Friday 2 April 2021

Cerpen: Königsberg: Sisa-sisa yang Tersisa (1946)

Di dekat puing-puing gedung opera sekitaran kota Königsberg, yang telah berganti nama menjadi Kaliningradaku menemukan dua botol minuman dan seorang pemabuk. Pemabuk itu nampak seperti orang keturunan semit-ortodoks. Ia mengenakan pakaian usang, sialnya botol-botol minuman yang ku damba itu telah kosong.


Sewaktu itu aku mengenakan jaket khas Slavia, lengkap dengan logo bintang merah di topiku. "Maaf, kamerad ... aku tak tahu menahu perihal Sambia, Polandia, Lituania apalagi Prusia" ujar si pemabuk sembari menunduk hingga hampir kehilangan keseimbangan. "Tapi adakah sesuatu untuk meredakan rasa sakit laknat akibat perang jahanam ini? Semua kebrutalan perang dunia ke-2, bersemayam di dalam kepalaku." tambahnya.

"Yang ku punya hanya botol Vodka tanpa Vodka dan senapan dengan satu peluru untukku bunuh diri." jawabku yang memasang muka kecewa lantaran botol-botol di dekat si pemabuk telah kosong. Tiba-tiba si pemabuk mengukur kaliber senapanku dengan jarinya. 

"Tidak, ini terlalu kecil untuk melubangi kepalamu, bahkan tak cukup untuk menuntaskan selamat tinggal pada kegilaan di dalam kepalaku," ujarnya sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Kukira, peluru itu hanya akan membuatmu serasa di Gulag, dan si mungil itu akan membuatku semakin kesakitan bukannya mati bahagia." pungkasnya.

Pemabuk itu menyandarkan punggung pada tiang lampu yang sudah berkarat dan tergelincir ke posisi duduk, lalu mencoba memandangi gedung opera yang sudah hancur tak berbentuk dengan tatapan nanar. "Jika aku tahu ... Akhirnya akan seperti ini, sungguh akan kubunuh si sinting Hitler sejak bayi," ceracaunya sendiri.


"Aku kehilangan semuanya, yang kudapatkan hanya kesakitan, kesakitan dan kesakitan." ucapnya lirih. Semasih aku mencengkeram botol kosongku di tangan kanan dan senapanku di tangan kiri. 


"Aku tak peduli ... Pada Wehrmacht apalagi tentara merah! O carpe diem aku membutuhkanmu saat ini, untuk kembali utuh tak mungkin rasanya." sambungnya dengan nada berapi lalu dipeluk melankoli.


Merasa frustrasi, aku membanting botol Vodka di tangan kananku ke tanah, lalu menginjaknya hingga remuk. "Tak ada yang tersisa di kota mati ini!" teriakku seraya memandangi si pemabuk itu. "Aku juga kehilangan segalanya, bahkan aku kehilangan istri dan anak-anakku ... Kemenangan Soviet hanyalah kemenangan Soviet, bukan kemenanganku." tambahku.


"Maaf kamerad, kau sepertinya harus Amorfati ... Atau mungkin tepatnya kita, bukan kau saja" ujar pemabuk itu, yang terlihat seperti kesurupan Nietzsche.


"Maaf? Maksudmu melanjutkan hidup yang sudah tak ada artinya ini?" tanyaku sembari menatap matanya dengan lugas. 


"Ya, lagipula bunuh diri takkan mengisi kekosongan makna dari hidup ini ... Ars longa vita bre ..." belum sempat ia melanjutkan, tiba-tiba ia meraih tangan kiriku dan merampas senapanku.


"DUARRRRrrrrrr!!!!" si pemabuk itu menembakkan satu-satunya peluruku, tepat di dahinya. Tak lama, tubuhnya yang ringkih itu rubuh. Ambruk. Si pemabuk telah tewas. Darahnya mengalir memenuhi pecahan botol Vodka-ku.


"Ah sialan, pada akhirnya, ternyata aku yang benar-benar mati." celotehku pada diriku sendiri, seraya memandangi kota Königsberg yang kini sudah benar-benar tak tersisa.