Showing posts with label translasi. Show all posts
Showing posts with label translasi. Show all posts

Saturday 13 August 2022

Mengapa Nietzsche “Putus” dengan Wagner? (Esai Translasi)

Dari sekian banyak orang yang ditemui Friedrich Nietzsche, seorang komposer bernama Richard Wagner (1813-1883), tanpa diragukan lagi, adalah seseorang yang paling berkesan baginya. Seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak orang, Wagner seusia dengan ayah Nietzsche, dan dengan demikian ia dapat menjadi semacam pengganti ayah bagi sarjana muda yang berusia 23 tahun itu ketika mereka pertama kali bertemu pada tahun 1868. Tapi yang benar-benar penting bagi Nietzsche adalah bahwa Wagner seorang jenius-kreatif, jenis individu yang, dalam pandangan Nietzsche, menerima dunia dan semua penderitaannya.

Nietzsche dan Wagner

Sejak usia dini, Nietzsche sangat menggilai musik, dan pada saat masih menjadi mahasiswa, di sisi lain, dia juga seorang pianis yang piawai, yang mampu membuat rekan-rekannya terkesan dengan kemampuannya improvisasinya. Pada tahun 1860-an, Wagner sedang naik daun. Pada tahun 1864, dia mulai mendapat dukungan Raja Ludwig II dari Bavaria; Tristan und Isolde ditayangkan perdana pada tahun 1865, The Meistersingers ditayangkan perdana pada 1868, Das Rheingold pada 1869, dan Die Walküre pada 1870. Meskipun kesempatan untuk melihat pertunjukan opera begitu sulit dan terbatas, baik karena faktor geografis ataupun finansial, Nietzsche dan teman-teman mahasiswanya telah menguasai piano score dari Tristan dan menjadi pengagum berat dari apa yang mereka anggap sebagai “musik masa depan”.

Nietzsche dan Wagner menjadi akrab setelah Nietzsche mulai mengunjungi Wagner, istrinya Cosima, dan anak-anak mereka di Tribschen (distrik di kota Lucerne, Swiss tengah), sebuah rumah indah di samping Danau Lucerne, sekitar dua jam perjalanan kereta dari Basel tempat Nietzsche menjadi profesor filologi klasik. Pandangan mereka berdua tentang kehidupan dan musik, sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer. Schopenhauer memandang bahwa hidup pada dasarnya tragis, ia menekankan nilai-nilai seni untuk membantu manusia mengatasi kesengsaraan eksistensi, dan memberikan tempat tertinggi kepada musik sebagai ekspresi paling murni dari ‘Kehendak’ yang tiada habisnya, yang mendasari wajah dunia dan merupakan inti terdalam dari dunia.

Wagner telah banyak menulis tentang musik dan budaya secara umum, dan Nietzsche berbagi antusiasme bersama Wagner dengan mencoba merevitalisasi budaya melalui bentuk seni yang baru. Di bukunya yang pertama kali diterbitkan, The Birth of Tragedy (1872), Nietzsche berpendapat bahwa tragedi Yunani lahir “dari gairah musikal,” didorong oleh dorongan “Dionysian” yang gelap dan irasional yang, ketika dikekang oleh prinsip keteraturan “Apollonian“, pada akhirnya memunculkan tragedi besar penyair seperti Aeschylus dan Sophocles. Tapi kemudian tendensi rasionalis yang terlihat dalam drama Euripides, dan terutama dalam pendekatan filsafat Socrates, datang mendominasi, sehingga membunuh dorongan kreatif di balik tragedi Yunani. Apa yang dibutuhkan saat ini, Nietzsche menyimpulkan, adalah seni Dionysian baru untuk memerangi dominasi rasionalisme Socrates. Bagian penutup buku ini mengidentifikasi dan memuji Wagner sebagai harapan terbaik, sebagai penyelamat untuk mengatasi masalah semacam ini.

Wagner dan Cosima bahkan menyukai buku tersebut. Pada saat itu, Wagner sedang menyelesaikan Der Ring des Nibelungen-nya seraya berusaha mengumpulkan uang untuk membangun gedung opera baru di Bayreuth (kota otonom di Bayern, Jerman), di mana operanya dapat dipentaskan dan seluruh festival yang didedikasikan untuk karyanya dapat dilangsungkan. Meskipun antusiasmenya terhadap Nietzsche dan tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi begitu tulus, Wagner juga melihat Nietzsche sebagai seseorang yang dapat berguna baginya sebagai pembela perjuangannya di kalangan akademisi. Nietzsche, yang paling luar biasa darinya, diangkat menjadi profesor pada usia 24 tahun, sehingga mendapat dukungan dari ‘bintang’ yang tampaknya sedang naik daun ini akan menjadi hal yang sangat menguntungkan Wagner.

Cosima juga memandang Nietzsche, sebagaimana dia memandang semua orang, dapat membantu atau bahkan membahayakan misi dan reputasi suaminya.

Tapi Nietzsche, betapapun ia sangat menghormati Wagner dan musiknya, dan meskipun ia sangat mungkin jatuh cinta pada Cosima, ia memiliki ambisinya sendiri. Meskipun dia bersedia menjalankan tugas-tugas yang diberikan Wagner untuk sementara waktu, Nietzsche menjadi semakin kritis terhadap egoisme sombong Wagner. Setelahnya, keraguan dan kritik ini menyebar dan dia berpura-pura menerima ide, musik, dan tujuan dari Wagner.

Wagner adalah seorang anti-Semit, memendam keluhan terhadap Prancis yang pada akhirnya memicu kebencian pada budaya Prancis, dan bersimpati pada nasionalisme Jerman. Pada tahun 1873, Nietzsche berteman dengan Paul Rée, seorang filsuf berdarah Yahudi yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Darwin, ilmu-ilmu materialistik, dan esais Perancis seperti La Rochefoucauld. Meskipun Rée tidak memiliki akar yang sama dengan Nietzsche, dia jelas mempengaruhinya. Sejak saat itu, Nietzsche mulai memandang filsafat Prancis, sastra Prancis, dan musik-musik Perancis dengan penuh rasa simpatik. Selain itu, alih-alih melanjutkan kritiknya terhadap rasionalisme Socrates, ia mulai memuji pandangan saintifik, sebuah pergeseran yang diperkuat oleh pembacaannya terhadap History of Materialism karya Friedrich Lange.

Pada tahun 1876 festival Bayreuth pertama berlangsung. Wagner menjadi sorotan utama, tentu saja. Nietzsche awalnya akan berpartisipasi secara penuh, tetapi pada saat acara itu berlangsung, ia menemukan pemuja Wagner, adegan fanatisme sosial yang ingar-bingar, berputar-putar, datang dan perginya para selebriti, dan Nietzsche merasakan suasana di sekitarnya tidak menyenangkan. Karena alasan kesehatan yang memburuk, dia meninggalkan acara itu untuk sementara waktu, lalu kembali untuk mendengar beberapa pertunjukan, tetapi pada akhirnya tetap pergi sebelum acaranya benar-benar selesai.

Pada tahun yang sama, Nietzsche menerbitkan buku keempatnya dari “Untimely Meditations”, berjudul: Richard Wagner in Bayreuth. Meskipun sebagian besar isinya terasa antusias dan bergairah, ada ambivalensi yang nyata dalam sikap penulis terhadap subjeknya. Esai di buku itu menyimpulkan, misalnya, dengan mengatakan bahwa Wagner “bukanlah nabi masa depan, seperti yang mungkin ingin dia tampilkan kepada kita, tetapi seorang penafsir dan penyampai klarifikasi masa lalu.” Hampir tidak ada pujian yang berbunyi bahwa Wagner adalah penyelamat budaya Jerman.

Kemudian pada tahun 1876, Nietzsche dan Rée tinggal di Sorrento (kota kecil di Italia) pada waktu yang sama dengan Wagner. Mereka menghabiskan cukup banyak waktu bersama, tetapi ada beberapa ketegangan dalam hubungan itu. Wagner memperingatkan Nietzsche untuk mewaspadai Rée karena dia adalah orang Yahudi. Dia juga membahas operanya, Parsifal, yang mengejutkan dan membuat  Nietzsche merasa mual dan jijik karena dibuat demi memajukan tema-tema Kristen. Nietzsche menduga bahwa Wagner termotivasi oleh popularitas dan keinginan untuk sukses ketimbang alasan artistik yang otentik.

Wagner dan Nietzsche bertemu untuk terakhir kalinya pada 5 November 1876. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka menjadi terasing secara pribadi dan filosofis, meskipun saudara perempuannya Elisabeth tetap bersahabat dengan Wagner dan lingkar pertemanannya yang lain. Nietzsche dengan tajam mendedikasikan karyanya berikutnya, Human, All Too Human, untuk Voltaire, ikon rasionalisme Prancis. Dia menerbitkan dua karya lagi tentang Wagner, The Case of Wagner dan Nietzsche Contra Wagner, yang terakhir merupakan kumpulan tulisan-tulisan sebelumnya. Dia juga menciptakan potret satir Wagner dalam pribadi seorang penyihir tua yang muncul di Bagian IV dari Thus Spoke Zarathustra. Dia tidak pernah berhenti mengakui orisinalitas dan kehebatan musik Wagner. Namun pada saat yang sama, Nietzsche tidak mempercayainya karena kualitasnya yang memabukkan, dan karena perayaan kematiannya yang romantis. Pada akhirnya, dia melihat musik Wagner sebagai sesuatu yang dekaden dan nihilistik, berfungsi serupa obat artistik yang mematikan rasa sakit dari keberadaan alih-alih mengafirmasi kehidupan dengan segala penderitaannya.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Thursday 4 August 2022

Analisis Cerpen “The Wall” - Sartre (Esai Translasi)

Gulag (2018) by Claiborne Coyle

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sinopsis

Narator "The Wall", Pablo Ibbieta, adalah seorang anggota Brigade Internasional, sukarelawan dengan pemikiran progresif dari negara lain yang pergi ke Spanyol demi berperang melawan Fasisme Francisco Franco dalam upaya mempertahankan Spanyol sebagai negara republik. Bersama dua orang lainnya, Tom dan Juan, dia ditangkap oleh tentara Franco. Tom aktif dalam perjuangan, seperti Pablo; tetapi Juan hanyalah seorang pemuda yang kebetulan adalah saudara dari seorang anarkis yang giat memerangi fasis.

Interogator Tidak Bertanya Apa-apa

Dalam adegan pertama, mereka diwawancarai dengan cara yang sangat ringkas. Mereka hampir tidak ditanya apa-apa, meskipun sang interogator tampaknya menulis banyak tentang mereka. Pablo ditanya apakah dia tahu keberadaan Ramon Gris, seorang pemimpin anarkis lokal. Dia berkata, tidak mengetahuinya. Mereka kemudian dibawa ke dalam sel. Pada pukul 8:00 malam, seorang petugas datang untuk memberi tahu mereka, dengan cara yang sejujur-jujurnya, bahwa mereka telah dijatuhi hukuman mati dan akan ditembak mati keesokan paginya.

Pengetahuan tentang Kematian yang akan Datang

Secara alami, mereka menghabiskan malam dengan rasa tertekan oleh pengetahuan tentang kematian mereka yang akan datang. Juan tidak berdaya ketika mengasihani dirinya sendiri. Seorang dokter Belgia menemani mereka agar saat-saat terakhir mereka "tidak terlalu sulit". Pablo dan Tom berjuang untuk menerima gagasan kematian pada tingkat intelektual, sementara tubuh mereka mengungkapkan rasa takut yang secara alami memang mereka takuti. Pablo mendapati dirinya basah kuyup oleh keringatnya sendiri; Tom tidak bisa mengontrol kandung kemihnya (dia mengompol).

Semuanya Berubah

Pablo mengamati bagaimana dihadapkan dengan kematian secara radikal mengubah cara pandang tentang segala sesuatu—benda-benda yang dikenal, orang-orang, teman-teman, orang-orang asing, kenangan-kenangan, hasrat-hasrat—merupa padanya dan sikapnya terhadap itu semua berubah total. Dia merenungkan hidupnya pada titik ini:

Pada saat itu aku merasa bahwa aku mendapati seluruh hidupku berada di depanku dan aku berpikir, "Ini adalah omong kosong yang terkutuk". Tidak ada gunanya, sebab semuanya telah selesai. Aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan, tertawa bersama gadis-gadis: aku tidak akan bergerak selincah jari kelingkingku jika aku hanya membayangkan aku akan mati seperti ini. Hidupku berada di depanku, terkunci, tertutup, seperti tas, namun semua yang ada di dalamnya belumlah selesai. Untuk sesaat aku mencoba menilainya. Aku ingin mengatakan pada diriku sendiri, ini adalah kehidupan yang indah. Tapi aku tidak bisa menilainya; itu hanyalah sketsa; aku telah menghabiskan waktuku memalsukan keabadian, aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak melewatkan apa pun: ada begitu banyak hal yang bisa kulewatkan, rasa manzanilla atau mandi yang kulakukan di musim panas di sungai kecil dekat Cadiz; tetapi kematian telah mengecewakan semuanya.

Dikeluarkan dari Sel untuk Ditembak Mati

Pagi tiba, Tom dan Juan dibawa ke luar untuk ditembak mati. Pablo diinterogasi lagi, dan diberitahu bahwa jika dia membeberkan di mana keberadaan Ramon Gris, dia akan dibebaskan dari hukuman mati. Dia dikunci di ruang cuci untuk memikirkannya selama 15 menit ke depan. Sewaktu itu Pablo bertanya-tanya mengapa dia rela mengorbankan hidupnya untuk Gris, dan tidak bisa memberikan jawaban selain bahwa dia harus menjadi "orang yang keras kepala". Ketidakrasionalan dari tindakannya itu menghibur dirinya sendiri.

Melawak

Ditanya sekali lagi untuk mengungkapkan di mana Ramon Gris bersembunyi, Pablo memutuskan untuk bergurau dan menyampaikan jawaban, memberi tahu interogatornya bahwa Gris bersembunyi di pekuburan lokal. Tentara segera dikirim, Pablo pun menunggu kepulangan mereka dan eksekusinya. Namun, beberapa saat kemudian, dia diizinkan bergabung dengan kumpulan tahanan di halaman yang tidak menunggu eksekusi mati, dan diberitahu bahwa dia tidak akan ditembak—setidaknya untuk saat ini. Pablo tidak mengerti mengapa dia dipindahkan dan eksekusi matinya ditunda, sampai salah satu tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa Ramon Gris, pagi itu ditemukan dan dibunuh setelah pindah dari tempat persembunyiannya yang lama ke pekuburan lokal. Pablo bereaksi dengan "tertawa keras, sangat keras sampai dia menangis".

Analisis Tema Utama

Elemen penting dari cerita Sartre membantu menghidupkan beberapa konsep sentral eksistensialisme. Tema utama ini meliputi:

Hidup Dihadirkan sebagai Sesuatu yang Dialami

Seperti kebanyakan literatur eksistensialis lainnya, cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama, dan narator tidak memiliki pengetahuan di luar masa kini. Dia tahu apa yang dia alami; tetapi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiran orang lain; tidak pula dia mengatakan sesuatu seperti, "Kemudian aku menyadari bahwa ..."—yang tentu bermakna melihat kembali masa kini dari masa depan.

Intensitas Sensasi

Pablo mengalami-mengindrai kedinginan, kehangatan, kelaparan, kegelapan, cahaya terang, bebauan, bersimpati (dengan hal-hal kiri, komunisme), dan kenestapaan. Orang-orang menggigil, berkeringat, dan mengompol. Sementara para filsuf seperti Plato melihat sensasi sebagai penghambat pengetahuan, di cerpen ini, sensasi disajikan sebagai jalan dari pemahaman akan sesuatu.

Tidak Ada Ilusi

Pablo dan Tom mendiskusikan sifat kematian mereka yang akan datang sebrutal dan sejujur ​​mungkin, bahkan membayangkan peluru-peluru tenggelam ke dalam daging mereka. Pablo mengakui kepada dirinya sendiri bagaimana ekspektasinya akan kematian telah membuatnya tidak peduli kepada orang lain dan kepada tujuan yang dia perjuangkan.

Kesadaran vs. Hal-hal Material

Tom mengatakan bahwa dia dapat membayangkan tubuhnya terbaring lemah dilubangi peluru; tetapi dia tidak dapat membayangkan ketika dirinya tidak mengada—sebab "diri" yang dia identifikasi adalah kesadarannya, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Seperti yang Sartre katakan, "kita tidak dibuat untuk berpikir seperti itu."

Semua Orang Mati Seorang Diri

Kematian memisahkan yang hidup dari yang mati; tetapi mereka yang akan mati juga terpisah dari yang hidup—sebab hanya mereka (yang akan mati) yang dapat mengalami apa yang akan terjadi pada mereka sendiri. Kesadaran yang kuat dan intens akan hal ini menempatkan batas-batas antara mereka (yang akan mati) dan setiap orang.

Kondisi Manusia Diintensifkan

Seperti yang diamati Pablo, para sipirnya juga akan segera mati, hanya sedikit lebih lambat dari dirinya. Hidup di bawah hukuman mati adalah kondisi manusia. Tapi, sewaktu hukuman itu akan segera dilaksanakan, kesadaran yang kuat akan kehidupan meningkat pesat.

Simbolisme Judul

"The Wall" atau Dinding adalah simbol penting dalam cerita pendek ini, dan mengacu pada beberapa dinding atau penghalang.

• Dinding tempat mereka akan ditembak mati.

• Tembok yang memisahkan kehidupan dari kematian.

• Tembok yang memisahkan yang hidup dari yang terpidana mati.

• Dinding yang memisahkan satu individu dengan individu lainnya.

• Dinding yang mencegah kita mencapai pemahaman yang jelas tentang apa itu kematian.

• Dinding yang mewakili materi kasar, yang kontras dengan kesadaran, dan di mana kesadaran manusia akan terhapus saat ditembak mati.

*****

Sumber Literatur:

Understanding Sartre's "The Wall" – ThoughtCo.


Saturday 30 July 2022

Sartre versus Camus (Esai Translasi)

SFJ
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua ikon utama kehidupan intelektual Prancis abad ke-20, khususnya pada tahun 1940—1960. Karya dan komitmen mereka bersinggungan dan saling merespon begitu banyak tantangan bagi dunia.

Pengantar Sartre versus Camus: Perang dan Filsafat: Latar Belakang Sejarah

Hubungan Sartre-Camus telah memodelkan filsafat Prancis pasca-Perang Dunia II.

Sejak tahun 1943, Sartre dan Camus, berkawan baik, keduanya di mana-mana bersama. Publik, tanpa detail yang jelas, bahkan mencantumkan penulis Nausea dan The Stranger itu di bawah label yang sama: “Eksistensialis”.

Setelah pembebasan Prancis yang dimulai pada 6 Juni 1944, eksistensialisme lebih dari sekadar filsafat yang sedang digemari, ini adalah gaya hidup dan tempat: Saint-Germain-des-Prés (wilayah Paris).  The Existentialism Is a Humanism merangkum filsafat ini dengan baik.

Bagi khalayak banyak dapat diringkas dalam satu kalimat: “eksistensi mendahului esensi”.

Eksistensialisme Sartre dirancang pertama sebagai filsafat kebebasan dan tanggung jawab: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan makhluk yang takdirnya telah ditentukan sebelumnya. Menurut kata kunci hari ini, tentang 'komitmen'.

Camus tentu tidak menolak untuk terlibat, tetapi ia menolak label “eksistensialis” dan bahkan seorang filsuf. Sejak tahun 1947, ketidak sepakatan politik antara Sartre dan Camus memperdalam Camus untuk mencela kubu Stalin, bagian dari "rumah tangga" Sartre yang Komunis.

Pada tahun 1952, Jeanson (teman Sartre) diterbitkan dalam jurnal Sartre, “Modern Times”, sebuah laporan yang sangat kritis terhadap The Rebel. Buku terakhir Camus dianggap reaksioner, dan penuh penilaian yang keliru. Camus, tidak memedulikan Jeanson, merespon langsung ke Sartre. Edisi berikutnya dari “Modern Times” diterbitkan di sebelah surat dar itanggapan keras Camus kepada Sartre:

“Campuran gelap antara rasa puas diri dan kerentanan selalu memperkecil hati untuk mengatakan seluruh kebenaran … Mungkin Anda miskin, tetapi Anda tidak lagi miskin. Anda adalah warga negara dan seperti Jeanson yang seperti saya … moral Anda pertama kali diubah menjadi moralisme, hari ini lebih dari sekadar sastra, besok mungkin menjadi tidak bermoral.”

Camus dan Sartre tidak akan pernah bertemu. Namun, empat tahun kemudian, ketika Tentara Merah menumpas pemberontakan di Budapest, Sartre pada gilirannya (diikuti oleh sejumlah besar intelektual) memutuskan hubungan dengan Partai Komunis. Akan tetapi, perang di Aljazair antara Sartre dengan seorang pendukung kemerdekaan, Camus, yang masih ingin percaya pada jalan penyelesaian yang damai, kembali pecah.

Camus dan Eksistensialisme

Albert Camus (1913—1960), yang dianugerahi Penghargaan Nobel pada tahun 1957, adalah kawan pertama Jean-Paul Sartre yang kemudian menjadi lawannya. Tidak seperti Sartre, yang seorang laki-laki borjuis, Camus adalah laki-laki pinggiran kota yang miskin. Camus merasa mewakili pemikiran Mediterania, dengan kata lain, kemurnian dari (Yunani, Latin, klasik). Kemurnian antara instrumental dalam desain absurd dan manusia absurd adalah segalanya, di atas semua yang memikirkan dengan jernih perihal kehidupan. Sikap “Hellenik” atau “Hellenistik” ini bahkan lebih menonjol meskipun bersentuhan dengan budaya Arab atau Spanyol, tetapi Camus sama sekali tidak dipengaruhi dan terpengaruh Islam (meskipun bersentuhan langsung dengan budaya Arab).

Eksistensialisme Camus adalah eksistensialis yang putus asa, tetapi tanpa nausea dan disgust ala Sartrean. Eksistensialisme Camus adalah peramal putus asa, pendiri kebesaran manusia dan humanisme Camusian.

Manusia absurd adalah pusat pemikiran Camus. Seperti para filsuf eksistensialis lainnya, perasaan absurditas adalah konsekuensi dari sifat dasar keberadaan manusia—tidak terbatas pada wajah absolut yang dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Camus, absurditas tidak terletak pada manusia ataupun alam semesta: ini adalah hasil dari pengamatannya dan realisasi paradoks itu. Beberapa sikap dimungkinkan. Camus menolak sikap eskapis (melarikan diri): bunuh diri, yang ditarik kembali dengan menghapusnya, salah satu istilah dari kontradiksi (penekanan kesadaran). Ia juga menolak doktrin-doktrin bahwa dunia ini terletak di luar dasarnya dan harapan yang akan memberi makna pada kehidupan, keyakinan agama, pemikiran bunuh diri filosofis (Kierkegaard, Jaspers, Shestov).

Manusia absurd adalah seseorang yang menerima tantangan dengan lugas, ini adalah dasar dari pemberontakannya yang membawanya untuk mengambil baik kebebasannya, tetapi juga kontradiksinya sendiri dengan memutuskan untuk hidup dengan hasrat dan hanya dengan apa yang ia ketahui.

Karya Camus:

The Myth of Sisyphus (1942)

The Rebel (1951)

The Stranger (1944)

The Plague (1947)

The Fall (1956)

Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme: 1946

Ketika mempertimbangkan objek yang diproduksi seperti buku atau pemotong kertas, objek ini dibuat oleh seorang pengrajin yang terinspirasi oleh konsep yang diamaksud dengan konsep potong kertas, dan juga teknik bagian pra-produksi dari konsep tersebut, yang pada dasarnya adalahr esep. Jadi, pembuka adalah objek yang bekerja dengan cara tertentu dan, di sisi lain, juga memiliki manfaat yang pasti, dan kita tidak dapat mengasumsikan seorang manusia yang akan menghasilkan pisau kertas tanpa mengetahui apa yang akan melayani tujuannya. Mari kita katakan bahwa untuk pemotong, bensin—yaitu semua resep dan kualitas yang dapat memproduksi dan mendefinisikannya—mendahului eksistensi, dan kehadiran di depan saya, seperti pembuka surat atau buku semacam itu ditentukan. Di sini kita memiliki penglihatan teknis tentang dunia di mana kita dapat mengatakan bahwa tahap-tahap produksi itu mendahului eksistensi.

Eksistensialisme ateistik, yang saya wakili, […] mengatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsep apa pun dan makhluk ini adalah manusia atau, seperti yang dikatakan Heidegger, realitas-manusia1. Apa yang dimaksud di sini bahwa eksistensi mendahului esensi? Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada, terjadi, muncul di dunia, dan itu ditentukan kemudian. Manusia, sebagai mana dikandung oleh eksistensialisme, tidak dapat didefinisikan, adalah bahwa ia bukan yang pertama. Itu akan terjadi, dan itu akan menjadi seperti yang telah terjadi. Jadi, tidak ada kodrat manusia, karena tidak ada sosok Adikodrati yang memikirkannya. Manusia tidak hanya seperti yang berkembang, tetapi seperti yang diinginkannya, dan ketika ia berkembang dari sana, seperti yang ia inginkan setelah momentum keberadaan ini, manusia tidak lain adalah apa adanya. Ini adalah prinsip pertama eksistensialisme.  […]

Maksudnya manusia pertama-tama ada, artinya manusia terutama adalah apa yang dilemparkan ke masa depan, dan apa yang secara sadar melihat ke masa depan. Manusia pada dasarnya adalah sebuah proyek yang dihayati secara subjektif, dari pada buih, pembusukan atau kembang kol, tidak ada yang ada sebelum proyek ini, tidak ada yang di surga yang dapat dipahami2, dan manusia apa yang pertama kali harus diproyeksikan.

 1 – realitas manusia: dalam bahasa Jerman, diterjemahkan Dasein (secara harfiah "berada di sana"), yang berarti cara keberadaan manusia, karena ia masih direncanakan.

 2 - Di surga dapat dipahami: di langit ide, rumah, menurut Plato, esensi dari semua hal.

Jean-Paul Sartre versus Albert Camus

Sartre dan Camus telah menulis karya tanpa pernah mengetahui bahwa karya-karya itu akan membuat mereka terkenal. Sartre menghargai The Stranger, sementara Camus tertarik pada Nausea dan The Wall. Akan tetapi, kita tidak bisa membayangkan pandangan dunia yang lebih berlawanan dari pada Sartre, dibayangi oleh kengerian alam yang mendalam, dan Camus, oleh cinta Mediterania yang terang. Persahabatan sulit bergabung dengan kedua penulis itu setelah Pembebasan Prancis, Camus tidak pernah berhenti untuk menjauhkan vis-à-vis eksistensialisme Sartre. Pecahnya mereka, yang menyebabkan kegemparan besar pada tahun 1952 mungkin menandai perbedaan politik, Sartre mengalami lebih banyak simpati dan Camus tumbuh dan mengalami kengerian dari komunisme Soviet. Namun, ia menghabiskan sebagian besar perceraian antara dua konsepsi kehidupan dan sastra: humanisme, pemberontakan, cinta kebahagiaan, cinta "bentuk yang baik" Camus, komitmen politik, revolusi, obsesi dengan rasa bersalah, jijik dengan "sastra" di Sartre. Jika di luar semua perbedaan ini ada suatu kesatuan tertentu antara karya mereka masing-masing, itu ada di cakrawala tahun yang sama, yang umum bagi mereka dan mereka membantu membentuknya bersama. Dapat dijelaskan bahwa eksistensialis mememiliki sedikit melampaui cakupan sebuah generasi, dan ia tidak memiliki literatur yang subur yang telah menunjukkan dua puluh tahun sebelumnya, surealisme. Mentor pembelajar ini memiliki, tetapi tidak banyak.

*****

Sumber Literatur: Tim, "Sartre vs. Camus: The battle of french philosophers, February 17, 2022, " in Philosophy & Philosophers, February 17, 2022, https://www.the-philosophy.com/sartre-vs-camus.

Sunday 24 July 2022

Transendensi Ego à la Sartre (Esai Translasi)


Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

The Transendence of the Ego adalah esai filsafat yang diterbitkan oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1936. Di dalamnya, dia mengemukakan pandangannya bahwa the self (diri) atau “ego” bukanlah sesuatu yang seseorang (kita) sadari.

Model kesadaran yang dikemukakan Sartre dalam esai ini dapat diuraikan sebagai berikut. Kesadaran selalu intensional (disengaja); yaitu, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. 'Objek' kesadaran dapat berupa hampir semua jenis hal: objek fisik, proposisi, keadaan, citra atau suasana hati yang diingat—apa pun yang dapat ditangkap oleh kesadaran. Inilah “prinsip intensionalitas” yang menjadi titik pangkal fenomenologi (Edmund) Husserl.

Sartre meradikalisasi prinsip ini dengan menegaskan bahwa kesadaran tidak lain hanyalah intensionalitas (prinsip kunci filsafat Husserl; kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu 'Consciousness on Something', seperti halnya kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi dirinya sendiri). Artinya, kesadaran adalah aktivitas yang murni, dan menyangkal bahwa ada "ego" yang terletak di dalam, di balik atau di bawah kesadaran sebagai sumbernya atau ada kondisi yang diperlukan. Pembenaran klaim ini adalah salah satu tujuan utama Sartre dalam The Transendence of the Ego.

Sartre pertama-tama membedakan antara dua mode kesadaran: kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan. Kesadaran yang tak-terefleksikan hanyalah kesadaran Aku yang biasa tentang hal-hal selain kesadaran itu sendiri: burung, lebah, sepotong musik, makna kalimat, wajah yang teringat, dan lain-lain. Menurut Sartre, kesadaran pada saat yang sama menempatkan dan menggenggam objeknya. Dan dia menggambarkan kesadaran seperti itu sebagai "posisional" dan sebagai "thetic".  Apa yang Sartre maksud dengan istilah-istilah ini tidak sepenuhnya jelas, tetapi dia tampaknya mengacu pada fakta bahwa dalam kesadaran Aku tentang apa pun, ada aktivitas dan kepasifan.

Kesadaran suatu objek adalah posisional karena ia menempatkan objek: yaitu, ia mengarahkan dirinya sendiri ke objek (misalnya apel, atau pohon) dan memerhatikannya. Ini adalah "thetic" dalam kesadaran yang menghadapkan objeknya sebagai sesuatu yang diberikan kepadanya, atau sebagai sesuatu yang telah ditempatkan.

Sartre juga mengklaim bahwa kesadaran, bahkan ketika tidak merefleksikan, minimal selalu sadar akan dirinya sendiri. Mode kesadaran ini dia gambarkan sebagai "non-posisional" dan "non-thetic" yang menunjukkan bahwa dalam mode ini, kesadaran tidak memosisikan dirinya sebagai objek, juga tidak dihadapkan dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, kesadaran diri yang tidak dapat direduksi ini dianggap sebagai kualitas yang tetap dari kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan.

Kesadaran yang terefleksikan adalah kesadaran yang memosisikan dirinya sebagai objeknya. Pada dasarnya, kata Sartre, kesadaran yang terefleksikan dan kesadaran yang merupakan objek refleksi ("kesadaran yang direfleksikan") adalah identik (serupa). Namun demikian, kita dapat membedakanya, setidaknya dalam abstraksi, dan membicarakan tentang dua kesadaran di sini: yang merefleksikan dan yang terefleksikan.

Tujuan utamanya dalam menganalisis kesadaran diri adalah untuk menunjukkan bahwa refleksi diri tidak mendukung tesis bahwa ada ego yang terletak di dalam atau di balik kesadaran. Sartre pertama-tama membedakan dua jenis refleksi: (1) refleksi pada keadaan sebelum kesadaran yang diingat oleh pikiran melalui memori—maka keadaan sebelum kesadaran ini sekarang menjadi objek kesadaran saat ini; dan (2) refleksi di masa yang benar-benar saat ini—di mana kesadaran menguasai dirinya seperti sekarang untuk objeknya. Refleksi retrospektif dari jenis pertama, menurutnya, hanya mengungkapkan kesadaran objek yang tak-terefleksikan bersama dengan kesadaran diri non-posisional yang merupakan fitur kesadaran yang tetap.

Itu tidak mengungkapkan kehadiran "Aku" di dalam kesadaran. Refleksi jenis kedua, yang merupakan jenis yang dilakukan (René) Descartes ketika dia menyatakan "Aku berpikir, maka Aku ada," sepertinya dianggap lebih mungkin untuk mengungkapkan jenis "Aku" ini. Sartre menyangkal hal ini, bagaimanapun, dengan alasan bahwa "Aku" yang biasanya dianggap ditemukan oleh kesadaran di sini, pada kenyataannya, hanyalah produk refleksi. Di pertengahan esainya, dia memberikan penjelasannya tentang bagaimana hal ini terjadi.

Ringkasan Singkat

Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut. Momen-momen terpisah dari kesadaran reflektif disatukan dengan ditafsirkan sebagai pancaran dari keadaan, tindakan, dan karakteristik Aku, yang semuanya melampaui momen refleksi saat ini. Misalnya, kesadaran Aku untuk membenci sesuatu sekarang dan kesadaran Aku untuk membenci hal yang sama pada momen lain disatukan oleh gagasan bahwa "Aku" membenci hal itu—kebencian menjadi keadaan yang bertahan melampaui momen-momen kebencian yang disadari.

Tindakan menampilkan fungsi yang serupa.  Jadi, ketika Descartes menegaskan "Aku sekarang meragukan" kesadarannya tidak terlibat dalam refleksi murni pada dirinya sendiri seperti pada saat ini, momen ini. Dia membiarkan sebuah kesadaran bahwa saat ini keraguan adalah bagian dari tindakan yang dimulai sebelumnya dan akan berlanjut selama beberapa waktu untuk menginformasikan refleksinya. Momen-momen keraguan yang terpisah disatukan oleh tindakan, dan kesatuan ini diekspresikan dalam "Aku" yang dia sertakan dalam pernyataannya.

Maka, "ego", tidak ditemukan dalam refleksi—selain diciptakan oleh dirinya sendiri. Namun, itu bukan abstraksi, atau ide belaka.  Sebaliknya, ini adalah "totalitas konkret" dari kondisi kesadaran reflektif Aku, yang dibentuk olehnya dalam cara seperti melodi yang dibentuk dengan nada-nada terpisah. Kita memang, kata Sartre, menangkap ego "dari sudut mata kita" ketika kita berefleksi;  tetapi jika kita mencoba untuk fokus padanya dan menjadikannya objek kesadaran, itu pasti menghilang, karena itu hanya muncul melalui kesadaran yang merefleksikan dirinya sendiri (bukan pada ego, yang merupakan sesuatu yang lain).

Kesimpulan yang ditarik Sartre dari analisisnya tentang kesadaran adalah bahwa fenomenologi tidak memiliki alasan untuk menempatkan ego di dalam atau di balik kesadaran. Dia mengklaim, lebih lanjut, pandangannya tentang ego sebagai sesuatu yang merefleksikan konstruksi kesadaran, dan yang oleh karena itu harus dianggap hanya sebagai objek kesadaran lain yang, seperti semua objek lainnya, mentransendensikan kesadaran, memiliki keunggulan-keunggulan yang nyata. Secara khusus, ia memberikan sanggahan atas solipsisme (gagasan bahwa dunia tersusun dari Aku dan isi pikiran Aku), membantu kita mengatasi skeptisisme mengenai keberadaan/eksistensi dari pikiran-pikiran orang lain, dan meletakkan dasar bagi filsafat para eksistensialis (baca: eksistensialisme) yang benar-benar melibatkan dunia nyata (manusia) dan benda-benda.

*****

Sumber Literatur:

'A Summary of Sartre's 'The Transcendence of the Ego' – ThoughtCo.

Thursday 28 April 2022

Gagasan Nietzsche tentang Perulangan Abadi (Esai Translasi)

Gagasan tentang kembali yang kekal atau perulangan yang abadi telah ada dalam berbagai bentuk sejak zaman dahulu kala. Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa eksistensi terus berulang dalam siklus tak terbatas di saat energi dan materi berubah seiring berjalannya waktu. Di Yunani kuno, kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di roda waktu; kalacakra Hinduisme dan Buddhisme.

Gagasan waktu yang sirkuler seperti itu kemudian tidak lagi populer, terutama di Barat, seiring dengan berkembangnya agama Kristen. Satu pengecualian penting ditemukan dalam karya Friedrich Nietzsche (1844–1900), seorang pemikir Jerman abad ke-19 yang dikenal karena pendekatan filsafatnya yang tidak biasa. Salah satu ide Nietzsche yang paling terkenal adalah perulangan abadi, yang muncul di bagian kedua dari belakang bukunya The Gay Science (The Joyful Wisdom

Perulangan abadi

The Gay Science adalah salah satu karya Nietzsche yang paling pribadi, tidak hanya mengumpulkan refleksi filosofisnya tetapi juga sejumlah puisi, kata-kata mutiara, dan lagu. Gagasan tentang perulangan abadi — yang disajikan Nietzsche sebagai semacam eksperimen pemikiran — muncul dalam Aforisme 341, The Greatest Weight:

Bagaimana, jika suatu hari atau malam iblis menculikmu ke dalam kesepianmu yang paling sepi dan berkata kepadamu: ‘Hidup ini seperti yang kau jalani kini dan sudah dihidupi, kau harus hidup sekali lagi dan tidak terhitung berapa kali lagi; dan tidak akan ada yang baru di dalamnya, tetapi setiap rasa sakit dan setiap kegembiraan dan setiap pikiran dan desahan dan segala sesuatu yang sangat kecil atau besar dalam hidupmu harus kembali kepadamu, semua dalam rentetan dan urutan yang sama—bahkan laba-laba ini dan cahaya bulan di antara pohon-pohon, dan bahkan saat ini dan aku sendiri. Jam pasir abadi dari eksistensi terbalik lagi dan lagi, dan kau bersamanya, setitik debu!

Tidakkah kau akan menjatuhkan dirimu dan menggertakkan gigimu dan mengutuk iblis yang berbicara seperti itu? Atau pernahkah kau mengalami saat-saat yang luar biasa ketika kau akan menjawabnya: ‘Kau adalah Tuhan dan aku belum pernah mendengar sesuatu yang lebih ilahi.’ Jika pikiran ini menguasaimu, itu akan mengubahmu sebagaimana mestinya atau mungkin menghancurkanmu. Pertanyaan dalam setiap hal, ‘Apakah kau menginginkan ini sekali lagi dan berkali-kali lebih banyak lagi?’ beban terbesar akan terletak pada tindakanmu. Atau seberapa baik keinginanmu menjadi diri sendiri dan untuk hidup?”

Aforisme 341, The Greatest Weight

Nietzsche mewartakan bahwa pemikiran ini tiba-tiba datang kepadanya suatu hari di bulan Agustus 1881 ketika ia sedang berjalan-jalan di sepanjang danau di Swiss. Setelah memperkenalkan gagasan di akhir The Gay Science, ia menjadikannya sebagai salah satu konsep dasar dari karya berikutnya, Thus Spoke Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra). Zarathustra, sosok seperti nabi yang memproklamirkan ajaran Nietzsche dalam buku ini, pada awalnya enggan untuk mengartikulasikan gagasan tersebut, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya, dia menyatakan bahwa perulangan abadi adalah kebenaran yang menggembirakan, yang harus dianut oleh siapa pun yang menjalani hidup sepenuhnya.

Anehnya, perulangan abadi tidak terlalu menonjol dalam karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah Thus Spoke Zarathustra. Namun, ada bagian yang didedikasikan untuk gagasan itu dalam The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa), kumpulan catatan yang diterbitkan oleh saudara perempuan Nietzsche, Elizabeth pada tahun 1901. Dalam bagian itu, Nietzsche tampaknya secara serius memikirkan kemungkinan bahwa doktrin itu benar secara harfiah. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa filsuf itu tidak pernah berkukuh pada kebenaran harfiah gagasan tersebut dalam tulisan-tulisan lain yang ia terbitkan. Sebaliknya, ia menghadirkan pengulangan abadi sebagai semacam eksperimen pemikiran, suatu ujian atas sikap seseorang terhadap kehidupan.

Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche berkaitan dengan pertanyaan tentang kebebasan, tindakan, dan kehendak. Dalam menyajikan gagasan perulangan abadi, dia meminta kita untuk tidak menganggap gagasan itu sebagai kebenaran tetapi bertanya pada diri sendiri apa yang akan kita lakukan jika gagasan itu benar. Dia berasumsi bahwa reaksi pertama manusia adalah keputusasaan: kondisi manusia itu tragis; hidup mengandung banyak penderitaan; pemikiran bahwa seseorang harus kembali hidup dalam jumlah tak terbatas tampaknya mengerikan.

Tapi kemudian dia membayangkan reaksi yang berbeda. Misalkan kita bisa menyambut berita, menerimanya sebagai sesuatu yang kita inginkan? Kata Nietzsche, hal tersebut merupakan ungkapan pernyataan yang paling mengafirmasi kehidupan: menginginkan kehidupan ini, dengan segala rasa sakit, kebosanan, dan frustrasi, lagi dan lagi. Pemikiran ini terkait dengan tema dominan Buku IV The Gay Science, ialah pentingnya menjadi “yea-sayer; seseorang yang berkata ‘ya’ pada kehidupan”, yang menerima hidup, dan untuk merangkul amor fati (mencintai takdir kita).

Hal ini juga terkait bagaimana gagasan itu disajikan dalam Thus Spoke Zarathustra. Kesanggupan Zarathustra untuk merangkul perulangan abadi adalah ekspresi tertinggi dari cintanya pada kehidupan dan keinginannya untuk tetap “setia pada bumi.” Mungkin ini akan menjadi respons dari Übermnesch/Adimanusia atau Overman/Superman yang diantisipasi Zarathustra sebagai jenis manusia yang lebih tinggi. Kontras di sini adalah dengan agama-agama seperti Kristen, yang melihat dunia ini lebih rendah, kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan yang lebih baik di surga. Pada akhirnya, perulangan abadi menawarkan gagasan tentang keabadian yang memang bertentangan dengan yang diusulkan oleh Kekristenan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha