Showing posts with label eksistensialisme. Show all posts
Showing posts with label eksistensialisme. Show all posts

Wednesday, 7 June 2023

Peter Wessel Zapffe: Antinatalisme dan Eksistensialisme-Evolusionis?


Semacam Muqadimah

Pada tahun 1872, seorang yang mendalami filologi sekaligus kritikus budaya yang lebih dikenal sebagai filsuf, Nietzsche, menelurkan buku The Birth of Tragedy—tentang tegangan dua impuls artistik yang menubuh dalam Tragedi Yunani: Apollonian dan Dionysian. Yang menarik adalah bahwa dia merisalahkan mitos kuno tentang Raja Midas—pergi ke hutan untuk mencari “Silenus yang Bijak”, kawan baiknya Dionysus (kelak masyarakat Romawi menyebutnya Bacchus) yang merupakan dewa anggur—demi menjawab pertanyaannya perihal “apa yang terbaik dan paling diinginkan manusia?”.

Setelah bertahun-tahun berlalu, sang raja akhirnya berhasil menemukan Silenus si paling tipsy—dan sembari tertawa terbahak-bahak, dia berkata: “O, ras fana yang celaka… mengapa kau memaksaku untuk memberi tahumu apa yang sebaiknya tak kau dengar? Apa yang terbaik dari semuanya benar-benar di luar jangkauanmu: tak dilahirkan, tak mengada, tak menjadi apa-apa. Tapi yang terbaik kedua bagimu adalah—mati dengan segera”. Nietzsche menilai bahwa orang-orang Yunani merasakan kengerian-eksistensial dari “Kebijaksanaan Silenus”—dan oleh karenanya, mereka berbondong-bondong membangun kerja-kerja kesenian, kesusastraan, serta konsep dewa-dewi Olympian dari Chronos sampai Afrodit (dan boleh jadi termasuk pula zodiak-zodiak dari Aries hingga Pisces) sebagai semacam kamuflase pertama dan terakhir untuk menyembunyikan kebenaran pahit ini—demi memperkecil peluang kemungkinan memiliki pandangan dunia yang pesimistis, dipenuhi banalitas, dan diliputi nihilitas seperti desas-desus Silenus.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, hal terbaik adalah tak pernah dilahirkan sama sekali.” —Heine, Complete Poetical Works of Heinrich Heine (2016)

Terlepas dari konotasi positif-negatifnya, gagasan ketakberadaan, ketaklahiran, serta antinatalistik—merentang dari tendensi Vibhava-taṇhā à la Buddhisme Theravada, ide-ide Schopenhauerian, larik terakhir puisi berjudul Morphine milik Heine di atas, aforisme-aforisme Cioran, lirik Bohemian Rhapsody-nya Queen, buku L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste karangan de Giraud, gagasan-gagasan Benatar, kutipan Sophocles yang disadur Gie, hingga perspektif menarik dari filsuf Nordik yang sayangnya kurang terkenal: Peter Wessel Zapffe.

Dalam perbandingan yang kasar, orang-orang lebih besar kemungkinannya untuk menyebut Halland ketimbang Zapffe ketika ditanya siapa contoh manusia asal Norwegia. Ada beberapa alasan mengapa pengacara dan penjelajah Antartika ini masih begitu asing di telinga kita (yang bukan Anglophone atau Francophone, bukan pula bangsa Skandinavian). Salah satunya, adalah fakta budug, karya-karya Zapffe sedikit sekali (bahkan beberapa belum ada) yang diterjemahkan dari bahasa aslinya. Karya yang pertama kali melambungkan namanya—disertasi doktoralnya yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1941—yang telah dicetak berkali-kali dalam beragam edisi—“Om det tragiske”, setebal lebih dari 600 halaman—hingga detik ini, sejauh riset penulis, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia) dan masih dalam tahap penggarapan. Esai-esainya, kabar baiknya, tertanggal 30 Januari 2023, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan telah tersedia di laman OpenAirPhilosophy. 

Antinatalisme Zapffe

Bayangkan sebuah pasar malam yang sedang kebakaran, barangkali begitulah kira-kira gambaran dunia menurut Zapffe. Maka, tak mengejutkan bila dia pernah menulis sesuatu berbau antinatalis bahwa “melahirkan anak ke dunia ini seperti membawa kayu bakar ke rumah yang terbakar”. Kalimat ini menggemakan ajakan untuk menyudahi prokreasi—menghentikan upaya untuk memproduksi anak (dengan pendekatan moralis). Sesuatu yang, tentu saja berlawan dengan perintah-perintah pronatalis dalam Ajaran Samawi untuk berkembang biak atau beranak-pinak demi “melanjutkan kerajaan Allah di bumi”—yang telah idée fixe dan harga mati. 


Tapi Zapffe tetap pada pendiriannya dengan tak memiliki anak sepanjang hidupnya. Dia menyoal dan mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan bahwa sebuah koin receh saja—sebelum kita sedekahkan kepada pengemis—kita periksa dan pertimbangkan dengan teliti, dengan berbagai kalkulasi ekonomi—tapi mengapa seorang anak, kita “lemparkan” ke dalam kebrutalan kosmik tanpa sangsi? Bukankah pengandaiannya ini terdengar cukup membagongkan?


Untuk lebih memahami mengapa Zapffe memiliki pemikiran yang “madesu” dan “melakoli”, bijaknya kita menyelami diagnosis-diagnosisnya berikut ini.


Paradoks Biologis 


“Manusia adalah binatang yang tragis. Bukan karena tubuhnya yang kecil, tapi karena dia terlalu diberkahi. Manusia memiliki kerinduan dan tuntutan spiritual yang tak dapat dipenuhi oleh kenyataan. Kita memiliki harapan akan dunia yang adil dan bermoral. Manusia membutuhkan makna di dunia yang nirmakna.” —Zapffe, The Last Messiah (2013)

Pada 2013, salah satu esainyayang berjudul “Den sidste Messiasyang telah mengudara sejak 1933—baru dialihbahasakan oleh Tangenes ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Last Messiah” dan tersedia dalam edisi Kindle-nya. Satu tahun berselang, terjemahan ini terbit di majalah Philosophy Now - Issue 45. Melalui esainya ini, Zapffe menelurkan gagasan-gagasan kefilsafatannya (yang nampak terlalu pesimis ketimbang realistis) tentang manusia dan hal-hal eksistensial yang melingkupinya. Jika mesti diklasifikasikan, maka dia bisa digolongkan sebagai seorang nihilis dan pada titik tertentu sebagai eksistensialis. Tapi, akan terlalu sembrono apabila kita melabelinya hanya sekadar seseorang yang membawa “wabah eksistensialisme”—sebab secara spesifik, dia menggabungkan kecenderungan filsafat yang bersemi di Paris pasca-perang-dunia-kedua itu dengan paradigma darwinian-evolusionis. Mungkin kita sebaiknya tak melabelinya apapun selain “anak gunung” atau “si paling mapala”.

Fakta menariknya, Zapffe merupakan intelektual Norwegia pertama yang mengembangbiakkan kritik filosofis dengan kacamata ekologis; khususnya, relasi antara manusia dengan lingkungan. Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk digarisbawahi bahwa secara biologi-taksonomi, manusia digolongkan sebagai kingdom animalia, ordo primata, famili hominidae, genus homo, spesies homo sapiens. Singkatnya, secara naturalistik manusia adalah hewan. الانسان حيوان ناطق (Al-Insanu Hayawanun Nathiq); hewan yang berpikir—dalam terma Al-Ghazali yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan Socrates—khususnya. Terlepas dari perdebatan tentang sifat alami manusia, antara Hobbes versus Rousseau, daya pikir hewan berakal ini sepanjang waktu bertumbuh-berkembang sedemikian rupa. Masalahnya, menurut Zapffe, evolusi memungkinkan sistem kognitif kita menjadi terlalu “canggih”—daya dobrak dari pikiran dan kecerdasan manusia ini—memantik fitur-fitur kecemasan bahkan memperbesar kekuatan dari ketakutan yang khas manusia. 

Dalam bagian kedua Den sidste Messias, dia menggambarkan kondisi manusia sebagai “... paradoks biologis, sesuatu yang dibenci, sebuah absurditas, sebuah keberlebihan dari sifat bencana”. Dengan kata lain, biang kerok penyebab paradoks biologis adalah surplus akal-pikiran ini—menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—seperti mitos tentang Prometheus yang mencuri api pengetahuan dari Zeus kemudian “terbakar-tersiksa oleh api yang dicurinya sendiri”. Selain itu, kondisi ini membikin eksistensi kita condong dinegasi, karena kita menjadi benci akan keberadaan kita sendiri. Absurditas yang dicetuskan Zapffe juga sekilas selaras dengan dengan gaung kerandoman dalam novel-novel Dostoevsky (The Idiot, The Brothers Karamazov), Kafka (The Metamorphosis, The Castle), Kundera (The Joke, The Unbearable Lightness of Being), hingga Camus (The Stranger, The Plague); serta dalam karya fenomenalnya, Le Mythe de Sisyphe, yang mengisahkan mitos Raja Sisifus—dikutuk secara absurd untuk mendorong batu di gunung kekekalan. Sedangkan, keberlebihan kemampuan manusia bisa mewujud efek kupu-kupu yang memicu ribuan BM (banyak mau). Dapat kita interpretasi, pertama-tama, dengan memahami bahwa hidup-kehidupan telah sedemikian bervariasi serta kompleks dan “keinginan” manusia pun berbanding lurus dengannya. Nafsu keinginan ini, dalam Buddhisme, dianggap sebagai akar dari penderitaan manusia, namun nafsu ini memiliki fungsi biologis dan evolusioner yang krusial—sebagai penyulut kemajuan-penemuan dalam peradaban. Tanpa nafsu keinginan, semua akan serba mandek dan stagnan.

Zapffe melanjutkan: “... suatu spesies telah dipersenjatai terlalu berat—oleh semangat yang dibuat tanpa mahakuasa, tetapi sama-sama merupakan ancaman bagi kenyamanannya sendiri. Senjatanya seperti pedang tanpa gagang atau pelat, bilah bermata dua yang membelah segalanya; tetapi dia yang akan memegangnya harus memegang pedangnya dan mengarahkan satu ujungnya ke arah dirinya sendiri”. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya, “senjata” yang manusia miliki saat ini mengakibatkannya ngeri akan kehidupan itu sendiri; lebih-lebih terhadap keberadaannya sendiri. Lebih lanjut, Zapffe menggambarkan bahwa manusia memiliki semacam “mata-yang-baru” dan melihat bahwa dirinya “datang ke alam semesta sebagai tamu tak diundang dan telah kehilangan haknya untuk tinggal karena telah membeli buah pengetahuan dengan segenap kepolosan-kedamaian jiwanya”. Harga bagi senjata luar biasa berat ini adalah kepekaat kuat akan penderitaan miliaran manusia lain serta makhluk hidup lain di planet ini—dan tak menutup kemungkinan, termasuk juga kehidupan-kehidupan makhluk ekstraterestrial di galaksi lain—di alam semesta yang secara konstan mengembang ini.

Lebih jauh, ikan marlin, kapibara, penguin, cacing besar alaska memiliki apa-apa yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup dan “hidup di masa kini”, sedangkan manusia punya kecenderungan besar untuk mencari sesuatu yang mungkin tak mereka butuhkan dan berhasrat “melampaui” yang-kini—kembali ke yang-lalu atau menuju ke yang-nanti. Cioran memiliki istilah teknis untuk kondisi problematis ini: jatuh-ke-dalam-waktu. Hewan-hewan selain manusia tak ada yang dipusingkan dengan masalah-masalah fisika kuantum, eksistensi AI dalam ekosistem seni, celah impunitas dalam hukum, tekanan hidup di zaman mahabeli, dan seterusnya. Diskursus ini, pada gilirannya, mengarah pada anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit—seperti yang telah dituangkan oleh de Unamuno dalam Tragic Sense of Life (2017): semua makhluk hidup memiliki ketakutan yang naluriah, namun hanya manusia yang memiliki kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan (akibat dari analisis otak terlalu canggihnya, Zapffe menambahkan). Dalam keadaan sehat dan berbahagia, manusia, bahkan memiliki kemungkinan untuk membayangkan rasa sakit dan hari kematiannya. Argumentasi ini seperti berangkat dari Kitab Dhammapada, Yamaka Vagga, syair pertama dan kedua, yang menekankan bahwa “pikiran adalah pelopor sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”.

Pada dasarnya, bagi Zapffe, kesadaran kita selalu “meluap-luap” dan kita cenderung berpikir terlalu banyak. Konsekuensi logisnya, imajinasi kita semakin terasa semakin nyata. Garis demarkasi antara apa yang-nyata dan yang-imaji menjadi bias. Seneca dari zaman bahela, dalam On the Shortness of Life (2017), telah menyinggung ini bahwa “kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas”. Akan tetapi, Zapffe mencurigai tak hanya manusia yang menderita karena evolusi berlebihan ini. Dalam salah satu bagian liris dari The Last Messiah, dia menulis:


“Jadi diperkirakan, misalnya, rusa tertentu (Megaloceros giganteus, sejenis Rusa Irlandia) pada zaman paleontologis mati karena mereka memiliki tanduk yang terlalu berat. Mutasi harus dianggap buta, mereka bekerja, seperti dilontarkan, tanpa ada kontak kepentingan dengan lingkungannya. Dalam keadaan depresi, pikiran dapat dilihat dalam citraan tanduk seperti itu, dengan segala kemegahannya yang luar biasa menindih pemiliknya ke tanah.”


Surplus-Kesadaran


Meskipun manusia tak punah seperti Rusa Irlandia, tetapi surplus-kesadaran ini membuat kita vis-à-vis dengan bahaya dari “kepanikan kosmik” yang tak henti-henti. Pada puncak tertentu, seseorang yang tak mampu lagi menanggungnya akan bertendensi dan mempunyai intensi bunuh diri. Zapffe memandang bahwa kebarbaran dunia modern bertopang pada kesalahpahaman tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karenanya, ketika fenomena bunuh diri terjadi, yang selalu dipersoalkan adalah perihal kuantitas-kualitas spiritualitas yang sedikit-rendah. Sederhananya, diterima secara umum persepsi bahwa orang-orang membunuh dirinya karena kurangnya iman—bukan karena dunia yang secara fundamental tak mampu memenuhi dahaga purbakala manusia akan sosok mahatransendental-mahakuasa.


Cioran, dalam The Trouble with Being Born (2013), secara tersirat menyebut surplus-kesadaran ini sebagai “kerajaan kesadaran yang supremasinya tak tertahankan”. Tak mengherankan, Cioran dan Zapffe membaca Nietzsche, sedikit banyak tepapar tesis-tesisnya dan dengan demikian keduanya memiliki fokus filosofis yang mirip-mirip dan bernuansa Dionysian; tendensi eskapisme dengan kemabukan seperti yang telah disinggung di awal. Baudelaire, penyair surealis Prancis, secara puitik dan cantik melalui medium puisi menggambarkannya begini:


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk. Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk. Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Empat Peta Mekanisme-Pertahanan

Hampir dalam keseluruhan karya-karyanya, Sartre mensyiarkan beban-beban pilihan-keputusan sebagai konsekuensi kita akan kesadaran terhadap kehendak bebas. Kundera, dalam The Unbearable Lightness of Being (2009), pun demikian—secara implisit mendedahkan beban-beban (dari surplus-kesadaran dalam istilah Zapffe) yang berdiri pada refleksi akan waktu, akan hidup yang hanya sekali ini. Tapi filsuf berkacamata ini, secara autentik, memetakan empat mekanisme-pertahanan manusia untuk “mengurangi” intensitas kesadarannya: 


Pertama, Isolasi—teknik paling ekstrem dengan penolakan sewenang-wenang untuk mengeliminasi pikiran-perasaan yang pahit dan “mengganggu”. Mengisolasi diri di alam liar macam Christopher McCandless yang menolak membaca ide-ide hitam Shakespeare dalam Tragedi Hamlet atau Macbeth. Tak memikirkan sesuatu yang mengerikan tentang kehidupan, singkatnya.


Kedua, Penjangkaran—semacam pemusatan kesadaran pada apa-apa yang metafisik, pada suatu nilai atau cita-cita kolektif: tuhan, agama-agama, negara, masyarakat, moralitas, takdir, humanisme, dan sebagainya. Pada titik yang paling personal, mirip seperti Leap of Faith atau Lompatan Iman Kierkedian. Bertaklid pada monastisisme islam dan menjadi salik yang “zuhud”, misalnya.


Ketiga, Distraksi—upaya pengalihan perhatian, mendistraksi surplus-kesadaran, dengan stimulus-stimulus eksternal: menenggak alkohol, mengisap mariyuana (jenis indica atau sativa), mengonsumsi tramadol, bermain Pou, bermain tic-tac-toe, minum coklat panas, bermain permainan papan, dan seterusnya.


Terakhir, Sublimasi—pendek kata, daya upaya untuk mengonversi surplus-kesadaran menjadi sesuatu yang produktif, kreatif, dan bernilai seni. Lebih jauh, penderitaan-penderitaan karena surplus-kesadaran ditransformasikan menjadi citraan-citraan yang dramatis, herois, liris—atau bahkan komikal (seperti Joker yang mampu ngakak selepas-lepasnya di puncak keputusasaannya).


Banyak manusia menggunakan tiga mekanisme-pertahanan di atas—dan yang terakhir, Sublimasi, merupakan yang paling langka. Mengapa? Ada kebolehjadian tinggi bahwa Sublimasi ibarat “panasea yang terlalu sulit untuk ditelan”. Bisa dibilang, mengubah derita jadi karya, luarbiasa susahnya—sebab dibutuhkan lebih banyak “kegilaan” ketimbang “kewarasan” untuk melakukannya. Hanya ada sedikit manusia yang cukup “gila” untuk mengonversi rasa sedih yang tak pernah sudah atau pengalaman traumatisnya menjadi sesuatu yang puitis dan estetis. Dalam bahasa Seneca yang Stoik: “tak ada orang jenius-hebat yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan”. Tulisan-tulisan Goethe sampai Zapffe, lukisan-lukisan van Gogh sampai Picasso, musik-musik Wagner sampai Chopin, barangkali dapat dijadikan sebagai beberapa contoh dari mekanisme-pertahanan berbasis Sublimasi. 


Eksistensialisme-Evolusionis Zapffe


Berangkat dari perspektif kosmik dan penderitaan kolektif yang bersarang dalam surplus-kesadaran manusia, Zapffe menambah warna baru dalam literatur Eksistensialisme—dan seperti melengkapi pandangan Frankl dalam Man’s Search for Meaning (2013) tentang apa yang dia sebut sebagai Logoterapi serta visinya bahwa makna atau sesuatu yang berguna dapat ditemukan dalam pertarungan-pergulatan kita dengan penderitaan.


Di titik ini, penulis ingin sedikit merevisi petuah Walpole yang juga digemakan ulang oleh Fitzgerald dalam magnum opusnya The Great Gatsby (2005): “hidup adalah komedi bagi mereka yang berpikir, tragedi bagi mereka yang merasakan, dan tragikomedi bagi mereka yang berpikir untuk merasakan pikiran-pikirannya”.


Belajar atau tak belajar, pada akhirnya, kita akan menyesali keduanya. Mari kita tutup mekanisme-pertahanan Sublimasi berbentuk teks ini dengan Kitab Pengkhotbah, Ecclesiastes 1:18, tepatnya: “karena dengan banyak hikmat datang banyak derita; semakin banyak pengetahuan, semakin banyak kesedihan mendalam karenanya”. Semoga semua yang membaca berbahagia. Semoga kita tak berakhir seperti tokoh Don Quixote dalam kepala Cervantes, yang jadi gila karena iqra.

“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (2004).

*****

Referensi

Zapffe, Peter Wessel (translator: Gisle Tangenes). 2013. The Last Messiah. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 2003. The Birth of Tragedy. Penguin Classics;

Heine, Heinrich. 2016. Complete Poetical Works of Heinrich Heine. Kindle Editon: Delphi Classics;

De Unamuno, Miguel. 2017. Tragic Sense of Life. Kindle Edition;

Cioran, Emil. 2013. The Trouble with Being Born. Kindle Edition;

Seneca. 2017. On the Shortness of Life. Kindle Edition;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Kundera, Milan. 2009. The Unbearable Lightness of Being. Harper Perennial;

Frankl, Viktor. 2013. Man’s Search for Meaning. Kindle Edition: Ebury Digital;

Fitzgerald, Scott. 2005. The Great Gatsby. Kindle Editions: Scribner;

Kierkegaard, Søren. 2004. The Sickness Unto Death. Kindle Editions: Penguin.

Tuesday, 7 March 2023

Eksistensialisme dan Sastra (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Prof. Peter Rickman dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Lebih dari sekadar gerakan filosofis, para eksistensialis mengomunikasikan ide-ide mereka melalui drama, novel, dan cerita pendek. Peter Rickman bertanya: mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra?

Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme yang melestarikan subjek tersebut dan menulis karya-karya substansial tentangnya. Namun ia juga menulis, dan dikenal luas untuk, novel, cerita pendek, dan drama. Ini bukanlah hubungan yang kebetulan, karena seorang manusia bisa saja seorang dokter dan pegolf. Karya sastra Sartre mewakili gagasan-gagasan filosofisnya, dan dengan demikian menjadi dikenal luas serta digemari. Dalam hal ini dia mengintensifkan kecenderungan gerakan yang dikenal sebagai eksistensialisme. Søren Kierkegaard, yang biasanya dianggap sebagai bapak gerakan ini, banyak menggunakan perangkat fiksi. Misalnya, karya filosofis signifikannya yang pertama, Either/Or, menyajikan pandangan yang sangat berbeda dari tiga karakter ciptaannya; yang satu estetikus, yang kedua moralis, dan yang ketiga sensualis. Pandangan-pandangan mereka diungkapkan masing-masing dalam bentuk esai, aforisme, surat, dan catatan harian. Friedrich Nietzsche, jika bukan paman seorang bapak baptis eksistensialisme itu, memproduksi Thus Spoke Zarathustra di mana dia menjalin fiksi puitis di sekitar sosok manusia bijak Persia. Martin Heidegger percaya pada signifikansi filosofis puisi dan mencoba mengarang, meskipun tak terlalu berhasil, beberapa karya puisinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan filsafat dalam bentuk sastra bukanlah yang hal baru. Buku Dialogues-nya Plato adalah mahakarya sastra. Diderot dan Voltaire memberikan dua contoh bagaimana pemikir mengekspresikan diri mereka dalam fiksi. Akan tetapi, sebagian besar teks-teks filosofis, selama berabad-abad, berbentuk esai akademis, risalah rigid, dan ceramah-ceramah kuliah yang dibukukan. Jadi, apa dorongan di balik perubahan segar menuju ekspresi sastra ini dan apa pentingnya?

Jawabannya, penulis ingin berargumen, terkait erat dengan dua kontribusi signifikan yang telah dibuat oleh eksistensialisme terhadap perdebatan-perdebatan filosofis. Gelombang popularitas eksistensialisme telah berakhir. Pada tahun 50-an dan 60-an ada seminar-seminar tentang Heidegger di sebagian besar universitas Jerman dan bahkan di beberapa institusi di Anglo-Saxon. Di Paris, eksistensialisme menjadi semacam mode. Banjir itu telah surut dan gerakan filosofis lainnya seperti Dekonstruksi à la Derrida telah mengemuka. Selain itu, kesuraman visi eksistensialis telah dikritik. Heidegger, menulis setelah kekalahan Jerman—dan Sartre, menulis setelah melihat kekalahan Prancis—keduanya memandang hidup sebagai perjuangan melawan kesulitan dan kesengsaraan akibat dari negara mereka yang kalah perang. Nausea-nya Sartre mungkin saja disebabkan oleh 'perjalanan buruk' dan hidup (meskipun berisi kekhawatiran dan ketakutan tapi) boleh jadi mengandung kegembiraan. 

Akan tetapi, masih ada dua pencapaian filosofis yang bertahan lama. Yang pertama adalah sebagai pengingat, didramatisasi dengan jelas dalam naskah-naskah fiksi, bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan berbagai problemanya—tak sekadar kerewelan akademis tentang hal-hal abstrak yang rumit dan sulit. Penulis katakan pengingat karena ini selalu menjadi perhatian filsafat yang sebenarnya; Marx jelas keliru, mungkin bukan karena ketaktahuan, tetapi melalui keinginannya untuk mengembangkan retorika, ketika dia mengklaim bahwa filsafat sampai saat ini lebih peduli pada bagaimana memahami dunia ketimbang mengubahnya. Seseorang hanya perlu membaca Plato, Aristoteles, Hobbes, Spinoza atau Kant untuk mengamati upaya memahami “keinginan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik”. Memang benar, terdapat beberapa filsuf dan seluruh gerakan filosofisnya, paling tidak di zaman kita, yang memprotes bahwa mereka adalah spesialis yang tak berbahaya, yang mengklarifikasi istilah dan mengurai kesalahan tata bahasa, sehingga mereka dapat dibiarkan dengan damai di menara gading intelektualitas mereka. Melawan ini, para eksistensialis telah memberikan pengingat tepat waktu bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan fitur-fiturnya yang khas.

Kedua, eksistensialisme menekankan pada otentisitas individu. Penulis bukanlah sekadar contoh manusia. Tidaklah cukup untuk mengidentifikasi diri ini sebagai seorang Yahudi atau seorang London. Seperti yang ditekankan Heidegger, kesadaran bahwa manusia pasti mati dan bukan hanya kesadaran bahwa seseorang pasti mati, pada akhirnya, akan membawa pulang berbagai identitas unik yang tak tergantikan. Dari sini satu prinsip formal dimiliki oleh semua eksistensialis: seruan pada keotentikan.

Di sinilah alasan kuat untuk beralih dari generalisasi filosofis ke instansiasi sastra. Dalam fiksi dan drama kita dikenalkan dengan sosok-sosok individu yang mengilustrasikan secara detail dan konkret bagaimana rasanya menjadi manusia. Tragedi Yunani seperti Antigone yang dikarang Sophocles, atau lakon-lakon Sartre, tak hanya mengilustrasikan sebuah tema, tegangan konflik antara hati nurani dan ketaatan pada hukum, misalnya, tetapi menghadirkan kepada kita tokoh-tokoh fiksi yang menunjukkan bagaimana orang-orang tertentu—dalam situasi tertentu— merespons sesuatu.

Begitu kita menekankan relevansi filsafat dengan kehidupan manusia, pertanyaan tentang pilihan moral menjadi begitu penting. Fokus ini memberikan alasan lebih lanjut tentang kecenderungan eksistensialisme untuk ekspresi sastra. Karena eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral umum yang jelas, ia didorong dari teori ke arah analisis pilihan pribadi setiap individu. Ini memberikan tantangan yang menarik bagi filsafat moral tradisional, yang memang paling efektif diungkapkan dalam bentuk sastra.

Alasan mengapa eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral dan politik yang koheren adalah penekanannya pada pilihan-pilihan autentik setiap individu. Inilah sebabnya mengapa para eksistensialis, secara individu—dalam keyakinan agama, politik, dan moral mereka—sangat berbeda satu sama lainnya. Kierkegaard adalah seorang Kristen yang taat, Sartre seorang ateis, Heidegger mendukung Nazi dan bahkan tetap setengah hati mengutuk Holocaust, sementara Sartre mendukung komunisme. Mereka semua bersatu dalam kebajikan formal sebuah otentisitas personal, yaitu keotentikan pilihan-pilihan pribadi. Kita selalu dihadapkan pada alternatif-alternatif yang dapat dan mesti kita pilih. Kita dalam ungkapan Sartre “dikutuk untuk bebas”, tetapi derita mendalam muncul, karena tak adanya pedoman objektif.

Penulis mengesampingkan, sebagai subjek yang terlalu luas untuk sebuah artikel, pertanyaan apakah eksistensialisme dijustifikasi dalam membuang standar moral objektif seperti yang telah disediakan oleh Aristoteles, Kant, atau Mill. Namun, kita harus mengakui bahwa semua filsafat moral dibatasi setidaknya dalam dua cara. Salah satunya adalah bahwa dasar dari filsafat moral itu sendiri bertumpu pada asumsi yang terbuka untuk dianalisis secara kritis.

Filsafat moral Aristoteles adalah tentang mencapai kehidupan yang baik, eudaimonia, tak cukup diterjemahkan sebagai kebahagiaan karena melibatkan perkembangan atau pemenuhan diri. Kita semua akrab, bahkan dalam hal-hal sepele, dengan peningkatan yang kita dapatkan dari melakukan hal dengan baik, misalnya berhasil melatih bakat kita. Namun, untuk menyimpulkan pedoman moral apa pun dari ini, kita harus memutuskan apa yang penting bagi manusia, apa yang perlu dipenuhi oleh diri kita, atau mengapa lebih penting mengembangkan bakat untuk berfilsafat ketimbang menggoyangkan telinga? Aristoteles menanggapi pertanyaan ini dengan mendefinisikan manusia sebagai 'binatang rasional' yang pemenuhannya terdiri dari melatih akal dan mengendalikan serta menyeimbangkan secara rasional berbagai hasratnya, (yakni, menemukan cara yang tepat di antara ekses yang saling berlawanan). Tapi dapatkah kita menerima begitu saja rasionalitas manusia sebagai ciri utamanya?

Sangat masuk akal untuk ditekankan, seperti halnya kaum utilitarian, pentingnya memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Tapi ini jelas setengah benar, bagi petinju dan pendaki gunung yang mirip seperti ilmuwan, yang berdedikasi mengekspos diri mereka sendiri, secara sukarela, pada rasa sakit. Ada juga masalah dari mengukur kesenanganku dengan rasa sakitmu, atau kesenangan jangka pendek dengan rasa sakit jangka panjang.

Pendekatan lain diambil oleh para pemikir seperti Hegel atau Marx yang percaya bahwa kita dapat menemukan gerak sejarah sebagai upaya penyingkapan nalar, kemajuan kebebasan atau gerak menuju masyarakat yang adil tanpa kelas-kelas sosial. Kita kemudian dapat bertindak selaras dengan tren seperti itu. Masalahnya adalah kita menjadi ragu apakah ada tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat dilihat dalam sejarah. Terakhir, yang tak kalah penting, dalam tulisan ini perlu diangkat pula filsafat moral-nya Kant, bahwa, menurutnya, alasan-alasan praktis melahirkan kewajiban ketika berbicara kepada kita sebagai suara bawaan dari hati nurani. Hukum moral, yang diartikulasikan dalam formulasi berbeda dari Imperatif Kategoris, bagaimanapun, sangat formal, menuntut konsistensi, ketakberpihakan, dan penghormatan terhadap tujuan orang lain. Alih-alih memunculkan prinsip, ia bertindak sebagai kriteria untuk mereka. Sangat mirip dengan aturan logika, yang tak memberi tahu kita apa yang harus ditulis, tetapi hanya tentang bagaimana menghindari penulisan yang tak masuk akal. Jelas acuan singkat ini tak dapat berlaku adil untuk pendekatan yang berbeda terhadap filsafat moral. Acuan ini hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa filsafat-filsafat moral semacam itu tak dapat memberi kita panduan langsung karena sudah bertumpu pada praduga dan terlalu formal.

Alasan lebih lanjut mengapa teori-teori moral umum seperti itu tak dapat secara langsung memandu kita adalah karena banyaknya konflik-konflik tragis. Teori yang berbeda mungkin setuju bahwa berbohong itu salah atau bahwa kekejaman secara moral tak dapat diterima. Tapi bagaimana jika jujur ​​pun tak baik? Kita mungkin setuju bahwa keadilan maupun perdamaian itu berharga, tetapi kita mungkin menemukan bahwa kita harus berjuang hanya demi menegakkan keadilan.

Merupakan hutang budi bagi para eksistensialis untuk berfokus pada implikasi dari batasan teori-teori moral dengan menekankan pilihan-pilihan pribadi yang tak terhindarkan. Bahkan jika kita mengesampingkan keraguan tentang kemungkinan hukum moral objektif yang berasal dari tuhan, alam atau akal, mereka tak membawa kita sepenuhnya ke keputusan. Kau mungkin, misalnya, menjadi seorang Kristen religius yang menerima setiap perintah Alkitab, namun memilih pasifisme atau percaya pada perang yang adil menurut interpretasimu sendiri. Dengan kata lain, kau tak dapat memprogram komputer dengan prinsip-prinsip moralmu, memasukkan detail-detail kasus tertentu, menekan tombol dan menerima keputusan tentang apa yang harus kau lakukan. Itu terletak pada sifat dasar dari pilihan-pilihan moral yang tak dapat direduksi menjadi personal. Tak ada yang bisa mengangkat beban ini dari pundakmu.

Pengingat bahwa kita tak dapat mengalihkan tanggung jawab kita, tak dapat berlindung di balik teori umum, cukup penting memang, tetapi secara esensial negatif. Bisakah eksistensialis menawarkan semacam panduan positif, yang kita cari dari filsafat? Kita dapat dengan mudah setuju dengan seruan eksistensialisme pada keotentikan dan realisasi diri, tetapi apakah ini lebih membantu daripada seruan pada konsistensi? Di sini kita telah sampai pada alasan lain mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra. Beberapa orang mungkin keberatan dengan argumen penulis sejauh ini bahwa para filsuf masa lalu memegang pandangan moral tertentu yang mereka tawarkan sebagai pedoman. Aristoteles memuji apa yang kita sebut “kebajikan yang lembut”, Kant sangat percaya pada hukuman mati, Mill sangat mendukung kebebasan. Namun, dalam pandangan penulis, kesimpulan semacam itu tak sepenuhnya secara ketat menaungi filsafat mereka, tetapi diwarnai oleh faktor latar belakang budaya dan kepribadian mereka. Tugas filsuf bukanlah sebagai pembimbing moral dan kita tak akan menerimanya filsuf semacam itu, meskipun kita dapat menghormati pandangan moralnya sebagaimana kita menghormati orang yang memegangnya. Apa yang dapat dilakukan filsafat adalah menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang persoalan-persoalan yang harus kita putuskan. Ini adalah nilai dari teori-teori seperti 'rata-rata', imperatif kategoris atau kalkulus kebahagiaan.

Sebuah “bagaimana” lebih lanjut telah dipetakan oleh Kierkegaard dan tetap paradigmatik untuk pendekatan eksistensialis. Selain menawarkan kriteria dan kerangka kerja formal untuk merefleksikan hidup, kita dapat mengangan-angankan model-model individual, atau jenis-jenis kehidupan, dan eksplorasi imajinatif dari implikasinya. Dengan demikian, seorang individu dibantu secara konkret untuk memutuskan, dengan lebih banyak wawasan, menjadi manusia seperti apa yang dia inginkan. Karya sastra yang magnum opus, selalu melakukan hal semacam itu. Dalam eksistensialisme hal tersebut menjadi instrumen tentang usaha-usaha filosofis yang dipilih dan dilakukan secara sadar.

*****

Sumber Literatur

Existentialism & Literature | Issue 32 | Philosophy Now: https://philosophynow.org/issues/32/Existentialism_and_Literature

Sunday, 12 February 2023

Milan Kundera dan Eksistensialisme (Esai Translasi)


Sastra yang mengkaji sifat-sifat eksistensi

Menurut Kundera, novel-novelnya lebih mencurahkan perhatian pada studi tentang eksistensi ketimbang studi tentang realitas. Catatan bahwa novel-novel Kundera tak selalu diringkas sebagai eksistensialisme. Meskipun demikian, ide-ide eksistensialis yang digambarkan dalam novel-novelnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi besar eksistensialisme. Menurut Kundera, eksistensi tak berkaitan dengan apa yang telah terjadi; tetapi mengacu pada apa-apa yang mungkin bagi manusia, dan pada semua kemampuan mengada, serta pada semua yang dia bisa. Dengan meneliti tokoh-tokohnya secara dekat, menjadi jelas bahwa mereka merupakan representasi diri-eksperimental yang merepresentasikan pengalaman mengada. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh fiksi Kundera dan realitas mereka memiliki titik referensi eksistensialis yang mengungkapkan bagaimana mereka dan anggapan mereka tentang eksistensi saling berhubungan dan sangat bergantung satu sama lainnya.

Dalam novelnya, The Unbearable Lightness of Being, gagasan-gagasan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Seorang tokoh hadir dari situasi dasar atau beberapa kata. Dalam fiksi, pengarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri… Dengan demikian, imajinasi novel mampu memperluas probabilitas-probabilitas realitas yang rentangnya sampai pada keberadaan realitas. Dalam realitas, semua yang kita miliki diberikan saat kita dilahirkan (hlm. 65).

Menanggapi eksistensialisme

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana Kundera menanggapi para pionir eksistensialisme dalam tulisan-tulisannya. The Unbearable Lightness of Being menukil gagasan Nietzsche: “eternal recurrence/eternal return/perulangan abadi”. Gagasan ini mewartakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan perulangan dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebagai tambahan, ini adalah perulangan dari perulangan itu (hlm. 76). Dalam Nietzsche, gagasan perulangan abadi adalah hal yang positif. Namun, Kundera percaya itu absurd karena hidup hanya sekali, dan kehidupan tak dapat diulangi, sehingga tak mungkin bagi seseorang untuk secara substansial memperbaiki dirinya sendiri. Kundera membuat referensi dalam buku yang sama dengan pepatah Jerman yang berarti bahwa “melakukan sesuatu sekali sama dengan tak pernah melakukannya” (hlm. 142). Novelis eksistensialis itu bertanya-tanya apakah kehidupan manusia memiliki makna karena hidup itu sementara dan teruslah berubah-rubah. Ungkapan indeterministik Beethoven berulang kali dikutip dalam novel: Must that be so? (hlm. 189). Keadaan manusia tak ditentukan oleh kebetulan yang tak mereka sesali: mereka dapat memilih takdir yang mereka inginkan. “To be or not to be”-nya Hamlet pun memperoleh pemaknaan metafisik dengan menekankan pemberontakannya terhadap hidup yang sekali melalui “kemungkinan” yang dimilikinya.

Seperti yang disiratkan Kundera dalam tulisan-tulisanya—hidup manusia memang hanya sekali, tetapi keputusan yang kita buat pada titik waktu yang berbeda-beda mengandung berbagai pilihan yang bercabang-cabang. Jika tak ada kemungkinan, hidup menjadi mekanis, dan otonominya berkurang. Selalu ada kemungkinan, yang mengungkap kompleksitas keadaan eksistensi manusia. Meskipun demikian, dimensi kemungkinan ini akan selalu menjadi kekuatan “tak-berwujud”; yang tak dapat direalisasikan. Kundera mengungkapkan konflik antara probabilitas dan realitas melalui tokoh Tomáš, yang secara acak mengingat argumen terkenal Plato tentang jenis kelamin manusia dalam buku Dialogues-nya: manusia pada mulanya hermafrodit (berkelamin ganda) dan, karena Zeus membelah umat manusia menjadi dua (perempuan dan lelaki), setiap bagian itu mengembarai dunia demi mencari pasangannya (hlm. 623). 

Oleh karenanya, cinta adalah impuls untuk mencari belahan jiwa yang telah lama hilang. Cinta sejati akan selalu ada sebagai kemungkinan yang ideal, tak pernah menjadi kenyataan—sebab kita tak dapat betul-betul memastikan apakah seseorang yang kita pacari adalah benar-benar belahan jiwa kita atau bukan, misalnya. Konsekuensi logisnya, orang-orang idealis vis-à-vis langsung dengan kepusingan yang diakibatkan oleh ketakmampuan mereka untuk secara komprehensif dan valid menilai: apakah calon pasangan hidup mereka adalah seseorang yang harus mereka jadikan sebagai “komitmen” atau tidak.

Dari perspektif lain, dalam konteks sebuah narasi profan-duniawi, tak ada yang bisa kembali setelah mengalami musibah, begitu pula kematian. Dalam pengertian ini, das Sein zum Tode-nya Heidegger sangat diperlukan untuk memahami eksistensi manusia, karena seseorang hanya dapat membayangkan kematian sebagai kemungkinan final yang terakhir; hanya dengan begitu seseorang dapat menghargai kehidupan. Itu menjadikan kematian sebagai dasar dari semua kepastian dan makna dalam hidup: masa depan manusia terletak pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipahami, tetapi terus-menerus digantikan oleh kematian, yang terbesar dari segala kemungkinan-kemungkinan (hlm. 65).

Dalam sensibilitas ini, begitu seseorang mengatasi kematian dan memiliki cukup waktu untuk menjelajahi semua kemungkinan, kehendak untuk hidup menjadi tak dapat diatasi—dengan kata lain, kehendak untuk mati menjadi tinggi. Seorang penulis feminis-eksistensialis, Simone de Beauvoir, menghadirkan konsep kematian ini dalam novelnya, All Men Are Mortal (1946), di mana protagonisnya hidup abadi—mengalami semua hal di dunia sebagai hasil dari kekekalannya, tetapi yang dia inginkan hanyalah mati secepatnya—dia tak lagi memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehidupan, akibat dari tak adanya kemungkinan-kemungkinan.

Pilihan-pilihan bebas adalah beban berat yang tak terbatas

Bagian argumen ini akan membahas Jean-Paul Sartre dan beberapa pernyataannya yang terkenal tentang eksistensi manusia.

Pernyataan Sartre tentang eksistensi membentuk dasar dari argumen ini: “eksistensi bukanlah apa-apa.” Dia percaya bahwa benda-benda seperti cangkir kopi adalah jenis keberadaan yang “ada-dalam-dirinya sendiri”, sedangkan manusia adalah “ada-bagi-dirinya”. Atau, dengan kata lain, keberadaan manusia berasal dari ketiadaan/nihilnya esensi. Selain itu, dia menguraikan bahwa “eksistensi mendahului esensi”—yang menunjukkan bahwa dengan eksistensi, seseorang dapat mengerahkan inisiatif subyektifnya untuk menciptakan dan mengembangkan esensi-nya sendiri. Manusia pada dasarnya bebas, menurut Sartre—dan, karena tak ada esensi abadi yang mengikatnya dalam kebebasan itu, manusia memiliki kebebasan total untuk membuat pilihan dan harus menentukan hidupnya untuk menghadapi keadaan kebebasannya yang mutlak.

Sartre mengilustrasikan masalah pilihan menggunakan kasus Eichmann, seorang perwira Nazi. Demi membela tindakannya, Eichmann menegaskan bahwa: “Saya seorang prajurit; saya mengikuti perintah, dan saya tak punya pilihan.” Untuk membantah pernyataan ini, Sartre menegaskan bahwa Hanya karena kau tak memiliki daya upaya atau keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan—itu tak berarti kau tak memiliki pilihan sama sekali (hlm. 78). Eskapisme, menipu-diri, dan penolakan terhadap keadaan harus dihentikan dengan segala cara.

Sartre berpendapat bahwa kebebasan memilih adalah hal yang sulit. Oleh karena itu penting untuk menentukan standar pengambilan keputusan dan menetapkannya secara mandiri. Terlepas dari hasrat semua orang pada landasan yang kokoh dan andal untuk mendasarkan keputusan mereka, Sartre menegaskan bahwa kita membuat semua keputusan berdasarkan standar yang ditentukan oleh diri kita sendiri. Pilihan pasti memiliki konsekuensi, bagaimanapun, katanya “tak ada seorang pun yang dapat mengemban kewajiban ini”: setelah memilih, seseorang bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya.

Di sini, pengaruh Nietzsche terbukti nyata adanya. Nietzsche bukan seorang realis-moral—dia tak percaya bahwa moralitas dan nilai-nilai dapat diukur melalui standar yang objektif.  Manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri. Sartre juga percaya pada subjektivitas nilai.

Tujuan diskusi ini adalah untuk mencari penjelasan dari apa yang Kundera maksudkan dengan “lightness of being” dalam judul novelnya. Mempertimbangkan bagaimana cara dia membahas eksistensi manusia, mengapa “lightness” yang dia maksud melekat pada eksistensi manusia.

Eksistensi manusia memiliki kemungkinan tak terbatas dan tak mempunyai batasan yang melekat padanya. Yang ringan dan leluasa. Masalah dari “keleluasaan” semacam ini adalah ia seperti terasing dari dunia eksternal karena tak terkekang oleh norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya. Singkatnya, suatu keberadaan tanpa petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran dari seseorang di luar dirinya. Kundera tampaknya berpendapat bahwa pilihan-pilihan kita dalam hidup ini dan tindakan-tindakan yang diambil tak memiliki legitimasi. Kita adalah satu-satunya hakim atas tindakan kita sendiri. Adalah tak mungkin untuk menentukan pilihan kita secara tepat berdasarkan faktor-faktor seperti kebangsaan, jenis kelamin, etnis, dan latar belakang ideologis.

Oleh karena itu, “keberadaan yang leluasa” ini disertai dengan keadaan yang berat. Misalnya, kita dapat mengikuti suatu cara hidup yang mungkin tak diperbolehkan di dunia tradisional mana pun—tetapi di sisi lain, semua rasa sakit, derita, dan trauma katastrofis yang terkait dengannya adalah milik kita sendiri—hanya diri kita sendiri yang mampu merasakannya. Oleh karenanya, kehidupan (dan keberadaan manusia) adalah keleluasaan yang tak tertahankan.

Solusi komunitarian

Charles Taylor, seorang filsuf komunitarian dari Kanada, mengusulkan satu kemungkinan obat untuk “keleluasaan keberadaan yang tak tertahankan”-nya Kundera. Menurutnya, komunitarian menolak egoisme ekstrem dan beberapa paham liberal—dan justru menekankan pentingnya latar belakang budaya dalam membentuk seorang individu. Manusia cenderung mempunyai denominator umum yang terstandar bla-bla-bla—semacam landasan bersama. Dengan demikian, kekhasan atau otentisitas masing-masing individu didasarkan pada kesamaan itu dan tentu saja tak sepenuhnya bertentangan dengannya. Untuk memperjelasnya, ketika seseorang mengembangkan identitasnya, dia tak mengatakan dan tak harus menganggap segala sesuatu di luar dirinya sebagai penghalang atau musuh. Sebaliknya, dirinya harus melihatnya sebagai sumber daya dan pemicu perkembangannya.

Meskipun demikian, Kundera tak mendukung pemikiran komunitarian dalam tulisannya, dan dia sangat menentangnya melalui istilah yang dia ciptakan: Kitsch.

“Kitsch”

Jika diteliti lebih dekat, terlihat jelas bahwa heroisme apa pun mengadvokasi “pelampauan” realitas ketimbang mendasarkannya pada realitas yang ada—dan hal semacam itu lebih membangkitkan hasrat daripada perilaku yang bijaksana dan realistis. Di sini, teori heroisme Max Weber yang membumi adalah yang paling relevan. Milan Kundera menggambarkan citra heroik ini sebagai kitsch. Seperti disebutkan sebelumnya, kitsch adalah jenis ekspresi di mana pikiran dan perasaan klise disajikan secara sensasional untuk menarik perhatian publik. Analisis mendalam mengungkapkan bahwa kitsch adalah estetika yang didukung oleh pandangan dunia tertentu—yang dapat disebut filosofis—lebih dari sekadar gaya artistik. Kitsch adalah filsafat deterministik ekstrem yang berakar pada satu logika menyeluruh.

Filsafat jenis ini “menyaring-keluar” kontingensi, ambiguitas, paradoks, dan berbagai faktor non-deterministik lainnya dalam praktik kehidupan—sehingga dapat mencapai kesubliman moral yang tak tergoyahkan dan menggugah nafsu-nafsu yang menyentuh dalam estetika. Dengan demikian, kitsch dapat dipahami sebagai keseluruhan inspirasi emosional yang dapat direpresentasikan oleh ideologi; semua gagasan tentang gerakan kompulsif; dan semua ide-gagasan yang gemar digunakan oleh sosiolog dengan mengkategorikan identitas dan ideologi seseorang. Pada akhirnya, kitsch adalah sebentuk rayuan-diri, yang bergerak secara otomatis, yang menyentuh demi “menyentuh”.

Kundera dengan tegas menegakkan anti-kitsch dalam tulisannya. Dia percaya bahwa sejarah adalah semacam komedi, atau pengungkapan rahasia dari eksistensi manusia, yang merupakan pengakuan dalam keadaan “paradoks tertinggi” (hlm. 93). Dalam keadaan kitsch yang tragis, selalu ada bentuk pemuasan emosi, seperti kesedihan, kemalangan, kegembiraan, atau dendam… tetapi tak ada ironi atau humor. Menggunakan narasi alegoris akan mengganggu yang “estetis” dan yang “sublim”, membawanya ke ranah yang najis seperti dalam kehidupan sehari-hari. Tapi tulisan Kundera menghargai gelak tawa dan mengutuk retorika, mengadopsi pendekatan penulisan yang tanpa tekanan dari apa yang disebut “keseriusan”.

Koeksistensi dengan “kitsch”

Kundera juga sangat sadar bahwa kitsch sudah mendarah daging dalam kondisi manusia—karena ia adalah atribut intrinsik dari sifat manusia—manusia harus menerimanya dan hidup dengannya.

Sabina, yang merupakan karakter “paling leluasa” dalam The Unbearable Lightness of Being, menjelang akhir hidupnya—ditulis Kundera begini: “Dia mengatakan kitsch adalah musuh bebuyutannya, tetapi bukankah dia adalah kitsch di dalam hati?” (hlm. 84).

Contoh lain adalah Meursault-nya Camus dalam buku The Stranger. Merupakan kesalahan besar untuk berpikir bahwa Meursault tak peduli tentang apa pun karena dia menolak hampir setiap kitsch yang pernah terpikirkan. Pedahal, yang ditentangnya adalah semacam kegaduhan massa. Jelas bahwa dia menyadari pentingnya menyembuhkan dirinya sendiri dan tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Meursault tergelincir ke dalam jurang, “dia menyerah untuk melawan” (hlm. 56)— selangkah demi selangkah di paragraf terakhir dan bagian paling menarik dari buku itu: monolog Meursault di dalam penjara. Sangat mungkin untuk menyatakan bahwa kekosongan mutlak ini adalah cara tragis untuk menghibur diri dan menjaga kewarasan. Juga benar bahwa kesadaran akan kekosongan hidup mengarah pada upaya penyelamatan-diri Sisyphean, dengan cara yang sama—dengan menyadari fakta bahwa manusia hidup di dunia yang porak poranda dan rusak—dapat menjadi kekuatan yang berguna.

Mewaspadai pemikiran yang oposisi biner

Kierkegaard mengisahkan sebuah cerita tentang seorang pria yang bangun pada suatu pagi dan menemukan dirinya mati— tanpa pernah menggali akar eksistensinya. Ini menandakan bahwa ada seseorang yang tak berani berfilsafat atau memfilsafati kehidupan. Meskipun manusia sangat menggelisahi zaman atom (mengacu pada periode sekitar 1940-1963, ketika kekhawatiran tentang perang nuklir mendominasi masyarakat Barat selama Perang Dingin), manusia tetap saja linglung seperti tokoh dalam cerita Kierkegaard—tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial.

Dewasa ini, dalam masyarakat yang sangat terpolarisasi, banyak orang merasa sulit untuk membebaskan diri dari pemikiran yang oposisi biner. Inilah mengapa mereka perlu menggunakan klise berulang kali untuk menipu diri mereka sendiri. Namun, para eksistensialis berkali-kali mengingatkan kita: mendefinisikan dan mengarahkan eksistensi manusia sedemikian sederhana adalah penghinaan terhadap kompleksitas manusia. Oleh karenanya, kita mesti mengingat ajaran Socrates dari dua ribu tahun yang lalu: pergunakan akalmu sendiri demi membuktikan eksistensimu!

Referensi

Aji, Aron, ed. (1992). Milan Kundera and the Art of Fiction: Critical Essays. New
York:Garland.
Kundera, Milan. (1995) Testaments Betrayed: An Essay in Nine Parts. New York:
HarperCollins.
Kundera, M. (1984). The Unbearable Lightness of Being. London: Faber & Faber Limited.
Ricard, François. (2003). Agnes’s Final Afternoon: An Essay on the Work of Milan Kundera. Translated by Aaron Asher. New York: HarperCollins.
Weeks, Mark. (2005). “Milan Kundera: A Modern History of Humor Amid the Comedy of History.” Journal of Modern Literature 28: 130-148.
Woods, Michelle. (2006). Translating Milan Kundera. Clevedon, England: Multilingual Matters, 2006.
Sartre, J-P. (1943/2003) Being and Nothingness. Oxon: Routledge.(1938/2000) Nausea. London: Penguin Books.
Kussi, P. (1983) ‘Milan Kundera: Dialogues with Fiction,’ in Bloom, H. (ed.) (2003)
Milan Kundera. Philadelphia: Chelsea House Publishers, pp. 13-17
Manser, A. (1967) Sartre: A Philosophic Study. London: The Athlone Press.

***

Sumber Literatur

Milan Kundera and Existentialism - Thinking Reed: https://ladernieregeneration.org/2022/09/23/milan-kundera-and-existentialism/

Wednesday, 7 December 2022

Heidegger dan Konsepsi-Dikotomis Sartre tentang Kematian (Paper Translasi)

Still Life (1657) by Pieter Claesz

Paper ditulis oleh Shakiba Fadaie dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Meskipun pertanyaan tentang “kehidupan” pascakematian adalah salah satu yang sangat diperdebatkan, premis bahwa kematian adalah takdir definitif bagi semua manusia diterima secara universal. Karena sifat-sifat dari keterbatasan manusia, filsuf Jerman, Martin Heidegger—memandang kematian sebagai takdir yang memungkinkan seseorang menemukan makna, dan dengan demikian menjadi versi paling otentik dari dirinya. Heidegger menggambarkan kematian sebagai penghubung erat dengan otentisitas personal—sebab “faktis” dari ‘kedirian’. Menjadi otentik dalam terma Heideggerian berarti hidup “sejati” untuk diri sendiri. Heidegger menegaskan bahwa kebenaran dapat dijalani, dan seseorang mungkin kemudian gagal untuk menjalankan kebenarannya, oleh karenanya dia menegaskan ada cara fundamental untuk ada, atau mengada. Maka, ia mengklaim “esensi manusia terletak pada keberadaannya” (42).

Heidegger menggunakan istilah ‘Dasein’ (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman “mengada” yang khas manusia. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. (Ini juga dapat ditafsirkan sebagai istilah teknis Heidegger yang mengacu pada kita—bukan sebagai individu manusia—tetapi, mengacu pada cara mengada semua manusia). Dia secara tidak langsung mendedahkan gagasan antara mengada sebagai diri (yang otentik) dan menjalani hidup—sebagai dikotomi yang mendiferensiasi pengalaman-pengalaman manusia. Heidegger menegaskan bahwa ada kualitas-kualitas, sifat-sifat, dan aktivitas-aktivitas tertentu yang lebih “mewakili” dari sekadar apa yang hanya kita lakukan dan nikmati. Oleh karenanya, ketika kita terlibat dalam kegiatan yang tidak sesuai dengan “esensi” kita, kita menjalani kehidupan yang secara intrinsik tidaklah otentik. Sebagai Dasein, kehidupan memiliki struktur pencapaian, atau “keutuhan”, yang ada karena adanya kematian. Melalui pemahaman ini, Heidegger membedakan antara menjalani hidup dengan menjadi diri yang otentik.

Untuk lebih memahami teori Heidegger, seseorang dapat membayangkan skenario di mana waktunya untuk hidup tinggal beberapa hari lagi. Melalui penyelidikan ini, jika seseorang tersebut merasa sangat menyesal atas proyeksi kehidupannya, maka ia menjalani kehidupan yang tidak otentik sama sekali. Sebaliknya, jika ia mengungkapkan kepuasan murni terhadap arah hidupnya, terlepas dari kemungkinan kematian di tikungan sana, maka ia telah menjalani hidupnya dengan sejati. Bagi Heidegger, proyeksi imajinatif mengenai kematian sangatlah penting dalam menentukan siapa diri kita. Setelah menyadari kematian sebagai hal yang tidak terelakkan sama sekali, “seseorang dibebaskan sedemikian rupa, sehingga untuk pertama kalinya ia dapat secara otentik memahami dan memilih di antara kemungkinan-kemungkinan faktikal yang terbentang di depan” (308). Manusia memasuki keadaan kecemasan di mana kemungkinan hidup yang tidak terbatas menjadi jelas, maka pilihan-pilihan kita secara faktual dipandu dengan membuat kemungkinan-kemungkinan ini. Pada gilirannya, pilihan yang kita buat menentukan kita, memberi makna pada hidup kita, dan pada akhirnya mendorong kita pada “keotentikan”.

Meskipun Jean-Paul Sartre mengikuti garis filosofis yang cenderung indentik dengan Heidegger, dia memiliki persepsi yang sedikit berbeda terkait arti kematian. Baik Sartre maupun Heidegger, keduanya menegaskan bahwa pilihan-pilihan yang kita buat menentukan (apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, dan bagaimana) kita. Karya Sartre menggemakan karya Heidegger ketika dia mengklaim “manusia tidak lain adalah apa yang dia bangun dari dirinya sendiri” (28). Maka dari itu, karya-karyanya mewakili pandangan tegas bahwa eksistensi-mendahului-esensi. Tindakan dan keputusan kolektif kita menggambarkan siapa kita sebagai manusia, dan dengan demikian kita pada akhirnya sepenuhnya bertanggung jawab atas bagaimana kita berperilaku di dunia ini. Mengakui kebebasan-untuk-memilih—dan menghadapi konsekuensi dari tanggung jawab kita sendiri—merupakan sebuah seni untuk menjalani kehidupan yang otentik. Akan tetapi, Sartre berpendapat bahwa pandangan Heidegger memberikan terlalu banyak kekuatan untuk “mati” dalam membentuk arah hidup seseorang.

Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Berbeda dari premis Heidegger bahwa kematian memungkinkan makna, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru mengambil makna ini. Mirip dengan Sartre, Simone de Beauvoir memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tidak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tidak adil” (106). Setelah kematian, Sartre percaya bahwa makna hidup seseorang hanyalah berasal dari apa yang orang lain coba pikirkan—oleh karena kita tidak memiliki kendali untuk memengaruhi makna tersebut. Maka dari itu, kita tidak boleh sekadar menunggu kematian terjadi “bukan karena kematian tidak membatasi kebebasanku, tetapi karena kebebasan tidak pernah menemui batasan ini” (Sartre, 700). Sartre merasa kematian bukanlah peristiwa yang mesti ditakuti dan direnungi—karena kematian dianggap tidak terlalu berarti selama seseorang masihlah hidup. Dengan demikian, setelah analisis lebih lanjut dari teks-teks Sartre ini—dikotomi antara Heidegger dan Sartre menjadi semakin jelas.

Pada akhirnya, peneliti akan berargumen bahwa Sartre mengabaikan pentingnya kematian dalam mewujudkan makna hidup. Sartre menggambarkan kematian sebagai peristiwa yang sepenuhnya independen—yang tidak memiliki dampak eksistensial tentang bagaimana seseorang harus menjalani kehidupan. Secara kontras, Heidegger mengklaim bahwa kita ada-menuju-kematian sebagai ‘kemungkinan yang paling mungkin bagi manusia’. Kita mengada sebagai agen yang mampu mengenali dan berjuang menciptakan makna dengan mengindentifikasi kesementaraan kita yang tidak terbantahkan. Oleh karena itu, Dasein dihadapkan dengan kematian sebagai kemungkinan eksistensi, dan ia “berdiri di hadapan dirinya sendiri dalam potensi keberadaan yang paling dirinya sendiri” (Heidegger, 232). Dengan mengenali potensi kematian, kita “mengekspos” makna dari kemungkinan-kemungkinan alternatif karena makna-makna ada dalam batasan-batasan kita.

Serupa dengan Heidegger, peneliti menegaskan bahwa kematian kitalah yang mampu memungkinkan makna seperti itu. Kemungkinan kematian, yang bertahan tanpa batas sepanjang hidup kita—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan yang kita buat. Sartre gagal membahas pentingnya kematian karena dia memandangnya sebagai fenomena yang tidak pasti, sementara Heidegger menyibak alasan mendasar mengapa kebebasan kita penting bagi kita. Makna penting yang Heidegger tempatkan pada kematian adalah valid, sebab waktu kita di Bumi terbatas dan pilihan yang kita buat sepenuhnya merupakan tanggung jawab kita sendiri. Melalui kesadaran akan kematian, Heidegger mengklaim bahwa ada-menuju-kematian mendasari temporalitas Dasein. Sehingga, temporalitas ini sangatlah fundamental bagi makna yang kita berikan pada hidup. Kita dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tidak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di Bumi tidak terbatas. Manusia yang fana tidak mampu melakukannya. Dengan demikian, dengan mengakui kesementaraan kita—di mana seseorang dapat memahami kesementaraan keberadaan mereka—keputusan-keputusan kita mengandung semacam “beban-beban” tertentu.

Setelah mengalami semacam konfrontasi personal dengan kematian, peneliti sangat memahami betapa rapuhnya “eksistensi”. Gagasan Heidegger tentang ada-menuju-kematian menguraikan kehidupan yang peneliti jalani setelah perjalanan terakhir ke “kosmos”. Meskipun pada awalnya penekanan Sartre terhadap tanggung jawab pribadi dan kebebasan dianggap berhasil, namun hal tersebut hanyalah keterbatasan kematian itu sendiri—yang mendasari kondisi yang diperlukan untuk makna. Waktu terbatas yang kita miliki di planet ini “mendikte” pilihan-pilihan yang dibuat, dan kehidupan macam apa yang akan kita pilih untuk diwujudkan. Karena kematian adalah “kemungkinan terbesar” yang telah final, menjadi jelas bahwa cara paling tepat untuk menjalani hidup adalah dengan membuat keputusan berdasarkan keinginan pribadi, bukan berdasarkan keinginan orang lain di sekitar. Masa muda kita mencontohkan keinginan yang sangat kompleks untuk penerimaan—kita segera menyadari kepuasan diri kita sendiri dengan hidup yang dimanifestasikan dari dalam ‘Diri’, dan bukan melalui penerimaan ‘Yang Lain’.

Dengan bertatap muka langsung dengan kematian, kita memahami keterbatasan eksistensi dan fakta bahwa semua kemungkinan hidup tidak akan pernah sepenuhnya terwujud. Ada sesuatu yang luar biasa di luar eksistensi kita. Potensi kematian memungkinkan seseorang untuk memahami keberadaan dalam totalitasnya dan dengan demikian memfokuskan keberadaannya sebagai miliknya (individu)—alih-alih jenis keberadaan yang tidak otentik, yang bukan berasal dari diri kita (yang lain). Meskipun kematian kakek kita adalah keluhan yang sangat pribadi, yang sangat berpotensi mengubah hidup kita—hal tersebut merupakan kematian “manusia lain”. Kendati mengalami kematiannya adalah suatu pengalaman yang menyakitkan dan menyiksa, itu masihlah ‘objektif’ dalam artian bahwa kita masih menghindari konfrontasi dengan kematian kita sendiri.

Heidegger mengklaim ketika kematian dihadapi sebagai individu—kita mengakui kemungkinan yang dimiliki Dasein. Jika dunia eksternal, yang memperoleh makna berdasarkan ‘Yang Lain’ tertutupi—seseorang mungkin gagal menghayati pengalaman ke dalam ‘Yang Lain’. Dengan demikian, menghadapi kematian memungkinkan eksistensi manusia untuk fokus sepenuhnya pada dirinya sebagai Diri-nya sendiri. Karya Martin Heidegger telah menjadi analogi untuk konfrontasi pribadi peneliti dengan temporalitas kehidupan yang “rapuh” ini. Karyanya telah berfungsi sebagai kebangkitan eksistensial—meningkatkan lonjakan keinginan akan makna di dunia yang pada dasarnya “hampa”.

*****

Referensi:

Beauvoir, Simone de. 1965. A Very Easy Death. Trans. Patrick O’Brian. Pantheon 102 Books: New York.

Heidegger, Martin. 1996. Being and Time. Trans. Joan Stambaugh. State University of New York Press: Albany.

Sartre, Jean-Paul. 1956. Being and Nothingness. Trans. Hazel E. Barnes. Washington Square Press: New York.

Sigrist, Michael J. Death and the meaning of life. Philosophical Papers 44.1 (2015): 83-102.

Sumber Literatur:

Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death – The University of British Columbia, Shakiba Fadaie: https://blogs.ubc.ca/shakiba/2021/09/19/heidegger-and-sartres-dichotomous-conceptions-of-death/