Showing posts with label filsafat. Show all posts
Showing posts with label filsafat. Show all posts

Friday 5 May 2023

“Tiga Metamorfosis” Nietzsche dalam Zarathustra

Der Blaue Reiter (1909) by Kandinsky

“Cara paling pasti untuk merusak seorang pemuda adalah dengan menginstruksikannya untuk menjunjung tinggi mereka yang berpikiran sama daripada mereka yang berpikiran berbeda.”
—Nietzsche, The Portable Nietzsche (1977)
Ini mungkin terdengar cukup sinting, tetapi Nietzsche benar-benar mengarang karya fenomenalnya, Thus Spoke Zarathustra, dalam ledakan-ledakan inspirasi konstan (yang berasal dari “muse” mendalamnya) selama sepuluh hari. Bukunya ini sangat alegoris dan diliputi simbolisme-simbolisme yang, konsekuensi logisnya, seakan-akan membidani aliran filsafat perspektivisme (baca: Gudang Perspektif). Dengan nuansa biblikal tapi di sisi lain mendobrak konvensi: ia menggunakan bahasa Liturgis atau Lingua Sacra khas samawi dalam setiap perkataan (dan perbuatan) tokoh protagonisnya—pada saat yang sama—dengan keras pula mengolok-olok status quo yang telah mapan adanya.

Singkatnya, begini, di sebuah negeri fiktif—ada seorang pengkhotbah yang, bagai nabi pada umumnya, selalu terlihat datang terlalu cepat. Dia adalah Zarathustra—seseorang yang menghargai gelak tawa—yang bahkan mampu menertawakan dirinya sendiri. Seseorang dengan tingkat penguasaan diri yang luar biasa hebat serta memiliki “kehendak untuk berkuasa” yang kuat. Jika diselami, filsafat Nietzsche secara keseluruhan, dan khususnya dalam novel Thus Spoke Zarathustra, memiliki penanda mencolok: prinsip “kehendak untuk berkuasa” sebagai penggerak fundamental dari semua sesuara filosofisnya.

Salah satu bagian yang menarik dari “A Book for All and None” ini adalah bahwa ia memetakan tiga metamorfosis yang mesti dilalui seseorang untuk membuatnya menjadi seorang “kreator-tabel-nilai”; yang memiliki segenap daya kreatif untuk menciptakan nilai-nilai bagi dirinya sendiri—melampaui seseorang yang sekadar mengamini nilai-nilai purba—yang dipaksakan institusi-institusi sosial/kultural/spiritual selama ribuan tahun kepada manusia.

Meski dapat dikatakan metamorfosis à la Nietzsche sama-sama metamorfosis sempurna seperti telur-nimfa-imago yang, terdengar cukup Kafka-Samsa-kecoak, tetapi jangan berharap tiga metamorfosis dalam Zarathustra ini terjadi dalam satu spesies belaka—atau minimal rasional secara taksonomi—apalagi ditekskan secara terang eksplisitnya.

“Tiga Metamorfosis” dalam Thus Spoke Zarathustra

Camel on a Balmy Night (2013) by Beth Watkins

Metamorfosis pertama adalah unta dan inilah yang ditulis Nietzsche tentang tahap pertama:

“Ada banyak yang memberati si roh, bagi roh pemanggul-beban yang kuat, yang di dalamnya berdiam kehormatan dan rasa segan: kekuatannya merindukan yang berat-berat, yang paling berat. Apakah berat? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, demikianlah ia berlututa bagai unta, ingin dipunggah beban sepantasnya. Apakah hal yang berat, o pahlawan? Demikianlah si roh pemanggul-beban bertanya, sehingga aku boleh memanggulnya dan bergembira dengan kekuatanku? [...] Sang roh pemanggul-beban memunggah bagi dirinya semua hal yang paling berat ini: laiknya seekor unta tergopoh-gopoh dengan bebannya menuju gurun, demikianlah ia berjalan memasuki gurunnya sendiri.”

Secara interpretatif, unta merupakan pemanggul beban berjiwa kuat yang dalam kesepiannya memanggul beban-beban berat. Beban berat yang dipikul unta adalah sekumpulan “Engkau harus”—sebuah kalimat perintah, semacam kode etik dan perilaku, perspektif rigid dan final untuk melihat dunia—harus begini, harus begitu. Secara lebih luas, “Engkau harus” adalah bahasa perintah yang membawa seseorang menuju perjalanan paling purba dalam sejarah filsafat: perjalanan pertama untuk memperoleh pengetahuan tentang diri dan dunia tempatnya “mengada”. Unta melewati hal-hal tersulit yang terjadi dalam hidup yang remang redup. Kita mulai dengan menjadi unta. Sebagai murid, kita mencari ilmu dan guru—berusaha untuk memahami dunia sebanyak mungkin. Begitu banyak ilmu, begitu banyak pemikir hebat yang kita kagumi dan hormati. Semakin kita tahu sesuatu, maka itu berbanding lurus dengan semakin berat beban yang ada di punggung kita.

Setelah membaca Kierkegaard dan Sartre, eksistensialis lain, unta segera mengembangkan keinginan untuk berhenti memikul beban yang bukan miliknya karena menyadari bahwa ada semacam “ketakpastian objektif” dan tak ada nilai universal atau makna hidup yang tunggal. Tapi gurun itu memungkinkan kesepian yang paling sunyi, dan roh unta tak mau lagi memikul beban ide dan pengetahuan yang bukan miliknya. Dunia, yang telah ditemukan unta, tak memiliki nilai esensial atau universal. Tak ada arti atau makna hidup yang tunggal. Demikianlah unta kemudian bermetamorfosis menjadi singa.

Leo (2015) by Linda Emerson

Inilah yang Nietzsche tekskan pada tahapan kedua:

“... Tetapi di gurun yang paling sunyi terjadi metamorfosis yang kedua: roh menjadi singa, ia ingin merdeka dan menjadi tuan dari gurunnya sendiri. Ia mencari di tempat ini tuannya yang paripurna: ia akan menjadi seorang musuh baginya dan bagi tuhan paripurnanya, ia akan bergulat untuk mengalahkan si naga besar. Apakah naga besar yang oleh si roh tak lagi hendak dipanggil tuan dan tuhan? Naga besar dinamai engkau harus”. Tapi roh si singa berkata “aku hendak”! “Engkau harus” berdiam di jalurnya, bagai seekor binatang buas yang bersisik emas, dan pada setiap sisik berkilauan “Engkau harus” keemasan.

Nilai-nilai ribuan tahun berkilauan pada sisik-sisik itu, dan demikianlah berkata naga yang paling berkuasa dan sekaliannya: “Seluruh nilai benda-benda—menjadi kilauan bagiku.” “Semua nilai telah diciptakan, dan semua nilai ciptaan—terdapat padaku. Sungguh, tak akan ada lagi ‘aku hendak’!” Demikianlah berkata si naga. Saudara-saudaraku, mengapa si singa diperlukan dalam si roh? Mengapa binatang beban, yang tak menuntut apa-apa dan takzim, tak mencukupi?

Untuk menciptakan nilai-nilai baru—bahkan si singa pun tak mampu: tapi untuk menciptakan bagi dirinya sendiri kebebasan bagi pencipta baru—itu tak dapat dilakukan oleh kuasa si singa. Untuk menciptakan kebebasan bagi diri sendiri dan sebuah kata ‘Tidak’ yang suci walaupun terhadap tugas: si singa diperlukan untuk itu, Saudara-saudaraku. Untuk menangkap hak akan nilai-nilai baru—itu kerjaan paling mengerikan bagi roh pemanggul-beban yang takzim. Sungguh, bagi roh ini hal itu pencurian dan kerjaan binatang pemangsa.

Sekali ia mencintai “Engkau harus” ini sebagai hal paling suci baginya: kini ia harus menemukan ilusi dan perubahan pikiran mendadak, bahkan di tempat yang paling suci sekalipun, supaya bisa mencuri kebebasan dan cinta: si singa diperlukan menghadapi pencurian ini.”

Agar singa bebas dan bisa menguasai padang pasir, singa harus menggulingkan penguasa yang ada di sana. Naga adalah penghalang kebebasan yang dicari singa. Pada naga ini terdapat sisik-sisik, dan pada setiap sisiknya yang menarik, keemasan, dan berkilauan tertulis “Engkau harus”. Frasa ini mewakili institusi yang menentukan hukum moral dan nilai-nilai di masyarakat yang mengatur bagaimana kita harus bertindak serta memberi tahu siapa kita. Bagi Nietzsche, naga ini mewakili agama, pemerintah, orang tua, atau pada dasarnya siapa pun yang bersifat mendoktrin. Pendek kata, filsuf berkumis baplang ini percaya bahwa individu sejati harus membangun tujuannya dengan caranya sendiri.

Children Of Light - Colorful Bright Read And Blue Abstract Art Painting (2017) by Gordan P Junior

Dan beginilah yang Nietzsche sabdakan tentang metamorfosis terakhir:

“Tapi katakan padaku, Saudara-saudaraku, apa yang dapat dilakukan si anak yang bahkan si singa tak dapat? Mengapa harus si singa pemangsa masih menjadi sesosok anak? Si anak itu lugu dan pelupa, satu awal baru, suatu olahraga, sebuah roda yang berputar sendiri, satu gerak pertama, satu Ya suci. Ya, satu Ya suci diperlukan, Saudara-saudaraku, bagi olahraga penciptaan: si roh kini menghendaki kehendak-nya sendiri, si roh yang memisahkan diri dari dunia kini memenangi dunia-nya sendiri.”

Pada akhirnya, singa menginginkan kehendak-nya sendiri, ia bermetamorfosis untuk terakhir kalinya. Tapi, mengapa seorang anak merupakan metamorfosis puncak? Seperti yang dikatakan Nietzsche secara tersirat, seorang anak memiliki awal yang baru dan segar—yang selaras dengan potensi kebaruan alias berbagai kemungkinan-kemungkinan baru yang menggairahkan. Seorang anak itu dipenuhi kemurnian dan tak terbelenggu: tak pernah terbebani oleh aturan atau konvensi masyarakat tertentu, ajaran agama tertentu. Yang menarik, unik, dan autentik adalah fakta bahwa seorang anak selalu punya cara tersendiri untuk menilai segala sesuatu tanpa embel-embel tertentu.

Dengan kata lain, seorang anak menginginkan jalan takdirnya sendiri serta hidup bebas dalam kreativitas dan permainan—seperti Homo Ludens yang membaca Le Petit Prince karangan Antoine de Saint-Exupéry. Nietzsche menegaskan hal ini dengan mengatakan, “di setiap manusia sejati tersembunyi seorang anak yang ingin bermain-main”. Jangan lupa menjadi anak-anak.

*****

Referensi

Nietzsche, Friedrich, (Terjemahan H.B. Jassin; Pengantar, Goenawan Mohamad), 2019, Zarathustra, Yogyakarta: IRCiSoD.

Friday 21 April 2023

Filsafat Makanan (Esai Translasi)

The Potato Eaters (1885) by van Gogh

Artikel ditulis oleh Prof. Andrea Borghini dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Pertanyaan filosofis yang bagus bisa muncul dari mana saja. Pernahkah seseorang berpikir, misalnya, bahwa ketika kita duduk untuk menyantap semangkuk soto babat atau berjalan-jalan di sepanjang street food bisa menjadi pengantar yang baik untuk merangsang pemikiran filosofis? Barangkali, dengan membayangkan seperti itu kita dapat menakar kemungkinankredo filsafat makananselain "aku makan, maka aku ada".

Apa yang Filosofis tentang Makanan?
Filsafat makanan didasarkan pada gagasan bahwa makanan adalah cermin. Kita mungkin pernah mendengar pepatah, "kita adalah apa yang kita makan". Nah, masih banyak lagi yang bisa dikatakan tentang hubungan antara filsafat dengan makanan (yang bersintesis jadi filsafat makanan). Makan mencerminkan proses pembentukan diri: serangkaian keputusan dan keadaan yang membuat kita makan dengan cara-cara tertentu. Di dalamnya, kita bisa melihat cerminan diri kita yang detil dan menyeluruh. Filsafat makanan mencerminkan aspek etis, politis, sosial, artistik, hingga identifikasi pribadi dalam makanan. Pada gilirannya, memacu kita  untuk lebih aktif merenungkan pola makan dan kebiasaan makan demi memahami siapa kita dengan cara yang lebih personal, lebih dalam, lebih subjektif, dan lebih autentik.

Makanan sebagai Relasi
Makanan adalah relasi. Makanan-makanan hanya sehubungan dengan beberapa organisme tertentu, dalam serangkaian keadaan yang "khusus". Misalnya, di beberapa negara di Eropa sarapan dengan menyeruput kopi dan mengisap rokok adalah kebiasaan yang lumrah; namun di Indonesia, sarapan dengan menu yang "sangat eksistensialis" tersebut nampak seperti remaja puber yang baru saja merasakan Quarter-Life Crisis. Kedua, makanan kesukaan terikat dengan prinsip-prinsip kolektif yang cenderung bertentangan. Katakanlah, seseorang menahan diri untuk tidak memakan sate biawak di rumah, tetapi di depan danau di mana tak ada manusia selain dirinya, ia menyantapnya dengan lahap. Dengan demikian, relasi makanan apa pun yang pertama dan terutama adalah cermin dari pemakannya: dipengaruhi keadaan, itu mewakili kebutuhan, kebiasaan, keyakinan, pertimbangan, dan kompromi.

Etika Makanan
Mungkin aspek filosofis yang paling jelas dari pola makan kita adalah keyakinan etis yang membentuknya. Apakah seseorang akan memakan kucing? Seekor kelinci? Mengapa iya atau mengapa tidak? Kemungkinan alasan yang seseorang berikan untuk sikapnya berakar pada prinsip etika, seperti: "Apa enaknya memakan kucing?" atau bahkan "Bagaimana bisa kau melakukan hal seperti itu!" Atau, pertimbangkan vegetarisme: sebagian besar dari mereka yang mengikuti pola makan ini melakukannya untuk mencegah kekerasan yang tidak dapat dibenarkan terhadap hewan. Dalam Animal Liberation, Peter Singer melabeli "spesiesisme" sikap orang-orang yang menarik pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara Homo sapiens dan spesies hewan lainnya (seperti rasisme membuat pembedaan yang tidak dapat dibenarkan antara satu ras dan ras lainnya). Jelas, beberapa dari aturan itu bercampur baur dengan prinsip-prinsip agama: keadilan dan surga dapat dipertemukan di atas meja, seperti yang terjadi pada kesempatan lainnya.

Makanan sebagai Produk Seni?
Bisakah makanan dikatakan sebagai produk seni? Bisakah makanan menjadi produk seni? Bisakah seorang juru masak bercita-cita menjadi seniman gigan yang setara dengan Michelangelo, Kandinsky, Picasso, da Vinci, Cézanne, dan van Gogh? Pertanyaan-pertanyaan ini telah memicu perdebatan sengit selama beberapa tahun terakhir. Beberapa berpendapat bahwa makanan (paling banter) hanyalah kerja-kerja kesenian kecil nan fana. Karena tiga alasan utama. Pertama, karena makanan berumur pendek dibandingkan dengan, misalnya bongkahan marmer. Kedua, makanan secara intrinsik terkait dengan tujuan praktis—memenuhi kebutuhan fisiologis untuk makan. Ketiga, makanan bergantung pada konstitusi materialnya dengan cara yang tidak dimiliki oleh musik, lukisan, atau bahkan patung. Lagu seperti "The Great Gig in the Sky"-nya Pink Floyd telah dirilis dalam bentuk vinil, kaset, CD, dan sebagai mp3 di Spotify; tapi tidak dengan makanan. Koki terbaik karenanya akan menjadi pengrajin yang sangat baik; mereka dapat dipasangkan dengan penata rambut mewah atau tukang kebun yang terampil. Di sisi lain, ada yang menganggap perspektif ini tidak adil. Koki baru-baru ini mulai tampil dalam pertunjukan seni dan ini tampaknya secara konkret membantah pernyataan sebelumnya. Mungkin yang paling terkenal adalah kasus Ferran Adrià, koki Catalan yang merevolusi permasakan duniawi selama tiga dekade terakhir.

Pakar Makanan
Orang Amerika sangat menghargai peran ahli makanan; Prancis dan Italia terkenal tidak. Mungkin karena cara yang berbeda dalam memandang praktik penilaian suatu makanan. Apakah sup Bawang Perancis itu asli? Ulasan mengatakan anggur itu elegan: apakah itu masalahnya? Mencicipi makanan atau wine bisa dibilang merupakan aktivitas yang menghibur, dan menjadi pintu pembuka menuju percakapan. Namun, apakah ada kebenaran dalam hal penilaian tentang makanan? Ini adalah salah satu pertanyaan filosofis yang paling sulit. Dalam esainya yang terkenal Of the Standard of Taste, David Hume menunjukkan bagaimana seseorang cenderung menjawab "Ya" dan "Tidak" untuk pertanyaan itu. Di satu sisi, pengalaman mencicipiku bukan milikmu, jadi ini sepenuhnya subjektif; di sisi lain, dengan tingkat keahlian yang memadai, tidak ada yang aneh dengan membayangkan untuk menantang pendapat pengulas tentang suatu anggur atau sebuah restoran.

Ilmu Makanan
Sebagian besar makanan yang kita beli di supermarket mencantumkan label "fakta nutrisi". Kita menggunakannya untuk memandu diri kita sendiri dalam menjalankan diet, agar tetap sehat. Tapi, apa hubungannya angka-angka itu dengan barang-barang yang kita miliki di depan kita dan dengan perut kita? "Fakta" apa yang sebenarnya mereka ingin bangun? Dapatkah ilmu gizi dianggap sebagai ilmu alam yang setara dengankatakanlahbiologi sel? Bagi sejarawan dan filsuf-cum-saintis, makanan adalah medan penelitian yang subur karena menimbulkan pertanyaan mendasar tentang validitas hukum alam (apakah kita benar-benar mengetahui hukum tentang metabolisme?) Dan struktur penelitian ilmiah (siapa yang membiayai studi tentang fakta gizi yang kita temukan pada label-labe itu?).

Politik Makanan
Makanan juga menjadi inti dari sejumlah pertanyaan-pertanyaan bagi filsafat politik. Ini hanya beberapa. Satu, tantangan yang ditimbulkan oleh konsumsi makanan terhadap lingkungan. Misalnya, tahukah kau bahwa peternakan bertanggung jawab atas tingkat polusi yang lebih tinggi daripada perjalanan dengan tiket pesawat? Dua, perdagangan makanan mengangkat masalah keadilan dan ekuitas di pasar global. Barang eksotis seperti kopi, teh, dan cokelat adalah contoh utama: melalui sejarah perdagangannya, kita dapat merekonstruksi hubungan kompleks antara benua, negara bagian, dan manusia selama tiga-empat abad terakhir. Tiga, rantai produksi, distribusi, dan ritel makanan memungkinkan banyak kesempatan untuk berbicara tentang kondisi para pekerja di seluruh dunia.

Makanan dan Pemahaman Diri
Pada akhirnya, karena rata-rata orang merasakan relasinya dengan makanan setiap hari, penolakan untuk merenungkan kebiasaan makan dengan cara yang bermakna dapat disamakan dengan kurangnya pemahaman diri atau kurangnya keautentikan. Pemahaman diri dan keautetikan adalah salah satu tujuan utama dari filsafat, maka makanan menjadi kunci sejati untuk membukanya. Inti dari filsafat makanan karenanya adalah pencarian pola makan yang autentik, sebuah pencarian yang dapat dengan mudah dilanjutkan dengan menganalisis aspek lain dari relasi manusia dengan makanan.

Tuesday 7 March 2023

Eksistensialisme dan Sastra (Esai Translasi)

Artikel ditulis oleh Prof. Peter Rickman dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Lebih dari sekadar gerakan filosofis, para eksistensialis mengomunikasikan ide-ide mereka melalui drama, novel, dan cerita pendek. Peter Rickman bertanya: mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra?

Jean-Paul Sartre adalah seorang filsuf eksistensialisme yang melestarikan subjek tersebut dan menulis karya-karya substansial tentangnya. Namun ia juga menulis, dan dikenal luas untuk, novel, cerita pendek, dan drama. Ini bukanlah hubungan yang kebetulan, karena seorang manusia bisa saja seorang dokter dan pegolf. Karya sastra Sartre mewakili gagasan-gagasan filosofisnya, dan dengan demikian menjadi dikenal luas serta digemari. Dalam hal ini dia mengintensifkan kecenderungan gerakan yang dikenal sebagai eksistensialisme. Søren Kierkegaard, yang biasanya dianggap sebagai bapak gerakan ini, banyak menggunakan perangkat fiksi. Misalnya, karya filosofis signifikannya yang pertama, Either/Or, menyajikan pandangan yang sangat berbeda dari tiga karakter ciptaannya; yang satu estetikus, yang kedua moralis, dan yang ketiga sensualis. Pandangan-pandangan mereka diungkapkan masing-masing dalam bentuk esai, aforisme, surat, dan catatan harian. Friedrich Nietzsche, jika bukan paman seorang bapak baptis eksistensialisme itu, memproduksi Thus Spoke Zarathustra di mana dia menjalin fiksi puitis di sekitar sosok manusia bijak Persia. Martin Heidegger percaya pada signifikansi filosofis puisi dan mencoba mengarang, meskipun tak terlalu berhasil, beberapa karya puisinya sendiri.

Tentu saja, menghadirkan filsafat dalam bentuk sastra bukanlah yang hal baru. Buku Dialogues-nya Plato adalah mahakarya sastra. Diderot dan Voltaire memberikan dua contoh bagaimana pemikir mengekspresikan diri mereka dalam fiksi. Akan tetapi, sebagian besar teks-teks filosofis, selama berabad-abad, berbentuk esai akademis, risalah rigid, dan ceramah-ceramah kuliah yang dibukukan. Jadi, apa dorongan di balik perubahan segar menuju ekspresi sastra ini dan apa pentingnya?

Jawabannya, penulis ingin berargumen, terkait erat dengan dua kontribusi signifikan yang telah dibuat oleh eksistensialisme terhadap perdebatan-perdebatan filosofis. Gelombang popularitas eksistensialisme telah berakhir. Pada tahun 50-an dan 60-an ada seminar-seminar tentang Heidegger di sebagian besar universitas Jerman dan bahkan di beberapa institusi di Anglo-Saxon. Di Paris, eksistensialisme menjadi semacam mode. Banjir itu telah surut dan gerakan filosofis lainnya seperti Dekonstruksi à la Derrida telah mengemuka. Selain itu, kesuraman visi eksistensialis telah dikritik. Heidegger, menulis setelah kekalahan Jerman—dan Sartre, menulis setelah melihat kekalahan Prancis—keduanya memandang hidup sebagai perjuangan melawan kesulitan dan kesengsaraan akibat dari negara mereka yang kalah perang. Nausea-nya Sartre mungkin saja disebabkan oleh 'perjalanan buruk' dan hidup (meskipun berisi kekhawatiran dan ketakutan tapi) boleh jadi mengandung kegembiraan. 

Akan tetapi, masih ada dua pencapaian filosofis yang bertahan lama. Yang pertama adalah sebagai pengingat, didramatisasi dengan jelas dalam naskah-naskah fiksi, bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan berbagai problemanya—tak sekadar kerewelan akademis tentang hal-hal abstrak yang rumit dan sulit. Penulis katakan pengingat karena ini selalu menjadi perhatian filsafat yang sebenarnya; Marx jelas keliru, mungkin bukan karena ketaktahuan, tetapi melalui keinginannya untuk mengembangkan retorika, ketika dia mengklaim bahwa filsafat sampai saat ini lebih peduli pada bagaimana memahami dunia ketimbang mengubahnya. Seseorang hanya perlu membaca Plato, Aristoteles, Hobbes, Spinoza atau Kant untuk mengamati upaya memahami “keinginan untuk mengubah sesuatu menjadi lebih baik”. Memang benar, terdapat beberapa filsuf dan seluruh gerakan filosofisnya, paling tidak di zaman kita, yang memprotes bahwa mereka adalah spesialis yang tak berbahaya, yang mengklarifikasi istilah dan mengurai kesalahan tata bahasa, sehingga mereka dapat dibiarkan dengan damai di menara gading intelektualitas mereka. Melawan ini, para eksistensialis telah memberikan pengingat tepat waktu bahwa filsafat adalah tentang kehidupan manusia dan fitur-fiturnya yang khas.

Kedua, eksistensialisme menekankan pada otentisitas individu. Penulis bukanlah sekadar contoh manusia. Tidaklah cukup untuk mengidentifikasi diri ini sebagai seorang Yahudi atau seorang London. Seperti yang ditekankan Heidegger, kesadaran bahwa manusia pasti mati dan bukan hanya kesadaran bahwa seseorang pasti mati, pada akhirnya, akan membawa pulang berbagai identitas unik yang tak tergantikan. Dari sini satu prinsip formal dimiliki oleh semua eksistensialis: seruan pada keotentikan.

Di sinilah alasan kuat untuk beralih dari generalisasi filosofis ke instansiasi sastra. Dalam fiksi dan drama kita dikenalkan dengan sosok-sosok individu yang mengilustrasikan secara detail dan konkret bagaimana rasanya menjadi manusia. Tragedi Yunani seperti Antigone yang dikarang Sophocles, atau lakon-lakon Sartre, tak hanya mengilustrasikan sebuah tema, tegangan konflik antara hati nurani dan ketaatan pada hukum, misalnya, tetapi menghadirkan kepada kita tokoh-tokoh fiksi yang menunjukkan bagaimana orang-orang tertentu—dalam situasi tertentu— merespons sesuatu.

Begitu kita menekankan relevansi filsafat dengan kehidupan manusia, pertanyaan tentang pilihan moral menjadi begitu penting. Fokus ini memberikan alasan lebih lanjut tentang kecenderungan eksistensialisme untuk ekspresi sastra. Karena eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral umum yang jelas, ia didorong dari teori ke arah analisis pilihan pribadi setiap individu. Ini memberikan tantangan yang menarik bagi filsafat moral tradisional, yang memang paling efektif diungkapkan dalam bentuk sastra.

Alasan mengapa eksistensialisme menghalangi dirinya sendiri dari memiliki bangunan filsafat moral dan politik yang koheren adalah penekanannya pada pilihan-pilihan autentik setiap individu. Inilah sebabnya mengapa para eksistensialis, secara individu—dalam keyakinan agama, politik, dan moral mereka—sangat berbeda satu sama lainnya. Kierkegaard adalah seorang Kristen yang taat, Sartre seorang ateis, Heidegger mendukung Nazi dan bahkan tetap setengah hati mengutuk Holocaust, sementara Sartre mendukung komunisme. Mereka semua bersatu dalam kebajikan formal sebuah otentisitas personal, yaitu keotentikan pilihan-pilihan pribadi. Kita selalu dihadapkan pada alternatif-alternatif yang dapat dan mesti kita pilih. Kita dalam ungkapan Sartre “dikutuk untuk bebas”, tetapi derita mendalam muncul, karena tak adanya pedoman objektif.

Penulis mengesampingkan, sebagai subjek yang terlalu luas untuk sebuah artikel, pertanyaan apakah eksistensialisme dijustifikasi dalam membuang standar moral objektif seperti yang telah disediakan oleh Aristoteles, Kant, atau Mill. Namun, kita harus mengakui bahwa semua filsafat moral dibatasi setidaknya dalam dua cara. Salah satunya adalah bahwa dasar dari filsafat moral itu sendiri bertumpu pada asumsi yang terbuka untuk dianalisis secara kritis.

Filsafat moral Aristoteles adalah tentang mencapai kehidupan yang baik, eudaimonia, tak cukup diterjemahkan sebagai kebahagiaan karena melibatkan perkembangan atau pemenuhan diri. Kita semua akrab, bahkan dalam hal-hal sepele, dengan peningkatan yang kita dapatkan dari melakukan hal dengan baik, misalnya berhasil melatih bakat kita. Namun, untuk menyimpulkan pedoman moral apa pun dari ini, kita harus memutuskan apa yang penting bagi manusia, apa yang perlu dipenuhi oleh diri kita, atau mengapa lebih penting mengembangkan bakat untuk berfilsafat ketimbang menggoyangkan telinga? Aristoteles menanggapi pertanyaan ini dengan mendefinisikan manusia sebagai 'binatang rasional' yang pemenuhannya terdiri dari melatih akal dan mengendalikan serta menyeimbangkan secara rasional berbagai hasratnya, (yakni, menemukan cara yang tepat di antara ekses yang saling berlawanan). Tapi dapatkah kita menerima begitu saja rasionalitas manusia sebagai ciri utamanya?

Sangat masuk akal untuk ditekankan, seperti halnya kaum utilitarian, pentingnya memaksimalkan kesenangan dan meminimalkan rasa sakit. Tapi ini jelas setengah benar, bagi petinju dan pendaki gunung yang mirip seperti ilmuwan, yang berdedikasi mengekspos diri mereka sendiri, secara sukarela, pada rasa sakit. Ada juga masalah dari mengukur kesenanganku dengan rasa sakitmu, atau kesenangan jangka pendek dengan rasa sakit jangka panjang.

Pendekatan lain diambil oleh para pemikir seperti Hegel atau Marx yang percaya bahwa kita dapat menemukan gerak sejarah sebagai upaya penyingkapan nalar, kemajuan kebebasan atau gerak menuju masyarakat yang adil tanpa kelas-kelas sosial. Kita kemudian dapat bertindak selaras dengan tren seperti itu. Masalahnya adalah kita menjadi ragu apakah ada tujuan yang telah ditentukan sebelumnya dan dapat dilihat dalam sejarah. Terakhir, yang tak kalah penting, dalam tulisan ini perlu diangkat pula filsafat moral-nya Kant, bahwa, menurutnya, alasan-alasan praktis melahirkan kewajiban ketika berbicara kepada kita sebagai suara bawaan dari hati nurani. Hukum moral, yang diartikulasikan dalam formulasi berbeda dari Imperatif Kategoris, bagaimanapun, sangat formal, menuntut konsistensi, ketakberpihakan, dan penghormatan terhadap tujuan orang lain. Alih-alih memunculkan prinsip, ia bertindak sebagai kriteria untuk mereka. Sangat mirip dengan aturan logika, yang tak memberi tahu kita apa yang harus ditulis, tetapi hanya tentang bagaimana menghindari penulisan yang tak masuk akal. Jelas acuan singkat ini tak dapat berlaku adil untuk pendekatan yang berbeda terhadap filsafat moral. Acuan ini hanya berfungsi sebagai pengingat bahwa filsafat-filsafat moral semacam itu tak dapat memberi kita panduan langsung karena sudah bertumpu pada praduga dan terlalu formal.

Alasan lebih lanjut mengapa teori-teori moral umum seperti itu tak dapat secara langsung memandu kita adalah karena banyaknya konflik-konflik tragis. Teori yang berbeda mungkin setuju bahwa berbohong itu salah atau bahwa kekejaman secara moral tak dapat diterima. Tapi bagaimana jika jujur ​​pun tak baik? Kita mungkin setuju bahwa keadilan maupun perdamaian itu berharga, tetapi kita mungkin menemukan bahwa kita harus berjuang hanya demi menegakkan keadilan.

Merupakan hutang budi bagi para eksistensialis untuk berfokus pada implikasi dari batasan teori-teori moral dengan menekankan pilihan-pilihan pribadi yang tak terhindarkan. Bahkan jika kita mengesampingkan keraguan tentang kemungkinan hukum moral objektif yang berasal dari tuhan, alam atau akal, mereka tak membawa kita sepenuhnya ke keputusan. Kau mungkin, misalnya, menjadi seorang Kristen religius yang menerima setiap perintah Alkitab, namun memilih pasifisme atau percaya pada perang yang adil menurut interpretasimu sendiri. Dengan kata lain, kau tak dapat memprogram komputer dengan prinsip-prinsip moralmu, memasukkan detail-detail kasus tertentu, menekan tombol dan menerima keputusan tentang apa yang harus kau lakukan. Itu terletak pada sifat dasar dari pilihan-pilihan moral yang tak dapat direduksi menjadi personal. Tak ada yang bisa mengangkat beban ini dari pundakmu.

Pengingat bahwa kita tak dapat mengalihkan tanggung jawab kita, tak dapat berlindung di balik teori umum, cukup penting memang, tetapi secara esensial negatif. Bisakah eksistensialis menawarkan semacam panduan positif, yang kita cari dari filsafat? Kita dapat dengan mudah setuju dengan seruan eksistensialisme pada keotentikan dan realisasi diri, tetapi apakah ini lebih membantu daripada seruan pada konsistensi? Di sini kita telah sampai pada alasan lain mengapa eksistensialisme menggunakan ekspresi sastra. Beberapa orang mungkin keberatan dengan argumen penulis sejauh ini bahwa para filsuf masa lalu memegang pandangan moral tertentu yang mereka tawarkan sebagai pedoman. Aristoteles memuji apa yang kita sebut “kebajikan yang lembut”, Kant sangat percaya pada hukuman mati, Mill sangat mendukung kebebasan. Namun, dalam pandangan penulis, kesimpulan semacam itu tak sepenuhnya secara ketat menaungi filsafat mereka, tetapi diwarnai oleh faktor latar belakang budaya dan kepribadian mereka. Tugas filsuf bukanlah sebagai pembimbing moral dan kita tak akan menerimanya filsuf semacam itu, meskipun kita dapat menghormati pandangan moralnya sebagaimana kita menghormati orang yang memegangnya. Apa yang dapat dilakukan filsafat adalah menyediakan kerangka kerja untuk berpikir tentang persoalan-persoalan yang harus kita putuskan. Ini adalah nilai dari teori-teori seperti 'rata-rata', imperatif kategoris atau kalkulus kebahagiaan.

Sebuah “bagaimana” lebih lanjut telah dipetakan oleh Kierkegaard dan tetap paradigmatik untuk pendekatan eksistensialis. Selain menawarkan kriteria dan kerangka kerja formal untuk merefleksikan hidup, kita dapat mengangan-angankan model-model individual, atau jenis-jenis kehidupan, dan eksplorasi imajinatif dari implikasinya. Dengan demikian, seorang individu dibantu secara konkret untuk memutuskan, dengan lebih banyak wawasan, menjadi manusia seperti apa yang dia inginkan. Karya sastra yang magnum opus, selalu melakukan hal semacam itu. Dalam eksistensialisme hal tersebut menjadi instrumen tentang usaha-usaha filosofis yang dipilih dan dilakukan secara sadar.

*****

Sumber Literatur

Existentialism & Literature | Issue 32 | Philosophy Now: https://philosophynow.org/issues/32/Existentialism_and_Literature

Thursday 16 February 2023

Amor Fati: Nietzsche dan Stoikisme

L'éternel Retour by Raymond Douillet

“Formulaku untuk kebesaran dalam diri manusia adalah Amor Fati: bahwa seseorang tak ingin sesuatu yang berbeda, tak masa depan, tak masa lalu, tak pula semua kekekalan. Tak hanya menanggung apa pun yang diperlukan—tetapi mencintai semua itu.”

—Nietzsche, Ecce Homo (1992)

Begitulah, sabda si Dinamit-Nietzsche di buku otobiografinya, Ecce Homo—sebelum jatuh ke dalam penyakit kejiwaan pada bulan Januari 1889 dan kemudian, tak berselang lama dari itu—meninggal pada 25 Agustus 1900 karena pneumonia (infeksi/radang paru-paru). Meski dikarang pada tahun 1888, namun terbitan pertama buku tersebut mengudara pada 1908—sekitar 20 tahun setelah bukunya selesai ditulis, atau 8 tahun pasca Nietzsche wafat.

Lantas apa yang Nietzsche sebut sebagai formula bernama “Amor Fati” itu? Apakah itu semacam mantra ajaib penolak bala?

Pendek kata, Amor Fati adalah sebuah frasa dari bahasa Latin yang jika diterjemahkan secara kasar berarti: “Mencintai Takdir”. Amor Fati mempunyai bentuk yang lebih lengkap, puitis, dan monumental: yakni, 'Fatum Brutum Amor Fati'; yang kira-kira jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia memiliki arti: “Mencintai takdir walau takdir hadir dengan begitu brutal”. Mengutip dari merriam-webster.com, Amor Fati (amor fa·ti; ˈä-ˌmȯr-ˈfä-tē) bermakna: mencintai takdir; menyambut semua pengalaman hidup dengan baik. Jika mengutip dari urbandictionary.com, Amor Fati memiliki makna: menggambarkan suatu sikap yang melihat segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang; cara bersikap pada segala sesuatu.

Dengan kata lain, Amor Fati adalah suatu sikap penerimaan yang tegas dan antusias atas segala sesuatu—berpuncak pada kemampuan memaknai past/present/future dalam tenses hidup kita—agar kita mampu menjalani hidup dengan energik, tanpa kecemasan, dan mampu vis a vis menatap mata kematian tanpa satu pun penyesalan.

Secara literal, frasa Amor Fati justru bukan ingin menolak bala, tetapi mengajak kita untuk menerimanya secara brutal. Maka tak heran, frasa ini keluar dari mulut Nietzsche, sebab ia pernah mengungkapkan bahwa “inti dari realitas adalah kekacauan, adalah kaotis”—sehingga hal paling waras dan logis yang dapat kita lakukan, pertama-tama, adalah menerima kehidupan lengkap dengan seluruh keruwetan problemanya, kebudugan dunianya, dan tentu takdirnya yang sering luar biasa kejamnya.

Sejatinya, frasa Amor Fati telah hadir jauh sebelum Ecce Homo, misalnya dalam Die fröhliche Wissenschaft (La Gaya Scienza/The Gay Science/The Joyful Wisdom/The Joyous Science), Nietzsche menulis:

“Aku ingin belajar lebih banyak lagi untuk melihat keindahan macam apa yang diperlukan dalam segala sesuatu; maka aku akan menjadi salah satu dari mereka yang membuat segala sesuatu menjadi indah. Amor fati: biarkan itu menjadi cintaku selanjutnya! Aku tak ingin melancarkan perang melawan apa yang jelek. Aku tak ingin menuduh; aku bahkan tak ingin menuduh mereka yang menuduh. Memalingkan muka akan menjadi satu-satunya bentuk negasiku. Dan semua dalam semua dan secara keseluruhan: suatu hari nanti aku hanya ingin menjadi seseorang yang mengatakan ‘Ya’ pada kehidupan.”

—Nietzsche, The Joyous Science (2018)

Selain itu, Amor Fati juga tercatat dalam Der Fall Wagner (termasuk dalam “Nietzsche Contra Wagner”, sebuah esai kritik Nietzsche terkait pemikirannya tentang komposer Richard Wagner):

“Amor fati: adalah inti dari keberadaanku ... Hanya penderitaan besar; penderitaan besar itu, di mana kita tampaknya berada di atas api kayu hijau, penderitaan yang memakan waktu—memaksa kita, para filsuf, untuk turun ke kedalaman terdalam kita, dan melepaskan semua kepercayaan, semua sifat baik, semua pengurangan, semua kelembutan, semua mediokritas—hal-hal yang sebelumnya kita pertaruhkan di atas kemanusiaan kita.”

—Nietzsche, Nietzsche Contra Wagner (2021)

 

Amor Fati dan Stoikisme

Berbicara perihal ‘Amor Fati’, tak komprehensif bila tanpa membahas Stoikisme—sebab Nietzsche, secara filosofis, sedikit banyak terpengaruh oleh para Stoik. Stoikisme, singkatnya, adalah sebuah aliran filsafat Yunani Kuno, dan merupakan salah satu dari tiga mazhab filsafat besar pada periode Helenistik—satu era dengan Epikureanisme dan Pyrrhonisme—yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM.

Dalam beberapa literatur tentang Zeno kita dapat menemukan pemikirannya yang berwarna Amor Fati:

“Takdir adalah rantai sebab-akibat yang tak ada habisnya, di mana segala sesuatunya ada; alasan atau formula di mana dunia berjalan.”

—Zeno dari Citium

Dalam karya-karya Marcus Aurelius, salah satu figur Stoik paling terkenal pun demikian, misalnya pada Ta eis heauton (Meditations):

“Dia hanya melakukan apa yang menjadi tugasnya, dan terus-menerus mempertimbangkan apa yang dunia siapkan untuknya—melakukan yang terbaik, dan percaya bahwa semuanya adalah yang terbaik. Sebab kita membawa takdir kita bersama kita—dan takdir itu mengantarkan kita.”

 —Aurelius, Meditations (2006)

Figur intelektual Stoik pun tak luput menyatakan pandangannya yang bernuansa Amor Fati—baik secara tindakannya yang menerima hukuman bunuh diri yang dijatuhkan kepadanya maupun dalam karya-karya awalnya seperti Ad Lucilium Epistulae Morales (Letters from a Stoic):

“Kebahagiaan sejati adalah memahami kewajiban kita kepada Tuhan dan manusia; untuk menikmati saat ini, tanpa ketergantungan pada kecemasan akan masa depan; bukan untuk menghibur diri kita sendiri dengan harapan atau ketakutan, tetapi untuk merasa puas dengan apa yang kita miliki, yang sangat cukup ini.”

—Seneca, Letters from a Stoic (2004)

Filsuf Stoik lain, Epictetus, pun mencetuskan ungkapan yang kurang lebih seperti Amor Fati dalam bahasa dan terma Stoikisme—dia menulis:

“Jangan menuntut hal-hal terjadi seperti yang kau inginkan, tetapi berharaplah hal itu terjadi sebagaimana adanya, dan kau akan berjalan dengan baik.”
—Epictetus, The Discourses of Epictetus: The Handbook (1995)

Dengan demikian, besar kemungkinan Amor Fati adalah pola pikir Stoik untuk memanfaatkan masa kini dan secara total melakukan yang terbaik terlepas dari apa pun hasilnya dan apa pun yang terjadi: misalnya, perihal bagaimana memperlakukan setiap momen—tak peduli seberapa sulitnya—sebagai sesuatu yang harus dihadapi dengan berani, bukan dinegasikan atau dihindari.

 

Mengapa Amor Fati?

Kini, yang menjadi pertanyaan mungkin adalah mengapa kita harus bersusah payah menggali makna dari frasa Latin di kuburan-pemikiran Nietzsche—yang bahkan sudah berumur lebih dari 134 tahun itu (dan kuburan-pemikiran para Stoik yang jauh lebih purba)—untuk kemudian menghayati atau bahkan mengaplikasikannya dalam hidup kita?

Satu yang jelas, gagasan-gagasan ketuhanan, ritus-ritus keagamaan, dan ide-ide seseorang tak akan pernah pernah mati—selama itu tetap relevan dengan kondisi zaman. Tubuh dapat membusuk dan melebur dengan tanah, tetapi apa yang telah dia formulasikan—gaungnya masih mungkin terdengar lantang sampai sekarang dan sampai masa-masa yang akan datang. Secanggih apapun peradaban umat manusia, pada hakikatnya, tetap saja ada hal-hal yang tak dapat manusia seluruhnya dan seutuhnya kendalikan. Manusia boleh berbangga, manakala kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi berhasil membawa seekor anjing bernama Laika pergi ke luar angkasa, mendaratkan Armstrong dan Aldrin di bulan, robot-robot canggih ciptaan manusia sudah hilir-mudik di wajah planet lain, rencana futuristik untuk Kolonisasi Mars 2030, dan seterusnya dan seterusnya.

Akan tetapi, jauh di lubuk hati, pada gilirannya, kita mungkin menyadari sesuatu bahwa masih banyak hal-hal yang tak mampu kita kendalikan. Katakanlah waktu—sampai tulisan ini selesai dibuat—belum ada teknologi sesinting-secanggih mesin waktu yang memungkinkan penggunanya melakukan perjalanan waktu, yang dapat dikendalikan dengan sesuka pikiran-perasaan penggunanya. Yang menjadi masalah adalah, manusia itu budak sang waktu, seperti yang telah dipuisikan oleh Baudelaire, penyair besar Prancis itu dalam Enivrez-vous: “Kau harus selalu mabuk. Hanya itu satu-satunya—cara yang ada. Agar tak merasakan beban waktu yang mengerikan, yang mematahkan punggungmu, dan membungkukkanmu ke bumi, kau harus terus-menerus mabuk.” Hampir setiap orang di muka bumi ini, rasa-rasanya, memiliki semacam tendensi tinggi untuk mengubah masa lalunya, atau pergi melihat masa depannya.

Lalu, apa hubungannya semua ini dengan Nietzsche, Amor Fati, dan Stoikisme?

Amor Fati adalah kredo untuk menerima, merangkul, dan mencintai segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, belum terjadi, mungkin terjadi, tak mungkin terjadi, atau tak akan terjadi—di dimensi ketiga (kenyataan) yang dipenuhi berbagai kemungkinan-kemungkinan acak dan ensiklopedis. Secara lebih luas, mengafirmasi dengan tegas dan askenden hal-hal yang tak dapat kita kendalikan, sekaligus mencintai perubahan-perubahan yang tak terelakkan. Semacam upaya untuk menjustifikasi sekaligus menjawab aforisme ‘Phanta Rei’ à la Heraclitus, seorang filsuf pra-socrates, yang menekankan bahwa satu yang pasti dalam kehidupan adalah perubahan konstan. Secara implisit, kredo ini seperti mengisyaratkan bahwa sifat alam semesta adalah selalu berubah. Perubahan adalah sesuatu yang niscaya. Dengan demikian, tanpa perubahan—kita tak akan ada, kesadaran baru tak akan ada, daya-daya tafsir baru tak akan ada, kita tak akan tertawa ketika mengingat tragedi, tak akan belajar mencintai keberadaan dari ketakberadaan, dan tak akan mencipta sesuatu. Tanpa perubahan, kita tak akan pernah mengalami asam-garam itu semua.

Apakah perubahan itu baik, buruk, menyenangkan, menyiksa, menggairahkan, atau merugikan—itu persoalan lain. Miliaran tahun, umat manusia mengalami evolusi, perubahan, transformasi, mutasi—perkembangan yang eksponensial telah membawa kemungkinan ke tempat kita berada sekarang. Penulis tak akan dapat menulis hal-ihwal Amor Fati—jika bukan karena setiap peristiwa yang telah terjadi jauh sebelum saat ini: misalnya, karena seekor ikan purbakala yang mulai bosan hidup di dalam air, berpikir untuk naik ke daratan dan menjadi primata—lalu berevolusi sedemikian rupa, kemudian menjadi cikal bakal Homo Sapiens; atau dengan pendekatan agama samawi yang ditopang literatur-literatur abrahamik, karena sepasang manusia bernama Adam dan Hawa memakan buah terlarang, kemudian ditendang dari surga—lantas melahirkan seluruh keturunan manusia di muka bumi ini. Dengan membayangkan seperti itu, mungkin kita bisa mulai belajar untuk mencintai takdir dengan paripurna.

Nietzsche pun mengadvokasi ini: bahwa kita tak boleh lari dari takdir apalagi bersembunyi dari takdir. Kita harus menerimanya. Akan tetapi, lebih dari sekadar penerimaan biasa, lebih-lebih, kita harus mencintai takdir kita dan menerimanya secara utuh apa adanya. Kita perlu menerimanya, memanfaatkannya, dan menggunakannya untuk membuat sesuatu yang produktif—sesuatu yang bernilai seni, kreatif, dan filsafati. Meratapi dengan sesal hal-hal yang telah terjadi, hanyalah memperpanjang nafas penderitaan yang tak perlu—hanyalah membuang-buang waktu.

Ketika kita menerima apa yang terjadi pada kita, setelah memahami bahwa hal-hal tertentu—khususnya hal-hal buruk dan menyebalkan—berada di luar kendali kita (baca: Dikotomi Kendali-nya Stoikisme) kita hanya akan di hadapkan dengan ini: mencintai apa pun yang akan terjadi pada kita, menghadapinya dengan keceriaan di rongga dada, dan dengan energi besar serta meletup-letup, kita akan terus bersemi, lagi dan lagi. Meskipun dunia memberi winter-yang-menyakitkan, namun selalu ada summer-yang-tak-terkalahkan di dalam diri kita, meminjam interteks Camus, seorang eksistensialis yang lebih nyaman disebut absurdis. Selain itu, bahwa dibutuhkan api yang begitu panas untuk membentuk emas. Terbentur, terbentur, melebur—jika meminjam ungkapan Tan yang sudah dimodifikasi agar sesuai dengan konteks ini. Poinnya adalah bahwa selain pilihan, ada kebolehjadian tinggi bahwa hidup juga merupakan kompromi.

“Dari sekolah perang dalam kehidupan—apa yang tak membunuhku, membuatku jauh lebih kuat.” tulis Nietzsche dengan berani tanpa kecondongan masokis. Bukan untuk mencari pembenaran atas trauma dan luka masa lalu, tetapi lebih menawarkan semacam antidot-fakta bahwa tak ada kekuatan tanpa penderitaan. Bahwa kebijaksanaan harganya adalah pedihnya belajar dan istiqomah tingkat tinggi untuk bangkit dari kebahlulan.

Pada akhirnya, Amor Fati, adalah perihal bagaimana mengelola energi, emosi, waktu, dan tenaga kita dengan bijak. Terakhir, takdir mungkin memang piawai bangsatnya hadir seperti bajingan paling asu, tetapi hanya hidup singkat ini yang kita punya. Kita tak dapat mengontrol apa-apa yang di luar batas-batas kebebasan-kekuasaan kita, tetapi kita selalu dapat mengontrol apa yang bisa kita persepsikan dan mengelola serta mengkalkulasi tindakan macam apa yang dapat kita lakukan untuk mengubah setiap negatif menjadi positif. Sebab, ketimbang kalimat pasif, manusia adalah kalimat aktif—yang dengan segala intelektualitasnya semestinya mampu menjadi ‘aktor’ bukan ‘spektator’ bagi kehidupannya sendiri. Terdengar cukup eksistensialis, memang.

Que Será, Será; apapun yang akan terjadi, terjadilah. Jalani, nikmati, Amor Fati!

 

Referensi:

Nietzsche, Friedrich, 1992, Ecce Homo, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2018, The Joyous Science, London: Penguin Classics.

Nietzsche, Friedrich, 2021, Nietzsche Contra Wagner, California: Stanford University Press.

Heraclitus, 2003, Fragments, London: Penguin Classics.

Aurelius, Marcus, 2006, Meditations, London: Penguin Books.

Seneca, 2004, Letters from a Stoic, London: Penguin Books.

Epictetus, 1995, The Discourses of Epictetus: The Handbook, Fragments, London: Everyman Paperback.

Tom Stern, VIII—Nietzsche, Amor Fati and The Gay Science, Proceedings of the Aristotelian Society, Volume 113, Issue 2_pt_2, 1 July 2013, Pages 145–162, https://doi.org/10.1111/j.1467-9264.2013.00349.x

Panaïoti, A. (2012). Amor fati and the affirmation of suffering. In Nietzsche and Buddhist Philosophy (pp. 91-131). Cambridge: Cambridge University Press. doi:10.1017/CBO9781139382144.007

Thiele, Leslie Paul. "TEN. Amor Fati and the Eternal Recurrence". Friedrich Nietzsche and the Politics of the Soul: A Study of Heroic Individualism, Princeton: Princeton University Press, 2020, pp. 197-206. https://doi.org/10.1515/9780691222073-014

Brodsky, Garry M. (1998). Nietzsche's notion of Amor fati. Continental Philosophy Review 31 (1):35-57.

Sunday 12 February 2023

Milan Kundera dan Eksistensialisme (Esai Translasi)


Sastra yang mengkaji sifat-sifat eksistensi

Menurut Kundera, novel-novelnya lebih mencurahkan perhatian pada studi tentang eksistensi ketimbang studi tentang realitas. Catatan bahwa novel-novel Kundera tak selalu diringkas sebagai eksistensialisme. Meskipun demikian, ide-ide eksistensialis yang digambarkan dalam novel-novelnya dapat dimasukkan ke dalam tradisi besar eksistensialisme. Menurut Kundera, eksistensi tak berkaitan dengan apa yang telah terjadi; tetapi mengacu pada apa-apa yang mungkin bagi manusia, dan pada semua kemampuan mengada, serta pada semua yang dia bisa. Dengan meneliti tokoh-tokohnya secara dekat, menjadi jelas bahwa mereka merupakan representasi diri-eksperimental yang merepresentasikan pengalaman mengada. Oleh sebab itu, tokoh-tokoh fiksi Kundera dan realitas mereka memiliki titik referensi eksistensialis yang mengungkapkan bagaimana mereka dan anggapan mereka tentang eksistensi saling berhubungan dan sangat bergantung satu sama lainnya.

Dalam novelnya, The Unbearable Lightness of Being, gagasan-gagasan tersebut diungkapkan sebagai berikut:

Seorang tokoh hadir dari situasi dasar atau beberapa kata. Dalam fiksi, pengarang diberi kesempatan untuk mengekspresikan diri… Dengan demikian, imajinasi novel mampu memperluas probabilitas-probabilitas realitas yang rentangnya sampai pada keberadaan realitas. Dalam realitas, semua yang kita miliki diberikan saat kita dilahirkan (hlm. 65).

Menanggapi eksistensialisme

Pada bagian ini akan dibahas bagaimana Kundera menanggapi para pionir eksistensialisme dalam tulisan-tulisannya. The Unbearable Lightness of Being menukil gagasan Nietzsche: “eternal recurrence/eternal return/perulangan abadi”. Gagasan ini mewartakan bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini merupakan perulangan dari sesuatu yang pernah terjadi sebelumnya.

Sebagai tambahan, ini adalah perulangan dari perulangan itu (hlm. 76). Dalam Nietzsche, gagasan perulangan abadi adalah hal yang positif. Namun, Kundera percaya itu absurd karena hidup hanya sekali, dan kehidupan tak dapat diulangi, sehingga tak mungkin bagi seseorang untuk secara substansial memperbaiki dirinya sendiri. Kundera membuat referensi dalam buku yang sama dengan pepatah Jerman yang berarti bahwa “melakukan sesuatu sekali sama dengan tak pernah melakukannya” (hlm. 142). Novelis eksistensialis itu bertanya-tanya apakah kehidupan manusia memiliki makna karena hidup itu sementara dan teruslah berubah-rubah. Ungkapan indeterministik Beethoven berulang kali dikutip dalam novel: Must that be so? (hlm. 189). Keadaan manusia tak ditentukan oleh kebetulan yang tak mereka sesali: mereka dapat memilih takdir yang mereka inginkan. “To be or not to be”-nya Hamlet pun memperoleh pemaknaan metafisik dengan menekankan pemberontakannya terhadap hidup yang sekali melalui “kemungkinan” yang dimilikinya.

Seperti yang disiratkan Kundera dalam tulisan-tulisanya—hidup manusia memang hanya sekali, tetapi keputusan yang kita buat pada titik waktu yang berbeda-beda mengandung berbagai pilihan yang bercabang-cabang. Jika tak ada kemungkinan, hidup menjadi mekanis, dan otonominya berkurang. Selalu ada kemungkinan, yang mengungkap kompleksitas keadaan eksistensi manusia. Meskipun demikian, dimensi kemungkinan ini akan selalu menjadi kekuatan “tak-berwujud”; yang tak dapat direalisasikan. Kundera mengungkapkan konflik antara probabilitas dan realitas melalui tokoh Tomáš, yang secara acak mengingat argumen terkenal Plato tentang jenis kelamin manusia dalam buku Dialogues-nya: manusia pada mulanya hermafrodit (berkelamin ganda) dan, karena Zeus membelah umat manusia menjadi dua (perempuan dan lelaki), setiap bagian itu mengembarai dunia demi mencari pasangannya (hlm. 623). 

Oleh karenanya, cinta adalah impuls untuk mencari belahan jiwa yang telah lama hilang. Cinta sejati akan selalu ada sebagai kemungkinan yang ideal, tak pernah menjadi kenyataan—sebab kita tak dapat betul-betul memastikan apakah seseorang yang kita pacari adalah benar-benar belahan jiwa kita atau bukan, misalnya. Konsekuensi logisnya, orang-orang idealis vis-à-vis langsung dengan kepusingan yang diakibatkan oleh ketakmampuan mereka untuk secara komprehensif dan valid menilai: apakah calon pasangan hidup mereka adalah seseorang yang harus mereka jadikan sebagai “komitmen” atau tidak.

Dari perspektif lain, dalam konteks sebuah narasi profan-duniawi, tak ada yang bisa kembali setelah mengalami musibah, begitu pula kematian. Dalam pengertian ini, das Sein zum Tode-nya Heidegger sangat diperlukan untuk memahami eksistensi manusia, karena seseorang hanya dapat membayangkan kematian sebagai kemungkinan final yang terakhir; hanya dengan begitu seseorang dapat menghargai kehidupan. Itu menjadikan kematian sebagai dasar dari semua kepastian dan makna dalam hidup: masa depan manusia terletak pada kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipahami, tetapi terus-menerus digantikan oleh kematian, yang terbesar dari segala kemungkinan-kemungkinan (hlm. 65).

Dalam sensibilitas ini, begitu seseorang mengatasi kematian dan memiliki cukup waktu untuk menjelajahi semua kemungkinan, kehendak untuk hidup menjadi tak dapat diatasi—dengan kata lain, kehendak untuk mati menjadi tinggi. Seorang penulis feminis-eksistensialis, Simone de Beauvoir, menghadirkan konsep kematian ini dalam novelnya, All Men Are Mortal (1946), di mana protagonisnya hidup abadi—mengalami semua hal di dunia sebagai hasil dari kekekalannya, tetapi yang dia inginkan hanyalah mati secepatnya—dia tak lagi memiliki kemampuan untuk mempertahankan kehidupan, akibat dari tak adanya kemungkinan-kemungkinan.

Pilihan-pilihan bebas adalah beban berat yang tak terbatas

Bagian argumen ini akan membahas Jean-Paul Sartre dan beberapa pernyataannya yang terkenal tentang eksistensi manusia.

Pernyataan Sartre tentang eksistensi membentuk dasar dari argumen ini: “eksistensi bukanlah apa-apa.” Dia percaya bahwa benda-benda seperti cangkir kopi adalah jenis keberadaan yang “ada-dalam-dirinya sendiri”, sedangkan manusia adalah “ada-bagi-dirinya”. Atau, dengan kata lain, keberadaan manusia berasal dari ketiadaan/nihilnya esensi. Selain itu, dia menguraikan bahwa “eksistensi mendahului esensi”—yang menunjukkan bahwa dengan eksistensi, seseorang dapat mengerahkan inisiatif subyektifnya untuk menciptakan dan mengembangkan esensi-nya sendiri. Manusia pada dasarnya bebas, menurut Sartre—dan, karena tak ada esensi abadi yang mengikatnya dalam kebebasan itu, manusia memiliki kebebasan total untuk membuat pilihan dan harus menentukan hidupnya untuk menghadapi keadaan kebebasannya yang mutlak.

Sartre mengilustrasikan masalah pilihan menggunakan kasus Eichmann, seorang perwira Nazi. Demi membela tindakannya, Eichmann menegaskan bahwa: “Saya seorang prajurit; saya mengikuti perintah, dan saya tak punya pilihan.” Untuk membantah pernyataan ini, Sartre menegaskan bahwa Hanya karena kau tak memiliki daya upaya atau keberanian untuk menghadapi konsekuensi dari pilihan—itu tak berarti kau tak memiliki pilihan sama sekali (hlm. 78). Eskapisme, menipu-diri, dan penolakan terhadap keadaan harus dihentikan dengan segala cara.

Sartre berpendapat bahwa kebebasan memilih adalah hal yang sulit. Oleh karena itu penting untuk menentukan standar pengambilan keputusan dan menetapkannya secara mandiri. Terlepas dari hasrat semua orang pada landasan yang kokoh dan andal untuk mendasarkan keputusan mereka, Sartre menegaskan bahwa kita membuat semua keputusan berdasarkan standar yang ditentukan oleh diri kita sendiri. Pilihan pasti memiliki konsekuensi, bagaimanapun, katanya “tak ada seorang pun yang dapat mengemban kewajiban ini”: setelah memilih, seseorang bertanggung jawab penuh atas konsekuensinya.

Di sini, pengaruh Nietzsche terbukti nyata adanya. Nietzsche bukan seorang realis-moral—dia tak percaya bahwa moralitas dan nilai-nilai dapat diukur melalui standar yang objektif.  Manusia adalah legislator bagi dirinya sendiri. Sartre juga percaya pada subjektivitas nilai.

Tujuan diskusi ini adalah untuk mencari penjelasan dari apa yang Kundera maksudkan dengan “lightness of being” dalam judul novelnya. Mempertimbangkan bagaimana cara dia membahas eksistensi manusia, mengapa “lightness” yang dia maksud melekat pada eksistensi manusia.

Eksistensi manusia memiliki kemungkinan tak terbatas dan tak mempunyai batasan yang melekat padanya. Yang ringan dan leluasa. Masalah dari “keleluasaan” semacam ini adalah ia seperti terasing dari dunia eksternal karena tak terkekang oleh norma-norma yang ada di masyarakat, misalnya. Singkatnya, suatu keberadaan tanpa petunjuk-petunjuk dan ukuran-ukuran dari seseorang di luar dirinya. Kundera tampaknya berpendapat bahwa pilihan-pilihan kita dalam hidup ini dan tindakan-tindakan yang diambil tak memiliki legitimasi. Kita adalah satu-satunya hakim atas tindakan kita sendiri. Adalah tak mungkin untuk menentukan pilihan kita secara tepat berdasarkan faktor-faktor seperti kebangsaan, jenis kelamin, etnis, dan latar belakang ideologis.

Oleh karena itu, “keberadaan yang leluasa” ini disertai dengan keadaan yang berat. Misalnya, kita dapat mengikuti suatu cara hidup yang mungkin tak diperbolehkan di dunia tradisional mana pun—tetapi di sisi lain, semua rasa sakit, derita, dan trauma katastrofis yang terkait dengannya adalah milik kita sendiri—hanya diri kita sendiri yang mampu merasakannya. Oleh karenanya, kehidupan (dan keberadaan manusia) adalah keleluasaan yang tak tertahankan.

Solusi komunitarian

Charles Taylor, seorang filsuf komunitarian dari Kanada, mengusulkan satu kemungkinan obat untuk “keleluasaan keberadaan yang tak tertahankan”-nya Kundera. Menurutnya, komunitarian menolak egoisme ekstrem dan beberapa paham liberal—dan justru menekankan pentingnya latar belakang budaya dalam membentuk seorang individu. Manusia cenderung mempunyai denominator umum yang terstandar bla-bla-bla—semacam landasan bersama. Dengan demikian, kekhasan atau otentisitas masing-masing individu didasarkan pada kesamaan itu dan tentu saja tak sepenuhnya bertentangan dengannya. Untuk memperjelasnya, ketika seseorang mengembangkan identitasnya, dia tak mengatakan dan tak harus menganggap segala sesuatu di luar dirinya sebagai penghalang atau musuh. Sebaliknya, dirinya harus melihatnya sebagai sumber daya dan pemicu perkembangannya.

Meskipun demikian, Kundera tak mendukung pemikiran komunitarian dalam tulisannya, dan dia sangat menentangnya melalui istilah yang dia ciptakan: Kitsch.

“Kitsch”

Jika diteliti lebih dekat, terlihat jelas bahwa heroisme apa pun mengadvokasi “pelampauan” realitas ketimbang mendasarkannya pada realitas yang ada—dan hal semacam itu lebih membangkitkan hasrat daripada perilaku yang bijaksana dan realistis. Di sini, teori heroisme Max Weber yang membumi adalah yang paling relevan. Milan Kundera menggambarkan citra heroik ini sebagai kitsch. Seperti disebutkan sebelumnya, kitsch adalah jenis ekspresi di mana pikiran dan perasaan klise disajikan secara sensasional untuk menarik perhatian publik. Analisis mendalam mengungkapkan bahwa kitsch adalah estetika yang didukung oleh pandangan dunia tertentu—yang dapat disebut filosofis—lebih dari sekadar gaya artistik. Kitsch adalah filsafat deterministik ekstrem yang berakar pada satu logika menyeluruh.

Filsafat jenis ini “menyaring-keluar” kontingensi, ambiguitas, paradoks, dan berbagai faktor non-deterministik lainnya dalam praktik kehidupan—sehingga dapat mencapai kesubliman moral yang tak tergoyahkan dan menggugah nafsu-nafsu yang menyentuh dalam estetika. Dengan demikian, kitsch dapat dipahami sebagai keseluruhan inspirasi emosional yang dapat direpresentasikan oleh ideologi; semua gagasan tentang gerakan kompulsif; dan semua ide-gagasan yang gemar digunakan oleh sosiolog dengan mengkategorikan identitas dan ideologi seseorang. Pada akhirnya, kitsch adalah sebentuk rayuan-diri, yang bergerak secara otomatis, yang menyentuh demi “menyentuh”.

Kundera dengan tegas menegakkan anti-kitsch dalam tulisannya. Dia percaya bahwa sejarah adalah semacam komedi, atau pengungkapan rahasia dari eksistensi manusia, yang merupakan pengakuan dalam keadaan “paradoks tertinggi” (hlm. 93). Dalam keadaan kitsch yang tragis, selalu ada bentuk pemuasan emosi, seperti kesedihan, kemalangan, kegembiraan, atau dendam… tetapi tak ada ironi atau humor. Menggunakan narasi alegoris akan mengganggu yang “estetis” dan yang “sublim”, membawanya ke ranah yang najis seperti dalam kehidupan sehari-hari. Tapi tulisan Kundera menghargai gelak tawa dan mengutuk retorika, mengadopsi pendekatan penulisan yang tanpa tekanan dari apa yang disebut “keseriusan”.

Koeksistensi dengan “kitsch”

Kundera juga sangat sadar bahwa kitsch sudah mendarah daging dalam kondisi manusia—karena ia adalah atribut intrinsik dari sifat manusia—manusia harus menerimanya dan hidup dengannya.

Sabina, yang merupakan karakter “paling leluasa” dalam The Unbearable Lightness of Being, menjelang akhir hidupnya—ditulis Kundera begini: “Dia mengatakan kitsch adalah musuh bebuyutannya, tetapi bukankah dia adalah kitsch di dalam hati?” (hlm. 84).

Contoh lain adalah Meursault-nya Camus dalam buku The Stranger. Merupakan kesalahan besar untuk berpikir bahwa Meursault tak peduli tentang apa pun karena dia menolak hampir setiap kitsch yang pernah terpikirkan. Pedahal, yang ditentangnya adalah semacam kegaduhan massa. Jelas bahwa dia menyadari pentingnya menyembuhkan dirinya sendiri dan tahu apa yang sebenarnya dia inginkan. Meursault tergelincir ke dalam jurang, “dia menyerah untuk melawan” (hlm. 56)— selangkah demi selangkah di paragraf terakhir dan bagian paling menarik dari buku itu: monolog Meursault di dalam penjara. Sangat mungkin untuk menyatakan bahwa kekosongan mutlak ini adalah cara tragis untuk menghibur diri dan menjaga kewarasan. Juga benar bahwa kesadaran akan kekosongan hidup mengarah pada upaya penyelamatan-diri Sisyphean, dengan cara yang sama—dengan menyadari fakta bahwa manusia hidup di dunia yang porak poranda dan rusak—dapat menjadi kekuatan yang berguna.

Mewaspadai pemikiran yang oposisi biner

Kierkegaard mengisahkan sebuah cerita tentang seorang pria yang bangun pada suatu pagi dan menemukan dirinya mati— tanpa pernah menggali akar eksistensinya. Ini menandakan bahwa ada seseorang yang tak berani berfilsafat atau memfilsafati kehidupan. Meskipun manusia sangat menggelisahi zaman atom (mengacu pada periode sekitar 1940-1963, ketika kekhawatiran tentang perang nuklir mendominasi masyarakat Barat selama Perang Dingin), manusia tetap saja linglung seperti tokoh dalam cerita Kierkegaard—tentang pertanyaan-pertanyaan eksistensial.

Dewasa ini, dalam masyarakat yang sangat terpolarisasi, banyak orang merasa sulit untuk membebaskan diri dari pemikiran yang oposisi biner. Inilah mengapa mereka perlu menggunakan klise berulang kali untuk menipu diri mereka sendiri. Namun, para eksistensialis berkali-kali mengingatkan kita: mendefinisikan dan mengarahkan eksistensi manusia sedemikian sederhana adalah penghinaan terhadap kompleksitas manusia. Oleh karenanya, kita mesti mengingat ajaran Socrates dari dua ribu tahun yang lalu: pergunakan akalmu sendiri demi membuktikan eksistensimu!

Referensi

Aji, Aron, ed. (1992). Milan Kundera and the Art of Fiction: Critical Essays. New
York:Garland.
Kundera, Milan. (1995) Testaments Betrayed: An Essay in Nine Parts. New York:
HarperCollins.
Kundera, M. (1984). The Unbearable Lightness of Being. London: Faber & Faber Limited.
Ricard, François. (2003). Agnes’s Final Afternoon: An Essay on the Work of Milan Kundera. Translated by Aaron Asher. New York: HarperCollins.
Weeks, Mark. (2005). “Milan Kundera: A Modern History of Humor Amid the Comedy of History.” Journal of Modern Literature 28: 130-148.
Woods, Michelle. (2006). Translating Milan Kundera. Clevedon, England: Multilingual Matters, 2006.
Sartre, J-P. (1943/2003) Being and Nothingness. Oxon: Routledge.(1938/2000) Nausea. London: Penguin Books.
Kussi, P. (1983) ‘Milan Kundera: Dialogues with Fiction,’ in Bloom, H. (ed.) (2003)
Milan Kundera. Philadelphia: Chelsea House Publishers, pp. 13-17
Manser, A. (1967) Sartre: A Philosophic Study. London: The Athlone Press.

***

Sumber Literatur

Milan Kundera and Existentialism - Thinking Reed: https://ladernieregeneration.org/2022/09/23/milan-kundera-and-existentialism/

Sunday 29 January 2023

Sains yang Mengasyikkan: Bagian 5 - Aforisme 347 (Esai Translasi)

Ditulis oleh Friedrich Nietzsche dalam bahasa Jerman, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Holtof Donné, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA.

Para pemercaya dan Kebutuhan Mereka akan Kepercayaan. Berapa banyak iman yang dibutuhkan seseorang untuk berkembang, berapa banyak “idée-fixe” yang dibutuhkan yang membuatnya tak ingin terguncang, sebab dia menganggap dirinya demikian—adalah ukuran kekuatannya (atau lebih jelasnya, kelemahannya). Kebanyakan orang di Eropa kuno, nampaknya bagiku, masih membutuhkan Kekristenan sampai saat ini, dan oleh karenanya ia masih menemukan penganutnya. Karena begitulah manusia: sebuah doktrin teologis dapat disangkalnya ribuan kali; selama dia membutuhkannya, dia akan menganggapnya 'benar' lagi dan lagi, sesuai dengan 'bukti kekuatan' terkenal yang disabdakan Alkitab. Beberapa orang masih membutuhkan metafisika; tetapi juga kerinduan tak sabaran akan kepastian yang saat ini mengalir dengan sendirinya secara saintifik, positivis di antara massa, kerinduan dengan segala cara untuk mendapatkan sesuatu yang kokoh (sementara karena hangatnya kerinduan ini, pembentukan kepastian dilakukan dengan lebih santai dan lalai)—bahkan ini masih merupakan kerinduan akan suatu pegangan, suatu topangan; singkatnya, naluri kelemahan yang, meskipun tak benar-benar menciptakan segala jenis agama, metafisika, dan keyakinan, namun mempertahankannya. Faktanya, di sekitar semua sistem positivis ini ada uap dari kesuraman pesimistis tertentu, sesuatu dari keletihan, fatalisme, kekecewaan, dan ketakutan akan kekecewaan baru—atau memanifestasikan kebencian, humor buruk, kejengkelan anarkis, dan apapun yang ada dari gejala-gejala atau penyamaran perasaan lemah. Bahkan kesiapan orang-orang terpintar yang sezaman dengan kita tersesat di sudut-sudut dan lorong-lorong yang menyedihkan, misalnya, di Vaterlanderei (maka aku menunjuk Jingoisme, disebut chauvinisme di Prancis, dan “deutsch” di Jerman), atau dalam kredo estetika picik à la naturalisme Paris (yang hanya menonjolkan dan mengekspos bagian dari alam yang secara simultan menjijikkan dan mencengangkan—hari ini mereka suka menyebutnya: Et c'est la vérité vraie; dan itulah kebenaran yang sebenar-benarnya), atau dalam nihilisme gaya St. Petersburg (artinya, dalam kepercayaan pada ketakpercayaan, bahkan mati sebagai martir karenanya), selalu menunjukkan terutama kebutuhan akan iman, pijakan, tulang punggung, penopang… Keyakinan selalu paling diinginkan, paling dibutuhkan, di mana ada kekurangan kehendak: karena kehendak, sebagai sisi emosi dari perintah, adalah karakteristik yang membedakan kedaulatan dan kekuasaan. Artinya, semakin sedikit seseorang yang tahu bagaimana memerintah, semakin mendesak pula dia menginginkan seseorang yang memerintah, yang memerintah dengan hebat—sesosok tuhan, seorang pangeran, sebuah kasta, seorang dokter, seorang bapa pengakuan, sebuah dogma, atau sebuah hati nurani partai. Dari 'mengapa' mungkin dapat disimpulkan bahwa dua agama dunia, Budha dan Kristen, memiliki penyebab kebangkitan mereka, dan terutama perluasan mereka yang cepat, dalam penyakit kehendak yang luar biasa. Dan itulah yang sebenarnya terjadi: kedua agama itu menyalakan kerinduan, yang begitu dibesar-besarkan oleh penyakit kehendak, untuk sebuah keharusan, “Engkau harus”, kerinduan yang berlangsung lama dalam keputusasaan; kedua agama itu adalah guru fanatisme di saat lesunya kekuatan kehendak, dan dengan demikian menawarkan pegangan kepada orang-orang yang tak terhitung banyaknya, kemungkinan baru untuk menjalankan kehendak, kenikmatan dalam berkehendak. Karena sebenarnya fanatisme adalah satu-satunya “kekuatan kehendak” yang dapat dirangsang oleh yang lemah dan ragu-ragu, sebagai sesuatu yang menghipnotis seluruh sistem indera-intelektual, demi nutrisi berlebih (hipertrofi) dari sudut pandang tertentu dan sentimen tertentu, yang kemudian mendominasi—orang Kristen menyebutnya “iman”. Ketika seseorang sampai pada keyakinan mendasar bahwa dia perlu diperintah, dia menjadi “orang beriman”. Sebaliknya, seseorang dapat membayangkan kesenangan dan kekuatan determinasi diri, dan kebebasan berkehendak, di mana jiwa bisa mengucapkan selamat tinggal pada setiap kepercayaan, pada setiap keinginan untuk kepastian, terbiasa untuk menopang dirinya sendiri pada tali dan kemungkinan yang ramping, dan menari bahkan di ambang jurang. Jiwa seperti itu akan menjadi jiwa bebas yang sebebas-bebasnya (par excellence).

Sumber Literatur:

Friedrich Nietzsche - The Gay Science : Book V - Aphorism # 347, Holtof Donné:
http://nietzsche.holtof.com/reader/friedrich-nietzsche/the-gay-science/aphorism-347-quote_46cc00913.html