Showing posts with label cerpen. Show all posts
Showing posts with label cerpen. Show all posts

Wednesday, 18 January 2023

Cerpen: Maria Juana

Red Lips (2014) by Abbas Al Mosawi
Mungkin, Wildo benar, dalam menciptakan manusia, halila agak melebih-lebihkan kemampuan manusia. Aku secara sadar dan sengaja tak menggunakan awalan huruf kapital untuk merujuk sosok mahasegala tersebut. Mengapa? Satu yang jelas, novelis bermuka culun tapi tajam kata-katanya itu membuatku semakin yakin: halila bisa saja membebani manusia di luar kesanggupannya menahan beban problematika konstan.

Begini, tujuh hari lalu, kawan dekatku, Maria Juana nama lengkapnya, yang kutahu tak pernah lelah untuk beribadah dan berkali-kali mengingatkanku untuk tetap tegar bersabar memutuskan mati bunuh diri. Bagian paling menyebalkanya bukan di situ, tetapi ketika kubaca surat kabar lokal, dengan gaya jurnalistik sampah bercampur kesoktahuan yang keblablasan, menarasikan dengan yakin bahwa Maria bunuh diri karena kurang iman. Alih-alih demikian, kewarasanku lebih curiga bila tindakan bunuh diri kawanku itu diakibatkan oleh ketakmampuannya untuk tetap hidup semasih setiap hari diteror debt-collector berwajah seram yang menggedor pintu rumah ringkihnya dengan tak ramah. Mata kepalaku saksinya.

Seingatku, Maria adalah sosok paling religius yang kukenal. Halila tak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya, katanya suatu waktu padaku dengan mata berbinar setelah aku bercerita gigannya masalah-masalah hidupku. Kini, aku membenci kalimat yang bagai azimat baginya itu. Bagiku semua kalimat biasa saja, tak ada yang sakral, semuanya profan. Mantra yang kupercaya riil adanya, bagiku, hanyalah lagu BTMH yang ditulis seluruhnya kapital, yang sering kuputar untuk meredakan sakit kepala hebat setelah mendengar khotbah naif tetanggaku di atas mimbar ketika ibadah di hari jumat. Damha, namanya. Seorang pemuka a&gama sekaligus wartawan yang mewartakan berita bunuh diri Maria karena kurangnya iman.

Aku sebenarnya heran, mengapa mayoritas orang selalu saja punya opini jelek dan pola pikir yang sama dungunya dengan gaya lari lurus babi hutan ketika dikejar anjing pemburu yang bisa lari zig-zag. Maria o Maria Juana, sudah hidup menderita, mati pun masih tertimpa stigma dari masyarakat bahlul yang fetish a&gama. Stigma dan A&gama mungkin tak bisa dipisahkan, seperti bebunyiannya yang serupa bila dilisankan. Seperti kadar korelasi dalam kalimat: miskin finansial cenderung miskin intelektual. Yang bertopang pada fakta pucat di lapangan: pendidikan mahal, hanyalah milik orang kaya. Lagipula, orang melarat tak butuh logika bagi otaknya, lebih butuh logistik bagi perutnya. Hierarki ke-butuh-an Maslaw, singkatnya. Kalau pun mereka mencoba memaksa untuk berpikir saat lapar hasilnya mungkin yang Tin Miliki sebut sebagai logiki-mistiki. Ya, mungkin karena itu, persoalan makan belum kelar.

***

Hari ini, cuaca cukup mendukungku untuk molor. Tapi, untuk mengenang Maria, aku pergi ke kamarku, membuka jendelanya lebar-lebar, dan membakar mariyuana. Daun ilegal itu, dulu sekali, aku dapatkan dari Bapak Maria sebagai bonus karena telah setia menjadi “kuda”. Ada satu garis banyaknya, sekitar seratus gram kira-kira, tetapi aku hanya melinting dua batang saja. Sisa tanaman hijau itu aku simpan di kamarku, di rak paling rahasia. Sebelum dibakar, aku olesi papirnya dengan madu terlebih dahulu karena, kata Bapak Maria, supaya lama habisnya.

Di birunya langit, kumelihat burung-burung terbang bebas dan seperti sedang menyanyikan lagu The Great Dig in the Sky dari Ink Floid dengan teknik head voice yang biasanya digunakan untuk menjangkau nada tinggi.

***

Aku berjalan menuju teras rumahku. Secara samar, aku melihat Romy, seorang pemuisi hmmmbeling itu. Sedang membaca koran sembari tertawa terbahak-bahak. Di koran itu terpampang warta bunuh diri Maria dan warta kematiannya. Dia berbalik badan dan menyadari keberadaanku. Agaknya orang Aisenodni paling gampang sekali melibatkan halila untuk hal-hal yang mestinya bisa diselesaikan oleh Pak TR, katanya padaku dengan bahasa tubuh cukup lucu. Kata-kata Romy dan kematian Maria seperti kolase yang menciptakan satu gambaran utuh masyarakat Aisenodni. Kupikir, ada tiga alasan bagus dan logis buat ini: pertama, dari zaman bahela, bahkan jauh sebelum adanya VCO, yang-berindera gemar mencari yang tak-terindera, atau bahasa ribetnya, yang-eksistensial selalu bertendensi menggali yang-transendental; kedua, dalam kesusahan dan keputusasaan, manusia, biasanya butuh pegangan dan harapan; ketiga, ‘halila’ adalah kata lain bagi pegangan dan harapan.

Bayangkan saja, misalnya, seluruh hidupmu ripuh seperti Maria. Yang meskipun, kini dia sudah tumbuh dewasa dan memiliki tubuh serupa bentuk lekuk jam pasir, mata besar yang adiwarna, alis tebal yang natural, hidung yang mancung, hingga kulit sebening batu obsidian—tetapi merupakan yatim-piatu sejak usia belia. Bapak Maria adalah seorang bandar mariyuana yang divonis mati. Ibunya bunuh diri segera setelah tahu berita suaminya divonis mati. Jangan tanya pandangan Maria soal negara. Dia tumbuh menjadi sosok pembenci negara dan pendamba tatanan yang dipegang syariat a&gama. Maria, sekolah hanya sampai SMP. Jangan tanya mengapa tak melanjutkan pendidikannya, neneknya yang berumur setengah abad, yang membiayai pendidikannya, meninggal terpleset di kamar mandi tak lama setelah Maria mendapat ijazah SMP. Wajib belajar dua belas tahun hanyalah angan-angan baginya. Mengeyam bangku kuliah, apalagi, mungkin hanyalah utopia belaka. Di kondisi serbasulit dan kompleks suramnya macam ini, beribadah kepada halila dan mengharap kehidupan lebih baik mungkin adalah jalan satu-satunya. Tapi usaha dan doa mengkhinati Maria. Dan, sialnya, sampai sekarang aku tak menemukan hikmah di balik kesusahan-kesusahannya atau kematiannya.

***

Ternyata aku ketiduran dan bermimpi pulas. Bisa-bisanya aku memimpikan Romy. Aku lantas pergi ke kamar mandi. Mencuci muka dan buang air besar. Aku melamun. Setelah kepergian Maria, dalam dua puluh empat jam hampir selalu ada sekitar dua jam waktu bagiku untuk melamun. Dalam lamunanku yang jarang mendatangkan momen puitik itu, aku sering teringat Baudelairo, bujangga Cispran yang surealis, yang seperti ingin berkata bahwa manusia harus mabuk—entah oleh anggur merah, puisi, lukisan, musik, atau apapun agar tak dibebani oleh kesadaran akan waktu yang terkutuk. Ya, kesadaran akan waktu itu mengerikan kata Ciorun, seorang pengarang yang mengarang dengan pedang. Kesadaran itu tak dimiliki jerapah, anemon laut, paus beluga, ikan tenggiri, burung elang, jamur di atas tinja sapi, dan makhluk hidup lain selain manusia. Kesadaran akan waktu yang terus menerus berjalan maju dan kesadaran akan masa di mana dirinya akan mampus atau kesadaran akan beban masa lalu.

Mungkin inilah mengapa ada banyak orang memilih mabuk a&gama. Karena murah, mudah, ‘wah keren’ di mata masyarakat, dan yang lebih bombastis, berpotensi mendapat doorprize syurga lengkap dengan sungai syurga yang terbuat dari susu, hamr, dan madu. Konon, terlihat beriman secara personal akan membuatmu “aman” di lingkungan sosial. Mungkin Marks-Engols benar, a&gama itu candu. Meski pada akhirnya, BNA (Badan Narkotika Aisenodni) lebih memilih menggolongkan mariyuana yang paling banter membikin penggunanya tertawa tanpa alasan jelas sebagai narkotika golongan satu ketimbang a&gama yang jelas-jelas menjadi efek kupu-kupu bagi Perang Bilas sebanyak sembilan kali, Pertempuran Alabrak, Konflik Gnapmas, Perang Israquel-Anitselap, Persekusi Yarohing, dan seterusnya.

Seseorang yang bukan Maria tapi punya otak encer mungkin tahu jika menjadi manusia itu pusing bukan kepalang, rawan diserang sakit pinggang, dan hampir pasti diliputi tragedi yang kadang-kadang tak disertai komedi. Perihal halila, selain mahabercanda, seseorang juga mungkin berpikir halila itu mahaafk. Sering hilang entah ke mana. Di kamp konsentrasi Sengu-Hausenmaut, sewaktu perang-dunya kedua, ia menghilang ketika seorang tahanan Iduhay menulis keputusasaannya di dinding selnya: jika halila ada, ia harus memohon pengampunanku. Atau ketika anak-anak dari Aupap sampai Akirfa mati kelaparan meski hatinya dipenuhi percaya kepada halila. Atau ketika bayi-bayi tak berdosa dibuang beberapa saat setelah dilahirkan dan mati hipotermia di dalam kardus jelek yang menyedihkan. Atau ketika sepasang manula di Tengah Timur yang hanya ingin menikmati detik-detik terakhir dalam hidupnya terbang ke alam baka setelah dihantam rudal balistik dengan hulu ledak benci dari ASU yang nyasar ke beranda rumahnya.

Kalau boleh jujur, saat ini, aku ingin pergi ke puncak gunung setinggi delapan ribu delapan ratus empat puluh sembilan meter di atas permukaan laut dan berteriak: what a cruel world we live in! Tak ada adil di bumi bangsat ini! Satu-satunya ‘adil’ yang kutahu, merupakan kawanku yang seorang tukang gali kubur, yang tak berprofesi sebagai notaris, pengacara, hakim, atau jaksa. Bagi yang punya privilese, hidup ini pasti adil. Tapi bagi seseorang yang didewasakan keadaan, tumbuh dengan darah dan air mata seperti Maria, jangankan adil, dia bahkan tak akan paham makna di balik teks: kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, dan mati masuk syurga. Yang terakhir pun tak akan didapatkan Maria. Tak ada syurga, atau shorga, atau svar-g yang sudi membukakan pintunya yang harum kasturi kepada manusia yang bunuh diri.

Aku jengah dengan semua penderitaan yang diderita oleh Maria, dan oleh Maria-Maria lain yang mungkin tak akan pernah kutemui seumur hidupku. Selain itu, aku juga ingin meludahi muka Murikimi, penulis asal Pangje yang begitu terobsesi dengan payudara itu, yang mentekskan bahwa rasa sakit tak bisa dihindari dan penderitaan adalah pilihan. Bagaimana bisa penderitaan adalah pilihan? Siapa orang sinting yang dengan kadar ketololannya yang tinggi akan berkata: ah, sepertinya aku akan memilih penderitaan ketimbang kebahagiaan? Penderitaan bukan soal mindset atau pilihan. Pertama, mindset adalah senjata pamungkas seorang motivator picik, ketika kultum hiperbolisnya gagal dipraktikkan oleh audiens-audiens naifnya. Tak jauh beda dengan Damha dan khotbah-khotbah optimisnya. Kedua, penderitaan itu tak terelakkan dan lebih merupakan kompromi yang mesti dihadapi bukan pilihan yang bisa dipilih atau bisa tak dipilih sama sekali. Dari seorang broker-saham di Mall Street sampai pengangguran yang tekun rebahan di setiap tikungan dan tanjakan dekat rumahku; setiap orang suffering dengan caranya masing-masing! Hanya berbeda dosis dan jenis penderitaannya.

Aku tahu, aku paham, ada semacam kemungkinan bahwa halila itu mahasadis dan manusia itu mahamasokis. Seperti relasi BDSM (Betapa Duet Sadis-Masokis). Ya, kira-kira seperti itu. Dan lima detik lagi, besar kemungkinan, lamunanku ini akan mengorek arsip ingatanku yang penting-tak-penting tentang Trilemma Epiceking yang terkenal itu: katakanlah, kejahatan, apakah halila mau tapi tak mampu melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti ia tak mahakuasa. Apakah halila mampu tapi tak mau melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti ia tak mahapengasih. Jika halila mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan sampai sekarang? Dan, jika halila tak mampu dan tak mau melenyapkan kejahatan, mengapa kita masih menyebutnya halila?

Tiga hari lalu, seorang kawanku, dosen feelsafat, Fernando namanya, pernah berkata sesuatu yang tabu dengan bahasa tubuh yang ragu, kalau pun halila benar-benar ada, ia adalah sosok yang, mahapenyiksa, dan kita, manusia, mahasukadisiksa. Seingatku, Fernando adalah seorang Neechean, sebuah sebutan bagi pengikut Neecha, seorang sadboi-nerd jeniusnya yang jadi filsuf karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Aku dan Fernando seringkali berdebat, misalnya, ketika aku mendebatnya ketika dia mengatakan Neecha adalah pembunuh halila. Aku tak setuju, menurutku, pembunuh halila adalah Epiceking bukan Neecha. Yang pasti, yang jelas, keduanya adalah seorang ‘ikonoklas’. Obrolanku dengannya, pada gilirannya, mengarah pada gagasannya tentang halila: Jika halila ada dan tak ada manifesto pembunuhannya oleh Neecha, sosoknya tak akan pernah dihargai. Dari zaman Dama, Qubil membunuh Bilha. Nah, Kir’i anaknya, durhaka. K-fear’oun Ramsos II dan pasukan k-fearnya yang mati tenggelam di Laut Biru karena tak percaya wahyu Samu. Hehrodhes dari Ramawi yang menyalib Asi. Orang-orang K-fear Kudasi penyembah patung Attal, Azzu, Tanam, dan Labuh. Dan seterusnya. Adalah bukti, dalam setiap zaman, selalu saja ada orang-orang yang mengingkari halila. Dan tanpa Neecha, katanya, tak akan ada seseorang yang benar-benar menghargai keberadaan halila.

Pada suatu pagi yang absurd, satu jam setelah aku tahu kabar kematian Maria, tiba-tiba Fernando bertanya padaku: Mana yang lebih penting, halila ataukah gagasan tentang halila? Aku tak membalas pesannya itu. Satu yang jelas, kembali pada Maria, yang banyak orang tak pahami dari fenomena bunuh diri adalah fakta tak terbantahkan bahwa ketika itu terjadi seseorang lebih mungkin bunuh diri karena ingin merasa hidup ketimbang ingin mati. Tak ada yang ingin mati dan masuk nahraka, Terterus, Hellheum, nahraka Rimbiud, atau nahraka dalam setiap bait Kanto di Inferne-nya Danto. Aku tak mau dipusingkan dengan pertanyaan lebih penting mana antara eksistensi ataukah gagasan tentang eksistensi itu.

Aku sebenarnya muak dengan semua omong kosong ini, dan berharap, meski secara pribadi aku benci berharap, semoga secepatnya—tak dalam lima miliar tahun lagi, semoga secepatnya—sekitar seratus lima puluh juta kilometer jauhnya dari planet pucat ini, matahari yang tak lelah terbit di Rumit itu, bintang panas yang permukaannya lima ribu tujuh ratus tujuh puluh delapan kelvin itu, yang membakar sayap-sayap Suraci itu, meledak dalam satu supernovo kemudian jadi lubang putih baru. Sesekali aku membayangkan bayangan indah Suuhukgy tentang nasib terbaik adalah tak dilahirkan yang dinukilnya dari filsuf Yunini, Sophoklos. Aku pun, terkadang, berpikir untuk mati muda. Atau mati di umur dua puluh tujuh seperti Kobein. Dan jika karnasi-rein benar adanya, aku mungkin, hanya ingin menjadi kerikil di pinggir jalan saja. Jenis keberadaan yang, bahasa kerennya otro on soy. Yang tak perlu dipusingkan oleh tetek bengek di luar dirinya. Terdengar cukup Sartro, memang. Omong-omong, random sekali lamunanku kali ini. Aku melihat jam tangan, waktu menujukkan pukul delapan malam. Sepertinya aku harus segera keluar dari kamar mandi sialan ini. Dan tidur, mungkin adalah tindakan terbaik yang bisa kulakukan saat ini.

***

Waktu masih saja berjalan. Terkadang sangat cepat, terkadang begitu lambat. Hari ini cuaca mendung. Langit seperti sedang murung. Aku menabur bebunga di atas pusara Maria. Sependek pengetahuanku, ini adalah bunga pertama yang didapatkannya sebagai seorang perempuan. Ya, di hari kesembilannya mati sebagai manusia. Di balik pohon-pohon tua dan purba, aku melihat Adil sedang bekerja. Menggali kuburan kecil yang kuduga akan diisi seorang bayi mungil. Adil dan rombongan pelayat pun hilang dari pandanganku.

Aku membuka ransel. Mengambil satu linting mariyuana dan membakarnya. Di kejauhan, aku melihat Damha beserta lima orang berjaket kulit yang berbadan besar sekaligus kekar. Mereka berlari menuju ke arahku. Aku hanya diam saja, tak ada intensi untuk melarikan diri. Kira-kira, sepuluh sepatu lars mendarat tepat di wajahku. Dengan penglihatan yang berkunang-kunang, aku melihat darah mengalir dari hidungku. Kedua tanganku pun diborgol. Kemudian semuanya hitam.

***

Aku terbangun di ruangan asing, dipenuhi pagar besi yang berkarat. Firasatku mengatakan empat hal: pertama, aku diciduk BNA; kedua, Damha tetanggaku adalah seorang cepu dan sudah sejak lama mengawasi gerak-gerikku; ketiga, kemampusan yang hina tengah menungguku; keempat, ini bukan mimpi seperti hari yang lalu.

***

Hari ini, mungkin, adalah hari terakhirku menghirup oksigen. Aku divonis mati karena diduga menjadi bandar mariyuana. Seorang berseragam bertanya apa makanan terakhir yang ingin kusantap. Sate babi, aku jawab. Selang dua jam, makanan itu datang. Aku menyantapnya dengan lahap. Seorang berseragam yang sama membuka pintu sel. Tatapannya masih sama, dingin, dan tak mengatakan apa-apa seperti seorang bisu. Dia menuntunku menuju sebuah lapangan luas yang terlihat seperti lapangan tembak. Lalu menutup seluruh wajahku dengan kain yang bau kiamat bagiku.

Di kondisi yang serba gelap dan pengap itu, aku kembali teringat Maria. Mungkin halila hanyalah bentuk plotanik yang terselip di tubuh bahasa, di antara keheranan dan kebingunganku dan Maria. Mungkin pula sebuah jampi gaib dan ajaib bagi Maria agar tetap semangat meski hidupnya kadung redup. Tapi kata ‘sabar’, dalam kamus kepalanya, mungkin memanglah penanda bahwa sabar memang ada batasnya. Mungkin benar, ketika seseorang kehilangan harapan, pada saat yang sama, ia akan kehilangan ketakutan. Seperti ketakutan kepada nahraka atau halila. Orang-orang mungkin bisa menakut-nakutinya, tetapi tak akan bisa menakuti keberanian Maria. Tak ada yang bisa menakuti keberanian terakhir yang dimiliki Maria.

Maria, tunggu aku, aku akan menyusulmu… hahaha. 

Friday, 12 August 2022

Sunday, 22 May 2022

Cerpen: Relapse

 

Relapse (2022) by Nuraisah Maulida Adnani

Maret, 2020

“Selalu ada alasan di balik kegilaan. Namun cinta tak pernah memiliki alasan, tapi kau tak cinta. Kau terlalu banyak menyaksikan akhir yang bahagia. Kau bahkan tak tahu bahwa puncak dari cinta adalah kegilaan—dan kau, tak pernah mengakui bahwa beberapa kisah cinta harus berakhir dengan teriakan keputusasaan, lubang di dahi, lebam dan ungu di leher; sampai merah yang mengalir deras dari urat nadi—hanya agar semua kegilaan itu berlalu!” Lalu sosok itu pergi, menembus gelap malam bersama tanda tanya—tergeletak—bernyawa.

***

Aku mulai sadar dan mulai terjaga. Ternyata itu semua hanyalah mimpi. Akan tetapi, siapa perempuan cantik dengan pemikiran brilian, tapi memiliki tatapan sedingin kulkas pada pukul satu dini hari—dengan wajah datar nan pucat tanpa ekspresi di mimpiku itu?


Juni, 2020

Hari-hariku berubah, aku tak henti memikirkan perempuan itu. Andai saja perempuan itu ada di dunia nyata, tentu akan kutemui tanpa ragu. Sungguh aneh malam itu, kamarku berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Ketika hujan turun, suhunya benar-benar menyayat kulit tropisku.

***

Juli, 2020

Aku duduk di kursi kamarku. Sekarang tepat pukul sebelas malam. Dan aku masih belum mengantuk. Aku mesti mengerjakan beberapa halaman buku yang sedang kutulis. Hujan kembali turun. Dan bisa ditebak, suhu di kamarku menjadi lebih dingin. Jendela mendecit tertiup angin; aku tak menghiraukannya, sebelum kemudian angin menjadi lebih besar dan meniup beberapa kertas di ruangan.

Aku bergegas menutup jendela. Sialan. Sepertinya adikku tadi bermain di kamarku dan lupa menutup kembali jendela. Beberapa menit kemudian, ponselku berdering; itu telepon masuk dari ibuku. Aku bingung, mengapa ia meneleponku? Padahal ia ada di kamarnya. Aku tetap mengangkat telepon itu. Belum sempat aku bertanya mengapa ia menelepon, ibuku langsung memotong dan berkata: “Cepat sembuh ya, obatnya jangan lupa diminum. Oh ya, ibu masih di rumah nenek sama adikmu.”—dan tiba-tiba ponselku mati karena baterainya habis.

Seketika itu juga aku terkejut. Melamun beberapa saat dan mulai cemas tak karuan. Aku bertanya-tanya, perihal siapa orang yang berada di dapur pada pukul sembilan malam ketika aku baru saja tiba di rumah? Aku penasaran. Aku akan mengecek ruangan tengah dan dapur. Nyatanya semua terlihat baik-baik saja. Kamar ibu pun terkunci. Aku baru ingat bahwa keluargaku memang pergi ke rumah nenek pagi tadi. Ah sudahlah, mungkin tadi hanya ilusi yang hadir karena aku kelelahan.

Aku kembali masuk ke kamarku. Suasana yang awalnya berisik karena suara gemercik hujan, kini sudah menjadi sunyi tak bertepi, berbarengan dengan redanya hujan. Namun justru aku semakin merasa cemas. Sebab tak ada suara lain kecuali suara ketikan jariku pada papan tombol. Mendadak laptopku mati, padahal tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku benar-benar kesal. Aku belum sempat menyimpan file tulisanku. Beberapa kali kucoba nyalakan lagi. Hasilnya tetap tak menyala. Naik pitam, aku menutup laptopku dengan amarah.

***

Aku memutuskan untuk berbaring di ranjang. Dan sekarang aku mulai mengantuk. Aku melepaskan kacamataku. Penglihatanku mulai agak samar. Namun semuanya kemudian berubah menjadi situasi yang tak aku inginkan … Terserempak ada sesosok perempuan tepat di pojok kamarku. Ia menatap ke arah jendela. Aku tak bisa menggerakan badanku. Sial. Perempuan itu terlihat seperti Sandhya. Ia memakai jaket berwarna kuning. Lengkap dengan gincu merah yang selalu setia mewarnai bibirnya.

Kebun binatang keluar dari mulutku. Aku tak bisa menemukan kacamataku. Aku masih tak bisa melihat semua dengan jelas, tetapi aku yakin bahwa itu adalah Sandhya. Aku semakin terkejut ketika ia menoleh kepadaku. Tiba-tiba saja penglihatanku menjadi jelas, aku melihat dengan jelas bahwa itu memang benar-benar Sandhya. Ia menatapku tanpa ekspresi. Tatapannya begitu kosong, seperti langit yang gelap tanpa jawaban apakah akan hujan. Aku masih kebingungan, apakah ini hanya ilusi ataukah memang kenyataan?

Ia masih menatapku. Tiba-tiba, darah demi darah mengalir dari lubang hidungnya. Ia terlihat sangat ketakutan. Lalu menangis histeris. Dan berteriak-teriak. Ia terus berteriak, meminta tolong dan menangis sangat kencang.

Tapi seketika ia terjatuh, tergelepak begitu saja. Dengan cepat aku menutup mataku untuk beberapa saat. Ketika aku kembali membuka mataku, ia sudah tak ada di pojok kamarku. Jendela kembali berdecit dan udara dingin kembali masuk. Aku tak peduli jendela itu, aku tak peduli udara dingin itu, aku ingin segera tertidur.

Aku mengira semua kejadian buruk itu sudah berakhir. Aku menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah. Badanku sudah bisa digerakan. Aku mengambil selimut dan berbaring ke arah kiri. Setelah semua kejadian tadi, aku justru tertawa. Ternyata sehebat itu hasil kerja otakku. Namun ketika aku membalikkan badan ke arah kanan untuk mengambil ponselku, Sandhya kembali berdiri di pojok itu.

Seketika aku terperanjat dan membalikan badan kembali ke kiri. Ternyata, Sandhya dengan posisi jongkok ada di hadapanku, di dekat jendela, dengan ekspresi marah dan mulai meneriakkan namaku. Sontak aku berteriak, sekencang-kencangnya. Hingga pada akhirnya, semuanya menjadi gelap buta.

***

September, 2020

Aku terbangun dengan keadaan lemas, terbaring di sebuah ranjang, di sebuah ruangan yang tampak asing. Semuanya serba putih. Hidungku mencium bau obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang cukup menyengat. Aku terkejut bukan main ketika menyadari bahwa tangan dan kakiku diikat. “Di mana aku, apakah ini rumah sakit?”

Aku menggertak. Beberapa orang datang menghampiriku. Aku ketakutan, dan berkeringat, “Tenang, coba tenang. Tenangkan dirimu,” jawab sebuah suara yang entah siapa. Aku makin panik. Aku semakin berteriak-teriak tak jelas. Aku tak mampu mengontrol diriku sendiri.

“Iya ini rumah sakit … rumah sakit jiwa,” tambahnya. Aku mencoba mendebatnya, “Tapi aku tak gila!” Namun suara itu malah tertawa dingin. Belum habis rasa panikku, ia malah kembali menimpali, “semua orang di sini juga bilang begitu.” Aku tak tahu harus berkata apa, tetapi aku tertawa dengan keras—sangat keras.

Sosok misterius itu kembali berbicara, “Sekarang kau ada di sini. Sebuah tempat rehabilitasi di mana orang-orang di dalamnya bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Bebas hidup di dalam dunia mereka sendiri. Menjadi apapun yang mereka inginkan, bukan menjadi apa yang orang lain harapkan.”

Aku ingin menanggapinya. Namun sosok itu malah kembali berbicara, “Apakah kau tahu mengapa kau masuk rumah sakit jiwa ini? Karena kau memang benar-benar gila. Kau membunuh istrimu sendiri. Menembak dahinya dengan pistol berkaliber 9mm sebanyak dua kali. Dan bagian paling sintingnya adalah ketika kau berdalih bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkanmu—dari kegilaanmu sendiri,” pungkas sosok misterius itu.

Aku tak dapat berkata-kata. Aku hanya tertawa lepas. Memenuhi ruang-ruang yang sunyi dengan gelak-tawa; tawa yang sama seperti tawa orang dengan gangguan jiwa.

“Apakah semua ini mimpi? Jika ini memang mimpi, bolehkan aku memilih mimpiku sendiri? Aku selalu bermimpi untuk hidup bersama Sandhya, istriku. Di dalam kepalaku, bersama buku-buku. Dan jika dapat memimpikan itu, maka aku akan memilih untuk tetap hidup dalam mimpi dan tak ingin terbangun untuk selamanya. Meski aku tahu, aku lebih menderita di dalam mimpi ketimbang realita.”

Aku melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan dengan polosnya. Namun yang tersisa hanyalah hening yang tak bersuara.

***

Aku memandang sekeliling, tapi sekarang yang kulihat hanyalah baju-baju yang tergantung di dinding. Di sebuah kamar yang kacau tak beraturan. Seperti kapal pecah. Buku dan kertas-kertas tak berguna berserakan. Gelas-gelas bekas kopi pun memenuhi sudut kamar. Puntung rokok memenuhi asbak yang sudah kelebihan muatan.

Ini kamarku, saat hari sudah cerah. Ternyata semua omong kosong tadi hanyalah mimpi. Lantas aku mengepak ransel, meminum dua butir antipsikotik dan antimania: olanzapine dan litium karbonat. Aku harus bersegera menziarahi makam Sandhya … di dalam kepalaku—dengan bantuan psikiater di poli jiwa.

Friday, 24 September 2021

Cerpen: 1312

Clara masih menatap masker N95 seperti tengah memandangi fragmen-fragmen waktu yang mengingatkannya pada masa lalu. Meski pandemi sudah jauh berlalu. Dan orang-orang tak lagi mengenakan masker, juga mengoles hand sanitizer. Atau membawa surat vaksin ke mana pun mereka pergi. Di layar kaca, tak ada lagi berita tentang virus yang dinamai berdasarkan urutan alfabet Yunani: dari alpha sampai omega. Sedang di luar, tak terdengar lagi suara ambulans yang meraung-raung menembus batas antara kehidupan dan kematian. 

"Mesin-mesin bangsat itu tak akan berhenti hingga tak ada lagi yang bisa dikendalikan," ujar seorang pria di sebelah Clara yang saya tak ketahui namanya. Dengan geram, matanya mengitari ruangan seakan-akan ingin mencari sesuatu yang bisa ia hancurkan. Tapi tak ada apa pun di bungker itu selain ransum tentara yang sudah berdebu, galon air dengan air yang tak seberapa, televisi butut selebar 24 inci, dan kartu nama bertuliskan "Henry S. Kons".

***

“Clara, pandemi memang babi. Tapi apa yang terjadi setelah pandemi ternyata jauh lebih babi,” gumam Henry padaku, “Plokis-plokis sialan itu, sesekali harus sejenak kita lupakan, walaupun takkan pernah bisa aku maafkan.”

Aku mengangguk sebagai tanda menyetujui semua bahasanya.
 
“Lebih baik kita mencari makanan dan air. Persediaan kita kian menipis, bagaimana? Sepertinya di luar sudah aman dan sedikit terkendali,” ajak Henry. “Lagipula tak baik terlalu larut dalam kontemplasi.” tambahnya. 

***

Aku dan Clara bersiap-siap untuk keluar bungker. Untuk pertama kalinya. Setelah 27 bulan lamanya kami berada di sana. Namun sesudah pandemi dinyatakan usai, dan lebih dari 7,5 miliar manusia hampir sudah dipastikan divaksin semuanya—kondisi dunia begitu berbeda. Berubah 180 derajat dari yang kami tahu. Kematian kedua orang tuaku, mungkin menjadi penyebab mengapa aku mengatakan bahwa dunia akhir-akhir ini—lebih terlihat seperti seorang penjahat perang di mata pejuang hak asasi manusia. Ya, ayah dan ibuku mati di tangan mesin. Karena mereka berdua menolak divaksin.

Sebetulnya banyak orang menolak vaksin, tetapi negaraku, Aisenodnia, memproduksi robot-robot canggih bernama Plokis Vaksin—maka bisa dipastikan banyak orang yang terpaksa ikut vaksinasi. Sebab nyawa adalah taruhannya. Sebab kecerdasan buatan yang bajingan itu akan memburu siapapun yang belum disuntik vaksin. Tapi aku dan Clara adalah pengecualian. Kami adalah pemberontak. Menolak untuk tunduk pada sistem yang bergerak menuju tatanan dunia baru. Atau mungkin tepatnya pengecut, karena kami lebih memilih bersembunyi di bungker selama lebih dari 821 hari lamanya.

Orang-orang di luar sana mungkin akan lebih mempercayai hipotesa bahwa kami memiliki phobia terhadap jarum suntik—ketimbang menelusuri ketakutan kami terhadap microchip yang bisa saja ditanamkan pada setiap tengkuk leher orang-orang yang sudah divaksin. Kekasihku, Clara, bahkan pernah berucap bahwa pandemi secara tak sengaja—membentuk kami berdua seperti tokoh Meursault dalam buku L’Étranger karangan Albert Camus yang melegenda. 

***

Kedua orang itu lantas keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan mengenakan jaket berwarna hitam. Serba hitam. Keduanya sekilas seperti malaikat maut yang terus menerus dihantui ketakutan perihal kapan ajal akan menjemput.

***

Andai Henry tahu: masker N95 itu adalah satu-satunya mesin waktu yang kupunya. Betapa berarti masker itu di hatiku. Karena aku mendapatkannya dari ibuku. Dan kini aku merindukannya. Sialnya, aku tak tahu di mana ibuku berada. Sama sepertinya, aku juga sudah tak punya kedua orang tua. Ayahku sudah meninggal jauh sebelum adanya pandemi. Tapi ibuku, aku sebenarnya tak berani berkata bahwa aku sudah tak punya kedua orang tua—hanya karena aku tak tahu apakah ibuku sudah mati atau hanya berada di tempat yang tak aku ketahui. 

***

“Masker ini aku dapat dari ibuku untuk hadiah ulang tahunku ke-17,” kata Clara dengan mata sayu, “Sekarang aku berusia 19 tahun dan tak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.” timpalnya kembali. 

Aku tak kuasa untuk membalas celotehnya. Aku hanya memeluknya. Tanpa kata-kata. Setelahnya kami terus menapaki trotoar kota Rogob, sembari melihat kanan dan kiri. Tak ada tanda-tanda kehidupan dan Plokis Vaksin, kurasa. Benar-benar kosong melompong. Kemudian mata kami terpaku pada videotron yang menunjukan tahun 2048 dengan font Times New Roman yang sepertinya sengaja dibuat bold. Dan ya, sejujurnya aku tak pandai berbohong. Aku akan mengaku bahwa arsitektur kota Rogob menjadi lebih rapi dan sedap dipandang. Meski cuacanya sedikit bertambah dingin pada akhir september seperti sekarang. 

Embusan udara seperti perlahan-lahan menusuk sunyinya kota ini. Atau mungkin kami terkena hipotermia ringan, mengingat kini kami sudah berada di dalam supermarket yang terbengkalai. Bersama penyejuk ruangan dengan suhu kisaran 8 sampai 19 derajat celsius—yang tentu bagi manusia bungker dengan kulit tropis seperti kami, adalah sebuah ketidaknyamanan. Yang lalu-lalang mencari bahan makanan yang mungkin dapat kami temukan. 

Clara terlihat sudah selesai memasukan beberapa makanan kaleng bergambar Caduceus dan air mineral kemasan botol ke dalam totebag ramah lingkungan yang kami bawa.

“Sepertinya sudah cukup. Aku kedinginan. Apakah dirimu tak merasa kedinginan? Mari kembali ke dalam bungker sayang,” bisik Clara padaku dengan menggigil. 

***

Clara dan pria yang masih tak saya ketahui namanya itu terlihat menuju arah pulang. Berjalan dengan cepat seperti dikejar-kejar Baba Yaga dalam folklor Slavia. Sembari sedikit berlari, Clara terus saja meniup tangannya agar tetap hangat seolah-olah uapnya mampu menyingkirkan dinginnya kota Rogob—yang disinari hologram 3 dimensi berwarna merah berbentuk banteng seperti logo salah satu minuman energi. Dan mereka pun sampai di bungker. 

***

Akhirnya aku sampai di sini. Henry langsung mengunci rapat bungker. Memberiku jaket berbulu. Dan kami berpelukan. Erat sekali. Seperti setiap pelukan untuk terakhir kalinya. 

“Apa kau masih kedinginan?” tanya Henry. Tidak, jawabku tegas. 

Elite Global” rutuknya, “Akan kuceritakan sedikit tentang mereka,” tambahnya dengan wajah yang kini menjadi serius. 

“Mereka adalah otak di balik semua pandemi yang lebih cocok disebut plandemi ini. Mereka mengeruk keuntungan dari orang-orang yang sakit. Tapi membungkusnya dengan kesehatan. Begitu menyedihkan, bukan? Apa yang mereka lakukan hanyalah menjual ketakutan... Dan obat... Dan kengerian. Dan omong kosong tentang masa depan!” tambahnya lagi dengan wajah semakin serius. 

“2 tahun sebelum pandemi, aku menyelesaikan kuliahku di Universitas Aisenodnia. Kau tahu, aku mengambil program studi Ilmu Konspirasi. Aku membuat skripsi berjudul 'Peran Plokis Terhadap Kapitalisme Modern, Matinya Demokrasi, dan Maraknya Kejahatan Kemanusiaan'. Agak terdengar dungu, memang. Tapi beberapa kebenaran memang selalu terdengar dungu dan jelek—bagi mereka yang tak mau imajinasi indah yang selama ini mereka bangun itu hancur seketika. Aku paham betul ke mana arah dunia ini akan bergerak. Kebenaran ala massifikasi. Hiperealitas. Konsumerisme... Hustle Culture... Alienasi... Dehumanisasi... Digitalisasi... Dan kedigdayaan AI (kecerdasan buatan). Kau pun tahu bahwa aku tak pernah bosan untuk membaca buku. Dari Orwell, Chomsky, sampai Baudrillard. Semuanya kulahap habis. Jadi kau tak perlu takut, ya? Kau aman bersamaku." pungkas Henry kepadaku. 

***

Ah ternyata membahas Elite Global membuat perutku keroncongan. Lantas aku mengajak Clara untuk makan bersama. Tapi dia menolaknya. Ia lebih memilih memandang masker N95-nya lagi. Dan aku pun makan. Sendirian. Dengan lahap.

***

Pria bodoh itu ternyata tak lebih pintar dari seekor keledai yang sedang mabuk. Dengan sadar ia memakan makanan kaleng yang sudah kami tanami microchip. Penyamaran saya sebagai televisi butut selebar 24 inci, berhasil! Mereka tidak menyadari kehadiran saya. Sebenarnya saya adalah robot canggih yang bisa merubah tubuh saya menjadi barang-barang elektronik. Ketika mereka keluar bungker, saya tentu akan betransformasi menjadi drone demi bisa mengintai mereka berdua. 

Hidup New World Order! Hidup Plokis Vaksin. Kini kami dapat mengendalikannya. Saya pasti diberi kenaikan pangkat. Dan saya pasti dinobatkan sebagai Intel terbaik tahun ini.

***

Ah sepertinya ia sangat kelelahan. Setelah makan ia bahkan ketiduran. Sekarang aku yang lapar. Makanan kaleng bergambar Caduceus itu nampaknya enak, sampai-sampai Henry tertidur pulas. 

Tiba-tiba Henry berkata "Komputer tolol! Plokis Asu 01000100 01100001 01110011 01100001 01110010 00100000 01101011 01101111 01101101 01110100 01101111 01101100 Jangan kau makan itu CLARAAAAaaaaa! #@-£!;&#;*?;("

"Aaaaaaaaaaaaaaaa! Caduceus jancokkkkk! 1312!" aku berteriak dengan keras. Sangat keras. Setelah tak sengaja memakan makanan kaleng sialan itu. 

***

01001000 01000001 01001000 01000001 01001000 01000001 (suara Plokis Vaksin yang tertawa terbahak-bahak dalam bahasa biner pengkodean karakter UTF-8). 

Thursday, 9 September 2021

Cerpen: Aldrich dan Mimpinya Menjadi Wordsmith

Aldrich (2021) by Didie SW
Pemuda miskin itu bercita-cita menjadi penempa kata-kata: penulis. Tepatnya Wordsmith. Cita-cita yang cukup ganjil di sebuah hamlet (desa yang lebih kecil dari village), yang hampir genap menjadi surga para tukang besi.

Ferroshire adalah hamlet yang memiliki 2 ritus peribadatan: setiap pagi warganya yang hanya berjumlah 69 jiwa menyembah patung paron setinggi 13 kaki—yang berlapiskan emas—setiap malam, mengitari sebuah bangun ruang; kubus besar berwarna putih yang di dalamnya ada sebongkah meteorit (benda langit yang terdiri dari kombinasi mineral nikel dan besi) sembari menenggak Wine Putih (sejenis minuman dari anggur yang dapat memabukkan) hingga tak sadarkan diri sampai pagi.

Ferroshire, cukup jauh dari town (kota yang lebih kecil dari city). Begitu pun dengan Aldrich yang cukup jauh dari cita-citanya. Ia hidup bersama kedua orang tuanya yang naif, religius sekaligus bodoh. Sehari-hari Aldrich membaca buku-buku bekas, sesekali mengarang puisi, seduakali prosa, kadang-kadang cerpen dan berbagai karya sastra lainnya di perpustakaan Loreshire yang berjarak sekitar 4 mil jauhnya.

***

Aku memiliki nama lengkap yang terdengar sangat arkais: Aldrich Wildburn. Aku suka membaca. Tapi keluargaku tak pernah membaca bahwa aku suka membaca. Ayahku adalah seorang Shaman (dukun) yang taat dan puritan bernama James Archaicson. Sejatinya, ia adalah satu-satunya dukun di Ferroshire. Meskipun ia selalu mengatakan, berkali-kali, dirinya adalah Cleric (pemuka agama) bukan seorang Shaman.

Sedangkan ibuku, yang bernama Dorothy Swan adalah seorang petani anggur yang tak memiliki Winery (kebun anggur). Ibuku hanya diberi kewenangan untuk mengelola kebun anggur milik bersama, warga Ferroshire. Karena ia dikenal handal dalam memfermentasi anggur dengan varietas Seyval Blanc menjadi Wine Putih untuk keperluan acara peribadatan.

Kedua orang tuaku tak pernah mengamini keinginan anak semata wayangnya ini, karena mereka merasa menjadi Wordsmith adalah hal paling pandir yang dilakukan oleh seorang pemuda dari Ferroshire. Ditambah, ayahku terus memaksa anaknya yang kikuk ini—menjadi tukang besi yang mengultuskan logam mulia dan meteorit dengan Lingua Sacra (mantra-mantra; bahasa liturgis) secara turun temurun.

***

Saya paham. Sungguh saya begitu paham. Saya rasa, saya sudah sangat lama hidup di hamlet suci ini. Di dunia ini. Pengalaman hidup saya sudah banyak. Bahkan terlalu banyak jika saya ceritakan. Saya tahu apa yang terbaik bagi anak saya. Saya hanya ingin melihatnya tumbuh seperti anak-anak biasa lainnya. Menjadi seorang Smith (pandai besi).

Seperti yang sudah ditakdirkan. Dalam kitab suci. Semenjak hamlet ini didirikan Dewi Vulva Yang Mahakubus dengan komposisi logam, meteorit dan anggur. Semua itu terepresentasikan dalam ibadah suci kami. Menjadi Cleric tentu adalah tugas suci. Seperti semua anak lelaki di Ferroshire yang bercita-cita untuk menjadi Smith. Dan menjadi pembuat anggur yang piawai, serupa istriku, yang selalu dimimpikan setiap anak perempuan. Saya yakin. Sangat yakin.

Saya tahu, Aldrich anakku, pasti merasa terasing bahkan diasingkan—oleh teman-teman sebayanya. Semuanya sudah belajar untuk menjadi Smith yang tekun dan pandai. Saya sebenarnya malu. Malu untuk mengakui. Menerima kenyataan. Jika anakku satu-satunya malah menjadi seorang kutu buku yang berpenampilan absurd. Dan berkelakuan kikuk.

***

Pasalnya, tindak-tanduk Aldrich memanglah avant-garde (tidak lazim alias sering menabrak batas-batas norma dan budaya yang ada).

Sebagai contoh, di hamlet tersebut, para pria memiliki rambut klimis—tetapi Aldrich memiliki rambut absurd yang lebih mirip dengan rambut seekor keledai di film Shrek—bernama Donkey ketimbang rambut manusia di Ferroshire. Bahkan ada semacam lelucon yang terkenal di desa Ferroshire: “Andai kata kau adalah seorang pendatang yang memiliki otak secemerlang Isaac Newton saat tertimpa buah apel—maka kau tetap tak akan pernah mengetahui alasan mengapa hamlet ini dinamai Ferroshire bila kau memilih untuk duduk dan berbincang bersama seorang keledai yang memperkenalkan diri sebagai Aldrich selama lebih dari 3 menit.”

Seiring dengan berjalannya waktu. Aldrich muak dengan semuanya: keadaan, keluarga, desa dan kepercayaan yang dianut di sana. Mimpinya untuk menjadi Wordsmith pun tak dapat ia tahan-tahan lagi. Saat Aldrich Wildburn mulai beranjak dewasa, ia memutuskan untuk pergi ke town: Illuminatown. Adalah kota kecil yang berisi para filsuf yang terkenal bijak—juga para bangsawan yang sangat menghargai filosofi, seni dan sastra.

“Barangkali dengan pergi ke town lain di sebelah barat sana, aku bisa mewujudkan mimpiku bahkan mengubah nasib kita,” ucap Aldrich Wildburn dengan lirih kepada kedua orang tuanya.

Mendengar hal itu, James malah naik pitam, karena ternyata ia dan Dorothy sudah menghabiskan seluruh tabungannya untuk mendaftarkan Aldrich ke Sekolah Pandai Besi terbaik di Ferroshire. Pendek kata, Aldrich terlibat pertengkaran dengan kedua orang tuanya. Ia bahkan ditonjok ayahnya sampai 2 buah gigi serinya—tanggal bersama darah yang mengalir dari gusinya.

Aldrich juga mendapat makian yang menyayat hati: Anak biadab! Lihatlah, betapa gagalnya kau menjadi anak. Durhaka... Kau adalah anak yang gagal dan hanya akan menjadi manusia yang gagal! Aib keluarga! Beban keluarga.

***

Aku diusir dari rumah tepat di sepertiga malam. Aku berjalan dengan sempoyongan. Lalu sampai di ujung hamlet laknat ini: tempat di mana semua penghuninya yang dungu mengitari kubus putih searah jarum jam—dalam keadaan mabuk dan setengah trace (kesurupan). Ketika ibadah tutup mata (menutup mata selama 300 detik sembari melafalkan mantra-mantra yang dikarang Shaman) dimulai, aku dengan cepat mengencingi kubus itu kemudian berlari.

Pada pagi buta, sebelum aku benar-benar pergi meninggalkan semua kebodohan ini, sebelum orang-orang menyembah patung paron emas setinggi 13 kaki—aku melumurinya dengan tinjaku sendiri. Dengan dendam yang membara, aku berencana merantau ke Illuminatown yang akan kutempuh dengan berjalan kaki selama 27 hari.

***

Pada siang hari, para tetua hamlet mengumpulkan seluruh warganya. Bertanya. Siapa bajingan yang tega mengencingi dan melumuri tempat paling suci di Ferroshire—dengan air seni dan tinja. Semua diam. Namun salah satu tetua hamlet menyadari satu hal, ada satu orang yang tak datang: Aldrich.

***

“Anak jahanam! Berengsek!” teriak saya tanpa sadar. Sontak seluruh mata tertuju pada saya. Saya dipanggil oleh para tetua hamlet. Setelah saya berunding dengan mereka. Selepas meredakan berang yang kepalang mengudara di dalam kepala. Saya dan para tetua, sepakat membuat sayembara.

Ya sayembara. Bagi siapa saja. Siapa saja yang bisa membawa batang hidung si tolol Aldrich ke hadapan saya dan para tetua hamlet,  akan dihadiahi 1001 keping emas 24 karat dan sebuah tiket untuk mengakses 72 rumah bordil yang ada di Ferroshire seumur hidupnya. Hadiah yang sangat menggiurkan. Tentu hadiah itu akan diberikan oleh tetua hamlet. Saya tidak punya harta dan kuasa sebanyak itu. Tapi saya, saya berjanji, kepada siapapun yang memenangkan sayembara. Saya akan memberikannya sebuah ilmu gaib yang dipercaya dapat melunakkan besi dengan tangan. Seperti mukjizat David.

***

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Jam berganti hari. Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan. Bulan berganti tahun. Tahun demi tahun. Tak ada yang memenangkan sayembara itu. Setelah kepergian Aldrich yang entah ke mana, James dan Dorothy selalu memikirkan keadaan anaknya itu. Mereka berdua jadi sakit-sakitan.

Selepas kejadian itu James pensiun lalu digantikan Shaman yang baru. Begitu juga dengan Dorothy yang terlalu tua untuk sekadar menggarap Winery. Warga hamlet tak ada yang peduli pada mereka berdua.

Tapi tidak dengan Aldrich, yang diam-diam ternyata mengirimi mereka uang dan makanan dengan nama samaran ‘Hamba Vulva’ Mereka berdua tak menyadari, selama ini anaknya masih peduli kepada kedua orang tuanya.

***

“Wahai suamiku, selama ini aku bertanya-tanya siapakah orang di balik Hamba Vulva yang setiap bulan selalu mengirimi kita uang dan makanan yang banyak,” ujarku dengan kebingungan kepada suamiku.

“Saya tidak tahu. Satu yang saya tahu, tentu itu semua bukan dari si tolol Aldrich!” seru suamiku, James.

“Lantas jika bukan anak kita, siapa lagi? Mungkin kau pun tahu, setelah kau dan aku pensiun... Tepatnya setelah kejadian itu, warga Ferroshire tak pernah peduli lagi kepada kita. Jadi rasanya tak mungkin jika uang dan makanan itu berasal dari kantong dan dapur mereka,” balasku, dengan intonasi dan nada yang masih sama.

“Terserah. Jika itu yang ingin kau percaya. Aku hanya percaya. Makanan dan uang ini adalah hasil dari pekerjaan kita yang suci. Mengabdikan jiwa dan raga pada Dewi Vulva. Sekarang kita tinggal menikmati buahnya. Sudahlah, malam sudah terlalu malam. Lebih baik kau istirahat. Sudah ya? Aku lapar,” tutup suamiku yang kemudian mematikan lampu, lalu pergi ke meja makan untuk makan malam, sendirian.

***

Ayah. Ibu. Andai kalian tahu, sekarang aku sudah sukses. Impianku sudah tercapai. Mereka bahkan memanggilku dengan sebutan Shakespeare yang baru. Terkadang mereka melabeliku sebagai reinkarnasi Dante, penyair idolaku. Bagian terbaiknya aku selalu bahagia, punya banyak uang dan koneksi yang luas.

Di sini, orang-orang begitu menghargai hobiku, tulisanku—diriku. Di sini, aku bertemu banyak orang hebat. Terlalu hebat untuk aku gambarkan kepada kalian. Kepala mereka seperti perpustakaan. Mata mereka begitu banyak. Karena mereka, mempunyai begitu banyak sudut pandang. Mulut mereka begitu seksi ketika mengucapkan kosakata yang tak pernah aku tahu. Town ini seperti tak pernah bosan membuatku terkagum-kagum, mungkin karena sangat kontras dengan Ferroshire, tempat di mana aku dilahirkan.

Ayah. Ibu. Aku takkan pernah lupa darimana aku berasal. Namun pertama-pertama, maafkan aku. Bagian terburuknya adalah aku takkan pulang. Sampai kapanpun. Aku sudah nyaman di sini. Tapi atas dasar cinta kepada kedua orang tua. Aku akan menyisihkan setengah dari penghasilkanku dan sedikit makanan untuk kalian berdua. Semoga itu dapat membantu.

Aku tahu, kalian bahkan tak tahu aku masih hidup atau sudah mati. Apalagi mempercayai akulah orang di balik 'Hamba Vulva'. Namun percayalah, cinta seorang anak kepada ayah dan ibu takkan pernah luntur seperti cinta ayah dan ibu kepada anaknya. Percayalah, aku cinta kepada kalian berdua, selalu.