Wednesday 10 May 2023

Translasi Puisi-Puisi Pessoa



Aku Tahu, Aku Sendiri

Aku tahu, aku sendiri
Betapa lukai, hati ini
Tanpa iman atau aturan
Atau melodi atau gagasan.

Hanya aku, hanya aku
Tak ada yang bisa kubahasakan
Karena perasaan bagai langit—
Terindra mata, kehampaan.

-

Autopsychography

Penyair dipenuhi kepura-puraan.
Dengan sangat teliti, hingga
Dia berhasil memalsukan kesakitan.

Sakit yang benar-benar dia rasakan;

Dan para pembaca karangannya
Jelas merasa, dalam sakit yang terbaca,
Tak satu pun rasa sakit itu miliknya,
Hanya sakit yang tak mereka pahami.

Maka, di sekitar jejaknya yang guncang
Kencang berlari, 'tuk sibukkan akal budi,
Sebuah kereta mengitari jarum jam
Yang manusia sepakati sebagai hati.

-

Matamu Menyedih

Matamu menyedih. Kau tak
dengarkan apa yang kukatakan.
Matamu mengagut, bermimpi,
dan mengabut. Tak acuh;
aku mengawang jauh.

Kunarasikan apa yang telah berlalu,
dari kesedihan yang lesu,
begitu melulu ...
Kupikir kaupernah mendengarkan,
tapi tidak, tak ada telingamu.

Tiba-tiba,
Tatapan yang hilang, kau menatapku,
masih jauh tak terkira,
kau menyimpul senyum.

Aku terus berbicara. Sedang kau
terus dengarkanpikiranmu sendiri,
senyuman yang hilang;

Hingga, lewati kemalasan
Sore yang terbuang sia-sia,
Keheningan membuka diri
Dari senyummu yang tak berguna.

-
Sesekali Aku Punya

Sesekali aku punya ide-ide bahagia,
Ide-ide tiba-tiba bahagia, di antara ide-ide
Dan kata-kata di mana mereka biasa bebas

Setelah menulis, aku membaca…
Apa yang membuatku menulisnya?
Di mana aku pernah menemukannya?
Dari mana hal itu datang kepadaku?
Itu lebih baik dariku…

Haruskah kita mengada, di dunia ini,
paling tidak, jadi pena dan tinta
yang digunakan seseorang
untuk mengarang dengan rapi
dan tepat apa yang kita guratkan
di sini?

-

Yang Tak Terhitung Jumlahnya

Yang tak terhitung jumlahnya
tinggal di dalam kita; ketika aku
memikirkan atau merasakan,
aku tak tahu siapa yang memikirkan
atau siapa yang merasakan.
Aku hanyalah sebuah tempat
dari perasaan atau pikiran.

Aku memiliki lebih dari satu jiwa.
Ada lebih banyak aku dari diriku sendiri.
Aku ada tapi tak peduli
kepada mereka semua.
Aku bungkam mereka:
aku berbicara.

Impuls yang bertentangan dari apa
yang-kurasakan atau
yang-tak-kurasakan;
sengketa di dalam,
siapa diriku sebenarnya?
Aku mengabaikan mereka.
Mereka tak mendikte kepada
seseorang yang kutahu.
Aku menulis.

*****
Fernando António Nogueira Pessoa adalah seorang penyair kritikus sastra, penerjemah, dan intelektual Portugis—digambarkan sebagai salah satu tokoh sastra terpenting abad ke-20 serta salah satu penyair terbesar dalam bahasa Portugis.

Sumber literatur:

Twenty Poems Fernando Pessoa, Translated by A. S. Kline: https://www.poetryintranslation.com/PITBR/Portuguese/FernandoPessoa.php#anchor_Toc503461473

Monday 8 May 2023

Modal Kultural à la Bourdieu (Esai Translasi)

A Panel of Experts (1982) by Basquiat

Artikel ditulis oleh Nicki Lisa Cole, Ph.D. dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Modal kultural, singkatnya, merupakan akumulasi pengetahuan, perilaku, dan keterampilan yang dapat digunakan seseorang untuk menunjukkan kompetensi budaya dan status sosialnya. Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, menciptakan istilah ini dalam makalahnya⁠ yang berjudul “Cultural Reproduction and Social Reproduction”—ditulis bersama Jean-Claude Passeron—pada tahun 1973. Bourdieu kemudian mengembangkan karya itu menjadi konsep teoretis dan pisau analitis dalam bukunya yang mengudara di tahun 1979: Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste.

Bourdieu dan Passeron menegaskan bahwa akumulasi pengetahuan digunakan untuk memperlebar jurang perbedaan kelas. Itu karena variabel-varibel seperti ras, jenis kelamin, kebangsaan, dan agama cenderung menentukan siapa yang memiliki akses lebih ke berbagai bentuk pengetahuan. Status sosial juga membingkai beberapa bentuk pengetahuan yang berujung pada superioritas-inferioritas; yang satu lebih “oke banget” ketimbang yang lain.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Diwujudkan

Dalam esainya yang terbit pada tahun 1986, “The Forms of Capital”, Bourdieu memecah konsep modal kultural menjadi tiga bagian. Pertama, ia menyatakan bahwa modal kultural ada dalam keadaan yang diwujudkan—artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang dari waktu ke waktu, melalui sosialisasi dan pendidikan, ada di dalam diri mereka. Semakin mereka memperoleh bentuk tertentu dari modal kultural yang terkandung, katakanlah pengetahuan tentang musik klasik atau film artistik, semakin mereka “siap” untuk menemukannya. Norma, adat istiadat, dan keterampilan seperti table manners, bahasa, dan perilaku gender, yang terkandung dalam modal kultural dari setiap individu seringkali tercerminkan ketika dirinya berinteraksi dengan individu lainnya.

Modal Kultural dalam Keadaan Terobjektifikasi

Modal kultural juga ada dalam keadaan yang diobyektifikasikan. Hal ini mengacu pada objek material yang dimiliki individu yang mungkin berhubungan dengan pendidikan mereka (buku dan laptop), pekerjaan (alat dan perlengkapan), pakaian dan aksesoris, barang tahan lama di rumah mereka (furnitur dan barang dekoratif seperti lukisan), dan bahkan makanan yang mereka beli dan siapkan. Dengan kata lain, bentuk-bentuk modal kultural yang diobyektifikasi ini cenderung menandakan kelas ekonomi seseorang.

Modal Kultural dalam Keadaan yang Terlembagakan

Puncaknya, modal kultural ada dalam keadaan terlembagakan. Ini mengacu pada cara-cara di mana modal kultural diukur, disertifikasi, dan diberi peringkat. Kualifikasi dan gelar akademik adalah contoh utama dari hal ini, begitu pula jabatan di kantor, jabatan politik, dan peran sosial seperti suami, istri, ibu, dan ayah.

Yang terpenting, yang mesti digarisbawahi, Bourdieu menekankan bahwa modal kultural ada dalam sistem pertukaran dengan modal finansial dan modal sosial. Modal finansial, tentu saja, mengacu pada uang dan kekayaan materialistik. Modal sosial mengacu pada hubungan sosial yang dimiliki seorang individu dengan teman sebayanya, keluarganya, koleganya, tetangganya, dan lain sebagainya. Modal finansial dan modal sosial, dalam titik tertentu, dapat dipertukarkan satu sama lainnya.

Dengan modal finansial, seseorang dapat membeli kunci untuk mengakses lembaga pendidikan bergengsi yang kemudian akan “menghadiahinya” dengan modal sosial berharga. Pada gilirannya, modal sosial dan modal kultural yang terakumulasi di sekolah atau perguruan tinggi elit dapat dikonversi menjadi modal finansial melalui jaringan sosial (koneksi “orang dalam” berprivilese, misalnya), keterampilan, nilai, dan perilaku yang mengarahkan seseorang pada pekerjaan bergaji tinggi. Untuk alasan ini, Bourdieu mengamati bahwa modal kultural berpotensi tinggi digunakan untuk memfasilitasi dan menegakkan stratifikasi sosial, hierarki, dan ketidaksetaraan secara struktural.

Inilah mengapa penting untuk mengakui dan menghargai modal kultural yang tidak tergolong elit (low culture). Penting juga untuk menyadari bahwa cara memperoleh dan menampilkan pengetahuan sangatlah bervariasi di antara kelompok sosial. Renungkanlah tentang betapa pentingnya sejarah lisan dan kata yang diucapkan dalam banyak kebudayaan tertentu. Di lingkungan perkotaan, misalnya, seorang individu harus belajar dan mematuhi “bahasa” yang ada di sana untuk sekadar “bertahan hidup”.

Setiap individu memiliki modal kultural dan menyebarkannya setiap hari untuk menavigasi masyarakat. Semua bentuknya valid, tetapi kebenaran yang sulit adalah bahwa mereka tak dihargai secara setara oleh institusi masyarakat. Ini menimbulkan konsekuensi ekonomi dan politik yang nyata; yang memperdalam perpecahan sosial dan memperparah perundungan sosial.

Sumber Literatur:

What Is Cultural Capital? Do I Have It?, Nicki Lisa Cole, Ph.D.:

https://www.thoughtco.com/what-is-cultural-capital-do-i-have-it-3026374

Friday 5 May 2023

“Tiga Metamorfosis” Nietzsche dalam Zarathustra

Der Blaue Reiter (1909) by Kandinsky

“Cara paling pasti untuk merusak seorang pemuda adalah dengan menginstruksikannya untuk menjunjung tinggi mereka yang berpikiran sama daripada mereka yang berpikiran berbeda.”
—Nietzsche, The Portable Nietzsche (1977)
Ini mungkin terdengar cukup sinting, tetapi Nietzsche benar-benar mengarang karya fenomenalnya, Thus Spoke Zarathustra, dalam ledakan-ledakan inspirasi konstan (yang berasal dari “muse” mendalamnya) selama sepuluh hari. Bukunya ini sangat alegoris dan diliputi simbolisme-simbolisme yang, konsekuensi logisnya, seakan-akan membidani aliran filsafat perspektivisme (baca: Gudang Perspektif). Dengan nuansa biblikal tapi di sisi lain mendobrak konvensi: ia menggunakan bahasa Liturgis atau Lingua Sacra khas samawi dalam setiap perkataan (dan perbuatan) tokoh protagonisnya—pada saat yang sama—dengan keras pula mengolok-olok status quo yang telah mapan adanya.

Singkatnya, begini, di sebuah negeri fiktif—ada seorang pengkhotbah yang, bagai nabi pada umumnya, selalu terlihat datang terlalu cepat. Dia adalah Zarathustra—seseorang yang menghargai gelak tawa—yang bahkan mampu menertawakan dirinya sendiri. Seseorang dengan tingkat penguasaan diri yang luar biasa hebat serta memiliki “kehendak untuk berkuasa” yang kuat. Jika diselami, filsafat Nietzsche secara keseluruhan, dan khususnya dalam novel Thus Spoke Zarathustra, memiliki penanda mencolok: prinsip “kehendak untuk berkuasa” sebagai penggerak fundamental dari semua sesuara filosofisnya.

Salah satu bagian yang menarik dari “A Book for All and None” ini adalah bahwa ia memetakan tiga metamorfosis yang mesti dilalui seseorang untuk membuatnya menjadi seorang “kreator-tabel-nilai”; yang memiliki segenap daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri—melampaui seseorang yang sekadar mengamini nilai-nilai purba—yang dipaksakan institusi-institusi sosial/kultural/spiritual selama ribuan tahun kepada manusia.

Meski dapat dikatakan metamorfosis à la Nietzsche sama-sama metamorfosis sempurna seperti telur-nimfa-imago yang, terdengar cukup Kafka-Samsa-kecoak, tetapi jangan berharap tiga metamorfosis dalam Zarathustra ini terjadi dalam satu spesies belaka—atau minimal rasional secara taksonomi—apalagi ditekskan secara terang eksplisitnya.

“Tiga Metamorfosis” dalam Thus Spoke Zarathustra

Camel on a Balmy Night (2013) by Beth Watkins

Metamorfosis pertama adalah unta dan inilah yang ditulis Nietzsche tentang tahap pertama:

“Ada banyak yang memberati si roh, bagi roh pemanggul-beban yang kuat, yang di dalamnya berdiam kehormatan dan rasa segan: kekuatannya merindukan yang berat-berat, yang paling berat. Apakah berat? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, demikianlah ia berlututa bagai unta, ingin dipunggah beban sepantasnya. Apakah hal yang berat, o pahlawan? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, sehingga aku boleh memanggulnya dan bergembira dengan kekuatanku? [...] Sang roh pemanggul-beban memunggah bagi dirinya semua hal yang paling berat ini: laiknya seekor unta tergopoh-gopoh dengan bebannya menuju gurun, demikianlah ia berjalan memasuki gurunnya sendiri.”

Secara interpretatif, unta merupakan pemanggul beban berjiwa kuat yang dalam kesepiannya memanggul beban-beban berat. Beban berat yang dipikul unta adalah sekumpulan “Engkau harus”—sebuah kalimat perintah, semacam kode etik dan perilaku, perspektif rigid dan final untuk melihat dunia—harus begini, harus begitu. Secara lebih luas, “Engkau harus” adalah bahasa perintah yang membawa seseorang menuju perjalanan paling purba dalam sejarah filsafat: perjalanan pertama untuk memperoleh pengetahuan tentang diri dan dunia tempatnya “mengada”. Unta melewati hal-hal tersulit yang terjadi dalam hidup yang remang redup. Kita mulai dengan menjadi unta. Sebagai murid, kita mencari ilmu dan guru—berusaha untuk memahami dunia sebanyak mungkin. Begitu banyak ilmu, begitu banyak pemikir hebat yang kita kagumi dan hormati. Semakin kita tahu sesuatu, maka itu berbanding lurus dengan semakin berat beban yang ada di punggung kita.

Setelah membaca Kierkegaard dan Sartre, eksistensialis lain, unta segera mengembangkan keinginan untuk berhenti memikul beban yang bukan miliknya karena menyadari bahwa ada semacam “ketakpastian objektif” dan tak ada nilai universal atau makna hidup yang tunggal. Tapi gurun itu memungkinkan kesepian yang paling sunyi, dan roh unta tak mau lagi memikul beban ide dan pengetahuan yang bukan miliknya. Dunia, yang telah ditemukan unta, tak memiliki nilai esensial atau universal. Tak ada arti atau makna hidup yang tunggal. Demikianlah unta kemudian bermetamorfosis menjadi singa.

Leo (2015) by Linda Emerson

Inilah yang Nietzsche tekskan pada tahapan kedua:

“... Tetapi di gurun yang paling sunyi terjadi metamorfosis yang kedua: roh menjadi singa, ia ingin merdeka dan menjadi tuan dari gurunnya sendiri. Ia mencari di tempat ini tuannya yang paripurna: ia akan menjadi seorang musuh baginya dan bagi tuhan paripurnanya, ia akan bergulat untuk mengalahkan si naga besar. Apakah naga besar yang oleh si roh tak lagi hendak dipanggil tuan dan tuhan? Naga besar dinamai engkau harus”. Tapi roh si singa berkata “aku hendak”! “Engkau harus” berdiam di jalurnya, bagai seekor binatang buas yang bersisik emas, dan pada setiap sisik berkilauan “Engkau harus” keemasan.

Nilai-nilai ribuan tahun berkilauan pada sisik-sisik itu, dan demikianlah berkata naga yang paling berkuasa dan sekaliannya: “Seluruh nilai benda-benda—menjadi kilauan bagiku.” “Semua nilai telah diciptakan, dan semua nilai ciptaan—terdapat padaku. Sungguh, tak akan ada lagi ‘aku hendak’!” Demikianlah berkata si naga. Saudara-saudaraku, mengapa si singa diperlukan dalam si roh? Mengapa binatang beban, yang tak menuntut apa-apa dan takzim, tak mencukupi?

Untuk menciptakan nilai-nilai baru—bahkan si singa pun tak mampu: tapi untuk menciptakan bagi dirinya sendiri kebebasan bagi pencipta baru—itu tak dapat dilakukan oleh kuasa si singa. Untuk menciptakan kebebasan bagi diri sendiri dan sebuah kata ‘Tidak’ yang suci walaupun terhadap tugas: si singa diperlukan untuk itu, Saudara-saudaraku. Untuk menangkap hak akan nilai-nilai baru—itu kerjaan paling mengerikan bagi roh pemanggul-beban yang takzim. Sungguh, bagi roh ini hal itu pencurian dan kerjaan binatang pemangsa.

Sekali ia mencintai “Engkau harus” ini sebagai hal paling suci baginya: kini ia harus menemukan ilusi dan perubahan pikiran mendadak, bahkan di tempat yang paling suci sekalipun, supaya bisa mencuri kebebasan dan cinta: si singa diperlukan menghadapi pencurian ini.”

Agar singa bebas dan bisa menguasai padang pasir, singa harus menggulingkan penguasa yang ada di sana. Naga adalah penghalang kebebasan yang dicari singa. Pada naga ini terdapat sisik-sisik, dan pada setiap sisiknya yang menarik, keemasan, dan berkilauan tertulis “Engkau harus”. Frasa ini mewakili institusi yang menentukan hukum moral dan nilai-nilai di masyarakat yang mengatur bagaimana kita harus bertindak serta memberi tahu siapa kita. Bagi Nietzsche, naga ini mewakili agama, pemerintah, orang tua, atau pada dasarnya siapa pun yang bersifat mendoktrin. Pendek kata, filsuf berkumis baplang ini percaya bahwa individu sejati harus membangun tujuannya dengan caranya sendiri.

Children Of Light - Colorful Bright Read And Blue Abstract Art Painting (2017) by Gordan P Junior

Dan beginilah yang Nietzsche sabdakan tentang metamorfosis terakhir:

“Tapi katakan padaku, Saudara-saudaraku, apa yang dapat dilakukan si anak yang bahkan si singa tak dapat? Mengapa harus si singa pemangsa masih menjadi sesosok anak? Si anak itu lugu dan pelupa, satu awal baru, suatu olahraga, sebuah roda yang berputar sendiri, satu gerak pertama, satu Ya suci. Ya, satu Ya suci diperlukan, Saudara-saudaraku, bagi olahraga penciptaan: si roh kini menghendaki kehendak-nya sendiri, si roh yang memisahkan diri dari dunia kini memenangi dunia-nya sendiri.”

Pada akhirnya, singa menginginkan kehendak-nya sendiri, ia bermetamorfosis untuk terakhir kalinya. Tapi, mengapa seorang anak merupakan metamorfosis puncak? Seperti yang dikatakan Nietzsche secara tersirat, seorang anak memiliki awal yang baru dan segar—yang selaras dengan potensi kebaruan alias berbagai kemungkinan-kemungkinan baru yang menggairahkan. Seorang anak itu dipenuhi kemurnian dan tak terbelenggu: tak pernah terbebani oleh aturan atau konvensi masyarakat tertentu, ajaran agama tertentu. Yang menarik, unik, dan autentik adalah fakta bahwa seorang anak selalu punya cara tersendiri untuk menilai segala sesuatu tanpa embel-embel tertentu.

Dengan kata lain, seorang anak menginginkan jalan takdirnya sendiri serta hidup bebas dalam kreativitas dan permainan—seperti Homo Ludens yang membaca Le Petit Prince karangan Antoine de Saint-Exupéry. Nietzsche menegaskan hal ini dengan mengatakan, “di setiap manusia sejati tersembunyi seorang anak yang ingin bermain-main”. Jangan lupa menjadi anak-anak.

*****

Referensi

Nietzsche, Friedrich, (Terjemahan H.B. Jassin; Pengantar, Goenawan Mohamad), 2019, Zarathustra, Yogyakarta: IRCiSoD.

Wednesday 26 April 2023

Reviu Singkat “Mata Kecoak - Dayuk” dari Perspektif Absurdis yang Lebih Nyaman Disebut Eksistensialis



Author: Sayyidatul Imamah
Title: Mata Kecoak
Format: 182 pages, Paperback
ISBN: 9789797753313
Published: March, 2023 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Absurdisme yang ditawarkan Dayuk (sapaan akrabnya) dalam kumpulan cerpennya ini tentu berbeda dengan Kafka, Camus, Beckett, atau Ionesco. Jika mesti dilabeli, barangkali ia adalah seorang Absurdis-Feminis; absurdis yang tak hanya menggemakan kerandoman pikiran seorang manusia dengan daya imajinasi supertinggi, tetapi juga membawa serta female gaze & isu keperempuanan di realitas yang patriarkis. Tapi, akan terlalu picik apabila kita hanya mempersepsikannya atau bahkan mereduksinya demikian, sebab Dayuk juga membawa hal-hal yang penting namun jarang kita renungi-maknai: suara-suara benda mati, pikiran-perasaan serangga, kemuakan terhadap peperangan, kritik atas otoritarianisme, viralitas atas hal-hal tolol di masyarakat, hingga elitisme yang hampir selalu menyebalkan.

Berikut reviu singkatnya...

Perjalanan Panjang: mengisahkan betapa ripuh-nya Rusmini menjadi perempuan di lingkungan patriarkal. Yang rentan ditindas & dieksploitasi, misalnya, ketika ia dulu pernah diperkosa di gang gelap oleh lima bajingan secara bergiliran. Tahun-tahun setelahnya bertambah ripuh ketika dokter memvonis Rusmini tak bisa punya anak. Ibu Rusmini rusak mindset-nya—fetish untuk membahagiakan lelaki—& lebih sedih ketika mendapati suaminya yang jahat mati gantung diri di pohon belakang rumah setelah ia menendang adik Rusmini hingga mati. Pada akhirnya, Rusmin bundir menenggak pil & yang lebih membagongkan, jasadnya baru ditemukan pada hari berikutnya—karena suaminya yang dingin & berengsek terlalu sibuk indehoy dengan pelacur murahan. Kisah ditutup dengan headline berita yang membuat pembaca naik pitam. Benar-benar rentetan penderitaan yang panjang. Membacanya seperti mengarungi mimpi buruk yang berkepanjangan. Berbahagialah Rusmini-Rusmini di luar sana. Cerpen ini membikinku menghela napas sepanjang ingat dikandung ingatan.

Nasrina Masih Berlari: tentang seorang gadis berambut bondol bernama Nasrina, yang menjadi viral karena terus berlari. Dengan kaus merah & celana hitam sobek-sobek, Nasrina berlari—untuk mencari kebebasan—ia masih berlari menuju ke tempat yang tak bisa mengekangnya. Nasrina masih berlari agar tak berakhir seperti orang-orang. Melewati hutan gundul, di atas lautan hingga sampai di Asia bagian Barat di mana ada banyak perang—anak-anak seusianya mati meregang nyawa. Nasrina kecewa sebab ia merasa mereka lebih membutuhkan perhatian dari dunia & awak media ketimbang meliput dirinya yang terus berlari seperti Forrest Gump. Ending-nya, Nasrina berhenti berlari setelah bertemu lelaki tua yang mengantarkan tiga anaknya bersekolah. Cerpen ini, meskipun terkesan absurd, tetapi mengajak pembaca untuk merenungkan betapa orang-orang tak pernah peduli pada peperangan & lebih memedulikan hal-hal nampak aneh bin tolol. Peculiar things are always famous. Tokoh Nasrina pun mengingatkanku pada Nasida Ria, yang pernah menyuarakan perdamaian lewat medium musik: banyak yang cinta damai tapi perang makin ramai! Lebih baik “make love, not war” kalau kata Lennon.

Foto Presiden: salah satu cerpen paling emosional serta realistis tentang kondisi desa yang terpencil jauh dari “peradaban” & betapa tak bergunanya berharap pada negara. Mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa di semesta lain ada sekolah yang lebih butut dari kandang ayam—hanya berisikan foto presiden yang tak pernah diganti sejak tahun 1998 (tak diganti karena tak ada uang buat beli foto presiden yang baru)—serta seorang Kepala Sekolah merangkap guru (setelah ditinggal dua gurunya jadi TKI di luar negeri) dengan dua muridnya: Elki yang kritis & Tinasa yang penurut. Secara personal, saya menyukai tokoh Elki yang bawel. Macam Socrates yang membaca Skeptisisme Descartes. Sepanjang cerita, pembaca akan dihadapkan pada kegeraman & tendensi kuat untuk mengelus dada. Bau busuknya Orba yang masih menyengat kuat seakan menambah kesan bahwa “yang berganti hanya presidennya, bukan kediktatorannya, bukan nasib orang-orang lemah macam tokoh Kepala Sekolah.”

Kumis yang Sengsara: menceritakan kisah sebuah kumis bernama Kirik yang hidup sengsara di wajah Preman. Sebelumya Kirik pernah lahir di wajah seorang petani dan seorang politikus. Di kehidupannya yang ketiga ini, Kirik begitu tersiksa karena pola hidup jorok si Preman. Pada gilirannya, Kirik berempati karena mendapati fakta bahwa si Preman seperti tokoh Vladimir (Didi) dan Estragon (Gogo) dalam lakon absurd berjudul Menunggu Godot karangan Samuel Beckett. Bedanya si Preman menunggu ibunya untuk pulang. Si Preman, meskipun Preman—uniknya—memiliki semacam kriteria untuk dipalak; tak mau memalak mereka yang termaginalkan. Di malam-malam yang panjang, Kirik sadar bahwa si Preman kesepian. Satu-satunya kawannnya hanya si Pawang Monyet yang cengengesan. Dialog mengalir-menampilkan realitas masyarakat kelas bawah yang suram. Suasana Covid pun terbangun dengan baik-apik dalam cerpen ini. Karena Covid, dengan dramatis, pasar—tempat satu-satunya di mana “cahaya” itu ada—ditutup. Kisah ditutup dengan sedih—setelah si Preman melamun & membayangkan bagaimana jika ia sebenarnya dibuang oleh ibunya? & air mata Preman lembut itu mengenai tubuh Kirik. Aku bukanlah Übermensch, aku juga bisa nanges. hiks...—batin si Preman. & Genrifinaldy pun meneteskan air mata, lalu meraih 2 lembar tisu itu di meja kerjanya.

Mencoret Kelamin: Gina, seorang perempuan yang gemar bertanya hal-hal eksistensial sejak umur 10 tahun. Mengapa perempuan bervagina, merasakan menstruasi seumur hidup, harus bersikap lembut-manis-patuh, & memiliki beban-batas lain yang terlampau absurd? Gina terus bertanya-tanya, kepada guru sekolah sampai guru ngaji. Tapi jawaban mereka (terutama jika dijawab dengan pendekatan agama) memang tak pernah memuaskan, seperti biasa, seperti realitanya. Karena merasa dirinya bagai alien bagi dirinya sendiri & merasa terisolasi (baca: merasa sendirian), Gina meneggak puluhan pil tidur. Ia pun tumbuh menjadi perempuan yang memendam “gelembung gelap” itu diam-diam. Situasi bertambah anjing ketika tiga temannya secara haduh gak ngotaknya memperkosanya ketika sedang mengerjakan tugas kelompok. Peristiwa nahas itu mengubah seluruh hidup Gina hingga dia berhenti bertanya-tanya. Pada gilirannya, Gina bergabung dengan Kelompok Dukungan & mendapat perspektif baru dari seorang lelaki yang mengutip Sartre: bahwa seseorang yang berpenis pun menderita. Gina mencoret kelaminnya, & menggantinya dengan kebebasan. Akhirnya, Gina hidup sebagai manusia bukan kelamin. Setelah membaca Sartre dengan tekun Gina pun mengeluarkan kredo pamungkasnya: Gina mendahului vagina! Bukankah memang begitu seharusnya?

Bagian yang Ada: tentang enam orang bernama: Le, La, Ki, Pe, Rem, dan Puan—yang melingkari meja untuk memakan Bagian yang Ada. Katakanlah dunia sebagai meja & Bagian yang ada di atas meja itu sebagai suatu makanan untuk dimakan. Masalah ada ketika Le, La, & Ki tak pernah bisa adil dalam bertindak, selalu tamak, & hanya memikirkan Bagian-nya sendiri. Secara alegoris, cerpen ini, menyiratkan bahwa lelaki selalu mendominasi perempuan. Perempuan adalah Le Deuxième Sexe (The Second Sex) kalau kata de Beauvoir. Perempuan dalam di mata de Beauvoir seolah tak punya “kehadiran”, sebab yang memberi “makna” adalah lelaki. Ia tak punya kebebasan, kesetaraan dan keluhuran martabat sebagai manusia. Perempuan tak terlahir, melainkan dicetak, dibentuk. Artinya, perempuan tertindas & tak pernah mendapatkan kesetaraan. & barangkali, tak ada yang bisa meruntuhkan tirani itu lelaki kecuali lelaki itu sendiri. Setelah membaca cerpen ini, aku merasa seperti Adam yang berdosa karena pernah menyalahkan Hawa pascaditendang ke bumi.

Jembatan: habis berbatang-batang perempuan itu belum datang.... Cerpen ini memungkinkan banyak permenungan-permenungan eksistensial. Bagaimana jika kita “membunuh diri kita sendiri”? Atau, misalnya, kesepian & keterasingan macam apa yang dirasakan jembatan? & mungkin tak ada yang lebih buruk dari eksistensi yang tak disadari. Tapi orang-orang yang berjalan di atas Jembatan itu barangkali memanglah Sisifus dengan batu yang berbeda. Pada akhirnya, selain Sisifus, seseorang benar-benar harus membayangkan jembatan yang memiliki ingatan bagus itu berbahagia atau minimal—membayangkan—pagi itu Camus & tokoh-tokoh Dayuk tak menyeduh kopi karena sakit maag & memilih kemungkinan yang pertama. Kill him/her-self.

Menjadi Aku: coba kau pikirkan, coba kau renungkan, bagaimana jika kau dikutuk menjadi lampu lalu lintas? Kau sarapan dengan suara klakson & cahaya biru dari ponsel orang-orang yang selalu sibuk. Setiap saat kau melihat miniatur Sisifus itu berjalan menuju ke arah yang sama—dengan kaus yang itu lagi itu lagi; menyaksikan persegi-persegi panjang itu bergerak, & kalau sial, bertabrakan—memungkinkan momen inersia & membikin kebisingan yang memuakkan. Bayangkan... “bagaimana kalau kehidupan repetitif inilah yang akan kau jalani selamanya?”. Cerpen ini mengingatkanku akan konsep Eternal Recurrence/Return (baca: perulangan abadi) yang digaungkan Nietzsche. Filsuf eksistensialis itu menghadirkan kemungkinan buruk atau skenario jelek bahwa waktu bergerak sirkuler, bagai ular ouroboros yang memakan ekornya sendiri—& kita mesti hidup, merasakan tragedi, & mati & hidup—begitu seterusnya. & ini bertambah ngeri jika kita adalah lampu lalu lintas. Misalkan kita adalah lampu lalu lintas, mampukah kita mencintai segenap hidup dalam keabadian-kerepetitifan yang menggabutkan itu? Baik menjadi manusia yang merasakan bahwa ada yang salah dalam dirinya ataupun menjadi lampu lalu lintas yang hidup sebagai benda mati, keduanya sama-sama terlalu buruk untuk dijalani. Mungkin lebih baik tak pernah mengada. Sleep is good, death is better; but of course, the best thing would to have never been born at all. Saya membayangkan Heine membacakan puisi fenomenalnya secara teatrikal di depan lampu lalu lintas itu.

Waktu dan Tempat untuk Kematian:
“Manakah yang lebih baik, mengetahui waktu atau tempat kematian?”. Untuk menjawab pertanyaan itu, barangkali, yang lebih baik adalah menyewa pembunuh bayaran untuk membunuh diri kita sendiri. Cerpen filosofis ini sukses memikat hatiku & secara tak sadar membuatku berkata kasar dalam tendensi kagum. Terdapat banyak gagasan-gagasan besar yang coba dipadatkan ke dalam cerita & itu berhasil. Bahwa penamaan hari hanyalah warisan bersama, seperti bahasa. Aku sepakat bahwa kematian (sebagai sesuatu yang buruk) terlalu dibesar-besarkan sampai banyak dari kita mengira bahwa penderitaan seumur hidup & hidup abadi tak lebih buruk & membahayakan dari kematian. Melalui cerpen ini, timbul keseruan untuk membayangkan bahwa ada seorang (katakanlah) budak korporat, yang menabung selama sepuluh tahun & menggunakan tabungannya untuk menyewa pembunuh bayaran—yang targetnya adalah dirinya sendiri. Apapun alasannya, sesuatu yang kita sebut sebagai alasan mesti diberikan sepenuhnya kepada yang-melakukan. Sedikit fafifuwasweswos, dalam eksistensialisme, ada “ketakpastian objektif”—dengan kata lain, secara tak langsung menyatakan bahwa hidup merupakan perkara yang-subjektif & pilihan-tindakan adalah sesuatu yang personal. Bagian membagongkan dari cerpen ini: Pembunuh Bayaran gagal menjalankan tugasnya & malah diberi kuliah eksistensialisme à la Camus (meskipun Camus benci dikategorikan sebagai filsuf eksistensialisme; eksistensialis) sebanyak kira-kira 6 sks. Tujuan eksistensialisme, singkatnya, adalah penciptaan makna/esensi; sedang absurdisme berupaya merangkul yang-absurd atau ketakbergunaan dalam hidup & secara simultan memberontak dengan cara terus hidup—memilih untuk terus hidup adalah sebentuk pemberontakan. Cerpen ini juga mengingatkan kita bahwa ada kedunguan umum yang mengatakan cewek itu ribet. Faktanya, cewek dan cowok, keduanya sama-sama memiliki potensi ribet yang sama. Keribetan tak bisa ditarik hanya ke dalam satu jenis kelamin tertentu. Terakhir, moralitas pun sepertinya hanyalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial oleh suatu masyarakat. Mungkin ini akan terdengar posmodern, meminjam bahasa Tarkovsky (lagi), sebuah dunia di kepala 8 miliar manusia adalah 8 miliar dunia yang berbeda. & moralitas barangkali memanglah sesuatu yang relatif; brengsek tak sesederhana ketika kita menyakiti orang lain. & tanpa moralitas objektif, tak akan ada yang menganggapmu goblok karena telah mencoba membunuh dirimu sendiri dengan tangan orang lain bila tak ada yang mengetahuinya. Sartre benar lagi, manusia dikutuk untuk menilai & ternilai.

Snob Berpistol: cerpen ini sedikit mengingatkanku pada The Strangers karya Camus. Tokoh utama (Meursault) di dalam novel tersebut membunuh ibunya secara esensi/gagasan dalam ungkapan “Ibu meninggal hari ini. Atau mungkin kemarin, saya tidak tahu”. Di cerpen ini, tokoh utama, Snob yang berkelamin pistol, benar-benar membunuh ibunya (secara eksistensi). Seperti Meursault yang menembak “orang Arab” tanpa alasan yang jelas sama sekali (& mengakui bahwa dia tak harus membunuhnya)—keabsurdan semacam itu hampir bertebaran di sepanjang narasi “Snob Berpistol”. Awalnya pembaca akan mengira bahwa Snob mengidap semacam megalomania khas Hitler karena membaca The Will to Power-nya Nietzsche atau buku-buku Heidegger & merasa ia adalah Ras Unggul. Atau mungkin semacam superstar syndrom karena pernah viral. Dayuk mengajak kita untuk merenungkan ulang, apakah manusia unggul adalah mereka yang hanya membaca buku-buku filsafat, mendengar musik-musik klasik, menonton film-film sureal, & yang membuat teori-teori berguna untuk keberlanjutan hidup? Atau mereka yang memfafifuwasweswoskan Nietzsche, Lou, Rée, Schopenhauer, Deleuze dkk. Cerpen ini juga mengingatkan akan pentingnya menjaga “subjek” agar tak mati ketika menimba-membaca pemikiran-pengetahuan. Puncaknya ketika terdapat dialog mengenai isi kepala penulis yang ramai seperti pasar nama & gagasan. Uniknya, penis Snob yang berbentuk pistol, secara simbolik, pun menyimbolkan bahwa kelelakian mempunyai potensi bahaya yang sama dengan senjata api. Penulis juga menyoal bagaimana “persetubuhan pemikiran” mungkin tak akan seutuhnya memuaskan dahaga dua insan yang dimabuk cinta. Cerpen ini menyiratkan pula bahwa tuntutan untuk bahagia, lebih mengerikan dari mendorong batu tak berguna dalam kekekalan. Pada akhirnya, Perempuan itu mati terbunuh (secara eksistensi) oleh Snob, tetapi gagasan akan Perempuan itu mungkin takkan pernah mati—bahkan jika Snob mati bunuh diri & jadi Deleuze kedua.

Jalan Lain Menjadi Serangga: cerpen ini me-recall ingatanku pada kutipan Cioran dalam The Trouble with Being Born (tentu dengan diksi yang disesuaikan, telah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks): jangan-jangan lebih baik menjadi serangga ketimbang manusia—sehingga mereka tak akan saling menghina—atau saling membenci & menyebabkan perang dunia? Betul bahwa: tak ada serangga yang merasa paling benar; tak ada serangga yang suka menilai hampir segalanya & banyak bacot dengan wajah menyebalkan. Penulis mengajak kita untuk belajar banyak pada serangga-serangga, khususnya kecoak, yang mampu menghadapi seleksi alam & berevolusi menjadi tangguh bukan kejam. Cerpen ini juga menyinggung soal perang & perbudakan (perbudakan rasial). Lebih banyak nilai moral yang akan kita dapatkan ketika membaca “Jalan Lain Menjadi Serangga”—ketimbang membaca

Mata Kecoak: jika membayangkan pembukaan Kafka yang terkenal dalam The Metamorphosis—pada suatu pagi seseorang bernama Gregor Samsa bangun dari mimpinya yang gelisah & mendapati dirinya berubah di tempat tidurnya menjadi kecoak—saja sudah terlampau absurd, cerpen ini boleh jadi lebih absurd. Bayangkan, di semesta lain ada semesta kecoak lengkap dengan pemimpinnya yang memiliki realitas persis macam manusia. Lengkap dengan matanya yang memiliki 2000 lensa yang bergerak-gerak, Pemimpin Kecoak itu mengawasi layar monitor serta tindak-tanduk 15 kecoak (baca: warganya). Cerpen ini berhasil menampilkan semesta kecoak yang mirip manusia di sebuah negara dunia ketiga; yang lekat dengan feodalisme & teror. Misalkan kita adalah kecoak, bukankah wajar jika kita takut disabuni?

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Saya masih tak handal membuat kesimpulan: membaca Mata Kecoak membuatku berpikir bahwa "neraka adalah keluarga" & absurdisme tak melulu berisi kemuraman yang negatif, tetapi mampu memungkinkan permenungan panjang kali lebar kali tinggi yang positif—sebagai kritik pedas terhadap masyarakat & nilai-nilai kolektif; atau sebagai "penyengat" seperti yang telah ditekskan oleh Plato dalam Apology (yang berkali-kali digaungkan kembali oleh Syarif Maulana).

special thanks to: Indonesia Tera, Raihan Robby, & Sayyidatul Imamah

Friday 21 April 2023

Filsafat Makanan (Esai Translasi)

The Potato Eaters (1885) by van Gogh

Artikel ditulis oleh Prof. Andrea Borghini dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Pertanyaan filosofis yang bagus bisa muncul dari mana saja. Pernahkah seseorang berpikir, misalnya, bahwa ketika kita duduk untuk menyantap semangkuk soto babat atau berjalan-jalan di sepanjang street food bisa menjadi pengantar yang baik untuk merangsang pemikiran filosofis? Barangkali, dengan membayangkan seperti itu kita dapat menakar kemungkinankredo filsafat makananselain "aku makan, maka aku ada".

Apa yang Filosofis tentang Makanan?
Filsafat makanan didasarkan pada gagasan bahwa makanan adalah cermin. Kita mungkin pernah mendengar pepatah, "kita adalah apa yang kita makan". Nah, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang hubungan antara filsafat dengan makanan (yang bersintesis jadi filsafat makanan). Makan mencerminkan proses pembentukan diri: serangkaian keputusan dan keadaan yang membuat kita makan dengan cara-cara tertentu. Di dalamnya, kita bisa melihat cerminan diri kita yang detil dan menyeluruh. Filsafat makanan mencerminkan aspek etis, politis, sosial, artistik, hingga identifikasi pribadi dalam makanan. Pada gilirannya, memacu kita  untuk lebih aktif merenungkan pola makan dan kebiasaan makan demi memahami siapa kita dengan cara yang lebih personal, lebih dalam, lebih subjektif, dan lebih autentik.

Makanan sebagai Relasi
Makanan adalah relasi. Makanan-makanan hanya sehubungan dengan beberapa organisme tertentu, dalam serangkaian keadaan yang "khusus". Misalnya, di beberapa negara di Eropa sarapan dengan menyeruput kopi dan mengisap rokok adalah kebiasaan yang lumrah; namun di Indonesia, sarapan dengan menu yang "sangat eksistensialis" tersebut nampak seperti remaja puber yang baru saja merasakan Quarter-Life Crisis. Kedua, makanan kesukaan terikat dengan prinsip-prinsip kolektif yang cenderung bertentangan. Katakanlah, seseorang menahan diri untuk tidak memakan sate biawak di rumah, tetapi di depan danau di mana tak ada manusia selain dirinya, ia menyantapnya dengan lahap. Dengan demikian, relasi makanan apa pun yang pertama dan terutama adalah cermin dari pemakannya: dipengaruhi keadaan, itu mewakili kebutuhan, kebiasaan, keyakinan, pertimbangan, dan kompromi.

Etika Makanan
Mungkin aspek filosofis yang paling jelas dari pola makan kita adalah keyakinan etis yang membentuknya. Apakah seseorang akan memakan kucing? Seekor kelinci? Mengapa iya atau mengapa tidak? Kemungkinan alasan yang seseorang berikan untuk sikapnya berakar pada prinsip etika, seperti: "Apa enaknya memakan kucing?" atau bahkan "Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu!" Atau, pertimbangkan vegetarisme: sebagian besar dari mereka yang mengikuti pola makan ini melakukannya untuk mencegah kekerasan yang tidak dapat dibenarkan terhadap hewan. Dalam Animal Liberation, Peter Singer melabeli "spesiesisme" sikap orang-orang yang menarik pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara Homo sapiens dan spesies hewan lainnya (seperti rasisme membuat pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara satu ras dan ras lainnya). Jelas, beberapa dari aturan itu bercampur baur dengan prinsip-prinsip agama: keadilan dan surga dapat dipertemukan di atas meja, seperti yang terjadi pada kesempatan lainnya.

Makanan sebagai Produk Seni?
Bisakah makanan dikatakan sebagai produk seni? Bisakah makanan menjadi produk seni? Bisakah seorang juru masak bercita-cita menjadi seniman gigan yang setara dengan Michelangelo, Kandinsky, Picasso, da Vinci, Cézanne, dan van Gogh? Pertanyaan-pertanyaan ini telah memicu perdebatan sengit selama beberapa tahun terakhir. Beberapa berpendapat bahwa makanan (paling banter) hanyalah kerja-kerja kesenian kecil nan fana. Karena tiga alasan utama. Pertama, karena makanan berumur pendek dibandingkan dengan, misalnya bongkahan marmer. Kedua, makanan secara intrinsik terkait dengan tujuan praktis—memenuhi kebutuhan fisiologis untuk makan. Ketiga, makanan bergantung pada konstitusi materialnya dengan cara yang tidak dimiliki oleh musik, lukisan, atau bahkan patung. Lagu seperti "The Great Gig in the Sky"-nya Pink Floyd telah dirilis dalam bentuk vinil, kaset, CD, dan sebagai mp3 di Spotify; tapi tidak dengan makanan. Koki terbaik karenanya akan menjadi pengrajin yang sangat baik; mereka dapat dipasangkan dengan penata rambut mewah atau tukang kebun yang terampil. Di sisi lain, ada yang menganggap perspektif ini tidak adil. Koki baru-baru ini mulai tampil dalam pertunjukan seni dan ini tampaknya secara konkret membantah pernyataan sebelumnya. Mungkin yang paling terkenal adalah kasus Ferran Adrià, koki Catalan yang merevolusi permasakan duniawi selama tiga dekade terakhir.

Pakar Makanan
Orang Amerika sangat menghargai peran ahli makanan; Prancis dan Italia terkenal tidak. Mungkin karena cara yang berbeda dalam memandang praktik penilaian suatu makanan. Apakah sup Bawang Perancis itu asli? Ulasan mengatakan anggur itu elegan: apakah itu masalahnya? Mencicipi makanan atau wine bisa dibilang merupakan aktivitas yang menghibur, dan menjadi pintu pembuka menuju percakapan. Namun, apakah ada kebenaran dalam hal penilaian tentang makanan? Ini adalah salah satu pertanyaan filosofis yang paling sulit. Dalam esainya yang terkenal Of the Standard of Taste, David Hume menunjukkan bagaimana seseorang cenderung menjawab "Ya" dan "Tidak" untuk pertanyaan itu. Di satu sisi, pengalaman mencicipiku bukan milikmu, jadi ini sepenuhnya subjektif; di sisi lain, dengan tingkat keahlian yang memadai, tidak ada yang aneh dengan membayangkan untuk menantang pendapat pengulas tentang suatu anggur atau sebuah restoran.

Ilmu Makanan
Sebagian besar makanan yang kita beli di supermarket mencantumkan label "fakta nutrisi". Kita menggunakannya untuk memandu diri kita sendiri dalam menjalankan diet, agar tetap sehat. Tapi, apa hubungannya angka-angka itu dengan barang-barang yang kita miliki di depan kita dan dengan perut kita? "Fakta" apa yang sebenarnya mereka ingin bangun? Dapatkah ilmu gizi dianggap sebagai ilmu alam yang setara dengankatakanlahbiologi sel? Bagi sejarawan dan filsuf-cum-saintis, makanan adalah medan penelitian yang subur karena menimbulkan pertanyaan mendasar tentang validitas hukum alam (apakah kita benar-benar mengetahui hukum tentang metabolisme?) Dan struktur penelitian ilmiah (siapa yang membiayai studi tentang fakta gizi yang kita temukan pada label-labe itu?).

Politik Makanan
Makanan juga menjadi inti dari sejumlah pertanyaan-pertanyaan bagi filsafat politik. Ini hanya beberapa. Satu, tantangan yang ditimbulkan oleh konsumsi makanan terhadap lingkungan. Misalnya, tahukah kau bahwa peternakan bertanggung jawab atas tingkat polusi yang lebih tinggi daripada perjalanan dengan tiket pesawat? Dua, perdagangan makanan mengangkat masalah keadilan dan ekuitas di pasar global. Barang eksotis seperti kopi, teh, dan cokelat adalah contoh utama: melalui sejarah perdagangannya, kita dapat merekonstruksi hubungan kompleks antara benua, negara bagian, dan manusia selama tiga-empat abad terakhir. Tiga, rantai produksi, distribusi, dan ritel makanan memungkinkan banyak kesempatan untuk berbicara tentang kondisi para pekerja di seluruh dunia.

Makanan dan Pemahaman Diri
Pada akhirnya, karena rata-rata orang merasakan relasinya dengan makanan setiap hari, penolakan untuk merenungkan kebiasaan makan dengan cara yang bermakna dapat disamakan dengan kurangnya pemahaman diri atau kurangnya keautentikan. Pemahaman diri dan keautetikan adalah salah satu tujuan utama dari filsafat, maka makanan menjadi kunci sejati untuk membukanya. Inti dari filsafat makanan karenanya adalah pencarian pola makan yang autentik, sebuah pencarian yang dapat dengan mudah dilanjutkan dengan menganalisis aspek lain dari relasi manusia dengan makanan.

Monday 3 April 2023

Puisi: untuk: Genrifinaldy

Transverse Line (1923) by Kandinsky



Hari meniadakan semua yang kau tahu:

Aku melihat kau mengarsipkan lembaran takut
yang membukukan kecemasan pada hitam bola mata

Aku juga melihat kau membeli rasa sakit
untuk menandai kecemasan dengan hitam tinta

Hitam akan menegakkan kecemasan
dan kemasan yang kau gunakan

kau berharap mencintai takdir
tetapi kekalahan mencintaimu telak
dengan lembaran yang lebih tebal dari nalar
dan semua buku yang sudah kau cumbu

Hari-hari meniadakan semua yang kau tahu
yang bisa kau namai adalah batas mampu
keterbatasanmu ialah pintu baru
mendobraknya melukai tata waktu

kuyakini, pengetahuanmu:
sayap yang menebas udara
seperti partikel cahaya yang membuat kau terjaga
dan waktu semesta kan menemukan cara menjagamu
dari mati yang selalu kauidamkan

hingga buku kecemasan yang tertumpuk
tebal pada manik mata akan terbakar
dalam waktu: yang meniadakan semua yang pernah kau ketahui.

(2022)

*****
Ditulis oleh Kristal Firdaus
#MenulisKilatIngatan Bagian 4