Showing posts with label translasi. Show all posts
Showing posts with label translasi. Show all posts

Tuesday 13 September 2022

Cigarettes After Sex (Interviu Translasi)

interviu Music&Riots Magazine (Issue 23 - The Innovators Issue) bersama Greg Gonzalez—dipublikasikan pada 30 Oktober 2017—dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Bayangkan sebuah film romantis-melankolis berwarna hitam & putih—seperti itulah Cigarettes After Sex terdengar. Sang vokalis, Greg Gonzalez, memulai band ini pada tahun 2008, tetapi baru pada tahun 2015—melalui single “Affection”—mereka sukses meledak. CAS baru saja mengeluarkan album self-titled yang mengesankan & kami memiliki kesempatan untuk berbincang-bincang dengan Gonzalez.

Penginterviu: Anda merintis Cigarettes After Sex pada tahun 2008. Beri tahu kami apa yang membuat Anda memulai proyek ini.

Gonzalez: Aku memulainya pada tahun 2008 & itu dimulai sebagai proyek solo yang kubuat berdasarkan kompilasi beberapa lagu. Sejak saat itu “suara-solo” tersebut berevolusi-berkembang pesat & menjadi sebuah band sekitar tahun 2015.

Penginterviu: Anda mempelajari musik di University of Texas, El Paso, tetapi kemudian Anda pindah ke Brooklyn & mulai bekerja sebagai musisi & mengelola bioskop (Teater Beekman di Upper East Side Manhattan). Musik Anda memiliki pendekatan sinematik, film apa/mana yang berdampak pada Anda saat menulis lagu?

Gonzalez: Kurasa, hal fundamental yang aku sering pikirkan untuk suara Cigarettes After Sex adalah film La double vie de Véronique/The Double Life of Veronique (1991) yang disutradarai Kieślowski & juga L'Avventura (1960) karya Antonioni. Kupikir, kedua film tersebut memiliki semacam keindahan misterius; keduanya sangat sensual, visualnya begitu mengagumkan, & musiknya amat cantik. Mengandung & memberikan semacam perasaan eksotik juga. Aku benar-benar menyukainya. Aku pikir mereka meringkas perasaan Cigarettes After Sex untukku. Kedua film itu adalah film yang murung & romantis.

Penginterviu: Adakah referensi musik lain yang penting dalam proses produksi musik Anda?

Gonzalez: Kupikir yang utama adalah musik Françoise Hardy hanya karena musiknya terdengar begitu murni & indah … Dia adalah penyanyi favoritku, lagu-lagu seperti “All Over The World” & “Voilà” sangat mengesankan. Tapi juga band-band seperti The Paris Sisters & semacam grup gadis lembut awal tahun 60-an, Julee Cruise & hal-hal yang dia lakukan untuk Twin Peaks. Cocteau Twins juga berpengaruh besar.

Penginterviu: Beri tahu kami tentang lineup band saat ini & bagaimana mereka bergabung dengan Anda.

Gonzalez: Aku bertemu keyboardis, Phillip Tubbs, di El Paso, dia sebenarnya dari kampung halamanku juga & dia bermain gitar untuk waktu yang lama. Dia gitaris di EP pertama. Setelahnya para anggota lain mulai masuk. Aku kembali memegang gitar & dia menjadi keyboardis, lalu aku bertemu drummer, Jacob Tomsky, & bassis, Randy Miller. Aku melihat mereka bermain di band lokal & kupikir mereka hebat & mereka memang begitu menakjubkan. Aku benar-benar meminta mereka untuk bergabung. Mereka sudah menjadi penggemar CAS sebelum mereka masuk, jadi itu hal yang keren juga. Begitu mereka bergabung, semuanya berada pada tempatnya. Kupikir setiap orang menjadi sempurna dalam masing-masing peran. Setiap orang memiliki tempat penting mereka sendiri dalam band.

Penginterviu: Meskipun Cigarettes After Sex dibentuk pada tahun 2008, hanya pada tahun 2015 ada kesuksesan impresif secara online dengan lagu “Affection” & mengarah pada penemuan kembali EP debut Anda, I, yang dirilis pada tahun 2012. Bagaimana Anda merefleksikan kembali hal itu?

Gonzalez: Itu aneh. Rasanya itu seperti datang dalam waktu yang lama. Aku seperti merasakan di dalam hatiku tahu bahwa sesuatu akan terjadi suatu hari nanti. Aku tahu bahwa musik yang kubuat memiliki kualitas dalam beberapa hal & kupikir itu benar, tetapi aku tidak benar-benar melihat hasilnya. Aku hanya melihat beberapa orang yang akan mengatakan bahwa mereka menyukainya, tetapi tidak pernah seperti sekarang, di mana ada banyak penggemar yang menyukainya. Aku hanya merasa akan terjadi sesuatu suatu hari nanti & itu terjadi dengan cara yang sangat aneh—YouTube adalah sesuatu yang tidak kuduga, sebab CAS menjadi viral. Aku benar-benar berpikir bahwa mungkin kami akan menandatangani kontrak dengan sebuah label, merilis rekaman & mendapatkan ulasan yang bagus & kemudian semuanya lepas landas, tetapi yang terjadi adalah kebalikannya, di mana kami melewatkan semua itu & orang-orang menyukai musik kami karena mereka mendengarnya entah bagaimana, dengan cara yang paling acak. Tapi menurutku itu luar biasa. Itu benar-benar lebih baik, sebab orang memilih untuk mendengarkan musiknya sendiri, mereka tidak harus mendengarnya dari orang lain yang mengatakan “Kamu harus mendengarkan ini”. Mereka memutuskan untuk memilih itu karena alasan tertentu—berdasarkan sampul album—atau nama—atau apa pun. Sungguh hal yang keren bagaimana musik berubah & bagaimana hal-hal semacam ini terjadi sekarang.

Penginterviu: Salah satu yang estetik dari CAS adalah karya seni hitam-putih Anda yang minimalis namun mampu menarik perhatian. Apa yang menarik Anda untuk memilih citra itu?

Gonzalez: Aku menyukai film hitam-putih saat aku tumbuh dewasa & melihat seberapa dalam fotografi menjadi benar-benar indah seperti Citizen Kane (1941), hanya film hitam-putih yang indah ini yang kutonton. Aku pikir ada sesuatu yang kuat untuk itu & begitu kami membuat EP & musiknya selesai digarap, aku mencari sampul album & aku melihat karya Man Ray, & ketika aku menggabungkan musik dengan sampul albumnya, keduanya terasa sangat sempurna. Keduanya seperti saling melengkapi. Hal semacam itu muncul & begitu aku melihatnya, aku berpikir, “Inilah yang harus kita lakukan”. Aku tidak bisa benar-benar melihatnya dengan cara lain. Aku benar-benar berpikir bahwa sejujurnya, hitam & putih hanya terlihat lebih romantis. Ada sesuatu tentang itu yang lebih dreamlike (terasa seperti mimpi), jadi aku memutuskan untuk tetap dengan itu & kupikir ada sesuatu yang kuat tentang itu.

Penginterviu: Anda baru saja merilis full-length pertama Anda & ini adalah upaya yang mendalam, intim, & melankolis-romantis. Ini luar biasa. Ceritakan sedikit tentang bagaimana pendekatan penulisan untuk itu.

Gonzalez: Sesuatu yang aneh terkait ini adalah ditulis selama 5 tahun, karena ada lagu-lagu yang kupunya di El Paso yang kami coba rekam sebagai sebuah band, tetapi tidak berjalan baik. Lantas kami melakukannya lagi setahun setelahnya & akhirnya kami menemukan versi yang tepat, seperti lagu “Flash” yang merupakan lagu lama. & kemudian ada hal-hal yang benar-benar baru. “K” adalah lagu yang lebih baru, itu ditulis tepat sebelum kami masuk ke rekaman. Lagu seperti “Truly” juga lebih baru. Hal tentang itu adalah aneh bahwa itu mencakup periode 5 tahun hidupku secara otobiografi & itu adalah periode waktu yang panjang & semuanya ditulis dalam waktu yang sangat berbeda. Beberapa lagu ditulis di El Paso, beberapa ditulis di Brooklyn & beberapa ditulis tahun lalu ketika aku sedang tur seperti di Paris atau Praha. Aku suka itu sedikit acak. [tertawa]
“Aku hanya mencoba untuk hidup semaksimal mungkin, setiap hari. & jika aku romantis dengan seseorang, aku suka jika keromantisanku itu menjadi sesuatu yang patut dikenang.”
—Greg Gonzalez, Vokalis Cigarettes After Sex


Penginterviu: EP I Anda direkam di tangga empat lantai di kampus Anda, University of Texas di El Paso. Saya membaca lagu “Each Time You Fall in Love” direkam di tangga juga. Bagaimana rasanya merekam album debut Anda?

Gonzalez: Masalahnya adalah bahwa aku menyukai ide untuk melakukan rekaman di lokasi yang aneh & tangga adalah yang pertama & kemudian kami masuk & hanya melakukan semacam latihan normal di ruangan itu untuk “Affection” di EP. Aku memiliki akses ke tangga yang ada di bioskop yang sedang kukerjakan saat itu & aku hanya berpikir, “Ayo masuk ke sana untuk mencoba beberapa lagu & lihat bagaimana suaranya” & untungnya “Each Time You Fall In Love” dimainkan dengan baik & kami pikir kami harus menggunakannya. Itu sangat mirip jika aku menemukan lokasi yang bagus, kami hanya akan mencoba beberapa lagu. Hanya menggunakan lokasi sebagai semacam karakteristik gaya rekaman.

Penginterviu: Apakah ada lagu lain dari album yang direkam di lokasi berbeda selain studio?

Gonzalez: Tidak, hanya yang itu. “Each Time You Fall In Love” direkam di tangga & sisanya dilakukan selama 3 hari di Brooklyn di ruang latihan, sama seperti kami merekam “Affection”. Kupikir “Affection” direkam dengan sangat baik sehingga pada dasarnya seperti template untuk album. Aku berpikir, “Lagu ini terdengar hebat, jadi mari kita coba melakukan seluruh rekaman di sana,” itulah sebabnya kami kembali karena masuk akal untuk melakukannya di sana.

Penginterviu: Anda sangat personal & mendalam dengan lirik lagu Anda. Selalu ada getaran romantis & nostalgia untuk itu. Bagaimana biasanya Anda memulai proses penulisan lirik?

Gonzalez: Bagiku, aku hanya mencoba untuk hidup semaksimal mungkin, setiap hari. & jika aku romantis dengan seseorang, aku suka jika keromantisanku itu menjadi sesuatu yang patut dikenang. [tertawa]. Aku hanya memiliki itu & bagaimana hidupku berjalan & ketika aku duduk & menggambar apa pun yang terjadi padaku, semuanya sedikit banyak memengaruhiku. Aku hanya perlu menggali kembali sebagian besar kenangan & memikirkan hal-hal menyenangkan saat aku bersama seseorang & membayangkan bahwa sekarang hal itu telah hilang. Aku pikir kesedihan itu berasal dari kenyataan bahwa kau memiliki ingatan yang baik & indah di masa lalu, tetapi ada semacam kesedihan tentangnya karena masa-masa indah itu sekarang telah pergi, terasa jauh bahkan jika kau punya ingatan yang baik. Ada banyak lagu yang sebenarnya adalah lagu yang sangat manis jika kau memikirkannya, tetapi lagu-lagu itu masih terlihat sedih karena kenangan di dalamnya dari masa lalu & kebahagiaannya hilang & kau hanya berada di masa sekarang. Aku pikir itulah yang membuat musik sedih. Tidak selalu sedih—terkadang sedih, terkadang tidak—tapi lagu-lagu itu tetaplah lagu yang sangat manis.

Penginterviu: Lagu pembuka, “K”, adalah lagu yang sangat memesona & menarik. Bisakah Anda ceritakan tentang latar belakang lagu tersebut?

Gonzalez: Aku sedang melihat perempuan ini. Aku di New York & dia di El Paso. Kami baru saja melakukan sesuatu yang sangat intens & itu adalah hubungan jarak jauh. Aku menulis lagu “Affection” tentang dia karena … Jika kau mendengarkan bait kedua dari “Affection”, lagu tersebut mengatakan “We love to talk about how you’ll come up to visit me/& we’ll rent a car & we’ll drive upstate”, jadi itu adalah lagu untuknya sebelum dia berkunjung. & kemudian “K” sebenarnya adalah saat dia datang berkunjung. Pada dasarnya, seperti semacam sekuel dari “Affection”. “K” menceritakan ketika dia datang ke New York & kami menjalani minggu yang menyenangkan bersama, tetapi ketika itu berakhir, kami bertemu untuk melihat satu sama lain saling meninggalkan & itu sedikit menyakitkan. “K” adalah akhir.

Penginterviu: Apakah sulit bagi Anda untuk mengungkapkan perasaan itu & memainkannya di lagu Anda berulang kali? Bagaimana perasaan Anda tentang itu?

Gonzalez: Aku merasa beruntung bahwa lagu-laguku ditulis berdasarkan kenyataan & kupikir itu selalu membuatku emosional ketika aku berada di atas panggung. Jika kami memainkan lagu seperti “Nothing’s Gonna Hurt You Baby” atau “K”, yang harus kulakukan hanyalah memejamkan mata & aku dapat melihat ingatan itu. Aku bisa kembali bersama dengan perempuan itu, aku bisa kembali menari di ruang tamu dengan pacarku … Banyak penonton juga membuatku emosional karena aku dapat melihat bahwa musik kami bermakna bagi mereka hanya dengan melihat wajah mereka. Aku senang bahwa aku tidak harus berusaha terlalu keras, adalah wajar & natural jika memiliki perasaan dalam seperti ini & itu tidak memudar.

Penginterviu: Secara keseluruhan, album debut Anda terasa seperti soundtrack film retro-romantis, yang mencengkram Anda sepanjang waktu. Jika Cigarettes After Sex adalah soundtrack film, film apakah itu?

Gonzalez: Ini sulit. Aku banyak mengubah jawabanku, tetapi kupikir itu harus menjadi soundtrack dari film favoritku, yaitu The Red Shoes (1948) besutan Michael Powell & Emeric Pressburger, hanya karena film itu tentang romansa yang intens & film yang mewah. Aku akan sangat tersanjung entah bagaimana musik dalam film itu memiliki intensitas yang sama. Aku mungkin akan mengubah jawabanku setiap hari.  [tertawa]

*****

Monday 5 September 2022

ABCD Eksistensi Mendahului Esensi (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.

Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.

Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung

Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).

Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.

Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung

Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.

Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.

Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.

Tiadanya Tuhan

Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.

Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.

Individual namun Bertanggung Jawab

Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.

Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.

Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain. 

Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.

*****

Sedikit Catatan

Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".

Sumber Literatur

Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956

Thursday 1 September 2022

Mitos Penciptaan à la Mitologi Yunani: Hesiodos, Homeros, & Orfisme (Esai Translasi)


Artwork by Tony Futura

Artikel ditulis oleh Marta Fatica, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Tidak ada mitos penciptaan yang tunggal dalam mitologi Yunani. Hesiodos, Homeros, & Orfisme—mereka menarasikan mitos-mitosnya tentang bagaimana dunia, para dewa, & manusia tercipta—dengan versi yang berbeda-beda.

Mitos penciptaan adalah bagian fundamental dari semua agama & mitologi. Menjelaskan 5W + 1H dunia diciptakan, & meletakkan fondasi untuk mitologi yang terkonstruksi dengan baik. Di beberapa kebudayaan, kisah penciptaan bersifat konkret & terekam dengan apik, seperti dalam Kitab Kejadian yang digunakan oleh kepercayaan Abrahamik. Namun, di Yunani kuno, mitos penciptaan, seperti banyak mitos Yunani lainnya, sangat bervariasi & berbeda-beda satu sama lainnya. Hesiodos mengisahkan mitos penciptaan yang paling lengkap & terkenal, sedangkan tradisi Homeros menciptakan jembatan antara tradisi yang lebih tua dengan Hesiodos. Tradisi Orfik, atau Orfisme, memberikan penjelasan yang sangat berbeda tentang penciptaan dunia & umat manusia.

Berikut adalah variasi mitos penciptaan Yunani, seperti yang diriwayatkan melalui tradisi Hesiodos, Homeros, & Orfisme.

Mitos Penciptaan Yunani: Hesiodos & Mitos Penciptaan Pertama

Pseudo-Seneca (now thought to be a bust of Hesiod), via Museo Archeologico Nazionale di Napoli
Kisah lengkap pertama tentang mitos penciptaan Yunani dapat ditemukan dalam buku Theogony/Theogonia (circa 7-8 SM) karya Hesiodos—di buku itu ia menggambarkan penciptaan dunia, para dewa-dewi, & umat manusia melalui medium puisi. Antologi puisi tersebut adalah yang paling menonjol dari buku-bukunya yang lain, bahkan menjadi mitos penciptaan yang terpanjang & komprehensif. Dimulai dengan Hymn to the Muses, Theogony menceritakan kisah alam semesta yang dimulai ketika hanya ada satu kondisi primordial, hingga penciptaan wanita. Puisi Hesiodos lainnya, Works and Days, berisi mitos tentang penciptaan pria & wanita, tetapi secara keseluruhan bukan merupakan mitos penciptaan.

Hesiod and the Muse by Gustave Moreau, 1891, via Museum d’Orsay
Pada mulanya, hanya ada Chaos, kondisi primordial. Keunggulan Chaos sebagai kondisi primordial & mendahului makhluk primordial adalah signifikan secara mitologis & secara filosofis. Dari Chaos muncullah Gaia (Tanah/Bumi), Tartarus/Tartaros (Dunia Bawah), Eros (Gairah/Hasrat), Erebus/Erebos (Kegelapan), & Nyx/Niks (Malam). Mereka kemudian menciptakan makhluk primordial lain, seperti Hemera (Siang), Uranus (Langit/Surga), & Pontus (Laut).

Gaia menjadikan putranya, Uranus, sebagai suaminya & melahirkan Dua Belas Titan, serta enam anak yang mengerikan. Uranus memenjarakan anak-anaknya yang mengerikan, yang membuat Gaia sangat murka. Untuk menghukum Uranus, Gaia meminta anak-anak Titannya untuk menyerang ayah mereka dengan sabit. Ini memulai siklus anak menggulingkan ayah, yang dikenal sebagai 'Mitos Suksesi.' 'Mitos Suksesi' diulang beberapa kali dalam Theogony, serta dalam mitologi Yunani.

Birth of Venus by William Bouguereau, 1879, via Museum d’Orsay
Chronos/Kronos (titan waktu), Titan termuda, mengebiri & menggulingkan ayahnya atas nama ibunya, & para Titan menggantikan Uranus sebagai penguasa alam semesta. Ketika Kronos mengebiri ayahnya, alat kelamin Uranus jatuh ke laut & berubah menjadi buih laut. Dari buih laut ini muncullah Aphrodite/Afrodit (dewi cinta, kecantikan, seksualitas, kenikmatan, & prokreasi), entah di pulau Cythera atau Siprus, yang merupakan pusat pemujaan dewi-dewi.

Saturn by Francisco Goya, 1823, via Museo Nacional del Prado
Kronos & Rhea/Rea (titan kesuburan, keibuan, & keturunan) kemudian memiliki enam anak: Hestia (dewi perapian & keluarga), Poseidon (dewa laut, gempa bumi, & kuda), Hera (dewi pernikahan & perempuan), Hades (dewa dunia bawah & kekayaan), Demeter (dewi kesuburan, panen, & tanaman), & Zeus (dewa langit & petir). Ketika Kronos menggulingkan ayahnya, ia tahu bahwa salah satu anaknya ditakdirkan untuk menggulingkannya & para Titan sebagai penguasa alam semesta. Untuk mencegah hal ini, Kronos melahap lima anak pertamanya begitu mereka terlahir. Rea tentu murka, lantas ia, bersama dengan Gaia yang juga marah karena Kronos memenjarakan saudara-saudaranya yang mengerikan, menyusun rencana untuk menggulingkan Kronos. Ketika Zeus lahir, Rea menyembunyikannya & memberi Kronos batu untuk ditelan. Zeus kemudian bisa tumbuh besar & bersembunyi dari ayahnya yang paranoid. Akhirnya, dengan bantuan para Titan lainnya, Rea & Zeus memaksa Kronos untuk memuntahkan anak-anaknya yang lain.

Zeus & saudara-saudaranya, bersama dengan anak-anak Gaia yang mengerikan, melawan para Titan dalam apa yang dikenal sebagai Perang Titan: Titanomachy/Titanomakhia. Perang berlangsung selama sepuluh tahun & berakhir dengan ditetapkannya para dewa Olympian sebagai penguasa langit & bumi. Para Titan yang berpihak pada dewa-dewi Olymphus/Olympian diberi hadiah, sedangkan sisanya dilemparkan ke Tartarus/Tartaros. Titanomakhia adalah kelanjutan dari 'Mitos Suksesi,' tatkala Zeus menggulingkan ayahnya. Menurut tradisi ini, Zeus ditakdirkan untuk digulingkan oleh putranya melalui Metis, yang dia hindari dengan menelannya & melahirkan Athena.

Pandora by Odilon Redon, 1912 via National Gallery of Art, Chester Dale Collection
Meskipun Theogony tidak menggambarkan penciptaan pria, tetapi ia menceritakan tentang penciptaan wanita. Pandora, wanita pertama, diciptakan sebagai hukuman bagi pria oleh Zeus & para dewa. Prometheus, salah satu Titan yang berpihak pada dewa-dewi Olympian, tidak mematuhi Zeus & malah membantu umat manusia dengan memberikan api. Zeus memutuskan untuk menghukum Prometheus & manusia karena kecerobohannya sendiri. Maka, para dewa, khususnya Hephaestus/Hefaistos & Athena, menurukan Pandora kepada umat manusia. Hesiodos menyatakan bahwa Pandora, & kaum wanita pada umumnya, itu jahat & menyebabkan penderitaan bagi pria. Dengan kisah Pandora, Hesiodos menceritakan mitos penciptaan, dari kelahiran para dewa hingga manusia purba di dalam Theogony.

Dalam Works and Days, puisinya yang lain, Hesiodos menyatakan bahwa umat manusia diciptakan berkali-kali oleh para Titan & dewa-dewa Olympian. Para Titan menempa Zaman Keemasan manusia, & para dewa Olympian menempa Zaman Perak, Zaman Perunggu, Zaman Pahlawan, & Zaman Besi. Hesiodos menceritakan apa yang terjadi pada setiap generasi manusia hingga generasi saat ini, Zaman Besi. Zaman Pahlawan adalah generasi manusia dalam Iliad/Ilias & Odyssey/Odisseia karya Homeros. Works and Days melengkapi mitos penciptaan à la Hesiodik.

Homeros: Genealogi yang Berbeda untuk Para Dewa

Portrait Bust of Homer, 2nd Century BC via The British Museum
Homeros, mungkin bisa dikatakan sebagai penyair Yunani paling terkenal, ia adalah penyair buta pseudo-legendaris yang dikaitkan dengan Iliad & Odyssey. Kini dipahami oleh sebagian besar akademisi bahwa Homeros sebagai manusia tidaklah nyata, karya-karya yang dikaitkan dengannya adalah puncak dari tradisi lisan selama bertahun-tahun. Tradisi Homeros tidak memiliki mitos penciptaan yang berkembang sepenuhnya, tetapi menyebutkan penciptaan para dewa. Ada dua cara utama untuk melihat bahwa tradisi Homeros & Hesiodik itu berbeda.

Female Figures from the Parthenon, 438-432 BC, via The British Museum
Dalam Iliad, epos Homeros tentang Perang Troya, Afrodit adalah putri Zeus & Dione.  Dalam Book V, Afrodit digambarkan berlari ke ibunya, Dione, setelah terluka dalam pertempuran. Ini merupakan asal muasal yang sangat berbeda untuk Afrodit, yang Hesiodos gambarkan lahir dari buih laut setelah kejadian pengebirian Uranus. Tradisi Hesiodik adalah versi Afrodit yang lebih dikenal luas & lebih bisa diterima secara luas.

Jupiter Beguiled by Juno on Mount Ida by James Barry, 1799, via The Graves Gallery
Perbedaan paling kentara adalah tradisi Homeros mengenai asal usul para dewa. Selama "Penipuan Zeus" dalam Book XIV, Hera dua kali mengacu pada Oceanus/Okeanos (titan lautan & samudra) & Typhus/Typhon sebagai pasangan primordial, bukan Gaia & Uranus. Menurut Theogony, Okeanos & Typhon adalah para Titan yang melahirkan dewa sungai & laut. Kedua referensi ini menunjukkan distingsi besar antara tradisi Hesiodik & Homeros tentang mitos penciptaan Yunani.

Tradisi Okeanos & Typhon, dua dewa air, yang disebutkan dalam Iliad bisa menjadi rujukan ke mitos penciptaan Yunani sebelumnya: mitos Eurynome/Eurinome. Dalam mitos penciptaan ini, Eurynome & Ophion/Ofion muncul dari Chaos (kekacauan) & menciptakan telur kosmik—dari telur itu dunia & para dewa tercipta. Ada hubungan antara Okeanos-Typhon & kisah penciptaan Eurynome, & tradisi Homeros dapat dilihat sebagai kelanjutan dari mitos penciptaan ini. Tradisi-tradisi ini mendahului Theogony & Works and Days karya Hesiodos, yang memperjelas perbedaan-perbedaan antara mitos penciptaan.

Tradisi Orfik: Mitos Penciptaan yang Sangat Berbeda

Orpheus and Eurydice by Auguste Rodin, 1893, via The Metropolitan Museum of Art
Orfisme adalah agama misterius dari Yunani yang katanya didirikan oleh Orpheus/Orfeus, seorang penyair legendaris. Mitos & agama penciptaan Orfik secara keseluruhan berkisar pada dewa Dionysus/Dionisos & kebangkitannya, bersama dengan reinkarnasi jiwa. Tidak ada satu teks yang mengikatnya sebagai agama, tetapi himne & catatan tentang Orfisme memungkinkan kita untuk memahami mitos penciptaannya.

Karena tidak ada teks tunggal dalam Orfisme, banyak variasi dari mitos penciptaan ini. Banyak intelektual percaya bahwa Orfisme dipengaruhi oleh ide-ide Timur, yang sejalan dengan keyakinan bahwa Dionisos adalah dewa asing.

Dalam mitos penciptaan Orfik, Chronos/Kronos, personifikasi primordial waktu, menciptakan Aether/Aither (Langit), Chaos (Kekacauan), & telur-kosmik-perak. Dengan pendekatan ini, tradisi Orfik dari telur kosmik hampir identik dengan mitos penciptaan Eurynome. Penting untuk dicatat bahwa Kronus & Kronos adalah dua entitas yang terpisah. Dari telur kosmik muncul Phanes/Fanes, juga dikenal sebagai Eros, Phanes-Dionysus/Fanes-Dionisos, & Protogynous/Protogonos. Fanes kemudian melahirkan apa yang di Hesiod adalah makhluk primordial, pertama Niks & kemudian Gaia, Uranus, dll. Sehingga, dalam mitos penciptaan Orfik, Fanes adalah pencipta dunia, bukan Chaos.

Bacchus by Caravaggio, 1597, via The Uffizi Gallery Museum
Tokoh kunci dalam Orfisme, Dionisos, awalnya lahir sebagai putra Zeus & Persephone/Persefone—& bernama Zagreus. Zeus menunjuk Zagreus sebagai penggantinya. Ini menandai perbedaan pertama dari mitos penciptaan Hesiodik, yang berfokus pada 'Mitos Suksesi.' Dalam tradisi Hesiodik, Zeus tidak ingin digantikan & menghindari penggulingan kekuasaan oleh putranya.

Hera, cemburu karena Zagreus disebut sebagai penerus Zeus, meyakinkan para Titan untuk membunuh anak itu. Para Titan merobek & memakan Zagreus. Sebagai hukuman, Zeus menyerang para Titan dengan petirnya, mengubahnya menjadi abu, & mengambil jantung Zagreus.

Dalam beberapa kisah kebangkitan Dionisos, Zeus menghamili Semele dengan jantung Zagreus, & Semele pun melahirkan Dionisos. Di tempat lain, Zeus menanamkan jantung ke pahanya sendiri, & dari situ Dionisos pun lahir. Ada juga kisah tentang dewa lain, Athena & Apollo, yang berperan dalam kebangkitan Dionisos & mendapatkan gelar khusus dalam agama Orfisme. Mitos Orfik memiliki kesamaan dengan asal-usul Dionisos yang lebih 'tradisional', yang selalu berputar-putar di sekitar narasi dewa yang dilahirkan sebanyak dua kali.

Orphic Gold Pendant, 3rd Century BC, via The British Museum
Di Orfisme, umat manusia diciptakan dari abu para Titan & Zagreus. Kisah penciptaan ini mengilhami umat manusia dengan unsur keilahian. Tradisi Orfik menyatakan bahwa jiwa manusialah yang ilahi—sebab berasal dari abu Zagreus, sedangkan tubuh manusia penuh dosa sebab berasal dari abu para Titan. Gagasan tentang jiwa ilahi, serta reinkarnasinya, adalah inti dari ritus & agama Orfisme.

Mitos penciptaan ini sangat berbeda dari mitos Hesiodos, di mana beberapa generasi manusia diciptakan oleh para dewa. Selain itu, perbedaan mencolok antara mitos penciptaan Hesiodos & Orfisme dapat dilihat sebagai perbedaan antara puisi-mitologis & agama. Mitos penciptaan Orfik berfungsi untuk menjelaskan ritus & praktik agama, sedangkan Theogony adalah sebentuk teks yang bernarasi secara puitis.

Mengapa Mitos Penciptaan Ini Berbeda-beda?

Olympus. The Battle of the Giants by Francisco Bayeu, 1768, via Museo Nacional del Prado
Agama di Yunani kuno adalah kumpulan sekte, praktik, & kepercayaan yang memiliki dewa & mitos yang tumpang tindih. Saat pengaruh baru datang-pergi, dewa & cerita masuk ke dalam kanon Yunani & menciptakan mitos yang kontras. Perbedaan antara ketiga mitos penciptaan ini, & berbagai mitos lainnya yang ditemukan di Yunani kuno, dapat dikaitkan dengan kurangnya agama yang bersifat tunggal atau kurangnya sumber yang bisa dijadikan pegangan utama.

*****

Sumber Literatur
How Did the World Begin? 3 Greek Creation Myths – TheCollector: https://www.thecollector.com/greek-creation-myths/

Saturday 27 August 2022

Ateisme dan Eksistensialisme (Esai Translasi)

Pandemonium (1841) by Martin
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha


Meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak teolog Kristen dan bahkan beberapa teolog Yahudi telah menggunakan tema-tema eksistensialis dalam tulisan-tulisan mereka, adalah fakta bahwa eksistensialisme jauh lebih mudah dan lebih umum diasosiasikan dengan ateisme—daripada dengan jenis teisme apa pun, entah Kristen atau yang lainnya. Tidak semua ateis adalah eksistensialis, tetapi seorang eksistensialis agaknya punya tendensi untuk menjadi ateis daripada menjadi teis—dan ada alasan bagus untuk ini.


Pernyataan paling definitif tentang eksistensialisme ateistik kiranya berasal dari tokoh paling menonjol dalam eksistensialisme ateistik itu sendiri, Jean-Paul Sartre, dalam kuliahnya yang diterbitkan pada format buku berjudul L'existentialisme est un humanisme/Existentialism Is a Humanism (1946):


“Eksistensialisme ateistik, yang saya representasikan, menyatakan dengan konsistensi yang lebih besar bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada satu makhluk yang keberadaannya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsepsi apa pun. Makhluk itu adalah manusia ...”


Filsafat Eksistensialisme


Ateisme adalah keseluruhan sisi dari filsafat Sartre, dan bahkan, dia berpendapat bahwa ateisme adalah konsekuensi yang diperlukan bagi siapa pun yang mendalami eksistensialisme secara serius. Ini tidak berarti bahwa eksistensialisme menghasilkan argumen-argumen filosofis yang menentang keberadaan tuhan atau menyangkal argumen-argumen teologis dasar tentang keberadaan tuhan—itu bukan jenis hubungan yang dimiliki oleh eksistensialisme dan ateisme.


Sebaliknya, hubungan itu lebih merupakan masalah kesesuaian dalam hal suasana hati dan kecenderungan. Tidak perlu bagi seorang eksistensialis untuk menjadi seorang ateis, tetapi lebih mungkin untuk menciptakan "kecocokan" yang lebih kuat dengan ateisme—ketimbang dengan teisme. Ini karena banyak tema-tema yang paling umum dan fundamental dalam eksistensialisme lebih masuk akal di alam semesta yang tidak memiliki tuhan— ketimbang di alam semesta yang dipimpin oleh tuhan yang mahakuasa, mahatahu, mahahadir, dan mahabaik.


Maka, eksistensialisme ateistik seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre bukanlah posisi yang diperoleh setelah penelusuran filosofis dan refleksi teologis, melainkan diterima sebagai konsekuensi dari mengambil gagasan-gagasan dan sikap-sikap tertentu pada kesimpulan logisnya.


Tema Utama


Yang selalu menjadi tema utama dalam filsafat Sartre adalah "kemenjadian" dan eksistensi manusia: Apa artinya kemenjadian dan apa artinya menjadi manusia? Menurut Sartre, tidak ada sifat mutlak, tetap, abadi—yang sesuai dengan kesadaran manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia dicirikan oleh “ketiadaan”—apa pun yang kita klaim sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah ciptaan kita sendiri, seringkali melalui proses memberontak-melawan batasan-batasan eksternal.


Inilah kondisi kemanusiaan—kebebasan mutlak di dunia. Sartre menggunakan frasa "l'existence précède l'essence/eksistensi mendahului esensi" untuk menjelaskan gagasan ini, kebalikan dari metafisika tradisional dan konsepsi tentang sifat realitas. Kebebasan ini, pada gilirannya, memproduksi kecemasan dan ketakutan karena, tanpa Tuhan, umat manusia dibiarkan sendiri dan tanpa sumber arah atau tanpa tujuan eksternal.


Maka, perspektif eksistensialis “cocok” dengan ateisme karena eksistensialisme menganjurkan pemahaman tentang dunia bahwa tuhan tidak memiliki peran signifikan untuk "dimainkan". Di dunia ini, manusia dilemparkan kembali pada diri mereka sendiri untuk menciptakan makna dan tujuan melalui pilihan-pilihan pribadi mereka—ketimbang menemukannya melalui hubungan erat dengan kekuatan-kekuatan irasional di luar dirinya (tuhan).


Kesimpulan


Namun, ini tidak berarti bahwa eksistensialisme dan teisme atau eksistensialisme dan agama sama sekali tidak sejalan. Terlepas dari filsafatnya, Sartre selalu mengklaim bahwa keyakinan agama tetap bersamanya—mungkin bukan sebagai ide intelektual—melainkan sebagai komitmen emosional. Dia menggunakan bahasa-bahasa (bercorak) agama dan citraan-citraan agama di seluruh tulisannya dan cenderung memandang agama secara positif, meskipun dia tidak percaya adanya tuhan dan menolak kebutuhan akan tuhan sebagai dasar keberadaan manusia.


*****


Sumber Literatur


Existentialist Philosophy and Atheistic Thought (Not all atheists are existentialists, but an existentialist is probably more likely to be atheistic than theistic—and there are good reasons for this) – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/atheism-and-existentialism-250975

Agama sebagai Candu Masyarakat (Esai Translasi)

Opium of the masses (2018) by Ricardo Dominguez


Karl Marx adalah seorang filsuf Jerman yang mencoba mengkaji agama dengan objektif, dari perspektif ilmiah. Analisis dan kritik Marx terhadap agama "Die Religion ... ist das Opium des Volkesis/Agama adalah candu masyarakat"—mungkin salah satu yang paling terkenal dan paling banyak dikutip oleh teis dan ateis. Sayangnya, sebagian besar dari mereka yang mengutip tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud Marx, mungkin karena pemahaman yang tidak lengkap mengenai teori umum Marx tentang ekonomi dan masyarakat.

Pandangan Naturalistik tentang Agama

Banyak orang di berbagai bidang ingin sekali menjelaskan tentang agama—asal-usulnya, perkembangannya, dan bahkan pengaruh kuatnya dalam masyarakat modern. Sebelum abad ke-18, sebagian besar jawaban dibingkai semata-mata dalam istilah teologis dan agama, dengan asumsi kebenaran pewahyuan Kristen dan kelanjutannya dari titik tersebut. Namun sepanjang abad ke-18 dan ke-19, pendekatan yang lebih “naturalistik” mulai berkembang.

Marx sebenarnya sangat sedikit berbicara tentang agama secara langsung; dalam semua tulisannya, dia hampir tidak pernah membahas agama secara sistematis, meskipun dia sering bersentuhan dengan agama dalam buku-buku, pidato-pidato, dan pamflet-pamflet. Alasannya adalah bahwa kritiknya terhadap agama hanya merupakan satu bagian dari keseluruhan teorinya tentang masyarakat—sehingga, memahami kritiknya terhadap agama memerlukan beberapa pemahaman tentang kritiknya terhadap masyarakat secara umum.

Menurut Marx, agama adalah ekspresi dari realitas material dan ketidakadilan ekonomi. Dengan demikian, masalah dalam agama pada akhirnya menjadi masalah dalam masyarakat. Agama bukanlah penyakit, tetapi hanya gejala (tanda dari penyakit). Agama digunakan oleh penindas untuk membuat masyararakat merasa lebih baik atas kesusahan yang mereka alami karena menjadi miskin dan dieksploitasi. Inilah asal mula anggapannya bahwa agama adalah “candu masyarakat”—tetapi seperti yang akan kita lihat, pemikirannya jauh lebih kompleks daripada yang biasa digambarkan.


Latar Belakang

Untuk memahami kritik Marx terhadap agama dan teori ekonomi, penting untuk memahami sedikit tentang dari mana dia berasal, latar belakang filosofisnya, dan bagaimana dia sampai pada beberapa keyakinannya tentang budaya dan masyarakat.


Teori Ekonomi

Bagi Marx, ekonomi adalah dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia, sumber yang menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang diduga mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi. Semua institusi yang menonjol dalam kehidupan kita sehari-hari—pernikahan, tempat ibadah, pemerintahan, seni, dll.—hanya bisa benar-benar dipahami jika ditinjau dalam relasinya dengan kekuatan ekonomi.


Analisis Agama

Menurut Marx, agama adalah salah satu institusi sosial yang bergantung pada realitas material dan ekonomi dalam suatu masyarakat tertentu. Ia tidak memiliki sejarah yang berdikari, tetapi justru merupakan makhluk dari kekuatan-kekuatan produktif. Seperti yang ditulis Marx, “Dunia religius hanyalah refleksi dari dunia nyata.”

Semenarik dan seedukatif apapun analisis dan kritik Marx, bukan berarti analisis dan kritik itu bebas dari masalah—sejarah dan ekonomi. Karenanya, tidaklah bijak untuk menerima gagasan-gagasan Marx secara tidak kritis. Meskipun dia pasti memiliki beberapa hal penting untuk dikatakan tentang sifat-sifat dasar agama, Marx tidak dapat diterima sebagai solusi terakhir terkait masalah ini.


Biografi

Karl Marx lahir pada tanggal 5 Mei 1818, di kota Trier, Jerman. Keluarganya adalah Yahudi, tetapi kemudian menjadi Protestan pada tahun 1824 untuk menghindari persekusi dari undang-undang anti-Semit. Untuk alasan ini, Marx muda menolak agama sejak dini dan menyatakan dengan sangat jelas bahwa dia adalah seorang ateis.

Marx belajar filsafat di Bonn dan kemudian di Berlin, di mana ia berada di bawah pengaruh Georg Wilhelm Friedrich von Hegel. Filsafat Hegel memiliki pengaruh besar atas pemikiran dan teori-teori Marx kedepannya. Hegel adalah seorang filsuf yang rumit, tetapi adalah mungkin untuk menggambar garis besar yang kasar atas pemikirannya agar kita mampu memahaminya.

Hegel adalah bapak dialektika idealis, dan seseorang yang dikenal sebagai “idealis”—menurutnya, hal-hal mental (ide, konsep) adalah fundamental bagi dunia, bukan materi. Hal-hal material hanyalah ekspresi dari ide-ide—khususnya, dari “Roh Universal” atau “Ide Absolut” yang mendasarinya.


Hegelian Muda

Marx bergabung dengan “Hegelian Muda” (bersama Bruno Bauer dan lainnya) yang tidak hanya sebagai pengikut, tetapi juga sebagai kritikus Hegel. Meskipun mereka setuju bahwa pemisahan antara pikiran dan materi adalah masalah filosofis yang fundamental, mereka berpendapat sebaliknya, bahwa gagasan sebenarnya hanyalah ekspresi dari kebutuhan akan material. Apa yang secara fundamental nyata tentang dunia adalah kekuatan material, bukan ide dan konsep—kekuatan material ini adalah jangkar dasar, yang di kemudian hari menjadi titik pangkal semua gagasan Marx.

Dua gagasan penting yang dikembangkan oleh Marx perlu disebutkan di sini: Pertama, bahwa realitas ekonomi merupakan faktor penentu bagi semua perilaku manusia; dan kedua, bahwa semua sejarah manusia adalah perjuangan kelas antara mereka yang memiliki alat-alat produksi dan mereka yang tidak memilikinya—sehingga harus bekerja terus menerus demi bertahan hidup. Ini adalah konteks di mana semua institusi sosial manusia berkembang, termasuk agama.

Setelah menyelesaikan kuliahnya, Marx pindah ke Bonn, dan berharap menjadi profesor, tetapi karena adanya konflik kefilsafatan dengan Hegel, Ludwig Feuerbach dipecat pada tahun 1832 dan tidak diizinkan untuk kembali ke universitas pada tahun 1836. Marx melupakan idenya untuk melanjutkan karir akademiknya. Pada tahun 1841 pemerintah juga melarang Profesor muda Bruno Bauer untuk mengajar di Bonn. Pada awal tahun 1842, kaum radikal di Rhineland (Cologne), yang berafiliasi dengan kaum Hegelian Kiri, mendirikan surat kabar yang menentang pemerintah Prusia, yang disebut Rheinische Zeitung. Marx dan Bruno Bauer diundang untuk menjadi kontributor utama, dan pada Oktober 1842 Marx menjadi Pemimpin Redaksi Rheinische Zeitung dan pindah dari Bonn ke Cologne. Kelak, jurnalistik menjadi pekerjaan utama Marx untuk sebagian besar hidupnya.


Bertemu Friedrich Engels

Setelah kegagalan berbagai gerakan revolusioner di kontinen (Eropa terkecuali Inggris) itu, Marx terpaksa pergi ke London pada tahun 1849. Perlu dicatat bahwa Marx tidak bekerja sendiri di sebagian besar hidupnya—ia mendapat bantuan dari Friedrich Engels yang telah, secara mandiri, mengembangkan teori Determinisme Ekonomi yang sangat mirip dengan milik Marx. Keduanya memiliki pemikiran yang sama dan bekerja sama dengan sangat baik—Marx adalah filsuf yang lebih baik sementara Engels adalah komunikator yang lebih baik.

Meskipun gagasan-gagasan itu kemudian berdiri atas nama “Marxisme”, harus selalu diingat bahwa Marx tidak menggagasnya seorang diri. Engels juga penting bagi Marx dalam hal finansial—kemiskinan sangat membebani Marx dan keluarganya; jika bukan karena bantuan keuangan Engels yang terus-menerus dan tanpa pamrih, Marx tidak hanya tidak akan mampu menyelesaikan sebagian besar karya utamanya, tetapi juga mungkin menyerah pada kelaparan dan kekurangan gizi.

Marx menulis dan belajar secara terus-menerus, tetapi kesehatan yang buruk mencegahnya menyelesaikan dua jilid terakhir Capital (yang kemudian dikumpulkan oleh Engels dari catatan Marx). Istri Marx meninggal pada 2 Desember 1881, dan pada 14 Maret 1883, Marx meninggal dengan tenang di kursinya. Dia dikuburkan di sebelah istrinya di Highgate Cemetery, London.


Pandangan Marx tentang Agama

Menurut Marx, agama hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan sistem sosial lain dan struktur ekonomi masyarakat. Faktanya, agama hanya bergantung pada ekonomi, tidak ada yang lain—sehingga doktrin agama yang sebenarnya hampir tidaklah relevan. Ini adalah interpretasi fungsionalis agama: pemahaman agama bergantung pada apa tujuan sosial dari agama itu sendiri (sebagai sesuatu yang melayani), bukan bergantung pada isi dari keyakinan agama yang memang irasional.

Marx berpendapat bahwa agama adalah ilusi yang memberikan alasan dan dalih untuk menjaga agar masyarakat berfungsi sebagaimana adanya. Sama seperti kapitalisme yang merampas kerja-kerja produktif kita dan mengalienasi kita dari nilai-nilainya, agama mengambil cita-cita dan aspirasi tertinggi kita dan mengasingkan kita darinya, memproyeksikannya ke makhluk asing dan tidak dapat diketahui yang disebut tuhan.

Marx memiliki tiga alasan untuk tidak menyukai agama:

•Pertama, nonsens—agama adalah delusi dan pemujaan terhadap penampilan yang menghindari pengenalan realitas yang mendasarinya.

•Kedua, agama menegasikan semua yang bermartabat dalam diri manusia dengan menjadikan manusia budak dan lebih bisa menerima status quo. Di dalam kata pengantar disertasi doktoralnya, Marx mengadopsi kata-kata dari pahlawan Yunani, Prometheus, yang menantang para dewa-dewi untuk membawa api bagi umat manusia: "aku benci semua dewa-dewi," dengan tambahan bahwa mereka "tidak mengakui kesadaran manusia sebagai keilahian tertinggi."

•Ketiga, agama itu hipokrit (munafik). Meskipun mungkin menganut prinsip-prinsip yang berharga, agama berpihak kepada para penindas. Yesus menganjurkan membantu orang miskin, tetapi gereja Kristen bergabung dengan negara Romawi yang menindas, turut ambil bagian dalam perbudakan selama berabad-abad. Pada Abad Pertengahan, Gereja Katolik berkhotbah tentang surga, tetapi merampas properti dan kekuasaan sebanyak mungkin.

Martin Luther berkhotbah tentang kemampuan setiap individu untuk menafsirkan Alkitab, tetapi berpihak kepada penguasa aristokrat dan melawan petani yang berjuang memerangi penindasan sosio-ekonomi. Menurut Marx, bentuk baru Kekristenan ini, Protestantisme, adalah produksi kekuatan ekonomi baru ketika kapitalisme awal berkembang. Realitas ekonomi baru membutuhkan suprastruktur agama baru yang dapat dibenarkan dan dipertahankan.


Jantung dari Dunia yang Kejam

Pernyataan Marx yang paling terkenal tentang agama berasal dari kritik terhadap Filsafat Hukum Hegel:

Kesengsaraan agama pada saat yang sama merupakan ekspresi sekaligus protes dari kesengsaraan yang nyata. Agama adalah desahan makhluk yang tertindas, jantung dari dunia yang kejam, sebagaimana ia adalah spirit dari situasi tanpa spirit. Agama adalah candu masyarakat.

•Penghapusan agama sebagai kebahagiaan semu masyarakat diperlukan untuk kebahagiaan sejati mereka. Permintaan untuk melepaskan ilusi tentang kondisinya adalah permintaan untuk menyerahkan kondisi yang membutuhkan ilusi.

Ini sering disalahpahami, mungkin karena bagian lengkapnya jarang digunakan: huruf tebal di atas menunjukkan apa yang biasanya dikutip. Huruf miring adalah teks di dalam bentuk aslinya. Dalam beberapa hal, kutipan tersebut disajikan secara tidak jujur ​​karena mengatakan “Agama adalah desahan makhluk yang tertindas …” mengesampingkan bahwa itu juga merupakan “jantung dunia yang kejam.” Teks ini lebih merupakan kritik terhadap masyarakat yang sudah terlampau kejam dan bahkan merupakan pengesahan parsial terhadap agama yang berusaha menjadi jantungnya. Terlepas dari ketidaksukaannya dan kemarahannya terhadap agama, Marx tidak menjadikan agama sebagai musuh utama para pekerja dan para komunis. Seandainya Marx menganggap agama sebagai musuh yang lebih serius, dia akan mencurahkan lebih banyak waktu untuk menulis tentang itu.

Marx mengatakan bahwa agama dimaksudkan untuk menciptakan fantasi palsu bagi orang miskin. Realitas ekonomi menghalangi mereka untuk menemukan kebahagiaan sejati dalam hidup ini, maka agama memberi tahu orang miskin bahwa semua baik-baik saja karena mereka akan menemukan kebahagiaan sejati di akhirat nanti (kehidupan selanjutnya). Bukan berarti Marx tidak prihatin: orang-orang dalam kesusahan dan agama memang memberikan penghiburan, seperti halnya orang-orang yang terluka secara fisik menerima bantuan dari obat-obatan berbasis zat opiat.

Masalahnya adalah zat opiat gagal memperbaiki cedera fisik—orang miskin hanya melupakan rasa sakit dan penderitaannya itu untuk sementara waktu. Akan tetapi, jauh lebih baik jika mereka juga mencoba mengatasi penyebab rasa sakit yang mendasarinya. Demikian pula, agama tidak mengatasi penyebab yang mendasari rasa sakit dan penderitaan orang-orang—sebaliknya, agama membantu mereka melupakan mengapa mereka menderita dan menyebabkan mereka menantikan masa depan imajiner ketika rasa sakit itu berhenti—ketimbang berusaha mengubah keadaannya secepat mungkin. Lebih buruk lagi, “obat” ini dipegang oleh para penindas yang bertanggung jawab atas rasa sakit dan penderitaan mereka.

Kendala Analisis Agama Marx

Marx tidak menghabiskan banyak waktu untuk melihat agama secara umum; sebaliknya, ia berfokus pada agama yang paling ia kenal, Kristen. Pandangannya berlaku untuk agama-agama lain dengan doktrin serupa tentang tuhan yang mahakuasa dan kehidupan setelah kematian yang mahabahagia, yang tidak berlaku untuk agama yang berbeda secara radikal. Di Yunani kuno dan Roma, misalnya, kehidupan setelah kematian yang mahabahagia disediakan untuk para pahlawan sementara orang-orang biasa hanya bisa berharap dan menantikan bayangan dari keberadaan duniawi mereka menjadi lebih baik. Mungkin dia dipengaruhi, dalam hal ini oleh Hegel, yang berpikir bahwa Kekristenan adalah bentuk agama tertinggi dan bahwa apa pun yang dikatakan tentang itu juga secara otomatis berlaku untuk agama-agama “lebih rendah”—itu keliru.

Masalah kedua adalah klaimnya bahwa agama sepenuhnya ditentukan oleh realitas material dan ekonomi. Tidak hanya tidak ada hal lain yang cukup fundamental untuk memengaruhi agama, tetapi pengaruh tidak dapat berjalan ke arah lain, dari agama ke realitas material dan ekonomi. Ini tidak benar. Jika Marx benar, maka kapitalisme akan muncul di negara-negara sebelum Protestantisme karena Protestantisme adalah sistem agama yang diciptakan oleh kapitalisme—tetapi kita tidak menemukan ini. Reformasi Protestan hadir di Jerman pada abad ke-16 masihlah bersifat feodal;  kapitalisme yang sesungguhnya tidak muncul sampai abad ke-19. Hal ini menyebabkan Max Weber berteori bahwa institusi keagamaan pada akhirnya menciptakan realitas ekonomi baru. Bahkan jika Weber salah, kita melihat bahwa seseorang dapat membantah kebalikan dari Marx dengan bukti sejarah yang jelas.

Masalah terakhir lebih bersifat ekonomi daripada agama—tetapi karena Marx menjadikan ekonomi sebagai dasar bagi semua kritiknya terhadap masyarakat, masalah apa pun dengan analisis ekonominya akan memengaruhi gagasannya yang lain. Marx menempatkan penekanannya pada konsep nilai, yang hanya dapat diciptakan oleh kerja-kerja manusia, bukan mesin. Hal ini memiliki 2 kekurangan.


Cacat dalam Menempatkan dan Mengukur Nilai

Pertama, jika Marx benar, maka industri padat karya akan menghasilkan lebih banyak nilai lebih (dan karenanya lebih banyak keuntungan) daripada industri yang kurang mengandalkan tenaga kerja manusia dan lebih banyak mengandalkan mesin. Tapi kenyataannya justru sebaliknya. Paling-paling, pengembalian investasi adalah sama—apakah pekerjaan itu dilakukan oleh manusia atau mesin. Cukup sering, mesin memungkinkan lebih banyak keuntungan daripada manusia.

Kedua, pengalaman umum bahwa nilai suatu objek yang diproduksi tidak terletak pada kerja-kerja yang dimasukkan ke dalamnya, tetapi pada estimasi subjektif dari calon pembeli. Secara teori, seorang pekerja dapat mengambil sepotong kayu mentah yang indah dan, setelah berjam-jam, menghasilkan patung yang sangat jelek. Jika Marx benar bahwa semua nilai berasal dari kerja, maka pahatan seharusnya memiliki nilai lebih dari kayu mentah. Objek hanya memiliki nilai dari apa pun yang akhirnya bersedia dibayar oleh seorang pembeli; beberapa mungkin membayar lebih untuk kayu mentah, beberapa mungkin membayar lebih untuk sebuah patung yang jelek.

Teori nilai kerja Marx dan konsep nilai lebih sebagai penggerak eksploitasi dalam kapitalisme adalah fondasi fundamental yang menjadi dasar semua idenya. Tanpa itu, keluhan moralnya terhadap kapitalisme akan rumpang, dan sisa-sisa filsafatnya akan runtuh. Dengan demikian, analisisnya tentang agama menjadi sulit untuk dipertahankan atau diterapkan, setidaknya dalam bentuk sederhana yang ia gambarkan.

Kaum Marxis telah mencoba dengan gagah berani untuk menolak kritik tersebut atau merevisi ide-ide Marx untuk membuat mereka kebal terhadap masalah yang dijelaskan di atas, tetapi mereka belum sepenuhnya berhasil (walaupun mereka tentu saja tidak setuju—jika tidak, mereka tidak akan tetap menjadi Marxis).


Melihat-Melampaui Kecacatan Marx

Untungnya, kita tidak sepenuhnya terbatas pada formulasi sederhana Marx. Kita tidak perlu membatasi diri pada gagasan bahwa agama hanya bergantung pada ekonomi dan tidak ada yang lain, bahwa doktrin agama yang sebenarnya hampir tidak relevan. Sebaliknya, kita dapat mengenali bahwa ada berbagai pengaruh sosial terhadap agama, termasuk realitas ekonomi dan material masyarakat. Dengan cara yang sama, agama dapat, pada gilirannya, memiliki pengaruh pada sistem ekonomi masyarakat.

Apa pun kesimpulan seseorang tentang keakuratan atau validitas ide-ide Marx tentang agama, kita harus mengakui bahwa ia memberikan jasa yang tak ternilai dengan memaksa orang-orang untuk melihat jaringan sosial di mana agama selalu ada. Dengan adanya pemikiran Marx, adalah tidak mungkin untuk mempelajari agama tanpa juga mengeksplorasi hubungannya dengan berbagai kekuatan sosial dan ekonomi. Kehidupan spiritual manusia tidak dapat lagi dianggap lepas dari kehidupan materialnya.


Pandangan Linier Sejarah

Bagi Karl Marx, faktor penentu dasar sejarah manusia adalah ekonomi. Menurutnya, manusia—bahkan sejak awal mulanya—tidak dimotivasi oleh gagasan-gagasan besar, melainkan oleh kepentingan materi, seperti kebutuhan untuk makan dan bertahan hidup. Ini adalah premis dasar dari pandangan materialis tentang sejarah. Pada awalnya, orang-orang bekerja bersama dalam satu kesatuan.

Namun akhirnya, manusia menemukan-mengembangkan agrikultur dan konsep kepemilikan pribadi. Kedua fakta ini menciptakan pembagian kerja dan pemisahan kelas berdasarkan kekuasaan dan kekayaan. Hal ini, pada gilirannya, menciptakan konflik sosial di tengah-tengah masyarakat.

Semua ini diperburuk oleh kapitalisme yang hanya meningkatkan kesenjangan antara kelas pemodal yang borjuis dan kelas buruh yang proletar. Konfrontasi di antara mereka tidak dapat dihindari karena kelas-kelas itu didorong oleh kekuatan sejarah di luar kendali siapa pun. Kapitalisme juga menciptakan satu kesengsaraan baru: eksploitasi nilai lebih.


Kapitalisme dan Eksploitasi

Bagi Marx, sistem ekonomi yang ideal akan melibatkan pertukaran nilai yang setara untuk nilai yang sama, di mana nilai ditentukan hanya oleh jumlah pekerjaan yang dimasukkan ke dalam apa pun yang sedang diproduksi. Kapitalisme menginterupsi cita-cita ini dengan memperkenalkan motif keuntungan—keinginan untuk menghasilkan pertukaran yang tidak merata dari nilai yang lebih rendah untuk nilai yang lebih besar. Laba pada akhirnya diperoleh dari akumulasi nilai lebih yang dihasilkan oleh para pekerja di pabrik-pabrik.

Seorang buruh mungkin menghasilkan nilai yang cukup untuk memberi makan keluarganya dalam 2 jam kerja, tetapi dia tetap bekerja selama sehari penuh—dalam waktu Marx, itu mungkin 12 atau 14 jam. Jam-jam ekstra tersebut mewakili nilai lebih yang dihasilkan oleh pekerja. Pemilik pabrik bahkan tidak melakukan apa pun untuk mendapatkan nilai lebih ini, tetapi tetap mengeksploitasi para pekerjanya dan menyimpan selisihnya sebagai keuntungan.

Dalam konteks ini, Komunisme dengan demikian memiliki 2 tujuan: Pertama, ia diharapkan untuk menjelaskan realitas-realitas ini kepada orang-orang yang tidak menyadarinya; kedua, ia seharusnya memanggil orang-orang di kelas buruh untuk bersiap menghadapi konfrontasi dan revolusi. Penekanan pada praksis ketimbang sekadar renungan filosofis ini adalah poin penting Marx. Seperti yang dia tulis dalam Tesisnya yang terkenal tentang Feuerbach: “Para filsuf hanya menafsirkan dunia, dalam berbagai cara; intinya, bagaimanapun, adalah bagaimana mengubahnya.”


Masyarakat

Dengan demikian, ekonomi merupakan dasar dari semua kehidupan dan sejarah manusia—menghasilkan pembagian kerja, perjuangan kelas, dan semua institusi sosial yang seharusnya mempertahankan status quo. Institusi-institusi sosial itu adalah suprastruktur yang dibangun di atas dasar ekonomi, sepenuhnya bergantung pada realitas material dan ekonomi, tidak ada yang lain.

Marx memiliki kata khusus untuk semua pekerjaan yang dilakukan untuk mengembangkan institusi-institusi tersebut: ideologi. Orang-orang yang bekerja dalam sistem itu—mengembangkan seni, teologi, filsafat, dll.—membayangkan bahwa ide-ide itu berasal dari keinginan untuk mencapai kebenaran atau keindahan, tetapi hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Pada kenyataannya, hal-hal tersebut adalah ekspresi kepentingan kelas dan konflik kelas. Mereka adalah cerminan dari kebutuhan mendasar untuk mempertahankan status quo dan melestarikan realitas ekonomi saat ini. Ini tidak mengejutkan—sebab mereka yang berkuasa selalu ingin membenarkan dan mempertahankan kekuatan-kekuatan itu.

*****

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sumber Literatur:

Religion as Opium of the People (Karl Marx) – Learn Religions