Monday, 18 September 2023

Seratus Lagu yang (Biasanya) Bisa Membuatku Menangis

Hot Still-Scape for Six Colors - 7th Avenue Style (1940) by Stuart Davis

1. Please, Please, Please, Let Me Get What I Want - The Smiths

2. Selfless - The Strokes

3. Gymnopédie No. 1 - Erik Satie

4. Hal Hal Ini Terjadi - Fstvlst

5. Breezeblocks - alt-J

6. Glorious Time - The Adams

7. Popular Monster - Falling In Reverse

8. Here Without You - 3 Doors Down

9. Diamonds And Rust - Joan Baez

10. The Partisan - Leonard Cohen

11. Losing My Religion - R.E.M.

12. Sober to Death - Car Seat Headrest

13. Some Kind of Disaster - All Time Low

14. Boys Don't Cry - The Cure

15. Experience - Ludovico Einaudi, Daniel Hope, & I Virtuosi Italiani

16. You Have Killed Me - Morrissey

17. Ho Hey - The Lumineers

18. Knockin' On Heaven's Door - Bob Dylan

19. Love Of My Life - Queen

20. You're Not Alone - Saosin

21. Have You Ever Seen The Rain? - Creedence Clearwater Revival

22. Mari Bunuh Diri - Sajama Cut

23. Aftermath - Muse

24. How to Save a Life - The Fray

25. In the End - Linkin Park

26. Nocturne No. 1 in B-flat minor, Op. 9 No. 1 - Frédéric Chopin

27. High and Dry - Radiohead

28. Bloom - The Paper Kites

29. As the World Caves in - Malt Maltese

30. Cancer - My Chemical Romance

31. Heaven - Bryan Adams

32. Break My Heart Again - FINNEAS

33. Wish You Were Here - Pink Floyd

34. Wish You Were Here - Neck Deep

35. Wish You Were Here - Incubus

36. Somewhere Only We Know - Keane

37. Myth - Beach House

38. Vivaldi Variation (Arr. for Piano from Concerto for Strings in G Minor, RV 156) - Florian Christl

39. For the Kill - Life On Venus

40. Summertime Sadness - Lana Del Rey

41. Tears in Heaven - Eric Clapton

42. We're All Leaving - Arcade Fire, Owen Pallet

43. Romantic Homicide - d4vd

44. Dream On - Aerosmith

45. Heavenly - Cigarettes After Sex

46. With Me - Sum 41

47. The Piano Sonata No. 14 in C-sharp minor, Op. 27, No. 2 - Ludwig van Beethoven

48. For All the Dreams That Wings Could Fly - Themilo

49. Fade Into You - Mazzy Star

50. welcome and goodbye - Dream, Ivory

51. Sepasang Kekasih Yang Pertama Bercinta Di Luar Angkasa - Majelis Lidah Berduri

52. Your Call - Secondhand Serenade

53. Home - Michael Bublé

54. i was all over her - salvia palth

55. Rue des trois frères - Fabrizio Paterlini

56. We'll Meet Again - Frank Sinatra

57. Hallelujah - Jeff Buckley

58. Last Night on Earth - Green Day

59. Always Forever - Cults

60. Your Guardian Angel - The Red Jumpsuit Apparatus

61. If I Had A Gun... - Noel Gallagher's High Flying Birds

62. Lonely Day - System Of A Down

63. Slipping Through My Fingers - ABBA

64. Stay Together For The Kids - blink-182

65. Older - Sasha Alex Sloan

66. Take Me to Church - Hozier

67. Mockingbird - Eminem

68. I Will Follow You into the Dark - Death Cab for Cutie

69. Washing Machine Heart - Mitski

70. The Spirit Carries On - Dream Theater

71. Little Sunny Girl - Oscar Lolang

72. Comptine d'un autre été, l'après-midi - Yann Tiersen

73. Clocks - Coldplay

74. The Invisible Parade - Tom DeLonge

75. Til Death Do Us Part - White Lion

76. All I Want - Kodaline

77. The Man Who Sold the World - Nirvana

78. Repeat Until Death - Novo Amor

79. The Adventure - Angels & Airwaves

80. Passacaglia - Handel/Halvorsen

81. Skinny Love - Bon Iver

82. Serenade in B-Flat Major, K. 361 - Wolfgang Amadeus Mozart

83. Stop Crying Your Heart Out - Oasis

84. Existentialism on Prom Night - Straylight Run

85. Que Sera Sera - Doris Day

86. Adult Diversion - Alvvays

87. nihilist blues - Bring Me The Horizon

88. The Kids Aren't Alright - The Offspring

89. Clair de Lune - Claude Debussy

90. That's Why You Go Away - Michael Learns To Rock

91. Stressed Out - Twenty One Pilots

92. House of Memories - Panic! At The Disco

93. Only One - Yellowcard

94. Love Will Tear Us Apart - Joy Division

95. The Kill - Thirty Seconds to Mars

96. Chasing Cars - Snow Patrol

97. Hurt - Johnny Cash

98. Atlantis - Seafret

99. Day One - Hans Zimmer

100. Hero - Regina Spektor 

Sunday, 17 September 2023

Mokondo-Momekdo dan Teori Modal Bourdieu

 

Jujurly, kegatalan tak bernama adalah bahan bakar utama saya dalam menulis opini jelek ini. Pada mulanya, begini, saya sedang berselancar di aplikasi X lalu saya menemukan sebuah utas berisi seseorang yang tengah dirujak berjemaah oleh orang-orang dari mazhab al-alteriyyah (baca: akun alter) karena ia katanya “tidak modal“ ketika berpacaran.
“Najis! Dasar mokondo!“—adalah komentar paling dominan yang menguasai perujakan duniawi tersebut. Di sisi lain, counter-attack pun datang, “Yeu elu juga sama aja, momekdo!“—dan karena penasaran terhadap apa yang sebenarnya mereka bicarakan, saya pun mencari tahu dua istilah yang terdengar cukup alien di telinga saya itu. Ibu jari saya bermigrasi ke aplikasi Google Chrome. Lantas dengan lekas mengunyah artikel-artikel yang bertebaran di sana.
Sependek pembacaan saya, 'Mokondo' dan 'Momekdo', merupakan singkatan dari “modal k*nt*l doang” dan “modal m*m*k doang”. Gak bahaya ta, batin saya, saat mengetahui arti dari dua akronim itu.
Kemudian wajah Pierre Bourdieu, sosiolog Prancis dan tokoh strukturalis yang gigan itu, adalah yang pertama kali mencuat di kesadaran saya. Tak berselang lama, pikiran saya yang jahil memisalkan Bourdieu masih hidup, suka jb jb, dan kebetulan menemukan utas tersebut—sehingga besar kemungkinan ia akan berkomentar begini: “Sorry to say this, but, Nder.. gak ada mokondo-momekdo, masing-masing dari diri kita adalah akumulasi dari modal-modal; economic capital, cultural capital, social capital, symbolic capital. Ketika seorang individu berinteraksi dengan individu lain, ada capital conversion di situ.“
Yang terjadi setelahnya, barangkali, akan ada seseorang yang menanggapi, “Aku mah masih pemula. Ajarin dong puh sepuh.”
Idih si paling pemula. Bacot lu Mesopotamia. Lu pilih diem apa tirai no 3?

Teori Modal Bourdieu

zoom-in-whitePerbesar
Terdapat semacam postulat umum bahwa modal/kapital mengarah pada terma ekonomi yang diukur oleh uang. Anggapan dasar ini tidak sepenuhnya salah bila mengingat manusia sebagai homo economicus (makhluk ekonomi). Namun akan “kurang tepat” kalau melupakan prototipenya sebagai homo culturalis (makhluk budaya), homo socius (makhluk sosial), dan semiovora (makhluk pemakan “tanda”).
Dengan kata lain, selain sebagai makhluk yang ngarti duit dan percuanan, plus transaksional—manusia juga aktif mencipta-terekspos budaya (mengkalcerkan/terkalcerkan), bersosial (nongkrong gitu lah, ya), dan memakan-bermain tanda (oh, penanda ini adalah petanda itu) tertentu dari suatu subjek, hal, atau benda. Oleh karenanya, jika berangkat dari argumen ini, maka menganggap modal/kapital hanya sebatas fulus merupakan kenaifan yang gegabah. Magsoed loe gimane?
Modal tidak selalu bersifat ekonomi, dan tidak melulu soal uang. Setidaknya begitulah yang berulang kali saya tangkap dari pemikiran-pemikiran Bourdieu, khususnya dalam karyanya yang berjudul Forms of Capital, Distinction, dan On the Theory of Action.
Di buku-bukunya itu, ia memfafifuwasweswoskan mengenai relasi serta konversi antara berbagai jenis modal: Modal Finansial (duit, aset materialistik seperti kendaraan pribadi dan properti), Modal Kultural (pendidikan, pengetahuan, selera, eksposur produk-produk budaya), Modal Sosial (keluarga, koneksi, jaringan), dan Modal Simbolik (penghargaan, pengakuan, prestise, publisitas).
Sebagai gambaran, seseorang yang punya Modal Kultural (pengetahuan) dapat mengonversinya menjadi Modal Simbolik (pengakuan), atau seseorang yang punya Modal Finansial (uang) dapat mengonversinya menjadi Modal Sosial (koneksi).
Menurut saya, sesampah-sampah seseorang pastilah ia tidak benar-benar punya modal yang nol besar. Dengan demikian, jika saya coba sambungkan ke dalam fenomena mokondo-momekdo—ketika dua individu menjalani suatu hubungan, katakanlah berpacaran—saya menilai, tidak mungkin keduanya “tidak bermodal”. Masing-masing dari mereka pastilah mempunyai modal-modal tertentu.
Entah dalam bentuk kecantikan-ketampanan, gelar dari universitas bergengsi, karya kreatif/intelektual, bahasa tertentu, popularitas, atau selera humor, musik, buku, sinema, dan seni yang terbilang “ok banget”—(tanpa bermaksud mendiskriminasi selera-selera tertentu dan memperlebar jurang antara low culture dan high culture).
Maka mokondo-momekdo pada titik ini, saya pikir, dapat dikatakan tidak logis bila dipandang dari kacamata Teori Modal Bourdieu. Yang membuatnya cacat, secara logika bahasa, adalah penggunaan kata “doang”—karena dalam setiap individu terdapat setidaknya 4 buah modal à la Bourdieu, sehingga mengatakan “doang” sama dengan menutup mata atas fakta-fakta sosiologis yang nyata adanya.
Tapi perlu digarisbawahi, sebagai catatan, saya tidak sedang berusaha menjustifikasi konsep kencan hanya “membawa badan” dan berharap sang pasangan akan dengan senang hati membayarkan makan di restoran all you can it, mentraktir es krim mcflurry di suatu mcd, membelikan tiket untuk menonton film teranyar di sebuah bioskop, dan seterusnya.
Tidak sama sekali. Saya secara pribadi justru menentang seseorang bermental pengemis semacam itu dan mungkin punya kecenderungan cinderella complex—dalam konteks, financial support—terlepas dari apapun gendernya. Di lain sisi, saya mafhum bahwa menjadi “donatur” ataupun “gold-digger” adalah hak setiap individu dalam “arena” cinta luring, atau daring, seperti misalnya Tinder atau Bumble.
Tapi teman saya, sebut saja si N—yang borju, julid, tengil kayak duit bapaknya halal aja, dan tentu tidak akan memahami kesuraman struktural pernah mengatakan ini kepada saya, “Ngapain sih para pengangguran sok-sokan pacaran? Mending mereka gawe, buka bisnis kek. Ngamen kek. Mulung kek.”
Sejak pertama kali mengenalnya sampai sekarang, saya masih percaya bahwa kata-katanya setajam rambut yang dibelah tujuh. Apa yang dikatakannya jelas terdengar kejam dan brutal. Seakan-akan orang miskin tidak boleh bucin. Sayangnya, fakta pahitnya, lambat laun saya menyadari memang tidak ada yang gratis di dunia ini. There's No Such Thing As a Free Lunch, kalau kata judul bukunya Friedman, ekonom Amerika Serikat yang pernah diganjar Nobel Ekonomi.
Sederhananya begini, kalau parkir bayar, ingin kencing bayar, mengisi daya ponsel bayar—apalagi pacaran? Ya, tentu, butuh modal finansial yang terbilang “cukup besar”—atau minimal ada pengaggaran. Sebab berkencan memang butuh dana, tidak bisa hanya bermodalkan pemikiran. “Lu punya duit, lu punya kuasa... dan bisa punya pacar!” kata Foucault setelah terpapar Adam Smith dan kemudian mengutip kata serta logat Bayem Sore, sang filsuf kontemporer.
Pada gilirannya, saya mengandaikan kalau saja si N bisa lebih membumi, “menyentuh rumput”, dan sekali saja mencoba memahami disparitas antar kelas borjuis dan proletar—mungkin ia bisa duduk ngopi sambil cosplay maba-aktivis-kiri yang hampir selalu bermimpi mengorganisir massa demi meruntuhkan kapitalisma—yang dalam konteks ini, merugikan para pembucin.
Meskipun saya dan N telah bersepakat, lebih mudah membayangkan dunia ini kiamat ketimbang kapitalisma rungkad—seperti bacotan Žižek, yang gemar sekali menggosok hidungnya.

Epilog

Dengan adanya fenomena mokondo-momekdo, mata saya sekali lagi terbuka dan memahami betapa pentingnya komunikasi dalam sebuah hubungan—khususnya, hubungan romansa—demi meminimalisir potensi kekecewaan-kekecewaan yang sebenarnya dapat dicegah. Misalnya, dengan membikin perjanjian-perjanjian tertentu atau sekurang-kurangnya berdiskusi untuk mencapai konvensi kencan, katakanlah, split bill (baca: patungan), dan sebagainya.
Pada akhirnya, saya akan tetap mengambil posisi duduk favorit saya sambil mengatakan sesuatu yang cukup berwarna Sartrean, “Do whatever you want. But remember this, consider that, every choice you make and every deed you take, has the complex consequence that you may forget to calculate.”

Friday, 15 September 2023

Tanpa Moralitas Objektif Semuanya Boleh: Emang Boleh Seboleh Itu?

Hampir setiap hari, saya menjumpai frasa "emang boleh" di medsos. Di status WhatsApp, di beranda Twitter (maksud saya X), di story Instagram. Tak hanya di medos, bahkan dari mulut orang-orang di sekitar. Emang boleh semenjumpai itu?
Oke, lalu apa masalahnya?
Yang jadi masalah adalah saya terkadang tidak bisa menahan diri untuk tidak berfafifuwasweswos. Misalnya, berngangngengngong bahwa pertama, moralitas secara sosiologis merupakan konstruksi sosial. Kedua, konstruksi ini, pada gilirannya, bertransformasi menjadi sesuatu bernama moralitas objektif.
Ketiga, moralitas objektif ini berfungsi sebagai kontrol sosial agar seorang individu tidak melakukan hal aneh-aneh (katakanlah, membunuh seseorang karena penasaran). Keempat, dengan kata lain, tanpa moralitas objektif semuanya “diperbolehkan” dan tidak akan ada yang melarang-larang.
Emang boleh makan sushi pakai tangan?
Emang boleh seblak topingnya selai nutella?
Emang boleh kayang di depan akuarium berisi ikan channa?
Tanpa moralitas objektif bahwa makan sushi harus pakai sumpit, topping seblak harus bakso urat, harus diam di depan akuarium ikan channa.
Tiga contoh pertanyaan emang boleh di atas punya jawaban, bwolehhhhh (pakai logat Twoman). Lagi pula, percayalah, kita tak akan dihukum harakiri di Hutan Aokigahara oleh Dewa Matahari karena melakukannya.
Prabu Siliwangi pun tak akan kembali dari moksanya hanya demi mencegah kita menggabungkan makanan Sunda dengan pasta manis berbasis hazelnut khas Italia. Atau, ikan channa itu pun tentunya tak akan mendiagnosis dan menganggap kita mengidap semacam autisme karena ia tak belajar psikologi dan tak punya semangat tholabul ilmi layaknya manusia.

Artinya apa Banh Messi? Pake nanyaaaaaaa...

Moralitas objektif ialah "kiper" terbaik di dunia. Gatekeeper peradaban. Tanpanya, semua tendangan akan berbuah gol; semua tindakan akan jadi tindakan tanpa “pertimbangan”.
Ya tidak ada yang salah dengan makan sushi pakai tangan, mengolesi selai nutella di atas seblak, dan kayang di depan akuarium ikan channa. Tapi ngapain? Dengan asumsi ini, moralitas objektif adalah yang mencegah kita tidak bertindak gegabah atau minimal meminimalisasi keanomalian yang tak perlu. Mohon jangan gegabah!
Tanpa rantai metafisik ini, menurut saya, manusia tinggallah hayawanun, bukan lagi al-insanu hayawanun nathiq (hewan yang berpikir)—kalau meminjam istilah Imam Ghazali. Konsekuensi logisnya, yang tersisa dari manusia cuma insting survival-biologisnya, kebinatangannya—otak reptilnya.
Maka, bisa kita bayangkan sebuah barangkali yang terjadi setelahnya: misalnya, kaum proletar dan budak korporat di setiap penjuru dunia akan merampok bank nasionalnya masing-masing dan memutar-mutar lagu Bella Ciao—seperti dalam serial drama asal Spanyol, La Casa De Papel (2017).

Tanpa moralitas objektif, semuanya boleh? Affakah iyyah banh?

Besar kemungkinan, iya. Sebab moralitas objektif melahirkan rasa takut ini, rasa takut itu. Secara umum, takut dicap buruk atau tolol oleh orang lain. Sekarang, bayangkan jika moralitas objektif tak ada. Voilà!
Semua orang akan melakukan apapun yang mereka suka tanpa memposting emang boleh di setiap akun media sosialnya. Setidaknya itulah laduni yang kudapatkan dari novel The Brothers Karamazov karya Dostoevsky.
Dalam buku tersebut, moralitas objektif itu bernama “tuhan”. Ketakutan akan “sumber utama“ inilah yang memungkinkan adanya: yang-boleh dan yang-tidak-boleh.
Jika seseorang sudah kehilangan rasa takut atau tak mengimani moralitas objektif, ia cenderung "tidak habis fikri" dan bisa bertindak "di luar nurul". Bacalah pemikiran Nietzsche, Mainländer, dan kawan-kawannya—yang problematik plus red flags banget. Yang juara 1 lomba melanggar perintah tuhan. Atau amatilah kelakuan Diogenes yang di luar prediksi BMKG.
Dengan demikian, diakui atau tidak, “ketakutan“ adalah penahan terkuat-terbesar dalam diri manusia. Tapi perlu digarisbawahi, ketakutan tersebut bervariasi bentuknya. Takut dosa, takut mengulang mata kuliah, takut mertua nggak suka, takut masuk penjara, takut mengecewakan ayang. Mamah aku takut!
Menariknya, interaksi antar rasa takut yang berbeda-beda dosisnya memungkinkan sesuatu yang terbilang kocak gemink. Asumsi ini berasal dari lamunan acak di kamar mandi ketika buang air besar—setelah mendengar pengakuan kawan dekat saya, sebut saja si A.
Si A ini mengaku beribadah karena takut dimarahi ayahnya—bukan karena ia takut api neraka dan ngeri di-BDSM oleh Tuhan di sana (tentunya tidak dalam artian film Fifty Shades of Grey). Ia tidak sedang bercyanda ketika mengakui ini.
Maka, ibadah, dalam kasus kawanku ini, tak lagi sesuatu yang bersifat sakral-transendental tapi sekadar tuntutan sosial-kultural. Tarik menarik antara satu ketakutan dengan ketakutan yang lain. Emang boleh ibadah sesosial-kultural ini?
“Ada orang ibadah karena lebih takut sama ayahnya ketimbang sama tuhan aja udah aneh, sebenernya. Sangat waduh,” begitu kata kawanku yang lain.
Saya tidak mau mengomentari si A—yang penting ia tidak menjadi musang birahi, pinjem dulu seratus, atau mengganggu ternak warga. Lagi pula, saya tidak pernah berminat atau berhasrat menjadi Alina lain dalam cerpen Sepotong Senja untuk Pacarku karangan Seno yang dalam logat Dian Sastro mengatakan, “Dasar bego! Dikasih syariat tidak mau mengerti!“.

Epilog

Barangkali yang-boleh dan yang-tidak-boleh hanya gagasan belaka, cuma ada pada pikiran—dalam bentuk platonik. Jika kita tidak menganggap gagasan itu sebagai gagasan yang baik, maka sebenarnya tidak ada yang bisa mengekang-menghentikan tindak tanduk kita sebagai burung tanpa sangkar. Manusia tanpa moralitas (baik objektif maupun subjektif).
Saya malas mengatakannya, tapi jangan-jangan sangkar itu, moralitas itu, sebenarnya tidak ada—kecuali kita berperilaku seolah-olah itu ada.
Barangkali itulah sebabnya sejarah manusia dipenuhi genosida atas nama negara atau agama, penjajahan kultural, kolonisasi ilmu pengetahuan, penjarahan sumber daya alam, pemerkosaan terhadap mereka yang termarjinalkan, perbudakan rasial, dan seterusnya. Silakan sebutkan perbuatan najis, kejam, dan menjijikan—niscaya manusia telah melakukannya.
Masyarakat bisa menyusun nilai-nilai kolektif, the crime and its punishment, misalnya dalam bentuk hukum positif. Namun, saya rasa, saya pikir, tidak ada satupun yang benar-benar menghalangi kita melakukan perbuatan yang merugikan orang lain.
Menonjok dada seseorang sampai berbunyi “dug!“ mungkin tidak diperbolehkan secara hukum atau sosial, tetapi tidak ada hal eksternal yang benar-benar dapat menghentikan seseorang untuk tidak melakukan hal demikian jika berhadapan dengan sesosok manusia yang menyebalkan dan ia mempunyai kesempatan melampiaskannya.
Kau bahkan tidak bisa menghentikan kehendak bebasku untuk meludahi mukamu jika kau melakukan suatu kedunguan yang percaya diri di hadapanku. Dengan kata lain, kita selalu punya kesempatan untuk menjadi seorang stoik yang ignorant-bastard. Yang tidak peduli pada perasaan orang lain dan mampu bersikap brengsek.
“Semuanya boleh“ adalah kenyataan dilematis yang bisa didengar makhluk liar, manipulatif, dan destruktif macam manusia. Hiduplah lebih lama, kau akan tahu mengapa aku mengatakan demikian.
Maksudku, seorang manusia sekalipun ia tahu dan memahami aturan-aturan ia bisa saja mengabaikan konsekuensi dari tindakannya—tidak bertanggung jawab.
Ketika seseorang melakukan kekerasan hingga korbannya koma kemudian disidang karena perbuatannya, ia bisa saja melakukan hal tidak bermoral seperti menyogok hakim atau jaksa untuk mengatasi masalahnya. Hakim atau jaksa tersebut pun bisa saja menerima suapnya.
Pada akhirnya, orang-orang masih akan peduli setan pada moralitas selama itu tidak mengganggu sesenti pun ruang hidupnya. Dan bumi akan tetap berputar pada porosnya. Kenyataan bahwa “semuanya boleh” akan terdengar manis bagi seorang sinting.
Bagi yang waras dan masih punya rasa percaya terhadap pentingnya moralitas, ini adalah kenyataan pahit yang sulit ditelan. Itulah mengapa aku memakai kata "dilematis". Emang boleh sedilematis itu?