Monday 10 October 2022

Bila Aku Benar-benar Tak Lagi Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang ...

Bogor, 10 Oktober 2022

“... but clocks keep on ticking
& life keeps on going
to leave the pair behind at last

she said to me
& i said to her
to hold back each other's true fate
is not of our nature
let's be mature

maybe you weren't made for me
nor i for you ...”

selamat pagi, Bila. sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, tetapi sepertinya cerita-ceritaku tak lagi menarik & penting bagimu (dengan kata lain, cerita-ceritaku telah berubah menjadi bahasa yang tak perlu lagi dibahasakan kepadamu). maka teks-teks setelah kalimat tadi adalah ceracauku kepada diriku sendiri yang semestinya tak lagi kau baca—terlepas dari apakah kau benar-benar membaca surat-suratku untukmu ataukah tidak sama sekali.

dimulai dari alinea ini, demi kebaikan bersama, aku mohon jangan kau teruskan lagi membaca suratku yang tak berguna ini. tapi terserah, itu pilihanmu, lagipula aku percaya pada free will & kupikir manusia memang dikutuk untuk bebas alias L'homme est Condamné à Être Libre!—oleh karenanya, silakan tanggung sendiri akibatnya bila kau terus membaca surat ini sampai selesai, ya.

mungkin ini agak skizoid, sebab kata-kata di dalamnnya adalah dari, oleh, & untuk diriku sendiri—tapi tak apa. beberapa bulan ke belakang ada satu-dua-tiga-empat hal-hal lumayan sinting yang terjadi dalam realitasku. maaf bila aku tak menuliskannya dalam kronologis yang linier & sistematis.

pertama, aku tak pernah menyangka bila pada suatu hari puisiku akan dipamerkan di sebuah pameran, khususnya di kotaku, Bogor. singkat cerita, aku datang ke pameran itu & bertemu dengan beberapa kawan-onlineku: seorang penulis, fisikawan, & fenomenolog (bisa dikatakan demikian atau anggap saja begitu). tapi bagian absurdnya adalah aku melihat beberapa orang yang tak kukenal sama sekali dengan serius membaca puisiku (yang ditempelkan di sebuah spanduk) di depan mataku & rasa-rasanya cukup ganjil (mungkin ini hanya perasaanku saja yang ganjil).

kedua, setelah sekian lama, aku kembali ngueng-ngueng lagi. aku fafifu-wasweswos via Google Meet mengenai ... Eksistensialisme di sebuah komunitas filsafat yang kuduga berpusat di Paris van Java. animonya cukup tinggi, diskusinya hidup, meskipun aku memaparkan materi “serius” dengan pembawaan yang komikal. kupikir Eksistensialisme memanglah sesuatu yang serius, dalam artian bahwa para eksistensialis (secara tak langsung) menciptakan semacam krisis tak terelakkan bagi para pembacanya—& pada gilirannya, membuat hidup manusia, secara 180 derajat, bertambah ruwet sekaligus mumet. 

kupikir, tak ada yang tak serius dari apa yang telah dikeluhkan oleh Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Dostoevsky, Sartre, de Beauvoir, Kafka, Camus, & para figur lain (yang dapat kuasosiasikan sebagai seorang eksistensialis). di beberapa konteks, aku bahkan hampir setuju bahwa mengada adalah keadaan-tak-menyenangkan yang tak terbantahkan. maka dengan sadar & sengaja aku menarasikan kenoiran-kenoiran mereka dengan gaya seorang kawan lama yang humoris. aku pikir bagian itu cukup, sebab aku takut oversharing kepada diriku sendiri & belajar dari yang sudah-sudah bahwa aku sering kali lupa waktu ketika membincangkan -isme tersebut.

ketiga, aku juga tak menyangka bahwa pada suatu ketika yang random ... esaiku akan mengada di sebuah majalah yang diterbitkan oleh komunitas filsafat (yang ini kucurigai berdomisili di Jakarta). omong-omong, komunitas ini adalah komunitas yang sama, yang pernah mengundangku untuk membacot-membicarakan Pak Kumis pada bulan Juli lalu. oh ya, esaiku tentang Sapere Aude (iya, frasa latin yang bermakna dare to know, have courage to use your own reason, dare to know things through reason, & dare to be wise itu), sedikit Horace, sedikit Aufklärung, sedikit Kant, & sedikit diriku sendiri. rasanya cukup nano-nano untuk melihat-membaca esaiku sendiri dalam format majalah.

keempat, pada suatu siang yang lesu di bulan kemarin, aku dikirimi DM oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai panitia Festival of Arts and Sports FH UI 2022. pendek kata, dia menawariku untuk berpartisipasi sebagai dewan juri dalam lomba cerpen—katanya, dia mendapat rekomendasi & kontakku dari salah seorang kawanku yang juga menjadi juri lomba tersebut. satu yang menyebalkan bagiku adalah fakta bahwa sampai detik ini aku tak tahu menahu siapa orang yang telah merekomendasikanku itu. pedahal, secara personal, aku ingin berterima-kasih kepadannya. 

yang jelas, membaca cerpen-cerpen anak hukum memberiku semacam pengalaman baru yang unik. pengalaman yang (bisa dibilang) tak kudapatkan ketika menjadi redaktur fiksi & puisi selama lebih dari 1 tahun di media tempatku freelance. sebelumnya aku juga pernah menjadi juri lomba puisi di kampusku dulu, tetapi feel-nya tak seotentik ini. kupikir, pengalaman ini pada akhirnya akan memperluas cakrawala persepsi-penilaianku mengenai karya sastra, khususnya terkait unsur ekstrinsik sebuah cerpen (& puisi).

mungkin surat ini agak tolol, cenderung nonsens, & tak memiliki kepaduan yang rasional—sebab tak seorang manusia, setan, atau tuhan pun yang tahu surat ini akan mengarah & dibawa ke mana. sebagai penutup, surat ini akan duduk di sebelah ketiadaan & berkata: mungkin surat ini memanglah suratku yang terakhir untukmu, Bil; & akan menjadi pernyataan dari pertanyaan subtil tentangmu dalam diriku ... Bil, haruskah kita kembali bertemu?

mungkin tidak. tapi aku akan tetap mengatakan banyak-banyak merci dengan sepenuh cinta & tetap melangitkan doaku untukmu (yang tak pernah berubah dari dulu) dengan sepenuh cita: semoga kau selalu berbahagia, ya.

“... qué será, será
whatever will be, will be
the future's not ours to see
qué será, será
what will be, will be ...”

Sincerely,

Mas Aldy