa filsafatnya akan runtuh. Dengan demikian, analisisnya tentang agama menjadi sulit untuk dipertahankan atau diterapkan, setidaknya dalam bentuk sederhana yang ia gambarkan.

Kaum Marxis telah mencoba dengan gagah berani untuk menolak kritik tersebut atau merevisi ide-ide Marx untuk membuat mereka kebal terhadap masalah yang dijelaskan di atas, tetapi mereka belum sepenuhnya berhasil (walaupun mereka tentu saja tidak setuju—jika tidak, mereka tidak akan tetap menjadi Marxis).


Melihat-Melampaui Kecacatan Marx

Untungnya, kita tidak sepenuhnya terbatas pada formulasi sederhana Marx. Kita tidak perlu membatasi diri pada gagasan bahwa agama hanya bergantung pada ekonomi dan tidak ada yang lain, bahwa doktrin agama yang sebenarnya hampir tidak relevan. Sebaliknya, kita dapat mengenali bahwa ada berbagai pengaruh sosial terhadap agama, termasuk realitas ekonomi dan material masyarakat. Dengan cara yang sama, agama dapat, pada gilirannya, memiliki pengaruh pada sistem ekonomi masyarakat.

Apa pun kesimpulan seseorang tentang keakuratan atau validitas ide-ide Marx tentang agama, kita harus mengakui bahwa ia memberikan jasa yang tak ternilai dengan memaksa orang-orang untuk melihat jaringan sosial di mana agama selalu ada. Dengan adanya pemikiran Marx, adalah tidak mungkin untuk mempelajari agama tanpa juga mengeksplorasi hubungannya dengan berbagai kekuatan sosial dan ekonomi. Kehidupan spiritual manusia tidak dapat lagi dianggap lepas dari kehidupan materialnya.


Pandangan Linier Sejarah

Bagi Karl Marx, faktor penentu dasar sejarah manusia adalah ekonomi. Menurutnya, manusia—bahkan sejak awal mulanya—tidak dimotivasi oleh gagasan-gagasan besar, melainkan oleh kepentingan materi, seperti kebutuhan untuk makan dan bertahan hidup. Ini adalah premis dasar dari pandangan materialis tentang sejarah. Pada awalnya, orang-orang bekerja bersama dalam satu kesatuan.

Namun akhirnya, manusia menemukan-mengembangkan agrikultur dan konsep kepemilikan pribadi. Kedua fakta ini menciptakan pembagian kerja dan pemisahan kelas berdasarkan kekuasaan dan kekayaan. Hal ini, pada gilirannya, menciptakan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Semua ini diperburuk oleh kapitalisme yang hanya meningkatkan kesenjangan antara kelas pemodal yang borjuis dan kelas buruh yang proletar. Konfrontasi di antara mereka tidak dapat dihindari karena kelas-kelas itu didorong oleh kekuatan sejarah di luar kendali siapa pun. Kapitalisme juga menciptakan satu kesengsaraan baru: eksploitasi nilai lebih.


Kapitalisme dan Eksploitasi

Bagi Marx, sistem ekonomi yang ideal akan melibatkan pertukaran nilai yang setara untuk nilai yang sama, di mana nilai ditentukan hanya oleh jumlah pekerjaan yang dimasukkan ke dalam apa pun yang sedang diproduksi. Kapitalisme menginterupsi cita-cita ini dengan memperkenalkan motif keuntungan—keinginan untuk menghasilkan pertukaran yang tidak merata dari nilai yang lebih rendah untuk nilai yang lebih besar. Laba pada akhirnya diperoleh dari akumulasi nilai lebih yang dihasilkan oleh para pekerja di pabrik-pabrik.

Seorang buruh mungkin menghasilkan nilai yang cukup untuk memberi makan keluarganya dalam 2 jam kerja, tetapi dia tetap bekerja selama sehari penuh—dalam waktu Marx, itu mungkin 12 atau 14 jam. Jam-jam ekstra tersebut mewakili nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja. Pemilik pabrik bahkan tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan nilai lebih ini, tetapi tetap mengeksploitasi para pekerjanya dan menyimpan selisihnya sebagai keuntungan.

Dalam konteks ini, Komunisme dengan demikian memiliki 2 tujuan: Pertama, ia diharapkan untuk menjelaskan realitas-realitas ini kepada orang-orang yang tidak menyadarinya; kedua, ia seharusnya memanggil orang-orang di kelas buruh untuk bersiap menghadapi konfrontasi dan revolusi. Penekanan pada praksis ketimbang sekadar renungan filosofis ini adalah poin penting Marx. Seperti yang dia tulis dalam Tesisnya yang terkenal tentang Feuerbach: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dalam berbagai cara; intinya, bagaimanapun, adalah bagaimana mengubahnya.”


Masyarakat

Dengan demikian, ekonomi merupakan dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia—menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang seharusnya mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi, tidak ada yang lain.

Marx memiliki kata khusus untuk semua pekerjaan yang dilakukan untuk mengembangkan institusi-institusi tersebut: ideologi. Orang-orang yang bekerja dalam sistem itu—mengembangkan seni, teologi, filsafat, dll.—membayangkan bahwa ide-ide itu berasal dari keinginan untuk mencapai kebenaran atau keindahan, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada kenyataannya, hal-hal tersebut adalah ekspresi kepentingan kelas dan konflik kelas. Mereka adalah cerminan dari kebutuhan mendasar untuk mempertahankan status quo dan melestarikan realitas ekonomi saat ini. Ini tidak mengejutkan—sebab mereka yang berkuasa selalu ingin membenarkan dan mempertahankan kekuatan-kekuatan itu.

*****

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sumber Literatur:

Religion as Opium of the People (Karl Marx) – Learn Religions 

Saturday 13 August 2022

Mengapa Nietzsche “Putus” dengan Wagner? (Esai Translasi)

Dari sekian banyak orang yang ditemui Friedrich Nietzsche, seorang komposer bernama Richard Wagner (1813-1883), tanpa diragukan lagi, adalah seseorang yang paling berkesan baginya. Seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak orang, Wagner seusia dengan ayah Nietzsche, dan dengan demikian ia dapat menjadi semacam pengganti ayah bagi sarjana muda yang berusia 23 tahun itu ketika mereka pertama kali bertemu pada tahun 1868. Tapi yang benar-benar penting bagi Nietzsche adalah bahwa Wagner seorang jenius-kreatif, jenis individu yang, dalam pandangan Nietzsche, menerima dunia dan semua penderitaannya.

Nietzsche dan Wagner

Sejak usia dini, Nietzsche sangat menggilai musik, dan pada saat masih menjadi mahasiswa, di sisi lain, dia juga seorang pianis yang piawai, yang mampu membuat rekan-rekannya terkesan dengan kemampuannya improvisasinya. Pada tahun 1860-an, Wagner sedang naik daun. Pada tahun 1864, dia mulai mendapat dukungan Raja Ludwig II dari Bavaria; Tristan und Isolde ditayangkan perdana pada tahun 1865, The Meistersingers ditayangkan perdana pada 1868, Das Rheingold pada 1869, dan Die Walküre pada 1870. Meskipun kesempatan untuk melihat pertunjukan opera begitu sulit dan terbatas, baik karena faktor geografis ataupun finansial, Nietzsche dan teman-teman mahasiswanya telah menguasai piano score dari Tristan dan menjadi pengagum berat dari apa yang mereka anggap sebagai “musik masa depan”.

Nietzsche dan Wagner menjadi akrab setelah Nietzsche mulai mengunjungi Wagner, istrinya Cosima, dan anak-anak mereka di Tribschen (distrik di kota Lucerne, Swiss tengah), sebuah rumah indah di samping Danau Lucerne, sekitar dua jam perjalanan kereta dari Basel tempat Nietzsche menjadi profesor filologi klasik. Pandangan mereka berdua tentang kehidupan dan musik, sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer. Schopenhauer memandang bahwa hidup pada dasarnya tragis, ia menekankan nilai-nilai seni untuk membantu manusia mengatasi kesengsaraan eksistensi, dan memberikan tempat tertinggi kepada musik sebagai ekspresi paling murni dari ‘Kehendak’ yang tiada habisnya, yang mendasari wajah dunia dan merupakan inti terdalam dari dunia.

Wagner telah banyak menulis tentang musik dan budaya secara umum, dan Nietzsche berbagi antusiasme bersama Wagner dengan mencoba merevitalisasi budaya melalui bentuk seni yang baru. Di bukunya yang pertama kali diterbitkan, The Birth of Tragedy (1872), Nietzsche berpendapat bahwa tragedi Yunani lahir “dari gairah musikal,” didorong oleh dorongan “Dionysian” yang gelap dan irasional yang, ketika dikekang oleh prinsip keteraturan “Apollonian“, pada akhirnya memunculkan tragedi besar penyair seperti Aeschylus dan Sophocles. Tapi kemudian tendensi rasionalis yang terlihat dalam drama Euripides, dan terutama dalam pendekatan filsafat Socrates, datang mendominasi, sehingga membunuh dorongan kreatif di balik tragedi Yunani. Apa yang dibutuhkan saat ini, Nietzsche menyimpulkan, adalah seni Dionysian baru untuk memerangi dominasi rasionalisme Socrates. Bagian penutup buku ini mengidentifikasi dan memuji Wagner sebagai harapan terbaik, sebagai penyelamat untuk mengatasi masalah semacam ini.

Wagner dan Cosima bahkan menyukai buku tersebut. Pada saat itu, Wagner sedang menyelesaikan Der Ring des Nibelungen-nya seraya berusaha mengumpulkan uang untuk membangun gedung opera baru di Bayreuth (kota otonom di Bayern, Jerman), di mana operanya dapat dipentaskan dan seluruh festival yang didedikasikan untuk karyanya dapat dilangsungkan. Meskipun antusiasmenya terhadap Nietzsche dan tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi begitu tulus, Wagner juga melihat Nietzsche sebagai seseorang yang dapat berguna baginya sebagai pembela perjuangannya di kalangan akademisi. Nietzsche, yang paling luar biasa darinya, diangkat menjadi profesor pada usia 24 tahun, sehingga mendapat dukungan dari ‘bintang’ yang tampaknya sedang naik daun ini akan menjadi hal yang sangat menguntungkan Wagner.

Cosima juga memandang Nietzsche, sebagaimana dia memandang semua orang, dapat membantu atau bahkan membahayakan misi dan reputasi suaminya.

Tapi Nietzsche, betapapun ia sangat menghormati Wagner dan musiknya, dan meskipun ia sangat mungkin jatuh cinta pada Cosima, ia memiliki ambisinya sendiri. Meskipun dia bersedia menjalankan tugas-tugas yang diberikan Wagner untuk sementara waktu, Nietzsche menjadi semakin kritis terhadap egoisme sombong Wagner. Setelahnya, keraguan dan kritik ini menyebar dan dia berpura-pura menerima ide, musik, dan tujuan dari Wagner.

Wagner adalah seorang anti-Semit, memendam keluhan terhadap Prancis yang pada akhirnya memicu kebencian pada budaya Prancis, dan bersimpati pada nasionalisme Jerman. Pada tahun 1873, Nietzsche berteman dengan Paul Rée, seorang filsuf berdarah Yahudi yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Darwin, ilmu-ilmu materialistik, dan esais Perancis seperti La Rochefoucauld. Meskipun Rée tidak memiliki akar yang sama dengan Nietzsche, dia jelas mempengaruhinya. Sejak saat itu, Nietzsche mulai memandang filsafat Prancis, sastra Prancis, dan musik-musik Perancis dengan penuh rasa simpatik. Selain itu, alih-alih melanjutkan kritiknya terhadap rasionalisme Socrates, ia mulai memuji pandangan saintifik, sebuah pergeseran yang diperkuat oleh pembacaannya terhadap History of Materialism karya Friedrich Lange.

Pada tahun 1876 festival Bayreuth pertama berlangsung. Wagner menjadi sorotan utama, tentu saja. Nietzsche awalnya akan berpartisipasi secara penuh, tetapi pada saat acara itu berlangsung, ia menemukan pemuja Wagner, adegan fanatisme sosial yang ingar-bingar, berputar-putar, datang dan perginya para selebriti, dan Nietzsche merasakan suasana di sekitarnya tidak menyenangkan. Karena alasan kesehatan yang memburuk, dia meninggalkan acara itu untuk sementara waktu, lalu kembali untuk mendengar beberapa pertunjukan, tetapi pada akhirnya tetap pergi sebelum acaranya benar-benar selesai.

Pada tahun yang sama, Nietzsche menerbitkan buku keempatnya dari “Untimely Meditations”, berjudul: Richard Wagner in Bayreuth. Meskipun sebagian besar isinya terasa antusias dan bergairah, ada ambivalensi yang nyata dalam sikap penulis terhadap subjeknya. Esai di buku itu menyimpulkan, misalnya, dengan mengatakan bahwa Wagner “bukanlah nabi masa depan, seperti yang mungkin ingin dia tampilkan kepada kita, tetapi seorang penafsir dan penyampai klarifikasi masa lalu.” Hampir tidak ada pujian yang berbunyi bahwa Wagner adalah penyelamat budaya Jerman.

Kemudian pada tahun 1876, Nietzsche dan Rée tinggal di Sorrento (kota kecil di Italia) pada waktu yang sama dengan Wagner. Mereka menghabiskan cukup banyak waktu bersama, tetapi ada beberapa ketegangan dalam hubungan itu. Wagner memperingatkan Nietzsche untuk mewaspadai Rée karena dia adalah orang Yahudi. Dia juga membahas operanya, Parsifal, yang mengejutkan dan membuat  Nietzsche merasa mual dan jijik karena dibuat demi memajukan tema-tema Kristen. Nietzsche menduga bahwa Wagner termotivasi oleh popularitas dan keinginan untuk sukses ketimbang alasan artistik yang otentik.

Wagner dan Nietzsche bertemu untuk terakhir kalinya pada 5 November 1876. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka menjadi terasing secara pribadi dan filosofis, meskipun saudara perempuannya Elisabeth tetap bersahabat dengan Wagner dan lingkar pertemanannya yang lain. Nietzsche dengan tajam mendedikasikan karyanya berikutnya, Human, All Too Human, untuk Voltaire, ikon rasionalisme Prancis. Dia menerbitkan dua karya lagi tentang Wagner, The Case of Wagner dan Nietzsche Contra Wagner, yang terakhir merupakan kumpulan tulisan-tulisan sebelumnya. Dia juga menciptakan potret satir Wagner dalam pribadi seorang penyihir tua yang muncul di Bagian IV dari Thus Spoke Zarathustra. Dia tidak pernah berhenti mengakui orisinalitas dan kehebatan musik Wagner. Namun pada saat yang sama, Nietzsche tidak mempercayainya karena kualitasnya yang memabukkan, dan karena perayaan kematiannya yang romantis. Pada akhirnya, dia melihat musik Wagner sebagai sesuatu yang dekaden dan nihilistik, berfungsi serupa obat artistik yang mematikan rasa sakit dari keberadaan alih-alih mengafirmasi kehidupan dengan segala penderitaannya.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Thursday 4 August 2022

Analisis Cerpen “The Wall” - Sartre (Esai Translasi)

Gulag (2018) by Claiborne Coyle

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sinopsis

Narator "The Wall", Pablo Ibbieta, adalah seorang anggota Brigade Internasional, sukarelawan dengan pemikiran progresif dari negara lain yang pergi ke Spanyol demi berperang melawan Fasisme Francisco Franco dalam upaya mempertahankan Spanyol sebagai negara republik. Bersama dua orang lainnya, Tom dan Juan, dia ditangkap oleh tentara Franco. Tom aktif dalam perjuangan, seperti Pablo; tetapi Juan hanyalah seorang pemuda yang kebetulan adalah saudara dari seorang anarkis yang giat memerangi fasis.

Interogator Tidak Bertanya Apa-apa

Dalam adegan pertama, mereka diwawancarai dengan cara yang sangat ringkas. Mereka hampir tidak ditanya apa-apa, meskipun sang interogator tampaknya menulis banyak tentang mereka. Pablo ditanya apakah dia tahu keberadaan Ramon Gris, seorang pemimpin anarkis lokal. Dia berkata, tidak mengetahuinya. Mereka kemudian dibawa ke dalam sel. Pada pukul 8:00 malam, seorang petugas datang untuk memberi tahu mereka, dengan cara yang sejujur-jujurnya, bahwa mereka telah dijatuhi hukuman mati dan akan ditembak mati keesokan paginya.

Pengetahuan tentang Kematian yang akan Datang

Secara alami, mereka menghabiskan malam dengan rasa tertekan oleh pengetahuan tentang kematian mereka yang akan datang. Juan tidak berdaya ketika mengasihani dirinya sendiri. Seorang dokter Belgia menemani mereka agar saat-saat terakhir mereka "tidak terlalu sulit". Pablo dan Tom berjuang untuk menerima gagasan kematian pada tingkat intelektual, sementara tubuh mereka mengungkapkan rasa takut yang secara alami memang mereka takuti. Pablo mendapati dirinya basah kuyup oleh keringatnya sendiri; Tom tidak bisa mengontrol kandung kemihnya (dia mengompol).

Semuanya Berubah

Pablo mengamati bagaimana dihadapkan dengan kematian secara radikal mengubah cara pandang tentang segala sesuatu—benda-benda yang dikenal, orang-orang, teman-teman, orang-orang asing, kenangan-kenangan, hasrat-hasrat—merupa padanya dan sikapnya terhadap itu semua berubah total. Dia merenungkan hidupnya pada titik ini:

Pada saat itu aku merasa bahwa aku mendapati seluruh hidupku berada di depanku dan aku berpikir, "Ini adalah omong kosong yang terkutuk". Tidak ada gunanya, sebab semuanya telah selesai. Aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan, tertawa bersama gadis-gadis: aku tidak akan bergerak selincah jari kelingkingku jika aku hanya membayangkan aku akan mati seperti ini. Hidupku berada di depanku, terkunci, tertutup, seperti tas, namun semua yang ada di dalamnya belumlah selesai. Untuk sesaat aku mencoba menilainya. Aku ingin mengatakan pada diriku sendiri, ini adalah kehidupan yang indah. Tapi aku tidak bisa menilainya; itu hanyalah sketsa; aku telah menghabiskan waktuku memalsukan keabadian, aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak melewatkan apa pun: ada begitu banyak hal yang bisa kulewatkan, rasa manzanilla atau mandi yang kulakukan di musim panas di sungai kecil dekat Cadiz; tetapi kematian telah mengecewakan semuanya.

Dikeluarkan dari Sel untuk Ditembak Mati

Pagi tiba, Tom dan Juan dibawa ke luar untuk ditembak mati. Pablo diinterogasi lagi, dan diberitahu bahwa jika dia membeberkan di mana keberadaan Ramon Gris, dia akan dibebaskan dari hukuman mati. Dia dikunci di ruang cuci untuk memikirkannya selama 15 menit ke depan. Sewaktu itu Pablo bertanya-tanya mengapa dia rela mengorbankan hidupnya untuk Gris, dan tidak bisa memberikan jawaban selain bahwa dia harus menjadi "orang yang keras kepala". Ketidakrasionalan dari tindakannya itu menghibur dirinya sendiri.

Melawak

Ditanya sekali lagi untuk mengungkapkan di mana Ramon Gris bersembunyi, Pablo memutuskan untuk bergurau dan menyampaikan jawaban, memberi tahu interogatornya bahwa Gris bersembunyi di pekuburan lokal. Tentara segera dikirim, Pablo pun menunggu kepulangan mereka dan eksekusinya. Namun, beberapa saat kemudian, dia diizinkan bergabung dengan kumpulan tahanan di halaman yang tidak menunggu eksekusi mati, dan diberitahu bahwa dia tidak akan ditembak—setidaknya untuk saat ini. Pablo tidak mengerti mengapa dia dipindahkan dan eksekusi matinya ditunda, sampai salah satu tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa Ramon Gris, pagi itu ditemukan dan dibunuh setelah pindah dari tempat persembunyiannya yang lama ke pekuburan lokal. Pablo bereaksi dengan "tertawa keras, sangat keras sampai dia menangis".

Analisis Tema Utama

Elemen penting dari cerita Sartre membantu menghidupkan beberapa konsep sentral eksistensialisme. Tema utama ini meliputi:

Hidup Dihadirkan sebagai Sesuatu yang Dialami

Seperti kebanyakan literatur eksistensialis lainnya, cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama, dan narator tidak memiliki pengetahuan di luar masa kini. Dia tahu apa yang dia alami; tetapi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiran orang lain; tidak pula dia mengatakan sesuatu seperti, "Kemudian aku menyadari bahwa ..."—yang tentu bermakna melihat kembali masa kini dari masa depan.

Intensitas Sensasi

Pablo mengalami-mengindrai kedinginan, kehangatan, kelaparan, kegelapan, cahaya terang, bebauan, bersimpati (dengan hal-hal kiri, komunisme), dan kenestapaan. Orang-orang menggigil, berkeringat, dan mengompol. Sementara para filsuf seperti Plato melihat sensasi sebagai penghambat pengetahuan, di cerpen ini, sensasi disajikan sebagai jalan dari pemahaman akan sesuatu.

Tidak Ada Ilusi

Pablo dan Tom mendiskusikan sifat kematian mereka yang akan datang sebrutal dan sejujur ​​mungkin, bahkan membayangkan peluru-peluru tenggelam ke dalam daging mereka. Pablo mengakui kepada dirinya sendiri bagaimana ekspektasinya akan kematian telah membuatnya tidak peduli kepada orang lain dan kepada tujuan yang dia perjuangkan.

Kesadaran vs. Hal-hal Material

Tom mengatakan bahwa dia dapat membayangkan tubuhnya terbaring lemah dilubangi peluru; tetapi dia tidak dapat membayangkan ketika dirinya tidak mengada—sebab "diri" yang dia identifikasi adalah kesadarannya, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Seperti yang Sartre katakan, "kita tidak dibuat untuk berpikir seperti itu."

Semua Orang Mati Seorang Diri

Kematian memisahkan yang hidup dari yang mati; tetapi mereka yang akan mati juga terpisah dari yang hidup—sebab hanya mereka (yang akan mati) yang dapat mengalami apa yang akan terjadi pada mereka sendiri. Kesadaran yang kuat dan intens akan hal ini menempatkan batas-batas antara mereka (yang akan mati) dan setiap orang.

Kondisi Manusia Diintensifkan

Seperti yang diamati Pablo, para sipirnya juga akan segera mati, hanya sedikit lebih lambat dari dirinya. Hidup di bawah hukuman mati adalah kondisi manusia. Tapi, sewaktu hukuman itu akan segera dilaksanakan, kesadaran yang kuat akan kehidupan meningkat pesat.

Simbolisme Judul

"The Wall" atau Dinding adalah simbol penting dalam cerita pendek ini, dan mengacu pada beberapa dinding atau penghalang.

• Dinding tempat mereka akan ditembak mati.

• Tembok yang memisahkan kehidupan dari kematian.

• Tembok yang memisahkan yang hidup dari yang terpidana mati.

• Dinding yang memisahkan satu individu dengan individu lainnya.

• Dinding yang mencegah kita mencapai pemahaman yang jelas tentang apa itu kematian.

• Dinding yang mewakili materi kasar, yang kontras dengan kesadaran, dan di mana kesadaran manusia akan terhapus saat ditembak mati.

*****

Sumber Literatur:

Understanding Sartre's "The Wall" – ThoughtCo.


Saturday 30 July 2022

Sartre versus Camus (Esai Translasi)

SFJ
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua ikon utama kehidupan intelektual Prancis abad ke-20, khususnya pada tahun 1940—1960. Karya dan komitmen mereka bersinggungan dan saling merespon begitu banyak tantangan bagi dunia.

Pengantar Sartre versus Camus: Perang dan Filsafat: Latar Belakang Sejarah

Hubungan Sartre-Camus telah memodelkan filsafat Prancis pasca-Perang Dunia II.

Sejak tahun 1943, Sartre dan Camus, berkawan baik, keduanya di mana-mana bersama. Publik, tanpa detail yang jelas, bahkan mencantumkan penulis Nausea dan The Stranger itu di bawah label yang sama: “Eksistensialis”.

Setelah pembebasan Prancis yang dimulai pada 6 Juni 1944, eksistensialisme lebih dari sekadar filsafat yang sedang digemari, ini adalah gaya hidup dan tempat: Saint-Germain-des-Prés (wilayah Paris).  The Existentialism Is a Humanism merangkum filsafat ini dengan baik.

Bagi khalayak banyak dapat diringkas dalam satu kalimat: “eksistensi mendahului esensi”.

Eksistensialisme Sartre dirancang pertama sebagai filsafat kebebasan dan tanggung jawab: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan makhluk yang takdirnya telah ditentukan sebelumnya. Menurut kata kunci hari ini, tentang 'komitmen'.

Camus tentu tidak menolak untuk terlibat, tetapi ia menolak label “eksistensialis” dan bahkan seorang filsuf. Sejak tahun 1947, ketidak sepakatan politik antara Sartre dan Camus memperdalam Camus untuk mencela kubu Stalin, bagian dari "rumah tangga" Sartre yang Komunis.

Pada tahun 1952, Jeanson (teman Sartre) diterbitkan dalam jurnal Sartre, “Modern Times”, sebuah laporan yang sangat kritis terhadap The Rebel. Buku terakhir Camus dianggap reaksioner, dan penuh penilaian yang keliru. Camus, tidak memedulikan Jeanson, merespon langsung ke Sartre. Edisi berikutnya dari “Modern Times” diterbitkan di sebelah surat dar itanggapan keras Camus kepada Sartre:

“Campuran gelap antara rasa puas diri dan kerentanan selalu memperkecil hati untuk mengatakan seluruh kebenaran … Mungkin Anda miskin, tetapi Anda tidak lagi miskin. Anda adalah warga negara dan seperti Jeanson yang seperti saya … moral Anda pertama kali diubah menjadi moralisme, hari ini lebih dari sekadar sastra, besok mungkin menjadi tidak bermoral.”

Camus dan Sartre tidak akan pernah bertemu. Namun, empat tahun kemudian, ketika Tentara Merah menumpas pemberontakan di Budapest, Sartre pada gilirannya (diikuti oleh sejumlah besar intelektual) memutuskan hubungan dengan Partai Komunis. Akan tetapi, perang di Aljazair antara Sartre dengan seorang pendukung kemerdekaan, Camus, yang masih ingin percaya pada jalan penyelesaian yang damai, kembali pecah.

Camus dan Eksistensialisme

Albert Camus (1913—1960), yang dianugerahi Penghargaan Nobel pada tahun 1957, adalah kawan pertama Jean-Paul Sartre yang kemudian menjadi lawannya. Tidak seperti Sartre, yang seorang laki-laki borjuis, Camus adalah laki-laki pinggiran kota yang miskin. Camus merasa mewakili pemikiran Mediterania, dengan kata lain, kemurnian dari (Yunani, Latin, klasik). Kemurnian antara instrumental dalam desain absurd dan manusia absurd adalah segalanya, di atas semua yang memikirkan dengan jernih perihal kehidupan. Sikap “Hellenik” atau “Hellenistik” ini bahkan lebih menonjol meskipun bersentuhan dengan budaya Arab atau Spanyol, tetapi Camus sama sekali tidak dipengaruhi dan terpengaruh Islam (meskipun bersentuhan langsung dengan budaya Arab).

Eksistensialisme Camus adalah eksistensialis yang putus asa, tetapi tanpa nausea dan disgust ala Sartrean. Eksistensialisme Camus adalah peramal putus asa, pendiri kebesaran manusia dan humanisme Camusian.

Manusia absurd adalah pusat pemikiran Camus. Seperti para filsuf eksistensialis lainnya, perasaan absurditas adalah konsekuensi dari sifat dasar keberadaan manusia—tidak terbatas pada wajah absolut yang dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Camus, absurditas tidak terletak pada manusia ataupun alam semesta: ini adalah hasil dari pengamatannya dan realisasi paradoks itu. Beberapa sikap dimungkinkan. Camus menolak sikap eskapis (melarikan diri): bunuh diri, yang ditarik kembali dengan menghapusnya, salah satu istilah dari kontradiksi (penekanan kesadaran). Ia juga menolak doktrin-doktrin bahwa dunia ini terletak di luar dasarnya dan harapan yang akan memberi makna pada kehidupan, keyakinan agama, pemikiran bunuh diri filosofis (Kierkegaard, Jaspers, Shestov).

Manusia absurd adalah seseorang yang menerima tantangan dengan lugas, ini adalah dasar dari pemberontakannya yang membawanya untuk mengambil baik kebebasannya, tetapi juga kontradiksinya sendiri dengan memutuskan untuk hidup dengan hasrat dan hanya dengan apa yang ia ketahui.

Karya Camus:

The Myth of Sisyphus (1942)

The Rebel (1951)

The Stranger (1944)

The Plague (1947)

The Fall (1956)

Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme: 1946

Ketika mempertimbangkan objek yang diproduksi seperti buku atau pemotong kertas, objek ini dibuat oleh seorang pengrajin yang terinspirasi oleh konsep yang diamaksud dengan konsep potong kertas, dan juga teknik bagian pra-produksi dari konsep tersebut, yang pada dasarnya adalahr esep. Jadi, pembuka adalah objek yang bekerja dengan cara tertentu dan, di sisi lain, juga memiliki manfaat yang pasti, dan kita tidak dapat mengasumsikan seorang manusia yang akan menghasilkan pisau kertas tanpa mengetahui apa yang akan melayani tujuannya. Mari kita katakan bahwa untuk pemotong, bensin—yaitu semua resep dan kualitas yang dapat memproduksi dan mendefinisikannya—mendahului eksistensi, dan kehadiran di depan saya, seperti pembuka surat atau buku semacam itu ditentukan. Di sini kita memiliki penglihatan teknis tentang dunia di mana kita dapat mengatakan bahwa tahap-tahap produksi itu mendahului eksistensi.

Eksistensialisme ateistik, yang saya wakili, […] mengatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsep apa pun dan makhluk ini adalah manusia atau, seperti yang dikatakan Heidegger, realitas-manusia1. Apa yang dimaksud di sini bahwa eksistensi mendahului esensi? Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada, terjadi, muncul di dunia, dan itu ditentukan kemudian. Manusia, sebagai mana dikandung oleh eksistensialisme, tidak dapat didefinisikan, adalah bahwa ia bukan yang pertama. Itu akan terjadi, dan itu akan menjadi seperti yang telah terjadi. Jadi, tidak ada kodrat manusia, karena tidak ada sosok Adikodrati yang memikirkannya. Manusia tidak hanya seperti yang berkembang, tetapi seperti yang diinginkannya, dan ketika ia berkembang dari sana, seperti yang ia inginkan setelah momentum keberadaan ini, manusia tidak lain adalah apa adanya. Ini adalah prinsip pertama eksistensialisme.  […]

Maksudnya manusia pertama-tama ada, artinya manusia terutama adalah apa yang dilemparkan ke masa depan, dan apa yang secara sadar melihat ke masa depan. Manusia pada dasarnya adalah sebuah proyek yang dihayati secara subjektif, dari pada buih, pembusukan atau kembang kol, tidak ada yang ada sebelum proyek ini, tidak ada yang di surga yang dapat dipahami2, dan manusia apa yang pertama kali harus diproyeksikan.

 1 – realitas manusia: dalam bahasa Jerman, diterjemahkan Dasein (secara harfiah "berada di sana"), yang berarti cara keberadaan manusia, karena ia masih direncanakan.

 2 - Di surga dapat dipahami: di langit ide, rumah, menurut Plato, esensi dari semua hal.

Jean-Paul Sartre versus Albert Camus

Sartre dan Camus telah menulis karya tanpa pernah mengetahui bahwa karya-karya itu akan membuat mereka terkenal. Sartre menghargai The Stranger, sementara Camus tertarik pada Nausea dan The Wall. Akan tetapi, kita tidak bisa membayangkan pandangan dunia yang lebih berlawanan dari pada Sartre, dibayangi oleh kengerian alam yang mendalam, dan Camus, oleh cinta Mediterania yang terang. Persahabatan sulit bergabung dengan kedua penulis itu setelah Pembebasan Prancis, Camus tidak pernah berhenti untuk menjauhkan vis-à-vis eksistensialisme Sartre. Pecahnya mereka, yang menyebabkan kegemparan besar pada tahun 1952 mungkin menandai perbedaan politik, Sartre mengalami lebih banyak simpati dan Camus tumbuh dan mengalami kengerian dari komunisme Soviet. Namun, ia menghabiskan sebagian besar perceraian antara dua konsepsi kehidupan dan sastra: humanisme, pemberontakan, cinta kebahagiaan, cinta "bentuk yang baik" Camus, komitmen politik, revolusi, obsesi dengan rasa bersalah, jijik dengan "sastra" di Sartre. Jika di luar semua perbedaan ini ada suatu kesatuan tertentu antara karya mereka masing-masing, itu ada di cakrawala tahun yang sama, yang umum bagi mereka dan mereka membantu membentuknya bersama. Dapat dijelaskan bahwa eksistensialis mememiliki sedikit melampaui cakupan sebuah generasi, dan ia tidak memiliki literatur yang subur yang telah menunjukkan dua puluh tahun sebelumnya, surealisme. Mentor pembelajar ini memiliki, tetapi tidak banyak.

*****

Sumber Literatur: Tim, "Sartre vs. Camus: The battle of french philosophers, February 17, 2022, " in Philosophy & Philosophers, February 17, 2022, https://www.the-philosophy.com/sartre-vs-camus.