Showing posts with label ceracau. Show all posts
Showing posts with label ceracau. Show all posts

Monday, 29 May 2023

Keluarga, Keluar-ga, Ke-luar-ga?

Congress (2003) by Mehretu

“Keluarga adalah rumah bagi kesintingan-kesintingan.”
—Debré, Love Me Tender (2020)

tak banyak yang bisa & mau “kukeluarkan” tentang ‘keluarga’. meskipun hampir setiap hari—ada dua makhluk berkaki dua & berbadan tegap yang telah kuanggap sebagai kawan dekatku—bertandang ke kamarku, menyesap kopi, mengembuskan asap rokok mereka ke angkasa, & dengan intonasi rendah menceritakan bagaimana rumitnya konflik keluarga mereka; konflik yang, kupikir jauh lebih kompleks dari apa yang ada dalam Fathers and Sons karangan Turgenev atau Anna Karenina-nya Tolstoy atau Letter to My Father-nya Kafka atau To the Lighthouse-nya Virginia atau The Sound and the Fury-nya Faulkner.

atau kata ‘keluarga’ di kepala seorang rumah-rusak pendengar setia lagu-lagu Blink-182 era DeLonge, misalnya Stay Together for The Kids dengan liriknya yang ikonik: their anger hurts my ears ... been running strong for seven years... rather than fix the problems... they never solve them, it makes no sense at all.

barangkali itulah mengapa ada anggapan klasik bahwa harta paling berharga adalah keluarga. secara personal, aku brutally setuju. karena memang, sepasang manusia yang bercocok tanam, melahirkan-membesarkan kita, & kelak kita panggil dengan ayah & ibu inilah yang paling menentukan roller coaster-nya hidup kita. apa yang kita makan di pagi hari, apa yang kita pikirkan sebelum tidur, apa yang kita kendarai, di mana kita mengemban pendidikan, kapan kita mengerti tentang pentingnya mengatur keuangan, siapa yang biasanya dapat kita temui, mengapa kita bekerja, bagaimana kita menyusun mimpi—tentu saja ditentukan oleh apa-apa yang “terdapat” & “inheren” dalam keluarga kita.

apakah kita akan menjadi seorang optimis ataukah pesimis ketika dewasa, ialah salah satu contoh besarnya. aku, bahkan berani bertaruh bahwa persoalan bagaimana kita melihat dunia, lebih ditentukan oleh siapa/bagaimana keluarga kita ketimbang buku-buku, lagu-lagu, & lukisan-lukisan yang kita konsumsi sepanjang usia. buku-buku sastra telah banyak menarasikan secara artistik & terkadang barbar bagaimana rasanya terlahir di keluarga yang (silakan masukkan kata-kata kasar).

menyoal karya sastra, aku masih ingat... pada suatu siang yang random, mentor persastraanku pernah mengatakan bahwa dialog dalam satu-satunya cerpenku tentang keluarga nampak tak natural, tak logis, bahkan aneh. responku hanya tertawa. faktanya, aku memang tak bisa membangun suasana atau percakapan yang logis antara seorang anak & orang tuanya. tolong jangan tanya mengapa. aku memohon, dengan sangat.

sekali lagi, aku tak mau menulis banyak. pada akhirnya, menyoal kedua kawan dekatku, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mendengarkan dengan sabar curhatan-curhatan mereka itu sambil menepuk-nepuk bahunya. & secara klandestin, menarik napas panjang setelah mereka pulang. aku pun sesekali, jika tak bisa lagi kutelan sendirian, menceritakan kondisiku pada mereka: aku memisalkan keluargaku sebagai pesawat boeing 737, & aku sebagai tumbuhan (katakanlah, pakis-pakisan) yang hanya ingin berfotosintesis dengan damai tapi mesti merasakan tertimpa burung besi berkecepatan kira-kira 539 knot itu.

keluarga
keluar-ga
ke-luar ga?

ayok. kalo gak ke luar
nanti keluar airmata.

Friday, 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...