Showing posts with label ceracau. Show all posts
Showing posts with label ceracau. Show all posts

Thursday, 16 November 2023

Dua Puluh Tujuh

L' âme du Musicien by Raymond Douillete

aku punya kawan. ia sekaligus guru musikku. sebut saja, Irama. meskipun satu tahun lebih muda dariku, ia mengajariku banyak soal permusikan duniawi; termasuk melatihku bermain piano (ya, sampai sekarang aku mainnya masih kayak orang dongo). ia canggih, telinganya tajam, bahkan ia bisa tahu ketika aku berbicara “itu berada di kunci apa”. bisa dibilang, Irama, adalah kawanku yang punya bakat musikal paling tinggi. sesekali aku melontarkan lelucon: ini orang badannya gitar gibson, & waktu lahir, tali pusarnya jangan-jangan senar nilon. 


ia hampir bisa memainkan semua alat musik populer, kecuali marawis (mungkin karena ia ateis, entahlah). soal skil bermain gitar, percayalah, ia tak berbeda jauh dengan Depapepe. atau Sungha Jung. atau Herman Li. atau Jack Thammarat. atau Joe Satriani. atau David Gilmour. atau John Petrucci. atau Isaac Albéniz. atau Polyphia. atau Brian May. atau... (silakan isi sendiri).


tapi bukan soal itu, yang ingin aku ceritakan tentangnya. bukan. tapi kejujurannya—keberaniannya untuk selalu jujur—atau mungkin keblak-blakannya. aku lupa berapa kali bertanya di umur berapa ia akan menikah, tapi aku ingat ia selalu menjawab tidak akan menikah. & ketika kutanya tentang masa tua, ia selalu mengatakan ingin mati muda, di umur dua puluh tujuh tepatnya. ini menarik, bukan menarik, sih—maksudku, mengapa mesti dua puluh tujuh? mengapa tidak empat puluh lima, setidaknya sama seperti idolanya, Freddie Mercury?


apakah ia ingin tergabung ke dalam Klub 27? mampus di umur yang sama seperti Jimi Hendrix, Jim Morrison, atau JM Basquiat? entahlah, ia tak pernah menjawab pertanyaanku yang satu itu. pada akhirnya, tidak ada yang tahu. tuhan pun mungkin sebenarnya tak tahu apa-apa—kita yang sok tahu, dengan mengatakan tuhan tahu segalanya. kalimat ini adalah lelucon yang tak pernah gagal membuat Irama ngakak ketika kulontarkan kepadanya.


yang jelas, impian kawanku untuk mati di umur dua puluh tujuh terasa selangkah lebih nyata, kukira. sebab tiga minggu lalu, ia jujur bercerita, masih dengan kepolosan yang sama, bahwa ia divonis HIV. persis seperti idolanya, vokalis Queen yang flamboyan & eksentrik itu. pada gilirannya, aku jadi teringat Law of Attraction (hukum tarik-menarik), sebuah hukum fisika yang konon juga berlaku dalam garis nasib manusia. sederhananya, sesuatu yang kita pikirkan akan menarik sesuatu tersebut ke dalam kehidupan kita. 


sependek pemahamanku yang cetek terhadap fisika kuantum, atom memiliki energi & tertarik ke arah atom dengan komposisi energi yang sama. artinya, sebagaimana atom, pikiran akan secara mekanis menarik “energi yang serupa ke dalam kenyataan”. 'P' akan menarik 'P', 'Q' akan menarik 'Q'. maka, mimpi Irama (sebagai produk pikiran) untuk mampus di umur dua puluh tujuh besar kemungkinan akan jadi kenyataan—karena setiap aksi-tindakan yang dilakukannya niscaya berangkat dari daya upaya untuk merealisasikannya. katakanlah aksi-tindakan yang berpotensi mengurangi angka harapan hidupnya seperti bergadang, mabuk-mabukan, & menyewa pelacur (demi meraih potensi terkena HIV yang secara medis memang memperpendek umur).


aku tidak tahu bagaimana persisnya ia terkena penyakit yang belum ada obatnya ini, tetapi sejauh yang kutahu kawanku ini memang terlampau sering “jajan di aplikasi hijau” & beberapa kali “main tanpa pengaman”. pada mulanya, tak diragukan lagi aku menilai tindakannya ST, Sangat Tolol. namun kemudian aku mencoba melihat segala sesuatunya melalui sudut pandangnya, sorot matanya, lalu menemukan bahwa tindakannya tidak tolol-tolol amat & boleh jadi ia memang dengan sadar melakukannya. itulah yang diinginkannya. memang HIV, salah satu solusi untuk menggapai mimpinya mati di umur dua puluh tujuh.


& aku tidak mau berkomentar lebih jauh soal baik-buruk atau benar-salah. persetan apakah Irama seorang fatalis atau bukan. lagi pula, aku bukan moralis. kurasa kita pun sesekali mesti melupakan moralitas objektif. entahlah.


yang pasti, sore itu, setelah Irama bercerita kepadaku bahwa ia divonis HIV, aku bertanya kepadanya, “bagaimana perasaanmu? apa yang kau rasakan setelah mendengar vonis dari dokter itu?”—& ia hanya menyimpul senyum, ngakak selepas-lepasnya, lalu mengatakan bahwa ia merasa bangga. pada posisi itu, seseorang yang tak begitu mengenalnya, besar kemungkinan, akan curiga saraf-saraf di dalam otak Irama telah konslet atau bahkan putus. tapi entah mengapa aku seakan memahami mengapa responsnya bisa sedemikian di luar nalarnya. mungkin karena yang muncul di kepalaku saat itu adalah kutipan Albert Camus dalam novelnya, The Fall (1956), yang berisi monolog dramatis seorang tokoh bernama Jean-Baptiste Clamence: “ketika sebuah jiwa terlalu sering & banyak menderita, ia mengembangkan selera bagi kesialan-kesialan.”


& barangkali, secara interpretatif, 'selera' yang dimaksud Camus di atas maksudnya adalah selera humor untuk menertawai kesialan-kesialan telak yang datang bertubi-tubi. sepengamatanku, rasa-rasanya memang begitu—kawan-kawanku yang paling humoris & suka bercanda adalah mereka yang paling sial, menderita, & banyak masalah hidupnya. Irama, adalah salah satu contohnya. puncak dari Five Stages of Grief, teori psikologi yang dicetuskan Elisabeth Kúbler Ross, dalam bukunya On Death and Dying (1969)—semestinya adalah Sense of Humour (especially, to laugh at our endless & gigantic misfortune).


pada akhirnya, aku masih tak tahu mengapa ia ingin mati di umur dua puluh tujuh. tapi aku, lagi-lagi ingin mencoba memahaminya. & kali ini aku tiba-tiba teringat dengan kuots Kurt Cobain, ikon Klub 27 yang mengidap Bipolar (sama sepertiku) itu: “tak ada yang mati perjaka-perawan, semuanya telah diperkosa kehidupan.”


& barangkali itulah mengapa ia ingin mati muda. ia telah terlampau lelah diperkosa sesuatu yang tak pernah bisa dilawan. ia telah muak menerima kekalahan yang karib & tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.


c, a minor, d minor ke g, ke c lagi. keminoran yang mayor lagi-lagi menghantam tanpa sangsi.


kawan... aku tidak tahu sampai kapankah kau akan tetap mengonsumsi ARV, pil untuk menunda kematianmu itu. aku bahkan tidak tahu sampai kapankah kau akan bertahan. tapi yang jelas & pasti, senang bisa mengenalmu. & misalkan kau mampus lebih dulu dariku, tenang saja, aku masih ingat dengan janjiku: memutar musik-musik klasik di atas pusaramu. aku harap suatu saat nanti kita kembali bertemu entah di mana itu, sebagai kawan, yang pernah sama-sama mati berkali & lahir kembali. semoga kau masih ingat dengan ucapanku kepadamu sore itu, bahwa ada satu hal yang tak akan pernah bisa direbut oleh kematian: keberanian kita untuk kapan saja menatap tajam matanya, tanpa secuil pun rasa takut.

Danau Lido, 16 November 2023. 

Friday, 6 October 2023

Merayakan yang Insignifikan

*alangkah baiknya, putar salah satu lagu di bawah ini ketika membacanya:


Hans Zimmer - Day One

Muse - New Born

Muse - Space Dementia

Beach House - Space Song

Angels & Airwaves - The Adventure

Dream Theater - Pale Blue Dot

Dream Theater - The Spirit Carries On


***


“di sisi lain, ketika segalanya tampak insignifikan, melanjutkan kehidupan & merayakan kesia-sian... adalah hal waras yang paling mungkin dilakukan.”


rasa-rasanya... sejak masih bocah ingusan... aku punya semacam obsesi aneh terhadap langit & benda-benda luar angkasa. aku seperti tertarik dengan bagaimana astronot & badan antariksa bekerja. lebih tepatnya, terhadap hal-hal eksistensial & ekstraterestrial: katakanlah... apa semesta, apa galaksi; kalau memang ada, di mana aku bisa menjumpai alien-alien itu; kapan kiamat secara ilmiah mungkin terjadi; siapa pencipta, siapa ciptaan; mengapa manusia berada di bumi; bagaimana makhluk bersel satu itu mengada, berevolusi sedemikian rupa & cara, selamat dari lima kali kepunahan massal, membikin mesin-mesin & mengembangkan kecerdasan buatan, hingga dalam sepuluh tahun lagi besar kemungkinan bisa mengolonisasi planet Mars. & seterusnya, & seterusnya.


entahlah, yang jelas, rasa penasaranku akan hal-hal berbau semacam itu tak pernah terpuaskan. rasanya seperti meminum air laut; semakin kureguk, semakin haus kurasa. ketika kutemukan satu jawaban bagi satu pertanyaan, maka akan lahir pertanyaan lanjutan. seakan-seakan memang tidak akan pernah kutemukan garis finis, hanya hilir-hilir checkpoint yang tak punya hulu. bagai kalimat panjang tanpa titik, & cuma berisi koma. pada gilirannya, aku mesti berdamai dengan “kondisi kemanusiaanku” yang hampir setiap waktu menghantuiku ini: aku bergerak menuju kematian yang tak terbantahkan & tak terhindarkan—& pada akhirnya mati-dikuburkan bersama tanya-tanya nirjawaban. tentu saja, adalah ngeri bagiku membayangkan mati dengan segudang pertanyaan. tapi ya seribu tapi.


sisi baiknya, “pencarian tiada henti” itulah bahan bakar utamaku untuk terus belajar (selain merawat rasa tolol dalam diri) sampai mampus; demi memuaskan dahaga bocah kecil yang bawel dalam diriku. & mungkin memang begitulah prosesnya, berisi serangkaian falsifikasi. & percobaan & kegagalan. & jatuh & bangun lagi. sadar & tersadarkan lagi. tidak pernah final. selalu bergerak menuju satu poin, & setelah sampai, lantas bergerak menuju poin lain lagi.


masalahnya, begini... semakin aku mendalami astronomi (& kosmologi), atau ilmu alam secara umum—katakanlah demikian—aku kian merasa insignifikan. aku seperti diisap lubang hitam, & seluruh “cahaya” yang kupunya habis tak tersisa. 'cahaya' yang kumaksud di sini, merupakan kombinasi dari kesadaran terestrial, harapan, & kenaifan. dengan kata lain, aku seolah-olah memasuki ruang ekstraterestrial di mana kegelapan adalah yang berkuasa—& inti dari segalanya. sependek pemahamanku pun demikian, ketika suatu benda langit kehilangan momentum sudut, maka ia akan tersedot lubang hitam—& barangkali begitulah hukum gravitasi bekerja.


tapi, biar kubuat lebih sederhana... aku jadi mikir begini: di hadapan lebih dari lima ratus semesta, dengan lebih dari tujuh ratus kuintriliun planet & triliunan tahun cahaya yang memisahkan mereka—apalah arti titik biru pucat, dengan lebih dari tujuh koma delapan miliar manusia yang hidup di dalamnya, tiga ribu tuhan yang mereka sembah & lima ribu agama yang mereka anut, dengan lebih dari tujuh ribu bahasa yang tersebar di seratus sembilan puluh tiga negara itu? di hadapan semesta yang mahaluas & terus mengembang (seperti roti yang diberi baking powder atau donat plus ragi)—apalah arti pemenang & pecundang, pendoa & pendosa, perintis & pewaris, invensi & konvensi?


kesadaran ngeri-ngeri sedap ini kudapatkan dari Sagan, astronom yang puitis, dalam buku monumentalnya: Pale Blue Dot. kalau boleh jujur, terkadang ada penyesalan tak tertahankan dari mendapat perspektif membagongkan semacam ini. tapi waktu tidak bisa kuputar—& mesin waktu, kalau pun ada, tidak bisa kugunakan bila aku masih punya massa alias tak bisa bergerak di kecepatan cahaya—atau jika konsep waktu linier adalah yang benar.


sependek pengalamanku, dalam kesadaran akan nihilitas-kosmik semacam ini, segala sesuatu terasa-tampak nihil & insignifikan—seperti ketika kita mencoba mengobservasi kehidupan kuantum tanpa lensa mikroskopik. apa yang kita lihat? ketiadaan-kekosongan. kalau pun kita mencoba mengamati kehidupan kuantum tersebut dengan bantuan mikroskop, tetap saja akan terasa-tampak insignifikan. aku berani bertaruh, jika seekor tungau punya kesadaran semacam ini, maka dalam beberapa menit ia akan dirawat di poli jiwa & rutin mengonsumsi obat-obat psikosomatik. bayangkan saja, setiap arti & makna dalam kamus kepalamu, yang telah tersusun rapi & kokoh, tiba-tiba menjadi tak berarti & tak bermakna. setiap usaha yang kau lakukan, orang-orang yang kau kenal & sayangi, perang yang kau menangkan, peluru yang kau hindari—semuanya jadi nirmakna & sia-sia. hahahahaha...


meskipun begitu, menurutku, kesadaran akan nihilitas-kosmik ini manusiawi—sebab manusia mungkin secara alamiah punya kecenderungan untuk terus mencari & mencari. biasanya, ketika “kegelapan” adalah satu-satunya yang ia temukan, maka mulailah ia mencipta fiksi-fiksi demi meredam ketakutannya. diakui atau tidak, manusia besar kemungkinan tak bisa hidup tanpa arti & makna buatannya sendiri. & oleh karenanya, di titik ini, aku curiga: jangan-jangan, manusia adalah hewan fotonvora; ”pemakan cahaya”. seekor hewan pemakan cahaya/harapan/fiksi, yang terpendam di tubuh kata & frasa, yang disepakati punya arti & makna begini atau begitu demi menjaga “rasa percaya” akan esok hari.


tapi tak apa, apa-apa. kupikir, kenihilan & keinsignifikanan itu justru mesti kita sadari, bahkan patut dirayakan. oleh karenanya, tetaplah hidup, meskipun belum pernah (& mungkin tidak akan pernah) diapresiasi, diingat, dikenang, dihargai, atau “dianggap ada”—rayakanlah kenihilanmu & keinsignifikanmu sendiri, dengan caramu sendiri. semoga kita tidak berakhir seperti bintang-bintang yang sering kita lihat di malam hari: menjadi past tense; jauh, lampau, & telah mati.


***


maaf kalau tulisan ini tidak jelas atau malah memberi dampak buruk buatmu—aku mengarangnya dalam keadaan tipsy setelah menenggak alkohol ct manado campur sprite. oh ya, & bacardi spice rum.


“jangan lupa mabuk, demi meredam setan-setan dalam kepala yang terkutuk.”

Sunday, 3 September 2023

Mengapa 'Jatuh' Berpasangan dengan 'Cinta'?

namanya Gerry. ia doppelgänger Theodore Twombly. sewaktu masih bocah, tepatnya saat pertama kali belajar bahasa, ia mengalami semacam keheranan-kebingungan yang luar biasa. mengapa 'jatuh' berpasangan dengan 'cinta'? mengapa 'love' disatukan dengan 'falling'? mengapa tidak 'rising'? mengapa bahasa Indonesia & bahasa Inggris seakan-akan menaruh ide fatalisme halus dalam perbucinan duniawi? keheranan-kebingungan ini, mengendap & bertahan pada lubuk penasarannya. barangkali dalam alam bawah sadarnya.

bocah kecil yang tolol itu, pun tumbuh, & tentu saja... beberapa kali menjalani hubungan cinta. sebagian besar cinta monyet, sebagian lain mungkin cinta sungguhan, & sisanya hanyalah pemikiran bahwa cinta mungkin memanglah monyet paling monyet. dengan kata lain, ia pernah merasakan naifnya puppy love & membagongkannya loving seorang anak anjing pantek pukimak jancok.

kabar baiknya, keheranan-kebingungannya, bisa dibilang sedikit menemukan semacam... katakanlah, titik terang, setelah setengah mampus mencoba memahami fafifuwaswewos Alan Watts dalam film Her (2013) yang disutradarai Spike Jonze. begini kira-kira ngang-ngeng-ngongnya:

“well now really when we go back into falling in love. & say, it’s crazy. falling. you see? we don’t say “rising into love”. there is in it the idea of the fall. & it goes back, as a matter of fact, to extremely fundamental things. that there is always a curious tie at some point between the fall & the creation. taking this ghastly risk is the condition of there being life. you see, for all life is an act of faith & act of gamble. the moment you take a step, you do so on an act of faith because you don’t really know that the floor’s not going to give under your feet. the moment you take a journey, what an act of faith. the moment that you enter into any kind of human undertaking in relationship, what an act of faith. see, you’ve given yourself up. but this is the most powerful thing that can be done. surrender. see. & love is an act of surrender to another person. total abandonment. i give myself to you. take me. do anything you like with me. see. so, that’s quite mad because you see, it’s letting things get out of control. all sensible people keep things in control. watch it, watch it, watch it. security? vigilance? watch it. police? watch it. guards? watch it. who’s going to watch the guards? so, actually, therefore, the course of wisdom, what is really sensible, is to let go, is to commit oneself, to give oneself up & that’s quite mad. so we come to the strange conclusion that in madness lies sanity.”

hal pertama yang ia lakukan setelah mengunyah-mencerna khotbah thought-provoking itu adalah melamun. tertegun. ia seperti dihantam double-decker bus yang menubruknya secara beruntun. ya, ia sepakat bahwa selalu ada ikatan absurd antara kejatuhan & penciptaan. tak berselang lama, pikirannya mengembara menuju ke lukisan da Vinci abad 15-an tentang arketipe burung besi yang menginspirasi Wright bersaudara, dua manusia pencipta pesawat terbang pertama yang berhasil mengudara. ia kemudian teringat, bahwa hanya ada 6 manusia saja yang mencapai titik terdalam di bumi, tetapi ada 2 kali lipat manusia yang telah menggapai bulan. ingatannya kembali bekerja, kini, ia teringat sebuah mitos Yunani kuno yang dikarang Ovid, penyair Romawi, dalam bukunya Metamorphoses: tentang Daedalus & Icarus.

ia mencoba menyambung pola, mulai berasumsi, bahwa selama berabad-abad... manusia terobsesi dengan langit & dunia aviasi serta kemampuan untuk terbang (yang tentu saja, secara logis, punya potensi kejatuhan). ia meraba kemungkinan, jangan-jangan, kejatuhan itulah yang membikin Icarus secara ajaib jadi “puisi”. jadi monumental. jadi kolosal. ia memisalkan matahari yang membakar sayap-sayap Icarus buatan Daedalus itu sebagai cinta, sedang Laut Aegea tak lebih dari air mata yang merupakan harganya. & bahwa hasrat untuk terbang (mencinta), meskipun dengan sayap alakadarnya, barangkali terdapat dalam setiap manusia.

ia sepakat, bahwa hampir setiap jenis kehidupan, adalah kombinasi dari kepercayaan & perjudian. bahwa cinta merupakan tindakan yang berafiliasi dengan kemenyerahan: love is an act of surrender to another person. bahwa yang benar-benar masuk akal adalah melepaskan, berkomitmen, menyerahkan diri pada seseorang. ia sampai pada kesimpulan yang aneh bahwa di balik kegilaan terdapat kewarasan-kemasukakalan. ia mendadak seperti kerasukan Bukowski yang sedang merokok cerutu sembari meminum bir: o anak muda, cinta adalah anjing dari neraka. meskipun demikian, sayangku, temukan apa yang kau cintai & biarkan hal itu membunuhmu. biarkan itu menguras segalanya darimu. biarkan ia menempel di punggungmu & membebanimu hingga akhirnya menjadi kehampaan. biarkan ia membunuhmu & biarkan ia melahap sisa tubuhmu. karena segala sesuatu lambat laun akan membunuhmu. namun jauh lebih baik dibunuh oleh kekasih, orang yang kau cinta.

ia mendapat laduni. bahwa cinta, seperti kesintingan yang paling bisa diterima oleh society, bahkan diglorifikasi sedemikian rupa & cara. sebentuk bunuh diri yang puitis & “heavenly”. ia memandang, kejatuhan Icarus itu lebih jauh & lebih abstrak (sebenarnya lebih tidak jelas). secara psikologis, bukan biologis. bukan secara literal, tetapi filosofis. 

tapi tiba-tiba seperti biasa ia merasa insignifikan & mulai berpikir bahwa cinta baginya ibarat api yang gagal ia domestikasi. ia pernah dibakar api cinta hidup-hidup, sampai numb, mati rasa. kematian-kiamat yang karib baginya. lantas ia teringat 5 stages of grief: denial, anger, bargaining, depression, acceptance. & mulai meramu 5 stages of love menurutnya: sacrifice, selfless, suffering, sufffering, suffering, hopeless romantic.

tapi yang ia ingin mungkin cuma lupa, hanya lupa, ia kadung percaya, cuma lupa, hanya lupa, tempat paling aman dari serangan luka. entahlah, mungkin ia terlalu banyak menonton film dengan akhir yang tidak bahagia. yang bukan berakhir dengan tawa-gembira, tetapi lubang besar di dada sebelah kiri atau di kepala bagian dahi.

ia merasa, sebuah 'hai' atau 'hello' bisa menyebabkan tiga tahun terapi. maka ia merasa lebih baik bernyanyi: hello darkness my old friend... i've come to talk with you again... because a vision softly creeping... left its seeds while i was sleeping... & the vision that was planted in my brain... still remains... within the sound of silence.

atau minimal memutar Joy Division: when routine bites hard & ambitions are low... & resentment rides high but emotions won't grow... & we're changing our ways, taking different roads... then love, love will tear us apart again... love, love will tear us apart again.

atau maksimal memutar-mutar Morrissey dengan volume tertinggi: pasolini is me... 'accattone' you'll be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me... yes i walk around somehow... but you have killed me... you have killed me... piazza cavour, what's my life for? visconti is me... magnani you'll never be... i entered nothing & nothing entered me... 'til you came with the key... & you did your best but... as i live & breathe... you have killed me... you have killed me.

tapi, kemudian ia kembali dilanda dilema. ia teringat Hawking & mulai sok-sokan positive thinking bahwa cinta besar kemungkinan bentuk lain dari harapan. sesuatu yang membikin suatu organisme kompleks macam manusia (yang sangat butuh reason) punya the will to survive. cahaya yang jadi bahan dasar setiap alasan untuk tetap “melanjutkan”.

pada akhirnya, ketika kemumetan-keruwetan menghampirinya, ia malah teringat petuah kawannya yang filsuf nyambi tukang sedot wc. begini bacotnya dengan enteng: lepaskanlah... biarkanlah.... semestaik bekerja di bawah septic tank.

cinta adalah caduk angsa, begitulah ia pernah berkata. o akuuuu bukanlah übermensch, akuuuuu juga bisa nangissss... jika kekasih hatikuuuu... pergi meninggalkan akuuuuuu...

Sunday, 30 July 2023

Dionysus Mencari Bacchus

Self-Portrait as Bacchus (1593) by Caravaggio

bukan. tulisan ini bukan ulasan tentang buku puisi Norman EP soal seksualitas, identitas, & keimanan yang keren itu. begini, aku punya kawan (yang telah kuanggap sebagai mentor kehidu-fun). sebut saja, Pengampunan. ia seorang dosen sastra di universitas sensor. meskipun kami secara geografis dipisahkan oleh Selat Sunda, hampir setiap hari kami whatsapp-an. & hampir setiap pekan, kami saling memfoto botol-botol alkohol lantas dengan lekas memberi reminder agar jangan lupa mereguk mabuk.

aku lupa sejak kapan persisnya kami bertindak macam cogil yang kabur dari RSJ seperti itu. yang jelas, ketika kami sedang dalam keadaan hangover, kami bisa menceracaui apa saja & menjadi siapa saja. sastrawan, filsuf, seniman, antropolog, agamawan, sosiolog, aktor teater, musisi, komposer, hingga terapis dengan analisis Freudian. kebebasan seperti inilah... yang terkadang membuatku berpikir bahwa sober begitu memuakkan. jangan lupa mabuk! begitulah kami saling merutuk.

itu cerita pertama. ini cerita kedua. tiga hari lalu, aku mengirim pap sebotol anggur merah (yang gold) & mengirimkan beberapa drunk text kepada Sifarryla Gautama. tak berselang lama, doski mengatakan begini: how dare u pamer mabski & membiarkan saya sober menghadapi this fuckin existence. malam kemarin, Sifarryla Gautama melakukan hal yang sama. & aku pun mengatakan hal yang sama. sejak saat itu, aku percaya hukum karma.

kawan-kawanku, yang rumahnya hanya berjarak kira-kira seratus meter dari rumahku, pun sama saja. kunamai mereka dengan nama samaran: Gio & Rama. kedua manusia pantek ini, seringkali mengajakku mabuk. kami bahkan punya prinsip, kami tidak akan pulang ke rumah masing-masing sebelum kepala kami pening & putaran gelas sloki telah habis-kering. ketika sedang hangover, kami pun bisa membincangkan apa saja secara random: misalnya... dimulai dari bagaimana cara membuat nasi goreng yang enak, apakah Beethoven yang tuli pernah pergi ke dokter THT, kapan Kapitalisme rungkad, rivalitas Persib vs Persija, bagaimana cara menjadi tukang bubur yang bisa naik haji, mengapa Muse menggelar konser di Malaysia, kapan Nabi Isa turun, seberapa akurat teori-teori fisika dalam film Interstellar, siapa yang cocok jadi menteri pendidikan, apa alasan ideologis Hitler menginvasi Polandia, hingga tato seperti apa yang paling kecil kemungkinannya untuk disesali.

di titik itulah, aku sedikit merasa lingkunganku diisi oleh para pemabuk. jelmaan dewa Dionysus & Bacchus. sedikit fafifuwasweswos, keduanya sebenarnya merujuk pada figur yang sama. mula-mula bangsa Yunani Kuno (konon, di Mycenan) menamainya Dionysus. lalu eksistensinya membentuk praktik-praktik teologis di seluruh Mediterania hingga awal Kekristenan. kelak, bangsa Romawi yang suka nyontek menyebutnya Bacchus. ini tak mengherankan, sebab hampir sembilan puluh persen mitologi Romawi ctrl + c > ctrl + v dari mitologi Yunani. & sebagaimana orang-orang Yunani memandang Dionysus, orang-orang Romawi menganggap Bacchus sebagai dewa anggur, kebebasan, kemabukan, ekstasi suci, & kebahagiaan. 

dalam satu literatur, bangsa Romawi mengasosiasikan Bacchus dengan pesta besar & ia sering divisualkan dalam keadaan tipsy sambil memegang segelas wine. Bacchus bahkan mengilhami kultus Romawi—Bacchanalia—serangkaian festival yang diringi musik-musik klasik, wine, & kesenangan-kesenangan hedonistik lainnya. kira-kira sejak tahun 200 SM budaya ini digelar & dari sinilah kata 'Bacchanalian' lahir untuk menggambarkan pesta yang secara khusus merujuk mabuk-mabukan. secara kultural, Dionysus/Bacchus menjembatani kemanusiaan & yang-ilahi melalui wine (baca: mabski). dalam pengertian paganistik seperti itu, Dionysus merepresentasikan misteri & paradoks. dengan kata lain, wine adalah minuman yang paradoksal: nikmat plus dengan khasiat obat, tetapi juga memabukkan & membikin hilang kendali. ajaib, kan?

secara kesejarahan, para sejarawan Yunani menulis banyak variasi berbeda-beda tentang kisah Dionysus. versi populernya, ia adalah putra Zeus. lucunya, beberapa kawanku merupakan penjudi handal. mereka bermain Gates of Olympus, gim slot yang tokohnya adalah Zeus. apakah ini artinya, secara interpretatif, kemabukan adalah anak perjudian? tapi aku tidak mau & tidak sudi bermain judi. bagiku, hidup sudah terlampau seperti judi yang takkan bisa manusia menangi. aku tak mau kalah lebih telak lagi. aku sudah kalah secara esensi, tak mau lagi kalah secara ekonomi. aku, bahkan, lebih percaya metode ruqyah (yang jelas-jelas tidak saintifik) mampu menyembuhkan seorang yang mengidap skizofrenia—ketimbang harus percaya bahwa berjudi membikin hidup jadi lebih baik. kalau jadi jauh lebih menarik, mungkin iya. tapi apa-apa yang nampak terlalu menarik nyatanya mengandung bahaya yang sama sekali tak asik. bukannya aku takut bahaya, aku cuma terlampau lelah hidup dalam marabahaya. ada jurang perbedaan yang cukup menganga antara takut & lelah.

sesekali aku bertanya-tanya... apa aku, Sifarryla Gautama, Pengampunan, Gio, Rama, & yang tak mungkin kusebutkan satu per satu itu lelah, ya? atau yang lebih parah, apa jangan-jangan semua yang berkepala & punya kesadaran itu lelah, ya? jika iya, apakah 'lelah' merupakan alasan terkuat seseorang untuk mengonsumsi alkohol? jika iya, misalkan ada enam juta pemabuk, dengan asumsi yang sama, maka ada enam juta manusia lelah. apapun alasannya, kupikir, para pemabuk disatukan oleh sebuah kata: eskapistik. lari dari realitas yang larinya lebih kencang dari cahaya.

barangkali hanya dengan mabuk, kita bisa menjadi apa saja & siapa saja. hanya dengan mabuk kita bisa mengurangi intensitas kesadaran yang memusingkan. hanya dengan mabuk kita bisa mengutuk. hanya dengan mabuk kita bisa mengatakan apa yang ingin dikatakan. hanya dengan mabuk kita bisa menertawakan kegagalan, keletihan, kesedihan, kemurungan, kemalangan, kebiruan, kehidupan, kematian. hanya dengan mabuk kita bisa mencintai tragedi & memahami bagaimana air mata bekerja. hanya dengan mabuk kita bisa percaya bahwa segalanya tidak lebih buruk dari yang dikira. hanya dengan mabuk aku menemukan fragmen diriku yang purba. yang tak terkalahkan. yang membara. yang tak terkatakan. hanya dengan mabuk, Dionysus pada telapak tanganku menemukan Bacchus pada pundakmu.

jangan lupa mabuk! begitulah kami merutuk.

“tuhan di kayu salib adalah kutukan atas kehidupan, sebuah rambu untuk mencari penebusan dari kehidupan; Dionysus yang dipotong berkeping-keping adalah janji kehidupan: ia akan selamanya terlahir kembali & bangkit lagi dari kehancuran.”

—Nietzsche

Friday, 21 July 2023

Mata o Mata...

Eyes (2022) by Malsart

“mata adalah jendela jiwa.” —anonymous

bagiku, mata adalah indra paling puitis & artistik yang dimiliki manusia. bahkan dengan mata kita bisa tahu mana yang puitis & mana yang tidak, mana yang artistik & mana yang tidak... mana yang cantik & mana yang tidak. tak terhitung pula berapa banyak peribahasa tentang mata dari setiap budaya & bahasa yang menyertainya. berkat mata pulalah aku bisa mengamini dalam hati salah satu istilah arkaik: cantik itu relatif tapi jelek itu mutlak.

di sisi lain, aku sedikit bersepakat dengan Eco dalam buku The History of Beauty: setiap budaya selalu membawa serta konsep Kecantikannya sendiri dengan gagasan Kejelekannya sendiri, meskipun—dalam konteks penemuan arkeologis—sulit untuk memastikan apakah hal yang digambarkan itu benar-benar dianggap jelek atau tidak.

setidaknya dari Eco kita bisa belajar bahwa standar kecantikan setiap peradaban & zaman begitu berbeda-beda. meskipun pada akhirnya, aku tetap tak bisa memahami standar kecantikan asia (khususnya, Indonesia) yang irasional, yang dimungkinkan oleh industri kosmetik pencerah wajah (baca: kapitalisme lanjut ngang ngeng ngong).

lupakan soal skincare, yang kusuka dari mata adalah karenanya aku bisa membaca (iya, tanpa indera penglihatan pun aku tetap bisa membaca, tapi aku benci huruf braille yang emboss... yang digunakan tunanetra untuk membaca), & dengan membaca aku jadi sedikit tahu bahwa mata telah menjadi subjek interpretasi yang diperdebatkan sejak zaman Nuh merusak alam demi membikin bahtera. secara kesejarahan, banyak dokter & filsuf kuno percaya pada gagasan “mata aktif”. Plato, misalnya, pada abad ke-4 SM memfafifuwasweswoskan bahwa cahaya memancar dari mata—menangkap objek dengan sinarnya. murid Aristoteles, Theophrastus, bahkan dengan gaya penyair membacotkan bahwa mata memiliki “api di dalamnya”. dengan membacot demikian, dia seakan ngajak gelut gurunya, karena Aristoteles barangkali adalah orang pertama yang menegaskan ketidakmasukakalan dalam proses melihat yang disebabkan sesuatu yang keluar dari mata—sebaliknya, Mang Aris berargumen bahwa akan lebih logis kalau mata menerima sinar ketimbang mengarahkannya ke luar.

yang jelas, kompleksitas mata yang membagongkan telah memicu perdebatan yang tiada habisnya. yang sama alotnya seperti para fisikawan ketika berdebat soal apakah cahaya (yang Einstein sebut sebagai photon) itu partikel ataukah gelombang. tapi kompleksitas itulah, yang menurutku membuat mata begitu menakjubkan. seperti sidik jari, setiap iris kita memiliki pola & lipatan yang unik—yang khusus dimiliki setiap manusia. artinya jika ada 8 miliar manusia, maka ada 8 miliar pola & lipatan iris mata. keren, kan? sedikit intermezzo, nebula helix yang
berjarak sekitar 650 juta tahun cahaya dari bumi berbentuk seperti mata.

ok, lanjut. ini mungkin akan terdengar cukup sinting, tapi kukira aku punya semacam fetish pada mata. mungkin itulah salah satu alasan mengapa aku mengagumi simbol iluminati, mata horus dalam mitologi Mesir kuno, evil eye (iya, yang warna biru itu), hingga lukisan-lukisan Malsart. saking terobsesinya aku dengan mata, aku sampai membeli cincin mata di syopi xixixi.

berangkat dari obsesi anehku terhadap mata pula aku bertanya-tanya & mencari tahu. mula-mula aku penasaran, siapa yang pertama memahami bagaimana mata bekerja? kemudian aku menemukan seseorang bernama Kepler sebagai jawabannya. seingatku, secara umum ia bahkan dianggap sebagai bapak optik modern. anjenk-nya, diperlukan waktu sekitar 541 juta tahun sejak mata biologis pertama terbentuk agar aku bisa bilang, “oh begitu ya, banh... cara kerja mata kita”.(dengan gaya seperti aku sedang ngeledekin Sifarryla Gautama :p).

lebih lanjut, sedikit ngueng-ngueng, para ilmuwan berpendapat bahwa versi paling awal dari mata terbentuk pada organisme uniselular, yang memiliki sesuatu yang disebut 'eyespot'. katanya, eyespot ini terdiri dari bercak protein fotoreseptor yang peka terhadap cahaya—yang paling banter hanya bisa menentukan gelap atau terang. kemudian beberapa hewan berevolusi... mengembangkan mata bulat yang dapat memfokuskan cahaya menjadi gambar. konon, hewan paling awal yang hidup lebih dari 600 juta tahun yang lalu dianggap sebagai makhluk tanpa mata. menyoal evolusi mata... dalam magnum opusnya, The Origin of Species, Darwin sampai menulis bahwa gagasan tentang seleksi alam yang menghasilkan mata “tampaknya, terus terang kuakui, sangat tak masuk akal”. sebentuk kekesalan juragan evolusi atas evolusi mata yang memusingkan.

sejujurnya, aku masih tak bisa membayangkan bentuk hewan yang secara morfologis tak punya mata atau bagaimana rasanya menjadi dirinya. gabut bangsat gak punya mata. di titik ini, aku jadi teringat salah satu scene dalam film I Origins (2014)—yang baru 3 hari lalu kutonton—ketika sang tokoh utama, Dr. Ian Gray, begitu berambisi merekayasa genetik cacing agar kelak mempunyai mata. barangkali Ian lupa, selalu ada harga yang mesti dibayar oleh setiap hewan (termasuk, manusia) dari setiap evolusi yang terjadi pada dirinya. kira-kira begitulah yang kucerna dari buku Evolusi karya Ernst Mayr. paus, misalnya, mungkin kangen hidup di darat, memiliki kaki empat, & terlampau bosan memakan plankton yang tak kasat mata.

oh ya, aku baru ingat—soal mata, aku memegang teguh prinsip bahwa mata mesti diganti mata (sebuah asas usang yang telah menggema dari hukum Babilonia, alkitabiah, Romawi, hingga Islam kuno) bahwa seseorang yang telah melukai orang lain harus diganjar dengan luka yang sama oleh pihak yang dirugikan, atau menurut interpretasi yang lebih halus korban harus menerima ganti rugi yang setimpal.

mengapa demikian? sebab aku takut tak ada pengadilan-afterlife. (lebih parah lagi, tak ada afterlife). aku tak sudi, aku tak rela jika ada seorang brengsek hidup nyaman karena dimaafkan. seorang brengsek mesti diadili di bumi. lupakan Gandhi, mata mesti dibayar mata—for the sake of justice, biarlah dunia buta! aku sudah terlampau muak dengan para hakim tolol yang memvonis rendah seorang bajingan tanpa melihat matanya yang nirpenyesalan.

mari kita tutup ceracau ndak jelas ini dengan kuots monumental dari Tony Montana alias Al Pacino dalam film Scarface (1983): the eyes, Chico... they never lie.

Thursday, 6 July 2023

Yang Enak dari Menjadi Anak-anak


“Paruh pertama kehidupan adalah belajar menjadi dewasa—dan paruh kedua adalah belajar menjadi anak-anak.”
—Pablo Picasso
Bagi saya, masa kanak-kanak adalah masa yang paling enak. Masa di mana saya merasa memiliki kebebasan mutlak macam Le Petite Prince-nya de Saint-Exupéry atau tokoh Sophie Amundsen-nya Gaarder—bebas untuk mengeksplorasi ini itu, belajar-bertanya hal-hal acak, dan mampu menikmati setiap inci bentangan waktu dengan seutuhnya-sepenuhnya—tanpa tanggung jawab atau kekhawatiran khas manusia dewasa yang barangkali sebesar sepeda Nabi Adam. Hiperbolis, memang. Tapi bukankah manusia dewasa selalu punya kecenderungan untuk menggunakan majas hiperbola dalam hampir setiap satuan bahasa yang keluar dari mulutnya?
Dalam hati mungil saya, ada semacam hasrat untuk kembali menjadi anak-anak yang "tabula rasa". Alasan ini mungkin akan terdengar cukup Homo Ludens à la Huizinga, tetapi Kebebasan untuk Bermain, boleh jadi memanglah kesenangan-kebahagiaan paling signifikan sebagai seorang manusia. Saya berani bertaruh telinga kiri saya dipotong pakai pisau cukur seperti van Gogh jika memang ada manusia yang dengan senang hati benar-benar mau dilahirkan untuk bekerja sepanjang usia.
Asumsi saya adalah bahwa tak ada manusia yang benar-benar ingin bekerja. Saya bahkan lebih percaya ada seekor gajah Afrika bisa masuk ke dalam kulkas satu pintu ketimbang ada seorang manusia yang lebih kepingin bekerja ketimbang bermain dengan bebas macam bocah TK.
Saya, tentu saja, masih memiliki “sedikit” Kebebasan untuk Bermain—tetapi rasanya tak lagi sama ketika saya dipaksa memahami bahwa hidup di, dalam istilah Sagan yang fisikawan, titik biru pucat ini, memerlukan kertas dengan nominal tertentu (untuk membeli keperluan tertentu)—yang dijadikan konvensi—sebagai alat tukar dalam upaya memenuhi sandang, pangan, papan—dan saya mesti mencari kertas yang bernilai karena mitos kolektif itu secara mandiri; tanpa bantuan siapa-siapa.
Saya harus menelan pil pahit bahwa untuk memenuhi kebutuhan fisiologis, kebutuhan paling rendah dalam Hierarki Kebutuhan Maslow, saya mesti "menjual" waktu dan energi saya yang berharga. Pada gilirannya, saya sampai di kesadaran bahwa mau-tidak mau atau suka-tidak suka saya mesti bekerja.
Ketidakseruan itu bertambah parah ketika saya menyadari bahwa di masa dewasa semuanya serba terasa macam Sisifus berdasi di dalam rangkaian gerbong KRL dari Stasiun Bogor menuju Padang Mahsyar (Baca: Manggarai) yang secara visual monokrom, nirkejutan, bernada minor, dan redundan.
I was happy in the haze of a drunken hour. But heaven knows I'm miserable now. I was looking for a job, and then I found a job. And heaven knows I'm miserable now. Begitulah, kira-kira, yang saya rasakan kalau dalam bahasa The Smiths. Pada titik tertentu, saya terkadang berpikir bahwa setiap manusia dewasa yang bekerja, atau yang lebih parah, manusia yang terpaksa bekerja demi menjadi tulang punggung keluarga—mesti sesekali healing ke pantai-pantai di Bali kemudian menutup laptopnya lalu "membuka meja" dan memesan bir paling dingin.
Masalah utamanya, ketika Kebutuhan untuk Bekerja datang, maka Kebebasan untuk Bermain perlahan-lahan hilang—ini konsekuensi logisnya. Anjing, memang. Meski saya tak pernah yakin bahwa ‘anjing’ merupakan kata paling tepat untuk menjelaskan bagaimana rasanya menjadi manusia dewasa. Babi!, dengan tanda seru yang secara psikologis tak seru, barangkali. Di masa dewasa, saya seperti kehilangan waktu bermain yang memungkinkan kreativitas, daya imajinatif, dan seakan tak berdaya mengeliminasi kerepetitifan yang membosankan.
Faktanya, masa kanak-kanak adalah masa yang dipenuhi kepolosan dan keajaiban. Anak-anak memiliki rasa ingin tahu yang alami tentang dunia, dan mereka melihat segala sesuatu dengan perasaan takjub. Dunia adalah tempat magis bagi mereka, penuh misteri dan petualangan yang menunggu untuk dijelajahi-dieksplorasi.
Kepolosan dan keajaiban ini memberikan rasa gembira dan optimisme yang unik. Selain itu, sejujurnya saya rindu akan rasa takut. Saya kangen masa-masa di mana saya mengalami mimpi buruk kemudian Ibu saya dengan santai memeluk serta mempuk-puk kepala saya. Kini, saya tak lagi gentar dengan mimpi-mimpi semacam itu, pada titik tertentu, bagi saya jauh hidup lebih ngeri dari mimpi buruk.
Dulu, saya mengenal kata sifat ‘horor’ dari Ibu; yang mengisahkan tentang potensi seorang anak diculik Wewe Gombel bila pulang sewaktu matahari telah terbenam. Sekarang, tak ada lagi kata ‘horor' di kamus kepala saya. Dengan gagah berani, saya mengutip pemikiran pria asing yang berkumis baplang lalu mengatakan dalam hati bahwa Tuhan telah mati ketika pulang bekerja pas dini hari dan mesti melewati pekuburan sunyi.
Tak ada lagi hal yang saya takuti. Tak setan, tak pula Tuhan. Bagi saya, hal semacam ini tak membanggakan atau menyenangkan sama sekali. Tak ada yang keren pula dari mengetahui-mengamini argumen seseorang bernama Philipp Mainländer: karena Tuhan mahatahu dan bosan tak tahan dengan keabadian kemudian Ia bunuh diri lantas terciptalah kehidupan; alias alam semesta adalah bangkai Tuhan. Gagasan nihilisme kosmik semacam ini, bahkan terlalu ngeri untuk dibayangkan pada suatu senin pagi yang cerah.
Yang enak dari menjadi anak-anak, pun adalah adanya semacam Kebebasan untuk Mengekspresikan Diri. Anak-anak cenderung tidak bisa dan tidak mau dipagari oleh norma atau harapan sosial-kultural. Mereka hampir selalu bisa mengekspresikan diri mereka dengan bebas. Baik melalui seni lukis, musik, atau tarian—anak-anak memiliki kebebasan untuk mengeksplorasi kreativitasnya dan mengekspresikan diri dengan caranya sendiri.
Lain halnya dengan manusia dewasa, yang mesti bekerja dalam kontinuitas waktu, memiliki integritas, menjaga profesionalitas, dan sufiks -tas lain yang membuatku merasa seperti Kafka yang sedang sakit kepala. Dengan kata lain, menjadi dewasa itu melelahkan, memusingkan, memualkan, memuakkan, membosankan—singkatnya, membagongkan.
Itu secara personal. Secara sosial, saya ingin mengatakan persetan pada teori Modal Kultural-nya Bourdieu, saya kira, masa kanak-kanak merupakan masa di mana seseorang merasakan persahabatan yang tulus, murni, dan apa adanya. Tanpa intrik, tanpa gimik. Anak-anak tak berkawan karena Modal Kultural. Mereka berkawan sesederhana karena ingin berkawan saja. Mereka tak pernah peduli siapa manusia yang mereka ajak bermain bola—yang gawangnya ditandai sandal jepit—pada suatu sore yang damai di sebuah lapangan bola alakadarnya. Mereka juga tak pernah peduli apakah bermain dengan boneka itu saintifik atau tidak.
Masa kanak-kanak, saya rasa, juga merupakan masa di mana seseorang dapat menikmati hal-hal sederhana dalam hidup. Anak-anak menemukan kegembiraan dalam hal-hal yang nampak kecil, seperti bermain di taman, mengendarai sepeda, atau memakan makanan kesukaannya. Kesenangan sederhana masa kanak-kanak memberikan rasa puas dan bahagia yang autentik, yang tidak dapat ditemukan manusia dewasa dalam harta benda yang bisa dibelinya.
Saya bertanya pada diri sendiri: ”Bukankah lebih seru rasanya untuk bermain petak umpet dengan kawan tongkrongan, mengadu lari untuk menentukan siapa Usain Bolt di antara saya dan kawan ngaji saya, atau bersama-sama minum es cekek lalu berpura-pura mabuk— ketimbang bermain petak umpet dengan makna hidup yang kian redup, mengadu lari dengan ketahanan stamina saya sendiri di atas treadmill, dan dicekek deadline kerjaan kemudian mabuk benaran plus sendirian di kos-kosan?”
Oh, simple thing, where have you gone?
I'm gettin' old, and I need something to rely on
So, tell me when you're gonna let me in
I'm gettin' tired, and I need somewhere to begin
Pada akhirnya, yang paling banter saya lakukan hanyalah bermain-main dengan cat akrilik, bahasa, alat musik, dan kesadaran.