Wednesday 20 March 2024

Cerpen: Tak Ada yang Baru di Bawah Mata Hari

I was looking for a job, and then I found a job…
And heaven knows I'm miserable now…

Namamu Hari. Kau dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Itulah dering alarmmu yang menyebalkan. Perpaduan sempurna antara melodi ceria dan lirik yang menohok dada. Dengan kata lain, kesuraman yang terdengar riang menjadi sarapan bagi telingamu setiap hari. Kau tak tahu mengapa lagu kesukaanmu berubah menjadi lagu yang paling kau benci. Tapi Caligula tahu, dunia ini pada dasarnya dibentuk sekumpulan orang sinting yang tak mengunjungi poli jiwa, sehingga kesintingan merajalela di mana-mana. Tervalidasi ketika kau menyalakan televisi dan mendapati berita-berita yang niscaya membikin Kaisar Romawi itu bakal tersipu malu.


Kau berpendapat orang-orang lebih memilih percaya bahwa mereka punya gangguan mental dan mengidap masalah biokimia yang kompleks, yang membutuhkan penelitian lebih lanjut di laboratorium selama puluhan tahun ketimbang mengakui betapa kejam, abusif, dan korup pemerintah—akar dari seluruh kondisi mereka. Kau sebal sekaligus lelah dengan keadaan. Setiap siang bolong, kau bermimpi memimpin revolusi. Sekadar ingin merasai suntikan adrenalin, meski hanya dalam mimpi. Kau paham betul, revolusi cuma kata sakral penggetar dada dalam buku-buku sejarah.


Di dunia nyata, beberapa orang masih bermain-main dengan hal-hal edan, misalnya negara dan kekuasaan. Beberapa lainnya cuma sibuk menyiasati lapar yang tak bisa ditawar. Dan sisanya, yang paling banter... giat bekerja, rajin membayar pajak, dan mati di usia senja. Yang terakhir memicu memori lampaumu. Waktu kecil, Ayahmu berujar, “Hari, kalau sudah besar jadilah manusia.” Menjadi manusia, kau terjemahkan sebagai bekerja. Maka kau pun menduga-duga, jangan-jangan, cara paling rasional untuk mencapai apa yang diinginkan adalah dengan tidak menjadi pengangguran. Lekas-lekas kau lamar ratusan lowongan dengan berbagai posisi. Dari yang gajinya tinggi sampai yang lebih terdengar macam perbudakan zaman kiwari.


Hari di mana kau resmi menjadi manusia yang membanting tulang telah tiba bertahun-tahun lalu. Tapi kehampaanmu masih bersarang entah di mana. Dulu, kau dipusingkan dengan tidak punya uang. Kini, kau dipusingkan dengan semakin terbatasnya waktu dan ruang. Dari lubuk hatimu paling dalam, kau sadar bahwa sebelum dan setelah bekerja tipis sekali batasnya. Kau bahkan menilai Anggur Cap Orang Tua dan Red Wine Opus One kurang lebih sama. Sama-sama menjadi rute pelarian ketika kenyataan terlampau mengecewakan.


Di titik tertentu, dalam pagi yang berulang, kau tak lagi merasa manusia. Kau telah menjadi robot yang punya sistem metabolisme dan dibebani kerangka psikologis. Seluruh hidupmu telah sedemikian mekanis. Dari senin sampai jumat. Dari yang mulanya motivasional sampai kehilangan semangat. Kau bahkan terasing dari dirimu sendiri. Orang-orang yang mulanya kau sebut kolega, lambat laun, mewujud orang-orang asing yang mesti dikompromi. 


Keasingan itu semakin meraksasa ketika kau menyadari bahwa wajah-wajahnya terkubur pada layar berbentuk persegi panjang yang bercahaya dan bersuara. Yang tujuh kali dua puluh empat jam, menyiarkan notifikasi rumah mereka di dunia maya. Kau sadari, teknologi memang mendekatkan yang jauh sekaligus menjauhkan yang dekat. 


Dan ironi adalah kata pertama yang muncul di benakmu ketika kau pulang kemudian di perjalanan matamu terfokus pada binar papan iklan yang mempromosikan gadget teranyar. Kepala kau terasa pengar, dan kau pun menuju tempat merebah yang disebut rumah. KPR tipe tiga enam yang cicilannya macam jumlah malaikat yang wajib diketahui—tahun lagi. Dalam perjalanan itu, tak jarang kau berpapasan dengan seorang tunawisma yang menjual kesedihan. Sebuah pengingat akan ketidaksetaraan yang menjangkiti masyarakat. Kau tak ambil pusing, memilih persetan, dan mengisi energi dengan tidur demi mengarungi esok hari yang kurang lebih begitu-begitu lagi.


Matahari pasti terbit, dan kau tiba di kantor entah yang kesekian kalinya. Orang-orang asing yang mesti dikompromi itu masih terpaku pada komputer berisi statistik dan angka-angka. Mereka bekerja berjam-jam, tanpa pernah mempertanyakan apakah semua itu sepadan atau berguna. Seseorang boleh berandai-andai jika Siddhartha Gautama masih hidup, maka ia besar kemungkinan akan bersabda bahwa yang menjadikanmu manusia adalah kapabel memilih gambar lampu lalu lintas dari enam belas kotak yang tersedia. Mampu menyelesaikan soal Captcha adalah penanda paling pasti yang membedakan robot dan manusia. Begitulah isi kebijaksanaan pertama.


Tiba-tiba kau teringat sesuatu, yang mungkin bisa menjadi panasea bagi persoalan-persoalan repetitif dan pelikmu: cinta! Kau mengira telah menemukan harta karun yang telah lama hilang. Kau menjalani hubungan dengan beberapa orang asing yang relatif bisa kau toleransi. Sayangnya, kau sampai pada kesimpulan bahwa cinta hanyalah rentetan kepelikan yang mengernyitkan dahi. 


Seolah-olah kau mengamini bahwa pada dasarnya cinta itu transaksional, horni hanyalah bahaya yang lekas pudar, dan bersetubuh cuma upaya menunda kekalahan panjang bernama kesia-siaan. Kau tidak sedang kesurupan binatang jalang itu, tetapi kemurungan yang sama telah menubuh padamu. C’est la vie! pekikmu dalam hati. Maka demi mengurangi intensitas nyeri, kau pun menenggak beberapa botol alkohol.


I was happy in the haze of a drunken hour

But heaven knows I'm miserable now...


Pada suatu pagi yang biasa, kau masih dibangunkan suara sengau Morrissey dalam trek lagu Heaven Knows I’m Miserable Now. Di luar, sayup hujan turun dengan deras. Sebuah kondisi yang akan meningkatkan gaya gravitasi kasurmu dan menambah rasa kantukmu yang belum tandas. Sambil mengucek-ngucek mata, kau menengok jam. Waktu menunjukan pukul lima lewat lima pagi. Ada hari yang mesti dimulai, lagi.


Tak ada yang baru di bawah matamu, tapi setidaknya kini kau tahu mengapa haram hukumnya menjadikan lagu kesukaan sebagai dering alarm. Sebab, pada akhirnya, kau justru akan membencinya sampai mati. Sebab kau akan membenci sesuatu yang membangunkanmu dari tidur indahmu. Seperti kematian, kapitalisme merebut segalanya darimu. Dan hanya mimpi yang kau miliki seutuhnya, tak bisa direnggut oleh sesiapa.


Ada beberapa hal yang tak kau pahami dan mungkin tak akan pernah. Misalnya mengapa tumbler airmu harganya hampir tiga kali lipat toren air berkapasitas dua ratus lima puluh liter. Setidaknya, untuk saat ini, kau telah berjuang melawan kesintingan dan meredam tendensi bunuh diri dengan sebaik-baiknya. Dan itu rasa-rasanya patut disyukuri.

Sunday 3 March 2024

Letter to Frances Turnbull - Fitzgerald (Surat Translasi)



*Ditulis F. Scott Fitzgerald dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Moch Aldy MA. Surat ini dambil dari buku A Life in Letters; diterbitkan Scribner pada tahun 2010.

*****

November 9, 1938

Frances yang baik:

Aku telah membaca ceritamu dengan teliti, tetapi harga yang mesti kau bayar untuk menulis secara profesional sangatlah mahal, bila dibandingkan kemampuanmu saat ini. Oleh karenanya, dalam karya-karyamu selanjutnya, kau mesti menjual hatimu—reaksi terdalammu. Jangan terfokus hanya pada hal remeh-temeh yang secara gamblang menyentuh hatimu, atau pengalaman-pengalaman kecil yang barangkali kau ceritakan sewaktu makan malam. Hal semacam ini tidak terhindarkan di awal masa kepenulisanmu, sebab kau belum mengembangkan trik yang diperlukan untuk menarik perhatian pembaca, dan kau pun belum menguasai teknik yang umumnya membutuhkan jam terbang. Singkatnya, dalam kondisi seperti ini, kau tidak punya sesuatu selain emosi untuk ditawarkan kepada pembaca.

Ini dialami oleh semua penulis. Ketika menulis Oliver Twist, penting bagi Charles Dickens untuk menuangkan kekesalan seorang anak setelah disiksa dan dibikin kelaparan, sesuatu yang datang dari masa kecilnya sendiri. Karya awal Ernest Hemingway, In Our Time, juga menyinggung semua hal yang pernah ia ketahui dan rasakan. Dengan cara yang sama, dalam buku This Side of Paradise, aku bercerita tentang kisah cinta yang masih melukaiku sampai hari ini, bagai darah yang mengucur dari luka pada kulit penderita hemofilia.

Para penulis amatir selalu meremehkan kemampuan penulis kawakan dalam mengubah, misalnya, kedangkalan reaksi tiga gadis yang tidak berkarakter agar menjadi cerdik-jenaka dan menarik-memesona. Para penulis amatir, mengira bahwa ia juga bisa melakukan hal yang sama, tanpa mempelajari teknik dan trik yang diperlukan. 

Namun, kalau mereka tekun, lambat laun, para penulis amatir akan menyadari bahwa mentransfer emosi kepada orang lain mestilah dilakukan dengan cara yang nekat dan radikal, seperti mengoyak isi hati mereka sendiri lalu menumpahkan semua ketragisan dan kenyerian itu ke atas kertas agar bisa dibaca orang banyak.

Bagaimanapun juga, ini adalah harga yang mesti kau dibayar untuk menjadi penulis yang baik dan demi menghasilkan karya yang apik. Apakah kau siap untuk membayarnya, apakah itu sesuai atau bertentangan dengan yang menurutmu “baik dan apik”—adalah persoalan yang mesti kau putuskan sendiri. Tapi sastra, bahkan sastra ringan sekalipun, tidak akan menerima karya sastra dari seorang pemula yang tak berusaha. Profesi ini mengharuskan pelakunya untuk “bekerja keras”. Ibarat di medan perang, tidak ada kubu yang tertarik merekrut seorang prajurit penakut dengan sedikit keberanian.

Oleh sebabnya, nampaknya tidak perlu bagiku untuk menjabarkan alasan mengapa cerita ini tidak layak dijual; tetapi aku tak kuasa untuk mengolok-ngolokmu, seperti yang biasa penulis seusiaku lakukan. Jika kau memutuskan untuk mengisahkan cerita-ceritamu, tidak akan ada orang yang lebih tertarik ketimbang,

Teman lamamu,

F. Scott Fitzgerald

P.S. Aku bisa saja mengatakan bahwa tulisanmu mulus dan menyenangkan serta terdapat beberapa halaman yang menurutku sangat oke dan memikat. Kau punya bakat—tapi ini sama saja seperti mengatakan bahwa seorang prajurit memiliki kualifikasi fisik yang adekuat untuk dididik di akademi tentara West Point.

Saturday 17 February 2024

Apalah Arti Kedewasaan Itu...

 


“...

Gone now are the old times

Forgotten, time to hold on the railing
The Rubix cube isn’t solving for us
Old friends, long forgotten
The old ways at the bottom
Of the ocean now has swallowed


The only thing that’s left

Is us, so pardon the silence

That you’re hearing is turning

Into a deafening, painful, shameful roar.”

—Ode to the Mets – The Strokes (The New Abnormal, 2020)


Yang kulakukan setiap malam, dalam tiga bulan terakhir ini, adalah merenung sambil memutar lagu-lagu The Strokes album “The New Abnormal”. Dari The Adults Are Talking sampai Ode to the Mets—dengan spiker bluetooth. Dalam momen perenungan itu, khususnya ketika lagu Ode to the Mets diputar, pikiranku seolah-olah dibawa pada praduga bahwa masa dewasa dipenuhi oleh sesuatu yang kita cintai tanpa syarat, tetapi kenyataannya sesuatu itu terus menerus mengecewakan kita. Katakanlah pasangan, teman, keluarga, pekerjaan, klub sepakbola, hingga pemerintah.


Aku seperti merasakan ada semacam “keminoran yang mayor” perihal kedewasaan dalam lagu yang dinyanyikan Julian Casablancas ini. Sang vokalis, seakan-akan ingin mengatakan dengan mata sayu bahwa seperti biasa, dalam masa dewasa, kita akan mengalami kekecewaan-kekecewaan yang luar biasa. Tapi seberat apapun itu, kelak pagi akan datang kembali. Dan kita akan menyadari, tak ada kekecewaan-kekecewaan yang bertahan lama. Sebab waktu berjalan kontinu, dan pada gilirannya, semua akan habis dimakan lupa.


Berbicara tentang ‘masa dewasa’ ataupun ‘kedewasaan’, sejujurnya, aku sama sekali tak benar-benar memahami apa arti dari kata ‘dewasa’—apalagi ‘kedewasaan’. Aku bahkan tak tahu apakah aku “sudah dewasa” atau belum. Dengan kata lain, aku tak tahu ‘kedewasaan’ itu seperti apa dan bagaimana bentuknya.


Kalau boleh sok tahu perihal bagaimana rasa kedewasaan, maka mungkin rasanya seperti memainkan gim petualangan-open-world di mana kita secara tak sadar telah men-skip tutorial dan kita hanya berlari-lari tak tentu arah—tanpa tahu bagaimana cara memenangkan permainannya; atau sekadar menyelesaikan misi-misinya.


Sialnya, ‘kedewasaan’ bukan makhluk yang biasanya punya satu mulut dan dua telinga, sehingga dengan atribut fisikal semacam itu ia menjadi mungkin untuk kuajak bicara dan kuminta untuk menjelaskan siapakah dirinya.


Ketika kutanya beberapa kawan yang telanjur kupercaya bahwa mereka “sudah dewasa” dan tahu apa ‘kedewasaan’ itu—atau minimal kenal dengan ‘kedewasaan’—jawaban mereka secara garis besar pun nyaris serupa: persis tokoh-tokoh kartun yang dulu kubenci, tetapi kini sedikit bisa kupahami. Katakanlah, Squidward Tentacles (tokoh paling menyebalkan dalam serial SpongeBob SquarePants).


Karena tak puas, hal yang kulakukan selanjutnya adalah membuka kamus. Aku menemukan ada beberapa makna tentang ‘kedewasaan’. Salah satunya, ‘matang’. Tapi ‘matang’ itu apa? Dan, misalkan kita sepakat bahwa ‘matang’ itu adalah soal ‘kesiapan’, maka akan lahir pertanyaan lanjutan—’siap’ untuk apa? Apakah siap untuk menjadi budak korporat yang mekanis dan ignorant-bastard bagai filsuf Stoik? Ataukah siap untuk menelan kenyataan pahit, misalnya, bahwa tidak akan ada seseorang dari antah berantah—yang secara magis—membantu membayarkan tagihan listrik, mengobati lapar yang tidak bisa ditawar, dan menyelesaikan masalah-masalah struktural yang kompleks dalam hidup kita?


Ini mungkin akan terdengar tolol, tapi satu-satunya yang terlintas di benakku ketika mendengar kata ‘matang’ dan ‘siap’ adalah buah-buahan. Masalahnya adalah mengapa kita cenderung mengibaratkan proses kedewasaan macam buah-buahan yang matang pada pohonnya—sesuai waktunya.


Kita seakan-akan mengabaikan sesuatu yang berada di luar kendali kita. Sebut saja pola pengasuhan orang tua dan tekanan dari lingkungan sekitar. Dengan kata lain, serasa menutup mata, bahwa banyak dari kita yang dipaksa dewasa oleh keadaan—oleh kenyataan.


Barangkali kita harus mulai mengakui, bahwa banyak dari kita didewasakan dengan berita-berita tentang Gen Z dan Millenials yang hampir mustahil untuk membeli rumah tanpa skema KPR bertenor separuh usia hayat dikandung badan. Menangisi harga properti yang kian tak masuk akal. Atau sekadar mengumpati hari senin pagi. Atau memusingkan tidak seimbangnya biaya hidup dengan penghasilan yang didapatkan. Dan mengamini bahwa solusi kapitalistik untuk memenuhi kebutuhan dasar hanyalah hustle culture (baca: kerja lembur bagai kuda; mengambil side jobs) ditambah frugal living (baca: hidup ugal-ugalan; puasa senin-kamis; melarat dengan gaya).


Banyak dari kita juga mengukir makna kedewasaan sebagai tulang punggung kedua—atau bahkan tulang punggung utama. Yang sedini mungkin membanting tulangnya demi membiayai pendidikan adik-adiknya atau membikin dapur ibu tetap ngebul, misalnya. Sebab mereka, termasuk ke dalam Generasi Sandwich.


Tentu, dengan perspektif semacam ini, proses kedewasaan lebih terdengar serupa pisang belum matang yang diberi karbit, bukan?

Tapi mungkin begitulah realitas bekerja. Kejam dan tak berperasaan. Menyoal anggapan terhadap kemungkinan realitas yang seram semacam ini, aku sedikit banyak bersepakat dengan kutipan Anaïs Nin, esais Prancis-Amerika, dalam buku Incest: From “A Journal of Love”: The Unexpurgated Diary of Anaïs Nin, 1932-1934 (1992), dia menulis: “Realitas tidak membuatku terkesan. Aku hanya percaya pada kemabukan, pada ekstasi, dan ketika kehidupan biasa membelengguku, aku melarikan diri, dengan satu atau lain cara.”


Dan begitulah, yang kulakukan setelah menemukan jalan buntu ketika merenungi makna kedewasaan dan hidup yang kian redup: mengubur ke-sober-an dengan ke-hangover-an, dengan bantuan botol-botol alkohol. Setelah sisa mabuk semalam hampir habis, aku teringat sesuatu. Sekira tiga belas tahun lalu, aku melewati sekumpulan pemabuk dan berpikir betapa sampahnya mereka. Kemarin, aku mabuk di depan rumahku, seorang bocah melewatiku, dan mungkin berpikir hal yang sama denganku dulu.


Sesekali, seorang bocah dalam diriku seakan kecewa, mengapa masa dewasa nampak begitu repetitif dan depresif? Kalau tidak begini-begini saja, ya begitu-begitu saja. Tak ada yang benar-benar seru dan mengejutkan. Mengapa masa dewasa sebegitu redundan kebosanannya.


Tak seperti novel-novel romantik di mana mukjizat dan keajaiban selalu terjadi. Tak ada goblin atau barbarian buruk rupa yang harus dilawan dan dikalahkan. Tak ada pedang atau kapak yang bisa kutempa di pandai besi. Tak ada tuan putri di atas menara tinggi untuk kubebaskan dari cengkeraman naga yang mulutnya menyemburkan api. Yang ada cuma pertarungan sunyi melawan sakit maag, asam urat, insomnia, dan nyeri punggung yang abadi.


Pada akhirnya, kalau boleh lebih sok tahu, ‘kedewasaan’ mungkin adalah menyadari bahwa dunia cukup disesaki orang-orang yang saling menasihati-memotivasi—meskipun mereka besar kemungkinan sama-sama stres-pusing dan pengin teriak, “***j**ggggg!”


Maka, setiap kali dadaku terasa tiba-tiba nyeri, aku bergumam, mungkin inilah waktunya… dan kembali memutar lagu-lagu The Strokes.


“…

Stockholders

Same shit, a different lie

I’ll get it right sometime

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

Oh, maybe not tonight

ad

Oh, maybe not tonight

…”

—The Adult Are Talking – The Strokes (The New Abnormal, 2020)

Wednesday 31 January 2024

Tanpa Alarm, Tanpa Kejutan

a heart that's full up like a landfill
a job that slowly kills you
bruises that won't heal
you look so tired, unhappy
bring down the government
they don't, they don't speak for us
i'll take a quiet life
a handshake of carbon monoxide
...

barangkali politik memang memengaruhi segalanya. setiap sendi kehidupan kita. seribu blangsak tercipta karena seorang idiot diberikan kuasa oleh sepuluh ribu orang yang jauh lebih idiot. & buta politik melanggengkan sejuta keidiotannya. Brecht, dramawan Jerman, telah mengatakan hal yang kurang lebih serupa berpuluh-puluh tahun lalu. aku yakin, berangkat dari kemuakan yang sama, banyak dari kita ingin menciptakan pemerintahan yang lebih baik, tetapi gagasan revolusioner semacam itu—sangatlah sulit diwujudkan. terlalu utopis, kalau kata seseorang yang mengklaim dirinya realistis.


tentu, lebih mudah untuk menyerah pada Leviathan & menjalani hidup yang aman jauh dari anxiety, tanpa upaya menyelesaikan masalah struktural. lebih mudah diam, tanpa mematahkan dahan, tidak pula mencabut akar (apalagi jika jenis akarnya, tunggang). tentu, jauh lebih mudah untuk mengurung diri di dalam garasi yang tertutup kemudian menyalakan mobil & menghirup sebanyak-banyaknya karbon monoksida yang keluar dari knalpot—sebuah cara yang pelan & tidak menyakitkan untuk memungkinkan bendera kuning berkibar di depan rumah dalam satu kali dua puluh empat jam. sebagaimana dianjurkan Thom Yorke dengan suara yang telampau madesu.


aku percaya kau cukup pandai untuk mengerti apa yang kubicarakan. begini, ada beberapa keganjilan, misalnya, mengapa di tengah kekeosan ini peristiwa besar belum terjadi? lautan manusia tumpah ke jalan, menyuarakan hal yang sama. ombak besar itu belum juga kulihat sejauh mata memandang. meskipun sejarah telah mencatat, ketika kekuasaan dijalankan seenak jidat & ugal-ugalan, maka guillotine bisa menjadi jawaban. kepala terpisah dari badan memang terdengar sadis & brutal, tapi begitulah kenyataan bila dibahasakan & kemungkinan yang terjadi bila kita sedikit lebih bisa meluapkan emosi.


aku curiga, jangan-jangan sebagian besar dari kita sudah terlalu sering dipatahkan hatinya, sehingga perlawanan cuma jadi ya sudahlah ingatan usang di kepala. & alih-alih menjadi anarkis—sebagaimana simtom umum seseorang membenci negara karena dikecewakan—banyak dari kita malah menjadi apolitis. mungkin karena terlalu lelah. boleh jadi takut. aku tak tahu.


oleh karenanya, sebagai klaritas & suntikan adrenalin, janganlah kita takut kepada mereka. justru merekalah yang harus takut & bergidik ngeri dengan kita. kita berhak memprotes & menuntut kewarasan sebab nasi yang mereka makan berasal dari keringat kita yang dipotong setiap bulan. pajak ini, pajak itu. suara kita, bahkan, suara tuhan. vox populi vox dei. meskipun entah tuhan yang mana, dari lebih tiga ribu tuhan yang sepanjang peradaban kita namai. tapi yang jelas, percayalah, kita mempunyai keberanian & kekuatan yang cukup untuk mengingatkan agar mereka jangan gegabah. seperti kerja-kerja supergo yang merepresi dorongan irasional dari id—agar lebih ngotak dalam bertindak membikin kebijakan—kalau meminjam istilahnya Freud. 


motivasiku akan terdengar cukup nasionalistik & klise. aku hanya ingin negara yang kucintai, tanah tumpah darahku ini, berada di trek yang benar—trek menuju kemajuan—yang selama ini kita idam-idamkan. sayangnya... jika aku misalkan kondisi saat ini sebagai trolley problem—eksperimen pikiran dalam filsafat etika—bahwa kereta telah keluar dari relnya. menggilas satu & menggilas lima. tak ada deontolog, tak ada utilitarian. yang selamat cuma yang berada dalam gerbongnya saja. Machiavelli berwajah inosens & memiliki senyum hangat seperti tokoh dalam novel-novel tentang petualangan. yang terjadi hari ini, seakan menjadi bukti konkret, kita selalu menilai buku dari sampulnya.


sebenarnya, aku malas & tak punya energi untuk menulis tentang sejenis omong kosong macam ini. sesuatu, yang jelas-jelas terlalu komikal untuk diseriusi. politik, bagiku cuma masturbasi kekuasaan yang menyengsarakan orang-orang nirprivilese. tapi ada semacam kegatalan pada dada kiriku, yang rasanya kira-kira seperti terkena daun pulus—atau barangkali ibarat dihinggapi ulat bajra api. & hanya berceracaulah, tindakan yang bisa kulakukan untuk meredakannya. selain menggabungkan botol, kain, & bensin—kemudian melemparkannya.


aku tahu & sadar, pada akhirnya, pemilu cuma memilih oligark yang paling bearable. lesser evil. iblis yang tidak jahanam-jahanam amat.


kalau boleh jujur lagi, aku sebenarnya lebih ingin retreat ke hutan belantara & menjalani hidup yang tenang tanpa alarm tanpa kejutan dengan orang tercinta, tapi masalahnya, bagaimana aku bisa tenang jika menyadari bahwa hutan belantara bahkan telah dikuasai & dirusak oleh Leviathan—makhluk yang merebut hampir segalanya dari hidupku? bagaimana ini?


semoga kiamat tidak terjadi esok hari.

Wednesday 20 December 2023

Cerpen: Tiga Majusi

Sudah lebih dari satu bulan ini, sekira bakda salat isya, yang kami lakukan adalah duduk melamun semalam suntuk di depan api unggun. Dan bubar jalan pada pukul satu dini hari. Secara teknis, bukan api unggun karena kayu dibakar di atas panggangan barbeque. Namun, katakanlah demikian.

Oh ya, ritual redundan yang tidak sakral ini kami laksanakan bertiga: aku, R, dan A. Bertempat di halaman rumah R yang hanya berjarak empat meter dari rumahku dan tujuh meter dari rumah A.

Mereka berdua adalah tetanggaku. Sayangnya, aku tak pernah cukup pandai untuk mendeskripsikan seseorang. Namun, biar kujelaskan sedikit soal mereka—sejauh yang kubisa.

R adalah seorang pemuda berambut botak dua senti, bermata sayu, dan berkumis tidak simetris seperti ikan lele. Ia berumur satu tahun lebih tua dariku. Secara biologis, umurnya dua puluh empat. Secara psikologis, ia seperti seorang manula berusia lima puluh sembilan tahun yang telah memasuki masa pensiun (aku punya beberapa pembenaran untuk itu, misalnya filosofi hidupnya yang fatum brutum nrimo ing pandum atau gerakan tubuhnya yang seperti bergerak dalam skala sembilan ratus enam puluh fps; maksudku, slow motion). R berprofesi sebagai konsultan bangunan dengan gelar sarjana arsitektur, tetapi kini ketika proyek konstruksi sedang sepi ia banting setir menjadi petani rumahan—ia bahkan menyulap halaman di depan rumahnya menjadi semacam kebun hidroponik. 

Sedangkan A, adalah seseorang bergaya rambut pompadour berusia kira-kira empat puluh tahun dan telah memiliki anak. Wajahnya agak serupa orang Jepang bagian Utara (suku Ainu, tepatnya) dan dihiasi brewok lebat khas orang-orang dari Eropa Timur yang, secara sekilas, persis gambar pada produk serum penumbuh janggut asal Malaysia. A punya segudang pengalaman di dunia finance, sebab dulu pernah bekerja belasan tahun sebagai field collection di suatu perusahaan pembiayaan. Saat ini, setiap pagi sampai sore, selain mengurusi tempat makan paling ikonik di daerahku, bakso kuah rujak à la Bi Enti—ia menggarap kebun miliknya. Sebagaimana R, A pun tengah menggemari dunia pertanian.

Oleh karenanya, kalau bukan ritual melamun di depan api unggun, barangkali tanamanlah yang menyatukan kami bertiga. Aku dan A, sering kali menyambangi rumah R—untuk sekadar membantu mengurusi kebun hidroponik miliknya. Maksudku, secara umur dan latar belakang kami jelas-jelas berbeda. Dan, kalau boleh menduga-duga, bisa jadi batok kepala R berisi estimasi tentang rata-rata tinggi sebuah kusen pintu atau harga keramik marmer di toko material sekitar sini. Sedangkan, batok kepala A bisa jadi berisi ingatan tentang busuknya persekongkolan antara dealer dengan leasing atau soal strategi menjalakan bisnis makanan yang nyeleneh tapi mampu bertahan lebih dari dua puluh tahun. Dan batok kepalaku, berisi banyak pengetahuan tidak penting, katakanlah soal bagaimana melatih tim futsal beranggotakan remaja-remaja tanggung yang masih mencari jati diri.

Dengan kata lain, kami begitu berbeda, kecuali dalam hobi menyiram tanaman. Dan kalau pun Anda masih penasaran tentang apa hal lain lagi yang besar kemungkinan memungkinkanku, R, dan A, setiap hari menghabiskan malam bersama, maka itu adalah: pertama, pesimisme; kedua, kebencian terhadap dunia politik yang penuh intrik dan gimik.

Biar kujelaskan dari yang pertama. Meskipun aku bisa pastikan R dan A tidak pernah membaca buku mengenai filsafat pesimisme, katakanlah Schopenhauer atau Cioran, tapi dari keempat mata itu, opini-opini, dan selera humor mereka aku tahu keduanya sama-sama pesimistis. Mereka seperti seseorang yang telah khatam menelan asam garam kenyataan yang bajingan. Menghabiskan berjam-jam mengobrol dengan mereka, kukira, rasanya sama seperti mendaki gunung putus asa. Menguras energi tapi memicu begitu banyak kontemplasi dan memberiku pelajaran yang tak pernah diajarkan di bangku sekolah: bagaimana menerima hidup apa adanya, sebisa mungkin tidak berharap lebih dari semestinya, dan mampu mengapresiasi hal-hal sederhana.

Kedua, ini aneh tapi nyata. Kami sama-sama peduli setan terhadap politik dan punya pengalaman absurd yang nyaris serupa. Singkatnya, kami pernah ditawari jadi tim sukses seorang caleg tapi kami tolak mentah-mentah. Selain itu, kami juga terlampau muak dengan baliho dan bendera partai P dan D yang memenuhi hampir setiap sudut di sekitar rumah kami. Maka, pada suatu sore, tanpa pikir panjang, kubawa saja bendera Britania Raya berukuran dua puluh kali tiga puluh sentimeter yang kupunya ke rumah R—tempat biasa kami berkumpul—dan mengibarkannya dengan tiang dari besi bekas setinggi tiga meter. Setelahnya, kami larut dalam gelak tawa sepuas-puasnya. Dan, memutar lagu-lagu British Rock tahun sembilan puluhan dengan volume sekencang-kencangnya.

Sejujurnya, aku lebih percaya melamun di depan api unggun adalah yang menguatkan perkawanan kami bertiga. Biasanya, ritual melamun dilaksanakan setelah berdiskusi panjang kali lebar kali tinggi. Tapi sesekali juga setelah memasak air untuk menjarang teh hijau atau kopi arabika dengan metode v-sixty—dan setelah memanggang apa saja yang nampak enak untuk dipanggang: entah itu singkong, roti, pisang, jagung, ikan gurame, lobster, sosis, hingga bakso.

***

Di depan api unggun, aku tiba-tiba teringat buku Sapiens-nya Harari dan menghayati betapa pentingnya api bagi manusia. Kemudian, pikiranku yang liar membayangkan: Bagaimana jika kita tidak pernah mendomestikasi api? Apakah peradaban akan secanggih sekarang?

Rasa-rasanya, api memang memberi manusia semacam kontrol atas alam dan menjadi elemen penting demi bertahan hidup, misalnya untuk membuka ladang, menghangatkan badan, hingga memungkinkan kita untuk memasak makanan yang tidak dapat dicerna dalam bentuk aslinya (katakanlah, gandum, beras, kentang, dan sebagainya). Tak mengherankan, sejak sekitar tiga ratus ribu tahun lalu, kita punya semacam hubungan spesial dengan api. Filsuf alam, Heraclitus, sampai percaya bahwa api adalah sumber dan sifat dari segala sesuatu. Orang-orang Persia Kuno, bahkan mengultuskan-menyembah api dan menamai diri mereka sebagai Majusi. Mereka meyakini bahwa api melambangkan cahaya Tuhan, Ahura Mazda. Kepercayaan arkaik ini kutahu setelah menonton film biopik berjudul Bohemian Rhapsody—tentang vokalis Queen, Freddie Mercury—yang merupakan salah satu penganutnya.

Dalam mitologi Yunani, api dipercaya sebagai simbol ilmu pengetahuan dan kekuatan ilahi. Mitosnya diabadikan Hesiodos, dalam buku puisinya, Theogony dan Works and Days—juga Aeschylus, bapak Tragedi Yunani, dalam Prometheus Bound. Sederhananya, begini... ada seorang Titan bernama Prometheus yang mencuri api dari para dewa-dewi di Gunung Olympus dan memberikannya kepada umat manusia. Sayang, tindakan revolusionernya diketahui Zeus. Pemimpin para dewa itu murka lantas memutuskan untuk menghukum Prometheus dengan merantainya di atas batu di Gunung Kaukasus, dan menyiksanya tanpa henti: menyuruh seekor elang memakan hatinya. Hati itu akan tumbuh kembali di malam hari, sehingga elang itu dapat dengan senang hati memakannya lagi keesokan hari.

Begitu dan begitu, dalam kekekalan. Mitos ini, secara simbolik, menyiratkan api atau pengetahuan adalah berkah sekaligus kutukan. Atau boleh jadi ada harga mahal yang mesti dibayar kalau bermain api.

“Hei pakcoy, ritualnya belum dimulai. Kita nyeduh teh dan bakar pisang dulu. Lagi banyak pikiran kah? Mikirin cicilan KPR tenor dua puluh tahun?”

Lamunanku pecah.

“Kayaknya sih mikirin pemilu tahun depan. Dibilang susah menang kalau masih banyak politik uang. Sayang duit. Lagian, mending ngelon daripada nyalon. Udah, mending kita vandal aja semua bendera dan baliho partai di sekitar rumah kita.”

“Enggak. Mana ada KPR, nyalon bla bla bla. Aku lagi mikirin jangan-jangan kita ini sebenernya orang Majusi sangking setiap harinya ngadain ritual api begini. Tapi bagus gak sih, biar Pak Ustad MCR (Maman Chemical Romance) punya saingan?” kataku dengan wajah serius, menatapi wajah R dan A.

Dan, mereka pun tertawa terbahak-bahak. Aku tak bisa menahan tawaku. Ngakak menular, ternyata.

***

Pada suatu malam minggu yang suram, aku curiga, jangan-jangan menontoni api ini warisan evolusi. Genetik. Hobi yang diturunkan  melalui DNA dari generasi ke generasi.

Entahlah, yang jelas, aku benci fakta bahwa ketika aku sedang melamunkan hal-hal abstrak terlalu lama itu hampir selalu membuatku nampak seperti orang sedang memusingkan harga properti yang semakin tak masuk akal—atau sedang memikirkan strategi untuk merusak baliho partai tanpa ketahuan—atau bahkan sedang depresi—karena terlilit hutang dan terpikir galbay, misalnya—pedahal kenyataannya, tentu tidak sama sekali.

Tapi omongan R benar juga, lebih baik kuseruput teh hangat dan pisang bakar dengan toping meses coklat plus keju cedar di depanku itu terlebih dahulu. Lagi pula, kupikir, tidak ada yang bisa menjelajahi dunia kemungkinan dengan perut keroncongan. Bon appétit!

*****

Saturday 9 December 2023

Apokalips

ini bukan tulisan tentang lagu Cigarettes After Sex:
bibirmu,
bibirku,
kiamat...

begini, aku punya kawan, sebut saja B, yang sebenarnya malas kusebut sebagai kawan. lantaran setiap kali kami bertemu, manusia yang besar kemungkinan lebih pintar dari biawak ini, seakan tak pernah bosan untuk menguliahiku matkul kiamat. dimulai dari tanda-tandanya hingga susunan acaranya, secara komplit bin komprehensif.


masalahnya, ia menarasikanya dengan sorot matanya yang penuh percaya diri. ia yakin bahwa kiamat akan terjadi seratus persen serupa dengan apa yang ada dalam batok kepalanya. di mataku, ia malah seperti versi lain dari Nostradamus yang percaya ada korelasi langsung antara rasi bintang, tanggal lahir, & bagaimana kepribadian bekerja.


sialnya, aku adalah seseorang yang mencintai perdamaian. artinya, aku cenderung mengiyakan setiap klaim-keniscayaan yang keluar dari corong bacotnya ketimbang harus melempar wajah naifnya dengan sepatu Docmart. aku masih berprasangka baik, setidaknya sampai hari ini. katakanlah, menganggap bahwa pada kehidupan sebelumnya, kawanku ini mungkin adalah seorang dukun kenamaan di sebuah masyarakat primitif yang masih menganut animisme/dinamisme. & tentu saja ia bukanlah contoh konkret evolusi otak yang belum sempurna atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.


sejujurnya, aku tak pernah punya masalah dengan seseorang yang mendakwahkan hari kiamat. aku hanya muak dengan rasa percaya diri mereka yang surplus bahwa kiamat akan dimulai dengan A, lalu B, kemudian C, & seterusnya. yang seolah-olah, secara kronologis, sangat mudah ditebak serta membosankan—persis seperti acara-acara seremonial penuh omong kosong yang dilaksanakan oleh para birokrat.


tapi bicara soal apokalips alias kiamat—nampaknya dari zaman Noah merusak alam demi membikin bahtera untuk menyelamatkan diri dari banjir (yang sebenarnya kalau dia tidak menebang pohon tidak akan banjir), manusia memang, pada dasarnya, hobi membuat nubuat soal kiamat. 


secara statistik, mungkin sudah ada puluhan bahkan ratusan ramalan yang kesemuanya meleset total. yang paling terkenal, ada ramalan kiamat menurut Suku Maya yang jatuh pada tahun dua ribu dua belas. aku masih ingat, beberapa tahun sebelum tahun tersebut, aku masihlah bocah polos yang duduk di bangku sekolah dasar. berita-berita di televisi menyiarkan kengerian yang sama. hari-hariku dihantui ketakutan yang terasa dekat & nyata. kubayangkan tsunami yang jauh lebih tinggi dari pohon kelapa akan datang, gempa entah sekian richter akan menghancurkan tempatku bermain bola, seluruh orang-orang yang kukenal akan mati dihantam meteor sebesar gajah Afrika, & gunung-gunung akan beterbangan bagai kapas seperti dalam surah al-Qari'ah ayat ke lima.


tapi kita semua tahu, kiamat menurut Suku Maya itu tidak terjadi & roda kehidupan berjalan seperti biasa. lambat laun, aku tumbuh menjadi bocah SMP yang paranoid (bukan Paranoid Android, kalau itu lagu Radiohead) & punya semacam rasa trauma tentang hal-hal yang berbau kiamat. barangkali aku mengidap PASD, post apocalyptic stress disorder. tapi semuanya berubah hampir seratus delapan puluh derajat, ketika aku menginjak SMA & secara otodidak mengonsumsi yang paleo-paleo. saat itu, aku mulai menganggap hal paling natural-alamiah dari suatu spesies adalah mati atau “punah”. para ilmuwan, bahkan, memperkirakan sekitar sembilan puluh delapan persen dari semua organisme yang pernah ada di planet bumi telah punah saat ini. seorang Neanderthal yang bisa calistung mungkin akan mengamini dua kalimat tadi.


sejak kecil, bisa dibilang, aku dibesarkan oleh pertanyaan-pertanyaan. sewaktu masih sekolah, akulah si murid autis yang tidak bisa diam & selalu bertanya hal-hal random pada guru. hingga kini, tentu ada banyak pertanyaan soal kiamat yang masih menggantung di pemikiranku. misalnya soal, di kunci apa Israfil meniup sangkakala? a minor, kah? atau, kira-kira sudah berapa “kiamat” yang terjadi tapi tidak tercatat/dicatat sejarah karena perbedaan definisi mengenai kiamat itu sendiri?


lalu aku terus mencari tahu. tanpa henti. aku sedikit mendapat pencerahan. salah satunya, dari manuskrip mitos Aztec dari abad ke enam belas, katanya, dunia telah berakhir sebanyak empat kali. salah duanya, aku menemukan bahwa secara antropologis, bumi yang umurnya empat koma lima empat miliar tahun ini, telah menjadi saksi bisu bagi lima kali Kepunahan Massal (peristiwa yang memunahkan lebih dari tujuh puluh lima persen spesies dalam rentang dua koma delapan juta tahun atau kurang). yang terakhir & paling ikonik, Kepunahan Kapur-Paleogen, terjadi kira-kira enam puluh juta tahun yang lalu. & para dinosaurus-lah korban utamanya. kini, kita tengah berada di dalam sabuk Kepunahan Massal Keenam, yang juga dikenal sebagai Kepunahan Holosen & Kepunahan Antroposen—sebuah peristiwa kepunahan spesies yang dimungkinkan karena destruktifnya aktivitas manusia.


sesekali, bila teringat B, aku menduga... jangan-jangan 'kiamat' cuma bahasa agama bagi 'kepunahan' dengan tambahan majas hiperbola. karena biasanya teks-teks liturgis memang begitu, suka melebih-lebihkan hal yang boleh jadi biasa saja kalau dilihat dari sudut pandang yang lebih luas. maksudku, kiamat itu alamiah—tidak ada yang “ilahiah” dari kiamat, selain sebagai pengingat bahwa akan ada hari di mana segalanya rungkad. & hal yang membikin narasi kiamat terasa grandeur, tentu saja adalah adanya akhirat. singkatnya... dunia adalah appetizer, kiamat adalah main course, & akhirat adalah dessert. dengan kata lain, para agamawan relatif percaya dunia itu fana, niscaya kiamat, & yang tersisa setelahnya adalah akhirat; hari penghakiman. ketiganya adalah kesatuan yang tidak bisa dipisahkan & mesti diceritakan dengan hiperbolis.


menariknya, secara garis besar, susunan acara kiamat beberapa agama terlihat mirip-mirip. ini hanyalah sedikit contoh kecil saja. misalnya eskatologi (istilah ribet dari ajaran agama tentang kiamat) Zoroaster & Islam. bahwa setelah hari akhir nanti ada hari kebangkitan; setelah Frasōkereti nanti ada Saoshayat, setelah al-Qiyamah nanti ada Yaumul Ba'ats. dalam Yudaisme, hari kebangkitan disebut T'chiyat Hameitim. Islam, juga punya kemiripan dengan Buddha. antara Imam Mahdi-Nabi Isa & Maitreya; sebagai penyelamat kosmis-eskatologis yang akan mewujudkan keadilan serta perdamaian bagi alam semesta.


fafifuwasweswos soal sosok penyelamat alias Messiah, aku jadi teringat karyanya Zapffe yang judulnya The Last Messiah. di esainya itu, salah satu pemikir suram dalam filsafat tersebut menilai bahwa “Messiah Terakhir” adalah umat manusia yang telah berevolusi sedemikian rupa & cara, sehingga sampai di titik di mana ia menjadi paradoks biologis—menjadi makhluk yang diliputi penderitaan karena surplus-kesadaran. sederhananya, Messiah Terakhir adalah manusia yang semakin berbeda dengan hewan-hewan lainnya—karena hanya ialah yang punya kesadaran berlebih soal waktu (masa lalu-masa depan), kematian, & penderitaan makhluk lain. 


kalau dipikir-pikir, melalui kesadaran akan “epilog” inilah kita bisa menemukan makna bagi kehidupan. bahkan, kita bisa lebih mengapresiasi banyak hal yang terlihat biasa saja tapi ternyata luar biasa nikmatnya jika benar-benar kita rasakan. berak, merokok, & meminum kopi adalah beberapa contohnya. ini senada dengan yang diucapkan oleh Dr. Hannibal Lecter, “aku selalu menemukan gagasan tentang kematian yang menghibur. pemikiran bahwa hidupku bisa berakhir kapan saja membebaskanku—untuk sepenuhnya menghargai keindahan, seni, & kengerian dari segala sesuatu yang ditawarkan dunia ini”—& kutipan Schopenhauer dalam Parerga and Paralipomena, “adalah kehilangan, yang sebagian besar mengajarkan kita nilai dari segala sesuatu”.


bagiku, kiamat yang sesungguhnya adalah ketika kita tidak lagi punya kemampuan untuk mencipta cahaya-personal untuk mengarungi kehidupunk yang gelap, suram, liar, bakekok, buas, & penuh marabahaya.


tapi semisal kiamat, sebagaimana yang dibacotkan agama-agama, terjadi esok hari—maka hal yang akan kulakukan pertama & terakhir kali di dunia bangsat ini adalah mengajak pacarku yang cantik untuk french kiss; sebab aku punya hasrat untuk punah secara puitis wakakaka


kembali menyoal kawanku yang malas kusebut kawan, pada akhirnya, pada suatu sore yang dipayungi lembayung—aku melontarkan lelucon kepadanya.


“kenapa dinosaurus punah?”

“karena meteor?”

“karena mereka nggak bisa bikin rumah ibadah.”

“hahaha bener juga!”

“coba bayangin, t-rex mau rukuk aja udah susah.”

Thursday 16 November 2023

Dua Puluh Tujuh

L' âme du Musicien by Raymond Douillete

aku punya kawan. ia sekaligus guru musikku. sebut saja, Irama. meskipun satu tahun lebih muda dariku, ia mengajariku banyak soal permusikan duniawi; termasuk melatihku bermain piano (ya, sampai sekarang aku mainnya masih kayak orang dongo). ia canggih, telinganya tajam, bahkan ia bisa tahu ketika aku berbicara “itu berada di kunci apa”. bisa dibilang, Irama, adalah kawanku yang punya bakat musikal paling tinggi. sesekali aku melontarkan lelucon: ini orang badannya gitar gibson, & waktu lahir, tali pusarnya jangan-jangan senar nilon. 


ia hampir bisa memainkan semua alat musik populer, kecuali marawis (mungkin karena ia ateis, entahlah). soal skil bermain gitar, percayalah, ia tak berbeda jauh dengan Depapepe. atau Sungha Jung. atau Herman Li. atau Jack Thammarat. atau Joe Satriani. atau David Gilmour. atau John Petrucci. atau Isaac Albéniz. atau Polyphia. atau Brian May. atau... (silakan isi sendiri).


tapi bukan soal itu, yang ingin aku ceritakan tentangnya. bukan. tapi kejujurannya—keberaniannya untuk selalu jujur—atau mungkin keblak-blakannya. aku lupa berapa kali bertanya di umur berapa ia akan menikah, tapi aku ingat ia selalu menjawab tidak akan menikah. & ketika kutanya tentang masa tua, ia selalu mengatakan ingin mati muda, di umur dua puluh tujuh tepatnya. ini menarik, bukan menarik, sih—maksudku, mengapa mesti dua puluh tujuh? mengapa tidak empat puluh lima, setidaknya sama seperti idolanya, Freddie Mercury?


apakah ia ingin tergabung ke dalam Klub 27? mampus di umur yang sama seperti Jimi Hendrix, Jim Morrison, atau JM Basquiat? entahlah, ia tak pernah menjawab pertanyaanku yang satu itu. pada akhirnya, tidak ada yang tahu. tuhan pun mungkin sebenarnya tak tahu apa-apa—kita yang sok tahu, dengan mengatakan tuhan tahu segalanya. kalimat ini adalah lelucon yang tak pernah gagal membuat Irama ngakak ketika kulontarkan kepadanya.


yang jelas, impian kawanku untuk mati di umur dua puluh tujuh terasa selangkah lebih nyata, kukira. sebab tiga minggu lalu, ia jujur bercerita, masih dengan kepolosan yang sama, bahwa ia divonis HIV. persis seperti idolanya, vokalis Queen yang flamboyan & eksentrik itu. pada gilirannya, aku jadi teringat Law of Attraction (hukum tarik-menarik), sebuah hukum fisika yang konon juga berlaku dalam garis nasib manusia. sederhananya, sesuatu yang kita pikirkan akan menarik sesuatu tersebut ke dalam kehidupan kita. 


sependek pemahamanku yang cetek terhadap fisika kuantum, atom memiliki energi & tertarik ke arah atom dengan komposisi energi yang sama. artinya, sebagaimana atom, pikiran akan secara mekanis menarik “energi yang serupa ke dalam kenyataan”. 'P' akan menarik 'P', 'Q' akan menarik 'Q'. maka, mimpi Irama (sebagai produk pikiran) untuk mampus di umur dua puluh tujuh besar kemungkinan akan jadi kenyataan—karena setiap aksi-tindakan yang dilakukannya niscaya berangkat dari daya upaya untuk merealisasikannya. katakanlah aksi-tindakan yang berpotensi mengurangi angka harapan hidupnya seperti bergadang, mabuk-mabukan, & menyewa pelacur (demi meraih potensi terkena HIV yang secara medis memang memperpendek umur).


aku tidak tahu bagaimana persisnya ia terkena penyakit yang belum ada obatnya ini, tetapi sejauh yang kutahu kawanku ini memang terlampau sering “jajan di aplikasi hijau” & beberapa kali “main tanpa pengaman”. pada mulanya, tak diragukan lagi aku menilai tindakannya ST, Sangat Tolol. namun kemudian aku mencoba melihat segala sesuatunya melalui sudut pandangnya, sorot matanya, lalu menemukan bahwa tindakannya tidak tolol-tolol amat & boleh jadi ia memang dengan sadar melakukannya. itulah yang diinginkannya. memang HIV, salah satu solusi untuk menggapai mimpinya mati di umur dua puluh tujuh.


& aku tidak mau berkomentar lebih jauh soal baik-buruk atau benar-salah. persetan apakah Irama seorang fatalis atau bukan. lagi pula, aku bukan moralis. kurasa kita pun sesekali mesti melupakan moralitas objektif. entahlah.


yang pasti, sore itu, setelah Irama bercerita kepadaku bahwa ia divonis HIV, aku bertanya kepadanya, “bagaimana perasaanmu? apa yang kau rasakan setelah mendengar vonis dari dokter itu?”—& ia hanya menyimpul senyum, ngakak selepas-lepasnya, lalu mengatakan bahwa ia merasa bangga. pada posisi itu, seseorang yang tak begitu mengenalnya, besar kemungkinan, akan curiga saraf-saraf di dalam otak Irama telah konslet atau bahkan putus. tapi entah mengapa aku seakan memahami mengapa responsnya bisa sedemikian di luar nalarnya. mungkin karena yang muncul di kepalaku saat itu adalah kutipan Albert Camus dalam novelnya, The Fall (1956), yang berisi monolog dramatis seorang tokoh bernama Jean-Baptiste Clamence: “ketika sebuah jiwa terlalu sering & banyak menderita, ia mengembangkan selera bagi kesialan-kesialan.”


& barangkali, secara interpretatif, 'selera' yang dimaksud Camus di atas maksudnya adalah selera humor untuk menertawai kesialan-kesialan telak yang datang bertubi-tubi. sepengamatanku, rasa-rasanya memang begitu—kawan-kawanku yang paling humoris & suka bercanda adalah mereka yang paling sial, menderita, & banyak masalah hidupnya. Irama, adalah salah satu contohnya. puncak dari Five Stages of Grief, teori psikologi yang dicetuskan Elisabeth Kúbler Ross, dalam bukunya On Death and Dying (1969)—semestinya adalah Sense of Humour (especially, to laugh at our endless & gigantic misfortune).


pada akhirnya, aku masih tak tahu mengapa ia ingin mati di umur dua puluh tujuh. tapi aku, lagi-lagi ingin mencoba memahaminya. & kali ini aku tiba-tiba teringat dengan kuots Kurt Cobain, ikon Klub 27 yang mengidap Bipolar (sama sepertiku) itu: “tak ada yang mati perjaka-perawan, semuanya telah diperkosa kehidupan.”


& barangkali itulah mengapa ia ingin mati muda. ia telah terlampau lelah diperkosa sesuatu yang tak pernah bisa dilawan. ia telah muak menerima kekalahan yang karib & tak bisa melakukan apa-apa untuk mencegahnya.


c, a minor, d minor ke g, ke c lagi. keminoran yang mayor lagi-lagi menghantam tanpa sangsi.


kawan... aku tidak tahu sampai kapankah kau akan tetap mengonsumsi ARV, pil untuk menunda kematianmu itu. aku bahkan tidak tahu sampai kapankah kau akan bertahan. tapi yang jelas & pasti, senang bisa mengenalmu. & misalkan kau mampus lebih dulu dariku, tenang saja, aku masih ingat dengan janjiku: memutar musik-musik klasik di atas pusaramu. aku harap suatu saat nanti kita kembali bertemu entah di mana itu, sebagai kawan, yang pernah sama-sama mati berkali & lahir kembali. semoga kau masih ingat dengan ucapanku kepadamu sore itu, bahwa ada satu hal yang tak akan pernah bisa direbut oleh kematian: keberanian kita untuk kapan saja menatap tajam matanya, tanpa secuil pun rasa takut.

Danau Lido, 16 November 2023.