Showing posts with label eksistensialisme. Show all posts
Showing posts with label eksistensialisme. Show all posts

Tuesday, 4 October 2022

Pengantar Singkat Eksistensialisme (Esai Translasi)

Ditulis oleh Luke Mastin dalam Bahasa Inggris & diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Eksistensialisme—singkatnya—adalah tradisi pemikiran kefilsafatan yang menekankan nilai-nilai dari eksistensi pribadi, misalnya, terkait kebebasan & pilihan-pilihan. Berangkat dari pandangan bahwa manusia mampu mendefinisikan makna mereka sendiri dalam hidup—bahwa manusia mampu membuat keputusan yang rasional meskipun berada di alam semesta yang tak bermakna, jelek, random, nonsens, & irasional—tak lama setelah mengalami semacam keterlemparan (baca: dilahirkan).

Eksistensialisme berfokus pada pertanyaan tentang keberadaan manusia & perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan. Eksistensialisme, khususnya eksistensialisme-ateistik, berpendapat bahwa, (karena tidak ada Tuhan atau kekuatan transenden lain) satu-satunya cara untuk melawan “void” ini adalah dengan “merangkul” eksistensi kita sendiri.

Dengan demikian, Eksistensialisme percaya bahwa individu sepenuhnya bebas & harus mengambil tanggung jawab pribadi untuk diri mereka sendiri (walaupun dengan tanggung jawab ini muncul kecemasan, penderitaan, atau ketakutan yang mendalam). Oleh karenanya, ia menekankan tindakan, kebebasan, & keputusan sebagai hal yang mendasar, serta menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi kemanusiaan yang secara fundamental irasional (yang ditandai dengan penderitaan & kematian yang tak terhindarkan) adalah dengan menjalankan kebebasan & mengambil pilihan-pilihan pribadi kita (penolakan Determinisme sepenuhnya).

Seringkali, Eksistensialisme (sebagai sebuah gerakan) digunakan untuk menggambarkan mereka yang menolak untuk menjadi bagian dari aliran pemikiran mana pun, menolak kecukupan suatu korpus kepercayaan atau sistem apa pun—mengklaim korpus-korpus tersebut dangkal, akademis, & jauh dari kehidupan. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan Nihilisme, Eksistensialisme lebih merupakan reaksi terhadap filsafat tradisional, seperti Rasionalisme, Empirisme, & Positivisme, yang berusaha menemukan tatanan tertinggi & makna universal dalam prinsip-prinsip metafisik atau dalam struktur dunia yang diamati. Ini menegaskan bahwa manusia benar-benar membuat keputusan berdasarkan apa yang berarti bagi mereka, ketimbang pada apa yang rasional.

Eksistensialisme berasal dari filsuf abad ke-19—Søren Kierkegaard (1813 - 1855) & Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)—meskipun keduanya tak menggunakan istilah eksistensialisme secara gamblang di dalam karya-karya mereka. Pada tahun 1940-an & 1950-an, eksistensialis Prancis seperti Jean-Paul Sartre (1905 - 1980), Albert Camus (1913 - 1960), & Simone de Beauvoir (1908 - 1986) menulis karya ilmiah & karya fiksi yang mempopulerkan tema-tema eksistensial, seperti ketakutan, kebosanan, keterasingan, absurditas, kebebasan, komitmen, kehampaan, & ketiadaan.

Keyakinan Utama

Tak seperti René Descartes (1596 - 1650), yang mengagungkan kesadaran, Eksistensialis menegaskan bahwa manusia “dilemparkan ke” semesta yang konkret, alam semesta tetap yang tak dapat “dipikirkan lebih jauh”, & oleh karenanya eksistensi (“berada di dunia”) mendahului kesadaran, & itu merupakan realitas tertinggi. Maka, eksistensi ada sebelum esensi (esensi adalah makna yang dapat dianggap berasal dari kehidupan)—kontras dengan pandangan filsafat tradisional yang berasal dari Yunani kuno. Seperti yang dikatakan Sartre: “Pada mulanya [manusia] bukan apa-apa. Hanya setelah itu dia akan menjadi sesuatu, dan dia sendiri akan membuat dirinya menjadi apa yang dia inginkan.”

Kierkegaard melihat rasionalitas sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk melawan kecemasan eksistensial mereka, ketakutan mereka (ketika) berada di dunia. Sartre melihat rasionalitas sebagai bentuk “itikad buruk”, upaya diri untuk memaksakan struktur pada dunia fenomena yang secara fundamental irasional & random. Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan makna dalam kebebasan, & membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari.

Kierkegaard juga menekankan bahwa seorang individu harus memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan standar-objektif-yang-universal. Nietzsche lebih lanjut berpendapat bahwa seorang individu harus memutuskan situasi mana yang dianggap sebagai situasi moral. Dengan demikian, sebagian besar Eksistensialis percaya bahwa pengalaman pribadi & bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangatlah penting dalam mencapai kebenaran, & bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat langsung dalam situasi itu jelas lebih unggul ketimbang pemahaman pengamat objektif yang tak mengalami situasi tersebut (mirip dengan konsep Subjektivisme).

Menurut Camus, ketika kerinduan seorang individu akan keteraturan bertabrakan dengan ketakteraturan di dunia kenyataan, hasilnya adalah absurditas. Oleh karenanya, manusia adalah subjek dalam alam semesta yang masa bodoh, ambigu, & absurd—di mana makna tak disediakan oleh tatanan alam, melainkan (dapat) diciptakan (namun hanya sementara & tak stabil) oleh tindakan & interpretasi manusia.

Eksistensialisme dapat bersifat ateistik, teologis (atau teistik), atau agnostik. Beberapa Eksistensialis, seperti Nietzsche, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” & bahwa konsep Tuhan sudah usang. Figur yang lain, seperti Kierkegaard, sangat religius, bahkan jika para eksistenialis-ateistik merasa tak bisa membenarkan anggapan tersebut. Faktor penting bagi Eksistensialis adalah kebebasan memilih “untuk percaya” atau “tak percaya”.

Sejarah Eksistensialisme

Tema-tema bercorak eksistensialis muncul dalam tulisan-tulisan Buddhis & Kristen awal (termasuk tulisan St. Augustine & St. Thomas Aquinas). Pada abad ke-17, Blaise Pascal (1623 - 1662) menyatakan bahwa, tanpa tuhan, hidup tak akan bermakna, membosankan & penuh kesengsaraan, seperti yang diyakini oleh para Eksistensialis, meskipun, tak seperti mereka—Pascal melihat ini sebagai alasan dari eksistensi tuhan. Seseorang yang hampir sezaman dengannya, John Locke (1632 - 1704), menganjurkan otonomi individu & determinasi-diri, tetapi dalam pengejaran  Liberalisme & Individualisme mutlak— ketimbang sebagai tanggapan atas pengalaman Eksistensialis.

Eksistensialisme, dalam bentuknya yang saat ini dapat dikenali—mula-mula diilhami oleh filsuf Denmark abad ke-19 Søren Kierkegaard, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger (1889 - 1976), Karl Jaspers (1883 - 1969) & Edmund Husserl (1859 - 1938)—juga penulis seperti Fyodor Dostoevsky dari Rusia (1821 - 1881) & Franz Kafka dari Ceko (1883 - 1924). Dapat dikatakan bahwa Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831) & Arthur Schopenhauer (1788 - 1860) juga berpengaruh besar dalam perkembangan Eksistensialisme, karena filsafat Kierkegaard & filsafat Nietzsche ditulis sebagai tanggapan atau pertentangan terhadap mereka.

Kierkegaard & Nietzsche, seperti Pascal sebelumnya, tertarik pada apa yang orang-orang sembunyikan tentang ketakbermaknaan hidup & penggunaan “pengalihan” untuk melarikan diri dari rasa jemu. Namun, tak seperti Pascal, mereka menganggap peran membuat-pilihan-bebas pada nilai-nilai fundamental & keyakinan penting dalam upaya untuk mengubah sifat & identitas “pembuat-pilihan” tersebut. Dalam kasus Kierkegaard, ini menghasilkan “ksatria-iman”, yang menaruh kepercayaan penuh pada dirinya sendiri & pada tuhan, seperti yang dijelaskan dalam karyanya tahun 1843 “Fear and Trembling”. Dalam kasus Nietzsche—yang banyak difitnah—yaitu “Übermensch” (atau “Superman”)—mencapai superioritas & transendensi tanpa menggunakan “keduniawian-lain” à la Kekristenan, dalam bukunya “Thus Spake Zarathustra” (1885) & “Beyond Good and Evil” (1887).

Martin Heidegger adalah seorang filsuf awal yang penting dalam gerakan tersebut, khususnya karyanya yang berpengaruh pada tahun 1927 “Being and Time”, meskipun ia sendiri dengan keras menyangkal menjadi seorang eksistensialis dalam pengertian Sartrean. Diskursusnya tentang ontologi berakar pada analisis mode keberadaan individu manusia, & analisisnya tentang otentisitas & kecemasan dalam budaya modern membuatnya sangat Eksistensialis.

Eksistensialisme muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar melalui karya ilmiah & karya fiksi dari Eleksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, & Simone de Beauvoir. Maurice Merleau-Ponty (1908 - 1961) adalah eksistensialis Prancis yang berpengaruh & sering diabaikan pada periode itu.

Sartre mungkin yang paling terkenal, serta salah satu dari sedikit eksistensialis yang benar-benar menerima disebut “eksistensialis”. “Being and Nothingness” (1943) adalah karyanya yang paling penting, & novel serta dramanya, termasuk “Nausea” (1938) & “No Exit” (1944), membantu mempopulerkan gerakan ini.

Dalam “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus menggunakan analogi mitos Yunani Sisyphus (yang dikutuk selamanya untuk mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk menggulingkannya ke bawah lagi) sebagai contoh kesia-siaan eksistensi, tetapi menunjukkan bahwa Sisyphus akhirnya menemukan makna & tujuan dalam hidupnya, hanya dengan terus-menerus “menerapkan dirinya” untuk itu.

Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis penting yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama Sartre, menulis tentang feminis & etika eksistensial dalam karya-karyanya, termasuk “The Second Sex” (1949) & “The Ethics of Ambiguity” (1947).

Meskipun Sartre dianggap (oleh sebagian besar) sebagai Eksistensialis yang paling unggul, & (oleh banyak orang) sebagai filsuf penting & inovatif dalam dirinya sendiri, yang lain kurang terkesan dengan kontribusinya. Heidegger sendiri berpikir bahwa Sartre hanya mengambil karyanya & meregresinya kembali ke filsafat berorientasi subjek-objek Descartes & Husserl, yang persis seperti apa yang Heidegger coba bebaskan dari filsafat. Beberapa orang melihat Maurice Merleau-Ponty sebagai filsuf Eksistensialis yang lebih baik, khususnya karena penggabungannya dengan tubuh sebagai cara kita mengada di dunia, & untuk analisis “persepsi” yang lebih lengkap (dua bidang di mana karya Heidegger sering dianggap kurang).

Kritik terhadap Eksistensialisme

Herbert Marcuse (1898 - 1979) mengkritik Eksistensialisme, terutama “Being and Nothingness” karya Sartre, karena memproyeksikan beberapa fitur hidup dalam masyarakat modern yang menindas (fitur seperti kecemasan & ketakberarmaknaan) ke dalam sifat keberadaan itu sendiri.

Roger Scruton (1944 - 2020) mengklaim bahwa baik konsep Heidegger tentang ketakotentikan & konsep itikad buruk Sartre sama-sama tak konsisten, dalam arti bahwa mereka menyangkal setiap kredo moral yang universal, namun berbicara tentang konsep-konsep ini seolah-olah setiap orang terikat untuk mematuhinya.

Kaum Marxis, khususnya ketika pascaperang Prancis, menemukan Eksistensialisme bertentangan dengan penekanan mereka pada solidaritas umat manusia & teori determinisme ekonomi. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa penekanan Eksistensialisme pada pilihan individu mengarah pada kontemplasi daripada tindakan, & bahwa hanya kaum borjuis yang memiliki kemewahan untuk menjadikan diri mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan melalui pilihan mereka, sehingga mereka menganggap Eksistensialisme sebagai filsafat borjuis.

Kritikus Kristen mengeluhkan bahwa Eksistensialisme menggambarkan umat manusia dalam cahaya terburuk, mengabaikan martabat & anugerah yang berasal dari penciptaan menurut Imago Dei. Juga, menurut kritikus Kristen, Eksistensialis tak dapat menjelaskan dimensi moral kehidupan manusia, & tak memiliki dasar teori etika jika mereka menyangkal bahwa manusia terikat oleh perintah tuhan. Di sisi lain, beberapa penafsir telah keberatan dengan penggolongan Kierkegaard yang terus-menerus pada Kekristenan, terlepas dari ketakmampuannya untuk secara efektif menjustifikasinya.

Dalam istilah yang lebih umum, penggunaan karakter pseudonim dalam tulisan eksistensialis dapat membuatnya tampak seperti pengarang yang tak mau mengakui “insight”-nya sendiri, & membingungkan filsafat dengan sastra.

*****

Sumber Literatur

Mastin, Luke. "Existentialism - By Branch / Doctrine - The Basics of Philosophy." Existentialism - The Basics of Philosophy: https://www.philosophybasics.com/branch_existentialism.html




Tuesday, 27 September 2022

Godardisme: Membangun Filosofi dalam “Vivre sa vie” (Esai Translasi)

[Bagian dari VARIABLES, serangkaian esai tentang seni & politik Jean-Luc Godard]

Dipublikasikan pertama kali di website filmcapsule.com pada 19 November 2014
kemudian dialihbahasakan oleh Mochammad Aldy Maulana Adha  

*terjemahan ini didedikasikan untuk Godard—& terbit 2 minggu pascakematiannya pada 13 September 2022.

***

Jean-Luc Godard sering dilabeli sebagai sutradara/pembuat film intelektual, yang biasanya tampak seperti istilah yang sombong, mewakili sesuatu seperti “didaktik” atau bersifat mendidik—& “obtus” atau sulit dipahami. & terkadang itu mungkin benar. Tapi jika Godard adalah pembuat film intelektual, itu bukanlah suatu sikap gaya-gayaan atau kepura-puraan, tetapi pendalaman yang sungguh-sungguh terhadap konsep tentatif di ruang lingkupnya. Prancis 1960-an adalah sarang wacana politik & diskursus filosofis, Godard & rekan-rekan New Wave-nya (yang dulunya para teoritikus kemudian beralih menjadi sutradara) adalah bagian integral dari lingkungan ini. Wajar jika diskursus ini mulai merembes ke dalam film-film mereka.

Vivre sa vie (1962) karya Godard, misalnya, kaya akan eksistensialisme. Baik dalam bentuk maupun isinya, kisah terjunnya seorang single mother berusia 22 tahun ke dalam prostitusi ini seringkali tampak dimotivasi oleh prinsip-prinsip pembentukan-diri à la eksistensialisme, tetapi anggapan mengenai eksistensialisme dalam film ini tetaplah ambigu. Apakah Nana Kleinfrankenheim (yang diperankan Anna Karina) memang bebas untuk menjalani kehidupan yang dia pilih, ataukah dia malah ditentukan oleh ketiadaan kehendak bebas yang kentara? Apakah otonomi individu, ataukah kecenderungan untuk menolak makna itulah yang mendefinisikan Vivre sa vie?

Salah satu prinsip eksistensialisme yang sering hadir baik secara bentuk maupun isi film tersebut adalah keselarasan antara ajaran & cara hidup seseorang, antara perkataan & tindakan. Dengan prinsip ini, Godard pasti akan menjadi model yang mengagumkan bagi para sinefil untuk film abad ke-20 & ke-21. Pertama sebagai kritikus & teoritikus yang setia, kemudian sebagai pembuat film yang ulet & produktif, Godard mempraktekkan apa-apa yang dia khotbahkan. Tulisan-tulisannya tentang kekuatan & politik dari film diaktualisasikan dalam karyanya, sebagaimana karyanya itu sendiri ada sebagai perpanjangan dari teori & filosofinya sendiri.

Tapi apakah integritas yang sama antara kata-kata & tindakan ini ada pada Nana di Vivre sa vie? Eksistensialisme bergantung pada pembentukan “gagasan yang lebih personal tentang ‘kebenaran’ (Flynn 2),” sebuah esensi unik untuk setiap individu yang berfungsi sebagai peta filosofisnya mengarungi kehidupan. Meskipun Nana sangat menginginkan kebenarannya sendiri, di sepanjang film dia menjadi “didefinisikan” bukan oleh kehendaknya sendiri, tetapi oleh kehendak orang lain.

Godard & Karina mencirikan Nana melalui luapan emosinya, serta rasa ingin tahu & perhatiannya yang naif. Misalnya, dalam satu adegan kunci, Nana dengan berurai air mata menonton The Passion of Joan of Arc karya Carl Theodor Dryer tahun 1928. Kekuatan emosional dari adegan yang sangat sunyi ini bergantung pada ketepatan Godard & Karina dalam menangani respons emosional Nana yang dalam & hampir sublim, yang menunjukkan penerimaan perasaannya, sebagai prinsip lain dari eksistensialisme. Adegan kunci lain dalam film ini memperlihatkan Nana yang mencoba membangun filosofinya sendiri, tetapi setelah Nana berbincang dengan filsuf-sungguhan (Brice Parain), Nana semakin bingung dengan teori pertamanya tentang kehidupan.

Cita-cita Eksistensialisme difokuskan pada individu manusia dalam “pengejaran identitas & makna (Flynn 8),” namun dalam Vivre sa vie, Nana secara rutin ditolak agensi dalam mengejar identitasnya sendiri, sama seperti dia tidak dapat menciptakan sistem maknanya sendiri. Godard mencapai ini dengan secara konsisten & radikal menyasar Nana dalam konteks peran sosialnya, sebagai karyawan toko kaset, calon aktris, ibu yang rindu, model yang tidak antusias, & tentu saja, pelacur. Masing-masing peran ini ditentukan oleh fungsinya bagi orang lain, bukan oleh esensinya sendiri. Sebagai seorang aktris & model khususnya, Nana tampaknya bersedia tunduk pada kehendak sutradara atau fotografer, melepaskan identitasnya sendiri untuk mengenakan topeng sebagai “performer”. Sebagai pelacur, Nana kembali dicirikan oleh fungsinya untuk orang lain, namun bahkan sebutan sederhananya sebagai “pelacur Raoul” lenyap saat dia berganti germo, yang mengakibatkan kehancurannya. Meskipun dia mencari integritas eksistensial demi menjalani hidupnya sendiri, untuk dirinya sendiri—Nana menolak pilihanya di setiap kesempatan.

Meskipun Godard dalam Vivre sa vie memasukkan penelusuran à la eksistensialisme, elemen-elemen ini sebagian besar negatif, sebagai pengingat bahwa apa yang Nana cari mati-matian tidak akan pernah didapatkan. Mungkin sebaliknya, film ini merupakan ekspresi dari pembentukan-diri Godard sendiri sebagai seorang pemikir & seniman. Kehadiran sang sutradara dalam film tersebut tampak muncul melalui pembacaan “The Oval Portrait” karya Edgar Allan Poe. Dengan teknik close-up ke wajah Karina, narasi Poe dibacakan oleh suara Godard sendiri, menggantikan aktor yang membaca buku itu. Saat Godard membaca kegilaan seorang seniman dengan rendering gambar istrinya, dengan mengesampingkan Nana, penonton akan menyadari hubungan pribadi yang mendalam dari cerita ini dengan hubungan Godard & Karina, yang mengancam dedikasi Godard terhadap karyanya sendiri.

Ditempatkan di akhir film, adegan ini mengganggu pembacaan eksistensialis terhadap Vivre sa vie seraya “memperluas” film demi mencakup kehidupan Godard dan Karina. Meskipun Godard “melipat” dirinya ke dalam jalinan film, langkah ini tidak bertentangan dengan pencarian Nana untuk filosofi eksistensialnya, itu justru meluas menuju ke arah Godard sendiri. Godard tidak merusak integritas Nana, tetapi sebaliknya—menegaskan integritasnya sendiri, menyusun pernyataan tesis dari filosofi sinematik pribadinya.

Referensi:

Flynn, Thomas. Existentialism: A Very Short Introduction. Oxford University Press: Oxford.

Monday, 5 September 2022

ABCD Eksistensi Mendahului Esensi (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Berasal dari Jean-Paul Sartre (cara mengucapnya dalam Bahasa Inggris: zhon pawl saa·truh), frasa "l'existence précède l'essence/existence precedes essence/eksistensi mendahului esensi" telah dianggap sebagai formulasi klasik, bahkan mendefinisikan jantung filsafat eksistensialisme. Frasa ini adalah ide besar dan radikal yang mengubah metafisika tradisional.

Pemikiran filosofis Barat berpendapat bahwa "esensi" atau "sifat" dari suatu hal lebih fundamental dan abadi daripada sekadar "keberadaannya". Sehingga, jika kita ingin memahami suatu hal, yang harus kita lakukan adalah belajar lebih banyak tentang “esensi”-nya. Sartre tidak setuju, meskipun harus dikatakan bahwa dia tidak menerapkan prinsipnya secara universal, tetapi hanya untuk kemanusiaan.

Sifat yang Pasti vs. Sifat yang Tergantung

Sartre beranggapan bahwa ada dua jenis keberadaan. Yang pertama adalah "ada-dalam-dirinya" (l'en-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang pasti, tetap, lengkap, dan tidak memiliki alasan untuk keberadaannya—apa adanya. Ini menggambarkan dunia eksternal dari objek-objek. Ketika kita mempertimbangkan, misalnya, sebuah palu, kita dapat memahami sifatnya dengan mencatat sifat-sifatnya dan mencari tahu tujuan pembuatannya. Palu dibuat oleh orang-orang untuk alasan tertentu—dalam artian, “esensi” atau “sifat” palu sudah ada di benak penciptanya sebelum palu yang sebenarnya ada di dunia. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketika menyangkut objek-objek seperti palu, esensi mendahului eksistensi (yang merupakan metafisika klasik).

Tipe kedua dari keberadaan menurut Sartre adalah "ada-untuk-dirinya" (le pour-soi), yang dicirikan sebagai sesuatu yang bergantung pada asal-muasal untuk keberadaannya. Ia tidak memiliki sifat yang mutlak, pasti, tetap, atau abadi. Bagi Sartre, ini menggambarkan keadaan manusia dengan sempurna.

Manusia Sebagai Makhluk yang Bergantung

Keyakinan Sartre bertentangan dengan metafisika tradisional—atau, lebih tepatnya, metafisika yang dipengaruhi oleh Kekristenan—yang memersepsikan manusia sebagai palu. Ini karena, menurut kaum teis, manusia diciptakan oleh tuhan sebagai tindakan-kehendak yang disengaja dan dengan pemikiran atau tujuan tertentu—tuhan tahu apa/di mana/kapan/siapa/mengapa/bagaimana membuat manusia sebelum manusia secara eksistensi benar-benar ada. Maka, dalam konteks Kekristenan, manusia bagaikan palu karena sifat dan karakteristik—"esensi"—manusia sudah ada dalam pikiran abadi tuhan sebelum manusia nyata ada di dunia.

Bahkan banyak ateis yang mempertahankan premis dasar ini—meskipun faktanya mereka mengabaikan premis yang menyangkut tentang tuhan. Mereka berasumsi bahwa keberadaan manusia memiliki "sifat manusia" yang khusus, yang membatasi apa yang bisa atau tidak bisa dilakukan manusia—pada dasarnya, kita semua memiliki "esensi" yang mendahului "eksistensi" kita.

Sartre percaya bahwa ketika kita memperlakukan manusia lain dengan cara yang sama seperti kita memperlakukan objek-objek eksternal (seperti palu) adalah suatu kesalahan yang tidak perlu. Sebaliknya, sifat manusia ditentukan oleh dirinya sendiri dan tergantung pada keberadaan orang lain. Maka, bagi manusia, eksistensi mereka mendahului esensinya.

Tiadanya Tuhan

Keteguhan Sartre, menantang prinsip ateisme yang sejalan dengan metafisika tradisional. Tidaklah cukup dengan begitu saja meninggalkan konsep tentang tuhan, katanya, tetapi kita juga harus meninggalkan konsep apa pun yang berasal dari dan bergantung pada gagasan tentang tuhan, tidak peduli seberapa nyaman dan akrabnya kita dengan konsep tersebut selama berabad-abad.

Sartre menarik dua kesimpulan penting dari ini. Pertama, dia berargumen bahwa tidak ada sifat manusia yang umum bagi semua orang karena tidak ada tuhan yang memberikannya sejak awal. Manusia ada, itu sudah jelas, tetapi hanya setelah adanya beberapa "esensi" yang bisa disebut sebagai "sifat-sifat manusia" tersebut bisa dikembangkan. Manusia harus mengembangkan, mendefinisikan, dan memutuskan seperti apa "sifat" mereka melalui keterlibatan dengan diri mereka sendiri, masyarakat mereka, dan realitas-dunia di sekitar mereka.

Individual namun Bertanggung Jawab

Lebih lanjut, Sartre berargumen, meskipun "sifat" setiap manusia tergantung pada bagaimana mendefinisikan diri sendiri, kebebasan radikal ini disertai dengan tanggung jawab yang sama radikalnya. Tidak ada yang bisa begitu saja mengatakan "itu adalah sifatku" sebagai dalih untuk perilaku mereka. Apa pun yang dilakukan seseorang sepenuhnya bergantung pada pilihan dan komitmen mereka sendiri—tidak ada hal lain yang bisa dijadikan sandaran. Orang-orang tidak memiliki siapa pun untuk disalahkan (atau dipuji) selain diri mereka sendiri.

Sartre lantas mengingatkan bahwa kita bukanlah individu yang terisolasi, melainkan anggota komunitas dan umat manusia. Mungkin tidak ada sifat manusia yang universal, tetapi pasti ada kondisi manusia yang sama—kita semua bersama-sama, kita semua hidup dalam masyarakat-manusia, dan kita semua dihadapkan pada jenis keputusan yang sama.

Setiap kali kita membuat pilihan tentang apa yang harus dilakukan dan membuat komitmen tentang bagaimana hidup, kita juga membuat pernyataan bahwa perilaku dan komitmen ini adalah sesuatu yang bernilai dan penting bagi manusia. Dengan kata lain, terlepas dari kenyataan bahwa tidak ada otoritas objektif yang memberi tahu kita bagaimana seharusnya berperilaku, kita harus tetap berusaha untuk menyadari bahwa pilihan kita memengaruhi orang lain. 

Jauh dari individualis penyendiri, manusia, menurut Sartre, bertanggung jawab atas diri mereka sendiri, ya, tetapi mereka juga memikul tanggung jawab atas apa yang dipilih orang lain dan apa yang mereka lakukan. Ini akan menjadi tindakan menipu diri sendiri untuk membuat pilihan dan kemudian pada saat yang sama berharap bahwa orang lain tidak akan membuat pilihan yang sama (misalnya, kita memiliki kebebasan untuk menonjok muka kawan kita yang menyebalkan—dan kita benar-benar menonjoknya—maka kita harus siap untuk bertanggung jawab semisal dia melakukan visum dan melaporkan kita ke pihak berwajib—atau jika dia memilih untuk menonjok balik muka kita). Menerima beberapa tanggung jawab untuk orang lain yang mengambil pilihan yang sama dengan kita adalah satu-satunya alternatif.

*****

Sedikit Catatan

Tulisan ini memiliki judul asli "Existence Precedes Essence: Existentialist Thought"—namun karena beberapa faktor tertentu dan pertimbangan diseminasi, penerjemah menerbitkannya dengan judul "ABCD Eksistensialisme".

Sumber Literatur

Existence Precedes Essence: Existentialist Thought – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/existence-precedes-essence-existentialist-thought-249956

Saturday, 27 August 2022

Ateisme dan Eksistensialisme (Esai Translasi)

Pandemonium (1841) by Martin
Artikel ditulis oleh Austin Cline dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha


Meskipun tidak dapat disangkal bahwa banyak teolog Kristen dan bahkan beberapa teolog Yahudi telah menggunakan tema-tema eksistensialis dalam tulisan-tulisan mereka, adalah fakta bahwa eksistensialisme jauh lebih mudah dan lebih umum diasosiasikan dengan ateisme—daripada dengan jenis teisme apa pun, entah Kristen atau yang lainnya. Tidak semua ateis adalah eksistensialis, tetapi seorang eksistensialis agaknya punya tendensi untuk menjadi ateis daripada menjadi teis—dan ada alasan bagus untuk ini.


Pernyataan paling definitif tentang eksistensialisme ateistik kiranya berasal dari tokoh paling menonjol dalam eksistensialisme ateistik itu sendiri, Jean-Paul Sartre, dalam kuliahnya yang diterbitkan pada format buku berjudul L'existentialisme est un humanisme/Existentialism Is a Humanism (1946):


“Eksistensialisme ateistik, yang saya representasikan, menyatakan dengan konsistensi yang lebih besar bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada satu makhluk yang keberadaannya mendahului esensinya, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsepsi apa pun. Makhluk itu adalah manusia ...”


Filsafat Eksistensialisme


Ateisme adalah keseluruhan sisi dari filsafat Sartre, dan bahkan, dia berpendapat bahwa ateisme adalah konsekuensi yang diperlukan bagi siapa pun yang mendalami eksistensialisme secara serius. Ini tidak berarti bahwa eksistensialisme menghasilkan argumen-argumen filosofis yang menentang keberadaan tuhan atau menyangkal argumen-argumen teologis dasar tentang keberadaan tuhan—itu bukan jenis hubungan yang dimiliki oleh eksistensialisme dan ateisme.


Sebaliknya, hubungan itu lebih merupakan masalah kesesuaian dalam hal suasana hati dan kecenderungan. Tidak perlu bagi seorang eksistensialis untuk menjadi seorang ateis, tetapi lebih mungkin untuk menciptakan "kecocokan" yang lebih kuat dengan ateisme—ketimbang dengan teisme. Ini karena banyak tema-tema yang paling umum dan fundamental dalam eksistensialisme lebih masuk akal di alam semesta yang tidak memiliki tuhan— ketimbang di alam semesta yang dipimpin oleh tuhan yang mahakuasa, mahatahu, mahahadir, dan mahabaik.


Maka, eksistensialisme ateistik seperti yang ditemukan dalam tulisan-tulisan Sartre bukanlah posisi yang diperoleh setelah penelusuran filosofis dan refleksi teologis, melainkan diterima sebagai konsekuensi dari mengambil gagasan-gagasan dan sikap-sikap tertentu pada kesimpulan logisnya.


Tema Utama


Yang selalu menjadi tema utama dalam filsafat Sartre adalah "kemenjadian" dan eksistensi manusia: Apa artinya kemenjadian dan apa artinya menjadi manusia? Menurut Sartre, tidak ada sifat mutlak, tetap, abadi—yang sesuai dengan kesadaran manusia. Dengan demikian, keberadaan manusia dicirikan oleh “ketiadaan”—apa pun yang kita klaim sebagai bagian dari kehidupan manusia adalah ciptaan kita sendiri, seringkali melalui proses memberontak-melawan batasan-batasan eksternal.


Inilah kondisi kemanusiaan—kebebasan mutlak di dunia. Sartre menggunakan frasa "l'existence précède l'essence/eksistensi mendahului esensi" untuk menjelaskan gagasan ini, kebalikan dari metafisika tradisional dan konsepsi tentang sifat realitas. Kebebasan ini, pada gilirannya, memproduksi kecemasan dan ketakutan karena, tanpa Tuhan, umat manusia dibiarkan sendiri dan tanpa sumber arah atau tanpa tujuan eksternal.


Maka, perspektif eksistensialis “cocok” dengan ateisme karena eksistensialisme menganjurkan pemahaman tentang dunia bahwa tuhan tidak memiliki peran signifikan untuk "dimainkan". Di dunia ini, manusia dilemparkan kembali pada diri mereka sendiri untuk menciptakan makna dan tujuan melalui pilihan-pilihan pribadi mereka—ketimbang menemukannya melalui hubungan erat dengan kekuatan-kekuatan irasional di luar dirinya (tuhan).


Kesimpulan


Namun, ini tidak berarti bahwa eksistensialisme dan teisme atau eksistensialisme dan agama sama sekali tidak sejalan. Terlepas dari filsafatnya, Sartre selalu mengklaim bahwa keyakinan agama tetap bersamanya—mungkin bukan sebagai ide intelektual—melainkan sebagai komitmen emosional. Dia menggunakan bahasa-bahasa (bercorak) agama dan citraan-citraan agama di seluruh tulisannya dan cenderung memandang agama secara positif, meskipun dia tidak percaya adanya tuhan dan menolak kebutuhan akan tuhan sebagai dasar keberadaan manusia.


*****


Sumber Literatur


Existentialist Philosophy and Atheistic Thought (Not all atheists are existentialists, but an existentialist is probably more likely to be atheistic than theistic—and there are good reasons for this) – LearnReligions: https://www.learnreligions.com/atheism-and-existentialism-250975