Malam itu, di kos-kosan, kau melihatku mengunyah kosakata merdeka yang belum matang secara paripurna. Lagi & lagi, tentu dengan gigi curian yang kudapat dari bahasa Sanskerta. “Merdeka itu apa?” begitu katamu dengan nada manja. Terdengar arkais sekaligus manis. “Hmmm apa ya? Mungkin semacam hasrat terpendam dari makhluk berkaki dua tak berbulu yang sering disebut manusia, gairah terdalam setiap hamba, warga negara, budak korporat, sampai masyarakat adat di desa. Maknanya serupa rasa surga di dunia—mungkin juga hanya sekadar utopia: ketidakmungkinan yang diberi alamat kemungkinan oleh kita, manusia, dalam kalimat-kalimat mungkin saja.”
Kau menerawang tanda tanya seraya dikoyak-koyak tata bahasaku. Tapi dengar, dengarlah sayang, dunia biadab ini sepertinya mengidap disabilitas diksi dengan tanda-tanda tuna-rima. Tak semua rasa memiliki bahasa. Tak semua resah memiliki istilah. Hipotesis yang ironis, cenderung fatalis, memang. & terkadang, omong kosong ini berlanjut dengan realitas—yang tiba-tiba menendang esensi merdeka keluar dari jendela pembatas. Lalu kita, harus memberi nafas buatan kepada eksistensi merdeka. Kemudian, berjalan di atas pecahan kaca yang terbuat dari mayat kegagalan dengan sentuhan pesimis yang sudah optimis. Aku ingat, rasanya begitu nendang seperti dihantam Ciu Bekonang, & keras sekali seperti Arak Bali.
Setelah berkontemplasi tiada henti, kau mengajakku untuk menyelami makna agrikultura. Malam kian tenggelam, & sisanya kau habiskan untuk menjambak rambutku. Sontak, Tuhan kabur malam itu. Semasih kau menyebut-nyebut nama-Nya. Bergantian dengan erangan ‘oh ya, oh tidak’. Tidak, gendang telingaku tak kuat menahan lelucon ketika kau melabeli lidahku sebagai Daendels gaya baru. Sungguh, aku tak berminat menjajah tubuhmu dengan roman-roman Cultuurstelsel. Kau meraih ransel di tepi bantal dengan tanganmu. Lihat, tak ada Patriarki dalam sorot mataku. Lantas kau membuka obat tetes mata lalu meneteskannya. Tak ada Misogini pada kedua tanganku. Aku bukan orang yang sadis & kau bahkan bukan masokis.
Namun dari arah bangsal, di samping kos-kosan. Tepatnya dari ketiak jendela, kita melihat para pejabat yang sibuk menyembunyikan bangkai seorang pahlawan. Ah sial, ingin rasanya kubakar dunia ini dengan hipokrisi pemerintah yang tiada habisnya. Persetan dengan itu. Nyatanya, dari pangkal paha sampai pangkal bahumu, tak kutemukan jalan dari Anyer sampai Panarukan. Hanya ketemukan bekas penjajahan di bibirmu. Tapi sejarah selalu ditulis oleh seorang pendusta, sayang. Tak ada bukti kerja paksa di Nusantara, yang ada hanya budaya korupsi. Kompeni tak seburuk yang kita duga. Sejarah negara ini tak sebaik yang kita kira. & bercocok tanam bukan melulu perihal melepaskan seluruh lelah yang masih tersisa.
Papua tak sekadar Isla de Oro alias pulau emas. Seperti yang diungkapkan seorang pimpinan armada laut Spanyol: Alvaro de Saavedra. Tak semudah fitnah yang ditujukan kepada Tan Malaka. Tak sesederhana membaca buku Madilog tanpa dialektika. Komunis tak se-autis yang mereka pikir, percayalah, orang-orang pandir itu bahkan tak bisa membedakan antara Ateisme & Animisme. Antara bacot patriot & miskin logika. Otak mereka terlalu daif, naif, & sakit untuk berpikir secara sehat. Semaun tertawa mendengar ini. Soeharto-lol hengkang dari prosa ini. Bersama ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat yang diduga anggota, dicurigai mengikuti partai terlarang, hingga yang tak berdosa pun mati & hilang entah ke mana.
Sejarah tak pernah selesai hanya dengan disimpan, diterka, & ditelusuri. Ia abadi dalam ingatan manusia, dalam benak kita yang bahkan sudah selesai lalu-lalang di lorong waktu. Memaknai sejarah, tak segampang menelan obat antidepresan ketika depresi mengacak-acak ruang pikiran. Mencari merdeka di dalam negara—juga tak semudah mencari De Facto & De Jure, lalu berteriak: “Hore!”. Ada harapan yang menunggu dikonversi menjadi kenyataan. Ada darah yang masih kental di tengah-tengah pertanyaan. Ada air mata yang larut di atas jenazah ruang & waktu. Ada garuda, & kabar buruknya, ia terpenjara dalam sangkar yang sedang terbakar. Aku memintamu, melupakan sejarah beserta bualan yang mengikutinya.
Aku jengah. Dalam suasana yang masih gundah, dengan terbata-bata kau bertanya di mana merdeka? Entahlah, aku tak tahu di mana ia berada. Namun bagaimana jika kemerdekaan memang tak pernah ada atau sudah mati? & jika bibirmu masih saja memaksakan untuk mengeja merdeka, bolehkah aku melenyapkan bekas-bekas penjajahan bibirnya di bibirmu—lalu menyusun berkas-berkas kemerdekaan yang baru dengan bibirku sebagai proklamatornya?
(2021)