Thursday 4 August 2022

Analisis Cerpen “The Wall” - Sartre (Esai Translasi)

Gulag (2018) by Claiborne Coyle

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

Sinopsis

Narator "The Wall", Pablo Ibbieta, adalah seorang anggota Brigade Internasional, sukarelawan dengan pemikiran progresif dari negara lain yang pergi ke Spanyol demi berperang melawan Fasisme Francisco Franco dalam upaya mempertahankan Spanyol sebagai negara republik. Bersama dua orang lainnya, Tom dan Juan, dia ditangkap oleh tentara Franco. Tom aktif dalam perjuangan, seperti Pablo; tetapi Juan hanyalah seorang pemuda yang kebetulan adalah saudara dari seorang anarkis yang giat memerangi fasis.

Interogator Tidak Bertanya Apa-apa

Dalam adegan pertama, mereka diwawancarai dengan cara yang sangat ringkas. Mereka hampir tidak ditanya apa-apa, meskipun sang interogator tampaknya menulis banyak tentang mereka. Pablo ditanya apakah dia tahu keberadaan Ramon Gris, seorang pemimpin anarkis lokal. Dia berkata, tidak mengetahuinya. Mereka kemudian dibawa ke dalam sel. Pada pukul 8:00 malam, seorang petugas datang untuk memberi tahu mereka, dengan cara yang sejujur-jujurnya, bahwa mereka telah dijatuhi hukuman mati dan akan ditembak mati keesokan paginya.

Pengetahuan tentang Kematian yang akan Datang

Secara alami, mereka menghabiskan malam dengan rasa tertekan oleh pengetahuan tentang kematian mereka yang akan datang. Juan tidak berdaya ketika mengasihani dirinya sendiri. Seorang dokter Belgia menemani mereka agar saat-saat terakhir mereka "tidak terlalu sulit". Pablo dan Tom berjuang untuk menerima gagasan kematian pada tingkat intelektual, sementara tubuh mereka mengungkapkan rasa takut yang secara alami memang mereka takuti. Pablo mendapati dirinya basah kuyup oleh keringatnya sendiri; Tom tidak bisa mengontrol kandung kemihnya (dia mengompol).

Semuanya Berubah

Pablo mengamati bagaimana dihadapkan dengan kematian secara radikal mengubah cara pandang tentang segala sesuatu—benda-benda yang dikenal, orang-orang, teman-teman, orang-orang asing, kenangan-kenangan, hasrat-hasrat—merupa padanya dan sikapnya terhadap itu semua berubah total. Dia merenungkan hidupnya pada titik ini:

Pada saat itu aku merasa bahwa aku mendapati seluruh hidupku berada di depanku dan aku berpikir, "Ini adalah omong kosong yang terkutuk". Tidak ada gunanya, sebab semuanya telah selesai. Aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa berjalan, tertawa bersama gadis-gadis: aku tidak akan bergerak selincah jari kelingkingku jika aku hanya membayangkan aku akan mati seperti ini. Hidupku berada di depanku, terkunci, tertutup, seperti tas, namun semua yang ada di dalamnya belumlah selesai. Untuk sesaat aku mencoba menilainya. Aku ingin mengatakan pada diriku sendiri, ini adalah kehidupan yang indah. Tapi aku tidak bisa menilainya; itu hanyalah sketsa; aku telah menghabiskan waktuku memalsukan keabadian, aku tidak mengerti apa-apa. Aku tidak melewatkan apa pun: ada begitu banyak hal yang bisa kulewatkan, rasa manzanilla atau mandi yang kulakukan di musim panas di sungai kecil dekat Cadiz; tetapi kematian telah mengecewakan semuanya.

Dikeluarkan dari Sel untuk Ditembak Mati

Pagi tiba, Tom dan Juan dibawa ke luar untuk ditembak mati. Pablo diinterogasi lagi, dan diberitahu bahwa jika dia membeberkan di mana keberadaan Ramon Gris, dia akan dibebaskan dari hukuman mati. Dia dikunci di ruang cuci untuk memikirkannya selama 15 menit ke depan. Sewaktu itu Pablo bertanya-tanya mengapa dia rela mengorbankan hidupnya untuk Gris, dan tidak bisa memberikan jawaban selain bahwa dia harus menjadi "orang yang keras kepala". Ketidakrasionalan dari tindakannya itu menghibur dirinya sendiri.

Melawak

Ditanya sekali lagi untuk mengungkapkan di mana Ramon Gris bersembunyi, Pablo memutuskan untuk bergurau dan menyampaikan jawaban, memberi tahu interogatornya bahwa Gris bersembunyi di pekuburan lokal. Tentara segera dikirim, Pablo pun menunggu kepulangan mereka dan eksekusinya. Namun, beberapa saat kemudian, dia diizinkan bergabung dengan kumpulan tahanan di halaman yang tidak menunggu eksekusi mati, dan diberitahu bahwa dia tidak akan ditembak—setidaknya untuk saat ini. Pablo tidak mengerti mengapa dia dipindahkan dan eksekusi matinya ditunda, sampai salah satu tahanan lain mengatakan kepadanya bahwa Ramon Gris, pagi itu ditemukan dan dibunuh setelah pindah dari tempat persembunyiannya yang lama ke pekuburan lokal. Pablo bereaksi dengan "tertawa keras, sangat keras sampai dia menangis".

Analisis Tema Utama

Elemen penting dari cerita Sartre membantu menghidupkan beberapa konsep sentral eksistensialisme. Tema utama ini meliputi:

Hidup Dihadirkan sebagai Sesuatu yang Dialami

Seperti kebanyakan literatur eksistensialis lainnya, cerita ditulis dari sudut pandang orang pertama, dan narator tidak memiliki pengetahuan di luar masa kini. Dia tahu apa yang dia alami; tetapi dia tidak bisa masuk ke dalam pikiran orang lain; tidak pula dia mengatakan sesuatu seperti, "Kemudian aku menyadari bahwa ..."—yang tentu bermakna melihat kembali masa kini dari masa depan.

Intensitas Sensasi

Pablo mengalami-mengindrai kedinginan, kehangatan, kelaparan, kegelapan, cahaya terang, bebauan, bersimpati (dengan hal-hal kiri, komunisme), dan kenestapaan. Orang-orang menggigil, berkeringat, dan mengompol. Sementara para filsuf seperti Plato melihat sensasi sebagai penghambat pengetahuan, di cerpen ini, sensasi disajikan sebagai jalan dari pemahaman akan sesuatu.

Tidak Ada Ilusi

Pablo dan Tom mendiskusikan sifat kematian mereka yang akan datang sebrutal dan sejujur ​​mungkin, bahkan membayangkan peluru-peluru tenggelam ke dalam daging mereka. Pablo mengakui kepada dirinya sendiri bagaimana ekspektasinya akan kematian telah membuatnya tidak peduli kepada orang lain dan kepada tujuan yang dia perjuangkan.

Kesadaran vs. Hal-hal Material

Tom mengatakan bahwa dia dapat membayangkan tubuhnya terbaring lemah dilubangi peluru; tetapi dia tidak dapat membayangkan ketika dirinya tidak mengada—sebab "diri" yang dia identifikasi adalah kesadarannya, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Seperti yang Sartre katakan, "kita tidak dibuat untuk berpikir seperti itu."

Semua Orang Mati Seorang Diri

Kematian memisahkan yang hidup dari yang mati; tetapi mereka yang akan mati juga terpisah dari yang hidup—sebab hanya mereka (yang akan mati) yang dapat mengalami apa yang akan terjadi pada mereka sendiri. Kesadaran yang kuat dan intens akan hal ini menempatkan batas-batas antara mereka (yang akan mati) dan setiap orang.

Kondisi Manusia Diintensifkan

Seperti yang diamati Pablo, para sipirnya juga akan segera mati, hanya sedikit lebih lambat dari dirinya. Hidup di bawah hukuman mati adalah kondisi manusia. Tapi, sewaktu hukuman itu akan segera dilaksanakan, kesadaran yang kuat akan kehidupan meningkat pesat.

Simbolisme Judul

"The Wall" atau Dinding adalah simbol penting dalam cerita pendek ini, dan mengacu pada beberapa dinding atau penghalang.

• Dinding tempat mereka akan ditembak mati.

• Tembok yang memisahkan kehidupan dari kematian.

• Tembok yang memisahkan yang hidup dari yang terpidana mati.

• Dinding yang memisahkan satu individu dengan individu lainnya.

• Dinding yang mencegah kita mencapai pemahaman yang jelas tentang apa itu kematian.

• Dinding yang mewakili materi kasar, yang kontras dengan kesadaran, dan di mana kesadaran manusia akan terhapus saat ditembak mati.

*****

Sumber Literatur:

Understanding Sartre's "The Wall" – ThoughtCo.


Saturday 30 July 2022

Sartre versus Camus (Esai Translasi)

SFJ
Jean-Paul Sartre dan Albert Camus adalah dua ikon utama kehidupan intelektual Prancis abad ke-20, khususnya pada tahun 1940—1960. Karya dan komitmen mereka bersinggungan dan saling merespon begitu banyak tantangan bagi dunia.

Pengantar Sartre versus Camus: Perang dan Filsafat: Latar Belakang Sejarah

Hubungan Sartre-Camus telah memodelkan filsafat Prancis pasca-Perang Dunia II.

Sejak tahun 1943, Sartre dan Camus, berkawan baik, keduanya di mana-mana bersama. Publik, tanpa detail yang jelas, bahkan mencantumkan penulis Nausea dan The Stranger itu di bawah label yang sama: “Eksistensialis”.

Setelah pembebasan Prancis yang dimulai pada 6 Juni 1944, eksistensialisme lebih dari sekadar filsafat yang sedang digemari, ini adalah gaya hidup dan tempat: Saint-Germain-des-Prés (wilayah Paris).  The Existentialism Is a Humanism merangkum filsafat ini dengan baik.

Bagi khalayak banyak dapat diringkas dalam satu kalimat: “eksistensi mendahului esensi”.

Eksistensialisme Sartre dirancang pertama sebagai filsafat kebebasan dan tanggung jawab: kita adalah apa yang kita lakukan, bukan makhluk yang takdirnya telah ditentukan sebelumnya. Menurut kata kunci hari ini, tentang 'komitmen'.

Camus tentu tidak menolak untuk terlibat, tetapi ia menolak label “eksistensialis” dan bahkan seorang filsuf. Sejak tahun 1947, ketidak sepakatan politik antara Sartre dan Camus memperdalam Camus untuk mencela kubu Stalin, bagian dari "rumah tangga" Sartre yang Komunis.

Pada tahun 1952, Jeanson (teman Sartre) diterbitkan dalam jurnal Sartre, “Modern Times”, sebuah laporan yang sangat kritis terhadap The Rebel. Buku terakhir Camus dianggap reaksioner, dan penuh penilaian yang keliru. Camus, tidak memedulikan Jeanson, merespon langsung ke Sartre. Edisi berikutnya dari “Modern Times” diterbitkan di sebelah surat dar itanggapan keras Camus kepada Sartre:

“Campuran gelap antara rasa puas diri dan kerentanan selalu memperkecil hati untuk mengatakan seluruh kebenaran … Mungkin Anda miskin, tetapi Anda tidak lagi miskin. Anda adalah warga negara dan seperti Jeanson yang seperti saya … moral Anda pertama kali diubah menjadi moralisme, hari ini lebih dari sekadar sastra, besok mungkin menjadi tidak bermoral.”

Camus dan Sartre tidak akan pernah bertemu. Namun, empat tahun kemudian, ketika Tentara Merah menumpas pemberontakan di Budapest, Sartre pada gilirannya (diikuti oleh sejumlah besar intelektual) memutuskan hubungan dengan Partai Komunis. Akan tetapi, perang di Aljazair antara Sartre dengan seorang pendukung kemerdekaan, Camus, yang masih ingin percaya pada jalan penyelesaian yang damai, kembali pecah.

Camus dan Eksistensialisme

Albert Camus (1913—1960), yang dianugerahi Penghargaan Nobel pada tahun 1957, adalah kawan pertama Jean-Paul Sartre yang kemudian menjadi lawannya. Tidak seperti Sartre, yang seorang laki-laki borjuis, Camus adalah laki-laki pinggiran kota yang miskin. Camus merasa mewakili pemikiran Mediterania, dengan kata lain, kemurnian dari (Yunani, Latin, klasik). Kemurnian antara instrumental dalam desain absurd dan manusia absurd adalah segalanya, di atas semua yang memikirkan dengan jernih perihal kehidupan. Sikap “Hellenik” atau “Hellenistik” ini bahkan lebih menonjol meskipun bersentuhan dengan budaya Arab atau Spanyol, tetapi Camus sama sekali tidak dipengaruhi dan terpengaruh Islam (meskipun bersentuhan langsung dengan budaya Arab).

Eksistensialisme Camus adalah eksistensialis yang putus asa, tetapi tanpa nausea dan disgust ala Sartrean. Eksistensialisme Camus adalah peramal putus asa, pendiri kebesaran manusia dan humanisme Camusian.

Manusia absurd adalah pusat pemikiran Camus. Seperti para filsuf eksistensialis lainnya, perasaan absurditas adalah konsekuensi dari sifat dasar keberadaan manusia—tidak terbatas pada wajah absolut yang dilemparkan ke dalam dunia yang sama sekali tidak memiliki rasa peduli. Namun, seperti yang ditunjukkan oleh Camus, absurditas tidak terletak pada manusia ataupun alam semesta: ini adalah hasil dari pengamatannya dan realisasi paradoks itu. Beberapa sikap dimungkinkan. Camus menolak sikap eskapis (melarikan diri): bunuh diri, yang ditarik kembali dengan menghapusnya, salah satu istilah dari kontradiksi (penekanan kesadaran). Ia juga menolak doktrin-doktrin bahwa dunia ini terletak di luar dasarnya dan harapan yang akan memberi makna pada kehidupan, keyakinan agama, pemikiran bunuh diri filosofis (Kierkegaard, Jaspers, Shestov).

Manusia absurd adalah seseorang yang menerima tantangan dengan lugas, ini adalah dasar dari pemberontakannya yang membawanya untuk mengambil baik kebebasannya, tetapi juga kontradiksinya sendiri dengan memutuskan untuk hidup dengan hasrat dan hanya dengan apa yang ia ketahui.

Karya Camus:

The Myth of Sisyphus (1942)

The Rebel (1951)

The Stranger (1944)

The Plague (1947)

The Fall (1956)

Sartre: Eksistensialisme adalah Humanisme: 1946

Ketika mempertimbangkan objek yang diproduksi seperti buku atau pemotong kertas, objek ini dibuat oleh seorang pengrajin yang terinspirasi oleh konsep yang diamaksud dengan konsep potong kertas, dan juga teknik bagian pra-produksi dari konsep tersebut, yang pada dasarnya adalahr esep. Jadi, pembuka adalah objek yang bekerja dengan cara tertentu dan, di sisi lain, juga memiliki manfaat yang pasti, dan kita tidak dapat mengasumsikan seorang manusia yang akan menghasilkan pisau kertas tanpa mengetahui apa yang akan melayani tujuannya. Mari kita katakan bahwa untuk pemotong, bensin—yaitu semua resep dan kualitas yang dapat memproduksi dan mendefinisikannya—mendahului eksistensi, dan kehadiran di depan saya, seperti pembuka surat atau buku semacam itu ditentukan. Di sini kita memiliki penglihatan teknis tentang dunia di mana kita dapat mengatakan bahwa tahap-tahap produksi itu mendahului eksistensi.

Eksistensialisme ateistik, yang saya wakili, […] mengatakan bahwa jika Tuhan tidak ada, setidaknya ada makhluk yang eksistensinya mendahului esensi, makhluk yang ada sebelum dapat didefinisikan oleh konsep apa pun dan makhluk ini adalah manusia atau, seperti yang dikatakan Heidegger, realitas-manusia1. Apa yang dimaksud di sini bahwa eksistensi mendahului esensi? Ini berarti bahwa manusia pertama-tama ada, terjadi, muncul di dunia, dan itu ditentukan kemudian. Manusia, sebagai mana dikandung oleh eksistensialisme, tidak dapat didefinisikan, adalah bahwa ia bukan yang pertama. Itu akan terjadi, dan itu akan menjadi seperti yang telah terjadi. Jadi, tidak ada kodrat manusia, karena tidak ada sosok Adikodrati yang memikirkannya. Manusia tidak hanya seperti yang berkembang, tetapi seperti yang diinginkannya, dan ketika ia berkembang dari sana, seperti yang ia inginkan setelah momentum keberadaan ini, manusia tidak lain adalah apa adanya. Ini adalah prinsip pertama eksistensialisme.  […]

Maksudnya manusia pertama-tama ada, artinya manusia terutama adalah apa yang dilemparkan ke masa depan, dan apa yang secara sadar melihat ke masa depan. Manusia pada dasarnya adalah sebuah proyek yang dihayati secara subjektif, dari pada buih, pembusukan atau kembang kol, tidak ada yang ada sebelum proyek ini, tidak ada yang di surga yang dapat dipahami2, dan manusia apa yang pertama kali harus diproyeksikan.

 1 – realitas manusia: dalam bahasa Jerman, diterjemahkan Dasein (secara harfiah "berada di sana"), yang berarti cara keberadaan manusia, karena ia masih direncanakan.

 2 - Di surga dapat dipahami: di langit ide, rumah, menurut Plato, esensi dari semua hal.

Jean-Paul Sartre versus Albert Camus

Sartre dan Camus telah menulis karya tanpa pernah mengetahui bahwa karya-karya itu akan membuat mereka terkenal. Sartre menghargai The Stranger, sementara Camus tertarik pada Nausea dan The Wall. Akan tetapi, kita tidak bisa membayangkan pandangan dunia yang lebih berlawanan dari pada Sartre, dibayangi oleh kengerian alam yang mendalam, dan Camus, oleh cinta Mediterania yang terang. Persahabatan sulit bergabung dengan kedua penulis itu setelah Pembebasan Prancis, Camus tidak pernah berhenti untuk menjauhkan vis-à-vis eksistensialisme Sartre. Pecahnya mereka, yang menyebabkan kegemparan besar pada tahun 1952 mungkin menandai perbedaan politik, Sartre mengalami lebih banyak simpati dan Camus tumbuh dan mengalami kengerian dari komunisme Soviet. Namun, ia menghabiskan sebagian besar perceraian antara dua konsepsi kehidupan dan sastra: humanisme, pemberontakan, cinta kebahagiaan, cinta "bentuk yang baik" Camus, komitmen politik, revolusi, obsesi dengan rasa bersalah, jijik dengan "sastra" di Sartre. Jika di luar semua perbedaan ini ada suatu kesatuan tertentu antara karya mereka masing-masing, itu ada di cakrawala tahun yang sama, yang umum bagi mereka dan mereka membantu membentuknya bersama. Dapat dijelaskan bahwa eksistensialis mememiliki sedikit melampaui cakupan sebuah generasi, dan ia tidak memiliki literatur yang subur yang telah menunjukkan dua puluh tahun sebelumnya, surealisme. Mentor pembelajar ini memiliki, tetapi tidak banyak.

*****

Sumber Literatur: Tim, "Sartre vs. Camus: The battle of french philosophers, February 17, 2022, " in Philosophy & Philosophers, February 17, 2022, https://www.the-philosophy.com/sartre-vs-camus.

Sunday 24 July 2022

Transendensi Ego à la Sartre (Esai Translasi)


Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha.

The Transendence of the Ego adalah esai filsafat yang diterbitkan oleh Jean-Paul Sartre pada tahun 1936. Di dalamnya, dia mengemukakan pandangannya bahwa the self (diri) atau “ego” bukanlah sesuatu yang seseorang (kita) sadari.

Model kesadaran yang dikemukakan Sartre dalam esai ini dapat diuraikan sebagai berikut. Kesadaran selalu intensional (disengaja); yaitu, selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. 'Objek' kesadaran dapat berupa hampir semua jenis hal: objek fisik, proposisi, keadaan, citra atau suasana hati yang diingat—apa pun yang dapat ditangkap oleh kesadaran. Inilah “prinsip intensionalitas” yang menjadi titik pangkal fenomenologi (Edmund) Husserl.

Sartre meradikalisasi prinsip ini dengan menegaskan bahwa kesadaran tidak lain hanyalah intensionalitas (prinsip kunci filsafat Husserl; kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu 'Consciousness on Something', seperti halnya kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi dirinya sendiri). Artinya, kesadaran adalah aktivitas yang murni, dan menyangkal bahwa ada "ego" yang terletak di dalam, di balik atau di bawah kesadaran sebagai sumbernya atau ada kondisi yang diperlukan. Pembenaran klaim ini adalah salah satu tujuan utama Sartre dalam The Transendence of the Ego.

Sartre pertama-tama membedakan antara dua mode kesadaran: kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan. Kesadaran yang tak-terefleksikan hanyalah kesadaran Aku yang biasa tentang hal-hal selain kesadaran itu sendiri: burung, lebah, sepotong musik, makna kalimat, wajah yang teringat, dan lain-lain. Menurut Sartre, kesadaran pada saat yang sama menempatkan dan menggenggam objeknya. Dan dia menggambarkan kesadaran seperti itu sebagai "posisional" dan sebagai "thetic".  Apa yang Sartre maksud dengan istilah-istilah ini tidak sepenuhnya jelas, tetapi dia tampaknya mengacu pada fakta bahwa dalam kesadaran Aku tentang apa pun, ada aktivitas dan kepasifan.

Kesadaran suatu objek adalah posisional karena ia menempatkan objek: yaitu, ia mengarahkan dirinya sendiri ke objek (misalnya apel, atau pohon) dan memerhatikannya. Ini adalah "thetic" dalam kesadaran yang menghadapkan objeknya sebagai sesuatu yang diberikan kepadanya, atau sebagai sesuatu yang telah ditempatkan.

Sartre juga mengklaim bahwa kesadaran, bahkan ketika tidak merefleksikan, minimal selalu sadar akan dirinya sendiri. Mode kesadaran ini dia gambarkan sebagai "non-posisional" dan "non-thetic" yang menunjukkan bahwa dalam mode ini, kesadaran tidak memosisikan dirinya sebagai objek, juga tidak dihadapkan dengan dirinya sendiri. Sebaliknya, kesadaran diri yang tidak dapat direduksi ini dianggap sebagai kualitas yang tetap dari kesadaran yang tak-terefleksikan dan kesadaran yang terefleksikan.

Kesadaran yang terefleksikan adalah kesadaran yang memosisikan dirinya sebagai objeknya. Pada dasarnya, kata Sartre, kesadaran yang terefleksikan dan kesadaran yang merupakan objek refleksi ("kesadaran yang direfleksikan") adalah identik (serupa). Namun demikian, kita dapat membedakanya, setidaknya dalam abstraksi, dan membicarakan tentang dua kesadaran di sini: yang merefleksikan dan yang terefleksikan.

Tujuan utamanya dalam menganalisis kesadaran diri adalah untuk menunjukkan bahwa refleksi diri tidak mendukung tesis bahwa ada ego yang terletak di dalam atau di balik kesadaran. Sartre pertama-tama membedakan dua jenis refleksi: (1) refleksi pada keadaan sebelum kesadaran yang diingat oleh pikiran melalui memori—maka keadaan sebelum kesadaran ini sekarang menjadi objek kesadaran saat ini; dan (2) refleksi di masa yang benar-benar saat ini—di mana kesadaran menguasai dirinya seperti sekarang untuk objeknya. Refleksi retrospektif dari jenis pertama, menurutnya, hanya mengungkapkan kesadaran objek yang tak-terefleksikan bersama dengan kesadaran diri non-posisional yang merupakan fitur kesadaran yang tetap.

Itu tidak mengungkapkan kehadiran "Aku" di dalam kesadaran. Refleksi jenis kedua, yang merupakan jenis yang dilakukan (René) Descartes ketika dia menyatakan "Aku berpikir, maka Aku ada," sepertinya dianggap lebih mungkin untuk mengungkapkan jenis "Aku" ini. Sartre menyangkal hal ini, bagaimanapun, dengan alasan bahwa "Aku" yang biasanya dianggap ditemukan oleh kesadaran di sini, pada kenyataannya, hanyalah produk refleksi. Di pertengahan esainya, dia memberikan penjelasannya tentang bagaimana hal ini terjadi.

Ringkasan Singkat

Secara singkat, penjelasannya adalah sebagai berikut. Momen-momen terpisah dari kesadaran reflektif disatukan dengan ditafsirkan sebagai pancaran dari keadaan, tindakan, dan karakteristik Aku, yang semuanya melampaui momen refleksi saat ini. Misalnya, kesadaran Aku untuk membenci sesuatu sekarang dan kesadaran Aku untuk membenci hal yang sama pada momen lain disatukan oleh gagasan bahwa "Aku" membenci hal itu—kebencian menjadi keadaan yang bertahan melampaui momen-momen kebencian yang disadari.

Tindakan menampilkan fungsi yang serupa.  Jadi, ketika Descartes menegaskan "Aku sekarang meragukan" kesadarannya tidak terlibat dalam refleksi murni pada dirinya sendiri seperti pada saat ini, momen ini. Dia membiarkan sebuah kesadaran bahwa saat ini keraguan adalah bagian dari tindakan yang dimulai sebelumnya dan akan berlanjut selama beberapa waktu untuk menginformasikan refleksinya. Momen-momen keraguan yang terpisah disatukan oleh tindakan, dan kesatuan ini diekspresikan dalam "Aku" yang dia sertakan dalam pernyataannya.

Maka, "ego", tidak ditemukan dalam refleksi—selain diciptakan oleh dirinya sendiri. Namun, itu bukan abstraksi, atau ide belaka.  Sebaliknya, ini adalah "totalitas konkret" dari kondisi kesadaran reflektif Aku, yang dibentuk olehnya dalam cara seperti melodi yang dibentuk dengan nada-nada terpisah. Kita memang, kata Sartre, menangkap ego "dari sudut mata kita" ketika kita berefleksi;  tetapi jika kita mencoba untuk fokus padanya dan menjadikannya objek kesadaran, itu pasti menghilang, karena itu hanya muncul melalui kesadaran yang merefleksikan dirinya sendiri (bukan pada ego, yang merupakan sesuatu yang lain).

Kesimpulan yang ditarik Sartre dari analisisnya tentang kesadaran adalah bahwa fenomenologi tidak memiliki alasan untuk menempatkan ego di dalam atau di balik kesadaran. Dia mengklaim, lebih lanjut, pandangannya tentang ego sebagai sesuatu yang merefleksikan konstruksi kesadaran, dan yang oleh karena itu harus dianggap hanya sebagai objek kesadaran lain yang, seperti semua objek lainnya, mentransendensikan kesadaran, memiliki keunggulan-keunggulan yang nyata. Secara khusus, ia memberikan sanggahan atas solipsisme (gagasan bahwa dunia tersusun dari Aku dan isi pikiran Aku), membantu kita mengatasi skeptisisme mengenai keberadaan/eksistensi dari pikiran-pikiran orang lain, dan meletakkan dasar bagi filsafat para eksistensialis (baca: eksistensialisme) yang benar-benar melibatkan dunia nyata (manusia) dan benda-benda.

*****

Sumber Literatur:

'A Summary of Sartre's 'The Transcendence of the Ego' – ThoughtCo.

Friday 15 July 2022

Give Poems A Chance

Deep down in our hearts, not only are we all tired of conflicts and wars, we fear and hate them. From Russia's aggression into Ukraine to Yemen's bloody civil war, from Myanmar coup d'état against the civilian government to the Taliban's takeover of Afghanistan. People around the world need to do something. We need to be echoing peace, but at first, frankly, we need to see and absorb sadness and agony from the war victims, from endlessly conflicts that claim millions of lives, from real suffering that has the same tone—from east to west, south to north.

Such tragedies create a womb for magnum opus literary works—poetry of human suffering, anger, frustration but also hopes. And no doubt, we can interpret peace by poetry, by poems as have been created by young people in the Southeast Asian region.

The ASEAN Institute for Peace and Reconciliation organized last year a poetry competition for ASEAN's young citizens, and asked the region's renowned writers and poets: Okky Madasari (Indonesia), Melizarani T. Selva (Malaysia), and Hariz Fadhilah (Brunei Darussalam), to review and select the best poems.

The Institute then published a book of these best poems on Jan. 13, with Okky Madasari becoming the editor of this 56-page book titled "ASEAN Peace Poems".

Calm before the storm

Yizhi Ria Riangmi (Indonesia)

When peace comes,
you will not find her on the edge of an olive branch,
or a ceasefire;
she will not be in the silence of the Tabernacle
or in the gentle waves lapping against your calves at the beaches;
only remnants of her remain in the temples,
not even on quiet hills overlooking sleeping skyscrapers.

If peace comes,
you will feel her on the brims of tidal waves just as they cascade
across the shore,
after a fire, when the walls are dampened, blackened with
lingering soot, ash thickening the air,
in hospitals, during a doctor's long shift; they always say silent
hallways are a bad omen;
in the thick of a protest, voices reverberating across the streets,
the aftermath of a break-up, when the lovers leave;

When peace comes,
you will not find her serene.
Instead,
she courts chaos
like Saturn yearning for Jupiter's kiss,
long awaiting his passing
for her moment of bliss.

#2

This anthology flows quite smoothly from every poem to another poem, making it difficult to simply stick with just reading a few poems from it and exit. Each poem is like walking together, gathering in the midst of a cold square, and sue things that must be voiced with the pureness sound of children inside their beings. The metaphors are done in vibrant colors. They range from strong-lined imaginary filled with a piece of agony to obscure scenes of a tropic beauty.

The contexture of words that we construct and formulate in such a way, which we call poetry—was an intellectual and creative medium to explore the many forms of duality, for instance, peace and conflict: from simple moments of tranquility, to complex arrangements of harmony; from ordinary restlessness of consciousness, to knotty composition of despondence.

In this collection of close and warm poetry, there is a kind of personal nerve-racking that is nicely conjured by the magic of language—into a collective urgency related to the climate crisis, global peace, unto the future of this world. Turning the pages of this anthology poems is a voyage of sounds, color, odour, and heterogeneous forms of psychological expression through the medium of text.

The Formula of Peace

Dani (Indonesia)

A little girl asked Einstein, "What is the formula of peace?" She
thought it would be the most challenging question and the
most serious scientific problem Einstein had ever encoun-
tered. "The greatest physicist in the world, can we really have
perpetual peace?" She wondered why war happened.
She could not accept, if humans were longing for peace, why
they still committed violence from time to time.
"Is it the universal theorem of physics, the absolute law of
the universe?" She was severely disturbed, why people could
conduct heinous crimes against humanity in the name of
peace. Thus, the little girl asked Einstein again, "What is the
formula of peace?"
"EMC².
Empathy, Mindfulness, Critical Inquiry and Compassion."

#25

Beneath the ASEAN Peace Poems, there is an ancient longing for peace, of home, of past, of present, of future, of nature. There is a kind of utopia that is the antithesis of violence, anger, and war. It is heartwarming when read every poem by using conscience. Like attending a monumental campaign—which invites the reader to linger, consider, to stop talking, and start listening.

With poetry we can muse our reality, devise our existence, and redefine our collective values such as peace. And sorrowful worlds are gasoline for artistic or poetic inspiration. The poets or artists would go into furor poeticus (ecstasy), poetic madness, mystic experience, or divine frenzy—when they are feeling blue.

No Place Like Zamboanga

Earl Carlo Guevarra (Philippines)

I say that there's no place like my hometown
Where the sun sets over the Sulu Sea
Yet I can't go back now to my own town

The crabs and lobsters are fresh in my town There are pink sand
beaches for all to see
I say that there's no place like my hometown

My loved ones all wait for me to come down home and have a
party under the tree
Yet I can't go back now to my own town

These pure islands have palm trees as their crown with fine sand
beaches for all to roam free
I say that there's no place like my hometown
There are rivers and falls just outside town Inside virgin woods
that would make one glee Yet I can't go back now to my own town

Everyone's taking selfies in another town and post on Instagram
of the great sights they see
I say that there's no place like my hometown
Yet I can't go back now to my own town

#14

Lattermost, poetry can't change the world instantly, poetry just slowly changes the way we see the world. Poetry causes us to question our perception, interpretation of everyday reality, and in the end raises global awareness to jointly make the world a million times better place to live in.

As John Lennon screamed to the world to give peace a chance in 1969 as a protest against US involvement in the Vietnam War, now it's time for us to give poems a chance to touch the hearts of the war gods, leaders, and people from all walks of life.

May all beings be happy.

Link to download the book: https://asean-aipr.org/resources/asean-peace-poems/

Thursday 9 June 2022

Friedrich Nietzsche and So On and So On

 

"I'm not a man, I'm dynamite."

—Friedrich Wilhelm Nietzsche

Throughout the history of western philosophy, no philosopher has been as crazy, brave, frontal, iconic, enigmatic or as eccentric as Nietzsche. No philosopher has ever been as 'edgy' as Nietzsche. As a philosopher, philologist who researches ancient texts, theologist, cultural critics, litterateur, and composers—his muses and insight into human civilization is possibly unquestionable.

With his authentic style, he spit in the face of a world that relies heavily on money, state, politics, religion, and science. As a featherless biped, Nietzsche is like a lunatic rooster who is possessed by a question mark. He was really insane—in the positive connotation: at the age of 24, Nietzsche was awarded a doctorate degree, became a professor of classical philology and was the youngest German professor up to that time.

From a young age, he questioned everything that had been taught to him, and something that was taught to everyone. Nietzsche was born and raised in a religious family. In fact, his father was a devout priest, but young Nietzsche valiantly declared: "God is dead ... and we have killed Him!"

Nietzsche also once said that religion is escapist, dogmatic, and narcissistic. He thought, religion is like looking in the mirror and saying: "my religion is good, my religion is right, other religions are bad and wrong." In a broader perspective, this is certainly dangerous, if belief system in existence and self-identity is not supported by tolerance and empathy.

In other words, it equates to the binary opposition of modernity: "If it is not one, it must be zero. If I am right, then what is outside of me must be wrong. If I am good, then the other must be evil." And unfortunately, this precisely depicts the tendency of some religious people that are still attached to puritanism (rigid religiosity).

According to Nietzsche, the reason why people believe in God or the singular truth is their indecision and fear in facing reality, which has one core, namely self-deception. It would be better if we faced, and truly lived, the transience of existence and the real meaninglessness of life—he added.

Sketchily, Nietzsche simply calls for us to stand on our own feet without the aid of obedience—any form of doctrines, dogmas or status quo. Therefore, Nietzsche not only jumps on adherence of religion, but also belief in values or objective truth such as science.

On Idée Fixe

"There are two different types of people in the world, those who want to know, and those who want to believe."

—Friedrich Wilhelm Nietzsche

To understand Nietzsche, firstly, we need to know that he detested the idée fixe (psychological term: the belief that someone refuses to change their mind even though it might be wrong). For him, this can lead to the death of interpretation (or in a more crude language; the death of God)—it is a logical consequence of the concept of truth which has been final. When something is in the state of idée fixe or in the form of finality, it will die in a certain shroud. There are no new interpretations; static, frigid, and rigid.

By means of idée fixe, the Supreme God will be buried in the dwarf of human conception. It even raises a wild hypothesis: that illogical God is forced into the contents of the logical human mind. And has been final, so The Will for the Truth has become a deadly thing. For example, eight Crusade warfare, endless Middle East wars, eternal Gaza conflict, or Bosnian genocide in 1995, and so on—and so on.

Nietzsche also launched a scathing critique of idée fixe in his book, The Gay Science—first published in 1882—which sometimes translated as The Joyful Wisdom or The Joyous Science:

"... It is further stated that the madman made his way into different churches on the same day, and there intoned his Requiem æternam Deo. When led out and called to account, he always gave the reply: "What are these churches now, if they are not the tombs and monuments of God?"

On Atheism and Binary Oppositions

But Nietzsche did not only criticize the religion and their clergy, he also did not hesitate to criticize atheism. At the root of its essence, atheism itself is a reflection of Radical Aufklärung (Age of Enlightenment centered in Europe) that is too confident in science. And in fact, scientism has become an absolute belief and almost become a new religion who is worshipped by scientists. Perhaps, we cannot run from The Will to Believe, as William James said and named his book.

This idée fixe's model of thinking has actually been reflected in the Modern Age— which was marked by advances in science and technology. To assume that this massive progress can bring enlightenment and become a single field in understanding reality.

That is, one, absolute, and unshakable. Later, a French contemporary philosopher, Jacques Derrida, called this Western culture in the name of logocentrism—which is trapped in binary oppositions (right-wrong, good-bad, etc.)—so that one will defeat the other.

In the context of that Western progress, whether intentionally or not, Nietzsche prophesied the arrival of nihilism. In a nutshell, nihilism became a philosophical school that marked the beginning of the inevitable cultural crisis in which the highest values lost their meaning and led to a loss of purpose.

On Dynamite

"He who cannot obey himself will be commanded. That is the nature of living creatures."

—Friedrich Wilhelm Nietzsche

Nietzsche argues that behind every belief whatsoever, there must be a purpose. Thus Nietzsche chose to remain skeptical of widely held beliefs, because he did not fundamentally believe in their cause. Perhaps, that is why Nietzsche is often referred to as 'The Dynamite'—on account of—he is the one who will detonate that belief to pieces.

On January 1st 2004, British anarchist author, teacher, and organizer—John Moore—published 147 pages books namely I Am Not a Man, I Am Dynamite: Friedrich Nietzsche and the Anarchist Tradition.

In essence, Nietzsche was born and destined to surpass man and madman. In fact, he is already very controversial just by the statement, "God is Dead" (German: Got is Tott)—which has shaken dogmas, and truths that have been deemed established as well as absolute. So it is no exaggeration indeed, if Nietzsche refers to himself as 'The Dynamite'.

On Persian Prophet

To study Nietzsche, of course to study about his magnum opus, namely Thus Spoke Zarathustra: A Book for All and None (German: Also sprach Zarathustra: Ein Buch für Alle und Keinen)—which contains the famous phrase "God is Dead", although the phrase has previously appeared in The Gay Science.

Objectively, Thus Spoke Zarathustra is a magical, poetic, philosophical, and genius book. The influence was also immense on 20th century writers, such as Franz Kafka, Bernard Shaw, Jean-Paul Sartre, unto Albert Camus.

However, the question is ... why Zarathustra? Why did Nietzsche choose (even tends to sanctify?) the Persian prophet of Zoroastrianism? How important was Zarathustra in Nietzsche's life?

To answer this, perhaps, we should read directly from Nietzsche's own autobiography, Ecce Homo. To be precise, a quote from the chapter Why I am a Fatality:

"I have not been asked, as I should have been asked, what the name 'Zarathustra' means in precisely my mouth, in the mouth of the first immoralist: for what constitutes the tremendous uniqueness of that Persian in history is precisely the opposite of this. Zarathustra was the first to see in the struggle between good and evil the actual wheel in the working of things: the translation of morality into the realm of metaphysics, as force, cause, end-in-itself, is his work. But this question is itself at the bottom of its own answer. Zarathustra created this most fateful of errors, morality: consequently he must also be the first to recognize it. Not only has he had longer and greater experience here than any other thinker … what is more important is that Zarathustra is more truthful than any other thinker. His teaching, and his alone, upholds truthfulness as the supreme virtue … To tell the truth and to shoot well with arrows: that is Persian virtue—Have I been understood? The self-overcoming of morality through truthfulness, the self-overcoming of the moralist into his opposite—into me—that is what the name Zarathustra means in my mouth."

On Apollonian and Dionysian

As a philosopher, Nietzsche used to express his philosophical ideas in poems, short stories, & novels—with the most poetical form of language. And as a philologist, cultural critic, and litterateur—he muse Greece, which was so famous for its Greek Tragedy—then inspired to dichotomy the two main streams of Greek Art (theatre, literature, etc.) in his book—The Birth of Tragedy. Become the two great poles or duality, namely Apollonian and Dionysian.

Philosophically, Apollo symbolizes light, thinking, self-controlled, logical, utopia, order, sane, and consciousness. While Dionysius represents the dark world, or the opposites such as feeling, antiquity desire, insanity, intoxication, unconsciousness, dystopia, irrationality, and even possessed. In sum, Apollo represents order, science, and rationality—while Dionysius represents music, ecstasy, and passion.

As Nietzsche said, "Without music, life would be a mistake."

Nietzsche views that the elegy of heartbreak: sad artworks, the melancholic poetry, the minor music—seem to provide an orchestra for the grief that many people experience. Its energy is not just limp, but allows us to absorb sadness with the deepest meaning.

So that, in the end, sadness (and suffering) is no longer treated as something that is burdensome, lamented or cursed, and avoided. Anyhow, we must face it, be grateful, absorb it, and enjoy it. Nietzsche assesses how great it means if we can imagine, make friends, and enjoy sadness with courage that burns our left chest.

On Übermensch and Nazism

Frankly, that's why an Übermensch or superman, superhuman, or overman was once echoed by Nietzsche—at first, must be amor (love) the fati (fate) that often brutum (brutal). No wonder, to keep in mind, Nietzsche views that reality is chaos, chaotic, completely formless, messy, mess up, contradictory, disorderly, disorganized, and jumbled.

Nietzsche wanted humankind to grow, reach out, pull out, and go up. But not out of morality nor immorality, but because we live, and life is about The Will to Rule (and The Will to Power too). Therefore, we must be honest with ourselves, and always be creative and innovative.

But over time, it seems that it has become a habit for common people to judge Nietzsche haphazardly (and arbitrarily). Either as a pioneer of irrational ideologies about power, or slander him which indirectly gave birth to fascism and Nazism, especially in Germany.

On this matter, in fact, there are many aspects of Nietzsche's philosophy that are clearly different with Nazism. Thus, he should not be scapegoated for all the hatred, sins, and blood shed by Nazism around the world.

Briefly, Übermensch is ... the ideal superior man of the future who could rise above conventional religion morality to create and impose his own values. We must see that what Nietzsche aspires to, Übermensch is more like an ultra-creative human or a housebreaker of spiritual order—not a man behind the genocide of Jews in the Auschwitz concentration camp ... because he was rejected twice by an art school in Vienna ... who is run by a Jewish rector, nor supreme leader with wacky mustaches ... like a comedian named Charlie Chaplin ... who truly believes in Aryan supremacy, nor imperious empire founder of the Third Reich, nor a screwy Führer (a dictatorial leader), nor a person who thirsts for power to conquer 5 of 5 parts of earth such as Adolf Hitler.

Simply put, Übermensch is a human who loves life, lives life in totality, due to Nietzsche, sees humans as creatures that must continue to exist, and have high aspirations to become super, beyond normality. "To infinity and beyond!" as Buzz Lightyear said in the Toy Story movie (1995).

Later, Übermensch became one of the most philosophical ways to value oneself without turning away from the brutal world—and looking across another world. Since valuing brutal reality or meaning the meaningless of life can only be achieved through Übermensch.

Lattermost, Übermensch is a human being who sees himself as a source of value. One who has reached the level of Übermensch—are who always faces the darkness of reality and fate, and Übermensch is impossible to achieve without understanding Nietzsche's legendary phrase: "Fatum Brutum Amor Fati".

On Fatum Brutum Amor Fati

"Live! Your life!"

The quote could be a small part on the representation of Fatum Brutum Amor Fati. We only live once and, of course, we cannot revise what we have done in the past. That was the perspective of Fatum Brutum Amor Fati: a kind of unconditional affirmation to reconcile with fate. Thus, we are required not to condemn reality. We should live in the present and stand up in the presence of chaotic realities.

Fatum Brutum Amor Fati came as a philosophy or at the same time became a main narrative in living a mortal life. That's the only genuine way, to be able, to reach the end of a good life whenever death comes.

We should admit without the hypocrisy that nearly all of us must have planted hope. We all invest in the future, and as investors, we too often allow temporary emotions to enslave us. Nietzsche may be an anomaly (exception), because he dissociates himself from investing hope in the future.

But clearly, Nietzsche is just an ordinary person who has a different vision from most of us. The difference, perhaps, also from his courage to articulate chaotic-reality beautifully in his outbursts of aphorisms.

On Nietzschean

But life is a choice, to be a normies (one whose tastes, lifestyle, habits, and attitude are mainstream and far from the cutting edge, or a person who is otherwise not notable or remarkable) or a Nietzschean (one who follows the philosophy of Friedrich Wilhelm Nietzsche). But what needs to be underlined first is we need to know that the true meaning of Nietzschean is: a person who follows himself. So, being a Nietzschean is about being ourselves.

Being a Nietzschean means walking against the herd, and going out alone to the wilderness. Being a Nietzschean is about being honest, like Zarathustra—even if it almost certainly will be labeled as edgy, madman, bizarre, or annoying.

Nietzsche encouraged us to become the martyr of ourselves. To be like the most renowned philosopher in Greece, Socrates, who dared to defend his thought—even though, in the end, he was eventually executed by consuming a deadly potion of the poisonous plant hemlock—in account of poisoning the minds of young Athenians, or be accused by questioning the doctrine of Gods/Goddess (belief system) in Ancient Athens.

Once again, Nietzsche is a lone wolf who cannot be domesticated by the common mind. He has melted into solitude. The only love in his life, Lou Salome, even left him. Nietzsche was willing to become estranged from his family and friends, just to defend his beliefs.

Perhaps in reality, loneliness can destroy many people, but Nietzsche faced loneliness through his choices. He obeyed himself. And his exile from people who like to be in herd, actually gave him more awareness of seeing the world with eagle eyes.

Finale

Despite the cynicism of Nietzsche who said that "God is Dead", we should rather acknowledge the fact that The Dynamite didn't mean it literally. He only intended to vent his disgust on people on his eras—who were already so corrupt, cruel, and dumb as to kill the God within themselves.

Perhaps, in his contemplation, Nietzsche did see God being buried. God died in the fight against human ferocity. It is also possible that Nietzsche wants to say: "God has died in the heart of man ... and we are all His/Her murderers."

After all, the God in our reverie, or the real God at all—is indeed not able to be calculated by narrow logic. His/Her almighty looks unreal, like ocean waves crashing against the shoreline. Or a slap to the cheek, or like electricity turning on a light, or like money which can buy a handful of sweet candy.

The mysteriousness of God is also what makes many of us turn atheists or agnostics. Personally, I believe that we can prove God and feel it with our conscience. Seeking God using brain, logic, and rationality is like looking for a Wi-Fi signal with an archaic cell phone that most certainly doesn't have the specifications to connect to Wi-Fi.

Lastly, between the labels like amoral, atheist, agnostic, crazy, or whatever we have attached to Nietzsche, I just want to say that Nietzsche is one of the most religious philosophers ever.

"There are no facts, only interpretations."

—Friedrich Wilhelm Nietzsche

May all beings be happy.

Sunday 22 May 2022

Cerpen: Relapse

 

Relapse (2022) by Nuraisah Maulida Adnani

Maret, 2020

“Selalu ada alasan di balik kegilaan. Namun cinta tak pernah memiliki alasan, tapi kau tak cinta. Kau terlalu banyak menyaksikan akhir yang bahagia. Kau bahkan tak tahu bahwa puncak dari cinta adalah kegilaan—dan kau, tak pernah mengakui bahwa beberapa kisah cinta harus berakhir dengan teriakan keputusasaan, lubang di dahi, lebam dan ungu di leher; sampai merah yang mengalir deras dari urat nadi—hanya agar semua kegilaan itu berlalu!” Lalu sosok itu pergi, menembus gelap malam bersama tanda tanya—tergeletak—bernyawa.

***

Aku mulai sadar dan mulai terjaga. Ternyata itu semua hanyalah mimpi. Akan tetapi, siapa perempuan cantik dengan pemikiran brilian, tapi memiliki tatapan sedingin kulkas pada pukul satu dini hari—dengan wajah datar nan pucat tanpa ekspresi di mimpiku itu?


Juni, 2020

Hari-hariku berubah, aku tak henti memikirkan perempuan itu. Andai saja perempuan itu ada di dunia nyata, tentu akan kutemui tanpa ragu. Sungguh aneh malam itu, kamarku berubah menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Ketika hujan turun, suhunya benar-benar menyayat kulit tropisku.

***

Juli, 2020

Aku duduk di kursi kamarku. Sekarang tepat pukul sebelas malam. Dan aku masih belum mengantuk. Aku mesti mengerjakan beberapa halaman buku yang sedang kutulis. Hujan kembali turun. Dan bisa ditebak, suhu di kamarku menjadi lebih dingin. Jendela mendecit tertiup angin; aku tak menghiraukannya, sebelum kemudian angin menjadi lebih besar dan meniup beberapa kertas di ruangan.

Aku bergegas menutup jendela. Sialan. Sepertinya adikku tadi bermain di kamarku dan lupa menutup kembali jendela. Beberapa menit kemudian, ponselku berdering; itu telepon masuk dari ibuku. Aku bingung, mengapa ia meneleponku? Padahal ia ada di kamarnya. Aku tetap mengangkat telepon itu. Belum sempat aku bertanya mengapa ia menelepon, ibuku langsung memotong dan berkata: “Cepat sembuh ya, obatnya jangan lupa diminum. Oh ya, ibu masih di rumah nenek sama adikmu.”—dan tiba-tiba ponselku mati karena baterainya habis.

Seketika itu juga aku terkejut. Melamun beberapa saat dan mulai cemas tak karuan. Aku bertanya-tanya, perihal siapa orang yang berada di dapur pada pukul sembilan malam ketika aku baru saja tiba di rumah? Aku penasaran. Aku akan mengecek ruangan tengah dan dapur. Nyatanya semua terlihat baik-baik saja. Kamar ibu pun terkunci. Aku baru ingat bahwa keluargaku memang pergi ke rumah nenek pagi tadi. Ah sudahlah, mungkin tadi hanya ilusi yang hadir karena aku kelelahan.

Aku kembali masuk ke kamarku. Suasana yang awalnya berisik karena suara gemercik hujan, kini sudah menjadi sunyi tak bertepi, berbarengan dengan redanya hujan. Namun justru aku semakin merasa cemas. Sebab tak ada suara lain kecuali suara ketikan jariku pada papan tombol. Mendadak laptopku mati, padahal tak pernah seperti ini sebelumnya. Aku benar-benar kesal. Aku belum sempat menyimpan file tulisanku. Beberapa kali kucoba nyalakan lagi. Hasilnya tetap tak menyala. Naik pitam, aku menutup laptopku dengan amarah.

***

Aku memutuskan untuk berbaring di ranjang. Dan sekarang aku mulai mengantuk. Aku melepaskan kacamataku. Penglihatanku mulai agak samar. Namun semuanya kemudian berubah menjadi situasi yang tak aku inginkan … Terserempak ada sesosok perempuan tepat di pojok kamarku. Ia menatap ke arah jendela. Aku tak bisa menggerakan badanku. Sial. Perempuan itu terlihat seperti Sandhya. Ia memakai jaket berwarna kuning. Lengkap dengan gincu merah yang selalu setia mewarnai bibirnya.

Kebun binatang keluar dari mulutku. Aku tak bisa menemukan kacamataku. Aku masih tak bisa melihat semua dengan jelas, tetapi aku yakin bahwa itu adalah Sandhya. Aku semakin terkejut ketika ia menoleh kepadaku. Tiba-tiba saja penglihatanku menjadi jelas, aku melihat dengan jelas bahwa itu memang benar-benar Sandhya. Ia menatapku tanpa ekspresi. Tatapannya begitu kosong, seperti langit yang gelap tanpa jawaban apakah akan hujan. Aku masih kebingungan, apakah ini hanya ilusi ataukah memang kenyataan?

Ia masih menatapku. Tiba-tiba, darah demi darah mengalir dari lubang hidungnya. Ia terlihat sangat ketakutan. Lalu menangis histeris. Dan berteriak-teriak. Ia terus berteriak, meminta tolong dan menangis sangat kencang.

Tapi seketika ia terjatuh, tergelepak begitu saja. Dengan cepat aku menutup mataku untuk beberapa saat. Ketika aku kembali membuka mataku, ia sudah tak ada di pojok kamarku. Jendela kembali berdecit dan udara dingin kembali masuk. Aku tak peduli jendela itu, aku tak peduli udara dingin itu, aku ingin segera tertidur.

Aku mengira semua kejadian buruk itu sudah berakhir. Aku menarik nafas dalam-dalam. Syukurlah. Badanku sudah bisa digerakan. Aku mengambil selimut dan berbaring ke arah kiri. Setelah semua kejadian tadi, aku justru tertawa. Ternyata sehebat itu hasil kerja otakku. Namun ketika aku membalikkan badan ke arah kanan untuk mengambil ponselku, Sandhya kembali berdiri di pojok itu.

Seketika aku terperanjat dan membalikan badan kembali ke kiri. Ternyata, Sandhya dengan posisi jongkok ada di hadapanku, di dekat jendela, dengan ekspresi marah dan mulai meneriakkan namaku. Sontak aku berteriak, sekencang-kencangnya. Hingga pada akhirnya, semuanya menjadi gelap buta.

***

September, 2020

Aku terbangun dengan keadaan lemas, terbaring di sebuah ranjang, di sebuah ruangan yang tampak asing. Semuanya serba putih. Hidungku mencium bau obat-obatan dan bahan-bahan kimia yang cukup menyengat. Aku terkejut bukan main ketika menyadari bahwa tangan dan kakiku diikat. “Di mana aku, apakah ini rumah sakit?”

Aku menggertak. Beberapa orang datang menghampiriku. Aku ketakutan, dan berkeringat, “Tenang, coba tenang. Tenangkan dirimu,” jawab sebuah suara yang entah siapa. Aku makin panik. Aku semakin berteriak-teriak tak jelas. Aku tak mampu mengontrol diriku sendiri.

“Iya ini rumah sakit … rumah sakit jiwa,” tambahnya. Aku mencoba mendebatnya, “Tapi aku tak gila!” Namun suara itu malah tertawa dingin. Belum habis rasa panikku, ia malah kembali menimpali, “semua orang di sini juga bilang begitu.” Aku tak tahu harus berkata apa, tetapi aku tertawa dengan keras—sangat keras.

Sosok misterius itu kembali berbicara, “Sekarang kau ada di sini. Sebuah tempat rehabilitasi di mana orang-orang di dalamnya bebas melakukan apapun yang mereka inginkan. Bebas hidup di dalam dunia mereka sendiri. Menjadi apapun yang mereka inginkan, bukan menjadi apa yang orang lain harapkan.”

Aku ingin menanggapinya. Namun sosok itu malah kembali berbicara, “Apakah kau tahu mengapa kau masuk rumah sakit jiwa ini? Karena kau memang benar-benar gila. Kau membunuh istrimu sendiri. Menembak dahinya dengan pistol berkaliber 9mm sebanyak dua kali. Dan bagian paling sintingnya adalah ketika kau berdalih bahwa itu adalah satu-satunya cara untuk menyembuhkanmu—dari kegilaanmu sendiri,” pungkas sosok misterius itu.

Aku tak dapat berkata-kata. Aku hanya tertawa lepas. Memenuhi ruang-ruang yang sunyi dengan gelak-tawa; tawa yang sama seperti tawa orang dengan gangguan jiwa.

“Apakah semua ini mimpi? Jika ini memang mimpi, bolehkan aku memilih mimpiku sendiri? Aku selalu bermimpi untuk hidup bersama Sandhya, istriku. Di dalam kepalaku, bersama buku-buku. Dan jika dapat memimpikan itu, maka aku akan memilih untuk tetap hidup dalam mimpi dan tak ingin terbangun untuk selamanya. Meski aku tahu, aku lebih menderita di dalam mimpi ketimbang realita.”

Aku melontarkan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan dengan polosnya. Namun yang tersisa hanyalah hening yang tak bersuara.

***

Aku memandang sekeliling, tapi sekarang yang kulihat hanyalah baju-baju yang tergantung di dinding. Di sebuah kamar yang kacau tak beraturan. Seperti kapal pecah. Buku dan kertas-kertas tak berguna berserakan. Gelas-gelas bekas kopi pun memenuhi sudut kamar. Puntung rokok memenuhi asbak yang sudah kelebihan muatan.

Ini kamarku, saat hari sudah cerah. Ternyata semua omong kosong tadi hanyalah mimpi. Lantas aku mengepak ransel, meminum dua butir antipsikotik dan antimania: olanzapine dan litium karbonat. Aku harus bersegera menziarahi makam Sandhya … di dalam kepalaku—dengan bantuan psikiater di poli jiwa.

Thursday 28 April 2022

Gagasan Nietzsche tentang Perulangan Abadi (Esai Translasi)

Gagasan tentang kembali yang kekal atau perulangan yang abadi telah ada dalam berbagai bentuk sejak zaman dahulu kala. Secara sederhana, teori ini menjelaskan bahwa eksistensi terus berulang dalam siklus tak terbatas di saat energi dan materi berubah seiring berjalannya waktu. Di Yunani kuno, kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di roda waktu; kalacakra Hinduisme dan Buddhisme.

Gagasan waktu yang sirkuler seperti itu kemudian tidak lagi populer, terutama di Barat, seiring dengan berkembangnya agama Kristen. Satu pengecualian penting ditemukan dalam karya Friedrich Nietzsche (1844–1900), seorang pemikir Jerman abad ke-19 yang dikenal karena pendekatan filsafatnya yang tidak biasa. Salah satu ide Nietzsche yang paling terkenal adalah perulangan abadi, yang muncul di bagian kedua dari belakang bukunya The Gay Science (The Joyful Wisdom

Perulangan abadi

The Gay Science adalah salah satu karya Nietzsche yang paling pribadi, tidak hanya mengumpulkan refleksi filosofisnya tetapi juga sejumlah puisi, kata-kata mutiara, dan lagu. Gagasan tentang perulangan abadi — yang disajikan Nietzsche sebagai semacam eksperimen pemikiran — muncul dalam Aforisme 341, The Greatest Weight:

Bagaimana, jika suatu hari atau malam iblis menculikmu ke dalam kesepianmu yang paling sepi dan berkata kepadamu: ‘Hidup ini seperti yang kau jalani kini dan sudah dihidupi, kau harus hidup sekali lagi dan tidak terhitung berapa kali lagi; dan tidak akan ada yang baru di dalamnya, tetapi setiap rasa sakit dan setiap kegembiraan dan setiap pikiran dan desahan dan segala sesuatu yang sangat kecil atau besar dalam hidupmu harus kembali kepadamu, semua dalam rentetan dan urutan yang sama—bahkan laba-laba ini dan cahaya bulan di antara pohon-pohon, dan bahkan saat ini dan aku sendiri. Jam pasir abadi dari eksistensi terbalik lagi dan lagi, dan kau bersamanya, setitik debu!

Tidakkah kau akan menjatuhkan dirimu dan menggertakkan gigimu dan mengutuk iblis yang berbicara seperti itu? Atau pernahkah kau mengalami saat-saat yang luar biasa ketika kau akan menjawabnya: ‘Kau adalah Tuhan dan aku belum pernah mendengar sesuatu yang lebih ilahi.’ Jika pikiran ini menguasaimu, itu akan mengubahmu sebagaimana mestinya atau mungkin menghancurkanmu. Pertanyaan dalam setiap hal, ‘Apakah kau menginginkan ini sekali lagi dan berkali-kali lebih banyak lagi?’ beban terbesar akan terletak pada tindakanmu. Atau seberapa baik keinginanmu menjadi diri sendiri dan untuk hidup?”

Aforisme 341, The Greatest Weight

Nietzsche mewartakan bahwa pemikiran ini tiba-tiba datang kepadanya suatu hari di bulan Agustus 1881 ketika ia sedang berjalan-jalan di sepanjang danau di Swiss. Setelah memperkenalkan gagasan di akhir The Gay Science, ia menjadikannya sebagai salah satu konsep dasar dari karya berikutnya, Thus Spoke Zarathustra (Maka Berbicaralah Zarathustra). Zarathustra, sosok seperti nabi yang memproklamirkan ajaran Nietzsche dalam buku ini, pada awalnya enggan untuk mengartikulasikan gagasan tersebut, bahkan kepada dirinya sendiri. Namun, pada akhirnya, dia menyatakan bahwa perulangan abadi adalah kebenaran yang menggembirakan, yang harus dianut oleh siapa pun yang menjalani hidup sepenuhnya.

Anehnya, perulangan abadi tidak terlalu menonjol dalam karya-karya Nietzsche yang diterbitkan setelah Thus Spoke Zarathustra. Namun, ada bagian yang didedikasikan untuk gagasan itu dalam The Will to Power (Kehendak untuk Berkuasa), kumpulan catatan yang diterbitkan oleh saudara perempuan Nietzsche, Elizabeth pada tahun 1901. Dalam bagian itu, Nietzsche tampaknya secara serius memikirkan kemungkinan bahwa doktrin itu benar secara harfiah. Akan tetapi, patut diperhatikan bahwa filsuf itu tidak pernah berkukuh pada kebenaran harfiah gagasan tersebut dalam tulisan-tulisan lain yang ia terbitkan. Sebaliknya, ia menghadirkan pengulangan abadi sebagai semacam eksperimen pemikiran, suatu ujian atas sikap seseorang terhadap kehidupan.

Filsafat Nietzsche

Filsafat Nietzsche berkaitan dengan pertanyaan tentang kebebasan, tindakan, dan kehendak. Dalam menyajikan gagasan perulangan abadi, dia meminta kita untuk tidak menganggap gagasan itu sebagai kebenaran tetapi bertanya pada diri sendiri apa yang akan kita lakukan jika gagasan itu benar. Dia berasumsi bahwa reaksi pertama manusia adalah keputusasaan: kondisi manusia itu tragis; hidup mengandung banyak penderitaan; pemikiran bahwa seseorang harus kembali hidup dalam jumlah tak terbatas tampaknya mengerikan.

Tapi kemudian dia membayangkan reaksi yang berbeda. Misalkan kita bisa menyambut berita, menerimanya sebagai sesuatu yang kita inginkan? Kata Nietzsche, hal tersebut merupakan ungkapan pernyataan yang paling mengafirmasi kehidupan: menginginkan kehidupan ini, dengan segala rasa sakit, kebosanan, dan frustrasi, lagi dan lagi. Pemikiran ini terkait dengan tema dominan Buku IV The Gay Science, ialah pentingnya menjadi “yea-sayer; seseorang yang berkata ‘ya’ pada kehidupan”, yang menerima hidup, dan untuk merangkul amor fati (mencintai takdir kita).

Hal ini juga terkait bagaimana gagasan itu disajikan dalam Thus Spoke Zarathustra. Kesanggupan Zarathustra untuk merangkul perulangan abadi adalah ekspresi tertinggi dari cintanya pada kehidupan dan keinginannya untuk tetap “setia pada bumi.” Mungkin ini akan menjadi respons dari Übermnesch/Adimanusia atau Overman/Superman yang diantisipasi Zarathustra sebagai jenis manusia yang lebih tinggi. Kontras di sini adalah dengan agama-agama seperti Kristen, yang melihat dunia ini lebih rendah, kehidupan ini hanya sebagai persiapan untuk kehidupan yang lebih baik di surga. Pada akhirnya, perulangan abadi menawarkan gagasan tentang keabadian yang memang bertentangan dengan yang diusulkan oleh Kekristenan.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha