Thursday, 14 September 2023

Genrifinaldy's Poems (2)

Ode to the Adulthood

: Beach House - Space Song

i'm still that random boy in every sci-fi/adventure movie—playing hide & seek with the constellation of stars—seeking to understand what the hell is going on or what the fuck god's problem is. where did he throw the dice?

& how can a mature outside of me still have a light after entering the black hole of reality?

(2023)

-

One of Reason to be Sad

long ago, one of the things that could make me happy all day was finding money in my pants. today, it actually made me sad all day. i realize i'm getting older & forgetful.

forgot that i had those pants & there was money inside of them.

(2023)

-

I'm Disillusioned

by the fact that life isn't like a movie. there is no cinematic backsound for every filmic thing we experience: when we take a deep breath before making a tough decision, close our eyes while kissing our partner's lips, let ourselves be wet caught in the rain, sunken in puzzled philosophical daydreams, smile at childhood memory we have, hangout with friends on friday night then laugh so hard, crying alone silently on the top of pillow on sunday evening, & so on, & so on.

in life, there is no 'protagonist' either. since everyone is an 'extra'. & we never know who the antagonist is. but i found that the “advanced antagonist” can give us shelters, serve us food & drinks, lecture good value, go to the grocery store, pay our bills, & tell us to keep going on the endless circular track they build ahead of us.

unfortunately... that's not the worst part, but the probability that our life was probably directed by the most untalented-amateur directors with a bad sense of humor & taste of art.

(2023)

-

Live Longer

aspirations

are just undiscover

disappointment.

(2023)

-

If You Ask How's My Day...

i just feel like a schiz with a bad headache. too bad, me & my mind speak in a different language. & my neck tells my ears longing for the blade of guillotine. i want to believe that there's a grand lullaby to my agony, a story that will validate my tears, stomachache, & back pain. that's a frail voice inside me hoping for a glimpse of light in the vast darkness. yet, as time unfurls, i recognize those whispers are merely echoes of a desperate heart. but the universe remains silent, indifferent to my pleas. since i'm just transient beings, insignificant in the boundless expanse of existence. my fretfulness, in the enormous narrative of life, is but a meaningless noisy disturbance. i think i consume too many western thinkers until i assume there's no cosmic reward waiting for me at the end. unhappily, i simply exist, endure, & the idea of me eventually vanish into oblivion, with no real assurance that my streams had any true seas. while my hopes perish like little flowers swept by the volcanic mudflow. perhaps, my daily basis struggles are that tinyer than i feel they are. unlucky, now, i have become a gigantic monster under the bed that countless religions fight with...

no, just kidding. i'm okay. that's just a phase. as you said.

(2023)

Tuesday, 12 September 2023

Beside Schopenhauer's Corpse - Maupassant (Cerpen Translasi)

*Ditulis Guy de Maupassant dalam bahasa Prancis—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Albert M. C dkk (cerita ini diambil dari buku The Entire Original Maupassant Short Stories, diterbitkan oleh The Project Gutenberg pada tahun 2021)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA

Ia perlahan-lahan sekarat, seperti halnya pengidap tuberkulosis mati. Aku melihatnya setiap hari, sekitar pukul dua, duduk di bawah jendela hotel pada sebuah bangku di kawasan pejalan kaki, memandang ke laut yang tenang. Ia mematung selama beberapa waktu tanpa bergerak barang sesenti, di bawah terik matahari, menatap Laut Mediterania dengan sedih. Sesekali, ia melirik pegunungan tinggi dengan puncak tertutup awan di Mentone; kemudian, dengan gerakan yang sangat lambat, ia akan menyilangkan kakinya yang panjang, yang begitu kurus, sehingga tampak seperti dua buah tulang, dibungkus celana panjangnya yang kebesaran, dan ia akan membuka sebuah buku, selalu buku yang sama. Dan kemudian ia mematung lagi, tapi terus membaca, membaca dengan mata dan pikirannya; segenap tubuhnya yang ringkih seakan membaca, seluruh jiwanya tenggelam, hilang, lenyap, dalam bukunya, hingga saat udara semakin dingin membikinnya sedikit terbatuk-batuk. Kemudian, ia bangkit dan masuk kembali ke hotel.

Ia seorang Jerman yang jangkung, berjanggut pirang, yang sarapan dan makan malam di kamarnya sendiri, dan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun.

Rasa ingin tahu yang samar-samar membuatku tertarik padanya. Suatu hari, aku duduk di sebelahnya, untuk menjaga penampilan, aku pun mengambil sebuah buku, sejumlah puisi Musset. Dan aku mulai melahap buku berjudul Rolla ini. Tiba-tiba, ia bertanya, dalam bahasa Prancis yang baik:

“Apakah Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?”

“Tidak sama sekali, Tuan.”

“Sayang sekali. Karena kesempatan telah mempertemukan kita, saya bisa saja meminjamkannya kepada Anda, saya bisa menunjukkan harta karun kepada Anda, suatu hal yang tak ternilai harganya—buku yang saya pegang ini.”

“Apa itu, kumpulan doa?”

“Ini adalah salinan karya guruku, Schopenhauer, dengan catatan yang ditulis tangannya sendiri. Semua pinggiran halaman buku ini, seperti yang Anda lihat, diisi dengan catatannya.”

Dengan penuh kesopanan aku mengambil buku itu darinya, dan setelahnya aku hanya melihat kalimat-kalimat yang tidak dapat kupahami. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata itu menunjukkan pikiran-pikiran abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.

Dan bait puisi Musset, yang tadi kubaca, muncul dalam ingatanku:

Apakah tidurmu nyenyak, Voltaire,

mati adalah anugerah, dan apakah

senyummu yang mengerikan itu

masih melayang-layang

di atas tulang belulangmu?

Dan tanpa sadar aku membandingkan sarkasme kekanak-kananakan Voltaire dengan ironi Schopenhauer, filsuf Jerman yang telah mampus tapi pengaruhnya tak pernah pupus. Ia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan, dan angan-angan yang puitis. Ia telah menghancurkan keinginan, menghancurleburkan rasa percaya diri, menghanguskan cinta, membumihanguskan pemujaan halus terhadap wanita, membantai ilusi-ilusi kemanusiaan, dan menyelesaikan tugas terbesar skeptisisme—meragukan segalanya—dan hanya percaya pada kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah bisa diketahui. Olok-oloknya telah mengisi ruang-ruang di dunia dan membuatnya menjadi ruang kedap makna. Bahkan orang-orang yang mengolok Schopenhauer sampai sekarang masih membawa partikel pesimisme ke dalam jiwa mereka.

“Jadi, Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?” kataku pada orang Jerman itu.

Ia tersenyum kecut. 

“Sampai saat ia wafat, Tuan.”

Dan ia mulai menceritakan sang filsuf dan kesan supranatural yang ditimbulkan makhluk aneh ini terhadap semua orang yang pernah mendekatinya.

Ia bercerita tentang tanya jawab tokoh ikonoklas tua ini dengan seorang politisi Prancis, penganut Republik, yang ingin sekali menjumpainya. Pertemuan dilakukan di sebuah bar yang bising, Schopenhauer yang kusut masai duduk di tengah-tengah murid-muridnya, tersenyum dengan gayanya yang khas, menyerang dan mencabik-cabik gagasan dan keyakinan sang politisi dengan satu kata, seperti seekor anjing merobek mainannya dengan satu gigitan giginya.

Beberapa saat kemudian sang politisi itu pergi dengan keheranan bercampur ketakutan, “Saya pikir saya telah menghabiskan satu jam waktu saya bersama iblis.”

Orang Jerman itu menambahkan, “Anda tahu, Tuan? Ia sungguh memiliki seulas senyum mengerikan yang membuat kami bergidik ngeri, bahkan setelah ia meninggal senyumnya masih menghantui kami. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yang pernah didengar oleh beberapa orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda.”

Dan dengan suara letih ia mulai bercerita, diselingi oleh suara batuknya berkali-kali.

***

Schopenhauer baru saja meninggal dan kami ditugaskan untuk menjaga mayatnya. Secara bergiliran, berdua-dua, hingga esok pagi. Di sebuah apartemen yang besar dan mencekam, ia terbaring di atas ranjang. Di sampingnya, dua batang lilin dinyalakan di atas meja. Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba untuk menjaga mayat itu. Kedua orang teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di kaki ranjang.

Ekspresi wajah mayat itu masih tidak berubah, ia masih tetap tersenyum. Seakan-akan ia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami hampir mengira ia akan membuka matanya, bergerak dan berbicara. Pikiran-pikirannya terasa melingkari kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini, setelah ia mati, daya magisnya lebih mencengkram kami ketimbang sebelumnya. Rasanya seperti kekuatan pikirannya yang dahsyat berpadu dengan kemisteriusan tak terjelaskan.

Tubuh manusia ini akan binasa, tetapi jiwanya tidak. Dan saya yakin, Tuan, pada malam setelah jantungnya berhenti berdetak ia menjadi sangat menakutkan. 

Dan dengan nada pelan kami membicarakannya, mengingat perkataannya, rumusan tertentu darinya, pepatah mengejutkannya; bagaikan pancaran api yang dilontarkan, dalam beberapa kata, ke dalam kegelapan Kehidupan Tak Diketahui—seperti yang ia percayai.

“Saya merasa bahwa ia akan berbicara,” kata teman saya. Kami memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan senyum aneh. Perasaan kami tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami merasa akan pingsan.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya,” kata saya, “yang jelas, saya merasa tidak enak.” 

Kami mencium bau tidak sedap yang keluar dari mayat itu. Teman saya berkata bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah. Dan, saya mengamininya. 

Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi meninggalkan lilin yang satunya. Saya duduk cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat yang terbujur kaku di atasnya dengan jelas diterangi sebatang cahaya lilin.

Tapi roh Schopenhauer masih menghantui kami. Seseorang bisa mengatakan bahwa kini ia telah terbebas dari tubuhnya dan kekuatan jiwanya membayang-bayangi kami. Dan sesekali, bau mengerikan dari tubuhnya yang membusuk masih memenuhi hidung kami. Ini sangat memuakkan dan tidak dapat dijelaskan.

Tiba-tiba, kami mengalami kengerian. Bulu kuduk kami naik. Tubuh kami bergetar. Kami gentar. Suara misterius terdengar dari ruangan di mana mayat itu terbaring. Kami memandang ke arah suara itu berasal dan kami melihatnya, Tuan. Kami berdua melihat dengan jelas sesuatu berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur, lalu jatuh di atas karpet, dan menghilang di bawah sebuah kursi.

Kami sudah berdiri sebelum sempat berpikir. Seluruh perhatian kami terfokus pada teror yang membius, dan kami siap untuk lari terbirit-birit. Kemudian kami saling memandang wajah masing-masing. Kami sangat pucat. Jantung kami berdebar cepat seakan-akan kami dapat melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya adalah yang pertama membuka suara:

“Apakah kamu melihatnya?”

“Ya, saya melihatnya.”

“Apakah menurutmu ia masih hidup?”

“Masih hidup bagaimana? Tubuhnya sudah membusuk.”

“Apa yang mesti kita lakukan?”

Teman saya menjawab dengan agak ragu-ragu, “Kita harus memeriksanya.”

Saya membawa lilin dan berjalan mendahuluinya, memeriksa seluruh sudut gelap ruangan mayat yang besar itu. Tidak ada sesuatu pun yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang kemudian berhenti, dicekam keheranan dan kengerian. Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menyeringai dengan bibir tertutup rapat dan pipinya tampak cekung.

Saya berkata gugup, “Ia tidak mati!” Namun bau busuk itu kembali memenuhi hidung saya dan membuat sesak napas. Dan saya berdiri di sana. Menatap tajam ke arahnya dengan begitu takut seolah-olah akan ada penampakan.

Teman saya mengambil lilin yang berada di samping ranjang dan tanpa berkata apapun ia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi dekat ranjang, sesuatu berwarna putih tergeletak di atas karpet berwarna gelap.

Ternyata benda misterius itu adalah gigi palsu Schopenhauer. Dengan posisi menganga seakan-akan siap menerkam. Nampaknya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya. Menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya.

Saya benar-benar ketakutan. Malam itu sungguh menakutkan, Tuan…

***

Dan ketika matahari mulai terbenam menuju lautan yang berkilauan, orang Jerman yang mengidap tuberkulosis itu bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badannya padaku, dan masuk ke dalam hotel.

Sunday, 10 September 2023

The Kingdom That Failed - Murakami (Cerpen Translasi)

Illustration by Jordan Moss
*Ditulis Haruki Murakami dalam bahasa Jepang—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jay Rubin (cerita ini terbit di The New Yorker pada 13 Agustus 2020)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Tepat di belakang kerajaan yang gagal mengalir sungai kecil yang menawan. Airnya jernih, arusnya tampak indah, dan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Seekor ikan memakan gulma yang tumbuh di sana. Sang ikan, tentu saja, tak peduli apakah kerajaan itu gagal atau tidak. Apakah itu berupa kerajaan atau sebuah republik tak ada bedanya bagi mereka. Mereka tak melakukan pemungutan suara ataupun membayar pajak. Tak ada bedanya bagi kami, pikir mereka.

Aku mencuci kakiku di sungai itu. Meskipun hanya terendam sebentar, airnya yang sedingin es membikin kakiku merah. Dari sungai ini, kau dapat melihat tembok-tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, tampak bendera dengan dua warna berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, “Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal.”

***

Q dan aku adalah teman—atau lebih tepatnya, ‘pernah’ berteman semasa kuliah. Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Itulah mengapa aku pakai kata ‘pernah’. Yang jelas, kami berteman.

Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q—menjelaskannya sebagai pribadi—aku selalu merasa kesulitan. Aku memang payah menjelaskan apa pun, tetapi tanpa hal itu pun, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti merasa berada di jurang keputusasaan.

Mari membuatnya lebih sederhana, sejauh yang kubisa.

Q dan aku seumuran, tetapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tak pernah memaksa atau membual, dan ia tak pernah marah jika seseorang secara tak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, “Oh, tidak apa-apa, aku juga sering begitu.” Tapi faktanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.

Ia juga tumbuh dengan pola asuh yang baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang. Bukan berarti kelebihan pula. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlet hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk menghadapi ujian, tapi tidak pernah mengulang satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen menjelaskan.

Ia secara mengejutkan sangat berbakat dengan piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis—Balzac dan Maupassant. Sesekali ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.

Secara alami ia populer di kalangan perempuan. Tapi ia bukan tipe lelaki yang “perempuan manapun bisa digaet”. Ia punya pacar tetap, seorang mahasiswi tingkat dua yang cantik dari sebuah kampus elit khusus perempuan. Mereka kencan setiap hari Minggu.

Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.

Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam-meminjam garam atau saus salad, kami jadi teman, dan bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.

Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q sedang duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang perempuan cantik berbikini dengan kaki semampai.

Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, di umurnya yang tiga puluh tahun lebih, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.

Ia tak menyadari aku yang duduk di sebelahnya. Aku lelaki yang terlihat
biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, tetapi pada akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan perempuan itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tak enak hati untuk menyelanya. Lagipula tak banyak yang bisa kami bicarakan. “Aku pernah meminjamakanmu garam, ingat?” “Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad.” Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.

Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.

“Tidak mungkin,” kata perempuan itu. “Kau pasti bercanda.”

“Aku tahu, aku mengerti,” kata Q. “Aku paham betul apa yang kau katakan. Tapi kau juga harus memahami posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku hanya memberi tahumu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan memandangku dengan tatapan seperti itu.”

“Yah, baiklah,” jawabnya.

Q menghela nafas.

Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka—dengan tambahan imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacamnya, dan perempuan itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Ia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang menurun. Tugas untuk memberi tahu itu diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasional sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, maka aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tetapi kurasa tak jauh dari semua itu.

Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.

“Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor,” katanya. “Aku tidak perlu memberi tahumu—kau tahu cara kerjanya.”

“Jadi maksudmu kau tak bertanggung jawab atau tak bisa mengatasi masalah ini?”

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi yang bisa kulakukan sangat terbatas.”

Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Perempuan itu ingin tahu seberapa banyak Q telah berjuang untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan perempuan itu tidak percaya. Aku juga tak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Oleh karenanya, tak ada jalan keluar dari percakapan ini.

Tampaknya perempuan itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka akur hingga masalah ini muncul. Itulah yang membuatnya semakin marah. Karena ia menaruh rasa pada Q. Namun pada akhirnya, ialah yang menyerah.

“Oke,” kata perempuan itu. “Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku Cola, oke?”

Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stan minuman. Perempuan itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.

Tak berselang lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan segelas kepada perempuan itu, ia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. “Jangan terlalu bersedih tentang ini,” katanya. “Sekarang, setiap hari kau akan—”

Tapi, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat tersebut, perempuan itu melemparkan gelasnya yang masih penuh ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar satu per tiga dari Coca-Cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget. 

Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. “Maaf,” katanya dan mengulurkan handuk padaku.

“Tidak apa-apa,” jawabku. “Nanti aku mandi saja.”

Tampak sedikit kesal, ia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.

“Setidaknya biarkan aku mengganti rugi bukunya,” katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan Cola pada buku itu dan mencegahku membacanya berarti telah menyelamatkanku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum manis, seperti biasanya.

Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf kepadaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Ia tidak pernah menyadari siapa aku.

***

Aku memutuskan memberi judul “Kerajaan yang Gagal” pada cerita ini karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. “Melihat kerajaan yang indah memudar,” katanya, “jauh lebih menyedihkan ketimbang melihat keruntuhan republik kelas dua.”

Saturday, 9 September 2023

Genrifinaldy's Poems

  La Voragine infernale by Botticelli


The Outcry of Silence

can we just knock on the sky & tell god to stop character development? we are at the max level. this is our final patience to endure the twinge of tragedy. & our last bravery to face the lethal uncertainty.

hello there... Plath? Dylan? is it completely empty up there? no one is there?

(2023)

-

Every Dawn

i muse about
perpetually enlarged
cosmos while almost
constantly feeling back-pain,
sudden nauseas, random
migraine, impromptu eerie,
& simultaneously thinking: 
“could one rosy afternoon
i merely lay down on
my girlfriend's thigh
in the quiet park. discussing
Monet's painting or
Dostoevsky's novel. play
Morrissey's or
Beach House's songs.
watch Pasolini's or
Ingmar's movies.
for a moment forget
the untolerable horror
of life's trial & terror.
is it too much
to actualize for?”

(2023) 

-

Indulgence

in the midst of
four thousand two hundred
confident belief systems
& three thousand
omnipotent beings,
heaven knows
she's the only religion
that i will ever believe.
the only god
that i will ever worship.

she's the only myth
that i will ever need.
heaven knows...

(2023)

-

Traveller's Tales

in the morning,
i walked barefoot
to the east. there,
i found artificial lights.
those mystical rays
bring peace. calming
the hidden storm
in my mind. i started
to realize this is the home
of tranquillity. i found beauty
lotus thrives on filthy mud.
the pacify of incense.
all the void in every part
of my soul is magically fulfilled.

at night,
i headed to the west.
& found a house.
burned house. there
are too many living corpses.
their tongue was the
sharpest sword that an
unbreakable shield
could imagine. in their
eyes, i see the highest god
suicide & the cemetery
of hope. the birth of
raven, the death of dove. 
i found no one could
take a rest. no one can
emotionally recover
from toward the west.

in the middle of the night,
i want to come home. but
as soon as i headed to
the west, i remember that
the east disappeared into
the nothingness. i'm homeless
now. don't have a home.
nor a house.

(2023)

-

Helplessness

my whole life
is a labyrinth;

designed by
another version
of Daedalus.
to hold the unbearable
naked truth. to taming
the beast within me.
my primal destructive self.
myself.
has an insatiable appetite
to annihilate
ten thousand prophets.

“i have a sublime longing
for cinematic catastrophe!
the downfall of David!”
said the Goliath
inside my flesh.

(2022)

*****

Friday, 8 September 2023

Memfafiui Perjudian Duniawi

Dogs Playing Poker (1903) by Cassius Marcellus Coolidge


“hoki/keberuntungan adalah persiapan bertemu dengan kesempatan.”


—Seneca


Semacam Muqadimah


kemarin, seperti biasa, aku bangun lumayan pagi. merapikan kamar. mencuci muka. bikin sarapan. mandi. menyeduh kopi. ngudud sans. duduk di atas kursi berhadapan dengan laptop (untuk mengeditori tulisan di omsky-omsky). tapi ketika aku mengecek ponselku, tepatnya ketika kubuka panel notifikasi—(selain ada pesan yang wholesome & cumil dari sifarryla gautama)—ada watsap yang cukup buatku ngakak. begini isinya: “dua-tiga zeus main sweet bonanza, pinjem dulu seratus ada ga?”.


pesan-cum-pantun itu berasal dari kawanku (yang punya kebencian ideologis terhadap Rhoma Irama). sebagai catatan, manusia berkepribadian babi hutan ini adalah orang yang sama, yang setiap tiga hari sekali bertanya apakah m-bankingku ada saldonya atau tidak. karena malas menanggapi, aku sekadar membaca pesannya. 


kemudian aku kembali fokus pada laptopku. memilah-memilih puisi yang akan diterbitkan hari ini. namun, entah kenawhy kedua mataku malah mendarat pada sebuah tulisan tentang judol & hubungannya dengan konsep Homo Ludens à la Johan Huizinga sebanyak kira-kira seribu kata. aku melahapnya dengan teknik membaca cepat. hmmm... ok juga, batinku. menarik, edukatif, & reflektif. lantas dengan lekas aku membuka aplikasi ibis paint x & dada (dada ini nggak ada hubungannya sama dadaisme gerakan seni avant-garde Eropa pada awal abad ke dua puluh) demi membuatkan ilustrasinya. & voilà ini tulisannya: Homo Ludens dan Kecanduannya terhadap Judi Online (klik aja yaw).


Opinique soal Judi


“barangkali, perjudian tak sekadar soal uang atau peluang. mungkin soal sensasi dari sebuah risiko. kenikmatan hormonal. deru adrenalin yang lezat—di balik tarik-menarik—antara buai kenyamanan & beban tantangan. mesti digarisbawahi bahwa judi menawarkan seduksi yang aneh. memungkinkan seseorang—rela mempertaruhkan kestabilan-posisinya—demi kestabilan lain yang lebih ideal. meskipun besar kemungkinan ia tahu—alih-alih mantap jackpot kamerad—berjudi bakal bikin rungkad. entahlah... terkadang, aku malah curiga kalau bermain judi hanya semacam all in (kemenyerahan dalam bentuk lain) di atas pertaruhan yang tak bisa dipilih sama sekali; hidup, dilahirkan.”


—Genrifinaldy, 23, pengamat slot (bukan pemain)


ya, sedikit banyak aku sepakat dengan Huizinga & konsep Homo Ludens-nya. dalam dua esaiku yang telah terbit di Kumparan (judulnya, “Homo Homini Hadeuh” & “Yang Enak dari Menjadi Anak-anak”) pun aku menyinggung sedikit soal manusia sebagai makhluk yang senang bermain & mengafirmasinya. mungkin memang begitu, manusia suka bermain-main (bahkan, dalam artian serius). misalnya dengan bahasa, bebunyian, warna, sampai risiko. oleh karenanya, aku hampir selalu memandang perjudian duniawi sebagai sesuatu yang natural & manusiawi... tapi kompleks. tidak hanya tentang seorang pecundang yang menunggu Zeus turunkan x lima ratus dari puncak Gunung Olympus. in other words, tidak sesederhana kepingin tajir melintir secara instan. mengapa judi itu rumit? utamanya mungkin karena ia kadung mendarah-daging aka membudaya (& mungkin telah meresap jadi “DNA”) dalam hampir setiap sendi-sendi kehidu-fun manusia. hasrat untuk berjudi, secara personal, bahkan telah hadir sebelum permainan judi menjadi sebuah budaya dalam suatu komunitas masyarakat.


sependek pengetahuanku yang cetek, beberapa sejarawan-antropolog berani mengklaim bahwa praktik yang bisa diindikasikan dengan perjudian-pertaruhan alias tindakan mengambil risiko sudah ada setidaknya semenjak periode Paleolitikum—zaman batu tua.


tapi secara umum kronologisnya kira-kira begini: dadu bersisi enam pertama ditemukan di Mesopotamia sekitar tahun tiga ribu SM (didasarkan pada permainan astragali kuno); selama milenium pertama SM, terdapat rumah perjudian di Tiongkok (di mana penduduk setempat bertaruh pada segala jenis aktivitas, termasuk ngadu binatang yang mungkin merupakan cikal bakal sabung ayam; tahun 1600-an, kasino pertama lahir di Italia; tahun 1800-an, rumah perjudian menjadi lebih umum di Eropa & menjamur di AS; pada 1850, mesin slot pertama ditemukan; pada tahun 2000, judi online menjadi industri bernilai miliaran dolar; penemuan smartphone pada medio 2000-an pun membuka akses perjudian ke dalam genggaman tangan dari tahun 2010 hingga saat ini.


dalam rentang waktu yang tidak sebentar itu, judi berevolusi sedemikian rupa & cara. dari, katakanlah, bertaruh bintang mana di atas sana yang akan jatuh pertama menjadi bintang mana yang akan ditembak Princess Starlight—atau, domba Garut mana yang menang dalam adu domba menjadi singa mana dalam Five Lions yang akan memberikan lebih banyak perkalian & menghasilkan cuan. secara definitif, sama saja, sama-sama meraba-raba kemungkinan. bermain probabilitas. dalam bahasa Sunda, ngala sugan. 


masalahnya, seperti yang dikatakan Puzairi dalam esainya yang kueditori, ada semacam kestagnanan pada upaya memafhumi judi secara komprehensif; karena diskursus sosial terlampau sering menggunakan pendekatan normatif. sehingga pada akhirnya, judi cuma dipahami sebagai tindakan tolol seorang berkepribadian minus akhlaknya. bahwa berjudi artinya melawan hukum negara & berdosa secara agama. titik. pendekatan semacam ini, menurutku, tak akan pernah menjawab persoalan fundamental, misalnya, mengapa orang nyandu berjudi. perjudian duniawi bukan soal bermoral atau amoral. perlu dipertegas lagi, judi merupakan produk budaya (atau boleh jadi anak dari kegabutan-kebosanan menyebalkan yang melahirkan keinginan untuk mencari tantangan). kita mesti memandang judi lebih “psikologis” ketimbang “agamis”, atau lebih “antropologis” ketimbang “moralis”. melampaui good & evil, saint & sinner. anjir, bau Nietzsche.


Pascal's Wager


lagi pula, the truth is... mereka yang menghukumi-mencap buruk para penjudi (khususon ila ruhi kaum si paling religius) juga berjudi. mungkin mereka lupa, bahwa mereka juga mempertaruhkan-menjudikan sesuatu. setidaknya, dalam konteks Pascal's Wager (Taruhan Pascal)—istilah yang difafifukan Blaise Pascal dalam bukunya Pensées (1669): bahwa jika keberadaan tuhan tak dapat dipercaya, seseorang harus bertaruh bahwa tuhan itu ada, toh tidak ada ruginya, bahkan meningkatkan potensi masuk surga. kalau tuhan ada & kita tak percaya eksistensinya, maka pasti masuk neraka.


tidak rugi bagaimana? ya rugilah. ngabisin waktu. gambling anying. selain itu, pertanyaanku sederhana, tuhan yang mana? surga yang mana? neraka yang mana? agama yang mana? bayangkan... dari sekitar delapan belas ribu tuhan mereka bertaruh pada satu tuhan saja. itu kalau mereka monoteis, kalau politeis ya lebih dari satu. tapi kalaupun mereka bertaruh pada tiga, lima, tujuh, atau sembilan tuhan pun jumlah tersebut tetap tidak ada apa-apanya dibandingkan delapan belas ribu. persentasenya kecil. kemungkinan benar-tepatnya, secara matematis, bisa dibilang mungil. emg bole seberjudi itu?


yang lebih gila, mereka tak sekadar mempertaruhkan harta... tapi hampir semuanya, termasuk juga lifestyle (yang tak ternilai harganya) & kebebasan dari hidup yang sementara. mereka yang sering memandang hina para penjudi, nyatanya, bertaruh pada samawi. maka, Pascal's Wager, kupikir... lebih judi dari membeli scatter yang berisi lima belas kali putaran & berharap semoga minimal lima kali petir Zeus menyambar-nyambar mengenai pecahan yang didapatkan.


Epilog


sesekali aku berpikir, menjalani hidup tidak jauh-jauh dari rasa percaya & pertaruhan. antara ketidakpastian yang niscaya & kefetishan pada yang pasti-pasti saja. tapi apa yang pasti? mati, yang konon pasti saja, tidak kita ketahui kapan datangnya. mungkin apa yang dibacotkan Aldous... pun juga Bukowski dalam bukunya, Notes of a Dirty Old Man (2001), benar adanya: jika kau tak berjudi, kau tidak akan pernah menang.


sebuah totalitas. kalah ya kalah sekalian. menang ya menang sekalian. namun, hanya karena aku mengutip kutipan tersebut bukan berarti aku berhasrat menjustifikasi perjudian duniawi (khususnya, judol). mm aja, sih. maneh-maneh. eh, masing-masing. nyelot atau tidak itu terserahmu. intinya satu, gak ganggu ternak warga.


yang jelas, aku hanya memberikan perspektif lain: barangkali kita semua penjudi tapi beda taruhannya saja. ada yang iman, harta, waktu, & sebagainya.


bertaruh pada api

kuharap takkan mati

tapi sial, ini padam & tak terang


percuma

oh-oh

percuma

oh-oh, oh-oh

...


—Dongker - Bertaruh Pada Api (2022)


kalau kata de Beauvoir sih jangan bertaruh pada api. jangan pula bertaruh pada masa depan. mending bertindaklah hari ini. sangat carpe diem. dah ah, shadaqallahul adzhim.