Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

Wednesday 30 August 2023

Cerpen: Reinkarnasi Kesekian

Ah shit, here we go again...

***

Namaku Arpeggi. Dan, beginilah kehidupanku sekarang. Mengada sebagai ikan Angler dengan ingatan dan kesadaran layaknya manusia. Barangkali inilah yang disebut reinkarnasi. Untuk yang kesekian. Dilahirkan kembali. Betapa aduh sekali. Seingatku, dulu, aku pernah hidup sebagai fungi di atas tinja sapi, sebagai kapibara yang dimukbang koloni piranha, sebagai bunga daisy, sebagai pohon kamboja yang tertimpa keranda, sebagai perempuan kelas menengah pada abad pertengahan, sebagai prajurit berpangkat rendah yang dibunuh granat tangan.

Kini, aku sejenis ikan paling buruk rupa yang hidup di zona abisal. Aku lupa siapa ilmuwan kelautan yang dengan sompral memberi predikat demikian. Tapi tak apa. Lagi pula, di sini, tak ada yang peduli pada jelek atau rupawan. Yang terpenting bisa tetap makan dan bertahan dari kepunahan. Di laut dalam, tak ada beda antara pagi dan malam. Semua sama. Pagi gelap, malam gulita. Tak ada sinar mentari yang sanggup menembus seribu meter di bawah permukaan laut. Bagi makhluk abisal, satu-satunya cahaya hanyalah bioluminesensi. Emisi cahaya buatan yang dimungkinkan oleh reaksi-reaksi kimia. Suatu fitur alam, dengan kegunaan yang beragam. Entah untuk pertahanan diri, seperti yang dilakukan kelompok dinoflagelata, ubur-ubur, dan beberapa jenis cumi-cumi. Demi kebutuhan predasi seperti ikan angel dan hiu-hiu tertentu. Atau sebagai sinyal kawin seperti odontosyllis enopla alias cacing bermuda. 

Sebagai yang pernah manusia, kurasa, spesies menyedihkan itu pun melakukan hal yang serupa. Atau minimal mirip-mirip. Mencipta cahaya buatan dari reaksi-reaksi semantik agar dapat punya alasan untuk bertahan. Menurutku, mereka mengembangkan makna dan harapan di dunia nirmakna serta nirharapan. Beberapa dari mereka menyebutnya negara, beberapa yang lain masyarakat, dan sebagian besar menyebutnya tuhan. Kupikir, begitulah evolusi bekerja. Selalu spesies yang mengalah pada keadaan dan lingkungan. Bukan sebaliknya. Apalah arti kehendak di hadapan kenyataan. Itulah yang kupelajari saat masih hidup sebagai makhluk yang katanya paling sempurna. 

Selain gelita, di sini, sangatlah dingin. Suhunya hanya dua derajat celsius. Selain dingin, juga penuh tekanan. Tekanan hidrostatis, tepatnya. Sependek pemahamanku, di bawah tekanan, semua yang bernyawa dipaksa beradaptasi. Berevolusi sedemikian rupa dan cara. Sesekali, naikilah kapal selam, kunjungilah laut dalam, niscaya kau tahu, setiap spesies akan mampus bila tidak melakukan hal demikian. Sependek pengetahuanku, tekanan hidrostastis ini akan meningkat sekitar satu ATM untuk setiap sepuluh meter kedalaman air. Jika kau punya jam tangan dengan keterangan tiga ATM, itu berarti ia hanya tahan dibawa menyelam hingga kedalaman tiga puluh meter. 

Bagi hewan-hewan selain manusia, tekanan, biasanya mengubah morfologis mereka. Bagi manusia, tekanan, mengubah seluruh aspek dalam dirinya. Menjadi suatu spesies yang berbeda dan benar-benar baru. Misalnya mengganti sapaan menjadi he/they atau she/they, membotaki atau membondoli rambutnya, hingga mewarnainya dengan warna-warna terang. Semacam mekanisme pertahanan diri. Mungkin juga mekanisme koping. Tapi, yang jelas, alam mengajarkan bahwa hewan berwarna mencolok menandai ketoksikan. Bahasa ribetnya, aposematisme. Sederhananya, agar hewan lain, khususnya predator, tak berani macam-macam. 

Biologi tak pernah gagal membuatku terkesan.

***

Aku belajar cukup banyak dari kehidupanku sebelumnya. Waktu itu, aku budak korporat perlente. Bekerja dari pukul sembilan pagi sampai lima sore. Lima kali dalam satu minggu. Begitu, secara redundan. Sebagai seorang komuter, waktuku habis dengan menontoni punggung orang-orang asing berwajah kusut masai yang tak akan pernah kutahu apa cita-cita mereka, siapa nama mereka, atau bagaimana hari mereka. Di jalan raya, di kursi tunggu peron, di dalam gerbong kereta. 

Alih-alih spektator, sebenarnya, aku lebih mau jadi aktor. Tak heran, bila pada gilirannya, aku dilanda kebosanan luar biasa kala mengamati para NPC. Aku cuma pekerja teks komersial. Bukan etnograf. Mereka bukan subjek penelitianku. Dan, aku tak pernah berhasrat membuat jurnal akademik dengan bahasa rigid tentang bagaimana kelas pekerja di wilayah perkotaan saling mengimroatuskan diri. 

Kalau boleh jujur, jenis kehidupanku yang sebelumnya itu, ketimbang kehidupan, lebih terdengar seperti kutukan paling menyedihkan yang bisa dicetuskan dewa-dewi di gunung Olimpus. Tak ada kebahagiaan imajinatif dari kerepetitifan yang menjemukan. Aku bahkan merasa, tubuhku bukan lagi tubuhku, diriku bukan lagi diriku. Aku bagai kapal theseus yang setiap kerangkanya telah diganti dan diperbaharui sepanjang waktu.

Tapi yang paling banter kulakukan saat itu hanyalah memenuhi kedua telingaku dengan lagu Tentu Saja Aku Sengsara Sekarang - Para Pandai Besi dan Tak Ada Kejutan - Kepala Radio. Dan, merobotkan diri. Memekaniskan hari-hari. Aku berevolusi menjadi robot tak berperasaan yang bisa menyelesaikan soal CAPTCHA. Alias jadi stoak-stoik urban. Suatu pagi, kuceritakan apa yang kurasakan pada ayahku. Ia bilang jadilah setegar akar. Masalahnya akarku serabut, bukan tunggang. Maka ketika badai menghantamku, yang kulakukan hanyalah cabut dengan lari tunggang-langgang. 

Barangkali, lelah akan kegagalan bertubi-tubi membikinku menjadi sosok yang mudah menyerah. Lelah adalah lelah. Menyerah tetaplah menyerah. Maka, pada suatu minggu malam, kujadwalkan untuk mengakhiri hidupku. Tiga hari sebelum bunuh diri, kukuras tabunganku yang tak seberapa. Kualihfungsikan jadi dana kenakalan. Mencari kepuasan instan. Melampiaskan kehampaan. Mengunjungi sebuah kasino. Bermain domino, qiu-qiu. Menenggak Kolonel Morgan. Dan, menyewa PSK. Setelahnya, aku melompat dengan posisi kepala terlebih dahulu dari apartemenku yang berada di lantai tiga belas.

Sebelum melompat, aku sempat menulis surat wasiat. Dalam testamenku itu, kutekskan bahwa aku ingin pulang. Sebenar-benarnya pulang. 

***

Semesta yang mahabercanda, sialnya, menerjemahkan kalimat itu dengan melahirkanku kembali sebagai ikan laut dalam. Ayolah, aku pun tahu kalau laut adalah tempat berpulang yang paling purwa. Tapi itu bukan berarti aku ingin pulang ke sana dan dilahirkan sebagai ikan Angler. Aku ingin pulang pada ketiadaan. 

Aku mengerti, nenek moyang manusia mungkin adalah ikan atau makhluk laut mikroskopis yang hidup sekitar lima ratus empat puluh juta tahun yang lalu. Dan, kehidupan itu sendiri muncul dari lautan. Yang luasnya mencapai seratus empat puluh juta mil persegi, atau sekitar tujuh puluh dua persen dari luas permukaan bumi. Aku sadar, iklim dan cuaca, bahkan kualitas udara yang dihirup manusia, begitu bergantung pada interaksi antara laut dan atmosfer, yang masih belum sepenuhnya dipahami. Aku tahu, lautan tidak hanya menjadi sumber makanan utama bagi kehidupan yang dihasilkannya, tetapi sejak catatan sejarah paling awal, laut telah memungkinkan perdagangan dan perniagaan, petualangan dan penemuan. Aku mafhum, ketika benua-benua telah dipetakan dan setiap penjuru hampir dapat diakses melalui jalur darat atau udara, sebagian besar penduduk dunia tinggal tidak lebih dari dua ratus mil dari laut dan mempunyai hubungan personal dengannya.

Tapi aku benci laut. Sewaktu masih manusia,  aku bahkan tak bisa berenang dan mengidap talasofobia. Maka, salah satu penyesalan dalam kehidupanku sebelumnya, tentu saja adalah tak menulis surat wasiat dengan benar. Penyesalanku yang paling mungkin kedua adalah tak kuliah fisika nuklir. Mempelajari inti atom dan perubahannya. Memahami bagaimana menciptakan senjata pemusnah massal. Demi mempercepat berlangsungnya hari kiamat. Kau mesti tahu, pikiranku memanglah penjahat paling bangsat yang berkeliaran bebas, yang sepertinya lebih baik dipenjara di Ilcitriz.

Mungkin aku hanya membutuhkan seseorang yang mendekapku dengan erat, hangat, dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Entahlah, aku hanya Arpeggi. Ikan laut dalam yang jelek dan jangan-jangan jadi aneh karena tak punya kawan untuk bercerita. Maaf, kalau ceritaku berantakan. Aku bahkan tak tahu akan memulai dan mengakhiri cerita ini dengan seperti apa.

Saturday 26 August 2023

Cerpen: Bagaimana Lukisan Menangis?


“Maaf,” Anna dengan sangsi mencoba memulai percakapan, “Mengapa kau melukis kesedihan? Bukankah seni seharusnya membawa kebahagiaan?”

Raymond terdiam, tetapi kedua matanya masih tidak lepas dari kanvas dan kuas.

“Ah, anak muda... lupakan soal 'seharusnya', kau telah menyentuh kebenaran yang asing,” ia pun membuka mulut, suaranya, seperti sinar matahari pagi yang lemah lembut berusaha menembus tebalnya kabut.

“Seni dan kebahagiaan memang punya hubungan yang baik. Tapi seni dan kesedihan... memiliki hubungan yang lebih menarik dan mesra... tapi kompleks,” tambahnya.

Ia menunjuk. Studionya remang. Tak mengherankan. Setiap inci ruangan itu hanya disinari lampu halogen berwarna kuning berdaya kira-kira lima watt. Jari telunjuknya mengarah pada lukisan dengan skema warna suram. Yang membikin nuansa seakan tambah temaram. Selain tampak kelam, studio itu berantakan. Seperti kapal seniman payah yang pecah. Tumpahan cat di mana-mana. Kuas-kuas yang tidak pada tempatnya. Kanvas-kanvas dengan lukisan yang belum selesai. Seseorang yang belum mengenal Raymond pastilah menyangka ia mengidap ADHD, hanya dengan melihat bagaimana kacau studionya.

Tak berselang lama, Raymond pun bangkit dari kursi kayunya. Berjalan menuju lukisan yang ia tunjuk, Anna mengekorinya. Anna memerhatikan lukisan tersebut dengan seluruh keseriusan dan ketelitian yang ia punya. Lukisan itu berukuran delapan puluh kali enam puluh sentimeter. Berjudul “off-limits apocalypse ejaculations”, dengan deskripsi cat akrilik di atas kanvas. Dan, bertitimangsa dua ribu sembilan belas. Selayang pandang, memvisualkan dua manusia—sedang french kiss di suatu kuburan—di atas kepala mereka ada sebuah meteor yang ukurannya cukup besar untuk menandai kepunahan massal ke enam.

“Ini,” katanya, “ini adalah tegangan antara keindahan dan kengerian. Dalam produk-produk dunia penciptaan... lukisan, tulisan, lagu, atau barangkali seni performans... sedih adalah salah satu bahan dasarnya.”

“Hah, bagaimana bisa?” tanya Anna yang keheranan.

“Tanpanya, tak ada citra-citra perjuangan. Menentang keadaan, melawan kesementaraan. Perjuangan tak akan heroik tanpa bumbu kesedihan. Sedih itu serupa garam. Yang membuat sesuatu jadi gurih. Masalahnya, bila terlalu banyak... akan menyebabkan dehidrasi. Rasa kekeringan,” kata Raymond dengan santai.

“Ok, Pak Tua, tapi aku sedang tidak belajar tata boga. Apa hubungannya dengan lukisan ini?” tanya Anna semakin heran.

“Bukankah indah sekaligus ngeri rasanya melihat sepasang manusia sedang ugal-ugalan berciuman semasih kiamat dalam sekejap akan dengan mudah membumihanguskan mereka? French kiss di bandara, di bioskop, atau di kamar hotel... itu sangatlah biasa, tetapi french kiss di kuburan barulah luarbiasa. Kita mungkin sepakat, french kiss itu indah, tetapi french kiss pada hari kiamat lebih indah berkali-kali lipat. Seperti api yang menolak padam.”

Anna, kembali bertanya seperti seorang bocah kadung penasaran yang bercita-cita menjadi penginterviu tokoh-tokoh ambigu, “Aku dapat poinnya. Tapi bukankah menyakitkan untuk melukis pemandangan yang menyedihkan seperti itu?”

Raymond menyungging senyum.

“Ya, memang menyakitkan. Namun, hanya dengan melukis hal menyedihkan itulah kita dapat menerima sedih. Yang pada akhirnya, kita bisa benar-benar menghargai kata 'bahagia'. Hanya dengan seperti itulah seni bisa membawa kebahagiaan. Sedih mesti diterima, lebih-lebih dicintai apa adanya. Aku tak mau semakin meromantisasi tapi saat melukis kesedihan, aku teringat akan betapa rapuhnya keindahan. Betapa ia mudah patah. Entah dipatahkan orang lain, ataukah dipatahkan diri kita sendiri,” jawab Raymond sembari menunduk.

“Apalagi yang kau dapat dari melukis kesedihan?”

Tangan kanan Raymond meraih sebotol merlot. Sedang tangan kirinya menggapai gelas sloki.

“Kau mau minum?”

“Ketimbang merlot, sebenarnya aku lebih menyukai shiraz. Tapi tak apa... aku sedang ingin menghangatkan tubuhku. Beberapa gelas merlot mungkin ide bagus buatku.”

Mereka pun menenggak beberapa gelas merlot. Sembari berdiri.

Dengan sedikit tipsy, Raymond melanjutkan, “Yang kudapat dari melukis kesedihan... sensitivitasku meningkat pesat. Aku merasakan relativitas waktu. Betapa waktu bisa berjalan lambat atau berjalan cepat. Kau tahu, seni juga butuh kepekaan-kepekaan tertentu.”

“Kepekaan seperti apa?”

“Seperti yang telah kusinggung sebelumnya, kepekaan akan betapa rapuhnya keindahan. Percayalah, anak muda... kesementaraan itulah yang membuat segalanya indah. Jika saat ini aku sedih, maka aku gembira... karena tahu kebahagiaan akan datang setelahnya. Aku menangkap air mata yang tak sekadar menyedihkan tapi juga menenangkan. Dan, sebagaimana cinta butuh bahaya-bahaya, keindahan membutuhkan kengerian.”

“Menarik... memang apa jadinya jika cinta tanpa bahaya, dan keindahan tanpa kengerian?”

“Tanpa bahaya dan kengerian, tak ada cinta dan keindahan yang agung. Yang luhur. Atau adiluhung.”

“Apakah itu artinya seni yang magnum opus itu secara paradoks lebih dekat dengan kesedihan ketimbang kebahagiaan?”

“Ini bukan soal jarak. Jauh atau dekat. Bukan pula soal massa. Ringan atau berat. Begini, Anna, seni, bagiku, adalah soal menerima semua warna yang ada pada buku pantone. Bukan pula soal apakah kita akan melukis dengan cat akrilik, cat minyak, atau cat air. Itu perkara teknis. Ada yang lebih penting dan mendasar dari itu.”

“Apa yang lebih penting dan mendasar dari itu?”

“Hahaha... Hiduplah lebih lama... kau akan tahu... sebagaimana kuning dan merah, biru adalah warna primer dalam hidup kita. Sebagaimana bahagia dan marah, sedih adalah yang berlalu lalang dalam hidup kita. Tapi kebiruan-kebiruan itu, boleh jadi, merupakan yang paling purba dari diri kita. Penanda paling pertama dari kelahiran. Pengiring paling pertama dari kematian. Aku benci mengatakan ini, tetapi kurasa, tak ada yang lebih manusia dari air mata. Barangkali itulah mengapa aku sering kali melukis kesedihan. Ya... dengan melukis kesedihan aku merasa menjadi manusia. Anna, kita adalah manusia, makhluk yang punya rasa. Tak sekadar taste of art. Lebih luas dan dalam dari selera estetika belaka. Tapi kau mesti memahami bahwa penulis sebenarnya melukis dengan tulisan dan pelukis menulis lukisan yang tak terbahasakan. Keduanya sama-sama bisa menyingkap misteri-misteri. Tapi aku hampir selalu percaya bahwa pelukis satu tingkat lebih tinggi dari penulis soal bagaimana menggambarkan sesuatu dalam diri kita. Dan, melalui seni, kupikir, kita dapat melihat tarian yang rumit di antara kondisi-kondisi emosional kita.”

Raymond berjalan menuju sudut studionya yang lain. Yang dihiasi sarang laba-laba. Anna kembali mengekorinya. Pria lanjut usia itu kemudian memutar piringan tua yang nampak telah berdebu. Ia mengalukan Cemptino d'un Autre été dari Yinn Taorson. Seratus detik berlalu. Masing-masing dari mereka mematung. Menikmati alunan piano dengan tempo allegretto yang tak secepat allegro itu.

“Mau berdansa?” tiba-tiba Anna mengajak Raymond berdansa.

“Boleh.”

Dan, mereka pun berdansa... seperti sepasang sinting tanpa pisau cukur di tangannya.

Saturday 19 August 2023

Cerpen: Dua Pendaki


“Apa yang sedang kau lamunkan?” tanya Noura tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya. Pantatnya memantapkan posisi duduknya. Lalu ia membetulkan kacamatanya yang sempat longsor. Dan kemudian berselonjor.

“Aku memisalkan dunia ini sebagai pasar malam,” jawab Emil sembari meletakkan kepalanya di pundak kiri Noura. Lantas dengan lekas memejamkan matanya.

Di atas sana, lunar memancari mereka berdua. Hewan-hewan nokturnal saling bersahutan. Membikin semacam melodi malam. Dalam kondisi seperti ini, konon, kejujuran dan keseriusan lebih mudah untuk dilahirkan. Deep talk pun biasanya tak sulit untuk dihadirkan. Di bawah sana, di arah Utara tepatnya, kerlap-kerlip lampu kota nampak jelas ternetra dari dataran setinggi kira-kira seribu tiga ratus MDPL itu. Dan warna langit seperti ingin mengabarkan sedang pukul satu.

“Maksudmu?” ia kembali menukil tanya. Seraya memasang wajahnya dengan segunung keheranan.

“Maksudku, ayolah... Apa beda planet biru ini dengan pasar malam? Di sini, bahkan, terdapat banyak wahana-wahana yang cenderung nauseatik. Ada kora-kora, komedi putar, bianglala, tong setan, dan sebagainya,” jawab Emil setelah mengangkat kepalanya dari pundak kiri Noura. 

“Sejujurnya, aku ingin mencoba memahamimu. Menalar pola pikirmu... Dan kurasa, omonganmu masuk akal. Ada benarnya. Tapi... omong-omong, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” kini Noura bertanya sambil menatap tajam mata Emil.

“Pada dasarnya, aku memang gampang mabuk. Aku bisa muntah hanya karena menaiki persegi panjang beroda lebih dari dua. Apalagi bila di dalamnya terdapat pengharum beraroma jeruk. Aku bukan nyamuk, dan bahkan benci nyamuk, tapi kami sama-sama punya konvensi untuk membenci bau jeruk. Termasuk parfum yang harum jeruk bergamot. Tak diragukan lagi, menurutku, salah satu bebauan terburuk!” ia kemudian mengambil segelas susu jahe di sebelah kanannya. Dan menyesapnya. Kedua kakinya pun turut berselenjor.

“Jawabanmu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Tapi tak apa. Setidaknya aku jadi tahu salah satu alasan mengapa lehermu selalu wangi parfum black opium. Ya, yang hint-nya tercium serupa kombinasi kopi, vanila bourbon, dan bunga melati,” Noura mencoba mengikuti topik pembicaraan.

“Ok ahli minyak wangi. Mulai sekarang kau kunamai Noura Eau de Parfum, ya?” bahasa tubuh dan intonasi bicara Emil seperti seseorang yang sedang satir.

“Haha... usaha yang bagus untuk meledekku. Tapi tolong, aku mohon, jangan mengalihkan perhatianku. Aku masih penasaran sebenarnya. Aku tanya sekali lagi, apakah kau merasa mual dengan kehidupan?” Noura tertawa kecil kemudian memasang wajah serius. Memicingkan tanyanya, lagi.

“Sebentar, aku mau membakar dupa dulu,” Emil meraih keril berukuran enam puluh lima liter berlogo burung osprey di dalam tenda double layer berkapasitas dua orang itu. Lengan kirinya, kini, memegang tiga buah dupa stik. Lengan kanannya memantik api.

Ia kemudian menacapkan tiga buah dupa di tanah. Di depan matras alumunium foil yang mereka duduki. Voilà, asap mengepul dan aromaterapi memenuhi lubang hidung mereka. Penanda dupa tersebut sukses menyala.

“Menurutmu, kira-kira, adakah orang waras yang menyalakan dupa sewaktu dini hari ketika sedang berkemah di antah berantah bersama teman perempuannya? Kau mau pesugihan apa bagaimana?” tak mau kalah, Noura membalas meledek Emil.

“Terserah kau mau menganggapku gila atau bagaimana. Aku terbiasa membakar dupa dan tidak sedang memulai ritual pesugihan. Lagipula pesugihan tak nyata,” kata Emil sambil sibuk menyalakan kembali beberapa dupa yang padam.

“Aku menganggapmu sebagai temanku yang membingungkan. Yang aneh... absurd. Tapi sumpah, pesugihan itu benaran ada. Riil. Kau tak percaya, kah?”

“Kata ayahku, jika pesugihan nyata, tentu saja para ekonom tak akan menggaruk kepalanya sewaktu memikirkan penyebab utama melemahnya nilai tukar suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Dan seseorang yang membikin teori bahwa inflasi sebuah negara dipengaruhi pesugihan itu akan diganjar Hadiah Nobel Ekonomi. IMF dan Bank Dunia pun tak akan segan-segan mengundangnya, memberinya mimbar, untuk mengisi sebuah seminar finansial pada forum pertemuan global.”

“Hahahaha... anjing!!!!” Noura tak bisa menahan tawa dan mengontrol kata-katanya.

“Kita sedang di alam. Jangan sompral,” kata Emil dengan sesimpul senyum. 

“Maaf aku lupa kita sedang berkemah. Eh, aku baru ingat... hmmm... kau belum menjawab pertanyaanku. Apakah kau merasa mual dengan kehidupan?”

Emil membuka kotak makanan yang sejak tadi ia anggurkan. Isinya adalah seratus gram tembakau, sebuah alat pelinting, lima puluh butir filter rokok, dua ratus kertas papir, dan tiga buah lem kertas. Tanpa berkata sepatah kata pun, Noura memerhatikan bagaimana Emil melinting sebuah rokok. Hanya butuh tiga puluh detik baginya untuk melakukannya. Setelah jadi, Noura refleks memberikan korek api kepadanya. Emil membakar dan mengisap rokoknya. Sedang asapnya diembuskan melalui dua buah lubang hidungnya.

“Kalau boleh jujur, aku malas menjawabnya. Pertanyaan itu terlalu personal dan sentimental. Tapi sekarang aku sedang ingin menjawabnya. Begini, enam bulan lalu ayahku masih bangun pagi untuk bekerja di pasar saham. Ia manajer perusahaan broker. Kini, dirinya tidur abadi di dalam peti mati. Ia bunuh diri karena kena PHK. Ia depresi. Praktis, ekonomi keluargaku kolaps. Warisan satu-satunya cuma pasar malam. Aku benci menjadi pengusaha. Tapi aku akan meneruskan bisnis ayahku yang tersisa,” ia mematikkan rokoknya. Pundaknya seperti gedung pencakar langit yang menunggu kehilangan rangka beton di setiap lantainya. Nyaris runtuh, rubuh. 

“Ya Tuhan, aku turut berduka cita atas apa yang telah menimpamu. Aku meminta maaf jika pertanyaanku malah membuatmu merasa tidak enak. Pertanyaanku seperti mengorek luka yang masih menganga. Sekali lagi, aku minta maaf,” kedua tangan Noura menepuk-nepuk pundak Emil. Tak berselang lama, ia pun memeluknya.

“Ya, tak apa. Tak apa-apa...” Emil membisik pelan ke telinga Noura. 

“Aku akan mendengarkanmu jika kau masih ingin bercerita,” Noura memeluk Emil dengan lebih erat.

“Terima kasih sudah memasang telinga...” ia kembali membisik.

“Aku di sini,” Noura melepas pelukan. Emil kembali mengambil rokoknya. Dan membakarnya. Lagi.

“Sejak kecil, aku terbiasa hidup dimanja. Aku lelah memutar kepala agar tidak meninggal dengan cara paling menyedihkan di zaman di mana lebih banyak orang yang tutup usia karena obesitas ketimbang malnutrisi. Ya, kelaparan... aku hanya takut jika suatu hari nanti aku ingin memakan arum manis tapi aku telanjur sakit gigi...” ucapannya terputus karena ia mengisap rokoknya, “Sesekali aku merasa seperti seorang yang alergi gravitasi tapi dipaksa menaiki kereta luncur yang mengarah ke bawah. Aku tidak mual dengan kehidupan, aku telah muntah.”

Noura menelan ludah.

“Percayalah, pada suatu hari nanti kau akan bangkit lagi. Semoga Tuhan selalu memberikanmu obat antiemetik. Ingat ini, apa yang tak membunuhmu akan membuatmu jadi jauh lebih kuat lagi,” katanya, menguatkan.

“Terima kasih atas empatimu,” Emil mengembuskan asap rokoknya ke udara seakan memberi jeda, “... tapi apa yang tak membunuhku lebih besar kemungkinannya membuatku berharap mampus dengan segera.”

“Mengapa kau begitu pesimis? Percayalah, selalu ada cahaya di ujung terowongan yang gelap itu.”

“Aku tidak pesimis, aku realistis. Misalkan cahaya di ujung terowongan itu ada. Tetap tak ada yang bisa menjamin apakah cahaya itu merupakan jawaban bagi kegelapan ataukah kereta dengan kecepatan enam ratus tiga kilometer perjam yang akan menghantamku, mengoyak tubuhku, membunuhku, bahkan sebelum reseptor nyeri itu sempat mengirim sinyal bahaya ke otakku,” Emil menggosok hidungnya.

Noura kembali menelan ludah. Seakan tak percaya atas apa yang ia dengar.

“Meskipun dunia bagiku telah seperti pasar malam yang sedang mati lampu, tapi darinya aku banyak belajar. Misalnya bahwa manusia punya semacam kerinduan purba terhadap keseruan. Bahkan rela merogoh kocek mereka dalam-dalam untuk membayarnya. Membeli andrenalin untuk mendapatkan endorfin, sederhananya. Yang ganjil adalah wahana rumah hantu. Seseorang yang mendatangi wahana itu, tentu saja, sadar bahwa hantu-hantu di sana merupakan sesuatu yang sifatnya buatan. Mengapa ia mesti ketakutan bahkan lari tunggang langgang ketika bersitatap dengan hantu-hantu itu?” ia melanjutkan.

Noura, kini, membiarkan Emil bermonolog. Dan di atas sana, lunar masih memancari mereka berdua...

Saturday 5 August 2023

Cerpen: Ale dan Gori

Ale: “Kau sudah membaca berita?”

Gori: “Berita apa? Ada triliunan berita yang diproduksi setiap hari.”

Ale: “Berita soal mantan pejabat intelijen Angkatan Udara Akirema Sorakit, yang menuding pemerintah negaranya menyembunyikan pesawat Alien sejak tahun sembilan belas tiga puluh-an. Kau percaya Alien?”

Gori: “Berita itu.... sudah. Begini, aku tak mau menggunakan kata 'percaya'. Terlalu dogmatis dan teologis. Aku tak suka pendekatan irasional semacam itu untuk menalar fenomena. 'Percaya' bukan satuan fisika. Tak saintifik. Tak ada beban pembuktiannya. Tak ada tolok ukur kebenarannya. Ya, alien... mungkin ada. Dan kalau pun ada, aku hanya mau percaya pada Alien yang bisa menari.”

Ale: “Sebentar, lantas apa yang kau percaya bila kau tak suka dan tak mau menggunakan kata 'percaya'?”

Gori: “Kalau pun aku mesti percaya, aku hanya mau percaya pada keskeptisanku.”

Ale: “Paradoks!”

Gori: “Lebih ke Paramex, sih.”

Ale: “Hahaha... Kembali ke topik. Kalau Alien ada bagaimana?”

Gori: “Kalau pun ada dan kalau boleh aku lebih konspiratif, aku malah curiga. Aku akan berlagak seperti seorang konspirator mulai sekarang… hmmm… jangan-jangan, lebih dari empat ribu dua ratus matriks yang ada di dunia ini dimungkinkan oleh semacam Alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda.”

Ale: “Kok bisa?”

Gori: “Ya bisa saja. Misalkan kita menggunakan drone berkamera dengan radius seratus meter untuk memantau bagaimana peradaban dari suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang sama sekali tak tersentuh teknologi. Sebut saja, suku Sontinol di Teluk Binggili. Gunakan asumsi yang sama. Tinggal diganti latar lokasi pemantauannya menjadi Bumi dan radiusnya jadi jarak Andromeda ke Bima Sakti. Katakanlah demikian. Bayangkan. Terbayang?”

Ale: “Sialan. Terbayang. Kepalaku seperti membeku.”

Gori: “Kemungkinan terbesarnya apa? Suku Sontinol, akan memandang drone itu sebagaimana kita memandang UFO.”

Ale: “Terkejut dan terheran-heran?”

Gori: “Tepat sekali! Ngerinya, dalam kondisi inosens-primitif yang kolektif semacam itu, juga terdapat kebolehjadian tinggi bahwa beberapa dari mereka yang skizoid akan mulai mendaulat dirinya sendiri sebagai utusan langit. Mereka akan mengaku pernah mendengar suara Alien, misalnya. Masalahnya timbul jika Alien itu bukan poliglot dan malah unilingual. Alias tak bisa banyak bahasa dan hanya bisa satu bahasa saja.”

Ale: “Misalnya bahasa apa?”

Gori: “Katakanlah, bahasa Preketek-preketek. 

Ale: “Ok, lalu?”

Gori: “Bahasa ini akan mendapatkan legitimasi. Dipolitisasi sedemikian rupa dan cara. Misalkan dijadikan semacam bahasa liturgis dalam kidung ekstraterestrial pada ritus peribadatan di depan patung piring terbang.”

Ale: “Bangsat! Seram juga ya. Aku tak bisa membayangkan jika setiap sendi-sendi kehidupanku ditentukan oleh orang-orang naif yang percaya diri, yang bahkan tak bisa membedakan mana nyata mana delusi. Mana fakta, mana lulabi. Mana kebenaran, mana justifikasi. Ini terlalu ngeri, bahkan untuk sekadar dibayangkan dengan kadar kemungkinan sebesar lima persen.”

Gori: “Yang tak delusif dan bisa melihat peluang akan punya tendensi misionaris. Menjadi sales-mitos mengenai keberadaan Alien. Yang nyaris seluruhnya politis. Agar punya privilese. Entah ingin merasa lebih bersih, lebih tahu, demi lebih dikagumi dan disegani. Oleh siapa? Ya, sesamanya. Atau kalau mau ditarik lebih sosio-kultural, lebih kolonial, dan lebih eksploitatif... ya demi mengeruk sumber daya dari daerah jajahannya. Dengan apa? Sistem dan struktur pengetahuan. Beberapa dari mereka yang punya IQ lebih tinggi dari titik didih air dalam skala celsius mungkin akan menyerukan dekolonisasi pengetahuan. Masalahnya, mayoritas dari mereka hanya punya IQ setara titik didih air dalam skala fahrenheit. Imbesil. Aku bukan mau gaya-gayaan berlagak sok pintar. Aku cuma mau memuntahkan analisis kasar. Upaya meraba kebenaran yang sayangnya tak pernah peduli pada perasaan. Itulah alasan mengapa aku mengatakan demikian. Menarasikannya padamu. Biar ada teman. Aku tak mau mengalami kengerian sendirian. Siapa yang tahan?”

Ale: “Dasar bajingan! Eh, aku masih penasaran bagaimana nasib bahasa selain Preketek-preketek, katakanlah Prokotok-prokotok atau Prikitik-prikitik?”

Gori: “Ya, termarjinalkan. Dianggap rendah dan tak sakral. Tak mujarab. Tak punya kekuatan magis apa-apa. Pedahal uuaa, iiii, dan oooo yang disuarakan setiap komunitas suku pedalaman itu cuma soal variasi vokal belaka. Konvensi pula. Ada yang suka dan terbiasa mengucap huruf a, ada yang i, ada yang u, ada yang o. Cuma soal titik artikulasi di sepanjang rongga suara.”

Ale: “Yang cadel bagaimana nasibnya, ya? Misalkan ada mitos, untuk mencapai Lubang Putih mereka superwajib melantunkan mantra ekstraterestrial dengan enam ribu enam ratus enam puluh enam huruf 'r' setiap lima kali sehari. Mampus, sih. Plus, jika Alien yang mereka percaya punya anger issue. Mudah marah. Apalagi jika di Galaksi, tempat Alien itu bersemayam, tak ada psikiater. Atau sekadar psikolog yang tak bisa meresepkan obat. Sehingga, pada akhirnya, Alien itu tak bisa mengonsultasikan kemarahannya yang tak akan terjadi apabila ia tak berinisiatif tinggi untuk menciptakan suku-suku pedalaman. Yang cadel biologis. Lidahnya pendek atau kecil secara anatomis. Alien problematik itu akan terjebak pada tahap kedua, dari lima tahap kesedihan. Ya, kemarahan. Ditambah gemar mengancam dan pendendam. Kacau.”

Gori: “Kabar buruknya, penderitaan suku pedalaman yang cadel tak sekadar itu. Selain memengaruhi bagaimana berbicara, makan, dan menelan... kecadelan dapat menimbulkan komplikasi saat menyusu. Bayi cadel yang secara anatomis berlidah kecil dan pendek bisa kesulitan dalam menyusu. Ketika menetek, aih-alih mengisap, bayi itu malah mengunyah puting payudara ibunya. Hal yang terjadi setelahnya hampir bisa ditebak. Dahinya dikeplak!

Ale: “Hahahahaha... sulit juga ya membayangkan seorang cadel berbahagia. Lebih sulit dari membayangkan seorang pekerja yang bekerja dengan gaji bercanda dan terus berharap semesta bekerja untuknya, tapi faktanya semesta bekerja di bawah tekanan.”

Gori: “Hahaha... sulit itu akan berkali-kali lipat. Kuadrat. Jika kau tahu bahwa mereka yang berlidah pendek akan bekerja lebih ekstra untuk menjulurkan lidah sehingga akan susah mengucapkan huruf 't', 'n', dan 'l'. Dengan demikian, mereka hampir tak bisa mengeluh dan memisuh dengan kata kasar seperti Kantal! Kkkkkk... aku tertawa seperti orang Silbra.”

Ale: “Hahahaha... cukup intermesonya. Menurutmu, apalagi yang ngeri dari mitos mengenai Alien-Alien itu?”

Gori: “Yang tak kalah ngeri begini... hanya karena perbedaan kata atau istilah untuk menyebutkan benda, sifat, peristiwa, tempat, terjadi adegan panah-panahan antar suku pedalaman yang sebenarnya membicarakan hal yang sama. Tambah ngeri kalau mereka berdarah dingin, sehingga mata panahnya diolesi batrakotoksin. Yang cukup untuk membunuh sepuluh manusia dewasa.”

Ale: “Barangkali karena di hutan belantara hanya ada katak panah beracun. Tak ada dokter THT yang bisa menyembuhkan masalah pendengaran. Sehingga, ketika terjadi kebudekan kolektif, puncaknya hanyalah peperangan. Secara lebih luasnya, dengan kapak perimbas, tombak berujung batu, pedang beraksara Preketek-preketek, senapan angin, senapan mesin, bom atom, hingga rudal balistik berhulu ledak nuklir.”

Gori: “Mengapa aku malah membayangkan Boothevon pergi ke dokter THT, ya?”

Ale: “Tanpa berobat saja, ia bisa menciptakan instrumen indah dan surgawi seperti Piano Seniti Nomor Empat Belas. Minimal Boothevon pakai cotton bud, deh. Maka tak diragukan lagi, ia akan menjadi komposer terbaik sepanjang masa. Setelah Chepin dan Dobussy, tentu saja.”

Gori: “Benar juga. Aku sepakat soal itu hahahaha... Omong-omong, aku sih suka instrumen Hins Zammor. Latar lagu film Antorstollir yang epik dan bikin suasana tambah sinematik itu. Tapi kalau mau kembali membahas lebih lanjut soal kecurigaanku bahwa empat ribu dua ratus matriks merupakan ulah semacam alien dengan kecerdasan supertinggi tapi suka bercanda, maka suku-suku pedalaman tak tersentuh teknologi itu, dapat kita asumsikan sebagai masyarakat primordial.”

Ale: “Ya aku tahu instrumen itu... Menarik... Ayo kita bahas lagi. Sebentar, masyarakat primordial?”

Gori: “Iya, salah satu fase paling awal. Biasanya, secara sosiologis, ada tiga ciri utama. Pertama, punya fetis terhadap benda kosmik... sebut saja batu meteor. Kedua, menyembah Alien berjumlah banyak. Ketiga, menyembah Alien yang tunggal. Ada ribuan alasan gaib di balik fenomena kefetisan dan penyembahan itu. Misalkan... mereka percaya bahwa batu meteor itu adalah batu ajaib yang diberikan Alien kepadanya. Hal ini tak akan terjadi apabila Alien punya kepribadian introver. Bukan ekstrover. Tidak narsis. Tidak minta validasi. Idih najis.”

Ale: “Abi! Anak babi! Serius dululah barang sebentar. Ada pertanyaan menggelisahkan di dadaku. Menurutmu, mengapa suku pedalaman di suatu pulau terisolasi yang tidak tersentuh teknologi bisa sebarbar itu?”

Gori: “Barangkali begini... Aku pakai 'barangkali' bukan untuk mengajak berpikir abstrak. Sesederhana karena aku belum bisa memastikan secara pasti. Masih hipotesis, belum kokoh jadi bangunan teoretis. Begini, di dalam batok manusia itu ada otak reptil. Letak spesifiknya di amigdala. Lapisan paling purba dari otak yang bertanggung jawab atas sembilan puluh persen pengambilan keputusan. Sejak kira-kira dua juta tahun lalu, ketika berburu-meramu, otak reptilian digunakan untuk bertahan hidup. Mengontrol kebutuhan dan ketubuhan dasar. Antara lari dan hadapi. Antara hidup dan mati. Produk evolusi hingga hari ini.”

Ale: “Bahaya juga, ya, warisan evolusi ini. Dilematis, sih. Ada baik, ada buruknya. Ya, klise.”

Gori: “Di zaman mahabeli seperti saat ini, otak reptil ibarat biang kerok yang tak kasat mata di balik mengapa banyak orang bertindak konsumtif. Secara neuroekonomi, saat berbelanja, konsumen sebenarnya tak memutuskan secara rasional, mereka hanya berpikir mereka melakukannya. Membanjirnya pilihan-pilihan dan perbandingan produk, misalnya Aypon vs Androit, memaksa otak reptil bertindak cepat. Mirip ketika dulu, kala Pleistosen, nenek moyang kita yang hidup di Akirema Aratu dan Natales, dihadapkan dengan Smilodon, sejenis kucing bergigi pedang. Pilihannya cuma dua. Dulu, lari atau hadapi. Kini, beli atau tidak. Keduanya sama-sama seperti pilihan hidup atau mati.”

Ale: “Orang gila. Kok bisa kepikiran?”

Gori: “Aku berpikir, maka aku kepikiran.”

Ale: “Overthinking, nggak sih?”

Gori: “Lebih ke oversinting, sih.”

Ale: “Hahahaha.... sebentar aku lupa menanyakan ini. Menurutmu, kalau Alien ada, bagaimana wujudnya?”

Gori: “Barangkali sama seperti gambaran umum di film-film dan komik-komik. Bermata besar, berpipi tirus, dan berambut botak. Tapi bagaimanapun rupanya, ciri morfologis seperti ini, berpotensi berujung pada pengultusan. Artinya, yang bermata kecil, berpipi gembil, dan berambut gondrong, akan cenderung dianggap tidak keren. Lebih ke tidak ilahi, sih. Tidak ada unsur ekstraterestrialnya. Maksudku.”

Ale: “Menarik. Ok, pertanyaan selanjutnya. Menurutmu, bagaimana nasib empat ribu dua ratus matriks ketika manusia mampu mengolonisasi planet lain, Mars misalnya?”

Gori: “Pertama, pendaratan Noil Armstreng dan Buzz Aldran di Bulan pada tahun Sembilan Belas Enam Sembilan dalam misi Ipelle Sebelas tak akan lagi dianggap sebagai akal-akalan NISI. Begitu pula Yura Gigiran. Dan Liyki, anjing pertama yang ke luar angkasa. Dan lainnya. Kedua, orang-orang akan mulai hidup dengan damai. Seperti gambaran Jehn Lonnen dalam lagunya, Imejin.”

Ale: “Imejin ders no hepen... its isi if yu trai... no hell bilow as... abop as, onli skai... imejin oll de pipel... lipin for tudei... ah... imejin ders no kantris... itis nat hard tu du... nating tu kill or dai for... en no relijien tuu... imejin oll de pipel... livin laif in piss... yu hu uuuu...

Gori: “Yu mei sei am eu drimer... bat am nat de onli wan... ay hop somdei yu join as... en de woeld will bi as was.”

Ale: “Bagaimana kalau Alien tak ada?”

Gori: “Kalau Alien tak ada, barangkali orang-orang akan mulai percaya bahwa tiga ribu tahun lalu Piramida Gazi dibikin oleh orang-orang Rimes Kuno. Atau bahwa Stenohongo di Silasbury dibuat oleh para pemburu-pengumpul pada Mesolitik Awal. Seperti yang dikemukakan para arkeolog dengan bukti-bukti arkeologi. Bukan teori konspirasi yang didapat dari seorang tolol ketika buang air besar di kamar mandi. Walau bagaimanapun, kita masihlah bocah yang membuka buku bergambar demi memahami bagaimana bintang-bintang nun jauh di sana bekerja.”

Ale: “Kini, kau telah menjadi Kehidupan, penghancur Pascakematian!”

Gori: “Begini, aku bukan Epponhoimor. Aku tak berhasrat mengotaki pemboman Hareshami dan Nigisika. Aku lebih mau menjadi kucingnya Schrëdingor. Yang bisa bereksperimen pikiran. Tanpa harus dipusingkan dengan meningkatnya harga whaskis.”

Ale: “Ini serius, aku lupa bertanya... apa cita-citamu?”

Gori: “Astronot.”

Ale: “Yang benar saja!”

Gori: “Apa aku sedari tadi terdengar seperti seorang pemabuk bermulut besar yang sedang membual?”

Ale: “Tidak.”

Monday 3 July 2023

Translasi Puisi-Puisi Qabbānī


Aku Menaklukkan Dunia dengan Kata-kata

Aku menaklukkan dunia
dengan kata-kata, taklukkan
bahasa ibu, sintaksis,
kata kerja, kata benda.

Aku menghapus muasal
dari segala perihal
dan dengan bahasa baru
yang mempunyai bebunyi air
pesan-pesan api
aku menyalakan masa depan
dan menghentikan
waktu di matamu
dan meruntuhkan sekat
yang menjauh-pisahkan
waktu dari apa yang-kini.

-

Bahasa

Ketika seorang lelaki jatuh cinta
Mungkinkah terucap kata-kata purba?
Mestikah seorang perempuan
Menghendaki kekasihnya
Berbaring dengan
Linguis dan ahli bahasa?

Tak ada yang kubahasakan
Pada perempuan tercinta
Kecuali memasukkan
Kata sifat cinta ke dalam koper
dan melarikan diri dari semua bahasa.

-

Ketika Aku Mencintaimu

Ketika aku mencintaimu, bahasa
baru merekah, kota-kota baru,
dan negeri-negeri baru terjelajahi.
Waktu bernafas bagai anak anjing,
Biji gandum tumbuh di setiap halaman buku,
Burung-burung terbang dengan sepasang lebah madu dari kerling matamu
Rombongan kafilah membawa ramuan-ramuan India, datang dari sepasang payudaramu
Buah mangga berjatuhan, hutan-hutan menyimpan unggunan api
Dan berbunyilah drum orang-orang Nubi.

Ketika aku mencintaimu, payudaramu berguncang menahan malu,
Berubah menjadi guruh dan petir,
jadi pedang, jadi badai pasir.
Ketika aku mencintaimu, kota-kota Arab bangkit dan berdemonstrasi
terhadap zaman represi,
penguasa-penguasa jahat,
dan hukum-hukum adat
yang pilih kasih.
Dan aku, ketika aku mencintaimu
Berlari melawan kebobrokan
Melawan raja lautan,
Melawan institusionalisasi gurun pasir.
Dan aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia
Aku akan terus mencintaimu sampai tiba banjir dunia.

-

Cahaya Lebih Penting dari Lentera

Cahaya lebih penting dari lentera,
Puisi lebih penting dari buku catatan,
Dan ciuman lebih penting dari bibir.
Surat-suratku untukmu
Lebih agung dan lebih penting dari kita berdua.
Di sanalah satu-satunya guratan
Di mana orang-orang akan menemukan Kecantikanmu
Dan kegilaanku.
-

Perbandingan Cinta

Aku tak serupa dengan kekasih-kekasihmu yang lain, perempuanku
Bila yang lain memberimu awan
Kuberikan kau hujan
Bila yang lain memberimu lentera,
Akan kuberi kau rembulan
Bila yang lain memberimu ranting
Akan kuberi kau pohonan
Dan bila yang lain memberimu sebuah kapal
Akan kupersembahkan kau sebuah perjalanan.

*****

Nizār Qabbānī adalah salah satu penyair Arab modern terbesar, bahkan dijuluki Raja Penyair Arab.

Sumber literatur:
Modern Arabic Poetry: An Anthology with English Verse Translations, 1950, Arthur J. Arberry

Saturday 27 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Hemingway


Tahanan

Beberapa datang dengan rantai
ketaksesalan tapi kelelahan.
Terlalu lelah tapi tersandung keadaan.

Berpikir dan membenci telah selesai
Berpikir dan berkelahi telah selesai
Mundur dan berharap telah selesai.

Penyembuhan hasilkan perang
yang panjang, yang lancarkan
kematian.

-

Untuk Orang Baik yang Mati

Mereka mengisap kita;
Raja dan negara,
Tuhan yang Mahakuasa
Dan sisanya.
Patriotisme,
Demokrasi,
Kehormatan—
Kata dan frasa,
mengolok-olok
atau membunuh kita.

-

Pada Akhirnya

Dia coba muntahkan kebenaran;
Dengan mulut yang kering,
pada mulanya, Dia menitikkan
air liur dan meneteskan air liur
pada akhirnya; Kebenaran
mengucurkan rahangnya.

-

Yang Dipinta Usia

Usia meminta agar kita bernyanyi
dan memotong lidah kita.
Usia menuntut kita mengalir
dan memalu penutup tangki.
Usia memaksa kita menari
dan jejalkan kita ke dalam celana besi.

Dan pada akhirnya usia menyerahkan
jenis omong kosong yang pernah dipintanya.

-
Montparnasse

Tak pernah ada kasus bunuh diri pada usia muda
di antara orang-orang yang-tak-dikenal—
tak ada percobaan bunuh diri yang menggores sukses.
Seorang pemuda Tionghoa yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(mereka terus meletakkan surat-surat
di kotak surat pemuda malang itu)
Seorang pemuda Norwegia yang-tak-dikenal
bunuh diri dan mati.
(tak ada yang tahu ke mana pemuda Norwegia
yang-tak-dikenal lainnya pergi)
Mereka menemukan sebuah tubuh terbujur pasi
di tempat tidur dan telah menjemput kematian.
(bagi seorang concierge hotel mewah itu adalah
masalah yang hampir tak tertahankan).

Minyak manis, putih telur, mustard dan air,
busa sabun, dan pompa perut menyelamatkan
orang-orang yang-dikenal. Setiap sore, orang-orang
yang-dikenal dapat ditemukan di kafe-kafe.

*****

Ernest Hemingway adalah seorang novelis dan cerpenis Amerika yang dianugerahi Nobel Sastra pada tahun 1954. Gaya prosanya yang ringkas dan terang memberikan pengaruh kuat pada sastra Amerika dan Inggris pada abad ke-20. Sebelum fokus sebagai prosais, di masa muda, Hemingway tekun menulis puisi.

Sumber literatur:
Ernest Hemingway, My Poetic Side:
https://mypoeticside.com/poets/ernest-hemingway-poems

Monday 22 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Almadhoun



Perempuan

Kau;
yang menjejaki
anggur sampai jadi wine
dengan telanjang kaki
semenjak sejarah bermula
yang terkunci di Sabuk Suci
di Eropa
yang dibakar sampai mati
di Abad Pertengahan
yang menulis novel
di bawah nama samaran lelaki
hanya agar bisa dipublikasikan
yang memanen teh
di Sri Langka
yang membangun ulang
Berlin pascaperang
yang menumbuhkan kapas
di Mesir
yang melumuri tubuhnya
dengan kotoran
demi hindari pemerkosaan
tentara Prancis yang bengis
di Algeria
perempuan perawan
di Kuba
yang melinting cerutu
di atas paha mereka
bagian gerilyawan Black Diamond
di Liberia
penari samba
di Brasil
perempuan yang wajahnya
dihancurkan
racun asam
di Afghanistan...

Ibuku…
Maafkan aku.

-

Kami

Kami, yang berserakan dalam potongan-potongan, yang dagingnya terbang di udara seperti tetesan hujan, menawarkan permintaan maaf kami yang mendalam kepada semua orang di dunia yang beradab ini, laki-laki, perempuan, dan anak-anak, karena kami secara tak sengaja muncul di rumah-damai mereka tanpa meminta izin.

Kami mohon maaf karena telah memasukkan bagian tubuh kami yang tercerai-berai ke dalam ingatan mereka yang seputih salju, karena kami telah menodai citra manusia yang normal dan utuh di mata mereka, karena kami memiliki ketidaksopanan untuk melompat tiba-tiba ke buletin berita dan halaman-halaman majalah, internet dan pers, bertelanjang, dengan darah dan sisa-sisa hangusnya tubuh kami.

Kami meminta maaf kepada semua orang yang tak memiliki keberanian untuk melihat langsung luka-luka kami, karena takut mereka akan terlalu merasa ngeri, dan kepada mereka yang tak dapat menyelesaikan makan malam mereka setelah mereka secara tak terduga melihat gambar-gambar segar kami di televisi.

Kami mohon maaf atas penderitaan yang kami sebabkan kepada semua orang yang melihat kami seperti itu, apa adanya tanpa hiasan, tanpa ada upaya yang dilakukan untuk menyatukan kami kembali atau menyatukan kembali jenazah kami sebelum kami muncul di layar mereka.

Kami juga meminta maaf kepada tentara Israel yang harus bersusah payah untuk menekan tombol tembak di pesawat dan tank mereka untuk meledakkan kami, dan kami meminta maaf atas betapa mengerikannya penampilan kami setelah mereka mengarahkan peluru dan bom mereka langsung ke kepala kami yang lunak, dan untuk waktu-waktu yang kini akan mereka habiskan di klinik psikiatri, mencoba menjadi manusia lagi, seperti sebelum kami berubah menjadi bagian-bagian tubuh menjijikkan yang mengejar mereka setiap kali mereka mencoba untuk tertidur lelap.

Kami adalah apa yang telah kalian lihat di layar dan di media, dan jika kalian berusaha menyatukan potongan-potongan itu, seperti puzzle, kalian akan mendapatkan gambaran yang jelas tentang kami, sangat jelas sampai kalian merasa tak akan bisa melakukan apa-apa lagi.

-

Pembantaian

Pembantaian adalah metafora mati yang memakan teman-temanku, memakan mereka tanpa garam. Mereka adalah penyair dan telah menjadi Reporters With Borders; mereka sudah lelah dan sekarang mereka bahkan jauh lebih lelah. 'Mereka menyeberangi jembatan saat fajar menyingsing hari' dan mati tanpa jangkauan telepon sama sekali. Aku melihat mereka melalui kacamata malam dan mengikuti panas tubuh mereka dalam kegelapan; di sanalah mereka, melarikan diri darinya bahkan ketika mereka berlari ke arahnya, menyerah pada pijatan besar ini. Pembantaian adalah ibu mereka yang sebenarnya, sedang genosida tak lebih dari sebuah puisi klasik yang ditulis oleh para intelektual pensiunan jenderal. Genosida tak pantas untuk teman-temanku, karena ini adalah tindakan kolektif yang terorganisir dan tindakan kolektif yang terorganisir mengingatkan mereka pada Sayap Kiri yang mengecewakan mereka.

Pembantaian bangun pagi, memandikan teman-temanku dengan air dingin dan darah, mencuci pakaian dalam mereka dan membuatkan roti dan teh, lalu mengajari mereka sedikit tentang berburu. Pembantaian lebih berbelas kasih kepada teman-temanku ketimbang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Pembantaian membuka pintu bagi mereka ketika pintu lain ditutup, dan memanggil mereka dengan nama-nama mereka ketika laporan berita hanya mencari angka-angka. Pembantaian adalah satu-satunya yang memberi mereka suaka terlepas dari latar belakang mereka; keadaan ekonomi mereka tak mengganggu Pembantaian, Pembantaian juga tak peduli apakah mereka intelektual atau penyair, Pembantaian melihat hal-hal dari sudut pandang yang netral; Pembantaian memiliki ciri-ciri kematian yang sama dengan mereka, nama yang sama dengan istri janda mereka, seperti mereka melalui pedesaan dan pinggiran kota dan muncul tiba-tiba seperti mereka dalam berita utama. Pembantaian menyerupai teman-temanku, tetapi selalu datang sebelum teman-temanku di desa-desa yang jauh dan sekolah-sekolah anak.

Pembantaian adalah metafora mati yang keluar dari televisi dan memakan teman-temanku tanpa sedikit pun garam.

-

Untuk Damaskus

Ini membunuhku, musim panas ini
yang merembes
melalui retakan Damaskus, aku merangkak seperti karat
di pintu penjara yang berubah
menjadi sebuah museum ini. Ini aku, yang duduk
takut dan malu di kafe pada hari-hari ketika uang
begitu langka, dan tertawa sekeras-kerasnya
pada hari-hari ketika kantongku terisi paripurna. Damaskus
adalah rumahku yang retak, dan
Kasyon adalah apa yang kuratapi. Aku sebarkan
di malam hari seperti klakson mobil
dan gerobak kacang yang besar, aku dikenal
orang asing dan turis. Aku tak memiliki pagar, setiap
kebahagiaan yang telah mengkhianati wajahku
kembali meminta maaf dari tawaku. Aku
adalah campuran aneh yang berkuasa
di langit orang miskin dan pakaian
di jendela di depan toko. Tubuhku adalah
ladang gandum yang terbakar, lidahku mencaci
seperti sepatu. Petugas polisi, guru,
dan pria misterius itu menatapku, maka aku
dengan sedih tertawa, dan mereka
dengan riangnya menangis. Damaskus
adalah milikku, dan aku tak akan
mengizinkan siapa pun
untuk membagi tempat tidurku, selain
kepada mereka yang jahat
dan para pelacur. Aku adalah tangga
yang menurun
ke lubang yang didirikan tinggi, dan
jejak pencuri di atas pasir. Tubuhku
adalah hotel bagi mereka yang pergi.
Kata-kataku adalah Injil kecil
yang hilang oleh para nabi, maka mereka
yang sesat mengadopsi.
Karena itu aku akan
membuang remah-remahnya
pada burung kawat berduri, dan aku akan
mengebiri kejayaan pada aspal. Inilah yang
mereka ajarkan kepada kami
di sekolah umum, maka
mereka melepaskan kami seperti kelinci
untuk mengunyah rumput dari penyerahan.
Aku berkata kepadamu bahwa aku tak akan
izinkan siapa pun menyelinap masuk
dan melihat Damaskus sebagai
seorang perempuan
yang mandi sendiri, payudara
kecilnya terbuka dengan malu, aku tak akan membiarkanmu ...
masuk.

-

Ode untuk Kedukaan

Kami mencintaimu, Eropa, kau benua tua. Aku tak tahu mengapa mereka menyebutmu tua pedahal kau masihlah muda dibandingkan dengan Mesir dan Mesopotamia.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membayar pajak-pajakmu seperti yang dilakukan orang kulit putih, dan tahan dengan suasana hatimu yang berubah-ubah, yang menyerupai cuacamu, dan kekurangan vitamin D yang serius, yang disebabkan gelapnya musim dinginmu. Kami mencintaimu dan sedih dengan kenyataan bahwa kami tak akan pernah terbiasa dengan kegelapan suram di musim dinginmu yang begitu panjang, karena inilah teman-teman Eropa kami, maksudku penduduk aslimu yang lahir di Utaramu yang dingin dari seorang ibu dan ayah Arya, menderita depresi seperti kami dan kekurangan vitamin D, karena, menurut teori evolusi, mereka juga adalah Homo Sapiens, yang berasal dari Afrika. Penghuni aslimu yang sebenarnya, maksudku Neanderthal yang berevolusi selama zaman es hingga mereka dapat menahan rasa dinginmu itu, sekarang telah punah.

Kami mencintaimu, Eropa, dan kami tak menyangkal bahwa kami datang kepadamu dari negara-negara dunia ketiga yang terbelakang, begitu, kau menyebutnya. Aku sendiri berasal dari Damaskus dan mengalami banyak klise, stereotip, dan prasangka dari penulis-penulis dan penyair-penyairmu. Terlepas dari kenyataan bahwa aku menganggap diriku sebagai seorang feminis, aku menjadi bosan dan muak dengan pertanyaan dangkal yang terus-menerus dilontarkan tentang situasi perempuan di Timur Tengah. Aku mengakui sepenuhnya bahwa perempuan di Suriah mendapat hak untuk memilih pada tahun 1949, tetapi di Swiss, pusat uang-uangmu dan uang dari kediktatoran kami dan rekening bank rahasia mereka, perempuan mendapat hak untuk memilih pada tahun 1971, dan tentu saja itu tak ada di semua kanton di Swiss: kanton Appenzell Innerrhoden hanya memberikan hak suara penuh kepada perempuan pada tahun 1991, ya Tuhan!

Kami mencintaimu, Eropa. Kami menyukai kebebasan yang kau berikan kepada kami ketika kami jatuh ke pelukanmu, dan kami berpura-pura tak memerhatikan rasisme yang coba kau sembunyikan di bawah karpet saat kau membersihkan ruang tamu.

Kami mencintaimu, Eropa, nyonya kolonialisme masa lalu, pembantai penduduk asli, pengisap darah orang-orang dari India sampai Kongo, dari Brazil hingga Selandia Baru.

Nyonya Penyelidik, pembakar perempuan dengan alasan bahwa mereka adalah penyihir, nyonya pedagang budak yang mengangkut orang kulit hitam ke dunia baru, pencipta politik apartheid di Afrika Selatan, pendiri fasisme dan Nazisme, penemu solusi terakhir untuk membinasakan orang Yahudi, solusi terakhir yang menyebabkanku terlahir sebagai pengungsi kamp Yarmouk di Damaskus karena kau memiliki keberanian untuk menyerahkan negaraku Palestina sebagai pembayaran, kompensasi, dan solusi untuk Holocaust yang dilakukan oleh penduduk kulit putihmu, yang percaya pada kemurnian ras Arya.

Kami mencintaimu, Eropa, dan membawa paspor-mu yang membukakan seribu pintu bagi kami, semudah peluru-mu merobek daging jutaan orang Algeria yang ingin menikmati kebebasan yang dielu-elukan Revolusi Prancis-mu.

Kami mencintaimu, Eropa. Kami mencintai seni-mu dan membenci sejarah kolonialisme-mu, mencintai teater-mu dan membenci kamp konsentrasi-mu, mencintai musik-mu dan membenci suara bom-mu, mencintai filsafat-mu dan membenci Martin Heidegger-mu, mencintai sastra-mu dan membenci orientalisme-mu, mencintai puisi-mu dan membenci Ezra Pound-mu, mencintai kebebasan berekspresi dalam batas-batas-mu sendiri dan membenci Islamofobia-mu, mencintai peradaban maju-mu, sekulerisme-mu, hukum-mu yang adil dan hak asasi manusia di wilayah-mu sendiri, dan membenci rasisme-mu, standar ganda-mu, pandangan arogan-mu, dan sejarah berdarah-mu.

Ambil Nazisme dan beri kami Immanuel Kant
Ambil Blackshirts dan beri kami anggur Italia
Ambil genosida di Algeria dan beri kami Baudelaire
Ambil Leopold the Second dan beri kami René Magritte
Ambil Adolf Hitler dan beri kami Hannah Arendt
Ambil Franco dan beri kami Cervantes
Ambil barang-barangmu dan biarkan kami mengambil apa-apa yang milik kami itu.

*****

Ghayath Almadhoun adalah seorang penyair Palestina yang lahir di Damaskus pada tahun 1979 dan berimigrasi ke Swedia pada tahun 2008. Saat ini, ia tinggal di antara Berlin dan Stockholm.

Sumber literatur:
Ghayath Almadhoun, Poetry in English:
https://www.ghayathalmadhoun.com/

Wednesday 10 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Pessoa



Aku Tahu, Aku Sendiri

Aku tahu, aku sendiri
Betapa lukai, hati ini
Tanpa iman atau aturan
Atau melodi atau gagasan.

Hanya aku, hanya aku
Tak ada yang bisa kubahasakan
Karena perasaan bagai langit—
Terindra mata, kehampaan.

-

Autopsychography

Penyair dipenuhi kepura-puraan.
Dengan sangat teliti, hingga
Dia berhasil memalsukan kesakitan.

Sakit yang benar-benar dia rasakan;

Dan para pembaca karangannya
Jelas merasa, dalam sakit yang terbaca,
Tak satu pun rasa sakit itu miliknya,
Hanya sakit yang tak mereka pahami.

Maka, di sekitar jejaknya yang guncang
Kencang berlari, 'tuk sibukkan akal budi,
Sebuah kereta mengitari jarum jam
Yang manusia sepakati sebagai hati.

-

Matamu Menyedih

Matamu menyedih. Kau tak
dengarkan apa yang kukatakan.
Matamu mengagut, bermimpi,
dan mengabut. Tak acuh;
aku mengawang jauh.

Kunarasikan apa yang telah berlalu,
dari kesedihan yang lesu,
begitu melulu ...
Kupikir kaupernah mendengarkan,
tapi tidak, tak ada telingamu.

Tiba-tiba,
Tatapan yang hilang, kau menatapku,
masih jauh tak terkira,
kau menyimpul senyum.

Aku terus berbicara. Sedang kau
terus dengarkanpikiranmu sendiri,
senyuman yang hilang;

Hingga, lewati kemalasan
Sore yang terbuang sia-sia,
Keheningan membuka diri
Dari senyummu yang tak berguna.

-
Sesekali Aku Punya

Sesekali aku punya ide-ide bahagia,
Ide-ide tiba-tiba bahagia, di antara ide-ide
Dan kata-kata di mana mereka biasa bebas

Setelah menulis, aku membaca…
Apa yang membuatku menulisnya?
Di mana aku pernah menemukannya?
Dari mana hal itu datang kepadaku?
Itu lebih baik dariku…

Haruskah kita mengada, di dunia ini,
paling tidak, jadi pena dan tinta
yang digunakan seseorang
untuk mengarang dengan rapi
dan tepat apa yang kita guratkan
di sini?

-

Yang Tak Terhitung Jumlahnya

Yang tak terhitung jumlahnya
tinggal di dalam kita; ketika aku
memikirkan atau merasakan,
aku tak tahu siapa yang memikirkan
atau siapa yang merasakan.
Aku hanyalah sebuah tempat
dari perasaan atau pikiran.

Aku memiliki lebih dari satu jiwa.
Ada lebih banyak aku dari diriku sendiri.
Aku ada tapi tak peduli
kepada mereka semua.
Aku bungkam mereka:
aku berbicara.

Impuls yang bertentangan dari apa
yang-kurasakan atau
yang-tak-kurasakan;
sengketa di dalam,
siapa diriku sebenarnya?
Aku mengabaikan mereka.
Mereka tak mendikte kepada
seseorang yang kutahu.
Aku menulis.

*****
Fernando António Nogueira Pessoa adalah seorang penyair kritikus sastra, penerjemah, dan intelektual Portugis—digambarkan sebagai salah satu tokoh sastra terpenting abad ke-20 serta salah satu penyair terbesar dalam bahasa Portugis.

Sumber literatur:

Twenty Poems Fernando Pessoa, Translated by A. S. Kline: https://www.poetryintranslation.com/PITBR/Portuguese/FernandoPessoa.php#anchor_Toc503461473