Showing posts with label sastra. Show all posts
Showing posts with label sastra. Show all posts

Monday 15 April 2024

Kapitalis Mana yang Butuh Sastra?

di galaksi ekonomi, terdapat sebuah planet bernama Kapitalis. di planet hijau pucat ini, angka-angka & grafik tumbuh subur layaknya pohon-pohon di hutan Amazon. para penduduknya, yang menyebut diri mereka sebagai Kapitalian, berkomunikasi pakai sistem bahasa yang terdiri dari simbol dolar & persentase. 


perihal bagaimana mereka saling menyapa, mereka menggunakan kalimat, “Bugattimu warna apa?”. untuk bertanya kabar lebih personal, biasanya, mereka menggunakan huruf v atau V (volatilitas rendah atau volatilitas tinggi). semacam kata ‘aman’ dalam bahasa Kapitalian. misalnya begini.


v/V?

v

waduh. butuhkah?

bolehlah.


kurang lebih begitu. 


secara statistik, sembilan puluh sembilan persen dari mereka menyembah Tuhan Stonks yang Mahaprofit. serta menerapkan lima rukun Kapitalian: satu, mengucapkan dua kalimah konglomerat; dua, mendirikan start-up; tiga, membayar pajak penghasilan; empat, menjalankan puasa konsumeristik; lima, naik ferrari bagi yang mampu. 


yang satu persen, adalah mereka yang tak mengimani. mereka menarik diri dari peradaban. retreat ke hutan & kekeh percaya manusia bisa hidup tanpa uang. logis, memang. sebab di hutan, tak ada tukang dagang—yang ada cuma teriakan primata u-u-a-a. maka, kalaulah mereka merasa lapar mulai mencakar-cakar, seperti biasa, mereka akan merajut gelang etnik agar bisa ditukar dengan hasil alam yang bisa dikunyah. paling banter, nasi. singkatnya, barter.


selain itu, di beberapa sudut jalan yang tersentuh peradaban, terdapat plang dilarang P. bukan. bukan dilarang Parkir tapi dilarang Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. di dunia maya, ‘P’ juga berarti Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus. bukan Ping. mereka yang trauma terhadap huruf ‘P’ disebut Pfobia. umumnya, para psikolog butuh setidaknya tiga kuartal untuk menyembuhkan pengidap Pfobia. hanya demi menyakinkan bahwa ‘P’ merujuk pada Punten, bukan Pinjamduluseratusagarsilaturahmitidakterputus.


sebenarnya, ada aturan tak tertulis bahwa untuk meminjam uang dibutuhkan basabasi bernada afektif bukan basabasi berwarna geografis. dengan kata lain, tidak etis ujug-ujug wah cuacanya cerah ya... kemudian langsung mengeluarkan jurus bos-adakah-seratus. namun, akan lebih baik jika bertanya tentang bagaimana kabar, sedang di mana, apakah usaha lancar, barulah menuju tujuan konkretnya. begitulah pengutang-bermoral bekerja.


setiap dari mereka juga diwakili oleh skor kredit. semakin tinggi, semakin bergengsi. sedang mereka yang bermasalah, wanprestasi, atau galbayers niscaya dipenjara dalam ruangan dua kali dua meter berpintu kayu jati. & menerima hukuman berupa digedor debt collector dengan tempo larghissimo sampai prestissimo setiap tiga jam sekali. itulah mengapa SLIK OJK (Otoritas Jasa Kapitalian) adalah harga mati. setengah Rakib, setengah Atid. boleh jadi sebab mereka mengimani Kitab Laba, ayat dua, yang berbunyi: “barangsiapa kredit mulus, niscaya Tuhan Stonks ciptakan jalan menuju surga beraspal fulus.”


bagaimana dengan yang memuncaki kasta?

bagi mereka yang memegang Black Card, penyebab melarat bukanlah kemiskinan struktural tapi malas bekerja keras. para pemegang Black Card ini, semakin kokoh berada di puncak teratas, sebab mereka berjualan kelas-kelas yang berisikan petuah bahwa rajin pangkal kaya—bukan privilese pangkal kaya, atau akses pangkal kaya.


*** 


pada suatu senin siang, di sudut kafe butut yang bergaya arsitektur industrial sebab tak ada dana lebih buat membeli cat, terdapat sekelompok Kapitalian muda yang berbeda & sok edgy. mulut mereka tak pernah melafalkan mantra ROI (Return on Investment) sebanyak tujuh kali dalam hati. kepala mereka juga tak pernah dipakai untuk memikirkan lembar saham & obligasi. sebuah anomali. mereka ini adalah para pencinta sastra, yang dengan tekun membaca-mengarang puisi & prosa, bukan laporan keuangan & proyeksi pasar yang cuan dalam lima sampai dua puluh tahun ke depan. mereka pada dasarnya saling sepakat, tetapi sering kali mendebat-debatkan pendapat.


“kapitalis mana yang butuh sastra?” tanya salah satu dari mereka dengan gaya sok teatrikal.


“hmmm... mungkin tidak ada.”


“ah,” jawab seseorang yang lain, “itu dia, tidak ada kapitalis yang butuh sastra. itulah mengapa kita mempelajari sastra. kita jadi pemberontak yang berani melawan tirani logika & angka.”


“apa kerennya?”


“bukan masalah keren-kerenan, ini soal prinsip. berbeda dari kawanan. melawan arus. hanya ikan mati yang terbawa arus.”


“tapi, hanya ikan tolol yang berenang melawan arus. kau tahu, apa makanan utama beruang? ikan yang melawan arus. di kehidupan nyata, melawan arus artinya tak-beruang. tak punya uang, artinya tak punya ruang. tak punya uang, itu susah bergerak. bahkan, berak pun bayar.”


“begini, borjuis kecil, sastra adalah investasi abadi yang memberikan kekayaan emosional & intelektual. investasi untuk jiwa, yang dividennya adalah kebahagiaan & pemahaman lebih dalam tentang kehidupan.”


“tapi Kapitalian mana yang butuh jiwa? Pragmatis mana yang butuh kedalaman?”


“kau tidak mengerti!”


“memang!”


“di mana setiap detik adalah aset & setiap hal adalah komoditas, sastra menjadi pekik perlawanan terhadap monotonitas. menjadi bukti bahwa di balik setiap transaksi & perhitungan, masih ada ruang untuk hal-hal esensial seperti imajinasi & keindahan.


“masalahnya... wahai Proust muda... sastra hanya membantu menyelesaikan soal ‘mengapa’ bukan ‘bagaimana’.”


“bagaimana?”


“sudah kubilang bukan soal bagaimana tapi mengapa.”


“maksudku, bagaimana sastra membantumu menemukan mengapa?”


“mengapa aku mesti meromantisasi kehidupan agar umurku panjang, misalnya. perlu kuakui juga, bahwa sastra membantuku menentukan lebih baik mana antara menjadi sastrawan yang saban minggu karyanya dimuat di koran atau seseorang yang persetan dengan sastra-sastraan tapi mempunyai kontrakan dua belas pintu?”


“lebih baik mana?”


“dengan sastra, aku tahu bahwa pilihan yang kedua selalu lebih baik.”


mereka sama-sama tertawa, kencang sekali, seolah-seolah mereka adalah sastrawan yang mempunyai kontrakan dua belas pintu. pedahal karya-karya mereka, berkali-kali, ditolak media & mereka tentu tak punya kontrakan dua belas pintu. kengakakan mereka bergema di antara lampu neon & dinding beton. 


& begitulah, awal mula sastra menjadi lelucon pemecah kerutinan duniawi. bagi beberapa orang seperti mereka ini, sastra adalah kepercumaan yang menyenangkan. liburan singkat dari kejaran pertanyaan bisakah sukses di usia muda atau kalau nanti mati dikuburkan di San Diego Hills tipe apa? single burial ataukah peak estate?


kapitalis mana yang butuh sastra? coba kita bertanya pada Alphard yang bergoyang.

Wednesday 20 March 2024

Cerpen: Tak Ada yang Baru di Bawah Mata Hari

I was looking for a job, and then I found a job…
And heaven knows I'm miserable now…

Namamu Hari. Kau dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Itulah dering alarmmu yang menyebalkan. Perpaduan sempurna antara melodi ceria dan lirik yang menohok dada. Dengan kata lain, kesuraman yang terdengar riang menjadi sarapan bagi telingamu setiap hari. Kau tak tahu mengapa lagu kesukaanmu berubah menjadi lagu yang paling kau benci. Tapi Caligula tahu, dunia ini pada dasarnya dibentuk sekumpulan orang sinting yang tak mengunjungi poli jiwa, sehingga kesintingan merajalela di mana-mana. Tervalidasi ketika kau menyalakan televisi dan mendapati berita-berita yang niscaya membikin Kaisar Romawi itu bakal tersipu malu.


Kau berpendapat orang-orang lebih memilih percaya bahwa mereka punya gangguan mental dan mengidap masalah biokimia yang kompleks, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut di laboratorium selama puluhan tahun ketimbang mengakui betapa kejam, abusif, dan korup pemerintah—akar dari seluruh kondisi mereka. Kau sebal sekaligus lelah dengan keadaan. Setiap siang bolong, kau bermimpi memimpin revolusi. Sekadar ingin merasai suntikan adrenalin, meski hanya dalam mimpi. Kau paham betul, revolusi cuma kata sakral penggetar dada dalam buku-buku sejarah.


Di dunia nyata, beberapa orang masih bermain-main dengan hal-hal edan, misalnya negara dan kekuasaan. Beberapa lainnya cuma sibuk menyiasati lapar yang tak bisa ditawar. Dan sisanya, yang paling banter... giat bekerja, rajin membayar pajak, dan mati di usia senja. Yang terakhir memicu memori lampaumu. Waktu kecil, Ayahmu berujar, “Hari, kalau sudah besar jadilah manusia.” Menjadi manusia, kau terjemahkan sebagai bekerja. Maka kau pun menduga-duga, jangan-jangan, cara paling rasional untuk mencapai apa yang diinginkan adalah dengan tidak menjadi pengangguran. Lekas-lekas kau lamar ratusan lowongan dengan berbagai posisi. Dari yang gajinya tinggi sampai yang lebih terdengar macam perbudakan zaman kiwari.


Hari di mana kau resmi menjadi manusia yang membanting tulang telah tiba bertahun-tahun lalu. Tapi kehampaanmu masih bersarang entah di mana. Dulu, kau dipusingkan dengan tidak punya uang. Kini, kau dipusingkan dengan semakin terbatasnya waktu dan ruang. Dari lubuk hatimu paling dalam, kau sadar bahwa sebelum dan setelah bekerja tipis sekali batasnya. Kau bahkan menilai Anggur Cap Orang Tua dan Red Wine Opus One kurang lebih sama. Sama-sama menjadi rute pelarian ketika kenyataan terlampau mengecewakan.


Di titik tertentu, dalam pagi yang berulang, kau tak lagi merasa manusia. Kau telah menjadi robot yang punya sistem metabolisme dan dibebani kerangka psikologis. Seluruh hidupmu telah sedemikian mekanis. Dari senin sampai jumat. Dari yang mulanya motivasional sampai kehilangan semangat. Kau bahkan terasing dari dirimu sendiri. Orang-orang yang mulanya kau sebut kolega, lambat laun, mewujud orang-orang asing yang mesti dikompromi. 


Keasingan itu semakin meraksasa ketika kau menyadari bahwa wajah-wajahnya terkubur pada layar berbentuk persegi panjang yang bercahaya dan bersuara. Yang tujuh kali dua puluh empat jam, menyiarkan notifikasi rumah mereka di dunia maya. Kau sadari, teknologi memang mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. 


Dan ironi adalah kata pertama yang muncul di benakmu ketika kau pulang kemudian di perjalanan matamu terfokus pada binar papan iklan yang mempromosikan gadget teranyar. Kepala kau terasa pengar, dan kau pun menuju tempat merebah yang disebut rumah. KPR tipe tiga enam yang cicilannya macam jumlah malaikat yang wajib diketahui—tahun lagi. Dalam perjalanan itu, tak jarang kau berpapasan dengan seorang tunawisma yang menjual kesedihan. Sebuah pengingat akan ketidaksetaraan yang menjangkiti masyarakat. Kau tak ambil pusing, memilih persetan, dan mengisi energi dengan tidur demi mengarungi esok hari yang kurang lebih begitu-begitu lagi.


Matahari pasti terbit, dan kau tiba di kantor entah yang kesekian kalinya. Orang-orang asing yang mesti dikompromi itu masih terpaku pada komputer berisi statistik dan angka-angka. Mereka bekerja berjam-jam, tanpa pernah mempertanyakan apakah semua itu sepadan atau berguna. Seseorang boleh berandai-andai jika Siddhartha Gautama masih hidup, maka ia besar kemungkinan akan bersabda bahwa yang menjadikanmu manusia adalah kapabel memilih gambar lampu lalu lintas dari enam belas kotak yang tersedia. Mampu menyelesaikan soal Captcha adalah penanda paling pasti yang membedakan robot dan manusia. Begitulah isi kebijaksanaan pertama.


Tiba-tiba kau teringat sesuatu, yang mungkin bisa menjadi panasea bagi persoalan-persoalan repetitif dan pelikmu: cinta! Kau mengira telah menemukan harta karun yang telah lama hilang. Kau menjalani hubungan dengan beberapa orang asing yang relatif bisa kau toleransi. Sayangnya, kau sampai pada kesimpulan bahwa cinta hanyalah rentetan kepelikan yang mengernyitkan dahi. 


Seolah-olah kau mengamini bahwa pada dasarnya cinta itu transaksional, horni hanyalah bahaya yang lekas pudar, dan bersetubuh cuma upaya menunda kekalahan panjang bernama kesia-siaan. Kau tidak sedang kesurupan binatang jalang itu, tetapi kemurungan yang sama telah menubuh padamu. C’est la vie! pekikmu dalam hati. Maka demi mengurangi intensitas nyeri, kau pun menenggak beberapa botol alkohol.


I was happy in the haze of a drunken hour

But heaven knows I'm miserable now...


Pada suatu pagi yang biasa, kau masih dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Di luar, sayup hujan turun dengan deras. Sebuah kondisi yang akan meningkatkan gaya gravitasi kasurmu dan menambah rasa kantukmu yang belum tandas. Sambil mengucek-ngucek mata, kau menengok jam. Waktu menunjukan pukul lima lewat lima pagi. Ada hari yang mesti dimulai, lagi.


Tak ada yang baru di bawah matamu, tapi setidaknya kini kau tahu mengapa haram hukumnya menjadikan lagu kesukaan sebagai dering alarm. Sebab, pada akhirnya, kau justru akan membencinya sampai mati. Sebab kau akan membenci sesuatu yang membangunkanmu dari tidur indahmu. Seperti kematian, kapitalisme merebut segalanya darimu. Dan hanya mimpi yang kau miliki seutuhnya, tak bisa direnggut oleh sesiapa.


Ada beberapa hal yang tak kau pahami dan mungkin tak akan pernah. Misalnya mengapa tumbler airmu harganya hampir tiga kali lipat toren air berkapasitas dua ratus lima puluh liter. Setidaknya, untuk saat ini, kau telah berjuang melawan kesintingan dan meredam tendensi bunuh diri dengan sebaik-baiknya. Dan itu rasa-rasanya patut disyukuri.

Sunday 3 March 2024

Letter to Frances Turnbull - Fitzgerald (Surat Translasi)



*Ditulis F. Scott Fitzgerald dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA. Surat ini dambil dari buku A Life in Letters; diterbitkan Scribner pada tahun 2010.

*****

November 9, 1938

Frances yang baik:

Aku telah membaca ceritamu dengan teliti, tetapi harga yang mesti kau bayar untuk menulis secara profesional sangatlah mahal, bila dibandingkan kemampuanmu saat ini. Oleh karenanya, dalam karya-karyamu selanjutnya, kau mesti menjual hatimu—reaksi terdalammu. Jangan terfokus hanya pada hal remeh-temeh yang secara gamblang menyentuh hatimu, atau pengalaman-pengalaman kecil yang barangkali kau ceritakan sewaktu makan malam. Hal semacam ini tidak terhindarkan di awal masa kepenulisanmu, sebab kau belum mengembangkan trik yang diperlukan untuk menarik perhatian pembaca, dan kau pun belum menguasai teknik yang umumnya membutuhkan jam terbang. Singkatnya, dalam kondisi seperti ini, kau tidak punya sesuatu selain emosi untuk ditawarkan kepada pembaca.

Ini dialami oleh semua penulis. Ketika menulis Oliver Twist, penting bagi Charles Dickens untuk menuangkan kekesalan seorang anak setelah disiksa dan dibikin kelaparan, sesuatu yang datang dari masa kecilnya sendiri. Karya awal Ernest Hemingway, In Our Time, juga menyinggung semua hal yang pernah ia ketahui dan rasakan. Dengan cara yang sama, dalam buku This Side of Paradise, aku bercerita tentang kisah cinta yang masih melukaiku sampai hari ini, bagai darah yang mengucur dari luka pada kulit penderita hemofilia.

Para penulis amatir selalu meremehkan kemampuan penulis kawakan dalam mengubah, misalnya, kedangkalan reaksi tiga gadis yang tidak berkarakter agar menjadi cerdik-jenaka dan menarik-memesona. Para penulis amatir, mengira bahwa ia juga bisa melakukan hal yang sama, tanpa mempelajari teknik dan trik yang diperlukan. 

Namun, kalau mereka tekun, lambat laun, para penulis amatir akan menyadari bahwa mentransfer emosi kepada orang lain mestilah dilakukan dengan cara yang nekat dan radikal, seperti mengoyak isi hati mereka sendiri lalu menumpahkan semua ketragisan dan kenyerian itu ke atas kertas agar bisa dibaca orang banyak.

Bagaimanapun juga, ini adalah harga yang mesti kau dibayar untuk menjadi penulis yang baik dan demi menghasilkan karya yang apik. Apakah kau siap untuk membayarnya, apakah itu sesuai atau bertentangan dengan yang menurutmu “baik dan apik”—adalah persoalan yang mesti kau putuskan sendiri. Tapi sastra, bahkan sastra ringan sekalipun, tidak akan menerima karya sastra dari seorang pemula yang tak berusaha. Profesi ini mengharuskan pelakunya untuk “bekerja keras”. Ibarat di medan perang, tidak ada kubu yang tertarik merekrut seorang prajurit penakut dengan sedikit keberanian.

Oleh sebabnya, nampaknya tidak perlu bagiku untuk menjabarkan alasan mengapa cerita ini tidak layak dijual; tetapi aku tak kuasa untuk mengolok-ngolokmu, seperti yang biasa penulis seusiaku lakukan. Jika kau memutuskan untuk mengisahkan cerita-ceritamu, tidak akan ada orang yang lebih tertarik ketimbang,

Teman lamamu,

F. Scott Fitzgerald

P.S. Aku bisa saja mengatakan bahwa tulisanmu mulus dan menyenangkan serta terdapat beberapa halaman yang menurutku sangat oke dan memikat. Kau punya bakat—tapi ini sama saja seperti mengatakan bahwa seorang prajurit memiliki kualifikasi fisik yang adekuat untuk dididik di akademi tentara West Point.

Wednesday 27 September 2023

The Peasant Marey - Dostoevsky (Cerpen Translasi)

*Ditulis Fyodor Dostoevsky dalam bahasa Rusia—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Magarshack (cerpen ini diambil dari buku The Best Short Stories of Fyodor Dostoevsky; diterbitkan oleh Modern Library pada tahun 2001)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA

Hari ini, adalah Senin Paskah. Udara terasa sejuk, langit tampak biru, matahari telah tinggi, hangat, cerah, tetapi jiwaku seperti dirundung kesuraman. Aku berjalan-jalan, menjelajahi sudut-sudut halaman penjara, menghitung jeruji di dalam pagar besi yang pagan. Kalau boleh jujur, sebenarnya, aku tidak benar-benar mau menghitungnya. Namun, lebih karena kebiasaan saja. Hari ini adalah hari “liburan” keduaku di penjara; hari-hari saat seorang narapidana tidak perlu bekerja—maka, kebanyakan dari mereka memilih menenggak minuman keras dan menantang satu sama lain untuk berkelahi di setiap pojokan—dan, bernyanyi keras-keras dengan lagu-lagu yang menjijikkan—dan, bermain kartu di sebelah ranjang mereka. Ini mengerikan. Narapidana yang kuat menyiksa yang lemah sampai mereka tak berdaya, lalu mereka diselimuti kulit domba sampai pulih dan sadar kembali. Kengerian berturut-turut ini berdampak buruk buatku. Aku bahkan merasa tidak sehat. Aku tidak pernah tahan dengan kegaduhan yang dilakukan para pemabuk nan rusuh, khususnya di tempat ini. Pada masa liburan, para sipir tidak merasa perlu berepot-repot memeriksa apakah ada vodka di dalam sel para narapidana. Mereka sepertinya merasa bahwa para narapidana mesti diberi kesempatan untuk bersenang-senang, setidaknya sekali dalam setahun. Kalau tidak, keadaan di sini akan menjadi lebih buruk lagi sepanjang waktu. Akhirnya kemarahan tiba-tiba hinggap di hatiku. Aku berjalan melewati seorang narapidana Polandia, bernama M. Ia dipenjara karena alasan politis, persis sepertiku. Dengan tatapan muram, binar di matanya, dan bibir bergetar, ia memandangiku. “Aku membenci para pelanggar hukum ini!” desisnya kepadaku dengan pelan. Lalu ia berlalu melewatiku. Aku kembali ke selku, meski aku baru meninggalkannya seperempat jam yang lalu. Saat aku melewati salah satu lorong penjara, enam narapidana berbadan kekar memukuli seorang lelaki yang sedang lupa daratan bernama Tatar Gazin; yang tak kalah kekar dan berbadan besar. Mereka memukulinya dengan begitu brutal, bahkan seekor unta pun bisa mati dengan pukulan keras seperti itu. Para penganiaya itu tahu, Hercules ini, tidak mudah dibunuh, sehingga mereka memukulinya tanpa tedeng aling-aling. Kini, Gazin terbaring diselimuti kulit domba. Ia tak sadarkan diri, hampir tanpa tanda-tanda kehidupan. Dan setiap orang yang mengelilingi tubuhnya, diam membisu; mereka semua tahu, jika tak ada hoki, lelaki itu akan mati esok pagi.

Aku berjalan kembali ke tempatku. Kubaringkan tubuhku, kupejamkan mataku, dan kuletakkan kedua tangaku di bawah kepalaku. Aku menyukai istirahat dengan cara seperti ini; tak ada yang akan mengganggu seseorang yang sedang tidur dan itu memberiku kesempatan untuk sekadar melamun dan berpikir. Tapi kali ini aku merasa sulit melamun. Jantungku berdegup kencang tanpa henti. Dan kata-kata M masih terus menggema di telingaku, “Aku membenci para pelanggar hukum ini!” Keluh kesahnya seolah-olah menggambarkanku. Bahkan sekarang aku tidak punya lamunan yang lebih menyakitkan dari ini. Mungkin akan terlihat jelas bahwa sampai hari ini aku hampir tidak pernah menceritakan kehidupanku di penjara. The House of the Dead, kukarang lima belas tahun lalu dalam tokoh fiksi, seorang penjahat yang membunuh istrinya. Sejak saat itu, begitu banyak orang yang mengira, dan bahkan sampai sekarang, bahwa aku dipenjara karena membunuh istriku.

Lambat laun, aku mampu melupakan keadaan di sekitarku. Aku segera tenggelam dalam kenangan-kenanganku. Selama empat tahun masa hukumanku di penjara, aku selalu terpikirkan masa laluku. Kenangan-kenangan ini hadir dengan sendirinya, jarang sekali aku memanggilnya atas inginku sendiri. Ia terpantik oleh hal kecil, kadang-kadang tidak disadari, dan kemudian sedikit demi sedikit akan timbul gambaran yang utuh, suatu kesan yang jelas dan lengkap. Aku terbiasa menganalisis kesan-kesan ini, memberi gambaran baru pada apa yang telah terjadi di masa lalu, dan yang paling penting, aku selalu mengoreksinya, mengoreksinya terus-menerus—itulah hiburanku yang menyenangkan. Hari ini, untuk alasan tertentu, aku tiba-tiba saja teringat sepenggal waktu di awal masa kanak-kanakku—saat aku masih berumur sembilan tahun: pada suatu hari di bulan Agustus itu, matahari bersinar cerah di atas kampung kami, meski desir angin masih terasa dingin; musim panas hampir sepenuhnya berakhir dan tak lama lagi kami harus hijrah ke Moskow; di sana kami harus menghabiskan musim dingin dengan mempelajari pelajaran-pelajaran berbahasa Prancis yang membosankan; dan, aku merasa tidak enak hati bahwa kami harus meninggalkan kampung. Aku berjalan-jalan untuk menghabiskan sepanjang siang itu dengan menikmati suasana pinggiran kampung. Kuberjalan melewati tempat pengirikan dan, menuruni jurang. Kemudian aku berjalan di tepi semak belukar yang rimbun memanjang hingga ke hutan. Di tempat itu, aku bisa mendengar seorang petani sedang membajak ladang di lereng sebuah bukit. Ia pasti tak sampai sembilan meter jauhnya dariku. Kudanya bertarung dengan ladang yang curam, sehingga sulit baginya untuk menarik bajak. Maka aku bisa mendengar petani itu berteriak, “Ayo cepat! Ayo cepat!”

Aku mengenal hampir semua petani di kampung kami, tetapi aku tak tahu siapakah petani yang sedang membajak itu, dan aku tidak mau memedulikannya; lagi pula aku sedang sibuk dengan kegiatanku sendiri. Aku juga sibuk; mematahkan ranting pohon hazel. Ranting ini adalah yang terkuat, sedang ranting pohon birch adalah sebaliknya. Sebatang ranting itu kugunakan untuk menemukan katak. Aku juga tertarik pada kumbang-kumbang dan serangga-serangga lainnya. Sebetulnya aku sedang mengumpulkannya. Hewan-hewan liar itu sangatlah indah. Aku begitu menyukai kadal kecil yang lincah, tubuhnya berwarna merah dan kuning dengan bintil-bintil hitam. Aku takut pada ular, tetapi di sana jumlah ular lebih sedikit ketimbang kadal yang bersembunyi di balik semak belukar. Dan di sana juga tak banyak ditumbuhi jamur. Untuk mendapatkannya, kita harus berani memasuki hutan birch—dan ke sanalah aku menuju. Tak ada apa pun di dunia ini yang lebih kucintai ketimbang hutan dengan jamur-jamur dan beri-beri liar, kumbang-kumbang dan burung-burung, landak-landak dan tupai-tupai, dan aroma lembap dedaunan busuk; bahkan saat kutulis cerita ini, aku masih bisa mencium bau hutan birch itu. Kenangan seperti ini akan menetap sepanjang hayat dikandung badan. Tiba-tiba saja, di tengah keheningan yang melenakan, aku mendengar seruan keras. Seseorang baru saja berteriak, “Serigala! Serigala!” Aku langsung ikut berteriak sekuat-kuatnya. Lalu aku bergegas angkat kaki dari hutan itu. Aku mendapati diriku berlari lurus ke arah sang petani yang sedang membajak ladang.

Ia petani dari kampung kami, namanya Marey—setidaknya begitulah orang-orang memanggilnya. Usianya sekitar lima puluh tahun, berperawakan tegap-gempal, dan lebih tinggi dari lelaki seusianya. Ia memiliki banyak uban pada jenggot tebalnya yang berwarna cokelat gelap. Aku mengenalnya, tetapi hingga hari itu aku hampir tidak pernah berbicara dengannya, dan ketika ia mendengar teriakanku, ia menghentikan kudanya. Aku meraih bajak kayunya dengan sebelah tangan dan kerah bajunya dengan tanganku yang lain—ia bisa melihat betapa ketakutannya aku.

“Ada serigala!” jeritku, terengah-engah dan hampir kehabisan napas.

Seketika, ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan; tak dapat menahan diri untuk tidak melihat sekitar, dan nyaris memercayaiku.

“Di mana serigalanya?” tanyanya.

“Seseorang berteriak, ‘Serigala! Serigala!’ tadi,” ucapku tergagap.

“Mana ada serigala di sekitar sini, Nak. Kau baru saja berkhayal. Tak ada yang pernah melihat serigala di sini,” gumamnya, meyakinkanku. Tapi seluruh tubuhku gemetar, dan wajahku pasti pucat pasi. Ia menatapku dengan senyuman cemas, seperti mengkhawatirkanku.

“Betapa ketakutannya dirimu,” katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala. “Jangan takut. Tak ada serigala di sini, Nak. Tenanglah.”

Ia mengulurkan tangannya, dan sekaligus mengelus-elus pipiku.

“Ayolah; Kristus menyertaimu! Buatlah tanda salib.”

Tapi aku tidak membuat tanda salib. Sudut mulutku berkedut-kedut, dan kurasa itu sangat mengejutkannya. Ia mengulurkan jarinya yang tebal, dengan kukunya yang hitam, serta berlumuran tanah, dan dengan lembut mengelus-elus bibirku.

Aïe, sini, sini,” katanya pelan, dengan senyuman yang nyaris keibuan. “Nak, ada apa? Tak ada serigala. Kau aman.”

Pada akhirnya, kusadari bahwa memang tak ada serigala dan aku hanya melamunkan teriakan itu saja. Aku berkhayal. Entah sekali, entah dua kali, sebelumnya aku juga pernah melamunkan teriakan seperti itu—dan tidak hanya tentang serigala. Saat beranjak dewasa, aku tidak lagi berkhayal tentang teriakan-teriakan semacam itu lagi.

“Baiklah, aku akan pergi sekarang,” ujarku dengan malu-malu dan segudang pertanyaan di kepalaku.

“Larilah, Nak. Aku akan mengawasimu. Kalau pun ada, aku tidak akan membiarkan serigala itu menyerangmu,” sahutnya, ia masih tersenyum padaku dengan ekspresi keibuan yang sama. “Kristus menyertaimu! Ayo, larilah! Jangan mencemaskan apa pun. Semuanya akan baik-baik saja, Nak,” dan ia membuat tanda salib untukku dan kemudian untuknya.

Aku pergi dan berlalu, berbalik melihat ke arahnya setiap sepuluh langkah. Marey berdiri tegak di dekat kudanya dan mengawasiku. Ia mengangguk kepadaku setiap kali aku menatap sekeliling. Aku merasa sedikit malu pada diriku sendiri, tetapi aku masih agak ketakutan sampai aku tiba di rumah. Di sana, ketakutan yang sebelumnya kurasakan sepenuhnya hilang saat kulihat anjingku, Voltchok, berlari ke arahku dengan sumringah. Bersama anjingku di sisiku, aku tidak lagi merasa ketakutan. Sekarang, aku berbalik, melihat Marey untuk terakhir kalinya. Aku tidak bisa lagi melihat wajahnya dengan jelas. Namun, entah bagaimana aku yakin bahwa ia masih mengangguk dan tersenyum lembut kepadaku. Aku melambai ke arahnya dan ia membalas lambaian tanganku. “Ayo!” Aku mendengar seruannya lagi di kejauhan, dan kudanya itu menarik bajaknya lagi.

Kejadian itu sudah lama berlalu, tetapi tiba-tiba saja semuanya mampu kembali kuingat. Aku tidak tahu mengapa, tetapi aku bisa mengingat setiap detailnya. Untuk beberapa menit setelahnya, pikiranku kembali ke saat-saat di masa kanak-kanakku yang lampau itu.

Ketika aku pulang ke rumah hari itu, aku tidak menceritakan kepada siapa pun tentang “petualanganku” bersama Marey. Dan memang itu bukanlah sebuah petualangan. Dan nyatanya aku segera melupakan Marey. Sewaktu aku bertemu dengannya sesekali, aku bahkan tidak pernah bercakap-cakap dengannya tentang serigala atau apa pun; dan tiba-tiba sekarang, dua puluh tahun kemudian, di penjara Siberia, betapa anehnya bahwa aku tiba-tiba saja teringat kejadian hari itu dengan sangat jelas. Tidak ada secuil detail pun yang terlupakan. Tentu saja ini berarti kenangan-kenanganku selama ini tersembunyi di dalam benakku tanpa kusadari. Kenangan itu kembali kuingat karena aku memang ingin mengingatnya kembali. Aku tidak akan pernah bisa melupakan senyum lembut keibuan dari petani itu, caranya membuat tanda salib untukku, juga caranya menganggukkan kepalanya kepadaku. “Kristus menyertaimu! Ayo, larilah! Jangan mencemaskan apa pun. Semuanya akan baik-baik saja, Nak!” Dan aku terutama ingat bagaimana jari tebal berlumuran tanah yang dengan lembut mengusap-ngusap bibirku. Tentu saja siapa pun akan bisa meyakinkan dan menenangkan seorang anak, tetapi sesuatu yang sangat berbeda sepertinya terjadi dalam pertemuan yang sunyi itu; dan jika aku adalah putranya sendiri saat itu, ia tidak mungkin menatapku dengan pandangan penuh kasih yang begitu hangat. Dan apakah yang membuatnya seperti itu? Marey adalah salah seorang buruh tani kami. Sebagai seorang buruh tani, ia kasarnya adalah harta benda keluargaku. Aku adalah anak majikannya. Tak seorang pun tahu betapa ia pernah bersikap teramat baik kepadaku. Tak ada seorang pun yang akan memberinya hadiah atas apa yang telah dilakukannya kepadaku. Mungkinkah ia begitu menyukai anak kecil? Mungkin memang ada orang-orang sepertinya. Yang jelas, pertemuan kami saat itu bertempat di sebuah ladang terpencil yang sepi, dan hanya Tuhan, mungkin, yang dapat menyaksikannya dari atas sana dengan perasaan manusiawi yang dalam, dan dengan kelembutan yang halus, hampir feminin, hati seorang buruh tani Rusia yang kasar dan sangat polos, yang belum mempunyai harapan, bahkan tidak tahu kapan kebebasannya akan dicapai. Mungkin ini bukan yang dimaksud Konstantin Aksakov ketika ia berbicara tentang betapa tingginya adab kaum tani kami.

Saat aku bangkit dari bangkuku dan mengecek situasi sekitar, perasaanku tentang para narapidana ini telah berubah. Tiba-tiba saja, karena sebuah keajaiban, semua rasa benci dan amarah lenyap dari hatiku. Aku berjalan, mengelilingi penjara, memandangi makhluk-makhluk malang yang kutemui. Kumenatap seorang petani berkepala plontos, yang wajahnya telah dicap sebagai kriminal, yang sedang meneriakkan lagu pemabuk dengan amat nyaring sambil menangis tersedu-sedu. Ia juga, kurasa, mungkin petani yang sama baiknya dengan Marey; aku tak mungkin melihat jauh ke dalam hatinya, bukan?

Malam itu, aku bertemu M lagi. Kasihan sekali! Ia tidak punya ingatan tentang para petani Rusia, dan tidak punya pandangan lain tentang orang-orang ini, kecuali: “Aku benci para pelanggar hukum ini!” Ya, para tahanan Polandia punya lebih banyak beban yang harus ditanggung ketimbang aku.

Tuesday 12 September 2023

Beside Schopenhauer's Corpse - Maupassant (Cerpen Translasi)

*Ditulis Guy de Maupassant dalam bahasa Prancis—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Albert M. C dkk (cerita ini diambil dari buku The Entire Original Maupassant Short Stories, diterbitkan oleh The Project Gutenberg pada tahun 2021)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA

Ia perlahan-lahan sekarat, seperti halnya pengidap tuberkulosis mati. Aku melihatnya setiap hari, sekitar pukul dua, duduk di bawah jendela hotel pada sebuah bangku di kawasan pejalan kaki, memandang ke laut yang tenang. Ia mematung selama beberapa waktu tanpa bergerak barang sesenti, di bawah terik matahari, menatap Laut Mediterania dengan sedih. Sesekali, ia melirik pegunungan tinggi dengan puncak tertutup awan di Mentone; kemudian, dengan gerakan yang sangat lambat, ia akan menyilangkan kakinya yang panjang, yang begitu kurus, sehingga tampak seperti dua buah tulang, dibungkus celana panjangnya yang kebesaran, dan ia akan membuka sebuah buku, selalu buku yang sama. Dan kemudian ia mematung lagi, tapi terus membaca, membaca dengan mata dan pikirannya; segenap tubuhnya yang ringkih seakan membaca, seluruh jiwanya tenggelam, hilang, lenyap, dalam bukunya, hingga saat udara semakin dingin membikinnya sedikit terbatuk-batuk. Kemudian, ia bangkit dan masuk kembali ke hotel.

Ia seorang Jerman yang jangkung, berjanggut pirang, yang sarapan dan makan malam di kamarnya sendiri, dan tidak bercakap-cakap dengan siapa pun.

Rasa ingin tahu yang samar-samar membuatku tertarik padanya. Suatu hari, aku duduk di sebelahnya, untuk menjaga penampilan, aku pun mengambil sebuah buku, sejumlah puisi Musset. Dan aku mulai melahap buku berjudul Rolla ini. Tiba-tiba, ia bertanya, dalam bahasa Prancis yang baik:

“Apakah Anda bisa berbahasa Jerman, Tuan?”

“Tidak sama sekali, Tuan.”

“Sayang sekali. Karena kesempatan telah mempertemukan kita, saya bisa saja meminjamkannya kepada Anda, saya bisa menunjukkan harta karun kepada Anda, suatu hal yang tak ternilai harganya—buku yang saya pegang ini.”

“Apa itu, kumpulan doa?”

“Ini adalah salinan karya guruku, Schopenhauer, dengan catatan yang ditulis tangannya sendiri. Semua pinggiran halaman buku ini, seperti yang Anda lihat, diisi dengan catatannya.”

Dengan penuh kesopanan aku mengambil buku itu darinya, dan setelahnya aku hanya melihat kalimat-kalimat yang tidak dapat kupahami. Aku mencoba membayangkan bahwa kata-kata itu menunjukkan pikiran-pikiran abadi seorang penghancur mimpi terbesar yang pernah hidup di muka bumi.

Dan bait puisi Musset, yang tadi kubaca, muncul dalam ingatanku:

Apakah tidurmu nyenyak, Voltaire,

mati adalah anugerah, dan apakah

senyummu yang mengerikan itu

masih melayang-layang

di atas tulang belulangmu?

Dan tanpa sadar aku membandingkan sarkasme kekanak-kananakan Voltaire dengan ironi Schopenhauer, filsuf Jerman yang telah mampus tapi pengaruhnya tak pernah pupus. Ia telah dikecewakan oleh rasa percaya, harapan, dan angan-angan yang puitis. Ia telah menghancurkan keinginan, menghancurleburkan rasa percaya diri, menghanguskan cinta, membumihanguskan pemujaan halus terhadap wanita, membantai ilusi-ilusi kemanusiaan, dan menyelesaikan tugas terbesar skeptisisme—meragukan segalanya—dan hanya percaya pada kenyataan bahwa segala sesuatu tak pernah bisa diketahui. Olok-oloknya telah mengisi ruang-ruang di dunia dan membuatnya menjadi ruang kedap makna. Bahkan orang-orang yang mengolok Schopenhauer sampai sekarang masih membawa partikel pesimisme ke dalam jiwa mereka.

“Jadi, Anda mengenal Schopenhauer secara pribadi?” kataku pada orang Jerman itu.

Ia tersenyum kecut. 

“Sampai saat ia wafat, Tuan.”

Dan ia mulai menceritakan sang filsuf dan kesan supranatural yang ditimbulkan makhluk aneh ini terhadap semua orang yang pernah mendekatinya.

Ia bercerita tentang tanya jawab tokoh ikonoklas tua ini dengan seorang politisi Prancis, penganut Republik, yang ingin sekali menjumpainya. Pertemuan dilakukan di sebuah bar yang bising, Schopenhauer yang kusut masai duduk di tengah-tengah murid-muridnya, tersenyum dengan gayanya yang khas, menyerang dan mencabik-cabik gagasan dan keyakinan sang politisi dengan satu kata, seperti seekor anjing merobek mainannya dengan satu gigitan giginya.

Beberapa saat kemudian sang politisi itu pergi dengan keheranan bercampur ketakutan, “Saya pikir saya telah menghabiskan satu jam waktu saya bersama iblis.”

Orang Jerman itu menambahkan, “Anda tahu, Tuan? Ia sungguh memiliki seulas senyum mengerikan yang membuat kami bergidik ngeri, bahkan setelah ia meninggal senyumnya masih menghantui kami. Ada sebuah kisah nyata tentang hal ini yang pernah didengar oleh beberapa orang dan saya akan menceritakannya kepada Anda.”

Dan dengan suara letih ia mulai bercerita, diselingi oleh suara batuknya berkali-kali.

***

Schopenhauer baru saja meninggal dan kami ditugaskan untuk menjaga mayatnya. Secara bergiliran, berdua-dua, hingga esok pagi. Di sebuah apartemen yang besar dan mencekam, ia terbaring di atas ranjang. Di sampingnya, dua batang lilin dinyalakan di atas meja. Pada tengah malam, saya dan seorang teman tiba untuk menjaga mayat itu. Kedua orang teman yang kami gantikan telah pergi dan kami duduk di kaki ranjang.

Ekspresi wajah mayat itu masih tidak berubah, ia masih tetap tersenyum. Seakan-akan ia masih hidup. Sudut-sudut bibirnya membentuk lekukan yang kami kenal baik dan kami hampir mengira ia akan membuka matanya, bergerak dan berbicara. Pikiran-pikirannya terasa melingkari kami, lebih dari yang pernah kami rasakan. Kini, setelah ia mati, daya magisnya lebih mencengkram kami ketimbang sebelumnya. Rasanya seperti kekuatan pikirannya yang dahsyat berpadu dengan kemisteriusan tak terjelaskan.

Tubuh manusia ini akan binasa, tetapi jiwanya tidak. Dan saya yakin, Tuan, pada malam setelah jantungnya berhenti berdetak ia menjadi sangat menakutkan. 

Dan dengan nada pelan kami membicarakannya, mengingat perkataannya, rumusan tertentu darinya, pepatah mengejutkannya; bagaikan pancaran api yang dilontarkan, dalam beberapa kata, ke dalam kegelapan Kehidupan Tak Diketahui—seperti yang ia percayai.

“Saya merasa bahwa ia akan berbicara,” kata teman saya. Kami memandang gelisah pada wajahnya yang diam dan bibirnya tampak masih menyunggingkan senyum aneh. Perasaan kami tidak enak. Suasana terasa mencekam dan kami merasa akan pingsan.

“Saya tidak tahu apa yang terjadi dengan diri saya,” kata saya, “yang jelas, saya merasa tidak enak.” 

Kami mencium bau tidak sedap yang keluar dari mayat itu. Teman saya berkata bahwa kami sebaiknya pergi ke ruang sebelah. Dan, saya mengamininya. 

Saya membawa sebuah lilin dari samping tempat tidur dan kemudian pergi meninggalkan lilin yang satunya. Saya duduk cukup jauh di ruang lain. Di tempat kami berada, kami dapat melihat ranjang dan mayat yang terbujur kaku di atasnya dengan jelas diterangi sebatang cahaya lilin.

Tapi roh Schopenhauer masih menghantui kami. Seseorang bisa mengatakan bahwa kini ia telah terbebas dari tubuhnya dan kekuatan jiwanya membayang-bayangi kami. Dan sesekali, bau mengerikan dari tubuhnya yang membusuk masih memenuhi hidung kami. Ini sangat memuakkan dan tidak dapat dijelaskan.

Tiba-tiba, kami mengalami kengerian. Bulu kuduk kami naik. Tubuh kami bergetar. Kami gentar. Suara misterius terdengar dari ruangan di mana mayat itu terbaring. Kami memandang ke arah suara itu berasal dan kami melihatnya, Tuan. Kami berdua melihat dengan jelas sesuatu berwarna putih bergerak melintasi tempat tidur, lalu jatuh di atas karpet, dan menghilang di bawah sebuah kursi.

Kami sudah berdiri sebelum sempat berpikir. Seluruh perhatian kami terfokus pada teror yang membius, dan kami siap untuk lari terbirit-birit. Kemudian kami saling memandang wajah masing-masing. Kami sangat pucat. Jantung kami berdebar cepat seakan-akan kami dapat melihatnya berdegup tepat di bawah pakaian kami. Saya adalah yang pertama membuka suara:

“Apakah kamu melihatnya?”

“Ya, saya melihatnya.”

“Apakah menurutmu ia masih hidup?”

“Masih hidup bagaimana? Tubuhnya sudah membusuk.”

“Apa yang mesti kita lakukan?”

Teman saya menjawab dengan agak ragu-ragu, “Kita harus memeriksanya.”

Saya membawa lilin dan berjalan mendahuluinya, memeriksa seluruh sudut gelap ruangan mayat yang besar itu. Tidak ada sesuatu pun yang tampak bergerak. Saya menuju ranjang kemudian berhenti, dicekam keheranan dan kengerian. Schopenhauer tidak lagi tersenyum. Wajahnya berubah menyeringai dengan bibir tertutup rapat dan pipinya tampak cekung.

Saya berkata gugup, “Ia tidak mati!” Namun bau busuk itu kembali memenuhi hidung saya dan membuat sesak napas. Dan saya berdiri di sana. Menatap tajam ke arahnya dengan begitu takut seolah-olah akan ada penampakan.

Teman saya mengambil lilin yang berada di samping ranjang dan tanpa berkata apapun ia menyentuh tangan saya. Saya mengikuti pandangan matanya. Di bawah kursi dekat ranjang, sesuatu berwarna putih tergeletak di atas karpet berwarna gelap.

Ternyata benda misterius itu adalah gigi palsu Schopenhauer. Dengan posisi menganga seakan-akan siap menerkam. Nampaknya proses penyusutan telah melonggarkan gusinya. Menyebabkan gigi palsu itu melompat keluar dari mulutnya.

Saya benar-benar ketakutan. Malam itu sungguh menakutkan, Tuan…

***

Dan ketika matahari mulai terbenam menuju lautan yang berkilauan, orang Jerman yang mengidap tuberkulosis itu bangkit dari tempat duduknya, membungkukkan badannya padaku, dan masuk ke dalam hotel.

Sunday 10 September 2023

The Kingdom That Failed - Murakami (Cerpen Translasi)

Illustration by Jordan Moss
*Ditulis Haruki Murakami dalam bahasa Jepang—diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Jay Rubin (cerita ini terbit di The New Yorker pada 13 Agustus 2020)—kemudian diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Tepat di belakang kerajaan yang gagal mengalir sungai kecil yang menawan. Airnya jernih, arusnya tampak indah, dan banyak ikan yang hidup di dalamnya. Seekor ikan memakan gulma yang tumbuh di sana. Sang ikan, tentu saja, tak peduli apakah kerajaan itu gagal atau tidak. Apakah itu berupa kerajaan atau sebuah republik tak ada bedanya bagi mereka. Mereka tak melakukan pemungutan suara ataupun membayar pajak. Tak ada bedanya bagi kami, pikir mereka.

Aku mencuci kakiku di sungai itu. Meskipun hanya terendam sebentar, airnya yang sedingin es membikin kakiku merah. Dari sungai ini, kau dapat melihat tembok-tembok dan menara kastil kerajaan yang gagal. Di atas menara itu, tampak bendera dengan dua warna berkibar ditiup angin. Siapapun yang berjalan di tepi sungai akan melihat bendera itu dan berkata, “Hei, lihat. Itu bendera kerajaan yang gagal.”

***

Q dan aku adalah teman—atau lebih tepatnya, ‘pernah’ berteman semasa kuliah. Sudah lebih dari sepuluh tahun semenjak kami melakukan apapun yang dilakukan teman. Itulah mengapa aku pakai kata ‘pernah’. Yang jelas, kami berteman.

Setiap kali aku mencoba menceritakan tentang Q—menjelaskannya sebagai pribadi—aku selalu merasa kesulitan. Aku memang payah menjelaskan apa pun, tetapi tanpa hal itu pun, tetap saja menjelaskan tentang Q kepada seseorang adalah tantangan tersendiri. Dan ketika aku mencobanya, aku seperti merasa berada di jurang keputusasaan.

Mari membuatnya lebih sederhana, sejauh yang kubisa.

Q dan aku seumuran, tetapi ia lima ratus tujuh puluh kali lebih tampan. Ia juga punya kepribadian yang baik. Ia tak pernah memaksa atau membual, dan ia tak pernah marah jika seseorang secara tak sengaja menimbulkan masalah baginya. Ia akan bilang, “Oh, tidak apa-apa, aku juga sering begitu.” Tapi faktanya, ia tidak pernah melakukan hal buruk semacam itu, kepada siapa pun.

Ia juga tumbuh dengan pola asuh yang baik. Ayahnya seorang dokter yang punya klinik sendiri di Pulau Shikoku, yang berarti Q tidak pernah kekurangan uang. Bukan berarti kelebihan pula. Ia seorang penata rias terampil, juga seorang atlet hebat yang pernah bertanding di kejuaraan tenis antar sekolah saat SMA. Ia suka renang dan pergi ke kolam renang setidaknya dua kali seminggu. Secara politik, ia adalah seorang liberal moderat. Nilainya, jika tidak luar biasa, setidaknya bagus. Ia nyaris tak pernah belajar untuk menghadapi ujian, tapi tidak pernah mengulang satu mata kuliah pun. Ia benar-benar mendengarkan saat dosen menjelaskan.

Ia secara mengejutkan sangat berbakat dengan piano, dan punya banyak rekaman Bill Evans dan Mozart. Penulis favoritnya cenderung penulis Prancis—Balzac dan Maupassant. Sesekali ia membaca novel Kenzaburo Oe atau penulis lain. Dan kritiknya selalu tepat sasaran.

Secara alami ia populer di kalangan perempuan. Tapi ia bukan tipe lelaki yang “perempuan manapun bisa digaet”. Ia punya pacar tetap, seorang mahasiswi tingkat dua yang cantik dari sebuah kampus elit khusus perempuan. Mereka kencan setiap hari Minggu.

Begitulah Q yang kuketahui selama di perguruan tinggi. Singkatnya, ia adalah sosok tanpa cacat.

Saat itu, Q tinggal di apartemen sebelahku. Lewat pinjam-meminjam garam atau saus salad, kami jadi teman, dan bergantian main ke tempat masing-masing sambil mendengarkan musik dan minum bir. Pernah suatu kali aku dan pacarku naik mobil ke pantai Kamakura bersama Q dan pacarnya. Kami sangat nyaman bersama. Lalu, saat liburan musim panas di tahun terakhirku, aku pindah, dan itu saja.

Kali berikutnya aku melihat Q, hampir satu dekade telah berlalu. Aku sedang membaca buku di tepi kolam renang sebuah hotel mewah di kawasan Akasaka. Q sedang duduk di kursi berjemur di sebelahku, sementara di sampingnya ada seorang perempuan cantik berbikini dengan kaki semampai.

Aku langsung mengenali Q. Ia setampan biasanya, dan sekarang, di umurnya yang tiga puluh tahun lebih, ia seperti memancarkan kharisma tertentu yang sebelumnya tidak ia miliki.

Ia tak menyadari aku yang duduk di sebelahnya. Aku lelaki yang terlihat
biasa saja, dan aku memakai kacamata hitam. Aku ragu apakah harus menyapanya, tetapi pada akhirnya kuputuskan untuk tidak melakukannya. Ia dan perempuan itu sedang mengobrol dengan serius, dan aku tak enak hati untuk menyelanya. Lagipula tak banyak yang bisa kami bicarakan. “Aku pernah meminjamakanmu garam, ingat?” “Oh, iya, dan aku meminjam sebotol saus salad.” Kami akan kehabisan topik dengan cepat. Jadi aku menutup mulutku dan menempelkannya pada buku yang tengah kubaca.

Tetap saja, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menguping apa yang dibicarakan Q dan rekan cantiknya itu. Sepertinya itu masalah yang rumit. Aku berhenti mencoba membaca dan fokus mendengarkan mereka.

“Tidak mungkin,” kata perempuan itu. “Kau pasti bercanda.”

“Aku tahu, aku mengerti,” kata Q. “Aku paham betul apa yang kau katakan. Tapi kau juga harus memahami posisiku. Aku tidak melakukan ini karena aku mau. Itu maunya orang-orang di atas. Aku hanya memberi tahumu apa yang mereka putuskan. Jadi jangan memandangku dengan tatapan seperti itu.”

“Yah, baiklah,” jawabnya.

Q menghela nafas.

Izinkan aku meringkas percakapan panjang mereka—dengan tambahan imajinasiku, tentunya. Q tampaknya sekarang menjadi sutradara di stasiun TV atau tempat semacamnya, dan perempuan itu adalah penyanyi atau aktris yang cukup terkenal. Ia dikeluarkan dari suatu proyek karena suatu masalah atau skandal yang melibatkannya, atau mungkin hanya karena popularitasnya yang menurun. Tugas untuk memberi tahu itu diserahkan pada Q, yang merupakan orang paling bertanggung jawab langsung untuk operasional sehari-hari. Aku tidak banyak tahu tentang industri hiburan, maka aku tidak bisa memastikan poin-poin pentingnya, tetapi kurasa tak jauh dari semua itu.

Menilai dari yang kudengar, Q menjalankan tugasnya dengan penuh ketulusan.

“Kami tidak bisa bertahan tanpa sponsor,” katanya. “Aku tidak perlu memberi tahumu—kau tahu cara kerjanya.”

“Jadi maksudmu kau tak bertanggung jawab atau tak bisa mengatasi masalah ini?”

“Bukan, bukan itu maksudku. Tapi yang bisa kulakukan sangat terbatas.”

Percakapan mereka berbelok lagi menuju jalan buntu. Perempuan itu ingin tahu seberapa banyak Q telah berjuang untuk dirinya. Ia bersikeras bahwa ia telah melakukan semua yang ia bisa, tapi ia tidak punya cara untuk membuktikannya, dan perempuan itu tidak percaya. Aku juga tak terlalu percaya padanya. Semakin tulus ia mencoba menjelaskan berbagai hal, semakin banyak kabut ketidaktulusan yang menutupi. Tapi itu memang bukan salah Q. Itu bukan salah siapa-siapa. Oleh karenanya, tak ada jalan keluar dari percakapan ini.

Tampaknya perempuan itu selalu menyukai Q. Kurasa mereka akur hingga masalah ini muncul. Itulah yang membuatnya semakin marah. Karena ia menaruh rasa pada Q. Namun pada akhirnya, ialah yang menyerah.

“Oke,” kata perempuan itu. “Aku sudah bisa menerimanya. Belikan aku Cola, oke?”

Mendengar itu, Q menghela nafas lega dan pergi ke stan minuman. Perempuan itu memakai kacamata hitamnya dan menatap lurus ke depan. Saat ini, aku telah membaca baris yang sama di bukuku beberapa ratus kali.

Tak berselang lama, Q kembali dengan dua gelas kertas besar. Sambil menyerahkan segelas kepada perempuan itu, ia meletakkan badannya ke kursi berjemurnya. “Jangan terlalu bersedih tentang ini,” katanya. “Sekarang, setiap hari kau akan—”

Tapi, sebelum ia bisa menyelesaikan kalimat tersebut, perempuan itu melemparkan gelasnya yang masih penuh ke arahnya. Gelas itu tepat mengenai wajahnya, dan sekitar satu per tiga dari Coca-Cola itu mencipratiku. Tanpa sepatah kata pun, perempuan itu berdiri dan, sambil menarik sedikit bikininya, melangkah pergi tanpa melihat ke belakang. Q dan aku hanya duduk terpana selama lima belas detik. Orang-orang di sekitar menatap kami dengan kaget. 

Q adalah orang pertama yang mendapatkan kembali ketenangannya. “Maaf,” katanya dan mengulurkan handuk padaku.

“Tidak apa-apa,” jawabku. “Nanti aku mandi saja.”

Tampak sedikit kesal, ia menarik handuk itu kembali dan menggunakannya untuk mengeringkan dirinya sendiri.

“Setidaknya biarkan aku mengganti rugi bukunya,” katanya. Memang benar bukuku basah kuyup. Tapi itu hanya paperback murah, dan tidak terlalu menarik. Siapa pun yang melemparkan Cola pada buku itu dan mencegahku membacanya berarti telah menyelamatkanku. Ia menjadi cerah ketika aku mengatakan itu. Ia memiliki senyum manis, seperti biasanya.

Q kemudian pergi, setelah sebelumnya meminta maaf kepadaku sekali lagi sambil berdiri untuk beranjak. Ia tidak pernah menyadari siapa aku.

***

Aku memutuskan memberi judul “Kerajaan yang Gagal” pada cerita ini karena aku kebetulan membaca artikel di koran sore hari ini tentang kerajaan Afrika yang telah gagal. “Melihat kerajaan yang indah memudar,” katanya, “jauh lebih menyedihkan ketimbang melihat keruntuhan republik kelas dua.”