Thursday 25 August 2022

Yang Mungkin Kukarang secara Ringkas sebelum Benar-benar Pulang dari Galnas

dokumentasi pribadi

aku menulis memoar kecil ini di sebuah taman besar—masih dalam area Galeri Nasional. sekarang pukul 15:33 WIB. & aku baru saja selesai mengikuti pameran tetap; melihat-lihat koleksi seni rupa negara ini—yang menurutku begitu ... adiluhung. selain karena karya-karya seni memanglah miniatur museum—yang hidup & menyimpan sepotong riwayat hidup, sepotong sejarah, sepotong ruang & sepotong waktu. seperti membius kedua bola mataku (& kacamataku)—kemudian mengambil alih kesadaranku untuk berkata dalam hati: betapa jenius, imajinatif, & kreatifnya para seniman bangsa ini. terdengar agak hiperbolis, tetapi begitulah yang kurasakan.

***

beberapa orang yang melihatku—mungkin akan berasumsi, bahwa aku keluar dari galeri seperti orang tolol yang mabuk darat di tanah orang lain; tanah yang orang-orangnya selalu terlihat terburu-buru (di sini, di Jakarta, aku percaya dengan kredo dari penyembah Konsep Waktu Linier: bahwa waktu adalah uang) ketimbang seseorang yang baru saja terhipnotis oleh daya magis sebuah lukisan. sekali lagi, aku tak berupaya meromantisasi. tak sama sekali. malah, aku mendapat semacam pengalaman artistik yang agak pelik (atau bahkan mustahil) untuk kubahasakan.

***

sedikit bercerita, 3 hari sebelum aku berkunjung ke Galeri Nasional, kawanku yang perlente, berkata bahwa aku ini dilettante—ada 2 lema makna dilettante jika mengutip dari Merriam-Webster (iya, perusahaan dari Paman Sam yang menerbitkan buku referensi, khususnya kamus, yang sudah berdiri semenjak tahun 1831 itu): pertama, seseorang yang memiliki minat dangkal dalam seni atau cabang pengetahuan lain; kedua, seorang pengagum atau pecinta seni. 

aku mencoba untuk berbaik sangka pada kawanku itu—ia merujuk pada lema makna yang kedua. tapi aku tak bisa menghentikan kecurigaanku bahwa kawanku itu memiliki postulat (yang kupikir cenderung gegabah): bahwa mulutku sebesar paus sperma dengan otak sebesar makanan paus sperma (zooplankton, biota mikro yang kira-kira hanya berukuran 0,2-2mm).

sependek pengetahuanku, aku ini memang tak terlalu bakat menggambar-melukis (membuat gambar-gambar kolase à la surealisme & dadaisme menggunakan software editing masih bisa, sedikit). kecerdasan visual-spasialku (& mungkin juga kecerdasan musikalku) hanya sebesar planet biru pucat bernama bumi di mata lensa pesawat luar angkasa Voyager 1 dari jarak 8 triliun kilometer (sekitar 0,8456006672196924 tahun cahaya).

9 jenis kecerdasan buatan Gardner, psikolog & profesor di Harvard University itu, hampir semuanya kuhabiskan untuk kecerdasan eksistensial (baca: kecerdasan untuk melamun dengan serius)—yang pada akhirnya membuatku memutilasi-merekonstruksi sebab di dalam setiap tindakanku, misalnya, mengapa pula aku memikirkan bacot kawanku yang bahkan dengan bahasa tubuh bangga campur segunung rasa percaya diri berkata: lukisan fresko "The Creation of Adam" yang merupakan bagian dari langit-langit Kapel Sistina, yang dilukis sekitar tahun 1508–1512, yang dianggap sebagai ekspresi klasik seni Renaisans & salah satu lukisan Renaisans terbaik pada abad ke-15 & ke-16—itu karya da Vinci, bukan Michaelangelo.

***

sejujurnya, aku ingin mencoba memetakan makna dari lukisan sureal Ivan Sagita berjudul "Meraba Diri"—berukuran 90 cm x 72 cm—dengan cat minyak di atas kanvas—yang dilukis pada tahun 1988 ... yang kalau boleh sok tahu, lukisan ini kupikir bertema pencarian jati diri, keperempuanan, & suwung (kekosongan) yang menggunakan simbol-simbol sosiokultural Jawa—3 figur perempuan yang sejajar tersebut adalah tanda dari proses transfigurasi (tangan, aku interpretasi sebagai upaya pengidentifikasian diri): pertama, yang di kiri, adalah penanda dari diri yang belum/tak-diidentifikasi; kedua, yang di kanan, adalah penanda dari diri yang mulai mengindentifikasi; ketiga, yang di tengah, adalah penanda dari diri yang telah diidentifikasi (sebagai perempuan Jawa, dicirikan dengan atribut sanggul).

pertanyaannya adalah, mengapa diri yang telah diidentifikasi berada di tengah? apakah itu berarti bahwa puncak tertinggi dari kesejatian diri adalah kemoderatan? atau mengapa diri yang belum/tak-diidentifikasi cenderung menggunakan komposisi warna yang lebih cerah? apakah hal-hal menyangkut identitas kebudayaan mempu menggelapkan/menyuramkan diri & membikin kita semakin jauh dari suwung? & yang lebih umum, apakah kesadaran tertinggi adalah ketika kita mampu secara filosofis melepaskan atribut-atribut kultural yang berpangkal dari letak geografis?

selain itu, aku ingin sedikit sok tahu fafifu tentang lukisan abstrak Abas Alibasyah yang berjudul "Garuda"—berukuran 100 cm x 66 cm—dengan cat minyak pada kanvas—dilukis pada tahun 1969; ada semacam ingatan kolektif yang mencoba mengetuk-ngetuk persepsiku: bahwa modernisasi merupakan jiwa zaman pada akhir 1960 sampai awal tahun 1970—sehingga mendorong perubahan bentuk menjadi lebih abstrak (yang kalau boleh jujur, lukisan itu lebih terlihat seperti sesosok manusia yang berdiri ketimbang makhluk mitologis semacam Garuda). di samping fakta bahwa Orde Baru melahirkan semacam estetika yang memuja segala hal yang serba samar—& ambigu dalam perkara politik. entah atas alasan keamanan, maupun karena selera visual yang memang selalu bertransformasi—dari waktu ke waktu.

***

Seni dan Politik memang tak dapat dipisahkan. karya seni sejak zaman kuda makan besi (baca: dari zaman dahulu) sudah sangat lama menjadi medium kritik sosial. terkadang membuat kita seperti terkena efek mandela. terkadang pula, menjadi efek kupu-kupu bagi mereka yang ingin menghayati mitos-mitos di dalamnya. & sering kali, aku dibuat sangat penasaran—misalnya, tentang bagaimana unsur-unsur surealitas & hal-hal abstrak bekerja di dalam kepala seorang seniman? atau jika karya seni bukan merupakan produk pikiran (melainkan produk perasaan); aku tetap penasaran. 

rasa penasaran semacam itu, pada gilirannya, membuatku takut untuk mati muda. yang kutakutkan dari mati muda—bukan tak akan pernah merasakan bagaimana rasanya berkeluarga, menjadi bapak, membesarkan seorang anak, & segala macam tetek bengek domestik rumah tangga—aku takut jika dikubur di dalam tanah sedalam 6 kaki dengan miliaran pertanyaan; yang masih tersisa di dalam batok kepalaku.

aku masih sulit untuk berkompromi dengan hal-hal seperti itu. bentuk kompromi yang sama seperti ketika aku menemukan wajah kebingungan yang sama—di antara teman-temanku di kelas ketika bersekolah dulu, ketika seorang guru Seni Budaya dengan caranya yang hambar, menerangkan hal-ihwal berwarna seni dengan cara yang sama sekali tak artsy (alias membosankan): seni yang hanya berkutat pada bagaimana melestarikan budaya & tradisi—tanpa pernah mengedukasi-membagi-perspektif tentang, misalnya, betapa pentingnya dekonstruksi, hal-hal yang berkelindan dengan seni, segala sesuatu tak bisa dilepaskan dari segala bentuk seni, atau tentang petuah kuno berbau seni dari bahasa Latin ... Ars Longa, Vita Brevis; hidup itu singkat, seni itu panjang (abadi).

oleh karenanya, 12 tahun aku belajar sesuatu bernama seni di sekolah—hasilnya adalah aku tak tertarik sama sekali terhadap dunia kesenian—setidaknya sebelum aku bersentuhan cukup intens dengannya ketika keadaan mengharuskanku menyelaminya.

***

aku juga muak dengan anggapan masyarakat yang ortodoks: bahwa semakin lukisan-lukisan bercorak realis atau mendekati objek aslinya—lukisan itu semakin bernilai seni. tapi aku juga tak mengerti, mengapa para pelukis yang buta warna—kini dianggap unik di sekolah-sekolah seni. terkadang, aku berpikir bahwa komposisi karya seni hanyalah rasa gabut seniman campur absurditas dunia. tapi tak sesederhana itu juga, kupikir.

maksudku begini, (mungkin) karya seni adalah hasil dari mekanisme kompleks alam bawah sadar—semacam buah yang bersumber dari seniman itu sendiri. maka tak heran, lukisan yang terkesan serampangan justru berasal dari sistem semiotik (& sistem kognitif) yang kompleks dari pembuatnya. masalahnya adalah aku tak kuliah seni, & seni bukanlah ilmu eksakta—jadi yang kulakukan sebenarnya hanyalah hipotesa yang lahir dari praduga-praduga (yang pada titik tertentu, sebenarnya tak perlu & tak penting untuk ditekskan).

ah gawat. aku semakin melantur tak karuan. tapi bukankah hidup yang asik—dimulai dari memproduksi serangkaian eksperimen-eksperimen kecil untuk menafsir kemungkinan-kemungkinan baru? bukankah menghancurkan kebekuan-kebekuan adalah sama dengan memberontak pada keabsurdan & kefanaan dunia bajingan ini? bukankah kesenian (& kesusastraan) tak akan pernah ada tanpa yang absurd & yang sementara?

sebelum aku ketinggalan kereta, & tulisan ini tak jelas arahnya—alangkah baiknya sekarang aku meluncur menuju Stasiun Gondangdia—lantas menutup tulisan ini dengan kutipan Pak Tua dari Danzig (yang menginspirasi Nietzsche) & kutipanku yang suka bermain di wilayah interteks Nietzche:

"treat a work of art like a prince: let it speak to you first."
—Schopenhauer

"bagi kehidupan yang absurd & sementara, kenormalan adalah bencana—tanpa seni, hidup adalah kiamat yang paling kubra."
—Genrifinaldy

Jakarta, 2 Januari 2022.

Saturday 20 August 2022

Reviu Singkat "Sapiens - Harari" yang ... Sungguh Hadeuh Sekali

 

Author: Yuval Noah Harari
Title: Sapiens: A Brief History of Humankind
Format: 512 pages, Paperback
ISBN: 9780099590088
Published: January 1, 2015 by Vintage
Language: English

Sapiens & Hal-Hal yang Tak Selesai

ingatan bekerja seperti mesin pencetak perangko yang ... dingin, pikun, & kuno. tapi sejuta deus lahir setiap hari. menggemakan mitos-mitos baru. lalu mempercepat laju masadepan, yang ... bergerak di antara: bagaimana primata-primitif cikal bakal manusia—mendomestikasi api dengan cara paling udik, seperti menggesekan dua buah batu tanpa sangsi;

& bagaimana seorang diktator mengontrol kerjasama global—dengan memainkan kelenjar adrenal, seperti memproduksi rudal yang ... dilengkapi hulu ledak nuklir—secara massal, melalui wajah keamanan negara, ditenagai isi kepala—fisikawan-teoritis yang ... tiba-tiba jadi nasionalis, sebab dibayar super-mahal—untuk menulis rumus-rumus matematika ... panjang x lebar x tinggi—untuk menjelaskan bagaimana interaksi antar atom bekerja—kepada para penambang bijih uranium yang ... sepertinya bekerja hanya demi bagaimana—bisa makan hari ini.

(2022)

—Moch Aldy MA

Maaf bila saya malah memulai tulisan dengan puisi yang dikarang sekitar 40 menit setelah selesai mengaji buku aduhai ini untuk yang ke-3 kalinya. Kalau tak salah ingat (& tak mengalami efek mandela), saya membaca-menamatkan Sapiens yang ditulis Prof. Yuval Noah Harari asal Israel ini, baik dalam bentuk cetak maupun digital—dalam versi bahasa Inggris & bahasa Indonesia—sebanyak 4 kali. Tapi tolong jangan bertanya ada di mana bentuk fisik buku saya yang satu ini (saya benci untuk mengakui fakta bahwa meminjamkan buku kepada teman dengan segunung harapan akan dikembalikan adalah salah satu kenaifan-kebloonan yang luar biasa).

Self diagnosis adalah sesuatu yang keliru sekaligus tak patut ditiru, tetapi saya ingin melakukannya—kemudian mengatakan bahwa meskipun Sapiens adalah buku bergizi, pada akhirnya, ia membuat saya sedikit depresi & kekurangan vitamin D yang cukup serius—diakibatkan oleh tubuh saya yang hampir tak terkena sinar ultraviolet pada pagi hari—sebab saya lebih banyak membuang pagi di dalam kamar saya yang berukuran kira-kira 4 x 5 meter persegi (sebenarnya tak bisa disebut persegi karena 4 x 5 itu asimetris) untuk mengkhatamkan buku ini.

Sedikit pengingat, kalimat-kalimat di atas, khususnya bagian vitamin D, adalah sebentuk hiperbola biasa yang lazim kalian temui jika membaca teks-teks Genrifinaldy. Namun yang jauh lebih penting dari itu, saya pikir, adalah fakta bahwa bukan matahari yang mengandung vitamin D—melainkan proses ketika kulit terpapar sinar ultraviolet dari matahari yang memicu sintesis vitamin D—lalu ginjal & hati mengonversinya menjadi vitamin D aktif yang dapat digunakan tubuh untuk meningkatkan peresapan kalsium & kesehatan tulang—begitu kata kawan saya yang dokter spesialis bedah.

Ok, saya kira cukup wawawa-nya—mari kita mulai.

Review Bukunya

Harari membuka Sapiens dengan mengajak pembaca untuk membayangkan bahwa ... di atas ketinggian di Afrika Timur, 2 juta tahun lalu, kita kemungkinan bisa menjumpai sekumpulan sosok-sosok lazimnya manusia:  ibu-ibu yang gelisah tengah membuai bayi-bayi mereka & kecipak riang anak-anak bermain di lumpur; pemuda-pemuda tempramental yang dongkol menentang aturan masyarakat & para tetua yang lelah minta ditinggalkan dalam suasana tenang; kaum jagoan dengan dada berdebar-debar yang berusaha memikat gadis-gadis cantik lokal & para nyonya rumah yang sudah menyaksikan itu semua.

Secara garis besar, Sapiens dibagi menjadi 4 bagian: Revolusi Kognitif, Revolusi Agrikultur, Penyatuan Manusia, & Revolusi Saintifik. Pertama, Revolusi Kognitif, berfokus pada hal-ihwal yang sangat berbau biologi, teka-teki evolusi yang terlampau ndakik-ndakik (bagi cetak biru kepala saya yang IPS-Sosiologi), sampai lompatan Homo Sapiens yang spektakuler ke puncak rantai makanan.

Tapi yang menarik adalah bagian yang membahas bahwa ukuran otak tak selalu berbanding lurus dengan kecerdasan: walaupun otak Sapiens Modern rata-rata hanya berukuran 1200-1400 sentimeter kubik, tetapi ia jauh lebih pintar dari Neanderthal yang berotak lebih jumbo (bahkan jika diadu dengan Neanderthal yang paling rajin belajar sekalipun); Sapiens Modern juga jauh lebih jenius dari famili kucing-kucingan yang meski berotak lebih gigan, tetap tak bisa mengerjakan soal-soal kalkulus.

Di titik ini, seketika otak saya yang piawai nakalnya membayangkan perlombaan cerdas cermat antara seekor babon bloon bermuka jelek versus Homo Sapiens yang tampan & cerdas—babon itu kalah, kemudian mengamuk & dengan mudah merobek-robek wajah rupawan Homo Sapiens sampai membuatnya menjadi jauh lebih jelek dari seekor babon bermuka jelek yang bahkan belum mandi selama 4 bulan lamanya.

Revolusi Kognitif, singkatnya, sebuah babak yang terjadi sekitar 70.000 tahun yang lalu—yang hanya dialami oleh Homo Sapiens—sehingga menjadikannya spesies yang overpower di hadapan kerabat-kerabatnya (Neanderthal, Homo Erectus, Homo Soloensis, & Homo Florensis)—yang tak mengalami Revolusi Kognitif. Secara biologis, Homo Sapiens yang digambarkan hampir identik dengan manusia modern. Mereka makan, minum, mencari pengakuan dari bestie atau crush-nya, melamun, bermain, jatuh cinta kepada orang yang salah, tidur, bermimpi kencing & bangun mendapatinya dirinya mengompol, hidup berkoloni, membentuk pertemanan akrab dengan sirkel-nya masing-masing & lain-lain & lain-lain.

Babak ini ditandai dengan meningkatnya kepekaan pancaindra (melihat, mendengar, membaui, mengecap, & merasakan) dalam mempersepsi-menganalisis realitas objektif, mulai munculnya realitas imajiner di batok kepala Homo Sapiens untuk mengarang hal-hal berwarna fiksi (yang dibahas lebih detail di bagian ke-3), & menajamnya kecerdasan linguistik (kemampuan berbahasa). Secara pragmatis, membidani lahirnya kebohongan pertama umat manusia & membuka berjuta kemungkinan di kepala Homo Sapiens untuk memanipulasi keadaan demi memenuhi keinginan-kebutuhannya.

"You could never convince a monkey to give you a banana by promising him limitless bananas after death in monkey heaven."

Harari mengajak kita untuk membayangkan bahwa kelak makhluk-makhluk bipedal nan menyedihkan & tak signifikan itu akan berjalan di bulan, mengolonisasi planet mars, membelah atom, menyibak kode genetik dalam mutasi setiap DNA, merumuskan rumus-rumus mekanika kuantum, & menulis buku-buku sejarah.

Transformasi terbesar ada di bagian kedua. Revolusi Agrikultur, adalah istilah yang diberikan untuk sejumlah alterasi budaya dari metode hunting-food gathering (berburu & mengumpulkan makanan) menjadi food producing (bercocok tanam & beternak) & mendomestikasi/menjinakkan (hampir semua) hewan-tumbuhan yang ada di muka bumi. Meski demikian, tak semua hewan mampu didomestikasi/dijinakkan oleh Homo Sapiens, katakanlah ... zebra, rakun, rubah, bonobo, kuda nil, atau serigala.

Hunting-food gathering adalah cara paling primitif (sekaligus udik) untuk mendapatkan makanan—yang dilakukan dengan cara berpencar untuk hunting (berburu) hewan-hewan liar & gathering (mengumpulkan makanan) tumbuhan/buah-buahan liar di belantara liar demi memenuhi kebutuhan fisiologis (baca: makan). Jika sumber makanan sudah habis, mereka akan langsung berpindah tempat untuk mencari sumber makanan yang baru.

Revolusi Agrikultur adalah titik di mana Homo Sapiens menjelajahi-merajai 3/3 muka bumi & dengan radikal memanfaatkannya secara produktif. Yang menarik adalah bahwa Harari (& Prof. Jared Diamond, iya ilmuwan yang famous itu) menggambarkan Revolusi Agrikultur sebagai kesalahan terbesar yang pernah dibuat manusia sepanjang sejarah. Revolusi Agrikultur tak bersinonim dengan apa yang disebut "sukses". Lebih lanjut, menurutnya, pada akhirnya kita tak mendomestikasi hewan-tumbuhan—melainkan sebaliknya. Dengan kata lain, kita diperbudak oleh apa yang kita domestikasi.

Pertanian-peternakan memang memudahkan Homo Sapiens untuk mendapatkan makanan, tetapi industrinya memiliki begitu banyak dampak buruk bagi manusia, hewan, & lingkungan: berkontribusi terhadap meningkatnya rasa mager di tubuh manusia modern (ketimbang berburu babi hutan menggunakan senapan angin yang belum tentu dapat, ya lebih baik ke pergi ke Jalan Suryakencana & membeli sate babi siap santap); hewan ternak menjadi rentan terhadap penyakit, mengalami penurunan kemampuan beradaptasi, & menjadi menyesal dilahirkan (ya bayangkan saja dilahirkan sebagai seekor ayam broiler yang tinggal menunggu takdir menjemputmu di restoran cepat saji atau mengalami transendensi menjadi semacam nugget rebus hasil ngide orang bloon yang kehabisan minyak goreng); agrikultur adalah salah satu pemicu yang mempercepat proses perubahan iklim global—katanya United Nations Environment Programme (UNEP), sekitar 13% emisi gas rumah kaca disebabkan pengoperasian agrikultur—peternakan menghabiskan 70% tanah untuk agrikultur atau setara dengan 30% permukaan tanah yang ada di planet biru ini.

Belum lagi emisi metana, tambah kawan saya (yang ini seorang diploma veteriner; D3 kesehatan hewan) yang gemar mengonsumsi fungi, yang tumbuh di atas tinja hewan ruminansia. Sejujurnya, saya jauh lebih penasaran dengan rasa daging genus gajah purba yang telah punah, mamut, jika dibuat rendang (ya saya tahu ini terdengar seperti random para tolol).

"We did not domesticate wheat. It domesticated us."

Tapi beribu tapi, dear Prof. Harari & Prof. Jared ... siapa orang sinting yang mau tetap hidup nomadik, berburu herbivora berkaki empat melawan karnivora macam harimau gigi pedang pakai tombak, & akhirnya memilih memakan tumbuhan random yang bisa saja membuatnya mampus dalam sekejap?

Bagian ketiga buku ini, Penyatuan Manusia, tak lagi membahas transisi Homo Sapiens dari spesies nomaden ke spesies menetap—kini, Harari menerawang efek domino dari umat manusia yang menjadi satu kesatuan yang tak terhindarkan. Dia berpendapat, bahwa keberhasilan kita dalam mencapai kesatuan ini adalah berkat kemampuan luar biasa untuk menciptakan berbagai mitos intersubjektif. Semacam hal-hal yang hanya ada dalam pikiran setiap individu yang mempercayainya—tak memiliki dasar saintifik, tetapi memungkinkan kerja sama dalam skala massal. Atas nama ekonomi, atas nama negara, atas nama agama—kita bersatu padu bekerja ... begitu mudahnya.

"How do you cause people to believe in an imagined order such as Christianity, democracy or capitalism? First, you never admit that the order is imagined."

Kemampuan untuk fafifu wasweswos ngueng-ngueng mencipta-mengarang mitos-mitos (termasuk tentang membacot hal-hal abstrak seperti ideologi, nasionalisme, patriotisme, sampai memformulasikan traktat perdamaian global) inilah yang membuat Homo Sapiens secara periodik tetap bertahan & secara meyakinkan terus berevolusi: membangun nilai-nilai kolektif, membentuk kerjasama ekonomi di atas alat tukar (mata uang) yang disepakati bersama, membina hubungan bilateral-multilateral, menyusun produk-produk hukum positif, & seterusnya & seterusnya.

Selain itu, mitos-mitos juga memungkinkan umat manusia (& peradaban yang melingkupinya) untuk terus bertumbuh-berkembang sedemikian rupa—juga secara simultan menurunkan angka konflik horizontal-vertikal antar individu agar tak saling timpuk-menimpuk menggunakan kapak perimbas, misalnya, sebagai imbas dari perbedaan-perbedaan rasial yang sama sekali tak terhindarkan—setidaknya sampai saat ini.

Mitos-mitos, saya pikir, adalah semacam rambu-rambu yang mencegah si miskin yang kelaparan tak menjarah dapur si kaya yang secara ironis kelebihan pangan.

Bagian ke-4 buku ini, Harari membawa pembaca pada apa yang disebut Revolusi Saintifik. Revolusi yang ... diproduksi di Eropa pada pertengahan milenium terakhir, kemudian didistribusikan ke seluruh dunia, & dikonsumsi secara brutal oleh negara-negara dunia ketiga. Bagian ini diisi semacam rasa haus kepada pengetahuan baru (yang sialnya disalahgunakan oleh kapitalisme & imperialisme). Menurut Harari, kemajuan saintifik ini memungkinkan kita untuk melampaui batasan-batasan biologis yang ditempatkan pada kita oleh evolusi.
Proses ini menjadi hal yang membentuk fase berikutnya dari sistem empiris manusia yang membentuk kita sedemikian rupa sampai kita sulit membayangkan konsekuensi logisnya.

Bagian paling menarik dari bagian ke-4, saya rasa, adalah ketika Harari membahas kebahagiaan. Seperti yang dia coba tampilkan: hampir tak ada cara untuk mengetahui—apakah kehidupan abad ke-21 kita yang nyaman ini membuat kita, secara objektif, lebih bahagia daripada nenek moyang kita?

Sedikit ngueng-ngueng soal kebahagiaan: tradisi intelektual Barat menyatakan bahwa untuk menjadi bahagia, yang paling perlu kita lakukan adalah pergi keluar rumah, mengamankan sumber daya, mendirikan bisnis, menjalankan pemerintahan, mendapatkan ketenaran, & menaklukkan dunia. Sebaliknya, tradisi intelektual Timur sudah sejak lama menarasikan antipodal-nya—misalnya, dalam untaian ajaran Buddha & Hindu (baik secara eksplisit/implisit), mereka bersikeras bahwa rasa puas mengharuskan kita belajar untuk tak menaklukkan dunia, melainkan menaklukkan instrumen yang membuat kita memandang dunia ini: pikiran kita.

Pada akhirnya, pada titik tertentu, Barat menghasilkan terlalu banyak playboy-tengil yang tak bahagia, yang suka misuh-misuh—sedang Timur terlalu banyak melahirkan orang bijak yang tak seru, yang kontraproduktif, yang hidupnya dihabiskan untuk meditasi, yang hanya memikirkan bagaimana menaklukkan kehendak & pikiran sebagai konsekuensi dari eksistensi.

"According to Buddhism, the root of suffering is neither the feeling of pain nor of sadness nor even of meaninglessness. Rather, the real root of suffering is this never-ending and pointless pursuit of ephemeral feelings, which causes us to be in a constant state of tension, restlessness & dissatisfaction. Due to this pursuit, the mind is never satisfied. Even when experiencing pleasure, it is not content, because it fears this feeling might soon disappear, & craves that this feeling should stay & intensify. People are liberated from suffering not when they experience this or that fleeting pleasure, but rather when they understand the impermanent nature of all their feelings, & stop craving them. This is the aim of Buddhist meditation practices. In meditation, you are supposed to closely observe your mind & body, witness the ceaseless arising & passing of all your feelings, & realise how pointless it is to pursue them. When the pursuit stops, the mind becomes very relaxed, clear & satisfied. All kinds of feelings go on arising & passing—joy, anger, boredom, lust—but once you stop craving particular feelings, you can just accept them for what they are. You live in the present moment instead of fantasising about what might have been. The resulting serenity is so profound that those who spend their lives in the frenzied pursuit of pleasant feelings can hardly imagine it. It is like a man standing for decades on the seashore, embracing certain ‘good’ waves & trying to prevent them from disintegrating, while simultaneously pushing back ‘bad’ waves to prevent them from getting near him. Day in, day out, the man stands on the beach, driving himself crazy with this fruitless exercise. Eventually, he sits down on the sand & just allows the waves to come & go as they please. How peaceful!"

Pada gilirannya, membaca bagian ini membuat saya ingin menelurkan hipotesa liar (hasil melamun di kamar mandi) yang terdengar lumayan mengerikan, tetapi cukup masuk akal: "harapan adalah pisau bermata dua: meningkatnya harapan adalah kabar baik yang membuat kita memiliki beribu alasan untuk tetap hidup; kabar buruknya, kita mungkin tak lebih bahagia daripada mereka yang datang jauh sebelum kita."

Terakhir, semisal pada akhirnya manusia bisa menjadi tuhan, maka ia akan menjadi jenis tuhan yang memiliki segalanya—kecuali kebahagiaan. Mengapa? knowledge is a power that makes humans suffer. Sekian, mari kita tutup tulisan ini (sebelum otak saya berubah menjadi petasan banting) dengan mantra andalan: semoga semua keberadaan berbahagia.

& dengan puisi yang saya karang setelah membaca Sapiens untuk yang ke-2 kalinya.

Sains yang Mengasyikkan & Kau yang Menyebalkan

Pada suatu masa sekitar 13,7 miliar tahun silam, zat, energi, waktu, & ruang berasal dari apa yang dikenal sebagai Ledakan Besar.

Kisah tentang bagian-bagian mendasar alam semesta ini kita kenal dengan Fisika.

Kira-kira 300 ribu tahun setelah muncul, zat dan energi mulai bergabung menjadi struktur-struktur kompleks yang disebut dengan atom & berkombinasi menjadi molekul-molekul.

Kisah atom, molekul, & interaksinya ini dikenal dengan Kimia.

Setelah itu sekitar 3,8 miliar tahun lalu di planet bumi, molekul-molekul tertentu bersatu padu membentuk struktur-struktur amat besar & rumit yang disebut organisme.

Kisah organisme-organisme ini kita kenal dengan Biologi.

Lalu sekitar dua puluh empat jam yang silam, organisme ini mengirim pesan kepada organisme lain yang disukainya.

Namun, walaupun pesannya sudah dibaca & si penerima sudah memposting eksistensinya sebanyak 17 kali, tetapi pesannya masih belum juga dibalas.

&, kisah organisme ini kita kenal dengan Elegi

(2020)

—Moch Aldy MA

Monday 15 August 2022

Reviu Singkat "A Brief History of Time - Hawking" yang Sepertinya Lebih Panjang Ngueng-Nguengnya ketimbang Review Bukunya

 


Author: Stephen Hawking
Title: A Brief History of Time: From the Big Bang to Black Holes
Format: 213 pages, Paperback
ISBN: 9780553380163 (ISBN10: 0553380168)
Published: September 1, 1998 by Bantam Books
Language: English

"What is the nature of time? Will it ever come to an end? Can we go back in time? Some day these answers may seem as obvious to us as the Earth orbiting the sun, or perhaps as ridiculous as a tower of tortoises. Only time, that's what we say." —The Theory of Everything (2014)

Mula-mula, saya ingin memberi semacam mukadimah & membangun jukstaposisi sependek pengetahuan saya. Namun yang perlu digarisbawahi adalah bahwa saya sama sekali tak bermaksud untuk menciptakan dikotomi yang tak perlu agar pembahasan ini terkesan seperti suatu bahasan yang teatrikal & enigmatik pada saat yang sama (atau malah menjadi omong kosong yang membingungkan). Faktanya, diskursus tentang 'Waktu' adalah Perang Dingin (atau jika menggunakan istilah yang lebih kolosal; adalah Perang Kurukshetra). Antara konsep Waktu Linier yang digaungkan oleh Agama-agama Samawi/Abrahamik & sebagian besar Intelektual Barat versus konsep Waktu Sirkuler yang diserukan oleh Agama-agama Ardhi & mayoritas Intelektual Timur.

Pada praktiknya, Agama-agama Samawi/Abrahamik (yang berwarna akhirat-sentris) memiliki kecondongan untuk memberi kita pandangan linier tentang peristiwa & waktu yang melingkupinya—bahwa waktu tidak pernah datang dua kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak dapat diperbaharui. Sebaliknya, Agama-agama Ardhi memberi kita pandangan yang bersebrangan—bahwa waktu datang berulang kali; bahwa waktu adalah sumber daya yang tak akan habis.

Secara singkat, Waktu Linier: gagasan bahwa waktu adalah anak panah yang melesat dari masa lalu, melewati masa kini, & menuju masa depan. Dengan kata lain, hidup hanyalah sekali—& tentu mengandung corak pemikiran yang cenderung menegasikan kemungkinan adanya Reinkarnasi (kelahiran kembali). Sedangkan Waktu Sirkuler: anggapan bahwa waktu adalah roda yang berputar, atau bandul yang bergerak ritmis, konstan, & pasti, dari kanan ke kiri atau sebaliknya. Sehingga, setiap objek & peristiwa niscaya kembali ke posisi asalnya.

Di Yunani kuno, Kaum Stoa percaya bahwa alam semesta mengalami tahapan-tahapan transformasi, yang berulang-ulang serupa dengan yang ditemukan di konsep Kalachakra (roda waktu) pada teks-teks Buddhis & dalam genealogi Buddhisme di India & di Tibet (baik secara gamblang maupun samar).

Dalam tradisi pemikiran di Nusantara, khususnya masyarakat Jawa, kita akan menemukan konsep
Cakra Manggilingan yang hampir identik dengan Kalachakra, tetapi lebih komprehensif & ekstensif membahas waktu dalam konteks siklus hidup manusia. Dalam bahasa Sanskerta, Cakra bisa diartikan sebagai roda/cakram—sedangkan Manggilingan dalam bahasa Jawa mengandung makna "yang berputar"—sehingga interpretasi filosofisnya adalah bahwa kehidupan laksana roda yang kadang di atas, kadang di bawah, kadang di kiri, kadang di kanan ... hidup kadang bahagia, kadang sengsara, & seterusnya, & seterusnya.

Di Mesir kuno, kita akan menemukan simbol-simbol arkaik yang mengindikasikan konsep Waktu Sirkuler. Adalah Ouroboros/Uroboros, seekor ular (atau mungkin lebih tepatnya naga) yang sedang memakan ekornya sendiri sebagai simbol perulangan waktu (& keabadian). Ouroboros/Uroboros memasuki sendi-sendi tradisi pemikiran Barat melalui ikonografi Mesir kuno & tradisi magis Yunani—juga diadopsi sebagai simbol dalam Gnostisisme & Hermetisisme—terutama dalam ilmu alkimia oleh para alkemis. Kemudian, pasca berkembangnya agama Kristen, di Barat, gagasan Waktu Sirkuler tak lagi populer.

Review Bukunya

Jika rahasia & teka-teki kosmos adalah sebotol minuman bersoda, maka buku ini adalah pembuka tutup botol berbentuk hukum-hukum sains yang mengatur jagat raya. Agar kita tak terjebak dalam glorifikasi sains yang bermajas hiperbola, saya pikir kita tetap harus setuju dengan Hawking bahwa Tuhan tak hanya bermain dadu, tetapi dia melempar dadu itu ke tempat yang tak dapat kita temukan. A Brief History of Time, ditulis dalam bahasa yang saya kira cukup cair & lumayan ramah di kepala, sebab sudah di-downgrade sedemikian rupa (tetapi tetap dengan pertimbangan intelektual, tentunya) dengan harapan tak mereduksi makna aslinya sekaligus mudah dibaca-dipahami-dicerna seseorang yang bahkan tak selalu berpikir secara ilmiah & jarang bersinggungan dengan bahasa-bahasa fisika (kira-kira begitu ... kata sales marketing buku ini, yang kalau boleh jujur, saya sama sekali tak setuju di bagian mudah dibaca-dipahami-dicerna).

Di dalamnya pembaca akan menemukan siluet-siluet jawaban dari pertanyaan-pertanyaan perennial (yang tak pernah selesai dibahas), misalnya tentang bagaimana awal mula alam semesta atau seperti apa bentuknya di masa depan. Di dalamnya pembaca akan menemukan pertanyaan-jawaban berbau kosmologi (saya tertawa ketika menggunakan diksi 'kosmologi', sebab di salah satu adegan film berjudul "The Theory of Everything" yang mengudara pada tahun 2014—Hawking berkata bahwa kosmologi adalah semacam agama untuk seorang ateis yang cerdas) misalnya tentang ...

Newton, Einstein, & para fisikawan gigan lain yang merevolusi cara kita berpikir tentang bagaimana objek bergerak; di era posmodern yang serba-relatif—kecepatan cahaya tetaplah fix & konstan—sehingga kita tak selalu dapat mengukur kecepatan sesuatu itu relatif terhadap sesuatu yang lain; teori relativitas menyatakan bahwa waktu itu tak tetap; sebuah bintang bermassa berat yang mati akan menjadi singularitas yang disebut lubang hitam; lubang hitam tak sehitam itu; lubang hitam menyedot (hampir) segalanya; ada indikator kuat yang menunjukkan bahwa waktu hanya dapat bergerak maju (senada dengan konsep Waktu Linier); meskipun para ilmuan sepakat bahwa "awal mula" dimulai dengan ledakan besar, mereka tak tahu secara pasti bagaimana tepatnya itu terjadi; fisikawan belum mampu menyatukan relativitas umum & mekanika kuantum.

Saya membaca "A Brief History of Time" karya Stephen Hawking ini dalam versi e-book menggunakan perangkat Kindle Basic 10th Gen—sewaktu di dalam rangkaian KRL dari Stasiun Jurang Mangu—transit, Stasiun Tanah Abang—transit, Stasiun Manggarai—sampai Stasiun Bogor. Selain karena saya memang mengidap mabuk perjalanan, & mesti berdiri selama lebih dari 2 jam lamanya—RAM otak saya ini tergolong rendah & terlalu payah untuk mencerna buku-buku sains yang berat—sehingga, yang terjadi setelahnya adalah adegan muntah-mengeluarkan roti kasur & susu UHT (yang saya konsumsi pada pagi hari sebelum berangkat) di kamar mandi umum Stasiun Bogor.

Meski percaya bukanlah satuan fisika, pereviu percaya bahwa ada sekitar 3 hal yang bisa diutarakan setelah membaca A Brief History of Time: Pertama, pembaca setidaknya dapat menyadari betapa dirinya hanyalah debu kosmik di kosmos yang mahabongsor, mahaluas, mahaabsurd, mahamisteri, mahamembingungkan, & mahahaha; kedua, buku ini punya tendensi membuat pembaca melamun dengan lebih nikmat, lebih asoy, lebih tumaninah; ketiga, pembaca tak akan pernah melihat langit dengan cara yang sama lagi—jika kesadarannya menyadari bahwa ada sekitar 100 miliar hingga 200 miliar galaksi—dengan lebih dari 3 triliun planet di setiap galaksi—yang berputar-berotasi-berevolusi di tengah semesta aneh yang secara konstan terus mengembang ini.

Pada akhirnya, membaca buku ini mengingatkan saya pada ungkapan monumental, nothing really matters, dari Freddie (iya, Freddie Mercury—yang juga mengutip nama martir ilmu pengetahuan bernama Galileo; yang dihukum mati oleh gereja, yang pada saat itu lebih memilih untuk percaya bahwa bumi adalah datar) di lagu Bohemian Rhapsody. Dengan kata lain, A Brief History of Time, cenderung membuat saya berpikir bahwa buku ini dengan brutal seperti ingin menegaskan ulang eksistensi saya yang besar kemungkinan memanglah tak memiliki makna, alias tak berguna. Pada gilirannya, pada titik tertentu, saya kira buku ini juga membuat seulas senyum meraksasa di wajah Schopenhauer yang sepertinya sepanjang waktunya tak bosan-bosan untuk berkata bahwa hidup ini meaningless.

Jadi, yang benar itu Waktu Linier atau Waktu Sirkuler? entahlah ... hanya tukang jam tangan yang suka ngaret yang tahu.

Semoga semua keberadaan lekas berbahagia, sebelum sekitar 7 miliar hingga 8 miliar tahun lagi matahari yang kita ketahui bersama itu akan mengeluarkan serangkaian suara letupan-letusan yang tak teratur sekaligus tak menentu—& mati—lantas menjadi lubang hitam yang baru.

"It is clear that we are just an advanced breed of primates on a minor planet orbiting around a very average star, in the outer suburb of one among a hundred billion galaxies. BUT, ever since the dawn of civilization people have craved for an understanding of the underlying order of the world. There ought to be something very special about the boundary conditions of the universe. And what can be more special than that there is no boundary? And there should be no boundary to human endeavor. We are all different. However bad life may seem, there is always something you can do, and succeed at. While there is life, there is hope." —The Theory of Everything (2014)

Sunday 14 August 2022

Bila Aku Tak Lagi Menulis Surat Untukmu


Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata setelah 'Hidup' ...

Bogor, 14 Agustus 2022

“... & when i wake up tomorrow,
will i see another dawn?
as the days turns so hollow,
will i stare across my lawn
to find you whisper stranger things
my love?
i can't explain at all,
i crave to hear the fiction
when you call ...”

selamat pagi, Bila. selamat siang, Bila. selamat sore, Bila. selamat malam, Bila. selamat, Bila, kau telah bertransformasi—menjelma kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, kata ganti, kata bilangan, kata sambung, kata depan, kata sandang, & kata seru—bagi kata-kataku, bagi puisi-puisiku, bagiku.

tapi, pertama-tama, aku ingin menukil-menyentil katanya Baudelaire (iya, penyair Prancis yang grandeur itu; yang disebut-sebut sebagai “penyair abad kesembilan belas terbesar” oleh Proust dalam esainya di tahun 1922) yang kukira cukup menarik sekaligus asik untuk kita renungi terlebih dahulu: setiap orang haruslah menjadi pemabuk, entah dengan wine, dengan puisi, dengan kebajikan seperti yang mereka inginkan. mabuklah! teruslah mabuk! sudah waktunya untuk mabuk! agar tak menjadi budak sang waktu yang terkutuk! 

di tengah-tengah teks-teksku yang cenderung gelap & hampir selalu membuatmu terengah-engah ketika membacanya, aku ingin terang-terangan: bahwa tubuh waktu sudah membusuk, pikiran-perasaanku sudah mabuk (bahkan terlampau mabuk), & terbila-bila bilamana keimpulsifanku yang naif secara tak sporadis mencoba mengeja namamu dengan liris, Bila. 

bila-bila nanti aku tak lagi terbila-bila bila sedang mengingat-meracauimu, Bila, maka bila mungkin—kau mesti memahaminya. bilamasa itu telah tiba, bila perlu kau jangan sedih bila saja aku dimabuk 2 botol anggur merah dengan es batu—ditambah segunung putus asa—dikali nostalgia (yang sejatinya lebih tepat disebut sebagai saudade) terhadap perasaan hiper-bucin yang sebelumnya tak pernah kualami seumur hidupku selaku seorang manusia. sebab ...

“bila bom khawatir diledakkan
akan tumbuh surat-surat genrifinaldy.”

katamu, Bila, kau sudah lama tak mengarang karya sastra & hal-hal terkait keperempuanan. katamu, Bila, waktu tak mengizinkanmu membaca buku-buku teori atau sekadar buku-buku fiksi—sebab seluruh waktumu telah kaugunakan untuk menghadapi realitas yang semakin hari kian gila & tak danta. sejujurnya, hatiku retak ketika mengetahui: kau tak memiliki sedetik pun waktu untuk menyelesaikan skripsimu. 

Bila, waktu memanglah babi hutan, tetapi apa/bagaimana/siapa yang mampu lepas dari waktu & lari dari kenyataan bahwa perubahan adalah sesuatu yang tak terelakkan? maaf bila aku kesurupan Aristoteles di waktu yang tepat sasaran. “waktu adalah ... proyektil peluru yang melesat dari masalalu, melewati masakini, menuju masadepan, & membunuh setiap kemungkinan-kesempatan yang sudah tertutup-terlewatkan.”

kutipan di atas adalah konsep Waktu Linier menurut para intelektual Barat campur secuil kebangsatan Nihilisme yang pahit & menggigil dalam rongga dadaku.

o Bila, bila tak ada ide-ide pandir seperti cinta platonik bla-bla-bla (yang pada akhirnya memicu momen puitik di setiap lamunanku) yang lahir dari kekeliruan kalkulasi interaksi antar neuron di dalam kepalaku—yang dikomunikasikan secara ritmis melalui satuan bahasa di mulutku kepadamu ... kurasa semuanya tak akan serumit ini.

bila aku tak lagi menulis surat untukmu, Bila, semoga kita bukanlah orang yang salah di waktu yang salah.

Sincerely,

Mas Aldy

Saturday 13 August 2022

Mengapa Nietzsche “Putus” dengan Wagner? (Esai Translasi)

Dari sekian banyak orang yang ditemui Friedrich Nietzsche, seorang komposer bernama Richard Wagner (1813-1883), tanpa diragukan lagi, adalah seseorang yang paling berkesan baginya. Seperti yang telah ditunjukkan oleh banyak orang, Wagner seusia dengan ayah Nietzsche, dan dengan demikian ia dapat menjadi semacam pengganti ayah bagi sarjana muda yang berusia 23 tahun itu ketika mereka pertama kali bertemu pada tahun 1868. Tapi yang benar-benar penting bagi Nietzsche adalah bahwa Wagner seorang jenius-kreatif, jenis individu yang, dalam pandangan Nietzsche, menerima dunia dan semua penderitaannya.

Nietzsche dan Wagner

Sejak usia dini, Nietzsche sangat menggilai musik, dan pada saat masih menjadi mahasiswa, di sisi lain, dia juga seorang pianis yang piawai, yang mampu membuat rekan-rekannya terkesan dengan kemampuannya improvisasinya. Pada tahun 1860-an, Wagner sedang naik daun. Pada tahun 1864, dia mulai mendapat dukungan Raja Ludwig II dari Bavaria; Tristan und Isolde ditayangkan perdana pada tahun 1865, The Meistersingers ditayangkan perdana pada 1868, Das Rheingold pada 1869, dan Die Walküre pada 1870. Meskipun kesempatan untuk melihat pertunjukan opera begitu sulit dan terbatas, baik karena faktor geografis ataupun finansial, Nietzsche dan teman-teman mahasiswanya telah menguasai piano score dari Tristan dan menjadi pengagum berat dari apa yang mereka anggap sebagai “musik masa depan”.

Nietzsche dan Wagner menjadi akrab setelah Nietzsche mulai mengunjungi Wagner, istrinya Cosima, dan anak-anak mereka di Tribschen (distrik di kota Lucerne, Swiss tengah), sebuah rumah indah di samping Danau Lucerne, sekitar dua jam perjalanan kereta dari Basel tempat Nietzsche menjadi profesor filologi klasik. Pandangan mereka berdua tentang kehidupan dan musik, sangat dipengaruhi oleh Schopenhauer. Schopenhauer memandang bahwa hidup pada dasarnya tragis, ia menekankan nilai-nilai seni untuk membantu manusia mengatasi kesengsaraan eksistensi, dan memberikan tempat tertinggi kepada musik sebagai ekspresi paling murni dari ‘Kehendak’ yang tiada habisnya, yang mendasari wajah dunia dan merupakan inti terdalam dari dunia.

Wagner telah banyak menulis tentang musik dan budaya secara umum, dan Nietzsche berbagi antusiasme bersama Wagner dengan mencoba merevitalisasi budaya melalui bentuk seni yang baru. Di bukunya yang pertama kali diterbitkan, The Birth of Tragedy (1872), Nietzsche berpendapat bahwa tragedi Yunani lahir “dari gairah musikal,” didorong oleh dorongan “Dionysian” yang gelap dan irasional yang, ketika dikekang oleh prinsip keteraturan “Apollonian“, pada akhirnya memunculkan tragedi besar penyair seperti Aeschylus dan Sophocles. Tapi kemudian tendensi rasionalis yang terlihat dalam drama Euripides, dan terutama dalam pendekatan filsafat Socrates, datang mendominasi, sehingga membunuh dorongan kreatif di balik tragedi Yunani. Apa yang dibutuhkan saat ini, Nietzsche menyimpulkan, adalah seni Dionysian baru untuk memerangi dominasi rasionalisme Socrates. Bagian penutup buku ini mengidentifikasi dan memuji Wagner sebagai harapan terbaik, sebagai penyelamat untuk mengatasi masalah semacam ini.

Wagner dan Cosima bahkan menyukai buku tersebut. Pada saat itu, Wagner sedang menyelesaikan Der Ring des Nibelungen-nya seraya berusaha mengumpulkan uang untuk membangun gedung opera baru di Bayreuth (kota otonom di Bayern, Jerman), di mana operanya dapat dipentaskan dan seluruh festival yang didedikasikan untuk karyanya dapat dilangsungkan. Meskipun antusiasmenya terhadap Nietzsche dan tulisan-tulisannya tidak diragukan lagi begitu tulus, Wagner juga melihat Nietzsche sebagai seseorang yang dapat berguna baginya sebagai pembela perjuangannya di kalangan akademisi. Nietzsche, yang paling luar biasa darinya, diangkat menjadi profesor pada usia 24 tahun, sehingga mendapat dukungan dari ‘bintang’ yang tampaknya sedang naik daun ini akan menjadi hal yang sangat menguntungkan Wagner.

Cosima juga memandang Nietzsche, sebagaimana dia memandang semua orang, dapat membantu atau bahkan membahayakan misi dan reputasi suaminya.

Tapi Nietzsche, betapapun ia sangat menghormati Wagner dan musiknya, dan meskipun ia sangat mungkin jatuh cinta pada Cosima, ia memiliki ambisinya sendiri. Meskipun dia bersedia menjalankan tugas-tugas yang diberikan Wagner untuk sementara waktu, Nietzsche menjadi semakin kritis terhadap egoisme sombong Wagner. Setelahnya, keraguan dan kritik ini menyebar dan dia berpura-pura menerima ide, musik, dan tujuan dari Wagner.

Wagner adalah seorang anti-Semit, memendam keluhan terhadap Prancis yang pada akhirnya memicu kebencian pada budaya Prancis, dan bersimpati pada nasionalisme Jerman. Pada tahun 1873, Nietzsche berteman dengan Paul Rée, seorang filsuf berdarah Yahudi yang pemikirannya sangat dipengaruhi oleh Darwin, ilmu-ilmu materialistik, dan esais Perancis seperti La Rochefoucauld. Meskipun Rée tidak memiliki akar yang sama dengan Nietzsche, dia jelas mempengaruhinya. Sejak saat itu, Nietzsche mulai memandang filsafat Prancis, sastra Prancis, dan musik-musik Perancis dengan penuh rasa simpatik. Selain itu, alih-alih melanjutkan kritiknya terhadap rasionalisme Socrates, ia mulai memuji pandangan saintifik, sebuah pergeseran yang diperkuat oleh pembacaannya terhadap History of Materialism karya Friedrich Lange.

Pada tahun 1876 festival Bayreuth pertama berlangsung. Wagner menjadi sorotan utama, tentu saja. Nietzsche awalnya akan berpartisipasi secara penuh, tetapi pada saat acara itu berlangsung, ia menemukan pemuja Wagner, adegan fanatisme sosial yang ingar-bingar, berputar-putar, datang dan perginya para selebriti, dan Nietzsche merasakan suasana di sekitarnya tidak menyenangkan. Karena alasan kesehatan yang memburuk, dia meninggalkan acara itu untuk sementara waktu, lalu kembali untuk mendengar beberapa pertunjukan, tetapi pada akhirnya tetap pergi sebelum acaranya benar-benar selesai.

Pada tahun yang sama, Nietzsche menerbitkan buku keempatnya dari “Untimely Meditations”, berjudul: Richard Wagner in Bayreuth. Meskipun sebagian besar isinya terasa antusias dan bergairah, ada ambivalensi yang nyata dalam sikap penulis terhadap subjeknya. Esai di buku itu menyimpulkan, misalnya, dengan mengatakan bahwa Wagner “bukanlah nabi masa depan, seperti yang mungkin ingin dia tampilkan kepada kita, tetapi seorang penafsir dan penyampai klarifikasi masa lalu.” Hampir tidak ada pujian yang berbunyi bahwa Wagner adalah penyelamat budaya Jerman.

Kemudian pada tahun 1876, Nietzsche dan Rée tinggal di Sorrento (kota kecil di Italia) pada waktu yang sama dengan Wagner. Mereka menghabiskan cukup banyak waktu bersama, tetapi ada beberapa ketegangan dalam hubungan itu. Wagner memperingatkan Nietzsche untuk mewaspadai Rée karena dia adalah orang Yahudi. Dia juga membahas operanya, Parsifal, yang mengejutkan dan membuat  Nietzsche merasa mual dan jijik karena dibuat demi memajukan tema-tema Kristen. Nietzsche menduga bahwa Wagner termotivasi oleh popularitas dan keinginan untuk sukses ketimbang alasan artistik yang otentik.

Wagner dan Nietzsche bertemu untuk terakhir kalinya pada 5 November 1876. Pada tahun-tahun berikutnya, mereka menjadi terasing secara pribadi dan filosofis, meskipun saudara perempuannya Elisabeth tetap bersahabat dengan Wagner dan lingkar pertemanannya yang lain. Nietzsche dengan tajam mendedikasikan karyanya berikutnya, Human, All Too Human, untuk Voltaire, ikon rasionalisme Prancis. Dia menerbitkan dua karya lagi tentang Wagner, The Case of Wagner dan Nietzsche Contra Wagner, yang terakhir merupakan kumpulan tulisan-tulisan sebelumnya. Dia juga menciptakan potret satir Wagner dalam pribadi seorang penyihir tua yang muncul di Bagian IV dari Thus Spoke Zarathustra. Dia tidak pernah berhenti mengakui orisinalitas dan kehebatan musik Wagner. Namun pada saat yang sama, Nietzsche tidak mempercayainya karena kualitasnya yang memabukkan, dan karena perayaan kematiannya yang romantis. Pada akhirnya, dia melihat musik Wagner sebagai sesuatu yang dekaden dan nihilistik, berfungsi serupa obat artistik yang mematikan rasa sakit dari keberadaan alih-alih mengafirmasi kehidupan dengan segala penderitaannya.

Artikel ditulis oleh Emrys Westacott, Ph.D dalam Bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Mochammad Aldy Maulana Adha

Bila Aku Menulis Surat Untukmu

Kepada Bila yang Kukira Masih Menjadi Konjungsi Temporal bagi Kata sebelum 'Hidup' ...

Bogor, 27 Juli 2022

selamat malam, Bila. siang tadi, kira-kira 11 jam sebelum aku menulis surat ini, aku berselancar di youtube lalu menemukan bahwa menurut Mitologi Yunani: malam adalah personifikasi perempuan & kegelapan adalah personifikasi lelaki. aku melamun berat setelahnya. aku tahu ini terlalu random, tetapi aku pun sama sekali tak tahu akan kuapakan informasi nirguna ini.

& alih-alih kau bisa segera mengecap keromantisan yang obskur dalam suratku ini—kukira, prolognya malah akan menimbulkan efek domino yang membidani rasa skeptis & persepsi kritis di kepalamu bahwa surat ini perlahan namun pasti akan mengalir dengan cukup payah & cenderung goblok.

sebentar … aku ingin bertanya hal yang fundamental: kau di sana, & masih berhasrat untuk membaca surat ini, kan? aku mau tekskan kejujuranku: sebenarnya, isi batok kepalaku tak lebih piawai & pandai dari seekor kalkun yang sedang pilek. dengan kata lain, aku hiper-bahlul ketika di hadapkan pada situasi di mana aku mesti mengarang surat (yang mungkin lebih terlihat seperti puisi-prosa berwarna kerinduan campur kebucinan) demi meredakan & menenangkan seribu taifun pada ceruk hatiku. 

aku tak mengidap gangguan obsesif kompulsif, tetapi aku ingin bertanya pertanyaan yang sama: kau masih di sana, kan? kalau iya, sekarang, coba kau buka persegi panjang berkaca itu, kau harus tahu bahwa malam ini, lunar dengan sinarnya yang megalomania menyinari kerisauan-kerisauanku lagi. 

selamat pagi, Bila. maaf, semalam otot mataku dikalahkan kelelahanku yang jauh lebih kuat. kemarin, pada pukul 19.00-21.00, aku mengisi forum diskusi tentang Nietzsche yang kita sama-sama sepakat: dia terlalu sinting, enigmatik, & edgy. kau tahu? aku dihujani tanda tanya yang sama seperti tanda tanya kepada seorang juru bicara. tapi tak apa, aku senang, & mungkin di neraka sana—Si Dinamit akan tersenyum panjang kali lebar kali tinggi kepadaku ... yang telah meluruskan beberapa miskonsepsi klise dari orang-orang awam ... yang mencoba membaca sekaligus menerka-nerka paradigma ODGJ ... yang mati dipeluk pneumonia & raja singa di Basel itu.

selamat pagi, Bila. aku sengaja mengucapkan selamat pagi lagi, sebab pada pagi ini, aku sarapan dengan semangkuk bubur yang begitu kau benci. aku masih tak paham mengapa pula kau membenci bubur, baik yang diaduk maupun yang tak diaduk. tapi satu yang jelas, hatiku begitu campur aduk (dalam konotasi yang negatif) ketika tak ada lagi teks-teks semacam “how's your day?” mengetuk-ngetuk pintu whatsapp-ku. 

& seperti yang sudah bisa kau tebak, hari ini kehendakku putuskan untuk kembali mengawinkan kafein & nikotin dengan penuh keberanian—demi menjawab pertanyaan yang hampir selalu mengudara ketika aku pertama kali membuka mata: “should I kill myself, or have a cup of coffee? but in the end one needs more courage to live than to kill himself.”

jika kau ingat, kau sudah kuberi tahu, bahwa pikiran-kesadaranku tak lagi perawan. & hidup yang dilandaskan pada Absurdisme hanya berkutat pada siasat-siasat repetitif untuk menunda kematian secara efektif (dalam konteks yang lebih suram: bahkan tak melakukan bunuh diri pun adalah sebuah prestasi, katanya Camus). kita sama-sama membenci Mas Prancis yang absurd itu: kau membencinya sebab Bapak Sisifus itu berdampak buruk buat mental kita berdua—sedang aku membencinya sebab kau adalah arketipe de Beauvoir, yang masalahnya aku bukan Sartre, & terlalu Camus buatmu.

sedikit menyoal de Beauvoir, bagaimana kabar skripsimu yang menggunakan teorinya? aku percaya kau bisa menyelesaikannya. ini bukan sejenis gombalan … faktanya, secara empiris, kau memanglah perempuan paling intelek (sekaligus paling feminis, paling liberal, & paling manis) yang pernah berbincang-bincang denganku selama lebih dari 6 jam yang bahkan dilakukan secara konstan; 2 hari berturut-turut—tanpa memberikan ruang bagi keheningan yang canggung—untuk masuk ke dalam bahasan-bahasan kita yang seperti tak pernah kehabisan bahasa.

selamat siang, Bila. bumi bajingan ini masih berputar-putar dengan kecepatan 1.770 km/jam. cepat sekali, bukan? tapi ... 

when you sit with a 10/10 woman for more than six hours, you think it's only a minute—but when you sit on your loneliness, you think it's eternity. that's relativity.”

kutipan di atas adalah kutipan terkenal dari Einstein tentang Relativitas Waktu yang sengaja kuganti agar lebih puitis & senada dengan orkestra kemurungan-kemurungan luar biasa pada pembuluh hasratku.

omong-omong, apakah kau punya obat pereda kemualan-kemualan eksistensial? aku nausea. & nausea. & nausea. & bagian paling buruknya adalah aku seperti tak mau hidup seribu tahun lagi. kalau boleh blak-blakan, aku mual sebab ketika kesadaran menguasai 3/3 alam bawah sadarku, maka satu-satunya yang naik & tampak di indera penglihatanku adalah fragmen-fragmen senyummu. o senyummu adalah rumah kabin kayu bergaya Skandinavia (di tengah-tengah antah-berantah yang tak seorang Schrödinger pun tahu & peduli; “apakah beringin tua itu jatuh bersuara ketika tak ada sebuah kuping di sana?”) dengan jendela menghadap ke lembah-lembah di mana airmata kita berdua aman tersimpan.

selamat sore, Bila. maaf tadi aku semakin melantur tak karuan. aku masih graphomania. aku harap kau tak lupa untuk membangunkan hidup, memandikan hidup, memberi makan hidup, memberi makna hidup, & menghidupi hidup. aku meminta segenap maaf jika aku pernah menggoreskan kata sifat pisau pada dinding hatimu. kehendak untuk berkuasa milikku tak pernah berminat untuk melakukannya. aku sama sekali tak punya tendensi untuk memancing sistem lakrimal pada kedua matamu untuk mengeluarkan airmatamu yang laut itu.

terakhir ... aku benci untuk mengatakan ini, tetapi saat ini, aku benar-benar merindukanmu. & jauh di lubuk hatiku yang muram & lindap—aku benci berharap & sudah lama tak berharap & kini aku kembali berharap: semoga surat yang kutulis dalam keadaan yang begitu melankolis & biru ini ... bukanlah sebuah ketololan-kelirisan yang tak perlu.

Sincerely,

Mas Aldy

Friday 12 August 2022

Reviu Singkat "Hujan Menulis Ayam - SCB" dari Perspektif Pembaca Awam

Author: Sutardji Calzoum Bachri
Title: Hujan Menulis Ayam
Format: 129 pages, Paperback
ISBN: 9789799375186
Published: June 1, 2020 by Indonesia Tera
Language: Indonesian

Judul-judul cerpen di dalam "Hujan Menulis Ayam" saya rasa mengandung efek domino yang dapat membuat pembacanya tertipu dan tanpa tedeng aling-aling merendahkan isinya—sebab menggunakan diksi yang sederhana, yang cukup dekat dengan keseharian normies pada umumnya. Namun beribu namun, pembaca akan terkejut bukan main ketika membaca cerpen-cerpen di buku ini—yang teks-teksnya dibangun & ditopang dengan menggunakan komposisi: imaji liar, plot yang absurd, amanat yang tersirat-implisit, & gaya bahasa yang luar biasa ajaib, terdengar seperti mantra. Apa jadinya jika Presiden Penyair Indonesia mengarang cerpen? Ya, beginilah jadinya. Edan!

Berikut review singkatnya ...

HUJAN: tentang Ayesha yang memiliki hubungan batin dengan hujan—yang begitu mencintai hujan; karena ia membenci matahari. Setelah membaca cerpen ini, ada semacam dorongan untuk berkata bahwa: hujan bukan sekadar fenomena klimatologis yang terjadi ketika kandungan air di awan jatuh ke bumi. Hujan adalah sesuatu yang monumental, yang membuat kita menghayati apa-apa yang sebelumnya kita anggap begitu biasa, bahkan tak bermakna. "Bagi Ayesha, hujan adalah ucapan yang mendedahkan sastra, nyanyi, musik, atau tari ..."

Bagi saya, cerpen ini terasa surealis, ajaib, & filosofis. & karena ditulis oleh seorang Presiden Penyair Indonesia—teks-teks dalam cerpen ini mengeluarkan bunyi-bunyian yang ritmis & merdu—seperti hujan di hadapan gurun pasir. Cerpen ini seperti cocok dibaca ketika kita sudah terlampau mumet bergelut dengan realitas yang ada. "Hujan" seperti menghidupkan kembali seorang bocah kecil di dalam alam bawah sadar pembaca.

DI KEBUN BINATANG: mulanya saya mengira ini adalah cerpen tentang sebuah keluarga yang lengkap & harmonis—yang akan membuang minggu di kebun binatang—tetapi saya keliru. Cerpen ini berisikan pertanyaan-pernyataan sengit antar tokohnya: Herman & Lisa (atau mungkin lebih tepatnya berisi rayuan maut nan pantang menyerah dari Herman untuk Lisa). Berlatar sama seperti judulnya, dari dibuka sampai ditutup—dari penolakan sampai penerimaan. "Lisa kemerah-merahan pipinya karena malu, menunduk dan memalingkan mukanya dari Herman. Tapi, Herman memegang bahunya mengajak Lisa memandang langit senja dan kelepak burung yang pulang ..."

Detail di dalam cerpen ini luar biasa rinci. Kalau boleh sok tahu, "Di Kebun Binatang" seperti sebuah cerpen yang beririsan dengan puisi legendaris SCB: "Tragedi Winka dan Sihka".

SUATU MALAM SUATU WARUNG: berlatar malam hari di suatu warung yang muram karena lampu di sana bersinar muram—tentang tiga pengarang muda nan suram yang membahas ketakproduktifan mereka dalam mengarang karya sastra—lantas secara acak & tiba-tiba, Nahar (seseorang dari trio suram itu), membahas ketidaktakutannya pada sipilis & gonorrhea. Cerpen ini tambah madesu dengan hadirnya dua wanita tua (satu pelacur tua, satunya lagi pelacur yang lebih tua karena beban kantuknya); yang pertama merajuk bahkan menangis karena terus menerus dituduh mengidap sipilis & gonorrhea, yang kedua pernah alami sipilis & gonorrhea kemudian bertobat & membuka warung ala kadarnya. Saya tertarik dengan bagaimana SCB membuat kesal pembaca (khususnya saya) menggunakan dialog-dialog menyebalkan khas malam hari semacam ini.

TAHI: saya penasaran, apakah SCB menulis cerpen berjudul "Tahi" yang memiliki judul asli "Protes" ini sambil ketawa atau tidak. Saya berani bertaruh—jika pembaca punya sedikit saja kewasaran dalam batok kepalanya, maka ia akan berkata dengan penuh kesadaran bahwa cerpen ini sungguh sinting. Bercerita tentang tokoh aku, kawannya yang belum makan selama empat hari, & seekor figuran berwujud anjing bernama Moli. Tentang orang makan tahi yang menurutnya rasanya seperti nasi goreng, atau nasi goreng yang rasanya seperti tahi karena dibuat dari tahi. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa "Tahi", sama sekali tak berbau tahi—baunya satir sosio-ekonomi campur komedi hitam seorang sastrawan kawakan yang punya selera humor ekstrim. van Gogh gila karena matahari, sama seperti seseorang yang tak makan selama empat hari, yang terpapar sinar matahari secara konstan—kemudian harus fatum brutum amor fati—menyantap tahi dengan lahap. Secara filosofis, cerpen ini seperti ingin mengatakan, pada akhirnya pada titik tertentu—semuanya akan jadi tahi atau minimal terasa seperti tahi & kita harus menerima-menikmati—lebih-lebih mencintai hal-hal tahi semacam itu.

TANGAN: masih dengan tokoh bernama Herman, namun bukan berkisah tentang Herman yang merayu Lisa untuk kawin dengannya. Herman yang ini bucin kepada seorang perempuan bernama Nina. Herman yang ini punya tangan besar & berbulu. Masalahnya, Nina, tak suka tangan Herman yang besar & berbulu. Cerpen dibangun dengan suasana yang cukup romantis, potongan-potongan kejadian yang berjalan pelan namun mantap, lanskap alam yang lagi-lagi detail & indah, & bentuk rasa cinta seorang Herman yang edan, yang melakukan segala cara demi membuat Nina mencintainya—termasuk berpikir beberapa minggu, kemudian kesurupan arwah van Gogh—tetapi seperti yang sudah diduga, Herman tak memotong telinga kirinya, ia memotong satu tangannya sendiri. Saya mencium sedikit bau tragikomedi di sini, sebab pada akhirnya, alih-alih Nina terpesona, terkesan, & jatuh cinta—ia malah muntah di sumur di rumahnya—lalu duduk tersandar pada tembok sumur dengan mata tertutup, dengan tubuh lemas, & kehabisan bahasa. Setelah membaca cerpen sedeng yang cukup melelahkan ini, saya mencoba membayangkan Herman berbahagia dengan apa-apa yang telah dilakukannya. 

Seseorang benar-benar harus membayangkan Herman berbahagia.

MENULIS: bagi saya, menulis karya sastra dengan tema kepenulisan adalah sesuatu yang bisa dikatakan 'berat'. Selain itu, biasanya, juga rentan terjebak dalam klise yang itu lagi itu lagi: misalnya, menceritakan mimpi-mimpi keabadian seorang penulis muda, tambah kenaifan-kenaifannya, tambah ke-optimis-an-nya yang terlampau gigan untuk sekadar dibaca. Tapi tidak dengan cerpen ini, di sini, di cerpen ini, SCB berhasil kabur dari perangkap-perangkap itu. "Betapa pun, aku mau menulis yang kecil-kecil. Aku mau menulis yang kecil-kecil agar aku tak kebesaran dunia. Aku harus kuat pada dunia tanpa menjadi kebesaran padanya. Dunia ini sesuatu yang besar, dungu, tak peduli, keras, & seterusnya ..."

Cerpen ini seperti sebuah puisi ode yang dinarasikan dengan kesinisan-kelirisan dalam dosis wajar—untuk hal-hal yang kita anggap remeh-temeh & biasa-biasa saja. Melalui cerpen ini, SCB seperti ingin meneroka perspektifnya tentang hal-hal filsafati, mendefinisikan kebenaran menurutnya, & mengejawantahkan kata 'hidup' dengan memesona. Dimulai dengan menghadirkan keabsurdan kecoak Kafka, hingga membahas burung milik Freud. Ada banyak dialog eksistensial & intelektual yang cukup pekat untuk membuat pembaca mempertanyakan ulang hidup & kehidupan. Di sini, di cerpen ini, saya bisa merasakan sedikit momen puitik seorang SCB yang ditumpahkan ke dalam teks di tubuh cerita pendek. "Menulis" adalah cerpen favorit saya dalam buku ini.

SENYUMLAH PADA BUMI: adalah cerpen paling waras, paling bijak, & paling jelas amanatnya dalam buku ini. "Selalulah senyum, kau akan dapat sesuatu meskipun tidak selalu tepat seperti yang kau inginkan ..."

Petuah-petuah di cerpen ini tak terjatuh ke jurang ke-sok-tahu-an yang menyebalkan, yang terkesan menggurui seseorang yang masih bau kencur, yang rambutnya masih bau matahari kemarin sore. Membaca "Senyumlah Pada Bumi", pembaca akan dihadapkan pada teks yang hangat & yang sejuk—seperti mendengarkan cerita seseorang telah kita kenal lama, seseorang yang ... ingin kita temui di suatu malam yang masih panjang untuk diarungi seorang diri. Jika cerpen memang harus mengandung nilai moral atau (jika meminjam bahasa Kafka) harus menjadi kapak yang memecahkan lautan beku dalam tubuh kita—maka cerpen ini adalah amplas yang mengamplas kembali pesan arkaik yang kian terlupakan ... tentang betapa pentingnya sebuah senyuman.

Setelah membaca cerpen ini, seulas senyum meraksasa di muka saya yang melankolis ini.

AYAM: sejujurnya, membaca cerpen ini begitu melelahkan. Dimulai dengan narasi bernuansa sejarah timur tengah berbau para nabi, lalu pembaca dilemparkan pada hiruk-pikuk sepasang pasutri yang memelihara ayam, yang (saya duga) keduanya sama-sama sinting. Tentang tokoh aku, yang sepertinya memiliki dendam pribadi kepada unggas berkaki dua yang lazim kita sebut sebagai ayam. Mungkin mereka kesal, sebab ayam peliharaannya itu sering berak sembarangan. Namun pada suatu pagi yang absurd, tokoh aku seperti merasa kehilangan ayam yang ia begitu benci & secara acak, seekor cicak pun jatuh dari tembok—menatapnya sesaat—kemudian lari & tokoh aku tiba-tiba berteriak pada istrinya yang sedang berada di dapur bahwa ia ingin memelihara buaya. Kisah benar-benar berjalan seperti keong yang malas berjalan. & alurnya bergerak ke suatu arah yang nyaris tak tertebak sama sekali. Ada banyak dialog-dialog yang saya kira bakal menggelitiki perut pembaca. & saya benci harus jujur lagi bahwa saya tak pernah menyangka membuang bangkai ayam bisa jadi persoalan yang begitu serius, setara dengan menjaga hubungan diplomatik antar negara demi terciptanya perdamaian dunia. 

"Ayam" adalah cerpen yang ilustrasinya dijadikan sampul "Hujan Menulis Ayam" terbitan Indonesia Tera pada 2020 ("Hujan Menulis Ayam" pertama kali diterbitkan Indonesia Tera pada tahun 2001). Setelah membaca cerpen ini saya membayangkan demit pohon apa yang menginspirasi SCB menulis cerpen ini. Apakah Pohon Akasia?

PADA TERANGNYA BULAN: saya tidak ingin berkomentar banyak tentang cerpen yang satu ini. Saya hanya ingin mengatakan bahwa SCB sepertinya punya hubungan gelap dengan bulan. Buku kumpulan cerpen ini dimulai & diakhir oleh cerpen yang puitis. Diawali dengan Hujan, ditutup dengan Malam, Bulan, Lagu, & Gitar.

Semacam Ringkasan yang Benar-Benar Ringkas

Sejujurnya saya tak handal membuat kesimpulan: satu yang jelas—membaca buku ini membuat saya nausea, & membuat gaya gravitasi di pantat saya semakin menguat. Sedang pikiran saya makin keliling dunia, & perasaaan saya jadi sebungkus permen nano-nano. & pada akhirnya, kita memang harus setuju dengan Nietzsche bahwa: tak ada fakta, hanya ada interpretasi. Sebab ... sebuah buku yang dibaca oleh seribu orang yang berbeda adalah seribu buku yang berbeda—tutup Tarkovsky—mengakhiri review singkat pembaca awam ini.

special thanks to: Indonesia Tera & Titan Sadewo