Monday 14 November 2022

Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup

“Kau, janganlah mencari (adalah kesalahan untuk mengetahui) akhir yang telah diberikan para dewa kepadaku dan kepadamu, Leuconoe, apalagi mempercayai angka-angka dari Babilonia. O sungguh lebih baik menanggung apa pun yang akan terjadi! Apakah Jupiter masih memiliki banyak musim dingin, atau ini yang terakhir; yang membuat gelombang laut Tirenia terus melemah karena memaksa melawan bibir laut. Bijaklah, saring anggurmu; hidup ini singkat; haruskah kita berharap lebih kepada waktu? Sewaktu kita berbicara, waktu yang membuat cemburu telah surut dan pergi: rampaslah hari ini, dan taruh rasa percaya yang sedikit pada esok hari." —Horace, Odes (seri 1; puisi nomor 11) circa 23 SM.

Kira-kira seperti itulah puisi yang ditulis oleh Quintus Horatius Flaccus, atau yang lebih dikenal sebagai Horace—dalam buku Odes—yang terbit pada tahun 23 sebelum masehi. Lantas apa makna implisit dalam puisi yang dikarang oleh penyair Romawi tersebut? Adalah Carpe Diem. Apa itu? Dan yang terpenting, apakah itu penting?

Pendek kata, Carpe Diem adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika ditafsirkan secara kasar bermakna: Petiklah hari ini. Sejatinya, frasa tersebut merupakan bagian dari frasa yang lebih panjang. Versi lengkapnya adalah carpe diem, quam minimum credula postero” yang dapat diterjemahkan sebagai Rebutlah hari ini, berikan sedikit kepercayaan pada esok hari (masa depan).

Secara tersirat, Odes tersebut ingin mengatakan bahwa masa depan tidak dapat diprediksidan kita tidak boleh membiarkan kejadian di masa depan terjadi begitu saja. Kita haruslah memaksimalkan hari iniagar masa depan menjadi jauh lebih baik.

Carpe Diem juga berarti bahwa seseorang harus bertindak sejak hari ini, dan tidak menunggu masa depan. Dengan kata lain, parafrasa ini sama dengan memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Sekaligus memberi kita petuah agar jangan menunda-nunda sesuatu.

Hantu-hantu Kecemasan

Kini, pertanyaannya adalah mengapa kita harus menyuarakan kembali frasa usang seperti Carpe Diem itu di masa sekarang?

Karena hidup manusia hari ini ada di zaman gangguan media sosial. Ketika di antara kita memeriksa ponsel lebih dari ratusan kali dalam sehari, dan lebih tertarik untuk menjadi penonton kehidupan orang lain di layar gawai, ketimbang menghidupi realitas yang ada dan benar-benar nyata.

Ditambah lagi, manusia ada di depan distopia baru bernama hiperealitas (ketidakmampuan kesadaran hipotetis untuk membedakan kenyataan dan fantasi, khususnya di dalam budaya pascamodern berteknologi tinggi).

Skenario terburuknya, jika boleh meminjam aporisma Nietzsche, manusia modern adalah entitas yang akan menyaksikan bagaimana kedigdayaan AI (kecerdasan buatan) menjadi tuhan-tuhan baru. Konsekuensi paling logisnya, konsepsi manusia terhadap waktu semakin bias. Seperti tidak ada masa kini karena telah dibius oleh masa depan. Manusia semakin kehilangan fokus pada hari ini dan terlalu larut dalam utopia-utopia masa nanti.

Sialnya waktu terus berjalan, zaman terus berlari, dan manusia semakin sulit untuk menghidupi hari. Sebab, manusia dipaksa menghidupi kosakata semacam globalisasi, digitalisasi, revolusi industri, dan isasi-isasi berbau futuristik lainnya. Manusia dininabobokan oleh jargon-jargon masa depan. Sampai-sampai pikirannya terjangkit penyakit-penyakit kecemasan seperti terlalu mencemaskan hari esok. Namun di sisi lain, malah menyia-nyiakan hari inihari yang ada di depan matanya sendiri.

Jika melihat pada data yang ada, angka penderita gangguan kecemasan (anxiety) telah meningkat sebanyak 15% dari tahun 2005. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dari tahun 2015 menunjukkan bahwa sekitar 264 juta orang menderita gangguan kecemasan.

Belum lagi Pandemi Covid-19 yang tidak berkesudahan. Membentuk kegamangan manusia akan masa depan selangkah lebih nyata. Menjadikan batas antara kehidupan dan kematian semakin dekatyang pada akhirnya memproduksi kenyataan baru bahwa manusia hidup di bawah bayang-bayang ketakutan akan kematian.

Data dan hipotesis di atas seakan melahirkan alasan kuatmengapa harus merevitalisasi makna Carpe Diem. Sebab filosofi yang dikandungnya berguna bagi manusia yang acap kali dihantui kecemasan. Di dalamnya akan ditemukan wacana besar bahwa, setiap manusia haruslah menikmati fragmen-fragmen insiden yang sedang berlangsung, meresapi keesoterisan momen ini, dan bukan lebih mengkhawatirkan tentang masa depan. Representasi sederhananya adalah dengan menjalani hari-hari tanpa dihantui ketakutan, dan menyikapi dengan tenang hal-hal yang belum tentu terjadi.

Epikureanisme

Carpe Diem biasanya dimaknai dengan latar belakang Horace yang bertopang pada filsafat epikureanisme. Sehingga pemaknaan Carpe Diem bukan untuk mengabaikan masa depan, tetapi lebih untuk menyadari bahwa masa depan dimulai dari hari ini.

Filosofi ini tentu tercermin dalam puisi-puisi Horace yang telah mewakili filsafat epikureanisme. Epikureanisme singkatnya adalah aliran filsafat yang didasarkan pada ajaran-ajaran Epicurus (Epikuros). Sistem filsafat ini beraliran materialisme yang tentu pada praktiknya sering kali menyerang gagasan-gagasan takhayul, mitos-mitos tertentu, kredo para dewa-dewi, dan intervensi ilahi.

Menurut Mazhab Epikureanisme, cara terbaik untuk menjalani hidup adalah dengan mengarahkan kesadaran manusia ke dalam keadaan ataraxia (bebas dari rasa gelisah, takut, atau cemas; tenang). Istilah dan doktrin ini berakar dari Yunani Kuno. Pertama kali digunakan oleh filsuf bernama Pyrronkemudian oleh Epicurus, dan kaum Stoik.

Selain itu, epikureanisme menggambarkan bahwa salah satu keadaan ideal adalah keadaan yang disebut dengan aponia (keadaan yang absen dari rasa sakit). Perpaduan antara aponia dan ataraxia inilah yang dipandang sebagai puncak kebahagiaan.

Pendiri filsafat ini, Epicurus, percaya bahwa kebahagiaan adalah kebaikan terbesar dan tertinggi. Dan seperti Mazhab Filsafat Helenistik lainnya, kaum Epikurean percaya bahwa kebahagiaan adalah tujuan hidup manusia. Oleh karena Horace adalah seorang Epikurean. Maka Carpe Diem seakan menjadi kepingan puzzle terakhir yang memungkinkan manusia mencapai keadaan bahagia total ala epikureanisme.

Kesalahpahaman di Baliknya

Sayangnya, filosofi Carpe Diem terkadang disalahpahami. Mungkin karena frasa ini berhubungan langsung dengan epikureanisme sebagai pandang filsafat yang juga sering disamakan dengan gagasan-gagasan hedonisme. Tidak mengherankan, mengingat epikureanisme sekilas mirip dengan hedonisme yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebahagiaan sebagai kebaikan intrinsik.

Distingsi antara epikureanisme dan hedonisme terletak pada usaha-usaha untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Hedonisme mencari kebahagiaan atau kesenangan dengan foya-foya secara materialistik. Ini tentu berbeda dengan epikureanisme yang menekankan pada gagasan hidup sederhana, dan menyebut tidak adanya rasa sakit sebagai kebahagiaan terbesar.

Esensi Carpe Diem juga kadang kala disalahartikan sebagai makan dan minumlah, karena besok kita akan mati. Pemaknaan lebih jauh dari Carpe Diem sebenarnya hanya digunakan untuk membenarkan tindakan spontan serta memanfaatkan hari ini sebaik mungkin, agar manusia tidak mengulangi kebodohan yang sama.

Implementasi Carpe Diem pada kehidupan sehari-hari secara tidak langsung membuat manusia menikmati momen ini, hari ini, jam ini, menit ini, detik ini. Bahwa manusia memang harus menikmati hidup yang dimiliki saat ini. Yang pada akhirnya akan menyadarkan manusia bahwa, kekhawatiran yang berlebih bisa memperburuk keadaan, dan hanya membuat dirinya terkungkung pada stres yang tidak tercegah.

Dan pada akhirnya, Carpe Diem juga berarti membuat keputusan yang berani, agar tidak menyesal di kemudian hari. Tentu agak sedikit berbeda dengan Amorfati versi Nietzsche yang berarti belajar mencintai pilihan yang sudah dibuat. Namun, yang menjadi narasi dan pertanyaan utama adalah berani atau tidak kita, sebagai manusia membuat keputusan tanpa penyesalan? Berani atau tidak hidup tanpa belenggu masa lalu dan tanpa kecemasan akan masa depan?

Terakhir, di tengah cepatnya dunia dewasa ini menghidupkan kembali makna Carpe Diem adalah salah satu pilihan waras yang bisa untuk diambil. Masa lalu adalah masa lalu, masa depan adalah masa depan, dan masa kini adalah apa yang benar-benar penting. Jangan meratapi pada apa yang hilang, fokus pada apa yang seharusnya datang. Hiduplah di saat ini, di momen ini, tanpa terbebani hidup sebelumnya atau selanjutnya.

Wednesday 9 November 2022

Pengarang Harus Mati untuk Membuat Hidup Pembaca

“Literature is that neuter, that composite, that oblique into which every subject escapes, the trap where all identity is lost, beginning with the very identity of the body that writes.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang telah mati atau kematian pengarang (the death of author) adalah kapak pascastrukturalis yang memecah lautan beku dalam tubuh-sastra sebelum abad ke-20—meminjam interteks Kafka, novelis gigan abad 20-an. Melalui esainya yang inovatif itu Barthes secara radikal melawan konvensi: analisis teks yang berpusat pada pengarang, pribadinya, hidupnya; dengan kata lain, melawan kritik sastra klasik yang menganalisis karya sastra dalam konteks di luar teks yang ada—hal-hal personal atau aspek biografis pengarangnya.

Pascamodernisme

Selain warta kematian Tuhan à la Nietzsche sang avant-gardist, wacana kematian pengarang Barthes pun berhubungan langsung dengan pascamodernisme yang menggebrak dan mendobrak berhala idée fixe dan kemapanan. Gerakan pascamodern menggugat bangunan konsep-pemikiran di era-era sebelumnya, mencari kemungkinan kebaruan, merelatifkan yang mutlak, dan sering kali menggunakan gaya-mode dari masa lalu di luar konteks aslinya. Seniman pascamodern, misalnya, memiliki kebolehjadian tinggi untuk menyatukan romantisme Goya, naturalisme Schjerfbeck, realisme Manet, impresionisme Monet, fauvisme Matisse, ekspresionisme Kandinsky, kubisme Picasso, dadaisme Duchamp, dan surealisme Magritte—dalam satu kanvas seni kolase digital (yang bisa dipastikan berformat PNG dan akan dijual sebagai NFT dengan harga yang tak pernah masuk akal).

Menyoal sedikit perihal transisi budaya, Modernisme ditandai oleh idealisme dan dogmatisme pada akal dan kemajuan-kemajuan—sedangkan Pascamodernisme menawarkan semacam keskeptisan epistemologis yang menantang gagasan tentang kebenaran universal yang sudah final tersebut. Kembali pada topik utama, setelah mengadaptasi kata ‘dekonstruksi’ dari kata ‘destruksi’ dalam pemikiran Heidegger filsuf dengan berjuta istilah teknis, Derrida sang filsuf pascastrukturalis, berkata: “Il n'y a pas de hors-texte; tak ada apapun di luar teks.”—dan meramaikan diskursus mengenai kematian sang pengarang. Gagasan ini disalahartikan karena semua ide terkandung dalam bahasa dan tak ada seseorang pun yang mampu keluar dari bahasa.

Derrida juga mengatakan bahwa sifat bahasa itu tak stabil dan tak tertata. Konteks yang berbeda dan ketastabilan ini akan melahirkan makna yang berbeda-beda pada satu kata, misalnya, kata “kiri” di kepala seorang politikus dan di kepala seorang sopir angkot memiliki konotasi yang berbeda—yang pertama merujuk pada spektrum politik yang mendukung kesetaraan sosial dan egalitarianisme, yang berlawanan dengan sistem hierarki sosial sayap kanan; yang kedua merujuk pada kata ganti dari “berhenti” yang diucap penumpang angkot sebab ia sudah sampai di tujuannya dan akan turun di situ.

Mengapa Harus Pengarang Mati?

Criticism still consists for the most part in saying that Baudelaire’s work is the failure of Baudelaire the man, Van Gogh’s his madness, Tchaikovsky’s his vice. The explanation of a work is always sought in the man or woman who produced it, as if it were always in the end, through more or less transparent allegory of the fiction, the voice of a single person, the author ‘confiding’ in us.”
—Barthes, La mort de l'auteur (1968)

Pengarang, pada praktiknya, biasanya tak pernah memberi ruang pemaknaan kepada pembaca—pengarang hampir selalu menjadi sosok yang otoriter, yang dominan mengintervensi, bahkan yang menciptakan palu penunggal makna pada teks-teks karangannya. “Pembaca adalah ruang di mana semua penetapan yang membentuk sebuah tulisan ditorehkan tanpa ada yang hilang; kesatuan teks tak terletak pada asal-muasalnya, tetapi pada tujuannya”—tambah Barthes dalam esainya. Dengan demikian, dia seperti lebih menekankan kepada “tujuan” dari teks itu sendiri: sang pembaca.

Lebih lanjut, La mort de l'auteur berpendapat bahwa karya sastra tak boleh dianalisis dengan pisau bedah berupa hal-hal dan data-data personal yang mengarangnya. Lantas mengapa harus demikian? Pemahaman ini berangkat dari perspektif bahwa analisis yang baik adalah analisis yang hanya berpusat pada sesuatu yang dianalisisnya. Dengan demikian, pengarang harus mati untuk membidani kelahiran pembaca—kelahiran makna-makna baru dari setiap pembaca.

Bagaimana Pengarang Mati?

Apa-apa yang dituliskan-dilisankan di luar teks itu sendiri berarti tafsiran atau interpretasi, bahkan jika itu dilakukan langsung oleh pengarangnya. Ketika sebuah teks terpublikasi di media cetak atau media elektronik, misalnya, maka pengarang telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca tulisannya sendiri. Ketika pengarang mati dan hidup kembali sebagai pembaca yang membaca karangannya sendiri, ini artinya kedudukannya sama seperti para pembaca lain. Setiap pembaca memiliki kebebasan paripurna untuk menafsir sebuah teks tanpa campur tangan pemaknaan pengarangnya—hal di luar teks tersebut.

Dalam teks-teks sastra, kematian pengarang adalah kematian narator yang mahatahu macam Tuhan dan sang pengarang yang haus akan kehadirannya di dalam tubuh sebuah teks. Jika ditarik ke dalam sesuatu yang lebih sakral—satu kitab suci yang bercorak lingua sacra (bahasa liturgis) karangan Tuhan yang dibaca seribu manusia yang berbeda adalah seribu kitab suci yang berbeda—meminjam interteks pembuat-film-intelektual Tarkovsky dalam bukunya Sculpting in Time (1989).

Andaikata Tuhan selesai mengarang kitab suci bagi manusia, maka ia telah mati dan hidup kembali sebagai pembaca. Yang tersisa, pada akhirnya, hanyalah interpretasi, hanyalah tafsiran. Maka adalah kekonyolan yang luar biasa tak perlu apabila seorang pembaca merasa mengetahui seluruh pikiran Tuhan (pengarang) kemudian menyalah-nyalahkan interpretasi pembaca lain yang tak sesuai dengan pembacaannya.

Kematian Pengarang Secara Lebih Luas

Dalam konteks budaya, kematian pengarang adalah penolakan terhadap inaugurasi satu sosok penemu—sebab penemuan tampaknya ada sebagai kemungkinan yang mendahului penemunya, dan penemunya hanya memvalidasi ide-ide yang sudah ada. Ada kecurigaan mendasar yang rasional, bahwa secara umum budaya modern memiliki semacam kecondongan narsistik—cara pandang dan pengambilan sudut pandang para penulis buku-buku sejarah terlalu figur-sentris: secara historis umum ditulis bahwa Benua Amerika ditemukan oleh Colombus—pedahal, 500 tahun sebelum penjelajah Italia itu mendaulat dirinya sendiri sebagai penemu pertama—bangsa Viking sudah sampai di sana. Contoh lain, penemuan listrik, masyarakat umum mengatribusikannya kepada Franklin semata—meskipun kerja-kerja penelitian-penemuan lebih mungkin sebagai kerja kolektif ketimbang perseorangan.

Sastra sebelum La mort de l'auteur, dalam konteks ini, seperti tak memberi ruang bagi pembaca—sebab seluruh ruang sudah dihuni oleh pengarang. Tapi ada pertanyaan yang fundamental dari bahasan ini—“apa itu pengarang?”—pertanyaan yang sama seperti kuliah tentang teori sastra yang diberikan di Société Française de Philosophie pada 22 Februari 1969 oleh filsuf Prancis Foucault. Untuk menjawabnya, nampaknya kita mesti menanamkan persepsi bahwa sebuah teks tak mungkin seratus persen orisinal dan dapat benar-benar diciptakan oleh seseorang. Teks memiliki kemungkinan besar terdiri dari susunan kalimat atau gagasan yang sudah ada sebelumnya dan tak lebih dari repetisi-reproduksi makna.

Pengarang sejatinya tak benar-benar mengarang, melainkan hanya seseorang yang menyusun teks-teks yang sudah ada sebelumnya. Tak ada yang benar-benar baru di zaman pascamodern, segalanya hampir telah ditemukan, semua kata hampir pernah dikalimatkan—meminjam Jenny-nya Stevy dengan sedikit kurasi dan improvisasi. Pada akhirnya, kita lagi-lagi memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: “tak ada fakta, hanya ada interpretasi!”

Referensi:

Barthes, Roland. 1968. La mort de l'auteur. American journal Aspen; 

Derrida, Jacques. 1997. De la grammatologie. Johns Hopkins University Press; 

Aylesworth, Gary, "Postmodernism", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Spring 2015 Edition), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/spr2015/entries/postmodernism/>; 

Kafka, Franz. 1904. Letter to Oskar Pollak;
Tarkovsky, Andrei. 1989. Sculping in Time. University of Texas Press; 

Ford, A.  Classical Criticism. Oxford Research Encyclopedia of Literature. Retrieved 22 Oct. 2022, from https://oxfordre.com/literature/view/10.1093/acrefore/9780190201098.001.0001/acrefore-9780190201098-e-967.

Friday 4 November 2022

Beberapa Hal yang Bisa Kutuliskan perihal Cinta dalam Sekali Duduk

“... memercayai seorang perempuan, maka kau akan menyesalinya; tak memercayainya, kau juga akan menyesalinya … pada akhirnya, kau akan menyesali keduanya. tuan-tuan, ini adalah esensi dari semua filsafat.”
—Kierkegaard, Either/Or (1843)

beberapa waktu lalu, aku melihat video viral di media sosial tentang seorang lelaki yang akan memberi kejutan untuk pasangannya—singkat cerita, ia datang ke rumah kos pacarnya itu ... alih-alih mengalami momen romantis, ia malah mendapat pengalaman traumatis, sebab mendapati perempuannya tertangkap basah telah tidur dengan lelaki lain. hal pertama yang kulakukan setelah melihat tayangan (yang lebih horor dari film The Wizard of Gore) itu adalah secara spontan melempar ponsel di genggaman. maksudku, what a cruel reality we live in! tak ada satu pun manusia yang pantas merasakan rasa sakit sedemikian gigan itu.

setidaknya ada 5W + 1H (waduh, waduh, waduh, waduh, waduh + hadeuh) yang kuucapkan dalam hati. lima kali ‘waduh’ kuucapkan ketika menonton, satu kali ‘hadeuh’ ketika selesai menontonnya. aku pun terlampau emosi dibuatnya, meski tak sebanyak ketakutan yang kurenungi setelahnya. aku takut jika hal tersebut kualami suatu saat nanti, namun, kupikir ... jika memang itu kualami, maka mungkin saat itu juga aku akan bagaimanapun caranya membeli revolver berkaliber .44 berisi 7 peluru: 1 peluru akan kutembakkan ke dada pacarku, 1 peluru untuk kelamin lelakinya, & 5 peluru untuk kepalaku. terdengar cukup Rimbaud-Verlaine dengan sentuhan Joker yang membaca Schopenhauer, memang.

selain menyakitkan, cinta mungkin pula memusingkan. aku sesekali berpikir bahwa cinta, khususnya kepada pasangan—alih-alih seperti lukisan Mondrian yang rapi, simpel, & simetris—cinta lebih serupa lukisan Pollock yang abstrak, kompleks, & membingungkan, tetapi pada akhirnya tetap saja selalu laku terjual mahal. mungkin karena aku beranggapan bahwa hidup-kehidupan adalah peperangan yang paling sunyi ... berisi rentetan katastrofi yang meremas-remas pikiran-perasaan—& cinta adalah ekspresionisme abstrak pascapeperangan yang “berisik”, yang muncul secara alami sebagai respons dari kelelahan, kehampaan, kengerian, & kecemasan konstan.

seorang yang waras tahu bahwa cinta mengandung bahaya-bahaya tertentu. ia juga memiliki potensi yang begitu tinggi memulai peperangan baru; yang jauh lebih melelahkan dari mengikuti alur novel Dostoevsky setelah melakukan perjalanan paling panjang di akhir tahun yang terasa lambat. tak terhitung berapa banyak kisah cinta yang harus berakhir tragis atau secara sengaja dibuat berakhir tragis agar monumental & kekal: Romeo-Juliet, Layla-Qays, Hamlet-Ophelia, Nietzsche-Lou, Kierkegaard-Regine, Tom-Summer, Joel-Clementine, dlsb. tak terhitung pula berapa banyak ketololan yang memalukan, yang diakibatkan oleh perasaan cinta berlebihan, yang kupikir tak perlu juga aku tekskan secara panjang x lebar x tinggi sebab akan terlalu lucu gobloknya.

kita selalu menipu diri kita sendiri sebanyak dua kali tentang orang yang kita cintai—pertama untuk kelebihan-kelebihannya, lalu untuk kekurangan-kekurangannya, katanya Camus. iya, cinta memungkinkan coklat Ayam Jago terasa seperti coklat Cadbury, es kul-kul terasa seperti es krim Magnum, air mata terasa seperti anggur putih Pinot Noir, hujan terasa seperti saudade tiba-tiba Magellan kepada daratan, red flag terasa seperti bendera USSR di atas Gedung Reichstag, omong kosong terasa seperti janji mesra sebelum koda seorang protagonis di telenovela, jarak terasa seperti tempat persalinan di mana sajak-sajak Gibran, Nizar, Rumi, & Neruda dilahirkan. cinta, diam-diam dengan piawai brengseknya mampu memanipulasi realitas seseorang. Agnes bukan Agnés, bukan Varda, benar sekali lagi, cinta tak ada logika.

akan tetapi, di sisi lain, mungkin pula tak ada seorang pun manusia yang benar-benar memahami cinta—sebab kita hanya mampu merasakannya—& tak ada “kegentingan” untuk memahaminya. tanpa bermaksud untuk mengadvokasi kebahlulan luar biasa akibat cinta, dalam konteks ini, aku setuju dengan Nietzsche seperti kritiknya pada Euripides & Estetika Socrates (yang menjadi induk pengetahuan modern) yang terlalu menuhankan rasionalitas & akal budi. secara implisit dia mengatakan bahwa tak semua hal mesti dipahami ... beberapa hal tertentu, mungkin hanya harus dirasakan-diresapi.

“mula-mula, Descartes berkata: aku berpikir, maka aku ada. lalu Camus bersuara: aku berontak, maka aku ada. setelahnya seorang pembucin kuadrat bersabda dalam keterbucinan: aku bucin, maka aku ada ... & aku ada untuk bersaksi bahwa tiada perempuan selain dirimu, sayangku.”

menurut de Beauvoir, hasrat untuk mencintai-dicintai, merupakan bagian dari struktur eksistensi manusia. Sartre, FWB-nya de Beauvoir, berujar bahwa cinta adalah rasa aman—masalahnya, rasa aman ini merupakan ilusi yang menutupi fakta bahwa cinta adalah marabahaya. Chairil menulis, cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. aku mengarang, cinta berada di tengah-tengah antara kotak pandora & kuda troya.

sependek pengalamanku, cinta itu mengasyikkan, tetapi secara simultan mencurigakan & patut dicurigai dengan dosis kecurigaan yang sama seperti menilai cerpen asik-menarik, tetapi berisi plot Deus Ex Machina. iya, cinta itu mengasyikkan, atau tepatnya menyenangkan, sebab bertemu dengan kekasih setelah dihantam kerinduan adalah ekstase yang tak terbahasakan. berciuman, atau khususnya ciuman pertama pun adalah salah satu perasaan ternikmat-terbaik yang bisa dirasakan. cuddling, tentu saja, lebih heavenly lagi. jika Nietzsche adalah seorang hiperseks & tak mati secara jomblo mungkin dia akan berkata: tanpa bercinta, hidup adalah kesalahan. tapi itu cinta jika dilihat hanya sebagai yang baik-baiknya saja.

katanya Fromm di buku The Art of Loving:
cinta adalah pilihan, adalah keputusan, adalah janji. jika cinta hanya sebuah perasaan, tak akan ada dasar untuk berjanji untuk saling mencintai selamanya. sebuah perasaan datang & mungkin pergi begitu saja. alih-alih “pilihan”, aku lebih setuju cinta sebagai “kompromi”. tapi dusta manalagi yang mau kita nikmati atas nama cinta, sayangku? hari ini aku bisa jadi matahari, besok aku bisa jadi pluto, besok-besoknya lagi kau bisa jadi nebula & aku jadi lubang hitam yang menyedot habis semua kemurungan, dukalara, & kenoiran. tapi, kira-kira, apa yang lebih buruk dari tak pernah dicintai seseorang atau tak pernah merasakan cinta sama sekali? 

mungkin adalah berada dalam hubungan cinta bersama orang yang salah di waktu yang juga salah. katanya Derrida: siapapun yang mulai mencintai, jatuh cinta, atau berhenti mencintai, terjebak di antara siapa mencintai siapa & apa itu cinta. mungkin, cinta adalah buku fiksi berjenis prosa setebal 3000 halaman ... yang ketika dikhatamkan, pembacanya akan selalu kembali pada bab pertama: “apa itu cinta?”.

entahlah ...


Wednesday 2 November 2022

Apollonian-Dionysian Nietzsche dan Penolakan Kehendak Schopenhauer (Esai Translasi)

Ditulis oleh Fernando Olszewski (@ExiladoMetafísico) dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Salah satu tesis Nietzsche dalam The Birth of Tragedy—adalah tentang bagaimana tragedi Yunani—merupakan produk sintesis antara dua impuls artistik yang begitu kontras, Apollonian dan Dionysian. Tapi apa sebenarnya makna dari dua impuls tersebut? Pertama-tama, orang Yunani kuno memiliki kebijaksanaan populer—berasal dari kepekaan kuat mereka—mengarah menuju pandangan dunia yang pesimistis:

“Mampu mengalami penderitaan besar, amat rentan terhadap rasa sakit—sangat masuk akal bila orang Yunani dalam kondisi ini berbahaya bagi kehidupan: kekejaman yang menyakitkan bagi eksistensi, bisa membawanya menuju pesimisme, menuju penolakan eksistensi itu sendiri.” (Machado, 2017)

Nietzsche mempertimbangkan kebijaksanaan populer Yunani ketika dia menulis bahwa, dalam mitos, raja Midas menemukan Silenus, dewa tarian dan anggur, di hutan dan bertanya kepadanya perihal sesuatu yang paling diinginkannya. Silenus, yang sering mabuk-mabukan dan bernyanyi—sebenarnya, telah menjadi kawan dewa Dionysus/Bacchus—menolak untuk menjawab, tetapi setelah raja bersikeras, dia mengatakan bahwa hal terbaik adalah di luar jangkauan manusia: tidak dilahirkan. Maka hal terbaik kedua adalah mati sesegera mungkin.

Menurut Nietzsche, Seni Yunani berangkat dari sini. Semenjak seni dan kepercayaan praktis melebur bersama di Yunani, penciptaan dewa-dewi Olympus merupakan jawaban atas masalah eksistensial yang dirangkum dalam Kebijaksanaan Silenus. Apollo, salah satu Olympians, diperlakukan oleh Nietzsche sebagai simbol ukuran, peradaban, proporsi yang indah, “yang berfungsi sebagai semacam tembok besar yang menjaga alam di teluk”, sebab realitas yang ada kacau-balau, menyakitkan, mematikan, dan selalu dalam perubahan konstan.

Seni Apollonian memiliki representasi terbesarnya dalam epos Homeros, dengan para pahlawan dan dewa-dewinya yang indah. Di hadapan kebijaksanaan pesimistis yang cenderung memusnahkan kehidupan, seni Apollonian muncul untuk menjustifikasi kehidupan, untuk mengklaim bahwa kehidupan itu baik, bahwa manusia memiliki nilai baik secara kolektif maupun secara individu. Dorongan Apollonian juga merepresentasikan individuasi, yang mendefinisikan setiap hal di dunia sebagai sesuatu itu sendiri daripada sesuatu yang lain. Ada semacam kebutuhan untuk mengatur—di dunia yang coba ditangani oleh dorongan artistik ini.

Sangat penting untuk memperjelas bahwa dewa-dewi Olympus dan seni yang menyertainya, meskipun berfungsi sebagai pertahanan terhadap alam yang tidak teratur, bukanlah bentuk eskapisme dari dunia. Sebaliknya, seni Apollonian menancapkan akarnya di dunia dan bermaksud mengaturnya: keberadaan dan kehidupan di dunia ini berharga karena seni Apollonian. Bukan sebentuk pelarian dari dunia menuju realitas yang hanya dapat dicapai dengan kenaikan/pencerahan, agama Olympians (agama politeistik—yang paling umum disembah adalah dua belas dewa—dewi Olympian: Zeus, Hera, Poseidon, Aphrodite, Athena, Artemis, Apollo, Hephaestus, Hermes, Demeter, Ares, dan Hestia) dan puisi Homeros berusaha menciptakan benteng dalam realitas— mempertahankannya dari “gangguan alam” yang menyakitkan, kaotis, jelek, dan menyebabkan begitu banyak penderitaan.

Pendek kata, tidak ada keindahan dalam apa yang natural, tetapi hanya dalam apa yang diatur. Keindahan terdiri dari “wujud”. Wujud inilah yang membuat hidup jadi kita inginkan:

“Untuk melepaskan diri dari kebijaksanaan populer yang pesimis, orang Yunani menciptakan dunia yang indah, alih-alih mengungkapkan kebenaran dunia, itu adalah strategi agar kebenaran ini tidak keluar dan membuat orang-orang Yunani menjadi pesimistis.” (Machado, 2017)

“Wujud” diperlukan, sebab yang-mahaprimordial, realitas metafisik yang ada di balik segala sesuatu, membutuhkan wujud yang indah agar dapat membebaskan dan mengindividualisasikan dirinya tanpa menghancurkan dirinya sendiri. Yang-primordial ini dilihat oleh Nietzsche dengan cara yang sama seperti Schopenhauer melihat Kehendak: adalah apa yang nyata di balik dunia wujud. Tapi itu adalah kenyataan yang tidak mungkin untuk ditoleransi, dan itulah sebabnya seni Apollonian diciptakan. Dorongan Apollonian adalah apa yang membawa ketertiban, individuasi, Negara, dll.

Apollonian adalah tahap pertama yang dianalisis oleh Nietzsche. Tahap kedua adalah seni Dionysian, yang berasal dari kultus yang datang dari luar Yunani dan akhirnya dianut oleh Yunani. Kultus-kultus ini memiliki sosok dewa yang liar, pengembara, pemabuk, dan orgiastik—Dionysus. Meskipun dorongan Apollonian merepresentasikan mimpi dalam kenyataan—mimpi peradaban, mimpi wujud-wujud dan proporsi yang indah, individual, teratur, dan terukur—dorongan Dionysian membawa serta keinginan untuk kembali ke yang-primordial, dunia Kehendak, yang alami, kaotis dan tanpa ukuran. Dionysian merayakan aspek-aspek realitas ini, mencari lebih banyak pengalaman mistik tentang penyatuan dengan segala sesuatu ketimbang menghasratkan keteraturan dan pemisahan. Ini merepresentasikan bahaya tidak hanya untuk seni Apollonian dan dewa-dewa Olympus, tetapi juga untuk cara hidup orang Yunani, sebab seni Apollonian dan kepercayaan Olympus adalah sesuatu yang menopang gagasan tentang apa yang membuat seseorang bisa dikatakan sebagai orang Yunani.

Kemabukan memproduksi jalan pulang ke keadaan alami di mana tidak ada diferensiasi, yang mengguncang fondasi eksistensi, karena itu mengungkapkan sekali lagi kepada orang Yunani bahwa situasi di tempat yang mereka tinggali hanyalah mimpi peradaban, individualitas, ketertiban, dan keindahan. Dan jika ini semua hanya mimpi, kita kembali ke Kebijaksanaan Silenus: lebih baik tidak dilahirkan; hal terbaik kedua adalah mati secepatnya. Menurut Nietzsche, inilah saat bentuk baru ekspresi seni datang untuk menyelamatkan orang Yunani dari pesimisme sekali lagi: tragedi. Mengutip Roberto Machado, dalam Nietzsche and the Truth:

Jenis seni baru ini (tragedi)—yang merepresentasikan epitome peradaban Yunani—tidak bermaksud untuk membangun parit lain, sekat lain, tembok besar lain yang menghentikan pintu masuk dan perluasan Dionysian, seperti yang ingin dilakukan oleh seni Apollonian dan puisi epos. Ciri khas dari strategi artistik baru adalah mengintegrasikan, dan bukan untuk menekan, elemen Apollonian, mengubah kemuakan yang disebabkan oleh kengerian dan absurditas eksistensi dalam representasi yang mampu membuat kehidupan menjadi mungkin. (Machado, 2017)

Dan dalam kata-kata Nietzsche:

Tragedi itu indah—sejauh gerakan naluriah yang menciptakan kengerian dalam hidup memanifestasikan dirinya dalam tragedi sebagai naluri artistik, dengan senyumnya, seperti anak kecil yang sedang bermain. Apa yang menarik dalam tragedi itu sendiri adalah bahwa kita melihat naluri yang mengerikan menjadi naluri seni dan bermain di depan mata kita. (Machado, 2017, hlm. 37)

Seni tragis mampu menyatukan Apollonian dan Dionysian, wujud dan esensi, tabir Maya dan Kehendak. Namun, itu adalah persatuan yang tidak ditampilkan sebagai koeksistensi pasifis dan abadi, tetapi sebagai konflik antara dua kekuatan, di mana pengetahuan Apollonian untuk sementara dikalahkan oleh Dionysian. Artinya, menurut interpretasi Nietzschean, individuasi (yang diagungkan Apollonian) terungkap sebagai penyebab semua rasa sakit dan penderitaan kita.

Nietzsche menulis: 

“Bentuk paling universal dari takdir tragis adalah kekalahan yang menang atau kemenangan yang dicapai dalam kekalahan. Setiap kali individualitas kita dikalahkan: dan, bagaimanapun, kita merasakan kehancurannya sebagai kemenangan.” (Machado, 2017, hlm. 38)

Metafisika para seniman: “[...] merupakan konsepsi bahwa seni adalah aktivitas metafisik yang tepat dari manusia, konsepsi bahwa hanya seni yang memungkinkan pengalaman hidup sebagai sesuatu yang kuat, tak dapat dihancurkan, dan ceria— terlepas dari perubahan fenomena.” (Machado, 2017) 

Nietzsche melihat metafisika para seniman sebagai respons terhadap metafisika konseptual dan sains. Dia percaya bahwa seni tragis berumur singkat di Yunani, menghilang tiba-tiba, dan mengidentifikasi Euripides dan Socrates sebagai tokoh utama yang bertanggung jawab atas kematian tragedi.

Bagi Nietzsche, Euripides bertanggung jawab untuk mengurangi pentingnya dan penggunaan elemen yang dia anggap penting dalam tragedi: paduan suara yang tragis. Elemen ini, yang digunakan selama pertunjukan, adalah fokus utama dalam tragedi yang “mendahului” Euripides, tepatnya karena melalui paduan suara yang tragis, penonton dapat merasakan apa yang terjadi—dan tidak hanya memahami peristiwa dalam drama sebagai pelajaran moral atau apa pun itu. Tesis Nietzsche adalah bahwa tragedi tidak seharusnya dijelaskan, tetapi dirasakan, dan di situlah bagian penting dari tragedi terletak. Ini tidak hanya sebentuk katarsis, tetapi obat, tonik terapeutik yang membuat mereka yang menontonnya merasakan emosi mereka tanpa perlu mengekstraksi pemahaman yang lebih besar tentang bagaimana dunia berfungsi. Bukannya kita tidak bisa belajar darinya, tetapi pembelajaran ini lebih terhubung dengan afeksi (perasaan) ketimbang dengan intelektualitas (pikiran). Menurut Nietzsche, tanpa paduan suara yang tragis, hal ini tidak terjadi.

Euripides akan menjadi representasi Socrates dalam konteks seni tragis, dan oleh karenanya Nietzsche menyatakan dia sebagai penulis yang mempercepat “the death of tragedy”—benar-benar bunuh diri, karena Euripides menulis tragedi. Tesis Nietzsche menegaskan hal berikut: walaupun sebelum tragedi Euripides membuat penonton menyentuh “yang-nyata” tanpa perlu melihatnya dengan cara yang dapat dipahami, setelah Euripides kita kedatangan “estetika Socrates”, yang terjadi ketika penyair tunduk kepada filsuf, seseorang yang menganalisis dunia melalui akal dan bermaksud untuk memiliki pengetahuan tentang apa yang universal dan apa yang penting.

Tragedi, sebelumnya, tidak punya kebutuhan untuk menghubungkan peristiwa dengan “logika yang terlihat”, peristiwa tidak mesti memiliki sebab dan akibat yang eksplisit. Kepentingannya terletak pada bagaimana membuat penonton “merasakan”, bukan “memahami”. Hal ini, menurut Nietzsche, tidak dapat ditoleransi oleh para filsuf. Aeschylus dan Sophocles menulis tragedi mereka sehingga mereka dapat bertindak sedemikian rupa sampai menimbulkan perasaan mabuk vitalis kepada penonton. Euripides, sebaliknya, “[...] menjadi penyair rasionalisme Socrates: kritiknya terhadap seni adalah perpanjangan tangan dari kritik Socrates terhadap manusia yang menjalankan tugasnya menggunakan naluri karena mereka tidak-sadar.” (Machado, 2017)

Bertindak berdasarkan insting tanpa berusaha memahami apa yang dilakukannya tentu bertentangan dengan segala sesuatu yang dicari oleh filsuf, yaitu kejernihan pengetahuan saintifik. Pengetahuan tragis dan artistik, pemahaman semacam itu, yang menghubungkan penonton dengan yang-primordial, dengan Kehendak, tanpa perlu pemahaman yang jelas dan sadar tentang mekanisme metafisik—adalah sesuatu yang sepenuhnya dibenci oleh filsuf—dan Euripides adalah juru bicara filsuf di antara para penyair tragis. Filsafat Socrates, yang merupakan induk dari semua ilmu, termasuk ilmu pengetahuan modern—adalah pencarian pemahaman yang mendetil tentang alam. Ia berusaha menembus alam dan mengungkapkan esensi dunia di balik wujudnya. Meskipun kerudung Maya menutupi mata manusia, filsafat mengungkap dunia, mengungkapkan kebenaran di balik ilusi.

Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer, dan pengaruh ini begitu nyata dalam The Birth of Tragedy, buku pertamanya. Bagi Schopenhauer, esensi di balik wujud adalah Kehendak, sebuah kekuatan metafisik yang tunggal, tak lekang oleh waktu dan imanen, yang menjiwai semua keberadaan: dari kekuatan paling dasar fisika Newton hingga organisme paling kompleks. Kehendak tidak memiliki tujuan rasional, tujuan akhir, tetapi hanya kebutuhan mendesak untuk mengobjektifikasi dirinya dalam berbagai hal. Dari sinilah individuasi yang kita lihat di dunia material berasal. Meskipun kita tampak terpisah dalam representasi Kehendak, meskipun ada ilusi tatanan rasional yang dapat kita urai menggunakan kecerdasan dan pengamatan, esensi di balik ilusi multiplisitas alami ini adalah Kesatuan yang irasional dan kaotis:

[...] pemahaman yang dimiliki Schopenhauer tentang Kehendak, kita dapat mengatakannya, sebagai dorongan serampangan dan buta, sebagai kehausan hidup, Kehendak akan segera mengonkretkan ide dan secara tidak langsung mewujudkannya dalam fenomena. Untuk memuaskan hasratnya yang tidak henti-hentinya untuk hidup, kesatuan primitif Kehendak akan melipatgandakan dirinya melalui prinsip individuasi dan kausalitas, menyebarkan dirinya dalam banyak hal yang membentuk dunia fenomena, bahkan yang terkecil dan yang paling terisolir dari fragmen-fragmen ini pun akan tetap menjadi satu, produk dan ekspresi dari Kehendak. (Dias, 1997)

Kehendak, bagi Schopenhauer dan Nietzsche, adalah kaotis, tidak stabil dan menyebabkan rasa sakit serta penderitaan bagi makhluk hidup, di mana ia mengobjektifikasikan dirinya sendiri—rasa sakit dan penderitaan yang tidak memiliki tujuan lain selain untuk mengulangi representasi individu baru dari Kehendak.  Tapi meskipun bagi Schopenhauer seni bisa berfungsi sebagai penolakan temporer dari Kehendak, pelarian dari rasa sakit hidup yang kacau, bagi Nietzsche Kehendak itu artistik dalam dirinya sendiri, dan ia menebus dirinya sendiri dalam wujud yang dihasilkannya. Dan penebusan eksistensial ini tidak hanya terjadi melalui seni tragis, tetapi juga melalui seni Apollonian, misalnya. Selama momen Apollonian dalam seni Yunani, ada obat penawar rasa sakit dunia, untuk kenaturalan dan kemenjadian yang kaotis. Tragedi datang hanya untuk mendamaikan roh Apollonian dan Dionysian, sesuatu yang, bagi Nietzsche, menciptakan bentuk penebusan yang superior melalui seni. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, baginya, bahkan seni Apollonian sudah mampu membuat hidup lebih layak untuk dijalani:

Kebutuhan bahagia dari pengalaman seperti mimpi ini dengan cara yang sama diungkapkan oleh orang-orang Yunani pada Apollo: Apollo, dalam kualitas dewa yang memiliki kekuatan konfigurasi, pada saat yang sama adalah dewa ramalan. Menurut akar dari namanya yang “gemerlap”, keilahian cahaya, ia juga berkuasa di atas wujud indah dunia fantasi. Kebenaran superior, kesempurnaan keadaan-keadaan ini, dalam kontraposisinya dengan realitas umum, seperti celah dan dapat dipahami, diikuti oleh kesadaran mendalam tentang penyembuhan dan sifat masuk akal dari tidur dan mimpi, secara simultan merupakan analogi simbolis dari kemampuan meramal dan juga kemampuan artistik, yang dengannya kehidupan menjadi mungkin dan layak dijalani. (Nietzsche, 2005)

Ini sangat bertentangan dengan pesimisme Schopenhauer dan Kehendak-nya yang menyangkal etika, yang menganggap bahwa menjauhkan diri dari dunia sebagai respons definitif terhadap kondisi manusia. Dalam karya pertama Nietzsche kita menemukan apa yang kemudian disebut Pesimisme-Dionysian: 

“Adalah pesimisme romantis dalam bentuknya yang paling ekspresif, baik itu dalam Schopenhauerian tentang Kehendak, baik itu dalam musik Wagnerian [...] Bahwa masih ada pesimisme yang begitu berbeda dan klasik—intuisi semacam itu milikku [...]” (Nietzsche, 2001)

Sebagian besar, filsafat Nietzsche terdiri dari upaya abadi untuk menolak pesimisme yang menolak kehidupan à la Schopenhauer. Tentang tipe pesimismenya, dia menulis:

“[...] Pesimisme masa depan ini—dan itu akan datang! Aku sudah melihatnya datang!—aku menyebutnya Pesimisme-Dionysian.” (Nietzsche, 2001)

“Corak” pesimismenya ini akan menjadi varian dari pesimisme yang dia lihat dalam tragedi Yunani, yang merangkul kehidupan dengan segenap rasa sakit dan kemalangannya.

Kita hanya bisa berspekulasi apa yang akan Schopenhauer pikirkan tentang pesimisme Nietzsche. Namun tampaknya jelas bahwa dia akan menolaknya dan bahkan tidak akan menganggapnya sebagai pandangan negatif tentang eksistensi. Ketika kita membaca bagian-bagian the World as Will and as Representation, menjadi sulit untuk membayangkan Schopenhauer setuju dengan tesis bahwa kita harus merangkul kemenjadian dengan semua rasa sakit dan penderitaan yang terkandung di dalamnya. Seluruh filsafat Schopenhauerian seperti pendakian besar menuju puncak pengetahuan yang mengerikan: bahwa tidak ada hal baik yang bisa diperoleh dengan melestarikan keadaan yang kita sebut “kehidupan”. Bahkan seni, terutama musik, dengan segala keindahan dan kapasitas pelariannya, tidak mampu menang melawan Kehendak. Oleh karena itu, yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyangkal Kehendak dalam diri kita, bukan dengan membunuh diri kita sendiri, tetapi menjauhkan diri dari kehidupan. Bagi Schopenhauer: 

“[...] kita dapat menyebut penekanan otomatis yang total dan penolakan Kehendak ini sebagai kebaikan tertinggi, summo bonum, dan melihatnya sebagai satu-satunya dan cara radikal untuk menyembuhkan penyakit—yang kesemua caranya adalah anodin (obat pereda nyeri), yang hanya bisa meringankan.” (Schopenhauer, 2005)

Namun ada filsuf pesimisme lain yang mampu mengomentari filsafat Nietzsche sejak ia hidup pada abad ke-20: Cioran. Kita mungkin tidak tahu persis apa yang akan dipikirkan Schopenhauer tentang Pesimisme-Dionysian, tetapi kita memiliki pemikiran filsuf lain yang, dengan caranya, juga menyangkal kehidupan dan keberadaan dengan cara yang lebih mendalam dan ekstrem—sebab Cioran skeptis tentang postulat metafisika yang tepat. Penyangkalan hidupnya terjadi karena dia menganggap bahwa kesadaran sangat diperlukan dan tidak dapat dipisahkan dari rasa sakit dan penderitaan. Bagi Cioran, dilahirkan adalah mengada, dan keberadaan sama dengan penderitaan. Tentang Nietzsche, Cioran menulis:

Kepada seorang murid yang ingin tahu di mana aku berdiri sehubungan dengan penulis Zarathustra, aku menjawab bahwa aku sudah lama berhenti membacanya. Mengapa? “Aku menganggapnya naif ...” Aku menahan antusiasmenya, menentang semangatnya. Dia menghancurkan begitu banyak berhala-berhala hanya untuk menggantikannya dengan yang lain: ikonoklas palsu, dengan aspek ketidakdewasaan dan keperjakaan tertentu, kepolosan tertentu yang melekat dalam karier soliternya. Dia mengamati manusia hanya dari kejauhan. Seandainya dia mendekat, dia tidak akan bisa membayangkan atau mengumumkan übermensch (adimanusia) itu, angan-angan yang tidak masuk akal, menggelikan, bahkan aneh sekali, sebuah khayalan yang hanya bisa muncul dalam pikiran tanpa waktu, untuk mengetahui ketenangan panjang menjijikan dari ketidakmelekatan. Marcus Aurelius jauh lebih dekat denganku. Tidak ada keraguan sedikit pun antara lirisisme yang carut-marut dan prosa penerimaan: Aku menemukan lebih banyak kenyamanan, bahkan lebih banyak harapan, pada kaisar yang lelah ketimbang pada nabi yang bergemuruh. (Cioran, 1976)

Referensi: 

Cioran, Emil. The Trouble with Being Born. New York: Arcade, 1976. Tradução para o inglês de Richard Howard.

Dias, Rosa. “A influência de Schopenhauer na filosofia da arte de Nietzsche em O Nascimento da Tragédia” In Cadernos Nietzsche. n. 3, São Paulo, 1997.

Machado, Roberto. Nietzsche e a Verdade. São Paulo: Paz e Terra, 2017.

Nietzsche, Friedrich. O nascimento da tragédia. São Paulo: Cia das Letras, 2005. Tradução de J. Guinsburg.

A Gaia Ciência. São Paulo: Cia das Letras, 2001. Tradução de Paulo César Lima de Souza.

Schopenhauer, Arthur. O Mundo como Vontade e Representação. São Paulo: UNESP, 2005. Tradução de Jair Barboza.