Wednesday 23 June 2021

Puisi: Jika Hidup adalah Tanda Baca; maka Kehidupan adalah Tanda Tanya Tanpa Titik—yang Lumayan Seru, tetapi Penuh Koma

terkadang aku membayangkan jika dilahirkan sebagai kuda liar di padang sabana; hanya berlari-lari, bebas, ke sana-ke mari & meringkik hihi-hihi. tak perlu sekolah, tak perlu bekerja, tak perlu menikah, tak perlu bertanya-tanya apakah ada kehidupan setelah kematian, tak perlu memikirkan: apakah kompleks Piramida Giza adalah ulah alien yang iseng ataukah sebuah bukti dari betapa jeniusnya nenek moyang umat manusia?

aku tak perlu meresapi betapa gabutnya Adam & Hawa ketika masih di taman surga. tak perlu merenungi betapa tersiksanya setan yang selalu dikambinghitamkan atas semua kejahatan. tak perlu berempati pada hewan yang kalah binatang ketimbang manusia. tak perlu memerhatikan manusia-manusia lain yang dewasa ini ditelan kanal-kanal media sosial. tak perlu menertawai betapa bloonnya orang-orang di Eropa sana sebelum Renaissance.
 
atau betapa susahnya Neanderthal membuat percikan api dari batu sekitar 50.000 tahun lalu. atau serumit apa metode komunikasi dari satuan bahasa sebelum adanya Lingua Franca. atau sesederhana apa bahasa yang digunakan di Menara Babel yang melegenda. atau kodifikasi macam apa yang mengikat penyair dalam semacam kredo Lisensi Puitika. atau betapa pentingnya lukisan bunga matahari yang dilukis van Gogh pada tahun 1887 bagi tradisi ilmu seni rupa.
 
atau betapa kesepiannya Darwin ketika 35 hari meneliti teori seleksi alam di Kepulauan Galapagos. atau betapa bingungnya Einstein menjelaskan Relativitas Waktu pada manusia yang tak pernah tepat datang tepat waktu. atau memantik mata kuliah semantik di kepala anak TK. atau betapa bersalahnya senyawa kimia arsenik ketika dipakai untuk membunuh seorang aktivis hak asasi manusia di atas udara. atau bagaimana rasanya meminum kopi campur sianida saat asam lambung sudah di depan mata.

betapa aku tak perlu memikirkan mengapa Hemingway bunuh diri sekitar 3 minggu sebelum ulang tahunnya yang ke-62. atau mengapa orang-orang keren bunuh diri di umur 27 tahun. atau mengapa orang-orang naif selalu berumur panjang, sepanjang pertanyaanku, tentang mengapa kurikulum sejarah kita memfitnah bahwa Daendels tak membayar upah para pekerjanya dalam proyek jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan sepanjang 1.000 kilometer jauhnya.

o betapa aku tak perlu mengingat betapa gobloknya Mao yang menyuruh warganya untuk membunuh sekitar 600 juta ekor burung gereja. atau betapa kacaunya Wabah Pes di Pulau Jawa. atau betapa mengerikannya bencana nuklir di Chernobyl, Ukraina. atau betapa rusuhnya peristiwa Tanjung Priok. atau pecahnya perang saudara di Amerika Serikat. atau mengingat-ngingat betapa berdarahnya Perang Salib atas nama agama. atau mengenang betapa jayanya Filsafat di kota Athena yang selalu tampak dungu di kepala orang-orang Sparta.

atau menafsir gelapnya kosmologi dari buku-buku yang berat itu. atau mengungkap siapa orang tolol di balik patung-patung Moai. atau ada apa di Area 51. atau mengapa Silicon Valley mengawali kedigdayaan AI. atau mengapa industri fesyen melaju dengan sangat cepat. atau mengapa skena musik indie bersinonim dengan senja, kopi, & puisi. atau mengapa pesatnya teknologi membuka lubang-lubang kelinci baru bernama depresi. atau mengapa pada akhirnya utopia berganti baju menjadi distopia.

atau mengapa orang-orang berjudi di Miraza. mengapa di Bogor hujan terjadi hampir setiap hari. mengapa di Afrika, panas & kelaparan adalah makanan sehari-hari. mengapa di Jalur Gaza, misil, rudal, & batu adalah kunci. mengapa di India, Kasta Dalit lebih rendah dari sampah. mengapa di Catalunya, kemerdekaan sama dengan halusinasi. mengapa di Selandia Baru, suku Māori menandai kepunahan Burung Moa. mengapa di Australia, umat manusia kalah perang dengan Burung Emu. mengapa di Kalimantan, Orang Utan kalah telak dari Orang Tambang.

atau menimbang-nimbang kemungkinan jika aku tak dilahirkan di tahun 2000. atau tak pernah dilahirkan sama sekali. atau mencari diriku sendiri yang sudah hilang bersama pandemi jahanam ini. atau mencari cara agar aku bisa secepatnya moksa, memutus rantai-karma, & meludahi semua omong kosong di atas simulasi samsara ini. atau pasrah dengan mengucap Lahaula Walakuata. atau Sabbe Sattā Bhavantu Sukhitattā. atau merapal mantra andalan seperti Amorfati; ya sudahlah mau bagaimana lagi.

o betapa aku ingin sekali berkata bahwa hidup berjalan seperti menaiki bianglala di pasar malam yang sudah tutup. & betapa aku ingin menggugat Tuhan: ya Tuhanku, jika hidup adalah adalah tanda baca; maka aku adalah tanda tanya yang tak akan pernah bosan menodong-Mu dengan miliaran pertanyaan—yang selalu berkembang biak dalam bekunya setiap jawaban dari-Mu

***

(ceritanya ganti adegan & tata bahasa)

mula-mula Thales berkata: semua berasal dari air & akan kembali ke air. diikuti dengan Anaximander yang berkata: semua berasal dari Apeiron, semacam sesuatu yang tak diketahui itu adalah apa. Hmmm seperti itu, begitu ujarku. lalu, Anaximenes berkata: semua berasal dari udara. tapi masa iya? begitu ucapmu. entahlah sayang, hanya Aang, Appa, Avatar Roku, & tukang kipas angin yang tahu.

tak mau kalah, Heraclitus berkata: semua berasal dari api. terdengar seperti doktrin-dogma Agama Majusi, begitu katamu sembari menatap tajam mata Freddie yang sedang menyanyikan lagu—tentang Galilei berjudul Bohemian Rhapsody. maka berbicaralah Zarathustra: aku hanya percaya pada Tuhan yang tahu caranya menari. Si Dinamit tersenyum, kemudian melakukan tarian sufi bersama Rumi sampai mati.

sedang Parmenides hanya berkata: realitas adalah lingkaran sempurna yang tak bergerak, terbagi, & berubah, singkatnya monoton. ya begitulah, sama, stagnan, & tanpa kemungkinan untuk mengembang. tapi sayangku, adakah seseorang yang menaruh rasa peduli pada perasaan Isaac Newton yang mengganti namanya menjadi Isaac Tangis—setelah kerangka statis alam semesta buatannya, dihantam Planck bersama kenyataan bahwa alam semesta memang terus mengembang.

tapi alam semesta memang mengembang, sayang. seperti roti yang diberi baking powder. & Einstein memenangkan tender ilmu pengetahuan. & Fisika Klasik berganti baju menjadi Mekanika Kuantum. persis seperti dosis obat lithium karbonat yang sengaja kuganti dengan mencium keningmu setelah melalui hari-hari yang bangsat, rindu-rindu keparat, makna-makna hidup tanpa alamat, & mood-swing yang laknat. lupakan, mari kita berpindah ruang-waktu.

pagi itu, kita melihat abad-abad Pencerahan di Eropa ditandai dengan Descartes yang berujar: Cogito Ergo Sum; aku berpikir, maka aku ada. di sore hari kita melihat Camus dengan gebrakannya: Je Me Rebelle Donc J’existe; aku berontak, maka kita ada. ketika malam tiba, kita menyaksikan masyarakat konsumer di zaman kontem-pler berseru: aku belanja, maka aku ada. esoknya kita terbangun oleh suara-suara bising digitalisasi: Selfito Ergo Sum; aku selfie, maka aku ada. & langsung panik mendengar sangkakala alterasi-budaya: Covido Ergo Zoom; aku covid, maka aku zoom.

apa itu ada? sedang Siti Jenar berkata: ada adalah tiada & kekosongan ini bernyawa. apa itu ada? kata Hegel di The Phenomenology of Spirit yang tak pernah selesai kubaca. apakah ada itu tak ada maknanya? serupa mencari rasio emas di zaman perunggu. pencarian ini takkan merubah kenyataan bahwa kita “Too Poor for Pop Culture” seperti yang pernah dituliskan D. Watkins & digaungkan kembali oleh F. Stevy.

tanyakan saja pada seekor kucing yang diletakkan di sebuah kotak tertutup bersama sebuah botol berisi racun sianida. pertanyaannya, apakah kucing itu masih hidup? nyatanya Schrödinger muak dengan semua omong kosong ini, lalu menelurkan bahasa:

                    G                               G
                      G                           G
                         G                     G
                            G               G
                               G         G
                                  G   G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G
                                     G

(2021)

Tuesday 15 June 2021

Puisi: Bumi Manusia Tanpa Nama

Malam itu, di kos-kosan, kau melihatku mengunyah kosakata merdeka yang belum matang secara paripurna. Lagi & lagi, tentu dengan gigi curian yang kudapat dari bahasa Sanskerta. “Merdeka itu apa?” begitu katamu dengan nada manja. Terdengar arkais sekaligus manis. “Hmmm apa ya? Mungkin semacam hasrat terpendam dari makhluk berkaki dua tak berbulu yang sering disebut manusia, gairah terdalam setiap hamba, warga negara, budak korporat, sampai masyarakat adat di desa. Maknanya serupa rasa surga di dunia—mungkin juga hanya sekadar utopia: ketidakmungkinan yang diberi alamat kemungkinan oleh kita, manusia, dalam kalimat-kalimat mungkin saja.”

Kau menerawang tanda tanya seraya dikoyak-koyak tata bahasaku. Tapi dengar, dengarlah sayang, dunia biadab ini sepertinya mengidap disabilitas diksi dengan tanda-tanda tuna-rima. Tak semua rasa memiliki bahasa. Tak semua resah memiliki istilah. Hipotesis yang ironis, cenderung fatalis, memang. & terkadang, omong kosong ini berlanjut dengan realitas—yang tiba-tiba menendang esensi merdeka keluar dari jendela pembatas. Lalu kita, harus memberi nafas buatan kepada eksistensi merdeka. Kemudian, berjalan di atas pecahan kaca yang terbuat dari mayat kegagalan dengan sentuhan pesimis yang sudah optimis. Aku ingat, rasanya begitu nendang seperti dihantam Ciu Bekonang, & keras sekali seperti Arak Bali.

Setelah berkontemplasi tiada henti, kau mengajakku untuk menyelami makna agrikultura. Malam kian tenggelam, & sisanya kau habiskan untuk menjambak rambutku. Sontak, Tuhan kabur malam itu. Semasih kau menyebut-nyebut nama-Nya. Bergantian dengan erangan ‘oh ya, oh tidak’. Tidak, gendang telingaku tak kuat menahan lelucon ketika kau melabeli lidahku sebagai Daendels gaya baru. Sungguh, aku tak berminat menjajah tubuhmu dengan roman-roman Cultuurstelsel. Kau meraih ransel di tepi bantal dengan tanganmu. Lihat, tak ada Patriarki dalam sorot mataku. Lantas kau membuka obat tetes mata lalu meneteskannya. Tak ada Misogini pada kedua tanganku. Aku bukan orang yang sadis & kau bahkan bukan masokis.

Namun dari arah bangsal, di samping kos-kosan. Tepatnya dari ketiak jendela, kita melihat para pejabat yang sibuk menyembunyikan bangkai seorang pahlawan. Ah sial, ingin rasanya kubakar dunia ini dengan hipokrisi pemerintah yang tiada habisnya. Persetan dengan itu. Nyatanya, dari pangkal paha sampai pangkal bahumu, tak kutemukan jalan dari Anyer sampai Panarukan. Hanya ketemukan bekas penjajahan di bibirmu. Tapi sejarah selalu ditulis oleh seorang pendusta, sayang. Tak ada bukti kerja paksa di Nusantara, yang ada hanya budaya korupsi. Kompeni tak seburuk yang kita duga. Sejarah negara ini tak sebaik yang kita kira. & bercocok tanam bukan melulu perihal melepaskan seluruh lelah yang masih tersisa.

Papua tak sekadar Isla de Oro alias pulau emas. Seperti yang diungkapkan seorang pimpinan armada laut Spanyol: Alvaro de Saavedra. Tak semudah fitnah yang ditujukan kepada Tan Malaka. Tak sesederhana membaca buku Madilog tanpa dialektika. Komunis tak se-autis yang mereka pikir, percayalah, orang-orang pandir itu bahkan tak bisa membedakan antara Ateisme & Animisme. Antara bacot patriot & miskin logika. Otak mereka terlalu daif, naif, & sakit untuk berpikir secara sehat. Semaun tertawa mendengar ini. Soeharto-lol hengkang dari prosa ini. Bersama ratusan ribu bahkan jutaan nyawa rakyat yang diduga anggota, dicurigai mengikuti partai terlarang, hingga yang tak berdosa pun mati & hilang entah ke mana.

Sejarah tak pernah selesai hanya dengan disimpan, diterka, & ditelusuri. Ia abadi dalam ingatan manusia, dalam benak kita yang bahkan sudah selesai lalu-lalang di lorong waktu. Memaknai sejarah, tak segampang menelan obat antidepresan ketika depresi mengacak-acak ruang pikiran. Mencari merdeka di dalam negara—juga tak semudah mencari De Facto & De Jure, lalu berteriak: “Hore!”. Ada harapan yang menunggu dikonversi menjadi kenyataan. Ada darah yang masih kental di tengah-tengah pertanyaan. Ada air mata yang larut di atas jenazah ruang & waktu. Ada garuda, & kabar buruknya, ia terpenjara dalam sangkar yang sedang terbakar. Aku memintamu, melupakan sejarah beserta bualan yang mengikutinya. 

Aku jengah. Dalam suasana yang masih gundah, dengan terbata-bata kau bertanya di mana merdeka? Entahlah, aku tak tahu di mana ia berada. Namun bagaimana jika kemerdekaan memang tak pernah ada atau sudah mati? & jika bibirmu masih saja memaksakan untuk mengeja merdeka, bolehkah aku melenyapkan bekas-bekas penjajahan bibirnya di bibirmu—lalu menyusun berkas-berkas kemerdekaan yang baru dengan bibirku sebagai proklamatornya?

(2021)

Friday 9 April 2021

Tentang Terorisme, Taklid Buta dan Ketololannya

Notes to Basquiat (1999) by Bennett
Dewasa ini, hidup sudah terlampau rumit dan acak dari sekadar panggung sandiwara. Realitas hidup sudah tak terlalu jelas, ditambah hiperealitas yang kian menggerogoti batas antara kenyataan dan fantasi. Mengaburkan batas antara yang benar-benar nyata dengan yang hanya terlihat nyata.

Ketidakjelasan ini, diperparah dengan kondisi global alih-alih terorisme, hal kecil dari segi sosiokultural hingga ekonomi yang belum juga pulih akibat pandemi sialan bernama “Coronavirus Disease 2019“. Abad ke-21 ini, juga dihantam berbagai bencana kemanusiaan yang kian menebalkan kegamangan, kengerian bahkan penderitaan manusia akhir zaman.

Dan penderitaan zaman kiwari ini semakin tak dapat dipahami, jika yang menderita adalah anak-anak kecil yang tak bersalah, yang masih polos seperti kanvas kosong. Lebih tak masuk akal lagi, jika mereka harus meregang nyawa di atas tanah yang tak pernah membidani kelahiran C4, bedil, bubuk mesiu, dan selongsong peluru.

Terorisme

Sungguh betapa menyedihkannya bila anak kecil dan semua korban yang tak bersalah itu pulang ke pelukan Tuhan dengan tubuh yang tak lengkap, dengan cita-cita yang belum sempat dibuat, dengan naifnya bertanya kepada Tuhan mengapa ada sekumpulan manusia peneror yang dengan bangga menumpahkan kedunguannya pada teras-teras dunia.

Ah, andai kita semua setuju bahwa para teroris itu, jauh lebih buruk dari tahi kotok yang masih hangat-hangatnya, yang keluar dari pantat seekor unggas, yang membawa virus H5N1; jauh lebih aneh dari sebuah fungi, yang mengandung senyawa psikedelik, yang tumbuh subur bersama metana di atas tinja hewan Ruminansia.

Oleh sebab tak ada yang lebih buruk dari seseorang hidup hanya untuk benih-benih kebencian juga menebarkan virus ketakutan, dan tak ada yang lebih aneh dari seekor primata tercerdas yang diberi seperangkat akal yang mutakhir, namun tak pernah menggunakan 1% saja otak kirinya untuk memantik logika.

Hati kecil pun perlahan mengutuk para teroris itu, “ah seharusnya para bajingan itu mendekam di kerak penjara atau di pojokan Unit Gawat Dungu daripada hanya membuat teror, teror dan teror.”

Aksi terorisme, nyatanya, memanglah membuat kita semua bermimpi buruk, khas film horor yang menekan psikis, yang akhirnya membuat kita tak pernah bisa sejenak menghirup udara sejuk nan damai.

Atas alasan itu semua, segala bentuk terorisme harus kita lawan bersama. Dengan pertama-tama menelan pil pahit, bahwa “para teroris itu nyata adanya, memiliki afiliasi dengan agama atau ideologi tertentu (tentu dengan kecenderungan mabuk agama atau ideologi), atau setidaknya menerima kenyataan bahwa seorang Ateis alias seorang yang tak percaya pada Tuhan juga agama, kecil kemungkinan menyianyiakan hidupnya yang sekali, demi melakukan bom bunuh diri.”

Namun apapun alasannya, baik itu karena taklid buta, faktor ekonomi, krisis eksistensial, salah membaca atau hanya membaca satu buku saja, terlalu sulit menanam cinta hingga memilih menanam benci, bermimpi sebagai martir yang diutus langsung oleh Tuhan, mabuk agama sampai jackpot, ingin segera bersanggama dengan tujuh puluh dua bidadari/bidadara dalam keabadian, gagal menafsir makna Eskatologi dari berbagai versi, atau mungkin hanya ingin terlihat sebagai salah satu manusia yang tak hadir saat Tuhan membagikan otak—terorisme tak dapat dibenarkan.

Terorisme, tak boleh kita beri ruang. Sebab kedamaian antar semua makhluk adalah konsekuensi logis dari tak adanya toleransi pada segerombolan manusia pembuat onar (yang tentu saja intoleran). Kita, harus tegas mengkampanyekan persatuan, lebih giat lagi menyuarakan keberagaman dan cinta, lebih gencar lagi memberi edukasi bahwa menjadi teroris adalah masuk neraka jalur prestasi.

“Dengan mengerahkan segenap otot, kita bisa mengalahkan teroris. Tapi dengan membuka secuil otak, kita bisa mengalahkan terorisme.”

Taklid Buta

“Cinta memang buta, tapi taklid buta hanya berakhir dengan gelap mata yang disinari oleh gelap buta.”

Betapa aku ingin tertawa, keras, sangat keras—ketika ada seorang manusia yang percaya bahwa kekerasan dan kebencian dapat mengantarnya ke surga yang memiliki bahan dasar cinta.

Dan betapa aku ingin meludahi muka orang-orang yang berkata bahwa, kebenaran adalah miliknya sendiri; segala sesuatu selainnya dan diluar golongannya adalah kafir, murtad, musyrik, tagut, berskala berhala, sesat sekaligus menyesatkan dan layak dibunuh, titik.

Sialnya, menurut pembacaan mereka yang tak percaya keberadaan dari keberagaman warna di bumi, pelangi dan buku pantone, dunia ini memanglah monokromatik alias hanya terdiri dari satu warna. Atau versi lebih sintingnya lagi, jika dirinya benar, maka selainnya adalah salah. Mengerikan bukan? Lebih mengerikannya lagi, para penaklid buta (dalam konteks ini merujuk pada teroris) itu tak suka iqro, bahkan tak pernah membaca buku dan keadaan.

Taqlid Buta

Andai, sejenak saja mereka meluangkan waktu yang fana ini untuk membaca buku: Membaca filsafat, membaca bahasa, membaca sastra, membaca sains, membaca sejarah, membaca teologi, membaca cinta, membaca gejala dari jelaga, membaca apa saja yang bisa membuat parasut di dalam otaknya terbuka secara sempurna.
Kemudian bangun dari mimpi usangnya perihal membangun surga di hari esok (yang di lain sisi justru menciptakan neraka di hari ini). Lantas menerima kehadiran tujuh koma delapan miliar manusia di muka bumi: dengan lebih dari empat ribu dua ratus macam agama dan kepercayaan yang berbeda; dengan lebih dari tiga ribu Tuhan dan Dewa, dengan berbagai sebutan yang berbeda-beda dalam setiap bahasa.

Lalu menerima fakta, bahwa bumi sendiri hanyalah satu diantara seratus miliar planet yang mengisi galaksi Bima Sakti. Satu di antara sekitar dua ratus miliar galaksi diseluruh semesta. Terdengar utopis memang, tapi kita juga sudah terlalu risih melihat kebobrokan logika di mana-mana.

Menyaksikan betapa tolol, dungu, pandir, dan sintingnya mereka setiap kali merasa berhak menyakiti, menghancurkan bahkan membunuh manusia lainnya. Hanya karena mereka ini yakin dan bertaklid secara butaBahwa, di antara empat ribu dua ratus agama dan kepercayaan; Di antara tiga ribu nama-nama Tuhan; Di antara tujuh koma delapan miliar manusia; Di antara seratus miliar planet; Di antara dua ratus miliar galaksi, hanya merekalah yang paling benar.

Ketololannya

“Dari berbagai ketololan yang ada, Terorisme seharusnya menyandang predikat ketololan terbaik.”

Terbaik dalam melakukan hal-hal buruk. Ah lupakan, mari kita berdoa, panjang umur hal-hal baik. Entahlah, lagipula kita tak pernah tahu apa yang bersemayam di lubuk hati seorang teroris. Tapi yang jelas, itu bukan nurani. Karena tiada nurani yang tega membohongi dirinya sendiri, demi meledakkan apa-apa yang berbeda berbasis ego atas kultus (pemujaan) berlebih atau ketidaktahuan semata.

“Pemujaan yang berlebihan itu tidak sehat.” -Patrick Si Bintang Laut

Sebelum tulisan ini berubah menjadi sumpah-serapah yang tak berujung pangkal, bijaknya aku segera mengakhiri tulisan ini dengan: sekian, semoga semua makhluk berbahagia.

Friday 2 April 2021

Cerpen: Königsberg: Sisa-sisa yang Tersisa (1946)

Di dekat puing-puing gedung opera sekitaran kota Königsberg, yang telah berganti nama menjadi Kaliningradaku menemukan dua botol minuman dan seorang pemabuk. Pemabuk itu nampak seperti orang keturunan semit-ortodoks. Ia mengenakan pakaian usang, sialnya botol-botol minuman yang ku damba itu telah kosong.


Sewaktu itu aku mengenakan jaket khas Slavia, lengkap dengan logo bintang merah di topiku. "Maaf, kamerad ... aku tak tahu menahu perihal Sambia, Polandia, Lituania apalagi Prusia" ujar si pemabuk sembari menunduk hingga hampir kehilangan keseimbangan. "Tapi adakah sesuatu untuk meredakan rasa sakit laknat akibat perang jahanam ini? Semua kebrutalan perang dunia ke-2, bersemayam di dalam kepalaku." tambahnya.

"Yang ku punya hanya botol Vodka tanpa Vodka dan senapan dengan satu peluru untukku bunuh diri." jawabku yang memasang muka kecewa lantaran botol-botol di dekat si pemabuk telah kosong. Tiba-tiba si pemabuk mengukur kaliber senapanku dengan jarinya. 

"Tidak, ini terlalu kecil untuk melubangi kepalamu, bahkan tak cukup untuk menuntaskan selamat tinggal pada kegilaan di dalam kepalaku," ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kukira, peluru itu hanya akan membuatmu serasa di Gulag, dan si mungil itu akan membuatku semakin kesakitan bukannya mati bahagia." pungkasnya.

Pemabuk itu menyandarkan punggung pada tiang lampu yang sudah berkarat dan tergelincir ke posisi duduk, lalu mencoba memandangi gedung opera yang sudah hancur tak berbentuk dengan tatapan nanar. "Jika aku tahu ... Akhirnya akan seperti ini, sungguh akan kubunuh si sinting Hitler sejak bayi," ceracaunya sendiri.


"Aku kehilangan semuanya, yang kudapatkan hanya kesakitan, kesakitan dan kesakitan." ucapnya lirih. Semasih aku mencengkeram botol kosongku di tangan kanan dan senapanku di tangan kiri. 


"Aku tak peduli ... Pada Wehrmacht apalagi tentara merah! O carpe diem aku membutuhkanmu saat ini, untuk kembali utuh tak mungkin rasanya." sambungnya dengan nada berapi lalu dipeluk melankoli.


Merasa frustrasi, aku membanting botol Vodka di tangan kananku ke tanah, lalu menginjaknya hingga remuk. "Tak ada yang tersisa di kota mati ini!" teriakku seraya memandangi si pemabuk itu. "Aku juga kehilangan segalanya, bahkan aku kehilangan istri dan anak-anakku ... Kemenangan Soviet hanyalah kemenangan Soviet, bukan kemenanganku." tambahku.


"Maaf kamerad, kau sepertinya harus Amorfati ... Atau mungkin tepatnya kita, bukan kau saja" ujar pemabuk itu, yang terlihat seperti kesurupan Nietzsche.


"Maaf? Maksudmu melanjutkan hidup yang sudah tak ada artinya ini?" tanyaku sembari menatap matanya dengan lugas. 


"Ya, lagipula bunuh diri takkan mengisi kekosongan makna dari hidup ini ... Ars longa vita bre ..." belum sempat ia melanjutkan, tiba-tiba ia meraih tangan kiriku dan merampas senapanku.


"DUARRRRrrrrrr!!!!" si pemabuk itu menembakkan satu-satunya peluruku, tepat di dahinya. Tak lama, tubuhnya yang ringkih itu rubuh. Ambruk. Si pemabuk telah tewas. Darahnya mengalir memenuhi pecahan botol Vodka-ku.


"Ah sialan, pada akhirnya, ternyata aku yang benar-benar mati." celotehku pada diriku sendiri, seraya memandangi kota Königsberg yang kini sudah benar-benar tak tersisa.