Thursday 28 April 2022

Gagasan Nietzsche tentang Perulangan Abadi (Esai Translasi)

Gagasan tentang kembali yang kekal atau perulangan yang abadi telah ada dalam berbagai bentuk sejak zaman dahulu kala. Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa eksistensi terus berulang dalam siklus tak terbatas di saat energi dan materi berubah seiring berjalannya waktu. Di Yunani kuno, kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di roda waktu; kalacakra Hinduisme dan Buddhisme.

Gagasan waktu yang sirkuler seperti itu kemudian tidak lagi populer, terutama di Barat, seiring dengan berkembangnya agama Kristen. Satu pengecualian penting ditemukan dalam karya Friedrich Nietzsche (1844–1900), seorang pemikir Jerman abad ke-19 yang dikenal karena pendekatan filsafatnya yang tidak biasa. Salah satu ide Nietzsche yang paling terkenal adalah perulangan abadi, yang muncul di bagian kedua dari belakang bukunya The Gay Science (The Joyful Wisdom

Perulangan abadi

The Gay Science adalah salah satu karya Nietzsche yang paling pribadi, tidak hanya mengumpulkan refleksi filosofisnya tetapi juga sejumlah puisi, kata-kata mutiara, dan lagu. Gagasan tentang perulangan abadi — yang disajikan Nietzsche sebagai semacam eksperimen pemikiran — muncul dalam Aforisme 341, The Greatest Weight:

Bagaimana, jika suatu hari atau malam iblis menculikmu ke dalam kesepianmu yang paling sepi dan berkata kepadamu: ‘Hidup ini seperti yang kau jalani kini dan sudah dihidupi, kau harus hidup sekali lagi dan tidak terhitung berapa kali lagi; dan tidak akan ada yang baru di dalamnya, tetapi setiap rasa sakit dan setiap kegembiraan dan setiap pikiran dan desahan dan segala sesuatu yang sangat kecil atau besar dalam hidupmu harus kembali kepadamu, semua dalam rentetan dan urutan yang sama—bahkan laba-laba ini dan cahaya bulan di antara pohon-pohon, dan bahkan saat ini dan aku sendiri. Jam pasir abadi dari eksistensi terbalik lagi dan lagi, dan kau bersamanya, setitik debu!

Tidakkah kau akan menjatuhkan dirimu dan menggertakkan gigimu dan mengutuk iblis yang berbicara seperti itu? Atau pernahkah kau mengalami saat-saat yang luar biasa ketika kau akan menjawabnya: ‘Kau adalah Tuhan dan aku belum pernah mendengar sesuatu yang lebih ilahi.’ Jika pikiran ini menguasaimu, itu akan mengubahmu sebagaimana mestinya atau mungkin menghancurkanmu. Pertanyaan dalam setiap hal, ‘Apakah kau menginginkan ini sekali lagi dan berkali-kali lebih banyak lagi?’ beban terbesar akan terletak pada tindakanmu. Atau seberapa baik keinginanmu menjadi diri sendiri dan untuk hidup?”

Aforisme 341, The Greatest Weight

Nietzsche mewartakan bahwa pemikiran ini tiba-tiba datang kepadanya suatu hari di bulan Agustus 1881 ketika ia sedang berjalan-jalan di sepanjang danau di Swiss. Setelah memperkenalkan gagasan di akhir The Gay Science, ia menjadikannya sebagai salah satu konsep dasar dari karya berikutnya, Thus Spoke Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra). Zarathustra, sosok seperti nabi yang memproklamirkan ajaran Nietzsche dalam buku ini, pada awalnya enggan untuk mengartikulasikan gagasan tersebut, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya, dia menyatakan bahwa perulangan abadi adalah kebenaran yang menggembirakan, yang harus dianut oleh siapa pun yang menjalani hidup sepenuhnya.

Anehnya, perulangan abadi tidak terlalu menonjol dalam karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah Thus Spoke Zarathustra. Namun, ada bagian yang didedikasikan untuk gagasan itu dalam The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa), kumpulan catatan yang diterbitkan oleh saudara perempuan Nietzsche, Elizabeth pada tahun 1901. Dalam bagian itu, Nietzsche tampaknya secara serius memikirkan kemungkinan bahwa doktrin itu benar secara harfiah. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa filsuf itu tidak pernah berkukuh pada kebenaran harfiah gagasan tersebut dalam tulisan-tulisan lain yang ia terbitkan. Sebaliknya, ia menghadirkan pengulangan abadi sebagai semacam eksperimen pemikiran, suatu ujian atas sikap seseorang terhadap kehidupan.

Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche berkaitan dengan pertanyaan tentang kebebasan, tindakan, dan kehendak. Dalam menyajikan gagasan perulangan abadi, dia meminta kita untuk tidak menganggap gagasan itu sebagai kebenaran tetapi bertanya pada diri sendiri apa yang akan kita lakukan jika gagasan itu benar. Dia berasumsi bahwa reaksi pertama manusia adalah keputusasaan: kondisi manusia itu tragis; hidup mengandung banyak penderitaan; pemikiran bahwa seseorang harus kembali hidup dalam jumlah tak terbatas tampaknya mengerikan.

Tapi kemudian dia membayangkan reaksi yang berbeda. Misalkan kita bisa menyambut berita, menerimanya sebagai sesuatu yang kita inginkan? Kata Nietzsche, hal tersebut merupakan ungkapan pernyataan yang paling mengafirmasi kehidupan: menginginkan kehidupan ini, dengan segala rasa sakit, kebosanan, dan frustrasi, lagi dan lagi. Pemikiran ini terkait dengan tema dominan Buku IV The Gay Science, ialah pentingnya menjadi “yea-sayer; seseorang yang berkata ‘ya’ pada kehidupan”, yang menerima hidup, dan untuk merangkul amor fati (mencintai takdir kita).

Hal ini juga terkait bagaimana gagasan itu disajikan dalam Thus Spoke Zarathustra. Kesanggupan Zarathustra untuk merangkul perulangan abadi adalah ekspresi tertinggi dari cintanya pada kehidupan dan keinginannya untuk tetap “setia pada bumi.” Mungkin ini akan menjadi respons dari Übermnesch/Adimanusia atau Overman/Superman yang diantisipasi Zarathustra sebagai jenis manusia yang lebih tinggi. Kontras di sini adalah dengan agama-agama seperti Kristen, yang melihat dunia ini lebih rendah, kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan yang lebih baik di surga. Pada akhirnya, perulangan abadi menawarkan gagasan tentang keabadian yang memang bertentangan dengan yang diusulkan oleh Kekristenan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha