Friday, 6 October 2023

Merayakan yang Insignifikan

*alangkah baiknya, putar salah satu lagu di bawah ini ketika membacanya:


Hans Zimmer - Day One

Muse - New Born

Muse - Space Dementia

Beach House - Space Song

Angels & Airwaves - The Adventure

Dream Theater - Pale Blue Dot

Dream Theater - The Spirit Carries On


***


“di sisi lain, ketika segalanya tampak insignifikan, melanjutkan kehidupan & merayakan kesia-sian... adalah hal waras yang paling mungkin dilakukan.”


rasa-rasanya... sejak masih bocah ingusan... aku punya semacam obsesi aneh terhadap langit & benda-benda luar angkasa. aku seperti tertarik dengan bagaimana astronot & badan antariksa bekerja. lebih tepatnya, terhadap hal-hal eksistensial & ekstraterestrial: katakanlah... apa semesta, apa galaksi; kalau memang ada, di mana aku bisa menjumpai alien-alien itu; kapan kiamat secara ilmiah mungkin terjadi; siapa pencipta, siapa ciptaan; mengapa manusia berada di bumi; bagaimana makhluk bersel satu itu mengada, berevolusi sedemikian rupa & cara, selamat dari lima kali kepunahan massal, membikin mesin-mesin & mengembangkan kecerdasan buatan, hingga dalam sepuluh tahun lagi besar kemungkinan bisa mengolonisasi planet Mars. & seterusnya, & seterusnya.


entahlah, yang jelas, rasa penasaranku akan hal-hal berbau semacam itu tak pernah terpuaskan. rasanya seperti meminum air laut; semakin kureguk, semakin haus kurasa. ketika kutemukan satu jawaban bagi satu pertanyaan, maka akan lahir pertanyaan lanjutan. seakan-seakan memang tidak akan pernah kutemukan garis finis, hanya hilir-hilir checkpoint yang tak punya hulu. bagai kalimat panjang tanpa titik, & cuma berisi koma. pada gilirannya, aku mesti berdamai dengan “kondisi kemanusiaanku” yang hampir setiap waktu menghantuiku ini: aku bergerak menuju kematian yang tak terbantahkan & tak terhindarkan—& pada akhirnya mati-dikuburkan bersama tanya-tanya nirjawaban. tentu saja, adalah ngeri bagiku membayangkan mati dengan segudang pertanyaan. tapi ya seribu tapi.


sisi baiknya, “pencarian tiada henti” itulah bahan bakar utamaku untuk terus belajar (selain merawat rasa tolol dalam diri) sampai mampus; demi memuaskan dahaga bocah kecil yang bawel dalam diriku. & mungkin memang begitulah prosesnya, berisi serangkaian falsifikasi. & percobaan & kegagalan. & jatuh & bangun lagi. sadar & tersadarkan lagi. tidak pernah final. selalu bergerak menuju satu poin, & setelah sampai, lantas bergerak menuju poin lain lagi.


masalahnya, begini... semakin aku mendalami astronomi (& kosmologi), atau ilmu alam secara umum—katakanlah demikian—aku kian merasa insignifikan. aku seperti diisap lubang hitam, & seluruh “cahaya” yang kupunya habis tak tersisa. 'cahaya' yang kumaksud di sini, merupakan kombinasi dari kesadaran terestrial, harapan, & kenaifan. dengan kata lain, aku seolah-olah memasuki ruang ekstraterestrial di mana kegelapan adalah yang berkuasa—& inti dari segalanya. sependek pemahamanku pun demikian, ketika suatu benda langit kehilangan momentum sudut, maka ia akan tersedot lubang hitam—& barangkali begitulah hukum gravitasi bekerja.


tapi, biar kubuat lebih sederhana... aku jadi mikir begini: di hadapan lebih dari lima ratus semesta, dengan lebih dari tujuh ratus kuintriliun planet & triliunan tahun cahaya yang memisahkan mereka—apalah arti titik biru pucat, dengan lebih dari tujuh koma delapan miliar manusia yang hidup di dalamnya, tiga ribu tuhan yang mereka sembah & lima ribu agama yang mereka anut, dengan lebih dari tujuh ribu bahasa yang tersebar di seratus sembilan puluh tiga negara itu? di hadapan semesta yang mahaluas & terus mengembang (seperti roti yang diberi baking powder atau donat plus ragi)—apalah arti pemenang & pecundang, pendoa & pendosa, perintis & pewaris, invensi & konvensi?


kesadaran ngeri-ngeri sedap ini kudapatkan dari Sagan, astronom yang puitis, dalam buku monumentalnya: Pale Blue Dot. kalau boleh jujur, terkadang ada penyesalan tak tertahankan dari mendapat perspektif membagongkan semacam ini. tapi waktu tidak bisa kuputar—& mesin waktu, kalau pun ada, tidak bisa kugunakan bila aku masih punya massa alias tak bisa bergerak di kecepatan cahaya—atau jika konsep waktu linier adalah yang benar.


sependek pengalamanku, dalam kesadaran akan nihilitas-kosmik semacam ini, segala sesuatu terasa-tampak nihil & insignifikan—seperti ketika kita mencoba mengobservasi kehidupan kuantum tanpa lensa mikroskopik. apa yang kita lihat? ketiadaan-kekosongan. kalau pun kita mencoba mengamati kehidupan kuantum tersebut dengan bantuan mikroskop, tetap saja akan terasa-tampak insignifikan. aku berani bertaruh, jika seekor tungau punya kesadaran semacam ini, maka dalam beberapa menit ia akan dirawat di poli jiwa & rutin mengonsumsi obat-obat psikosomatik. bayangkan saja, setiap arti & makna dalam kamus kepalamu, yang telah tersusun rapi & kokoh, tiba-tiba menjadi tak berarti & tak bermakna. setiap usaha yang kau lakukan, orang-orang yang kau kenal & sayangi, perang yang kau menangkan, peluru yang kau hindari—semuanya jadi nirmakna & sia-sia. hahahahaha...


meskipun begitu, menurutku, kesadaran akan nihilitas-kosmik ini manusiawi—sebab manusia mungkin secara alamiah punya kecenderungan untuk terus mencari & mencari. biasanya, ketika “kegelapan” adalah satu-satunya yang ia temukan, maka mulailah ia mencipta fiksi-fiksi demi meredam ketakutannya. diakui atau tidak, manusia besar kemungkinan tak bisa hidup tanpa arti & makna buatannya sendiri. & oleh karenanya, di titik ini, aku curiga: jangan-jangan, manusia adalah hewan fotonvora; ”pemakan cahaya”. seekor hewan pemakan cahaya/harapan/fiksi, yang terpendam di tubuh kata & frasa, yang disepakati punya arti & makna begini atau begitu demi menjaga “rasa percaya” akan esok hari.


tapi tak apa, apa-apa. kupikir, kenihilan & keinsignifikanan itu justru mesti kita sadari, bahkan patut dirayakan. oleh karenanya, tetaplah hidup, meskipun belum pernah (& mungkin tidak akan pernah) diapresiasi, diingat, dikenang, dihargai, atau “dianggap ada”—rayakanlah kenihilanmu & keinsignifikanmu sendiri, dengan caramu sendiri. semoga kita tidak berakhir seperti bintang-bintang yang sering kita lihat di malam hari: menjadi past tense; jauh, lampau, & telah mati.


***


maaf kalau tulisan ini tidak jelas atau malah memberi dampak buruk buatmu—aku mengarangnya dalam keadaan tipsy setelah menenggak alkohol ct manado campur sprite. oh ya, & bacardi spice rum.


“jangan lupa mabuk, demi meredam setan-setan dalam kepala yang terkutuk.”

Tuesday, 26 September 2023

Lukisan-Lukisan yang Menurutku Anjing Keren Banget

*update 26 september 2k23 - disusun berdasarkan kronologis waktu pembuatan - disclaimer! karya-karya “anjing keren banget” yang terdapat pada artikel ini merupakan hasil dari subjektivitasku—maka jika dirasa kurang sepakat, silakan bikin versi Anda sendiri.

*****

The Birth of Venus (1484-1486) by Botticelli


The School of Athens (1509-1511) by Raphael


Ascent of the Blessed (1505-1515) by Bosch


Bacchus and Ariadne (1522–1523) by Titian


Venus and Cupid (1570) by Allori


Amor Vincit Omnia (1601-1602) by Caravaggio


The Rape of the Daughters of Leucippus (1618) by Rubens & Wildens


Vanitas Still Life (1630) by Claesz



A Young Girl Reading (1769) by Fragonard


Psyche and Amor (1798) by Gérard


Wanderer above the Sea of Fog (1818) by CD Friedrich


Le Désespéré (1843–1845) by Courbet


The Fallen Angels (1847) by Cabanel


Forest Fire (1849) by R Saleh


Dante and Virgil (1850) by Bouguereau


Ophelia (1851-1852) by Millais


The Kiss (1859) by Hayez


The Apotheosis of War (1871) by Vereshchagin


Self-Portrait with Death Playing the Fiddle (1872) by Böcklin


The Cliff Walk at Pourville (1882) by Monet


Breton Girls Dancing, Pont-Aven (1888) by Gaugin


La Toilette (1889) by de Toulouse-Lautrec


Sorrowing Old Man (1890) by van Gogh


Lilith (1892) by Collier


The Basket of Apples (1893) by Cézanne



All Things Die, But All Will Be Resurrected through God's Love (1893-1918) by L Frédéric


Kiss by the Window (1895) by Munch


The Garden of Death (1896) by Simberg



Hylas and the Nymphs (1896) by Waterhouse


The Moment of Birth (1902) by Kubin


Les Demoiselles d'Avignon (1907) by Picasso


Dance (1910) by Matisse


Blue Horse I (1911) by F Marc



Over the town (1918) by Chagall


Képarchitektúra (1922) by Kassak


Composition VIII (1923) by Kandinsky


The Tilled Field (1923-1924) by Miró


Proun 99 (1923-1925) by Lissitzky

Fish Magic (1925) by Klee


Grattacieli e tunnel (1930) by Depero



Composition of Circles and Overlapping Angles (1930) by Taeuber-Arp



Composition with Red, Blue and Yellow (1930) by Mondrian



The Persistence of Memory (1931) by Dalí


La Clairvoyance (1936) by Magritte


The Triumph of Surrealism (1937) by Ernst


The Joy of Life (1937) by Delvaux


Eyes on the table (1938) by Varo



The Two Fridas (1939) by Kahlo



Hot Still-Scape for Six Colors—7th Avenue Style, (1940) by S Davis



Sleeping nude (1941) by Serebriakova


The Fourteen Daggers (1942) by Sage



The Moon Woman Cuts the Circle (1942) by Pollock


The Artist Looks at Nature (1943) by Sheeler



Eine Kleine Nachtmusik (1943) by Tanning



Woman I (1950-1952) by Kooning



Rooms by the Sea (1951) by Hopper



Green and Maroon (1953) by Rothko


To Prince Edward Island (1965) by Colville


Marilyn Monroe (1967) by Warhol


La Musique des Sphères (1969) by Douillet



Crawling Death (1973) by Beksiński


Stepping Out (1978) by Lichtenstein


Kusamba Boat (1979) by Affandi


Bird on Money (1981) by Basquiat


Grey Fireworks (1982) by Frankenthaler


Ikan Laut Dalam (1985) by H Widayat


Meraba Diri (1988) by I Sagita


Kegiatan di Kampung (1996) by A Natalsya



Dialog Masa Depan I (1998) by H Dono



Barong (2000) by Jeihan



Javasutra (2008) by U Untoro


i have enough i have too much (2008) by F Stevy


O.T. 07.01.2009 (2009) by Sieverding


Pasar Malam (2015) by U Wahono


Freezing 01 (2017-2018) by AT Christine



membelah diri (2020) by Arscave


Shaman Web3 (2022) by Piqree