Wednesday 19 October 2022

Manifesto Kesuraman: Menyoal Perihal Bunuh Diri, Penderitaan, dan Beban Kesadaran

“Haruskah aku bunuh diri, ataukah meminum kopi? Tapi pada akhirnya seseorang akan membutuhkan lebih banyak keberanian untuk hidup ketimbang bunuh diri.”

—Camus, La Mort heureuse (2013)

Kutipan di atas—adalah kutipan seorang filsuf-absurdis kenamaan asal Prancis (yang berkali-kali menolak dicap sebagai seorang eksistensialis) yang secara teknis, memang menegasikan konsep ‘harapan’. Seseorang yang punya mulut sebesar kolam lele dan otak sebesar tahi lele pun tahu bahwa kutipan tersebut suicidal, gelap, suram, cenderung nihilis serta pesimistis, dan seperti menyangkal kehidupan. Tapi apakah memang demikian—bahwa hidup sebegitu menyeramkannya? Apakah “mengada” sebagai seorang manusia merupakan keadaan-tak-menyenangkan yang sama sekali tak terbantahkan? Apakah kematian adalah panasea untuk kehidupan yang hanya berisi montase-montase penderitaan? Dan apakah penderitaan adalah problema yang ditimbulkan oleh “kesadaran”?

Bunuh Diri

Banyak dari kita menganggap bahwa tindakan bunuh diri adalah manifestasi dari kebodohan yang hakiki. Beberapa dari kita memandangnya sebagai keegoisan yang pandir dan keliru. Secara kesejarahan, khususnya sejarah Barat—di Yunani kuno, bunuh diri dianggap sebagai tindakan tercela. Seseorang yang telah melakukan bunuh diri, bahkan, tak mendapat upacara kematian (sesuai kultur-kepercayaan yang ada dan berlaku). Sebab mereka, pada dasarnya, lebih memercayai bahwa hidup adalah “hadiah”, adalah anugerah yang diberikan oleh para Dewa—bukan kutukan yang nauseatik (seperti yang secara implisit diungkapkan oleh Sartre, seorang filsuf-penulis-eksistensialis)—sehingga, membunuh diri sendiri merupakan sebentuk penghinaan kepada para Dewa.

Akan tetapi, apa makna dari mitologi kolektif tersebut di mata seseorang—yang secara depresif—melihat hidup-kehidupan sebagai sesuatu yang nirmakna? Seperti talang air di hadapan musim panas. Jika bunuh diri adalah respons paling rasional dari dunia yang secara fundamental tak bermakna—dedengkot filsuf Yunani, Socrates, secara implisit menyoal hal tersebut di dalam keyakinannya bahwa tubuh “menghalangi” pemahaman manusia akan makna. Pendek kata, dia mendefinisikan kematian sebagai proses “terpisahnya jiwa dari tubuh”—dengan kata lain, menegaskan bahwa kematian adalah satu-satunya proses di mana manusia dapat memahami konsep-konsep abstrak, misalnya terkait “makna eksistensial”. Interpretasi lebih luasnya—jika kita tak takut untuk hidup, kita semestinya juga tak takut untuk mati. Meskipun, orang-orang di Yunani kuno, pada akhirnya, memvonis mati Socrates atas tuduhan “keimanan” dan merusak pikiran kawula muda Athena. Namun melalui kematiannya yang monumental, Socrates sang martir mengajak kita agar jangan takut untuk menatap mata kematian (demi mempertahankan-menjalankan prinsip-prinsip yang diamini secara pribadi).


“Di detik-detik terakhir, sebelum eksekusinya, Socrates berkhotbah bahwa seorang filsuf seharusnya tak takut mati karena filsafat adalah praktik (untuk) mati.”

—Plato, Phaedo (2012)

Namun di sisi lain, Socrates bersikeras bahwa bunuh diri itu tetaplah salah, karena manusia adalah milik para Dewa. Muridnya, Plato, secara eksplisit, membahas bunuh diri di dalam dua bukunya. Pertama, Phaedo (380 SM)—di mana dia menyajikan semacam larangan ilahiah pada praktik bunuh diri—yang kemungkinan besar merupakan metafora untuk menjelaskan bahwa seseorang tak boleh mencoba untuk mati “sebelum waktunya”—sebelum seseorang itu punya “kecukupan” untuk menghadapi kematian. Kemudian, dalam The Laws (361 SM), Plato mengklaim bahwa bunuh diri—itu memalukan dan pelakunya harus dimakamkan di kuburan tak bernisan. Muridnya Plato, Aristoteles, bahkan mengutuk tindakan bunuh diri dengan lebih brutal dan nasionalis—dengan menyebutkan dua alasan penolakan moral: Pertama, bunuh diri adalah tindakan fatalis seorang eskapis yang pasti pengecut; kedua, bunuh diri adalah representasi ketakadilan terhadap negara dan secara ekonomis menurunkan pendapatan negara—atau sederhananya, merugikan negara.

Tapi kita mesti melupakan Socrates, Plato, atau Aristoteles, dan mengingat-ngingat kapan terakhir kali kita bertindak sebagai miniatur tuhan bagi individu lain—sebab bunuh diri itu sungguh kompleks dan tak sesederhana bahwa seseorang ingin mati saja. Tak ada yang benar-benar tahu apa motif terbesar-terkuat dari orang-orang yang melakukan bunuh diri. Namun ada beberapa buku, misalnya, Le Suicide (2013) karya Durkheim—sang sosiolog gigan, yang menyajikan studi sosiologis tentang fenomena bunuh diri. Berdasarkan data yang diperolehnya, Durkheim berpendapat bahwa bunuh diri tak hanya disebabkan oleh faktor psikologis atau emosional, tetapi juga oleh faktor sosial. Durkheim beralasan bahwa integrasi sosial, secara khusus, merupakan faktor yang paling memengaruhi. Semakin seseorang terintegrasi secara sosial—semakin kecil pula kemungkinan seseorang tersebut untuk melakukan bunuh diri. Secara cukup kontras, Freud—si psikolog yang tak kalah gigan, melihat bunuh diri sebagai hal-perihal yang lebih personal—bahkan menurutnya, hasrat untuk bunuh diri pada dasarnya dimiliki seluruh manusia. Namun, hasrat itu dapat ditekan dalam kondisi normal—tetapi, bunuh diri lebih merupakan bentuk kemarahan terhadap diri sendiri bila seseorang tersebut memiliki riwayat depresi.

Maka, jika memang humanisme dan otonomi-diri (à la Locke, Bapak Liberalisme) nyata adanya, tak ada yang lebih tak manusiawi dari pemaksaan kehendak—tak ada yang lebih buruk dan najis dari terus menerus meminta seseorang yang secara mendasar ingin mati—untuk tetap hidup. Lingkungan sosial kita, secara garis besar, sudah telanjur menanamkan prinsip bahwa membincangkan bunuh diri (dan hal-hal negatif) adalah sesuatu yang tabu sekaligus tolol dan terbilang rendah sekaligus “inferior”. Praktis, ruang-ruang bercerita semakin sempit dan orang-orang semakin malu untuk curhat mengenai kepecundangannya. Seakan dunia memang diliputi kebanalan yang kejam dan tak ada satu inci pun tempat bagi orang-orang medioker untuk berkeluh-kesah mengenai masalah-masalah hidupnya dan nihilitasnya. Seorang penulis, Manson, lewat bukunya yang laris dan berwarna sarkastik—The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life (2016) dan Stoikisme melalui konsep Dikotomi Kendali-nya—memperkeruh problema ini—seolah-olah mencitrakan bahwa manusia yang ideal adalah si paling bodo amat dan si paling mampu bersabar serta si paling bisa “membunuh” dimensi psikologisnya.

Pertanyaannya adalah, apa yang lebih alamiah dan purba dari air mata, dari sebentuk kemarahan spontan, dari keputusasaan yang pasrah, dari masalah-masalah yang secara fundamental tak memiliki jalan keluar? Tak ada. Perlu digarisbawahi bahwa selain suka bergosip (Homo Homini Gossiping), suka bercerita (Homo Narrans), suka bermain-main (Homo Ludens), suka bersosial (Homo Homini Socius), suka menikam sesamanya (Homo Homini Lupus)—seharusnya para ilmuwan, sosiolog,  sejarawan, atau siapa pun—menambah julukan baru bagi manusia, yakni suka mengeluh (Homo Homini Hadeuh). Lebih dari 400 tahun setelah Renaissance, Aufklärung, Revolusi Industri, Revolusi Ilmiah—nyatanya, tak benar-benar secara komprehensif mengubah sifat-karakteristik dasar manusia yang pada dasarnya memanglah suka mengeluh dan misuh-misuh. Meskipun, tak ada yang harus dirubah dari hal-hal alamiah tersebut. Maka, adalah suatu kebahlulan luar biasa manakala lingkungan sosial seperti menutup lubang-lubang telinga bagi sesama manusia. Sebab, secara esensial, ketiadaan ruang untuk bercerita meningkatkan potensi bunuh diri. Tempat bercerita mungkin adalah bare mininum—mungkin juga sesuatu yang sekiranya sudah “cukup” untuk meredam intensi-tendensi bunuh diri.

“... dan kemudian, aku memiliki alam dan seni dan puisi, dan jika itu tidaklah cukup—lantas apa yang cukup?”

—van Gogh, Dear Theo (1995)

Standar “kecukupan” setiap orang pasti berbeda-beda—cukup adalah sesuatu yang sangat personal—seseorang sangat mungkin merasa eksistensi dan yang hal-hal terkait dirinya tak pernah cukup—sehingga bunuh diri menurutnya adalah jalan pintas. Dalam kacamata yang lebih luas, tanpa moralitas objektif—semuanya “boleh”. Dengan demikian, bunuh diri, sejatinya, bukanlah kesalahan objektif (merujuk pada kebenaran objektif yang dianut masyarakat luas). Dalam pendekatan yang lebih ekstrem dan berbau pascamodern, meminjam kutipan raja kritik—Nietzsche, bahwa tak ada kebenaran objektif, hanya ada interpretasi—hanya ada kebenaran subjektif. Namun, di samping hal-perihal yang definitif itu—sekalipun ada kebenaran objektif, bukankah hidup tetaplah hal-perihal yang sangat subjektif? Tak ada satu pun entitas yang mampu merasakan penderitaan seseorang secara paripurna. Ketika seseorang bercerita mengenai duka laranya, misalnya, seseorang yang mendengar cerita tersebut hanya akan merasakan duka lara tersebut (dalam semacam simulasi impuls emosi, dalam bentuk empati) bukan benar-benar secara langsung dan intens mengalami.

Masih menyoal kebenaran, menurut filsuf pascastrukturalis asal Negara Croissant—Foucault, tak ada kebenaran yang tak berkorelasi dengan “kekuatan”, dengan superioritas. Pada gilirannya, diskursus ini akan mengarah pada pertanyaan lain yang nihil jawaban final: Apakah bunuh diri memang dilakukan oleh seseorang yang “lemah” dan merupakan tindakan inferior yang memalukan? Lantas, kekuatan atau superioritas macam apa yang ingin kita bangun di atas nilai-nilai sosial di tengah-tengah masyarakat yang hipokrit dan sok kuat? Secara moralitas umum, bunuh diri memiliki wajah Dewa Janus—dengan kata lain, memiliki dua sisi yang saling antipodal. Sisi yang pertama bermotif teistik dan nasionalistik—misalnya, jihad, jibakutai, kamikaze, atau puputan—yang dikategorikan sebagai kemartiran/kepahlawanan yang terhormat. Sisi yang kedua adalah kebalikannya. Sehingga, akan ironi rasanya untuk menelan fakta pahit bahwa bunuh diri dengan motif eksternal (agama, bangsa, dll.) merupakan tindakan yang berkonotasi positif—sementara bunuh diri dengan motif internal (kehendak bebas, kedirian, individualitas) bersinonim dengan kenegatifan.

“Mereka mengatakan bahwa bunuh diri adalah tindakan seorang pengecut; juga menyatakan bahwa hanya orang gila yang melakukan itu; dan hal lain yang membuat orang bunuh diri terlihat buruk; atau mereka membuat pernyataan yang irasional bahwa bunuh diri itu salah; cukup jelas bahwa setiap orang di dunia ini memiliki sisi yang tak dapat disentuh oleh orang lain, yaitu kehidupan pribadinya sendiri.”

—Schopenhauer, Studies in Pessimism: The Essays (2004)

Lalu bagaimana dengan mati bunuh diri secara legal? Setidaknya sampai November 2021, hanya ada beberapa negara yang melegalkan Eutanasia: Belgia, Kanada, Kolombia, Luksemburg, Belanda, Selandia Baru, dan Spanyol. Pada akhirnya, pada suatu pagi yang luar biasa membosankan, di suatu negara berkembang yang religius masyarakatnya—seseorang yang secara esensial ingin mati—lebih mungkin untuk tetap menyeduh kopinya lagi dan merasakan kemalangan-kemalangan—seperti biasa; dan Sisifus akan tetap mendorong batunya tanpa henti, setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik, sampai jantungnya tak lagi berdetak. Akan tetapi, seseorang benar-benar harus membayangkan Camus sakit maag dan Sisifus asam urat.

 Penderitaan


 “Hidup adalah rangkaian kecelakaan kereta tanpa akhir, dengan sedikit kebahagiaan sebagai pariwara.”

 —Deadpool (2016)

Tak ada beda antara apa yang diucapkan Deadpool dengan apa yang seumur hidup digaungkan oleh Schopenhauer, salah satu filsuf Barat yang paling pesimis dan suram. Hidup, bagi Pak Tua dari Danzig yang begitu membenci Hegel (juragan idealisme) ini, adalah rentetan penderitaan konstan—sementara kebahagiaan hanyalah intermezzo yang berpuncak pada kesia-siaan total dan final: kematian. Schopenhauer adalah bagian dari tradisi para filsuf-negatif—atau filsuf-pesimis—meminjam istilah teknis profesor UCLA, Dienstag—dalam bukunya Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit (2006)—bahwa kita dapat memandang pemikir seperti Schopenhauer, Camus, Nietzsche, Unamuno, dan Cioran—kurang lebih sebagai korpus dari tradisi Pesimisme.

Schopenhauer, melalui The World as Will and Representation (2012) memaparkan visi kehidupan yang sangat pesimistis, dan inti dari visi itu adalah gagasannya tentang Will/Kehendak: kekuatan irasional yang buta, yang terus-menerus berjuang, yang merupakan esensi yang menggerakan dunia. Kehendak kosmis ini memanifestasikan atau mengekspresikan dirinya melalui setiap individu dalam bentuk dorongan seksual dan “Kehendak untuk Hidup” yang dapat dilihat di seluruh alam raya. “Kehendak” ini adalah sumber dari berbagai kesengsaraan karena pada dasarnya tak pernah bisa terpuaskan. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang untuk mengurangi penderitaannya adalah dengan menemukan cara untuk menenangkan kehendaknya sendiri; dan fungsi seni-kesenian, menurutnya, adalah untuk meredam Kehendak ini.

Di sisi lain, paradoksnya, jika esai filsafat Hume—seorang filsuf spesialis “nature”, yang berjudul “On Tragedy”, wiracarita Lucretius—penyair-filsuf Romawi, “De rerum natura”, dan “Elements of Law: Natural and Politic” (1640) karya Hobbes—salah satu filsuf berpengaruh, disintesiskan—maka terkonstruksi sebuah hipotesa bahwa rasa sakit dan penderitaan adalah sebuah kenikmatan, adalah katarsis, adalah sesuatu yang terkadang menyenangkan. Tapi apakah iya? Apakah secara “nature” manusia merupakan makhluk yang masokis, yang begitu menginginkan rasa sakit dan penderitaan? Seorang filsuf yang lekat dengan tema rasa sakit, Bataille, mempunyai pemikiran yang setidaknya bisa sedikit menjawab—dia memiliki istilah teknis ‘violent ejaculation’ untuk menggambarkan sensasi erotis yang nyaris mendekati kematian. Sensasi yang terus dieksploitasi oleh Clara, tokoh dalam film Salo: 120 Days of Sodom (1975) garapan sutradara-intelektual Pasolini. Pertanyaan yang lebih fundamentalnya kemudian: Apakah benar manusia satu kesatuan dengan penderitaan? Mungkin iya, mungkin sangat iya. Nietzsche dan Buddhisme, secara garis besar, memiliki kesepakatan filosofis bahwa kehidupan manusia dicirikan oleh penderitaan. Nietzsche, secara gagah berani bahkan menulis dalam bukunya Genealogy of Morals (2012): “manusia, adalah hewan yang paling berani dan paling rentan menderita, yang tak menyangkal penderitaan—manusia menginginkannya, bahkan mencarinya, dengan catatan bahwa manusia ditunjukkan makna dan tujuan dari sebuah penderitaan.”

Sedangkan Buddhisme, mengutip Religion and Nothingness (1983) karya filsuf-profesor asal Nippon Nishitani—mengandung Four Noble Truths (Empat Kebenaran Mulia): berisi Duhkha—menegaskan bahwa hidup adalah penderitaan—kehidupan samsara yang abadi diselimuti oleh hal-hal eksistensial yang tanpa toleransi; yang kedua, Samudaya—menghubungkan penderitaan ini dengan keinginan atau kebencian sebagai penyebab penderitaan; kebenaran ketiga dan keempat, Nirodha dan Magga, mengungkapkan jalan untuk mengakhiri penderitaan dan jalan kebenaran. Dengan demikian, melepaskan diri dari keinginan-keinginan ini akan mengarah pada pembebasan (dari siklus kematian), yang pada akhirnya—mengarah ke nirvanā/nirwana.

“Hidup tak lebih dari sekadar ilusi, seperti seorang aktor malang yang mondar-mandir dan khawatir selama berjam-jam di atas panggung dan kemudian namanya tak pernah terdengar lagi. Hidup hanyalah kisah yang diceritakan oleh para idiot, penuh dengan kebisingan, dan gangguan emosional, tetapi tanpa makna apa pun.”

—Shakespeare, The Tragedy of Macbeth (2013)

Tapi pada titik tertentu, manusia harus hidup dalam realitas dan menghilangkan delusinya—lantas dengan lekas menghapus mitos-mitos metafisik macam nirwana, swarga, firdaus, elysium, atau valhalla dari kamus kepalanya. Manusia mesti hidup dalam realitas yang benar-benar sejati. Meskipun jika itu adalah hidup di sisi yang jauh lebih “noir”, misalnya, sisi seorang pengarang yang melakukan percobaan bunuh diri sebanyak 5 kali dan pada akhirnya meninggal bunuh diri dengan cara menenggelamkan dirinya ke dalam air pada hari ulang tahunnya yang ke-39—seperti Dazai—yang juga dengan jujur serta piawai-depresifnya menarasikan kegagalan-kegagalan manusia di dalam bukunya Ningen Shikakku alias No Longer Human (2012). Memang mengerikan, tetapi bukankah kenyataan tak pernah datang dengan muka seperti bayi? Lebih lanjut, Dazai secara tak langsung membidani pertanyaan: Apakah kehidupan adalah permainan catur yang sudah sekakmat? Atau jika menukil kembali kredo Chairil: Apakah hidup hanya menunda kekalahan?

Kedua pertanyaan tersebut memang terdengar tendensius, bohemian, dan serampangan. Tapi bukankah hidup manusia memang seperti dipenuhi kerinduan akan kebahagiaan dan alasan, tetapi di mana-mana—kita hanya disesaki keheningan dunia yang tak masuk akal. Sains (dan modernitas) telah mendemistifikasi mitos-mitos usang dan hiburan lama manusia di dalam sistem kepercayaan dan agama—dengan secara ilmiah mengungkapkan bahwa alam semesta adalah tempat kosong yang dingin, mahabesar, dan terus mengembang.

 

“Lihat kembali titik mungil itu. Itu adalah Bumi. Adalah rumah. Adalah kita. Di atasnya semua orang yang kita cintai, semua orang yang kita kenal, semua orang yang pernah kita dengar, setiap manusia yang pernah ada, menjalani hidup mereka. Keseluruhan dari kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama yang percaya diri, ideologi, dan doktrin ekonomi, setiap pemburu dan penjelajah, setiap pahlawan dan pengecut, setiap pencipta dan perusak peradaban, setiap raja dan hamba, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu dan ayah, anak yang penuh harapan, penemu dan pengembara, setiap pengajar moral, setiap politisi korup, setiap superstar, setiap pemimpin tertinggi, setiap orang suci dan pendosa dalam sejarah spesies kita tinggal di sana—di atas butiran debu kosmik yang bergantung pada sinar matahari.

Bumi adalah panggung yang begitu kecil di arena kosmik yang mahaluas. Pikirkan sungai-sungai darah yang ditumpahkan oleh para jenderal dan para kaisar itu sehingga, dalam kemuliaan dan kemenangan, mereka bisa menjadi penguasa sesaat dari sepersekian titik. Pikirkan kekejaman tak berujung yang dilakukan oleh penghuni satu sudut piksel ini kepada penghuni sudut lain yang hampir tak dapat dibedakan, seberapa sering kesalahpahaman mereka, betapa inginnya mereka saling membunuh, betapa kuatnya kebencian mereka.

Kepura-puraan kita, kesombongan yang kita bayangkan, delusi bahwa kita memiliki beberapa posisi istimewa di Semesta, ditantang oleh setitik cahaya yang pucat ini. Planet kita adalah titik sepi dalam kegelapan kosmik yang menyelimuti. Dalam ketakjelasan kita, dalam keluasan ini, tak ada petunjuk bahwa pertolongan akan datang dari antah berantah untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.

Bumi adalah satu-satunya dunia yang sejauh ini diketahui memiliki kehidupan. Tak ada tempat lain, setidaknya dalam waktu dekat, di mana spesies kita dapat bermigrasi. Mengunjungi, ya. Tinggal dan menetap, belum. Suka atau tidak, untuk saat ini Bumi adalah tempat kita berdiri.

Telah dikatakan bahwa astronomi adalah kerendahatian dan pengalaman yang membangun karakter. Mungkin tak ada demonstrasi yang lebih baik dari kebodohan-kesombongan manusia selain gambaran jauh dari dunia kecil kita ini. Bagiku, itu menggarisbawahi tanggung jawab kita untuk memperlakukan satu sama lain dengan lebih baik, dan untuk melestarikan dan menghargai titik biru pucat, satu-satunya rumah yang pernah kita kenal ini.”

—Sagan, Pale Blue Dot (2013)

Secara simultan, penderitaan manusia niscaya bertambah parah ketika kita membaca teks dari buku Sagan, Pale Blue Dot (yang terinspirasi oleh potret yang diambil oleh Voyager 1 pada 14 Februari 1990; ketika pesawat ruang angkasa itu meninggalkan wilayah planet kita ke pinggiran tata surya)—dan secara sadar menyadari bahwa kita hanyalah debu kosmik yang nirmakna. Pada gilirannya, di kesepian paling sunyi, jiwa manusia mendambakan transendensi, tetapi, seperti yang ditulis seorang novelis avant-garde—Beckett, dalam Waiting for Godot (2011) melalui tokoh bernama Pozzo: “manusia melahirkan di atas kuburan, cahaya bersinar seketika, lalu malam sekali lagi.” 

Ketakcocokan mendasar antara keinginan psikis dan apa yang disediakan oleh kenyataan, adalah sesuatu yang membuka satu juta gerbang penderitaan. Pada dasarnya, hewan juga menderita, tetapi rasa sakit manusia jauh lebih meremukkan dan memualkan—sebab manusia memiliki kemampuan berefleksi, menyimpan memori, melihat ke masa yang akan datang, merasai trauma masa lalu—dan membidani kecemasan yang memiliki potensi begitu tinggi mengonstruksi penderitaan. Jika secara biologis manusia adalah hewan pun manusia adalah hewan yang tak bahagia, ditinggalkan, dan dipaksa untuk menemukan jalan hidupnya—seperti yang Cioran, sang filsuf-negatif, sabdakan dalam bukunya On the Heights of Despair (2013)—yang secara sekilas tak berbeda jauh suramya dengan Dazai. Jadi, apakah memilih untuk tetap hidup dan merasai penderitaan sama dengan menunda kekalahan—di samping kenyataan bahwa kematian tak bisa menutup lubang makna yang ditinggalkan kehidupan? Mungkin, iya. Mungkin, tidak. Namun, semisal di masa depan nanti, manusia bisa berevolusi menjadi Homo Deus (tuhan) pun manusia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya kecuali kebahagiaan. Mengapa demikian?

Sebab nampaknya kita harus merevisi aforisme Latin yang lekat dengan figur Renaissance di Britania Raya, Bacon: bahwa scientia potentia est; knowledge is a power; pengetahuan adalah kekuatan. Kemudian menggantinya dengan: knowledge is a power that makes humans suffer; pengetahuan adalah kekuatan yang membuat manusia menderita. Mungkin kita juga harus sepakat dengan frasa penyair Gray: ignorance is bliss; ketidaktahuan adalah kebahagiaan—dalam buku puisinya yang berjudul The Poems (2012). Di jurang nihilitas, seseorang niscaya mengetahui ada skenario yang tampak jauh lebih buruk dan jelek dari ini semua—bahwa manusia sudah kalah, jauh sebelum dirinya dilahirkan. Akan tetapi, agar manifesto kesuraman yang tak berguna ini terkesan tak terlalu suram, mungkin kita mesti setuju dengan penulis-surealis—Murakami, yang menyatakan bahwa rasa sakit memang tak terhindarkan—tetapi penderitaan adalah opsional—yang secara liris dia tekskan melalui bukunya—What I Talk About When I Talk About Running (2008).

Beban Kesadaran

“frankly, human consciousness

is a heavy burden.

that’s why some of us—

consciously, choose uncosciousness

& be a junkie:

religion, philosophy,

ideology, political party,

or other shit to retreat

from the bitterness of reality—

such a coward, who can’t live forward

to shone the darkside of time—

in the face of presently.

: o life! are humans

the closest metaphor

for the most pathetic slaves

of certainty—on the dead planet

who enclose uncertainty?

—Moch Aldy MA, dari puisi berjudul Slaves of Certainty (2022)

Para filsuf dan psikolog seringkali berbicara tentang “problematika kesadaran” (the problem of consciousness)—seolah-olah problema kesadaran merupakan problema yang sudah jelas pemetaannya. Descartes si bapak filsafat modern, pun berupaya menanggapi problem itu dengan merumuskan pendapatnya sendiri. Menurutnya, pikiran manusia merupakan entitas yang lebih tinggi tingkatannya dari pada tubuh—dan pikiran adalah entitas yang mandiri, juga terlepas dari tubuh. Argumen Descartes banyak dikenal sebagai teori tentang dualisme tubuh dan jiwa. Pandangan semacam ini mendominasi dunia filsafat, terutama dalam metafisika dan epistemologi, dari abad ke-17 sampai pertengahan abad ke-20. Tapi, pada akhir dekade 1950-an pandangan ini mulai didebat dari berbagai penjuru.

Di akhir abad ke-16 dan di awal abad ke-17, Descartes secara monumental meneriakkan kredo: Cogito Ergo Sum (Aku berpikir, maka aku ada)—dan setelahnya menguatkan konvensi umum bahwa manusia adalah makhluk yang dapat berpikir, sebab hal tersebut menunjukkan fakta bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kesadaran. Descartes, secara tak langsung, juga mengonstruksi persepsi bahwa rasio, akal, pikiran, dan kesadaran merupakan sesuatu yang positif dan baik. Secara jukstaposisi, Unamuno, guru intelektual Cioran, dalam bukunya Tragic Sense of Life (2008) menyatakan bahwa kesadaran adalah penyakit yang menimpa manusia—yang tentu berkonotasi negatif dan buruk. Filsafat Cioran—yang berangkat dari Unamuno—mempertajam serta menguatkan anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit. Akan tetapi, pertanyaannya, kesadaran akan apa? Waktu. Menurutnya, waktu memungkinkan seorang makhluk menderita. Akal/pikiran/kesadaran kita mampu merefleksikan dan memiliki pemahaman penuh tentang eksistensi masa lalu dan masa depan. Cioran menyatakan bahwa kemampuan manusia ini memiliki efek samping yang menakutkan, misalnya, pengetahuan bahwa eksistensi kita ada—dan suatu hari nanti—kita akan berhenti eksis/ada. Di sisi lain, hewan seperti ular, badak, burung, paus—ketika mereka merasakan rasa sakit, tak mungkin memiliki kesadaran akan waktu dan pengetahuan tentang kematian seperti manusia—faktanya, kita memiliki pengetahuan tentang ini, bahkan ketika kita sehat dan berbahagia.

Ungkapan puitis yang Cioran gunakan untuk kondisi manusia adalah “jatuh ke dalam waktu”Setidaknya, di masyarakat, ada dua istilah hiper-klise tentang waktu: Pertama, semua akan indah pada waktunya; kedua, biarlah waktu menjawabnya. Apakah benar semua akan indah pada waktunya? Bagaimana jika kita sudah pada waktunya, tetapi keindahan itu tak pernah ada? Apakah benar waktu bisa menjawab pertanyaan manusia? Bukankah waktu hanyalah satuan fisika untuk mengukur berapa lama subjek mengada? Bukankah waktu tak pernah menjawab apa-apa dan hanya kesadaran yang menjawab semuanya? Jika kita menggunakan sedikit isi kepala Hawking dalam A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes (1998) alias konsep Waktu Linier, ditemukan tesis bahwa garis kehidupan selalu menunjuk ke masa depan; sementara itu, di sisi lain, masa depan selalu membawa kita selangkah lebih dekat dengan kematian. Masa lalu membawa kita ke masa kini, dan masa kini akan membawa kita ke masa depan (menuju kematian yang tak terbantahkan dan tak terhindarkan). Maka dari itu, adalah ganjil jika kita berharap lebih kepada “waktu”. 

Filsuf-fenomenolog, Heidegger, menggunakan istilah Dasein (secara langsung diterjemahkan: “berada-di-dalam”) untuk menggambarkan pengalaman mengada yang khas manusia; dan dalam bukunya—Being and Time (2008)—dia memiliki istilah yang lebih tepat untuk menjelaskan mengapa absurd jika kita berharap banyak kepada waktu—istilah teknisnya Sein-zum-Tode: singkatnya, makhluk yang secara sadar menyadari bahwa dia sedang berjalan menuju kematian yang benar-benar tak terelakkan; makhluk yang menyadari bahwa dirinya berada dalam ‘bingkai’ yang disebut waktu. Istilah ini menggambarkan agen yang ada-menuju-kematian sebagai kemungkinan terbesar mereka. 

Meskipun kematian adalah takdir definitif yang diterima secara universal. Heidegger, memiliki premis bahwa kematian memungkinkan makna. Di lain sisi, Sartre menyimpulkan bahwa kematian justru “mengambil” makna ini. Eksistensialis Prancis lain—de Beauvoir, memandang kematian sebagai sesuatu yang memberi semacam keadaan tak menyenangkan (atau dengan kata lain, mengacaukan makna hidup kita)—lebih jauh, de Beauvoir secara brutal mengklaim kematian sebagai “perkosaan yang tak adil”. Tapi, L'homme est Condamné à Être Libre; manusia dikutuk untuk bebas—kata Sartre. Manusia dapat membayangkan kehidupan abadi di mana seseorang memiliki kehendak bebas: kemungkinan pilihan-pilihan dan kesenangan-kesenangan yang berulang tanpa batas. Yang abadi dapat mengejar upaya-upaya yang tak berujung pangkal sepanjang hidup mereka—sebab waktu mereka di planet ini tak terbatas. Manusia yang fana tak mampu melakukannya. Kefanaan, di sisi lain, juga meningkatkan potensi kesia-siaan. Tak ada yang bisa menjamin bahwa menulis, misalnya, adalah bekerja untuk keabadian. Tak ada yang tahu bahwa apa-apa yang kita usahakan seumur hidup akan bermanfaat, berguna, atau bermakna nantinya. Tak ada yang bisa memastikan bahwa 100 tahun dari sekarang akan ada seseorang yang dapat mengenali apalagi mengingat-ngingat dengan liris eksistensi kita.

Dengan demikian, dengan mengakui temporalitas kita, kesementaraan kita—di mana kita dapat memahami kesementaraan keberadaan—keputusan-keputusan yang kita buat mengandung semacam “beban-beban” tertentu. Sehingga, kesadaran akan kematian, merupakan beban kesadaran yang luar biasa berat. Semenjak kematian merupakan akhir dari diri kita, maka kematian adalah akhir dari kebebasan kita untuk memberi makna dalam hidup kita. Kemungkinan kematian, yang hidup di dalam urat nadi dan neuron di dalam otak manusia—yang bertahan sepanjang napas berembus—mendorong rasa urgensi dan kecemasan pada pilihan-pilihan yang kita buat. “Sein-zum-Tode adalah neraka!”—pungkas Sartre kepada Heidegger sembari menangis dan mengacungkan jari tengah.


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.

Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk.

Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”

—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Referensi:

MA, Moch Aldy. 2022. “An Oasis for the Stranded, Losers”. Omong-Omong Media;

MA, Moch Aldy. 2022. “Friedrich Nietzsche and So On and So On”. Omong-Omong Media;

Pratama, Angga. 2022. “Marx, Cioran, Penderitaan, dan Revolusi”. Omong-Omong Media;

Camus, Albert. 2013. A Happy Death. Kindle Edition: Penguin Classics;

Durkheim, Èmile. 2013. Le Suicide. Kindle Edition: Presses Èlectroniques de France;

Nietzsche, Friedrich. 2012. Genealogy of Morals. Kindle Edition: Start Publishing LLC;

Nishitani, Keiji. 1983. Religion and Nothingness. University of California Press;

Harari, Yuval N. 2014. Sapiens: A Brief History of Humankind. Kindle Edition: Vintage;

Manson, Mark. 2016. The Subtle Art of Not Giving a F*ck: A Counterintuitive Approach to Living a Good Life. Harper;

Schopenhauer, Arthur. 2012. The World As Will And Idea. Kindle Edition;

Dienstag, Joshua Foa. 2009. Pessimism: Philosophy, Ethic, Spirit. Princeton: Princeton University Press;

Unamuno, Miguel de. 2008. Tragic Sense of Life. New York: Dover Publications;

Beckett, Samuel. 2011. Waiting for Godot: A Tragicomedy in Two Acts. Kindle Edition: Grove Press;

Shakespeare, William. 2013. The Tragedy of Macbeth. Simon & Schuster;

Dazai, Osamu. 2012. No Longer Human. Kindle Edition: New Directions;

Murakami, Haruki. 2008. What I Talk About When I Talk About Running. Kindle Edition: Vintage;

Hawking, Stephen. 1998. A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes. Bantam Books;

Heidegger, Martin. 2008. Being and Time. Harper Perennial Modern Classics;

Sagan, Carl. 2011. Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space. Kindle Editions: Ballantine Books;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Gray, Thomas. 2012. The Poems. General Books;

Van Gogh, Vincent. 1995. Dear Theo. Plume Books;

Cholbi, Michael, “Suicide”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Winter 2021 Edition), Edward N. Zalta (ed.);

Laios, K., Tsoukalas, G., Kontaxaki, M. I., Karamanou, M., & Androutsos, G. (2014). Suicide in ancient Greece. Psychiatrike = Psychiatriki, 25(3), 200–207;

Gavis, Meghan (2020) “Suicide According to Socrates and Camus,” Parnassus: Classical Journal: Vol. 7, Article 7;

Fadaie, Shakiba. 2021. “Heidegger and Sartre’s Dichotomous Conceptions of Death”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;

Fadaie, Shakiba. 2020. “Nihilism and Self-Overcoming: Interpreting Nietzsche and Buddhism”. The University of British Columbia, Shakiba Fadaie;

Olszewski, Fernando. 2020. “Cioran, the philosophy of despair and its ethical implications”. Metaphysical Exile;

Borghini, Andrea. 2019. “The Paradox of Tragedy”. ThoughtCo.;

Sawitra Mustika, I Ketut. 2021. “Penderitaan dan Jalan Pembebasan yang Mungkin”. Lingkar Studi Filsafat Cogito;

Wattimena, Reza A.A. 2009. “Manusia dan Kesadaran”. Rumah Filsafat.


Thursday 13 October 2022

A Little Fable - Kafka (Cerpen Translasi)

*Diterjemahkan dari The Essential Kafka: The Castle; The Trial; Metamorphosis and Other Stories (2014) yang diterbitkan oleh Wordsworth Classics.

“Aduh!,” kata sang Tikus, “setiap hari seluruh dunia semakin mengecil saja. Awalnya semuanya tampak begitu besar sampai-sampai membuatku takut, aku terus berlari dan berlari, dan aku senang ketika melihat dinding-dinding menjauh ke kanan dan ke kiri, tetapi dinding-dinding panjang ini menyempit sangat cepat hingga tanpa terasa aku sudah berada di ujung, dan di sana, di sudut sana—ada sebuah perangkap yang mesti kulewati.”

“Kau hanya perlu mengubah arahmu,” kata sang Kucing, dan kemudian memakan sang Tikus.

Lika-Liku Hubungan Nietzsche dengan Stoikisme

En Avant by Raymond Douillet

“Seseorang mesti membuang rasa ingin setuju dengan banyak orang. ‘Baik’ tak lagi baik ketika seorang tetangga mengucapkannya. Dan bagaimana seharusnya “kebaikan bersama” itu ada? Istilah itu bertentangan dengan dirinya sendiri: apa pun yang bisa menjadi umum selalu memiliki nilai yang kecil.”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Berbicara Nietzsche adalah berbicara tentang dinamit dalam bentuk kehendak yang bertendensi untuk meledakkan bangunan kemapanan tepat di tengah-tengah mental kerumunan.

Selain Kekristenan, filsuf edgy berkumis baplang itu, nyatanya, mengkritik banyak tokoh sentral, pemikiran, hingga institusi agama. Dimulai dari menyerang dedengkot Filsafat Barat macam Socrates, lalu Metafisika-nya Plato, Cogito-nya Descartes, Moralitas-nya Kant, Filsafat Sejarah-nya Hegel, Lingkaran Setan-nya Schopenhauer, Nirvana-nya Buddhisme, Aufklärung yang hiper-percaya-diri—sampai Sains Modern yang dia pikir tidak bisa dijadikan medan tunggal dalam memahami realitas ini.
Tapi dalam esai singkat ini, penulis hanya akan mengulas “sedikit” lika-liku hubungan Nietzsche dengan Stoikisme.

“Kau ingin hidup sesuai dengan Alam? Oh, kau Stoa yang mulia, betapa menipu kata-katamu itu! Bayangkan dirimu sebagai makhluk seperti Alam, luar biasa luas tak berbatas, sangat masa bodoh, tanpa tujuan atau pertimbangan, tanpa belas kasihan atau keadilan, sekaligus subur dan tandus dan tak pasti: bayangkan ketakpedulian sebagai kekuatan—bagaimana kau bisa hidup sesuai dengan ketakpedulian seperti itu?”
—Nietzsche, Beyond Good and Evil (2011)

Stoikisme dan Nietzsche

Menurut Stoikisme dan Kaum Stoa, kita mesti terus berusaha untuk “mengekang” emosi kita. Mereka percaya pada “dikotomi kendali” dan membelah dunia menjadi dua kutub besar: hal-hal yang berada di dalam kendali dan hal-hal yang berada di luar kendali. Keyakinan bahwa kita memiliki kuasa atas hal-hal yang sebenarnya tak dapat kita kendalikan memproduksi seribu penderitaan—dan berfokus pada apa yang dapat kita kendalikan—adalah apa yang dikehendaki tuhan/alam kepada manusia—singkatnya, menurut Kaum Stoa.

Nietzsche menyebut mereka sebagai “pemain sandiwara dan penipu luar biasa” yang memilih untuk melihat sesuatu secara keliru. Baginya, manusia adalah seutas tali yang diikat di antara hewan dan adimanusia—sebagai seorang pemikir naturalistik: yang memandang manusia tak lebih dari sekadar insting-insting alamiahnya; mengekang emosi adalah sebentuk kebodohan yang angkuh, adalah ketakpedulian yang naif.

“Seorang manusia membaik dengan baik dari sifatnya yang luar biasa—intelektualitasnya—dengan memberi kesempatan pada insting kebinatangannya.”
—Nietzsche, Twilight of the Idols (2009)

Dengan kata lain, semisal muka kita tiba-tiba ditonjok oleh seseorang yang tengil dan tempramental di suatu pagi absurd, janganlah kita menahan emosi—bila perlu tonjok balik dadanya sampai berbunyi: “deug!”. Memang benar bahwa kita tak dapat mengendalikan segalanya, tetapi “dikotomi kendali” yang cenderung meredam emosi dari insting spontan ketubuhan dan menutup kemungkinan baku hantam yang niscaya dibutuhkan pada momen-momen tertentu—adalah respons yang penuh dekadensi.

Nietzsche seperti ingin mengatakan kepada kita: marah adalah sesuatu yang sangat alamiah, sesuatu yang sudah menjadi cetak biru kita—adalah gairah paling purba dari manusia sebagai makhluk yang memiliki instrumen-instrumen kesadaran dan mampu berpikir. Dia seakan memvalidasi bahwa manusia adalah hewan yang mampu berpikir alias Al-Insanu Hayawanun Nathiq—meminjam istilah Imam Ghazali—yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan oleh Socrates. Dengan pendekatan interpretasi yang lebih ateistik: tak ada gunanya kita bersabar dan mengambil “Leap of Faith/Lompatan Iman” dengan berharap semoga seseorang yang membuat kita marah dibakar kekal di neraka yang “belum” terbukti nyata adanya. Hanya ada satu kata: Balas!

Titik Temu Nietzsche dan Stoikisme

Sejatinya, Nietzsche dan Stoikisme memiliki hubungan yang rumit, enigmatik, dan paradoksal. Di satu sisi, Nietzsche menentang prinsip utama Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”—yang memiliki inti keyakinan bahwa kosmos adalah satu dan sama dengan tuhan—oleh karenanya memiliki semacam harmoni/keteraturan. Di sisi lain, Nietzsche secara kontras memandang alam—kosmos—itu kaotis, diliputi banalitas, dan tak memiliki tuhan. Melihat “hukum” di alam hanyalah melihat pola dan meyakini secara buta bahwa alam memiliki aturan. Faktanya, manusialah yang membuat hukum dan aturan, bukan alam.
Di sisi yang lainnya lagi, dia memuji habis-habisan Epictetus dan Seneca sebagai moralis yang hebat. Di satu waktu, Nietzsche pun mengkritik Stoikisme sebagai pemujaan upaya etis tentang kemandirian rasional yang meremehkan rasa sakit dan hasrat ketika mengejar afirmasi takdir tanpa syarat. Nietsche menganggap penderitaan dan rasa sakit adalah sesuatu yang “perlu”—dan Nietzsche menilik Stoikisme menegasikan hal penting itu.

“Kepada manusia yang mengkhawatirkanku—aku mengharapkan penderitaan, kesedihan, kesepian, penyakit, perlakuan buruk, penghinaan.”
—Nietzsche, The Will to Power (2014)

Nitezsche mempercayai Will/Kehendak (Will to Power/Kehendak untuk Berkuasa)—yang juga merupakan gagasan fundamentalnya: segala sesuatu terdiri dari Kehendak, dan semua yang muncul adalah hasil dari kemauan. Akan tetapi, ada beberapa penelitian cukup kredibel yang memaparkan bahwa The Will to Power-nya Nietzsche merupakan konsep yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa—yang dia ambil dari formula Stoikisme tentang “hidup sesuai dengan alam”.

Ada garis filosofis lain yang menghubungkan Nietzsche dan Stoikisme: keduanya sama-sama melihat bahwa manusia tak memiliki “kehendak bebas”—kita tak punya dadu untuk dimainkan dalam “takdir” kita sendiri. Di sisi lain, Nietzsche menekankan individualitas tingkat tinggi, kreativitas-subjektif à la Eksistensialisme, dan melawan “Herd Mentality/Mentalitas Gerombolan” dari sistem filsafat seperti Stoikisme (dan institusi agama yang bercorak taklid buta).

Terakhir, di dalam dunia yang tak bermakna, tak jelas, dan kaotis—Nietzsche mengajak kita: bercita-cita untuk menciptakan diri ideal kita sendiri dengan cara kita sendiri; ada dua jenis manusia di dunia ini, jangan jadi keduanya—jadilah dirimu sendiri!

*****

Referensi:

Nietzche, Friedrich. 2011. Beyond Good and Evil. Kindle Edition;
Nietzsche, Friedrich. 2009. Twilight of the Idols. Oxford University Press;
Nietzsche, Friedrich. 2014. The Will to Power. Kindle Edition;
N.T. Croally, Euripidean Polemic: The Trojan Women and the function of tragedy, Cambridge University Press (1994), pages 18–19);
Ure, Michael. “Nietzsche’s Free Spirit Trilogy and Stoic Therapy.” Journal of Nietzsche Studies, no. 38, 2009, pp. 60–84. JSTOR, http://www.jstor.org/stable/20717975. Accessed 25 Sep. 2022;
Hamilton, Grant. “J.M. Coetzee’s Dusklands: the meaning of suffering.” Journal of Literary Studies, vol. 21, no. 3-4, Dec. 2005, pp. 296+. Gale Academic OneFile, link.gale.com/apps/doc/A153049539/AONE?u=googlescholar&sid=googleScholar&xid=d9308db9. Accessed 25 Sept. 2022;
James A. Mollison (2019) Nietzsche contra stoicism: naturalism and value, suffering and amor fati, Inquiry, 62:1, 93-115, DOI: 10.1080/0020174X.2019.1527547

Monday 10 October 2022

Bila Aku Benar-benar Tak Lagi Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang ...

Bogor, 10 Oktober 2022

“... but clocks keep on ticking
& life keeps on going
to leave the pair behind at last

she said to me
& i said to her
to hold back each other's true fate
is not of our nature
let's be mature

maybe you weren't made for me
nor i for you ...”

selamat pagi, Bila. sebenarnya aku ingin bercerita banyak hal, tetapi sepertinya cerita-ceritaku tak lagi menarik & penting bagimu (dengan kata lain, cerita-ceritaku telah berubah menjadi bahasa yang tak perlu lagi dibahasakan kepadamu). maka teks-teks setelah kalimat tadi adalah ceracauku kepada diriku sendiri yang semestinya tak lagi kau baca—terlepas dari apakah kau benar-benar membaca surat-suratku untukmu ataukah tidak sama sekali.

dimulai dari alinea ini, demi kebaikan bersama, aku mohon jangan kau teruskan lagi membaca suratku yang tak berguna ini. tapi terserah, itu pilihanmu, lagipula aku percaya pada free will & kupikir manusia memang dikutuk untuk bebas alias L'homme est Condamné à Être Libre!—oleh karenanya, silakan tanggung sendiri akibatnya bila kau terus membaca surat ini sampai selesai, ya.

mungkin ini agak skizoid, sebab kata-kata di dalamnnya adalah dari, oleh, & untuk diriku sendiri—tapi tak apa. beberapa bulan ke belakang ada satu-dua-tiga-empat hal-hal lumayan sinting yang terjadi dalam realitasku. maaf bila aku tak menuliskannya dalam kronologis yang linier & sistematis.

pertama, aku tak pernah menyangka bila pada suatu hari puisiku akan dipamerkan di sebuah pameran, khususnya di kotaku, Bogor. singkat cerita, aku datang ke pameran itu & bertemu dengan beberapa kawan-onlineku: seorang penulis, fisikawan, & fenomenolog (bisa dikatakan demikian atau anggap saja begitu). tapi bagian absurdnya adalah aku melihat beberapa orang yang tak kukenal sama sekali dengan serius membaca puisiku (yang ditempelkan di sebuah spanduk) di depan mataku & rasa-rasanya cukup ganjil (mungkin ini hanya perasaanku saja yang ganjil).

kedua, setelah sekian lama, aku kembali ngueng-ngueng lagi. aku fafifu-wasweswos via Google Meet mengenai ... Eksistensialisme di sebuah komunitas filsafat yang kuduga berpusat di Paris van Java. animonya cukup tinggi, diskusinya hidup, meskipun aku memaparkan materi “serius” dengan pembawaan yang komikal. kupikir Eksistensialisme memanglah sesuatu yang serius, dalam artian bahwa para eksistensialis (secara tak langsung) menciptakan semacam krisis tak terelakkan bagi para pembacanya—& pada gilirannya, membuat hidup manusia, secara 180 derajat, bertambah ruwet sekaligus mumet. 

kupikir, tak ada yang tak serius dari apa yang telah dikeluhkan oleh Kierkegaard, Nietzsche, Heidegger, Dostoevsky, Sartre, de Beauvoir, Kafka, Camus, & para figur lain (yang dapat kuasosiasikan sebagai seorang eksistensialis). di beberapa konteks, aku bahkan hampir setuju bahwa mengada adalah keadaan-tak-menyenangkan yang tak terbantahkan. maka dengan sadar & sengaja aku menarasikan kenoiran-kenoiran mereka dengan gaya seorang kawan lama yang humoris. aku pikir bagian itu cukup, sebab aku takut oversharing kepada diriku sendiri & belajar dari yang sudah-sudah bahwa aku sering kali lupa waktu ketika membincangkan -isme tersebut.

ketiga, aku juga tak menyangka bahwa pada suatu ketika yang random ... esaiku akan mengada di sebuah majalah yang diterbitkan oleh komunitas filsafat (yang ini kucurigai berdomisili di Jakarta). omong-omong, komunitas ini adalah komunitas yang sama, yang pernah mengundangku untuk membacot-membicarakan Pak Kumis pada bulan Juli lalu. oh ya, esaiku tentang Sapere Aude (iya, frasa latin yang bermakna dare to know, have courage to use your own reason, dare to know things through reason, & dare to be wise itu), sedikit Horace, sedikit Aufklärung, sedikit Kant, & sedikit diriku sendiri. rasanya cukup nano-nano untuk melihat-membaca esaiku sendiri dalam format majalah.

keempat, pada suatu siang yang lesu di bulan kemarin, aku dikirimi DM oleh seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai panitia Festival of Arts and Sports FH UI 2022. pendek kata, dia menawariku untuk berpartisipasi sebagai dewan juri dalam lomba cerpen—katanya, dia mendapat rekomendasi & kontakku dari salah seorang kawanku yang juga menjadi juri lomba tersebut. satu yang menyebalkan bagiku adalah fakta bahwa sampai detik ini aku tak tahu menahu siapa orang yang telah merekomendasikanku itu. pedahal, secara personal, aku ingin berterima-kasih kepadannya. 

yang jelas, membaca cerpen-cerpen anak hukum memberiku semacam pengalaman baru yang unik. pengalaman yang (bisa dibilang) tak kudapatkan ketika menjadi redaktur fiksi & puisi selama lebih dari 1 tahun di media tempatku freelance. sebelumnya aku juga pernah menjadi juri lomba puisi di kampusku dulu, tetapi feel-nya tak seotentik ini. kupikir, pengalaman ini pada akhirnya akan memperluas cakrawala persepsi-penilaianku mengenai karya sastra, khususnya terkait unsur ekstrinsik sebuah cerpen (& puisi).

mungkin surat ini agak tolol, cenderung nonsens, & tak memiliki kepaduan yang rasional—sebab tak seorang manusia, setan, atau tuhan pun yang tahu surat ini akan mengarah & dibawa ke mana. sebagai penutup, surat ini akan duduk di sebelah ketiadaan & berkata: mungkin surat ini memanglah suratku yang terakhir untukmu, Bil; & akan menjadi pernyataan dari pertanyaan subtil tentangmu dalam diriku ... Bil, haruskah kita kembali bertemu?

mungkin tidak. tapi aku akan tetap mengatakan banyak-banyak merci dengan sepenuh cinta & tetap melangitkan doaku untukmu (yang tak pernah berubah dari dulu) dengan sepenuh cita: semoga kau selalu berbahagia, ya.

“... qué será, será
whatever will be, will be
the future's not ours to see
qué será, será
what will be, will be ...”

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday 8 October 2022

Sapere Aude: Dari Horace, Aufklärung, hingga Trias Mahasiswa

“Dia yang memulai telah setengah selesai; sapere aude; mulai! (Dimidium facti, qui coepit, habet; sapere aude, incipe!)”

—Horace, First Book of Letters (20 SM)

Sapere Aude adalah frasa Latin yang dicetuskan oleh Quintus Horatius Flaccus alias Horace—seorang penyair Romawi Kuno yang juga mempopulerkan Carpe Diem (seize the day/merebut hari)—yang pada titik tertentu menjadi “jantung” dari Epikureanisme, sebuah mazhab filsafat helenistik yang berasal dari ajaran Epicurus/Epikuros.

Pendek kata, Sapere Aude berasal dan berakar dari bahasa Latin—jika ditafsirkan secara kasar bermakna: “beranilah untuk tahu!”. Selain itu, frasa ini juga lazim diterjemahkan sebagai “beranilah untuk berpikir sendiri” dan “beranilah untuk menjadi bijaksana”. Secara tersirat, melalui Sapere Aude, Horace seperti ingin mengatakan bahwa kita semestinya tidak terjatuh ke dalam procrastination (tindakan menunda-nunda pekerjaan)—yang juga senada seperti slogan raksasa perusahaan sepatu, pakaian, dan alat-alat olahraga Nike: Just do it!

Interpretasi yang kedua, ungkapan Sapere Aude seperti mengajak kita untuk berani mengulik rasa ingin tahu—dan menggunakan pikiran kita sendiri dalam upaya mencari pengetahuan dan kebenaran. Interpretasi ini seakan menegaskan bahwa Sapere Aude memanglah semacam respons zaman dari betapa terkungkungnya rasio/akal manusia abad pertengahan (terjadi antara abad ke-5 dan ke-14—yang berlangsung selama kurang lebih 900 tahun) di bawah tirani tradisi dan agama.

Aufklärung

Abad Pencerahan—Zaman Pencerahan—atau dalam bahasa Jerman: Aufklärung—adalah perpanjangan tangan dari Renaisans (bahasa Prancis: Renaissance) yang bermula di Firenze, Italia. Sapere Aude, kemudian dianut, direvitalisasi, dan digaungkan kembali oleh seorang filsuf gigan, Immanuel Kant, yang pada akhirnya menjadi moto untuk seluruh periode Aufklärung; sebuah revolusi yang menekankan intelektualitas dan rasionalitas ketimbang tradisi-tradisi dan jerat dogmatis agama-agama.

Sejatinya, agama sudah cukup “babak belur” di era Renaisans, misalnya, ketika bapak filsafat modern, René Descartes, meneriakkan bidal: Cogito Ergo Sum! (aku berpikir, maka aku ada). Di era Aufklärung, agama makin dibuat “ambyar” oleh Friedrich Nietzsche yang dengan gagah-berani mengungkapan kredo  mengerikan penanda zaman di dalam bukunya, The Gay Science (1886): Tuhan telah mati! Tuhan tetap mati.  Dan kita telah membunuhnya!

Kecenderungan institusi agama untuk melarang manusia untuk secara mandiri berpikir sendiri adalah bom waktu yang meledak di era Renaisans dan Aufklärung. Pesatnya perkembangan Sains (dan teknologi) mendemistifikasi mitos-mitos yang sebelumnya dipercaya secara kolektif—kemudian menggerakan roda transisi budaya dari hal-hal yang transendental menuju hal-hal yang materialistik dan bisa dibuktikan dengan penelitian ilmiah. Revolusi ilmiah yang dimulai pada abad ke-16 segera menawarkan cara untuk memahami fenomena alam yang terbukti jelas lebih unggul daripada upaya untuk memahami alam dengan mengacu pada prinsip-prinsip agama atau kitab suci. Tren ini mengumpulkan momentum dengan Aufklärung di abad ke-18 yang mengonsolidasikan gagasan bahwa alasan dan bukti harus menjadi dasar keyakinan kita ketimbang kitab suci atau tradisi.

Setelah ratusan tahun memegang peranan sentral dalam sendi-sendi kehidupan bernegara dan bermasyarakat, di era Renaisans dan Aufklärung agama lambat laun kehilangan tempatnya. Corak-corak pemikiran sekulerisme ini merevolusi cara kita berpikir-memandang sesuatu. Kemajuan industri dan lahirnya “mesin-mesin”, memberi semacam kontrol atas alam yang mampu diberikan oleh Sains—inilah pemicu meledaknya moto Sapere Aude yang hampir terjadi di seluruh dataran Benua Biru pada saat itu.

Sapere Aude yang diteriakkan Kant seolah meadvokasi keyakinan sekaligus ambisi kalangan akademisi dan kaum intelektual radikal abad ke-18. Secara sarkastik, Kant bahkan mengatakan bahwa Aufklärung adalah pembebasan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri.

“Pencerahan adalah pembebasan manusia dari pelajaran yang dibuatnya sendiri. Pelajaran adalah ketidakmampuan manusia untuk menggunakan pemahamannya tanpa arahan dari orang lain. Penyebabnya tidak terletak pada kurangnya akal budi, tetapi pada kurangnya tekad dan keberanian untuk menggunakan pikiran sendiri. Sapere Aude! ‘Beranilah menggunakan akal budimu sendiri!’—itulah moto pencerahan.”

—Kant, An Answer to the Question: What Is Enlightenment? (2009)

Bila ditarik dengan pendekatan yang lebih heroik, Sapere Aude adalah seruan perang dari Kant untuk melawan kepengecutan orang-orang pada masa itu yang tidak berani berpikir bebas—“Sapere Aude!” dia menyeru sembari menenteng-nenteng bukunya, The Critique of Pure Reason (1781), yang isinya begitu khas profesor Jerman pada umumnya (Nietzsche adalah pengecualian): begitu pedantik, bertele-tele, kaku, dan hampir mustahil untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Trias Mahasiswa

Setelah pemaparan yang cukup ensiklopedis dan didaktik seperti di atas—mungkin sekarang pertanyaannya adalah “apa relevansi antara Sapere Aude dengan Trias Mahasiswa (atau Tri Dharma Perguruan Tinggi)”? Relevansinya adalah kita sebagai individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang baik sudah sepatutnya menjadi kritikus paling vokal bagi kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh para penyelenggara negara.

Poin ketiga dari Tri Dharma Perguruan Tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat—secara personal, silakan didebat kalau tidak setuju, penulis menganggap bahwa pengabdian kepada masyarakat semestinya tidak dilakukan dengan kuliah–kerja-nyata, tetapi dengan menyuarakan aspirasi sekaligus keresahan masyarakat. KKN, pada praktiknya, hanya memberikan efek traumatis kepada mahasiswa dan tidak berguna-berguna amat bagi masyarakat.

Alih-alih membuat sumur bagi warga, mengecat balai desa, mengukur tanah, membajak sawah, dan hal-hal nonsens lain ketika KKN berlangsung—mahasiswa—akan jauh lebih berguna ketika mengangkat suara-suara masyarakat yang tak pernah tersuarakan. Pertama-tama dengan menanamkan persepsi di benak mereka bahwa otoritas apapun (negara, universitas, dlsb.) adalah entitas paling harus dicurigai, diawasi, dan dikritik.

Sedikit menukil kritik, secara kebahasaan, kritik berasal dari bahasa Yunani “kritikos” yang berarti “dapat didiskusikan”—kritikos diambil dari kata ‘krenein’ yang bermakna memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Tidak, pembaca tidak salah membaca—faktanya, memang tidak ada kata “solusi”. Dengan kata lain, ada anggapan keliru yang telanjur dipahami bahwa kritik harus disertai solusi atau wajib solutif dan konstruktif.

Musuh abadi Platon alias Plato, Diogenes dari Sinope, bahkan pernah mengkritik Platonisme secara destruktif. Dalam satu anekdot terkenal, Plato mencoba mengkarakterisasi manusia menggunakan definisi gurunya: Socrates. Manusia, dalam kata-katanya, adalah “featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu”.

Mendengar berita itu, Diogenese membawa seekor ayam yang telah dicabuti bulu-bulunya ke Akademi (tempat Plato biasa fafifu-wasweswos)—mengumumkan bahwa dia telah menemukan manusia-nya Plato. Diogenes memenangkan argumen. Pada akhirnya, Plato merevisi definisinya tentang manusia, menjadi “flat-nailed featherless biped/makhluk berkaki dua yang tidak berbulu yang memiliki kuku rata”.

Akan tetapi, agar kita tidak terjerumus ke dalam Sinisme-ekstrem à la Diogenes, kritik yang kita lontarkan harus disampaikan dengan tepat di waktu yang tepat. Secara etika dan moral, kritik pun sebaiknya satu paket dengan solusi. Oleh karenanya, meskipun Plato sangat membenci demokrasi ia tetap menyediakan “kerangka-abstrak-solutif” terhadap apa-apa yang dikritiknya, misalnya kritiknya terhadap demokrasi.

Kritik utama Plato terhadap demokrasi adalah bahwa sistem pemerintahan tersebut tidak mengutamakan kebijaksanaan dan pencarian pengetahuan sebagai kebaikan yang melekat, sebab pada akhirnya, demokrasi malah jatuh ke jurang timokrasi dan oligarki. Bahkan menurutnya, demokrasi adalah bentuk pemerintahan paling buruk karena tidak ada tindakan yang menjamin pemimpin yang dipilih secara sah memiliki kebajikan yang mampu mengartikulasikan kepentingan terbaik bagi masyarakat luas.

Solusi atau negara ideal versi Plato adalah negara yang dipimpin oleh filsuf-raja yang memiliki nilai-nilai keutamaan seperti kebijaksanaan, keberanian, kesederhanaan dan keadilan—bukan seorang dari antah berantah (khususnya kalangan nonfilsuf) yang berkemungkinan kecil mempunyai atribut-atribut itu.

“Di buku Republic-nya Plato, Socrates mengungkapkan ketakutan besarnya tentang demokrasi karena, dalam pikirannya, demokrasi identik dengan kebebasan—yang hasilnya adalah tirani. Akan tetapi, zaman modern telah membawa kita pada pemahaman yang berbeda tentang demokrasi sebagai cita-cita.”

—Chomsky, Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013 (2003)

Di negara di mana siapa-siapa suatu saat dapat menjadi pemimpin tiran dan berpihak kepada para oligark (baca: negara demokrasi)—merawat kritisisme adalah kunci. Sebab demokrasi adalah rahim yang melahirkan seribu kebebasan dan kemungkinan yang tidak pernah bisa kita bayangkan efek domino-nya. Seseorang harus berani mengkritik, berani membuat konstruksi penilaian tentang kualitas negatif seorang pemimpin atau kebijakan-kebijakannya. Di sinilah peran mahasiswa sebagai spektator sekaligus kritikus wakil rakyat dalam upaya mengabdikan diri kepada masyarakat dan agar berguna bagi peradaban.

“ ... bring down the government

They don't, they don't speak for us ... ”

—Radiohead - No Surprises

Skeptisisme Descartes meskipun sudah hiper-klise harus tetap kita amalkan. Suatu otoritas yang melembaga secara formal di bawah istilah de facto dan de jure yang menaungi kepentingan orang banyak mesti dicurigai bersama—dalam ini negara dan pemerintah. Sudah terlalu banyak dari kita yang berpikir positif kepada pemerintah dan mengikuti arus—beberapa dari kita mesti berpikir negatif dan melawan arus—sebagai penyeimbang. Meskipun kalimat tadi terdengar dungu dan serampangan, tetapi kita harus ingat kepada apa yang telah disabdakan Nietzsche dalam magnun opus-nya:

“Negara, adalah yang terdingin dari semua monster dingin. Dengan dingin berbohong pula; dan kebohongan ini merayap dari mulutnya: “Aku, negara, adalah rakyat.” Itu adalah kebohongan!  Pencipta adalah mereka yang menciptakan orang-orang, dan menggantungkan kepercayaan dan cinta atas mereka: dengan demikian mereka melayani kehidupan. Penghancur, adalah mereka yang memasang jerat bagi banyak orang, dan menyebutnya negara: mereka menggantungkan pedang dan seratus nafsu di atasnya.”

—Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra (1978)

Mahasiswa adalah agen perubahan, apa jadinya jika agen perubahan tidak berani berpikir sendiri, apatis, dan hanya manut-manut pada berbagai fenomena, gejolak, dan krisis yang terjadi di masyarakat? Katastrofi! Gema Sapere Aude di era Aufklärung mungkin sudah berumur 3 abad lamanya, tetapi kita harus tetap menjaga suara-suara tersebut agar tidak lenyap. Meskipun Horace dan Kant sudah lama mati, semangat kemandirian untuk berpikir harus kita jaga agar tetap hidup dan tidak redup.

Terakhir, di tengah kecarutmarutan kondisi sosio-ekonomi-politik dan masalah-masalah multidimensi internal-eksternal seperti saat ini—penulis berpikir seharusnya mampu merangsang kelahiran banyak orator, penulis, seniman, jurnalis, atau siapapun dengan latar belakang apapun yang bisa dengan tajam “mengingatkan para pemegang kekuasaan” agar tidak menjalankan negara dengan semena-mena. Statum Brutum Amor Fati!

Semoga semua makhluk berbahagia.

Referensi:

MA, Moch Aldy. 2021. “Carpe Diem; Cara Manusia Menghayati Hidup”. MJSColombo;

Q. Horatius Flaccus (Horace). Horace, Satires, Epistles and Ars Poetica. H. Rushton Fairclough. London; Cambridge, Massachusetts. William Heinemann Ltd.; Harvard University Press. 1929;

Croskerry, Pat. "Sapere aude in the diagnostic process" Diagnosis, vol. 7, no. 3, 2020, pp. 165-168. https://doi.org/10.1515/dx-2020-0079;

Nisbet, H. B. (1982). “Was ist Aufklärung?”: The Concept of Enlightenment in Eighteenth-Century Germany. Journal of European Studies, 12(46), 77–95. https://doi.org/10.1177/004724418201204601;

Kant, Immanuel. 2009. An Answer to the Question: What Is Enlightenment?. Penguin Books Ltd;

O'Neill, O. 1998, 'Criticisms of Kantian ethics In: Kantian ethics' In: Routledge Encyclopedia of Philosophy, Taylor and Francis, viewed 1 October 2022, <https://www.rep.routledge.com/articles/thematic/kantian-ethics/v-1/sections/criticisms-of-kantian-ethics>. doi:10.4324/9780415249126-L042-1;

Santas, G. (2007). PLATO'S CRITICISMS OF DEMOCRACY IN THE REPUBLIC. Social Philosophy and Policy, 24(2), 70-89. doi:10.1017/S0265052507070173

Chomsky, Noam. 2003. Masters of Mankind: Essays and Lectures, 1969-2013. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 1978. Thus Spoke Zarathustra. Penguin Books.

Tuesday 4 October 2022

Pengantar Singkat Eksistensialisme (Esai Translasi)

Ditulis oleh Luke Mastin dalam Bahasa Inggris & diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Eksistensialisme—singkatnya—adalah tradisi pemikiran kefilsafatan yang menekankan nilai-nilai dari eksistensi pribadi, misalnya, terkait kebebasan & pilihan-pilihan. Berangkat dari pandangan bahwa manusia mampu mendefinisikan makna mereka sendiri dalam hidup—bahwa manusia mampu membuat keputusan yang rasional meskipun berada di alam semesta yang tak bermakna, jelek, random, nonsens, & irasional—tak lama setelah mengalami semacam keterlemparan (baca: dilahirkan).

Eksistensialisme berfokus pada pertanyaan tentang keberadaan manusia & perasaan bahwa tak ada tujuan atau penjelasan mutlak mengenai inti keberadaan. Eksistensialisme, khususnya eksistensialisme-ateistik, berpendapat bahwa, (karena tidak ada Tuhan atau kekuatan transenden lain) satu-satunya cara untuk melawan “void” ini adalah dengan “merangkul” eksistensi kita sendiri.

Dengan demikian, Eksistensialisme percaya bahwa individu sepenuhnya bebas & harus mengambil tanggung jawab pribadi untuk diri mereka sendiri (walaupun dengan tanggung jawab ini muncul kecemasan, penderitaan, atau ketakutan yang mendalam). Oleh karenanya, ia menekankan tindakan, kebebasan, & keputusan sebagai hal yang mendasar, serta menyatakan bahwa satu-satunya cara untuk mengatasi kondisi kemanusiaan yang secara fundamental irasional (yang ditandai dengan penderitaan & kematian yang tak terhindarkan) adalah dengan menjalankan kebebasan & mengambil pilihan-pilihan pribadi kita (penolakan Determinisme sepenuhnya).

Seringkali, Eksistensialisme (sebagai sebuah gerakan) digunakan untuk menggambarkan mereka yang menolak untuk menjadi bagian dari aliran pemikiran mana pun, menolak kecukupan suatu korpus kepercayaan atau sistem apa pun—mengklaim korpus-korpus tersebut dangkal, akademis, & jauh dari kehidupan. Meskipun memiliki banyak kesamaan dengan Nihilisme, Eksistensialisme lebih merupakan reaksi terhadap filsafat tradisional, seperti Rasionalisme, Empirisme, & Positivisme, yang berusaha menemukan tatanan tertinggi & makna universal dalam prinsip-prinsip metafisik atau dalam struktur dunia yang diamati. Ini menegaskan bahwa manusia benar-benar membuat keputusan berdasarkan apa yang berarti bagi mereka, ketimbang pada apa yang rasional.

Eksistensialisme berasal dari filsuf abad ke-19—Søren Kierkegaard (1813 - 1855) & Friedrich Nietzsche (1844 - 1900)—meskipun keduanya tak menggunakan istilah eksistensialisme secara gamblang di dalam karya-karya mereka. Pada tahun 1940-an & 1950-an, eksistensialis Prancis seperti Jean-Paul Sartre (1905 - 1980), Albert Camus (1913 - 1960), & Simone de Beauvoir (1908 - 1986) menulis karya ilmiah & karya fiksi yang mempopulerkan tema-tema eksistensial, seperti ketakutan, kebosanan, keterasingan, absurditas, kebebasan, komitmen, kehampaan, & ketiadaan.

Keyakinan Utama

Tak seperti René Descartes (1596 - 1650), yang mengagungkan kesadaran, Eksistensialis menegaskan bahwa manusia “dilemparkan ke” semesta yang konkret, alam semesta tetap yang tak dapat “dipikirkan lebih jauh”, & oleh karenanya eksistensi (“berada di dunia”) mendahului kesadaran, & itu merupakan realitas tertinggi. Maka, eksistensi ada sebelum esensi (esensi adalah makna yang dapat dianggap berasal dari kehidupan)—kontras dengan pandangan filsafat tradisional yang berasal dari Yunani kuno. Seperti yang dikatakan Sartre: “Pada mulanya [manusia] bukan apa-apa. Hanya setelah itu dia akan menjadi sesuatu, dan dia sendiri akan membuat dirinya menjadi apa yang dia inginkan.”

Kierkegaard melihat rasionalitas sebagai mekanisme yang digunakan manusia untuk melawan kecemasan eksistensial mereka, ketakutan mereka (ketika) berada di dunia. Sartre melihat rasionalitas sebagai bentuk “itikad buruk”, upaya diri untuk memaksakan struktur pada dunia fenomena yang secara fundamental irasional & random. Itikad buruk ini menghalangi kita untuk menemukan makna dalam kebebasan, & membatasi kita dalam pengalaman sehari-hari.

Kierkegaard juga menekankan bahwa seorang individu harus memilih jalan mereka sendiri tanpa bantuan standar-objektif-yang-universal. Nietzsche lebih lanjut berpendapat bahwa seorang individu harus memutuskan situasi mana yang dianggap sebagai situasi moral. Dengan demikian, sebagian besar Eksistensialis percaya bahwa pengalaman pribadi & bertindak berdasarkan keyakinannya sendiri sangatlah penting dalam mencapai kebenaran, & bahwa pemahaman situasi oleh seseorang yang terlibat langsung dalam situasi itu jelas lebih unggul ketimbang pemahaman pengamat objektif yang tak mengalami situasi tersebut (mirip dengan konsep Subjektivisme).

Menurut Camus, ketika kerinduan seorang individu akan keteraturan bertabrakan dengan ketakteraturan di dunia kenyataan, hasilnya adalah absurditas. Oleh karenanya, manusia adalah subjek dalam alam semesta yang masa bodoh, ambigu, & absurd—di mana makna tak disediakan oleh tatanan alam, melainkan (dapat) diciptakan (namun hanya sementara & tak stabil) oleh tindakan & interpretasi manusia.

Eksistensialisme dapat bersifat ateistik, teologis (atau teistik), atau agnostik. Beberapa Eksistensialis, seperti Nietzsche, menyatakan bahwa “Tuhan telah mati” & bahwa konsep Tuhan sudah usang. Figur yang lain, seperti Kierkegaard, sangat religius, bahkan jika para eksistenialis-ateistik merasa tak bisa membenarkan anggapan tersebut. Faktor penting bagi Eksistensialis adalah kebebasan memilih “untuk percaya” atau “tak percaya”.

Sejarah Eksistensialisme

Tema-tema bercorak eksistensialis muncul dalam tulisan-tulisan Buddhis & Kristen awal (termasuk tulisan St. Augustine & St. Thomas Aquinas). Pada abad ke-17, Blaise Pascal (1623 - 1662) menyatakan bahwa, tanpa tuhan, hidup tak akan bermakna, membosankan & penuh kesengsaraan, seperti yang diyakini oleh para Eksistensialis, meskipun, tak seperti mereka—Pascal melihat ini sebagai alasan dari eksistensi tuhan. Seseorang yang hampir sezaman dengannya, John Locke (1632 - 1704), menganjurkan otonomi individu & determinasi-diri, tetapi dalam pengejaran  Liberalisme & Individualisme mutlak— ketimbang sebagai tanggapan atas pengalaman Eksistensialis.

Eksistensialisme, dalam bentuknya yang saat ini dapat dikenali—mula-mula diilhami oleh filsuf Denmark abad ke-19 Søren Kierkegaard, filsuf Jerman Friedrich Nietzsche, Martin Heidegger (1889 - 1976), Karl Jaspers (1883 - 1969) & Edmund Husserl (1859 - 1938)—juga penulis seperti Fyodor Dostoevsky dari Rusia (1821 - 1881) & Franz Kafka dari Ceko (1883 - 1924). Dapat dikatakan bahwa Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770 - 1831) & Arthur Schopenhauer (1788 - 1860) juga berpengaruh besar dalam perkembangan Eksistensialisme, karena filsafat Kierkegaard & filsafat Nietzsche ditulis sebagai tanggapan atau pertentangan terhadap mereka.

Kierkegaard & Nietzsche, seperti Pascal sebelumnya, tertarik pada apa yang orang-orang sembunyikan tentang ketakbermaknaan hidup & penggunaan “pengalihan” untuk melarikan diri dari rasa jemu. Namun, tak seperti Pascal, mereka menganggap peran membuat-pilihan-bebas pada nilai-nilai fundamental & keyakinan penting dalam upaya untuk mengubah sifat & identitas “pembuat-pilihan” tersebut. Dalam kasus Kierkegaard, ini menghasilkan “ksatria-iman”, yang menaruh kepercayaan penuh pada dirinya sendiri & pada tuhan, seperti yang dijelaskan dalam karyanya tahun 1843 “Fear and Trembling”. Dalam kasus Nietzsche—yang banyak difitnah—yaitu “Übermensch” (atau “Superman”)—mencapai superioritas & transendensi tanpa menggunakan “keduniawian-lain” à la Kekristenan, dalam bukunya “Thus Spake Zarathustra” (1885) & “Beyond Good and Evil” (1887).

Martin Heidegger adalah seorang filsuf awal yang penting dalam gerakan tersebut, khususnya karyanya yang berpengaruh pada tahun 1927 “Being and Time”, meskipun ia sendiri dengan keras menyangkal menjadi seorang eksistensialis dalam pengertian Sartrean. Diskursusnya tentang ontologi berakar pada analisis mode keberadaan individu manusia, & analisisnya tentang otentisitas & kecemasan dalam budaya modern membuatnya sangat Eksistensialis.

Eksistensialisme muncul pada pertengahan abad ke-20, sebagian besar melalui karya ilmiah & karya fiksi dari Eleksistensialis Prancis, Jean-Paul Sartre, Albert Camus, & Simone de Beauvoir. Maurice Merleau-Ponty (1908 - 1961) adalah eksistensialis Prancis yang berpengaruh & sering diabaikan pada periode itu.

Sartre mungkin yang paling terkenal, serta salah satu dari sedikit eksistensialis yang benar-benar menerima disebut “eksistensialis”. “Being and Nothingness” (1943) adalah karyanya yang paling penting, & novel serta dramanya, termasuk “Nausea” (1938) & “No Exit” (1944), membantu mempopulerkan gerakan ini.

Dalam “The Myth of Sisyphus” (1942), Albert Camus menggunakan analogi mitos Yunani Sisyphus (yang dikutuk selamanya untuk mendorong batu ke atas bukit, hanya untuk menggulingkannya ke bawah lagi) sebagai contoh kesia-siaan eksistensi, tetapi menunjukkan bahwa Sisyphus akhirnya menemukan makna & tujuan dalam hidupnya, hanya dengan terus-menerus “menerapkan dirinya” untuk itu.

Simone de Beauvoir, seorang eksistensialis penting yang menghabiskan sebagian besar hidupnya bersama Sartre, menulis tentang feminis & etika eksistensial dalam karya-karyanya, termasuk “The Second Sex” (1949) & “The Ethics of Ambiguity” (1947).

Meskipun Sartre dianggap (oleh sebagian besar) sebagai Eksistensialis yang paling unggul, & (oleh banyak orang) sebagai filsuf penting & inovatif dalam dirinya sendiri, yang lain kurang terkesan dengan kontribusinya. Heidegger sendiri berpikir bahwa Sartre hanya mengambil karyanya & meregresinya kembali ke filsafat berorientasi subjek-objek Descartes & Husserl, yang persis seperti apa yang Heidegger coba bebaskan dari filsafat. Beberapa orang melihat Maurice Merleau-Ponty sebagai filsuf Eksistensialis yang lebih baik, khususnya karena penggabungannya dengan tubuh sebagai cara kita mengada di dunia, & untuk analisis “persepsi” yang lebih lengkap (dua bidang di mana karya Heidegger sering dianggap kurang).

Kritik terhadap Eksistensialisme

Herbert Marcuse (1898 - 1979) mengkritik Eksistensialisme, terutama “Being and Nothingness” karya Sartre, karena memproyeksikan beberapa fitur hidup dalam masyarakat modern yang menindas (fitur seperti kecemasan & ketakberarmaknaan) ke dalam sifat keberadaan itu sendiri.

Roger Scruton (1944 - 2020) mengklaim bahwa baik konsep Heidegger tentang ketakotentikan & konsep itikad buruk Sartre sama-sama tak konsisten, dalam arti bahwa mereka menyangkal setiap kredo moral yang universal, namun berbicara tentang konsep-konsep ini seolah-olah setiap orang terikat untuk mematuhinya.

Kaum Marxis, khususnya ketika pascaperang Prancis, menemukan Eksistensialisme bertentangan dengan penekanan mereka pada solidaritas umat manusia & teori determinisme ekonomi. Mereka lebih lanjut berpendapat bahwa penekanan Eksistensialisme pada pilihan individu mengarah pada kontemplasi daripada tindakan, & bahwa hanya kaum borjuis yang memiliki kemewahan untuk menjadikan diri mereka sesuai dengan apa yang mereka inginkan melalui pilihan mereka, sehingga mereka menganggap Eksistensialisme sebagai filsafat borjuis.

Kritikus Kristen mengeluhkan bahwa Eksistensialisme menggambarkan umat manusia dalam cahaya terburuk, mengabaikan martabat & anugerah yang berasal dari penciptaan menurut Imago Dei. Juga, menurut kritikus Kristen, Eksistensialis tak dapat menjelaskan dimensi moral kehidupan manusia, & tak memiliki dasar teori etika jika mereka menyangkal bahwa manusia terikat oleh perintah tuhan. Di sisi lain, beberapa penafsir telah keberatan dengan penggolongan Kierkegaard yang terus-menerus pada Kekristenan, terlepas dari ketakmampuannya untuk secara efektif menjustifikasinya.

Dalam istilah yang lebih umum, penggunaan karakter pseudonim dalam tulisan eksistensialis dapat membuatnya tampak seperti pengarang yang tak mau mengakui “insight”-nya sendiri, & membingungkan filsafat dengan sastra.

*****

Sumber Literatur

Mastin, Luke. "Existentialism - By Branch / Doctrine - The Basics of Philosophy." Existentialism - The Basics of Philosophy: https://www.philosophybasics.com/branch_existentialism.html