Wednesday 25 January 2023

Cerpen: Namaku Bukan Susan

Energy and Sex (2018) by Brandon Yeoman

Namaku bukan Susan, seperti yang tertera di profil akun ChatMe-ku. Setahuku, di berbagai konvensi sosial, 'nama' adalah sesuatu yang sangat personal dan merupakan privasi. Lagipula, tak ada pelacur yang jujur. Mengenai identitasnya atau mengenai kuantitas pelanggannya dalam satu hari. Setiap lelaki hidung belang diberitahu bahwa ia adalah pelanggan pertama. Itu pasti. 

Aku melayani birahi lelaki-lelaki kesepian yang ngacengan dan menyedihkan sebanyak lima hari dalam satu minggu. Selama dua tahun berkarir di dunia lendir, kira-kira, aku sudah hohohihe sebanyak sembilan ratus delapan puluh empat kali. Dengan asumsi ada sekitar lima puluh dua minggu dalam satu tahun—dua ratus enam puluh hari kerja dari hari senin sampai jumat—dengan dua minggu libur dalam satu tahun. Aku hampir selalu mengambil cuti dua minggu setiap tahun untuk leha-leha. Aku tak pernah bekerja pada hari libur karena bercocok tanam ketika akhir pekan, meskipun lebih cuan, itu melelahkan bagi banyak pelacur yang berprinsip sepertiku. Dan menyewa psk, pada hari sabtu-minggu, apalagi malam minggu, katanya begitu patetis sekaligus menurunkan prestise semua jenis lelaki berpenis tapi jomlo yang mengidolakan Don Huan dan Casanovo.

Sembilan ratus delapan puluh empat kali adalah jumlah yang bombastis. Tapi begitulah kurang lebih, secara matematis. Angka yang fantastis, memang. Itu pun dengan cukup banyak liburnya. Mengapa? singkatnya, mulut keduaku bukan Warung Arudam yang hanya tutup saat hari kiamat. Pelacur juga butuh liburan, butuh rebahan, meski kerja-kerja kepelacuran, sekilas nampak seperti sekadar rebahan dan nungging dan ayo-pompa dan ngangkang dan ayo-genjot dan dar-muncrat dan gajian dan tamat. Hari liburku, biasanya, kugunakan untuk pergi ke salon. Mewarnai rambutku yang panjangnya sebahu dengan warna pirang atau membuat bentuknya agak bergelombang. Beberapa kolega perpelacuranku mungkin iri kepadaku, karena aku tak perlu sulam alis. Kedua alisku sudah tebal dan estetis secara natural, genetik dari ibuku yang orang asli Rokoma. Ibuku adalah seorang meghrib'i yang telah pensiun sebagai pedagang daging. Ayahku, aku tak tahu di mana atau siapakah dia. Ibuku tak pernah memberitahuku. Sesekali kucuriga bahwa aku barangkali hanyalah perempuan yang lahir dari balon yang bocor—atau dari rahim wanita yang lupa meminum pil pencegah hamil.

Yang pasti aku tak lagi tinggal bersama ibuku. Aku dua kali diusir oleh ibuku: yang pertama, aku diusir dari rumah setelah aku dikeluarkan dari tempatku kuliah karena pacar tololku yang kini telah menjadi mantanku membuntingiku (aku mengaborsi kandunganku di usia satu bulan menggunakan obat sytotec dan gastril yang harganya, kalau tak salah ingat, setara omset pelacur magang selama lima kali kuda-kudaan); yang kedua, aku benar-benar diusir dari rumahku yang berjarak sekitar dua kilometer dari Gang Nemes, lokalisasi terbesar dan tertua yang berlokasi di kota Rogob, karena ketahuan menawarkan jasa aselole.

Kini, aku telah berhenti kuliah. Mengadu nasib dan menyewa kos yang berukuran lima kali tiga meter di kota Atrakaj. Dan bekerja purnawaktu sebagai pelacur yang berdikari tanpa mucikari. Kupikir, germo, lebih banyak merugikan ketimbang menguntungkan pelacur. Kerja-kerja kemucikarian, itu enak, dan tentu jauh lebih mudah dari seorang concierge hotel mewah di kawasan ekonomi susah.

***

Hari liburku kali ini, kuhabiskan dengan menonton film Cispran tahun enam puluhan berjudul Vivro sa vio yang disutradarai Godord. Dan, aku, setelah memirsa Nina dalam film monokrom itu, tiba-tiba ingin berhenti total dari dunia kepelacuran. Lagipula, kukira, aku sudah khatam dengan dunia hitam dan suram ini. Dari balon rasa durian, rendang, apel, cimol pedas, jeruk, mie goreng, sampai jenis yang bergerigi—dan kecuali rasa buah qhuldi—aku sudah pernah merasakannya. Dari klien yang mulutnya bau rokok Jarcok, Garpride, atau liquid Ooot Drips, atau bau minuman Intisorry, Jägormoistor, sampai Martuni.

Bicara alkohol, aku teringat sesuatu. Dulu, kepada salah satu pelanggan langganan, sebut saja Brian, aku pernah bertanya ketika sedang bercinta dengan gaya misionari: mengapa orang mabuk selalu jujur? Dia sejenak berhenti memompa tubuhku. Inn Voni Voritas, Susan, di dalam anggur ada kejujuran... terpendam kebenaran, katanya dengan sedikit terbata kemudian melanjutkan penetrasi. Namaku bukan Susan, tapi soal pertanyaanku, jawabanmu puitis dan intelektual sekali, bisikku tepat di kuping kirinya. Aku ini akademisi!, jawabnya lagi dengan lantang dan berapi-api lalu memompa tubuhku dengan tempo prestissimo dalam konteks bahasa piano dan cello. Semasih ponselnya memutar lagu Seperti Surga dari band Merokok Setelah Skidipapap yang mengalun manja dan samar tak menggelegar di kupingku. Selagi bau Brondi tumpah yang menguar memenuhi tiap-tiap sudut kamar—hasil dari kecerobohan Brian yang pilon—bercampur wangi kasurku yang harum Gnapme, maksudku beraroma oud dan bunga saffron.

Sekitar satu minggu setelah adegan prot-prot yang cukup brutal dan teatrikal itu, Brian kembali menyewa jasaku. Brian, kau tahu apa yang lebih benar dari Inn Voni Voritas?, tanyaku sebelum kami foreplay. Hmmm, apa San? dia bertanya balik. Jangan sebut 'San', namaku bukan Susan. Tapi yang lebih benar dari Inn Voni Voritas adalah Inn Vagino Voritas, di dalam vagina terbenam mimpi-mimpi lelaki, jawaban dari seluruh pertanyaan, perwujudan dari semua keinginan, puncak kebahagiaan dan kenikmatan... asal muasal dan awal mula segala kehidupan, kataku dengan wajah serius sembari menahan tawa. Brian pun kemudian tertawa, dan bisa diduga, kami wleowleo setelahnya. Ini kejadian monumental sekaligus komikal lainnya. Suatu waktu, aku lupa kapan pastinya, intinya kami nge-w dengan gaya anjing—aku secara tak sadar dan tak sengaja berkata, oh my god!—Brian kemudian agak berteriak, god is dead! Susan! sembari menjambak kencang rambutku dari belakang dengan tangan kanannya dan menampar pantatku yang besar dengan tangan kirinya. Na-ma-ku bu-kan Su-san..., kataku dengan terengah-engah dan susah payah.

Brian adalah seorang lelaki paruh baya yang humoris dengan pengetahuan yang ensiklopedis. Dia pernah bercerita bahwa dirinya adalah seseorang dengan gelar magister sejarah yang sibuk menjadi penjoki tesis SS. Sependek pengalamanku, delapan puluh empat kali seranjang dengannya, setelah Brian klimaks, kami selalu saja deep talk. Dari obrolan-obrolan intens dan konsisten itu, dari dirinya pulalah aku tahu kalau pelacur adalah salah satu profesi tertua di dunia. Catatan prostitusi paling purba diketahui berasal dari bangsa Airemus sekitar tahun dua ribu empat ratus SM di Ainolibab Kuno. Menjadikan profesi paling dibenci sekaligus paling dicari ini berumur empat ribu empat ratus dua puluh tiga tahun. Bersaing dengan panitia surga-neraka sebagai salah satu profesi tertua sepanjang masa. Beberapa sejarawan bahkan berpendapat bahwa sebelum adanya kaum si paling aduhai bermoralnya, prostitusi telah hadir dan membudaya. Dan, penelitian dari Univershitass Ogacihc menunjukkan bahwa prostitusi pertama dilakukan sejak zaman Aimatoposem Kuno. 

Aku sebenarnya tak tahu mau kuapakan informasi dari Brian ini, tetapi Aimatoposem Kuno kabarnya rumah bagi peradaban pertama dalam sejarah manusia. Tunas peradaban, sebutannya. Dari kira-kira tiga ribu dua ratus SM—runtuhnya Kekaisaran Aisrep pada tiga ratus tiga puluh satu SM—peradaban seperti Airemus, Aidakka, Ainolibab, dan Ruysa yang berada di antara sungai Tarfe dan Sirgit—mereka mengenal Annani—dewi cinta, kesuburan, seks, dan perang. Orang Aidakka mengenalnya sebagai Rathsi, orang Aisinef mengenalnya Etratsa, dan orang Inanuy mengenalnya Tidorfa. Dewi yang ditafsir para pekerja teks sejarah sebagai maniak seks yang senang berperang ini disembah selama kurang lebih tiga ribu tahun. 

Sebenarnya ada juga Somag Soreih dan pelacuran suci, yang telah ada selama ribuan tahun di Aimatoposem, tetapi aku lupa. Maklum, manusia, lagipula yang paham sejarah adalah Brian bukan aku. Yang jelas, seks itu kompleks, tak sekadar adegan panas ah-uh-ah-uh-ahhh. Barangkali ada penaklukan, bisa jadi ada pembuktian. Tapi tak ada 'sejarah' di atas ranjang, tak pula kitab Artusamak bagian lubang bertemu batang. Semua lelaki, dari seorang politikus yang mencitrakan dirinya religius sampai tukang gendam yang pendiam, ketika di atas ranjang, akan tiba-tiba berubah menjadi Quagmiro dalam sitkom Akirema yang isi ceritanya sama sekali tak mewakili judulnya.

***

Hari ini senin pagi dan aku masih memikirkan tentang rencanaku untuk pensiun. Ini tentu bukan masalah fisik. Payudaraku, yang ukurannya 36B, masih kencang dan menggugah mata setiap lelaki yang menatapnya. Wajahku masih cantik. Selain rencana pensiun, sebenarnya, aku punya beberapa kebingungan. Aku masih tak paham dengan isi batok kepala lelaki, misalnya, apa bedanya antara bercinta dengan yang cantik dengan yang tak cantik? Kupikir rasanya sama saja, yang berbeda hanya semangatnya. Entahlah, aku hanya bisa menerka-nerka. Jujur saja, aku sering menonton film agrikultur dan aku masih tak paham mengapa seks dikatakan usai setelah orgasme lelaki. Muncratnya semen yang berasal dari dua buah mobil molen lelaki tak sama dengan orgasme perempuan atau kepuasan. Ah, apakah ini ada hubungannya dengan patriarq, istilah asing yang pernah kudengar dari Brian tempo hari? Karena terlampau pening dan pusing, aku berencana untuk menelfon Brian dan akan memberi diskon untuknya bila dia mampu meredakan kepuyenganku.

“Halo, San... Ada apa?”

“Namaku bukan Susan.”

“Haha, iya, ada apa?”

“Aku punya penawaran untukmu.”

“Penawaran apa?”

“Ada beberapa pertanyaan menyebalkan yang mengganjal di benakku dan aku akan memberikan diskon kalau kau bisa memuaskan beberapa pertanyaanku.”

“Wah, menarik. Aku berangkat menuju kosmu sekarang, ya.”

“Ok.”

***

Aku baru selesai mandi, memakai pakaian, dan sedikit berdandan. Tok-tok-tok, pintu kosku mengeluarkan bahasa. Aku membuka pintuku. Nampak batang hidung Brian dan hidungku mencium semerbak citrus segar bernuansa lelaki sigma-terpelajar, seperti biasa, petanda kehadirannya. 

Halo, Susan, baru selesai mandi ya?, kata Brian. Iya, tapi aku bukan Susan, kataku. Aku mempersilahkannya masuk dan dia pun duduk. Apa itu 'patriarq'?, tanyaku kemudian duduk di sampingnya. Lawan dari gaya bercinta perempuan di atas lelaki, jawabnya. Semacam gaya lelaki di atas?, tanyaku kembali. Iya... tapi bukan dalam hubungan yang setara tapi antara subjek yang superior dengan objek yang inferior, jawabnya lagi. Hah?, aku tak mengerti, bingung, dan bahasa tubuhku mungkin seperti orang linglung. Sependek pengetahuanku, katanya Strezior dalam buku yang ada Fukow-nya, patriarq panjangnya bermula dari Taked Rumit Kuno pada tiga ribu seratus SM—bla-bla-bla—nah, teori Froud tentang Ponis Onvy mengokohkan patriarq, yang kemudian dilawan balik oleh Hernoy dengan teori Wumb Onvy dan..., katanya panjang kali lebar kali tinggi. Cukup. Brian, sejujurnya, entah mengapa kali ini aku cukup tersiksa dengan informasi-informasimu itu. Aku sedang sakit kepala dan hanya ingin jawaban sederhana bagi pertanyaanku. Aku tak tahu siapa Strezior, Fukow, Froud, atau Horney. Aku tahu kau cerdas tapi membahas sesuatu yang mengawang tanpa memperhatikan kapasitas dan kondisi lawan bicara adalah sesuatu yang tak cerdas, kataku memotongnya ketika dia sedang berbicara. Kebenaran memang tak pernah terdengar sederhana, ia hanya bisa dibahasakan dengan caranya yang memang rumit adanya, katanya dengan kecederungan seperti ingin berdebat hal berat dengan hebat. Astaga, sudah, lupakan..., pungkasku kemudian mengambil rokok Perfect Mild varian mentolku dan membakarnya.

Tapi aku tetap dapat diskon kan?, tanyanya kemudian merogoh saku kemejanya dan menyalakan rokok Matahari Pro Mild putih miliknya. Iya, dua puluh persen, jawabku. Cuma dua puluh persen?, tanyanya lagi memastikan. Iya tapi kau bisa mendapatkan diskon sebesar lima puluh persen kalau bisa memberiku sedikit pencerahan soal ini, kataku. Oke, silakan tanya, katanya lalu mengisap rokonya. Begini, aku tak pernah tertarik kepada lelaki yang lebih muda, sejak kecil, aku selalu menyukai lelaki yang umurnya lebih tua dariku. Ini wajar dan normal, kan?, tanyaku dengan raut wajah seperti bocah yang selalu saja larut dalam pertanyaan dan kerap penasaran. Wajar-wajar saja, tentu saja normal, dan bisa jadi apa yang kau alami adalah apa yang Froud sebut sebagai Eloktra Cemplox. Karena, mungkin, kau tumbuh sebagai perempuan tanpa figur ayah, jawabnya. Aku terkejut, jawabanmu terdengar seperti ahli nujum yang belajar ilmu psikologi. Tapi, serius, ini benar wajar dan normal kan?, tanyaku seakan belum puas. Hahaha... aku hanya lelaki paruh baya yang sok tahu. Sebenarnya, yang tak normal dan tak wajar hanyalah lingkungan sosial yang saling membenci secara vulgar dan frontal tapi bercinta secara sembunyi-sembunyi. Dari reaksimu, sekarang aku tahu kalau manusia hanya ingin mendengar apa yang ingin dia dengar—ketika dia bertanya sesuatu kepada orang lain—itu tak lain hanyalah upaya untuk memvalidasi jawaban yang sudah ada di kepalanya, kata Brian kemudian meminta izin untuk sebentar ke kamar mandi.

Dia pun keluar dari kamar mandi dan kembali duduk di sebelahku. Brian, apakah kau mau mendapat diskon delapan puluh persen?, tanyaku dengan menatap tajam matanya. Ooo tentu mau saja mau!, serunya dengan semangat. Beberapa hari ini, aku memikirkan untuk pensiun dari dunia gelap ini, kataku. Mengapa?, tanyanya. Entahlah, aku merasa kebebasanku sebagai perempuan perantau ini keblablasan, kataku sembari menunduk. Lalu, bagaimana kau mencari uang untuk makan? Apakah kau akan mencari pekerjaan baru?, tanyanya lagi. Aku belum tahu, intinya aku harus berhenti dari pekerjaan hina ini, jawabku. Tak ada pekerjaan yang hina. Meskipun ruang kerja pelacur itu lindap dan gelap, tak berarti menjadi pelacur itu kotor dan hina. Kalau pun demikian, penjual daging tentu tak lebih kotor dan hina dari para penjual dongeng tentang langit yang jadi tajir karena menipu mereka yang miskin dan tak bisa berpikir, mereka yang memang butuh fiksi setelah kehidupan di bumi karena hidup menyedihkannya hanya diliputi kesulitan dan tragedi. Susan, setiap orang adalah pelacur. Tak ada beda antara kau dengan aku. Kau bekerja dengan menjual dua gunung dan lembahmu, sedangkan aku bekerja dengan menjual otakku. Di dunia di mana tak akan ada seseorang dari antah berantah yang akan secara mistis membayar tagihan dan memenuhi kebutuhanmu, cara paling waras untuk bertahan hidup hanyalah dengan tetap mencari cuan dan mencuri kesempatan dari setiap kesempitanmu, katanya seperti tiba-tiba kerasukan orang bijak.

Aku diam sejenak, mencerna kata-katanya. Kau tahu apa job terbaik di dunia ini?, tanyanya dengan wajah serius. Apa?, tanyaku balik. Blewjob! hahaha, dia tertawa puas sekali. Sialan! hahaha... karena kau mampu menghiburku, aku akan memberimu diskon seratus persen, kataku dengan tersenyum setelah sedikit mengumpat dan ngakak. Serius?, tanyanya seakan tak percaya. Iya, jawabku. Makasih, Susan! Ayo ninuninu dengan brutal!, serunya dengan energik. Secara sundal dan brengsek tangan Brian membuka dasterku yang bagian buah dada sampai robek. Mulutnya menyedot putingku yang berwana pink. Na-ma-ku bu-kan Su-san, kataku dengan terbata-bata kemudian mendesah. 

Asu! Lelaki memang tak pernah benar-benar berubah, bocah atau tua, mereka sama saja, sama-sama suka menyusu. Dan, sepertinya aku tak jadi pensiun dini. Kurasa, pelacur akan hidup abadi..., kataku dalam hati.

*****