Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Wednesday 7 June 2023

Peter Wessel Zapffe: Antinatalisme dan Eksistensialisme-Evolusionis?


Semacam Muqadimah

Pada tahun 1872, seorang yang mendalami filologi sekaligus kritikus budaya yang lebih dikenal sebagai filsuf, Nietzsche, menelurkan buku The Birth of Tragedy—tentang tegangan dua impuls artistik yang menubuh dalam Tragedi Yunani: Apollonian dan Dionysian. Yang menarik adalah bahwa dia merisalahkan mitos kuno tentang Raja Midas—pergi ke hutan untuk mencari “Silenus yang Bijak”, kawan baiknya Dionysus (kelak masyarakat Romawi menyebutnya Bacchus) yang merupakan dewa anggur—demi menjawab pertanyaannya perihal “apa yang terbaik dan paling diinginkan manusia?”.

Setelah bertahun-tahun berlalu, sang raja akhirnya berhasil menemukan Silenus si paling tipsy—dan sembari tertawa terbahak-bahak, dia berkata: “O, ras fana yang celaka… mengapa kau memaksaku untuk memberi tahumu apa yang sebaiknya tak kau dengar? Apa yang terbaik dari semuanya benar-benar di luar jangkauanmu: tak dilahirkan, tak mengada, tak menjadi apa-apa. Tapi yang terbaik kedua bagimu adalah—mati dengan segera”. Nietzsche menilai bahwa orang-orang Yunani merasakan kengerian-eksistensial dari “Kebijaksanaan Silenus”—dan oleh karenanya, mereka berbondong-bondong membangun kerja-kerja kesenian, kesusastraan, serta konsep dewa-dewi Olympian dari Chronos sampai Afrodit (dan boleh jadi termasuk pula zodiak-zodiak dari Aries hingga Pisces) sebagai semacam kamuflase pertama dan terakhir untuk menyembunyikan kebenaran pahit ini—demi memperkecil peluang kemungkinan memiliki pandangan dunia yang pesimistis, dipenuhi banalitas, dan diliputi nihilitas seperti desas-desus Silenus.

“Tidur itu baik, kematian lebih baik; tapi tentu saja, hal terbaik adalah tak pernah dilahirkan sama sekali.” —Heine, Complete Poetical Works of Heinrich Heine (2016)

Terlepas dari konotasi positif-negatifnya, gagasan ketakberadaan, ketaklahiran, serta antinatalistik—merentang dari tendensi Vibhava-taṇhā à la Buddhisme Theravada, ide-ide Schopenhauerian, larik terakhir puisi berjudul Morphine milik Heine di atas, aforisme-aforisme Cioran, lirik Bohemian Rhapsody-nya Queen, buku L'art de guillotiner les procréateurs: Manifeste anti-nataliste karangan de Giraud, gagasan-gagasan Benatar, kutipan Sophocles yang disadur Gie, hingga perspektif menarik dari filsuf Nordik yang sayangnya kurang terkenal: Peter Wessel Zapffe.

Dalam perbandingan yang kasar, orang-orang lebih besar kemungkinannya untuk menyebut Halland ketimbang Zapffe ketika ditanya siapa contoh manusia asal Norwegia. Ada beberapa alasan mengapa pengacara dan penjelajah Antartika ini masih begitu asing di telinga kita (yang bukan Anglophone atau Francophone, bukan pula bangsa Skandinavian). Salah satunya, adalah fakta budug, karya-karya Zapffe sedikit sekali (bahkan beberapa belum ada) yang diterjemahkan dari bahasa aslinya. Karya yang pertama kali melambungkan namanya—disertasi doktoralnya yang diterbitkan sebagai buku pada tahun 1941—yang telah dicetak berkali-kali dalam beragam edisi—“Om det tragiske”, setebal lebih dari 600 halaman—hingga detik ini, sejauh riset penulis, belum diterjemahkan secara resmi ke dalam bahasa Inggris (apalagi bahasa Indonesia) dan masih dalam tahap penggarapan. Esai-esainya, kabar baiknya, tertanggal 30 Januari 2023, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan telah tersedia di laman OpenAirPhilosophy. 

Antinatalisme Zapffe

Bayangkan sebuah pasar malam yang sedang kebakaran, barangkali begitulah kira-kira gambaran dunia menurut Zapffe. Maka, tak mengejutkan bila dia pernah menulis sesuatu berbau antinatalis bahwa “melahirkan anak ke dunia ini seperti membawa kayu bakar ke rumah yang terbakar”. Kalimat ini menggemakan ajakan untuk menyudahi prokreasi—menghentikan upaya untuk memproduksi anak (dengan pendekatan moralis). Sesuatu yang, tentu saja berlawan dengan perintah-perintah pronatalis dalam Ajaran Samawi untuk berkembang biak atau beranak-pinak demi “melanjutkan kerajaan Allah di bumi”—yang telah idée fixe dan harga mati. 


Tapi Zapffe tetap pada pendiriannya dengan tak memiliki anak sepanjang hidupnya. Dia menyoal dan mengajak kita untuk bersama-sama memikirkan bahwa sebuah koin receh saja—sebelum kita sedekahkan kepada pengemis—kita periksa dan pertimbangkan dengan teliti, dengan berbagai kalkulasi ekonomi—tapi mengapa seorang anak, kita “lemparkan” ke dalam kebrutalan kosmik tanpa sangsi? Bukankah pengandaiannya ini terdengar cukup membagongkan?


Untuk lebih memahami mengapa Zapffe memiliki pemikiran yang “madesu” dan “melakoli”, bijaknya kita menyelami diagnosis-diagnosisnya berikut ini.


Paradoks Biologis 


“Manusia adalah binatang yang tragis. Bukan karena tubuhnya yang kecil, tapi karena dia terlalu diberkahi. Manusia memiliki kerinduan dan tuntutan spiritual yang tak dapat dipenuhi oleh kenyataan. Kita memiliki harapan akan dunia yang adil dan bermoral. Manusia membutuhkan makna di dunia yang nirmakna.” —Zapffe, The Last Messiah (2013)

Pada 2013, salah satu esainyayang berjudul “Den sidste Messiasyang telah mengudara sejak 1933—baru dialihbahasakan oleh Tangenes ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Last Messiah” dan tersedia dalam edisi Kindle-nya. Satu tahun berselang, terjemahan ini terbit di majalah Philosophy Now - Issue 45. Melalui esainya ini, Zapffe menelurkan gagasan-gagasan kefilsafatannya (yang nampak terlalu pesimis ketimbang realistis) tentang manusia dan hal-hal eksistensial yang melingkupinya. Jika mesti diklasifikasikan, maka dia bisa digolongkan sebagai seorang nihilis dan pada titik tertentu sebagai eksistensialis. Tapi, akan terlalu sembrono apabila kita melabelinya hanya sekadar seseorang yang membawa “wabah eksistensialisme”—sebab secara spesifik, dia menggabungkan kecenderungan filsafat yang bersemi di Paris pasca-perang-dunia-kedua itu dengan paradigma darwinian-evolusionis. Mungkin kita sebaiknya tak melabelinya apapun selain “anak gunung” atau “si paling mapala”.

Fakta menariknya, Zapffe merupakan intelektual Norwegia pertama yang mengembangbiakkan kritik filosofis dengan kacamata ekologis; khususnya, relasi antara manusia dengan lingkungan. Sebelum pembahasan dilanjutkan, penting untuk digarisbawahi bahwa secara biologi-taksonomi, manusia digolongkan sebagai kingdom animalia, ordo primata, famili hominidae, genus homo, spesies homo sapiens. Singkatnya, secara naturalistik manusia adalah hewan. الانسان حيوان ناطق (Al-Insanu Hayawanun Nathiq); hewan yang berpikir—dalam terma Al-Ghazali yang juga senada dengan apa yang telah diungkapkan Socrates—khususnya. Terlepas dari perdebatan tentang sifat alami manusia, antara Hobbes versus Rousseau, daya pikir hewan berakal ini sepanjang waktu bertumbuh-berkembang sedemikian rupa. Masalahnya, menurut Zapffe, evolusi memungkinkan sistem kognitif kita menjadi terlalu “canggih”—daya dobrak dari pikiran dan kecerdasan manusia ini—memantik fitur-fitur kecemasan bahkan memperbesar kekuatan dari ketakutan yang khas manusia. 

Dalam bagian kedua Den sidste Messias, dia menggambarkan kondisi manusia sebagai “... paradoks biologis, sesuatu yang dibenci, sebuah absurditas, sebuah keberlebihan dari sifat bencana”. Dengan kata lain, biang kerok penyebab paradoks biologis adalah surplus akal-pikiran ini—menjadi bumerang bagi diri kita sendiri—seperti mitos tentang Prometheus yang mencuri api pengetahuan dari Zeus kemudian “terbakar-tersiksa oleh api yang dicurinya sendiri”. Selain itu, kondisi ini membikin eksistensi kita condong dinegasi, karena kita menjadi benci akan keberadaan kita sendiri. Absurditas yang dicetuskan Zapffe juga sekilas selaras dengan dengan gaung kerandoman dalam novel-novel Dostoevsky (The Idiot, The Brothers Karamazov), Kafka (The Metamorphosis, The Castle), Kundera (The Joke, The Unbearable Lightness of Being), hingga Camus (The Stranger, The Plague); serta dalam karya fenomenalnya, Le Mythe de Sisyphe, yang mengisahkan mitos Raja Sisifus—dikutuk secara absurd untuk mendorong batu di gunung kekekalan. Sedangkan, keberlebihan kemampuan manusia bisa mewujud efek kupu-kupu yang memicu ribuan BM (banyak mau). Dapat kita interpretasi, pertama-tama, dengan memahami bahwa hidup-kehidupan telah sedemikian bervariasi serta kompleks dan “keinginan” manusia pun berbanding lurus dengannya. Nafsu keinginan ini, dalam Buddhisme, dianggap sebagai akar dari penderitaan manusia, namun nafsu ini memiliki fungsi biologis dan evolusioner yang krusial—sebagai penyulut kemajuan-penemuan dalam peradaban. Tanpa nafsu keinginan, semua akan serba mandek dan stagnan.

Zapffe melanjutkan: “... suatu spesies telah dipersenjatai terlalu berat—oleh semangat yang dibuat tanpa mahakuasa, tetapi sama-sama merupakan ancaman bagi kenyamanannya sendiri. Senjatanya seperti pedang tanpa gagang atau pelat, bilah bermata dua yang membelah segalanya; tetapi dia yang akan memegangnya harus memegang pedangnya dan mengarahkan satu ujungnya ke arah dirinya sendiri”. Seperti yang telah sedikit disinggung sebelumnya, “senjata” yang manusia miliki saat ini mengakibatkannya ngeri akan kehidupan itu sendiri; lebih-lebih terhadap keberadaannya sendiri. Lebih lanjut, Zapffe menggambarkan bahwa manusia memiliki semacam “mata-yang-baru” dan melihat bahwa dirinya “datang ke alam semesta sebagai tamu tak diundang dan telah kehilangan haknya untuk tinggal karena telah membeli buah pengetahuan dengan segenap kepolosan-kedamaian jiwanya”. Harga bagi senjata luar biasa berat ini adalah kepekaat kuat akan penderitaan miliaran manusia lain serta makhluk hidup lain di planet ini—dan tak menutup kemungkinan, termasuk juga kehidupan-kehidupan makhluk ekstraterestrial di galaksi lain—di alam semesta yang secara konstan mengembang ini.

Lebih jauh, ikan marlin, kapibara, penguin, cacing besar alaska memiliki apa-apa yang mereka butuhkan untuk sekadar bertahan hidup dan “hidup di masa kini”, sedangkan manusia punya kecenderungan besar untuk mencari sesuatu yang mungkin tak mereka butuhkan dan berhasrat “melampaui” yang-kini—kembali ke yang-lalu atau menuju ke yang-nanti. Cioran memiliki istilah teknis untuk kondisi problematis ini: jatuh-ke-dalam-waktu. Hewan-hewan selain manusia tak ada yang dipusingkan dengan masalah-masalah fisika kuantum, eksistensi AI dalam ekosistem seni, celah impunitas dalam hukum, tekanan hidup di zaman mahabeli, dan seterusnya. Diskursus ini, pada gilirannya, mengarah pada anggapan bahwa kesadaran adalah penyakit—seperti yang telah dituangkan oleh de Unamuno dalam Tragic Sense of Life (2017): semua makhluk hidup memiliki ketakutan yang naluriah, namun hanya manusia yang memiliki kesadaran akan kemungkinan-kemungkinan (akibat dari analisis otak terlalu canggihnya, Zapffe menambahkan). Dalam keadaan sehat dan berbahagia, manusia, bahkan memiliki kemungkinan untuk membayangkan rasa sakit dan hari kematiannya. Argumentasi ini seperti berangkat dari Kitab Dhammapada, Yamaka Vagga, syair pertama dan kedua, yang menekankan bahwa “pikiran adalah pelopor sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk”.

Pada dasarnya, bagi Zapffe, kesadaran kita selalu “meluap-luap” dan kita cenderung berpikir terlalu banyak. Konsekuensi logisnya, imajinasi kita semakin terasa semakin nyata. Garis demarkasi antara apa yang-nyata dan yang-imaji menjadi bias. Seneca dari zaman bahela, dalam On the Shortness of Life (2017), telah menyinggung ini bahwa “kita jauh lebih menderita dalam imajinasi ketimbang dalam realitas”. Akan tetapi, Zapffe mencurigai tak hanya manusia yang menderita karena evolusi berlebihan ini. Dalam salah satu bagian liris dari The Last Messiah, dia menulis:


“Jadi diperkirakan, misalnya, rusa tertentu (Megaloceros giganteus, sejenis Rusa Irlandia) pada zaman paleontologis mati karena mereka memiliki tanduk yang terlalu berat. Mutasi harus dianggap buta, mereka bekerja, seperti dilontarkan, tanpa ada kontak kepentingan dengan lingkungannya. Dalam keadaan depresi, pikiran dapat dilihat dalam citraan tanduk seperti itu, dengan segala kemegahannya yang luar biasa menindih pemiliknya ke tanah.”


Surplus-Kesadaran


Meskipun manusia tak punah seperti Rusa Irlandia, tetapi surplus-kesadaran ini membuat kita vis-à-vis dengan bahaya dari “kepanikan kosmik” yang tak henti-henti. Pada puncak tertentu, seseorang yang tak mampu lagi menanggungnya akan bertendensi dan mempunyai intensi bunuh diri. Zapffe memandang bahwa kebarbaran dunia modern bertopang pada kesalahpahaman tentang hakikat eksistensi manusia. Oleh karenanya, ketika fenomena bunuh diri terjadi, yang selalu dipersoalkan adalah perihal kuantitas-kualitas spiritualitas yang sedikit-rendah. Sederhananya, diterima secara umum persepsi bahwa orang-orang membunuh dirinya karena kurangnya iman—bukan karena dunia yang secara fundamental tak mampu memenuhi dahaga purbakala manusia akan sosok mahatransendental-mahakuasa.


Cioran, dalam The Trouble with Being Born (2013), secara tersirat menyebut surplus-kesadaran ini sebagai “kerajaan kesadaran yang supremasinya tak tertahankan”. Tak mengherankan, Cioran dan Zapffe membaca Nietzsche, sedikit banyak tepapar tesis-tesisnya dan dengan demikian keduanya memiliki fokus filosofis yang mirip-mirip dan bernuansa Dionysian; tendensi eskapisme dengan kemabukan seperti yang telah disinggung di awal. Baudelaire, penyair surealis Prancis, secara puitik dan cantik melalui medium puisi menggambarkannya begini:


“Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk. Tapi dengan apa? Anggur, puisi atau kebajikan, terserah padamu. Asalkan kau mabuk. Dan jika suatu waktu, di tangga istana atau di rerumputan hijau sebuah selokan, dalam kesunyian yang menyedihkan di kamarmu, kau bangun dan sadar lagi, mabuk sudah berkurang atau hilang, tanyakanlah kepada angin, ombak, bintang, burung, jam, semua yang terbang, semua yang mengerang, semua yang bergulir, semua yang bernyanyi, semua yang berbicara ... tanyakanlah pukul berapa sekarang dan angin, ombak, bintang, burung, jam akan berkata kepadamu: “Sudah waktunya untuk mabuk! Agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk, mabuklah, teruslah mabuk! Dengan anggur, dengan puisi atau dengan kebajikan, atau dengan apa pun yang kau inginkan.”—Baudelaire, Modern Poets of France: A Bilingual Anthology (1997)

Empat Peta Mekanisme-Pertahanan

Hampir dalam keseluruhan karya-karyanya, Sartre mensyiarkan beban-beban pilihan-keputusan sebagai konsekuensi kita akan kesadaran terhadap kehendak bebas. Kundera, dalam The Unbearable Lightness of Being (2009), pun demikian—secara implisit mendedahkan beban-beban (dari surplus-kesadaran dalam istilah Zapffe) yang berdiri pada refleksi akan waktu, akan hidup yang hanya sekali ini. Tapi filsuf berkacamata ini, secara autentik, memetakan empat mekanisme-pertahanan manusia untuk “mengurangi” intensitas kesadarannya: 


Pertama, Isolasi—teknik paling ekstrem dengan penolakan sewenang-wenang untuk mengeliminasi pikiran-perasaan yang pahit dan “mengganggu”. Mengisolasi diri di alam liar macam Christopher McCandless yang menolak membaca ide-ide hitam Shakespeare dalam Tragedi Hamlet atau Macbeth. Tak memikirkan sesuatu yang mengerikan tentang kehidupan, singkatnya.


Kedua, Penjangkaran—semacam pemusatan kesadaran pada apa-apa yang metafisik, pada suatu nilai atau cita-cita kolektif: tuhan, agama-agama, negara, masyarakat, moralitas, takdir, humanisme, dan sebagainya. Pada titik yang paling personal, mirip seperti Leap of Faith atau Lompatan Iman Kierkedian. Bertaklid pada monastisisme islam dan menjadi salik yang “zuhud”, misalnya.


Ketiga, Distraksi—upaya pengalihan perhatian, mendistraksi surplus-kesadaran, dengan stimulus-stimulus eksternal: menenggak alkohol, mengisap mariyuana (jenis indica atau sativa), mengonsumsi tramadol, bermain Pou, bermain tic-tac-toe, minum coklat panas, bermain permainan papan, dan seterusnya.


Terakhir, Sublimasi—pendek kata, daya upaya untuk mengonversi surplus-kesadaran menjadi sesuatu yang produktif, kreatif, dan bernilai seni. Lebih jauh, penderitaan-penderitaan karena surplus-kesadaran ditransformasikan menjadi citraan-citraan yang dramatis, herois, liris—atau bahkan komikal (seperti Joker yang mampu ngakak selepas-lepasnya di puncak keputusasaannya).


Banyak manusia menggunakan tiga mekanisme-pertahanan di atas—dan yang terakhir, Sublimasi, merupakan yang paling langka. Mengapa? Ada kebolehjadian tinggi bahwa Sublimasi ibarat “panasea yang terlalu sulit untuk ditelan”. Bisa dibilang, mengubah derita jadi karya, luarbiasa susahnya—sebab dibutuhkan lebih banyak “kegilaan” ketimbang “kewarasan” untuk melakukannya. Hanya ada sedikit manusia yang cukup “gila” untuk mengonversi rasa sedih yang tak pernah sudah atau pengalaman traumatisnya menjadi sesuatu yang puitis dan estetis. Dalam bahasa Seneca yang Stoik: “tak ada orang jenius-hebat yang pernah ada tanpa sentuhan kegilaan”. Tulisan-tulisan Goethe sampai Zapffe, lukisan-lukisan van Gogh sampai Picasso, musik-musik Wagner sampai Chopin, barangkali dapat dijadikan sebagai beberapa contoh dari mekanisme-pertahanan berbasis Sublimasi. 


Eksistensialisme-Evolusionis Zapffe


Berangkat dari perspektif kosmik dan penderitaan kolektif yang bersarang dalam surplus-kesadaran manusia, Zapffe menambah warna baru dalam literatur Eksistensialisme—dan seperti melengkapi pandangan Frankl dalam Man’s Search for Meaning (2013) tentang apa yang dia sebut sebagai Logoterapi serta visinya bahwa makna atau sesuatu yang berguna dapat ditemukan dalam pertarungan-pergulatan kita dengan penderitaan.


Di titik ini, penulis ingin sedikit merevisi petuah Walpole yang juga digemakan ulang oleh Fitzgerald dalam magnum opusnya The Great Gatsby (2005): “hidup adalah komedi bagi mereka yang berpikir, tragedi bagi mereka yang merasakan, dan tragikomedi bagi mereka yang berpikir untuk merasakan pikiran-pikirannya”.


Belajar atau tak belajar, pada akhirnya, kita akan menyesali keduanya. Mari kita tutup mekanisme-pertahanan Sublimasi berbentuk teks ini dengan Kitab Pengkhotbah, Ecclesiastes 1:18, tepatnya: “karena dengan banyak hikmat datang banyak derita; semakin banyak pengetahuan, semakin banyak kesedihan mendalam karenanya”. Semoga semua yang membaca berbahagia. Semoga kita tak berakhir seperti tokoh Don Quixote dalam kepala Cervantes, yang jadi gila karena iqra.

“Dengan setiap peningkatan derajat kesadaran, dan dalam proporsi peningkatan itu, intensitas keputusasaan meningkat semakin kuat kesadaran, semakin kuat keputusasaan.”—Kierkegaard, The Sickness Unto Death (2004).

*****

Referensi

Zapffe, Peter Wessel (translator: Gisle Tangenes). 2013. The Last Messiah. Kindle Edition;

Nietzsche, Friedrich. 2003. The Birth of Tragedy. Penguin Classics;

Heine, Heinrich. 2016. Complete Poetical Works of Heinrich Heine. Kindle Editon: Delphi Classics;

De Unamuno, Miguel. 2017. Tragic Sense of Life. Kindle Edition;

Cioran, Emil. 2013. The Trouble with Being Born. Kindle Edition;

Seneca. 2017. On the Shortness of Life. Kindle Edition;

Simpson, Louis. 1997. Modern Poets of France: A Bilingual Anthology. Story Line Press;

Kundera, Milan. 2009. The Unbearable Lightness of Being. Harper Perennial;

Frankl, Viktor. 2013. Man’s Search for Meaning. Kindle Edition: Ebury Digital;

Fitzgerald, Scott. 2005. The Great Gatsby. Kindle Editions: Scribner;

Kierkegaard, Søren. 2004. The Sickness Unto Death. Kindle Editions: Penguin.

Wednesday 17 May 2023

Homo Homini Hadeuh


Semenjak zaman bahela hingga kiwari, kita, “manusia”, secara nature, menyandang beragam julukan. Katakanlah, frasa Homo faber suae quisque fortunae (setiap manusia adalah pembuat-pencipta takdirnya sendiri)—yang pertama kali dicetuskan oleh negarawan dan penulis Republik Romawi, Appius Claudius Caecus—dilekatkan kepada makhluk bipedal bernama manusia.

Di kemudian hari, frasa ini digaungkan kembali dengan “sedikit” kurasi-modifikasi oleh filsuf-cum-sosiolog, Karl Marx: Homo Faber (manusia sebagai makhluk yang-bekerja/sebagai pekerja; makhluk yang produktif serta konstruktif)—Hannah Arendt dan Max Scheler memperluas terma Marxis ini dengan menegaskan bahwa “manusia adalah makhluk yang mengendalikan alam melalui alat-alat yang diciptakannya”.

Dalam semesta sastra, seorang pengarang asal Swiss, Max Frisch, menerbitkan novel dengan judul sama: “Homo Faber”. Secara jukstaposisi, Johan Huizinga, sejarawan Belanda menelurkan buku “Homo Ludens”—tentang sifat manusia yang secara natural senang “bermain-main” (bukan bekerja) khususnya dalam budaya.

“Seiring berjalannya waktu, kita menyadari bahwa kita sama sekali tak masuk akal seperti abad ke-18, dengan pemujaan terhadap nalar dan optimismenya yang naif, dan terhadap pikiran-pikiran kita; karenanya mode modern cenderung menyebut spesies kita sebagai Homo Faber: Manusia sang Maker. Tetapi faber mungkin tak begitu meragukan seperti sapiens, sebagai nama khusus manusia, yang bahkan kurang tepat, mengingat banyak hewan pun dapat menjadi Maker. Namun, ada fungsi ketiga yang berlaku dalam kehidupan manusia dan hewan, dan sama pentingnya dengan penalaran dan peciptaan, yaitu bermain. Tampak bagiku bahwa di sebelah Homo Faber, dan mungkin pada tingkat yang sama dengan Homo Sapiens, Homo Ludens: Manusia sang Player, layak mendapat tempat dalam nomenklatur kita.”

—Huizinga, Homo Ludens (2014)

Homo Faber dan Homo Ludens merepresentasikan dua konsep filosofis yang antipodal: yang pertama mengacu pada manusia yang menggunakan rasionalitasnya untuk menghasilkan-memproduksi objek-benda buatan dan dengan demikian mengendalikan dunia eksternal (alam); yang kedua menekankan betapa pentingnya peran atau esensi dari “bermain/permainan” dalam kehidupan manusia—serta berfokus pada waktu luang dan hiburan.

Selain dua istilah di atas, barangkali telah diketahui secara umum bahwa Bapak Taksonomi Modern sekaligus Bapak Ekologi Modern, Carolus Linnaeus, mengemukakan istilah Homo Sapiens sebagai penanda “manusia modern” pada wilayah ilmu Biologi. ‘Homo’ dan ‘Sapiens’ adalah kata dalam bahasa Latin yang secara literal artinya “manusia” dan “bijak”; manusia adalah spesies yang-bijak, singkatnya.
Terlepas dari segala kontroversi di belakangnya, istilah ini semakin menemukan kepopulerannya setelah Yuval Noah Harari menetaskan buku berjudul “Sapiens: A Brief History of Humankind” yang merisalahkan tentang tiga revolusi besar: Kognitif, Agrikultur, Sains—serta implikasinya terhadap peradaban. Beberapa tahun berselang, Harari menerbitkan “Homo Deus: A History of Tomorrow” yang mengeksplorasi berbagai dampak perkembangan teknologi (termasuk kecerdasan buatan) pada masyarakat dan beragam kemungkinan canggih di milenium-milenium mendatang.

Lebih lanjut, Harari secara naif percaya bahwa kemampuan yang dimiliki manusia memungkinkannya setara dengan Deus (bahasa Latin: Tuhan), dengan demikian ia menggagas Homo Deus (manusia sebagai “Tuhan yang berjalan” atau makhluk yang signifikan) dan praktis menambah panjang model-konsepsi manusia.

Selain empat arketipe-manusia yang telah disebutkan di atas, masih banyak 'homo-homo' lain, misalnya: Homo Economicus (manusia sebagai makhluk ekonomi) yang dicetuskan Adam Smith dalam The Wealth of Nations; Homo Politicus (manusia sebagai makhluk yang berpolitik) yang dikemukakan Aristoteles; Homo Sociologicus (manusia sebagai makhluk sosiologis/yang memiliki kapasitas untuk berperan secara sosial dan bermasyarakat) yang ditekskan Ralf Dahdendorf; Homo Narrans (manusia sebagai makhluk yang bercerita/yang mampu menarasikan sesuatu) yang dipaparkan Kurt Ranke; Homo Homini Lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya) yang diperkenalkan Plautus; Homo Homini Socius (manusia sebagai makhluk sosial/yang mampu berkawan dengan sesamanya) yang ditulis Seneca.

Homo Homini Hadeuh

Yang unik dan menarik dari manusia, pun luput orang-orang sadari, adalah fakta bahwa manusia barangkali merupakan satu-satunya hewan yang mempunyai kemampuan untuk mengeluh. Atau, dalam bahasa lebih yang teologis dan metafisik, adalah satu-satunya makhluk Tuhan yang diberikan anugerah: kehendak untuk mengeluh.

Semut rangrang yang terinjak, ikan lele yang menunggu dimasak, burung camar yang ditembak, sampai kerbau yang dipakai untuk membajak—besar kemungkinannya tak memiliki kemampuan luar biasa yang secara autentik dimiliki manusia ini. Kehendak untuk mengeluh, meskipun Tuhan boleh jadi tak menyukainya, tetapi tetap Tuhan berikan kepada kita (dalam bentuk pilihan)—sebagai manifestasi cinta tingkat tinggi, antara pencipta kepada ciptaannya.

“Mengeluh adalah angin kencang yang membawa kita ke surga, terkadang aku berpikir; keluhan-keluhan itu secara tak sadar bernapas dengan keletihan “di sini”, dan merindukan “di sana”.”

—Broughton, Cometh Up as a Flower (2018)

Bayangkan apabila Tuhan tak menganugerahkan-menghadiahkan kehendak yang mampu menjadi semacam painkiller (obat berjenis analgesik yang berfungsi utuk meredakan nyeri) bagi kesusahan-penderitaan manusia ini, maka tak terbayang seberat apalagi beban-beban yang mesti kita pikul. Mengapa? Sebab terkadang, bahkan seringkali, hidup berjalan piawai menyebalkannya dan kita dirundung masalah-masalah secara konstan (di samping anggapan bahwa hidup adalah masalah itu sendiri).
Anehnya, kita selalu saja secara positif menemukan alasan-alasan baru untuk mengeluh dan secara paradoksal menemukan kepuasan-kenikmatan di dalamnya. Dengan demikian, manusia masa kini dibentuk oleh 5W dan 1H: waduh, waduh, waduh, waduh, waduh, hadeuh.

Akan tetapi, kehendak untuk mengeluh, alias obat yang bisa dibilang manjur ini, tentu memiliki beberapa efek samping tak mengenakkan seperti dianggap lemah oleh kawan kita yang Homo Ferrum (manusia besi/makhluk yang kuat sekali). Tipikal manusia yang, ajaibnya tak pernah menggunakan kehendak untuk mengeluh seumur hidupnya—meskipun didera “hujan problema” yang bertubi-tubi.
Negatifnya, selain itu, terlalu banyak atau terlampau sering berkehendak untuk mengeluh, secara tak langsung membikin citra kita buruk/jelek—sebagai manusia yang kurang bersyukur—yang, di titik tertentu, seperti tak pernah bisa mengapresiasi sesuatu.

Terlepas dari positif-negatif tersebut, tuntutan zaman dan persoalan-persoalan masa kini yang semakin ruwet-keruh tak terjernihkan, pada gilirannya, melahirkan begitu banyak kemungkinan-kemungkinan baru yang lumayan lucu. Salah satunya, tendensi kehendak untuk mengeluh yang berkelindan pada ruang-ruang digital, khususnya Twitter. Terhitung semenjak 24 Agustus 2022, “Komunitas Marah-Marah” kian ramai—sampai-sampai memiliki lebih dari 111.000 member yang berkehendak untuk mengeluh sepanjang sinyal dikandung paket internetan. Kira-kira beginilah deskripsi komunitasnya:

“WADAH BUAT MARAH BUKAN TEMPAT CAPER APALAGI TANYA JAWAB. KALO MAU CAPER MAEN TINDER AJA, KALO MAU TANYA JAWAB MAEN KUIS AJA.”

Marah-marah merupakan sebentuk ekspresi puncak dari mengeluh yang lazim juga disebut dengan berkeluh-kesah. Artinya, meningkatnya kecenderungan ini pada orang-orang sedikit banyak dapat menjelaskan beberapa hal serta memproduksi banyak pertanyaan-pertanyaan besar.
Apa bahan dasar atau sesuatu yang menggerakkan kehendak untuk mengeluh? Selain di Twitter, di mana biasanya seseorang berkehendak untuk mengeluh? Mengapa mereka berkehendak untuk mengeluh? Hingga, seberapa ampuh dampak dari kehendak untuk mengeluh terhadap masalah-masalah yang sedang dihadapi?

Pada akhirnya, tak akan ada jawaban pasti dan final untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sekilas nampak sinting ini. Tetapi, julukan Homo Homini Hadeuh: makhluk yang (mampu) mengeluh—mesti ditambahkan ke dalam kamus besar model manusia. Entahlah, barangkali manusia justru Homo Homini Homina-Homina, makhluk membingungkan yang selamanya akan menjadi rahasia tak terungkap kata. Atau, meminjam bahasa Rumi, barangkali manusia hanyalah kata kecil-mungil yang terselip di antara aib dan gaib.

Jangan lupa mengeluh dan misuh-misuh.

“Manusia adalah misteri—yang perlu diungkap, dan jika seumur hidup kau mencoba mengungkapnya, jangan katakan bahwa kau telah membuang-buang waktumu. Aku mempelajari misteri itu sebab aku ingin menjadi manusia.”

—Dostoevsky, The Brothers Karamazov (2002)